FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh:
RiL;qi Barkah
NIM: 103070029018
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HKDAYATULLAH
JAKARTA
PEREMPUAN DAN LAKl-LAKI PADA MAHASISWA FAKUL TAS PSIKOLOGI
UIN SY ARIF HIDA YATULLAH JAKARTA telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Pada tanggal
12
Mei2008..
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.Jakarta,
12
Mei2008.
Sidang Munaqasyah
p・セ@
Sekretaris Merangkap Aggota,
----1
Dra. Zah,,hh, M.
s;
NIP.
150 238 773
Anggota:
Penguji II
セ@
A,_,. ,,,,bd,,_,u.,_1.:..:R,,,,a,_,,hm"""'a¥S"':ali.>='-'M"" . ._,So<!i Yunita Faela Nisa, M. Psi. Psi
NIP.
150293224
NIP.150 368 748
Pembnb;og I .
Nene"'1
セセュ[。エl@
M.
s;
P•
NIP.150 300 679
Pembimbing U
Yunita Faela Nisa. M. Psi. Psi
CL111,tCl Ltu s:epertL sL111,Clv viACltClViClvL, 11\A,ew.bevL TAt-n>A V\A,e111,gV1ClvClp k?,eV),CbClLL. CL111,tCl Ltu sepertL sL111,Clv 11\A,CltClhClvL, TIDAfc /v\E/v\ILIH sLClpCl
tJCl111,g Ln sL111,ClvL. CL111,tCl Ltu sepertL sL111,Clr 11\A,CltClhCln tJCl111,g /v\E/v\lSERI KEl-tANCjATAN DI HAT! ••
(CONFIA.SIL{S)
'HClc!ClpLLClVi ViLc!up L111,L cle111,gCl111, kceLR,ViLClsCl111,, k?,m·evcCl cle111,gCl111, LR,ViLCls: ClRClV\, V\A,eajClc!LkcCl111, k?,LtCl V\A,Cl111,usLCl t:JCl111,g tegClv c!ClLClit\A, V\A,e111,gV1Clc!ClpL
V\.V\,ttA.
R,
R.e
d
IA.I/!o
rl/! V\,g
t
IA.I/!R,
IA.d
IAV\, s e
VVl IA.IAor
IAV\,g-o r
IAV\,g
ti
IAV\,g
VltlCV\,C, L V\,t
IAL
d
IAV\,
VltlCV\,
ti
IAti
IAV\,g LR,
IA. ••••(B) Mei 2008 (C) Rizqi Barkah
(D) Perbedaan Belanja lmpulsif Antara Remaja Perempuan dan Laki-iaki Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(E) xvi + 97 Halaman
(F) Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun di dalam rumah tangga. Namun, kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Belanja juga punya arti tersendiri bagi remaja.
Belanja impulsif menurut Rook (dalam Engel, Blackwell, & Miniard, 1995)
adalah perilaku belanja tanpa perencanaan yang matang terlebih dahulu, terdapat dorongan yang kuat untuk membeli muncul secara tiba-tiba dan seringkali sulit untuk ditahan. Konsumen secara spontan terpicu ketika berhadapan dengan produk, serta diiringi perasaan menyenangkan dan penuh gairah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan belanja impulsif antara remaja perempuan dan laki-laki pada mahasiswa Fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta. Pendekatan dalam penelitian ini adalah kuantitatif komporatif,
menggunakan tehnik random sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 140 responden, yakni 70 untuk mahsiswa perempuan dan 70 mahasiswa laki-laki.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala model Likert dengan aspek belanja impulsif, yang dilihat dari aspek spontanitas, lntensitas untuk membeli setiap kali mengunjungi toko, kegairahan yang diwarnai dengan emosi dan ketidakpedulian akan akibat. Koefisien realibilitasnya adalah sebesar 0,9445. Analisa data dilakukan dengan menggunakan t-test, dan diperoleh hasil. Ada perbedaan belanja impulsif antara remaja perempuan dan laki-laki pada mahasiswa Fakultas
Psikologi Universtitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta t table 3.809 t hitung 1.66. Remaja perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan belanja impulsif (dengan rata-rata skor remaja
1. Dalam kategorisasi belanja impulsif antara perempuan dan laki-laki berada dalam kategori sedang, yaitu 60 orang (85.71%) untuk perempuan dan untuk laki-laki 51 orang (72.86%).
2. dalam kategorisasi aspek-aspek belanja impulsif antara perempuan dan laki-laki terdapat aspek spontanitas, intensitas untuk memilih sesuatu setiap kali mengunjungi toko, kegairahann yang diwamai dengan emosi dan ketidakpedulian akan akibat berada dalam kategorl sedang. Na mun, pada aspek-aspek tersebut jumlah terbesar terdapat pada aspek intensitas untuk membeli sesuatu setiap kali mengunjungi toko baik perempuan maupun laki-laki, yaitu 60 orang (85.71 %) untuk remaja perempuan dan untuk remaja laki-laki 57orang (81.43%). Dari fenomena yang ada peneliti menyarankan kepada perempuan dan laki-laki agar hendaknya setiap kali ingin membeli sesuatu, sebaiknya dipikirkan masak-masak terlebih dahulu, dengan
menggunakan akal rasional dan bukan hanya menggunakan emosi pada saat membeli sesuatu. Sehingga pada akl1imya tidak barang yang tidak terpakai dan tidak akan ada rasa penyesalan setelah membeli barang yang tidak sesuai dengan keinginan.
1enjadi indah dan mudah. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi
セオィ。ュュ。、@ SAW, serta keluarga dan pengikutNya yang telah membawa masa :egelapan menuju cahaya.
·ujuan penulis menulis skripsi ini adalah agar bisa mengaplikasikan ilmu-ilmu yang elah penulis dapatkan selama menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif 1idayatullah Jakarta ini, dan kelak akan menjadi ilmu yang berguna bagi masa depan 1enulis kelak.
'erjalanan panjang penulis dalam upaya menyelesaikan kuliah dan skripsi ini dihiasi lengan segala kekurangan dan kelemahan penulis, dan diwamai dengan berbagai :obaan, tantangan dan penuh dengan perjuangan. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa 1antuan dari berbagai pihak. Sudah sepantasnya penulis mengucapkan terimakasih ang sebesar-besamya kepada:
Dra. Hj. Netty Hartati, M. Si., Dekan Fakultas Psikologi. Dra. Hj. Zahrotun Nihayah, M. Si., Pembantu Dekan Fakultas Psikologi, dan Bapak Prof Hamdan Yasun, M. Si., selaku dosen pembimbing akademik.
' Neneng Tali Sumiati, M. Si., Pembimbing I, yang telah berkenan meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya serta dengan sabar memberikan bimbingan, petunjuk,
arahan, dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dari awal kuliah hingga selesai skripsi ini. Para karyawan akademik Fakultas Psikologi yang telah berjasa kepada penulis.
Seluruh keluarga besarku, yang sangat aku cintai dan aku sayangi. Ayah, ibu, adik-adikku: Rahman, Pipit, kakak dan abangku: Rubi, Anca, Zaki, kakak iparku Eti, abang iparku Anom, adik iparku Mail, keponakan-keponakanku yang selalu memberi kebahagian untukku, serta saudara-saudaraku yang memberikan dukungan serta doa yang tak pemah putus.
Untuk semua sahabat-sahabat yang begitu peduli dan selalu memberikan dukungan serta doa, sehingga membuatku kuat mengahadapi segala kesulitan. Terutama untuk Kamal, Qori, Yogi, dan Mira (terimakasih untuk dukungan dan doanya, kalian benar-benar sahabat terbaikku), Ary, Mahmud, Surya, Yuris, E:ndah, Yeyen, lyus, Catur, Arif, Wawan, Tika, Cindai, Mba Yani, Fitria, Angga, lkhsan adik angkatku, abang Juri, ka Agus, Iqbal.
Untuk teman-teman Fakultas Psikologi dari kelas A sampai D, yang telah banyak membantu dalam memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini. Terutama sekali untuk Maya, Ramdan, Ayi, dan Sekar.
Khususnya untuk Iman Ramadhani Firdaus (Adhan) yang telah mengisi kekosongan hati dan hidupku, memberikan keindahan dan semangat untuk terus berjuang.
Jakarta, 12 Mei 2008
Halaman Persetujuan... ii
Halaman Pengesahan... iii
Motto ... iv
Dedikasi ... v
Abstract... vi
Kata Pengantar ... v111
Daftar lsi ... ... .. . .. . .. ... ... .. . .. ... ... ... . .. . .. ... . .. ... ... ... . . .. . . .. ... . .. .. . .. ... ... ... x
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Grafik. ... ... .. . .. . . ... ... ... ... .. . ... . . .. . .. . .... ... .. . .. . .. .. . .. ... .. .. ... ... .. ... xv
Daftar Lampiran ... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN 1-15 1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. ldentifikasi Masalah ... 12
1.3. Pernbatasan dan Perurnusan Masalah ... 12
1.3.1. Pernbatasan Masalah ... 12
1.3.2. Perurnusan Masalah ... 13
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian .... : ... 13
1.4.1.Tujuan Penelitian ... 13
1.4.2. Manfaat Penelitian ... 13
1.5. Sisternatika Penulisan ... 14
BAB2 KAJIAN TEORI 16-51 2. 1. Belanja lrnpulsif.. .. ... .... ... ... .... ... .. . . .. ... ... .. .. . .. ... ... ... ... 16
2. 1.1. Definisi Belanja lrnpulsif ... 16
2.1.2. Elernen-elernen Belanja lrnpulsif... 18
2.1.3. Tipe Pernbelanja lrnpulsif ... 19
2.2.2. Perbedaan Jender dan Seks (Jenis Kelamin) ... 28
2.2.3. Perbedaan Karakteristik antara Laki-laki dengan Perempuan ... 30
2.2.4. Peran Jenis Kelamin ... 34
2.2.5. Perbedaan Perilal<U Berbelanja antara Laki-laki dan Perempuan ... 35
2.3. Remaja ... 37
2.3.1. Definisi Remaja . .. ... .... .. ... .. .. .. . ... ... ... .. .... .. ... ... .. .. 37
2.3.2. Pembagian Tahapan Remaja ... 38
2.3.3. Remaja Sebagai Konsumen ... 39
2.3.4. Remaja dan Perilaku Belanja lmpulsif ... 41
2.4. Perilaku Konsumsi Dalam Perspektif Islam ... 43
2.5. Kerangka Berpikir ... 49
2.6. Hipotesis ... 51
BAB3 METODOLOGI PENELITIAN 52-66 3.1. Jen is Penelitian ... .. .... ... .. ... .. ... ... .... ... ... .... .... 52
3.1.1. Pendekatan Dan Metode Penelitian .... ... ... .... .... 52
3.1.2. ldentifikasi Variabel dan Operas.ional Variabel.. ... 53
3.2. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 55
3.2.1. Populasi dan Sampel ... .... ... 55
3.2.2. Teknik Pengambilan SampeL ... 57
3.3. Pengumpulan Data ... 57
3.3.1. Metode dan lnstrumen Penelitian. .... .... ... 57
3.3.2. Teknik Uji lnstrumen Penelitian ... 58
BAB4 PRESENTASI DAN ANALISA DATA 67-85
4. セN@ Gambaran Umum Responden... ... ... 67
4.1.1. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jen is Kelamin ... 67
4.1.2. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia .... 68
4.2. Uji Persyaratan ... 69
4.2.1. Uji normalitas ... 69
4.2.2. Uji Homogenitas. ... ... .... ... . ... .... ... ... ... 72
4.3. Hasil Utama Penelitian ... 74
4.4. Kategorisasi Skor Berdasarkan Belanja lmpulsif antara Perempuan dan Laki-laki... ... ... ... ... . . ... .. . 76
4.5. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek ... 79
4.5.1. Kategorisasi Aspek-aspek Belanja lmpulsif Pada Perempuan ... 79
4.5.2. Kategorisasi Aspek-aspek Belanja lmpulsif Pada Perempuan ... 82
BABS KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 86-93 5.1. Kesimpulan ... 86
5.2. Diskusi ... ... .... .. ... ... ... ... .... .... .... ... .. ... .. . 86
5.3. Saran... 91
DAFTAR PUST AKA... 93-97
[image:11.521.60.447.78.609.2]3.1. Tabel Bobot Skor Skala ... 58
3.2. Blue Print Skala Belanja lmpulsif ... 62
4.1. Tabel Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 68
4.2. Tabel Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ... 68
4.3. Tabel Uji Normalitas ... 70
4.4. Tabel Uji Homogenitas ... 73
4.5. T-Test Independent Samples Test ... 74
4.6. Group Statistics ... 75
4.7. Kategorisasi Belanja lmpulsif Gabungan Pada Mahasiswa Perempuan dan Laki-laki Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ... 76
4.8. Kategorisasi Belanja lmpulsif Pada Mahasiswa Perempuan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ... 77
4.9. Kategorisasi Belanja lmpulsif Pada Mahasiswa Laki-laki Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ... 77
4.10. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek Spontanitas Pada Perempuan ... 79
4.11. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek lntensitas Untuk Membeli Sesuatu Setiap Kali Mengunjungi Toko Pada Perempuan ... 79
4.12. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek Kegairahan yang
[image:12.518.39.449.127.671.2]4.14. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek Spontanitas Pada
Laki-laki ... 81
4.15. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek lntensitas Untuk
Membeli Sesuatu Setiap Kali Mengunjungi Toko Pada Laki-laki ... 82
4.16. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek Kegairahan yang
Diwarnai Dengan Emosi Pada Laki-laki ... 83
4.17. Kategorisasi Belanja lmpulsif Berdasarkan Aspek Ketidakpedulian
4.1. Grafik Belanja lmpulsif Pada Perempuan ... 71
Lampiran 2. Surat lzin Penelitian dari Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Angket Penelitian
Lampiran 4. Validitas
Lampiran 5. Reabilitas
Lampiran 6. Data Try Out
1.1
Latar Belakang Masalah
Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks
perekonomian, baik di dunia usaha maupun di dalam rurnah tangga. Namun,
kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya
hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Belanja juga
punya arti tersendiri bagi remaja.
Belanja sering kali identik dengan para remaja yang banyak menghabiskan
waktunya di mal setelah pulang sekolah, baik sekedar jalan-jalan, makan,
nonton bioskop hingga berbelanja. Kegemaran remaja berbelanja di mal
menjadi fenomena yang sedang merebak saat ini.
Pada mulanya, belanja hanya merupakan suatu konsep untuk menunjukkan
suatu sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan untuk
sehari-harinya dengan jalan menukarkan sejumlah uang sebagai pengganti
barang tersebut. Pada saat ini, konsep belanja itu sendiri telah berkembang
sebagai sebuah cerminan gaya hidup dan rekreasi di kalangan masyarakat.
Belanja adalah suatu gaya hidup tersendiri, dimana telah menjadi suatu
kegemaran bagi sejumlah orang.
Belanja menjadi alat pemuas keinginan memperoleh barang-barang yang
sebenarnya tidak dibutuhkan, akan tetapi karena pengaruh trend atau mode
yang tengah berlaku, maka seseorang merasa harus mernbeli barang-barang
tersebut. Perilaku berlebihan inilah yang disebut dengan perilaku belanja
impulsif (Konsumerisme dan gaya hidup remaja, 27 maret 2005).
Perilaku belanja impulsif juga menampakkan kesenjangan sosial yang
semakin besar pada masyarakat, sehingga kalangan yang sebenarnya tidak
mampu atau tidak memerlukan perilaku belanja impulsif ini turut
mempraktekkannya dan kemudian ia bisa saja melakukan perilaku memenuhi
keinginannya, sehingga bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak
wajar (Konsumerisme dan gaya hidup remaja, 27 Mei 2005).
Umumnya remaja suka berbelanja impulsif, yaitu kegiatan belanja yang tidak
terkontrol, berlebihan dan tidak disertai dana yang cukup. Remaja lebih
sering melakukan perilaku belanja impuslif jika dibandingkan dengan usia
dewasa, karena menurut Lury (1998), generasi muda diposisikan sebagai
peserta yang berpotensi kreatif dan melihat konsumsi sebagai sumber
mahal, perilaku ini terjadi karena faktor eksternal yang memicu konsumen
membeli secara impulsif dan dilakukan tanpa didahului pertimbangan yang
matang (Edward dalam Loudon & Bitta, 1993). Perilaku belanja impulsif
tergolong gaya hidup yang mementingkan kesenangan yang mana terjadi
peningkatan frekuensi belanja pada barang-barang yang tidak penting
(Dittmar, Beattie, & Friese, 1995).
Perilaku belanja .impulsif tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal saja.
Menurut Dittmar dan Oury (dalam Herabadi, 2003), dalam perilaku belanja
impulsif terjadi proses pertarungan internal antara hati dan benak, yaitu
konflik antara keharusan dan hasrat.
Menurut pakar Psikologi lndustri Aslamawati maupun ahli ekonomi Sucherly
(Gila belanja yang bikin sengsara, 2006), keduanya sama-sama menyatakan
bukan hanya perempuan yang memiliki hobi belanja. Banyak juga laki-laki
yang hobi belanja, seperti membeli elektronik, .baju, celana, topi, dan barang
lainnya.
Berbeda dengan .pria, jenis .barang yang .biasa. dibeli perempuan selain untuk
penampilan, seperti tas, pakaian, kerudung, aksesoris, clan sepatu. Menurut
Aslamawati (Gila belanja yang bikin sengsara, 2006), hal tersebut terkait
dengan kodrat perempuan yang menyukai keindahan. Sudah punya
kerudung warna pink, ingin lagi kerudung yang berwarna lain. Karena
kesernpurnaan dalarn keindahan ini, perernpuan rnencoba mewujudkan
dengan rnembeli barang-barang yang rnungkin bisa memunculkan keindahan
tersebut. Tuntutan kaurn perempuan atas penarnpilan ini cepat ditangkap
sebagai pasar yang menjanjikan oleh para pakar pelaku bisnis.
Menurut Sucherly (Gila belanja yang bikin sengsara, 2006), pemenuhan
tuntutan pasar ini sebagai upaya pengusaha yang disebut dengan market
driven. Mereka melihat apa yang diperlukan oleh kaum perempuan, lalu
membuatnya.
Keranjingan belanja pada perempuan tidak tercipta begitu saja. Pebisnis ikut
andil dalarn menciptakan barang-barang terbaru, menarik, bagus-bagus dan
dengan harga yang cukup terjangkau narnun tetap berkualitas. Menurut
Sucherly (Gila belanja yang bikin sengsara, 2006), yan9 terjadi di dunia
sekarang adalah marketing driven, yakni pengusaha menciptakan kebutuhan
Dalam menciptakan kebutuhan yang dirasa perlu oleh kaum perempuan,
pengusaha bermain di faktor eksternal di luar individu. Mereka menerapkan
strategi pemasaran yang meliputi produk, harga, promosi, distribusi, dan jasa.
Dari segi harga misalnya, pengusaha memberikan kesan murah sehingga
membuat orang tertarik untuk membeli.
Pengusaha pandai sekali "memainkan" perasaan calon konsumen. Dalam
teori ekonomi, keputusan membeli didasarkan oleh faktor internal yaitu
dirinya sendiri, juga faktor eksternal meliputi keluarga, teman, kelompok
referensi, dan budaya (Sucherly dalam Gila belanja yang bikin sengsara,
2006).
Perilaku belanja impulsif, menurut Sucherly (Gila belanja yang bikin
sengsara, 2006) lebih didominasi oleh kelas ekonomi atas. Golongan ini
cenderung tidak memikirkan harga. Namun golongan bawah bukan berarti
tidak terkena penyakit keranjingan belanja. Memakai istilah Sucherly (Gila
belanja yang bikin sengsara, 2006), mereka dengan daya beli terbatas
namun berbelanja demi gengsi adalah golongan dengan perilaku yang
dikarbit. Belum masanya mereka mengikuti dorongan emosional untuk
remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk oleh rayuan iklan,
suka ikut-ikutan, tidak realistis, dan cenderung bores dalam menggunakan
uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen
untuk memasuki pasar remaja. Remaja cenderung rasa ingin menunjukkan
bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar (Tambunan,
2001).
Di kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan l<elas ekonomi
menengah, terutama di kota-kota besar, mal sudah rnenjadi rumah kedua.
Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat rnengikuti mode yang
sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para
remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah
perilaku belanja impulsif (Tambunan, 2001).
Remaja adalah suatu fase dalam kehidupan manusia, yang mana ia tengah
mencari jati dirinya, dan biasanya dalam upaya pencarian jati diri, ia mudah
untuk terikut atau terimbas hal-hal yang tengah terjadi di sekitarnya, sehingga
Perilaku konsumsi remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia
remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin
diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari
lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi s<ima dengan orang
lain yang sebaya itu menyebabkan remaja menjadi sama dengan orang lain
untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang in. Remaja dalam
perkembangan kognitif dan emosinya masih memanclang bahwa atribut yang
supersifial itu sama penting (bahkan lebih penting) dengan subtansi. Apa
yang dikenakan oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja menjacli
lebih penting untuk ditiru dibandingkan dengan kerja keras dan usaha yang
dilakukan artis idolanya untuk sampai pada kepopulerannya.
Menjadi masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja
ini dilakukan secara berlebihan. lbarat pepatah "lebih besar pasak daripada
tiang" dapat terjadi di sini. Terkadang apa yang dituntut oleh para remaja di
luar kemampuan orang tuanya sebagai sumber dana, sehingga perilaku
belanja impulsif tersebut menimbulkan masalah ekonomi pada keluarganya.
Dari sejumlah hasil penelitian, ada perbedaan pola konsumsi antara remaja
perempuan dan laki-laki. Juga terdapat sifat yang berbeda antara perempuan
dan laki-laki. Perbedaan tersebut Menurut Tambunan (November 2001),
2. Sering tertipu karena tidak sabaran dalam memilih barang
3. Mempunyai perasaan kurang enak bila tidak membeli sesuatu setelah
memasuki toko
4. Kurang menikmati kegiatan berbelanja sehingga sering terburu-buru
mengambil keputusan membeli.
Perempuan:
1. Lebih tertarik pada warna dan bentuk, bukan pada hal teknis dan
kegunaannya
2. Tidak mudah terbujuk arus bujukan penjual
3. Menyenangi hal-hal yang romantis daripada obyektif
4. Senang melakukan kegiatan berbelanja walau hanya window shopping
(melihat-lihat saja tapi tidak membeli).
Meskipun ada perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan namun tidak
hanya perempuan yang lebih sering berbelanja, laki-laki pun suka berbelanja
membeli barang-barang yang menurutnya bagus dan menarik. Akan tetapi
menurut Widiastuti (Konsumerisme Vs konsumtivisme martabat perempuan
sebagai konsumen, 2003) mengatakan bahwa perempuan lebih suka
sepenuhnya sesuai dengan berbelanja pada remaja pemmpuan dan laki-laki.
Setiap manusia pasti pernah melakukan kegiatan berbelanja baik laki-laki
maupun perempuan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh pakar Psikologi
lndustri Aslamawati maupun ahli ekonorni Sucherly (Gila belanja yang bikin
sengsara, 2006) dan Juanita (Laki-laki pun senang berbelanja, 2003), yang
mengatakan bahwa bukan hanya perempuan yang memiliki hobi berbelanja.
Banyak juga laki-laki yang hobi berbelanja, seperti membeli elektronik, baju,
celana, topi, dan lain-lain. Karena para produsen bukan hanya menciptakan
barang untuk kaum hawa saja, mereka sangat pandai menciptakan hal-hal
yang dibutuhkan atau dinginkan oleh setiap orang bukan hanya untuk
perempuan akan tetapi juga untuk laki-laki. Sekarangpun seperti yang telah
diketahui begitu banyak toko-toko yang menjual berbagai macam jenis
barang yang bagus-bagus dan begitu menarik sehingga mampu membuat
orang tertarik untuk membeli barang tersebut walaupun
barang-barang yang akan dibeli sudah dimiliki di rumah.
Berbicara tentang berbelanja adalah suatu fenomena yang tak akan pernah
habis untuk dibahas, karena berbelanja sudah menjadi suatu kebutuhan
untuk semua orang dan bisa menghilangkan stres yang ada. Dari fenomena
saat ini dimana sudah banyak mal-mal yang bediri kokoh di Jakarta dan telah
menjadi tempat rekreasi masyarakat yang ada di ibu kota, baik anak-anak,
pergi ke pusat perbelanjaan untuk menghilangkan stres yang ada. Produsen
pun makin banyak yang menciptakan barang-barang yang bagus dan
menarik namun tetap dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik.
Penelitian tentang perbedaan belanja impulsif antara rernaja perempuan dan
laki-laki pernah dilaksanakan oleh Handayani (2001). Hasilnya menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan belanja impulsif antara perernpuan dan laki-laki
pada mahasiswa Atmajaya. Yang mana bahwa Universitas Atmajaya berada
di tengah-tengah kola Jakarta terdapat mall-mall yang berada tak jauh dari
kampus mereka, sehingga membuat mereka selalu ingin pergi ke mall
setelah pulang kuliah atau ketika jenuh dengan aktivitas kuliah. Kemudian
penelitian selanjutnya penulis lakukan di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang beragam karakteristik mahasiswanya dengan
landasan agama. Dimana Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selalu
menjunjung tinggi ajaran Islam, menanamkan sikap akhlak mulia dalam
kehidupan mahasiswanya, serta memberikan landasan dan arahan kepada
mahasiswa dalam bersikap, berkata, dan bertingkah laku. Hal ini karena
mereka diajarkan untuk menjadi pribadi yang bersahaja dan tidak
berlebih-lebihan dalam segala hal.
Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan pada bulan Oktober 2007
Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diperoleh data tentang
kegiatan berbelanja yang sering dilakukan oleh mereka. Ada yang seminggu
sekali, sebulan sekali, sampai yang kalau ada uang dan waktu saja. Jenis
barang-barang yarig sering dibeli oleh mereka juga bermacam-macam,
seperti; baju, celana, sweater, aksesoris, minyak wangi, sepatu, buku, tas,
CD, MP3, kerudung untuk perempuan, topi untuk laki-laki, dan barang-barang
yang lainnya. Dari hasil penilitian pendahuluan tersebut terlihat bahwa
mahasiswa-mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga suka melakukan
kegiatan berbelanja namun tidak terlalu sering dan hanya pada waktu-waktu
tertentu saja dan apabila sedang punya uang. Walaupun tidak menutup
kemungkinan mereka juga suka pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli
sesuatu atau hanya sekedar jalan-jalan saja.
Dari fenomena tersebut di atas peneliti ingin mengetahui apakah memang
ada perbedaan belanja secara impulsif antara remaja perempuan dan
laki-laki pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Psikologi, yang mana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta kental dengan landasan
agamanya dan selalu menanamkan akhlakul karimah dalam perkataan dan
1.2 ldentifikasi Masalah
Berdasarkan fenomena dan latar belakang yang telah diungkapkan di atas,
maka peneliti mengidentifikasikan beberapa masalah tersebut sebagai
berikut:
1. Apakah ada perbedaan belanja impulsif antara remaja perempuan dan
laki-laki?
2. Bagaimana aspek situasional yang menimbulkan atau memicu belanja
impulsif?
3. Apakah dampak yang dirasakan setelah belanja impulsif?
4. Apa manfaat dari belanja impulsif?
1.3 Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.3.1 Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah penelitian ini, maka peneliti berusaha memberikan
batasan masalah dalam penelitian ini, yaitu perbedaan belanja impulsif
antara remaja perempuan dan laki-laki yang berusia 17 sampai 21 tahun
pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
1.3.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
Apakah ada perbedaan yang signifikan belanja impulsif antara remaja
perempuan dan laki-laki?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau melihat ada atau tidak
perbedaan belanja impulsif antara remaja perempuan dan laki-laki.
2. Memberikan sumbangan pada aspek mana yang paling tinggi antara
perempuan laki-laki saat melakukan berbelanja.
1.4.2 Manfaat Penelitian
1. Manfaat T eoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah kelimuan bagi
Fakultas Psikologi berupa gambaran tentang perbedaan belanja impulsif
antara remaja perempuan dan laki-laki. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang Psikologi lndustri dan
2. Manfaat Praktis
o Menambah literatur mengenai remaja Indonesia dan sebagai bahan
acuan untuk memahami perilaku belanja impulsif pada remaja yang
diharapkan akan bermanfaat untuk mengurangi dampak buruknya bagi
remaja di Indonesia.
o Sebagai bahan acuan bagi orang tua dan pendidik untuk lebih
memperhatikan pola konsumsi remaja, agar terhindar dari efek negatif
dari belanja impulsif.
o Sebagai acuan agar membeli sesuatu dengan memakai akal rasional
dan tidak hanya membeli yang diwarnai dengan emosi saja, sehingga
pada nantinya tidak akan ada barang yang tidak terpakai.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam membahas masalah yang diteliti, penulis
membagi pembahasannya ke dalam lima bab dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab 1 Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
memicu belanja impulsif, dampak dari belanja impulsif perilaku belanja
impulsif, definisi jender, faktor-faktor yang mempengaruhi jender, perbedaan
karakteristik antara laki-laki dan perempuan, defisni seks Qenis kelamin),
definisi remaja, pembagian tahapan masa remaja, remaja sebagai
konsumen, remaja dan perilaku belanja impulsif, perilaku belanja impulsif
dalam pandangan Islam, kerangka berpikir.
Bab 3 Metodologi Penelitian yang mencakup pendekatan dan metode
penelitian, pengambilan sampel, teknik pengambilan sampel, pengumpulan
data, dan prosedur penelitian.
Bab 4 Presentasi dan Analisis Data, yang membahas tentang perbedaan
belanja impulsif antara remaja perempuan dan laki-laki.
Bab ini terdiri dari empat sub bab. Yang pertama berisi tentang:
Kecenderungan Belanja lmpulsif, yang kedua tentang Definisi Jender,
kemudian yang ketiga tentang Definisi Seks (Jenis Kelamin), yang ke empat
tentang Remaja, dan ke lima tentang Perilaku Belanja lmpulsif Dalam
Pandangan Islam, dan yang terakhir tentang Kerangka Berpikir.
2.1 Belanja lmpulsif
2.1.1 Definisi Belanja lmpulsif
Sedangkan belanja impulsif menurut Rook (dalam Engel, Blackwell, &
Miniard, 1995) adalah perilaku belanja tanpa perencanaan yang matang
terlebih dahulu, terdapat dorongan yang kuat untuk membeli muncul secara
tiba-tiba dan seringkali sulit untuk ditahan. Konsumen ウセZZ。イ。@ spontan terpicu
ketika berhadapan dengan produk, serta diiringi perasaan menyenangkan
dan penuh gairah.
Menurut Rook (dalam Engel, Blackwell, & Miniard, 1995), belanja impulsif
memiliki satu atau lebih karakteristik, yaitu:
• Spontanitas. Belanja ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen
untuk membeli sekarang, sering sebagai respon terhadap stimulus visual
yang langsung di tempat penjualan.
• Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk
mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.
" Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering
disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai "menggairahkan,"
"menggetarkan," atau "liar."
.. Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi
begitu sulit untuk ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.
Menurut Fitri (2006), belanja impulsif adalah gaya belanja spontan, tanpa
perencanaan, merupakan pemicu timbulnya belanja impulsif. Apabila tidak
dikontrol , belanja impulsif dapat menjadi habit atau kebiasaan yang tidak
sehat. Belanja impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai belanja tanpa
perencanaan, diwamai dorongan kuat untuk membeli yang muncul secara
tiba-tibadan seringkali sulit ditahan. Hal itu diiringi oleh pnrasaan
menyenangkan serta penuh gairah.
Jadi dengan kata lain, belanja impulsif adalah perilaku yang tidak dilakukan
motif yang tidak disadari, disertai perasaan menyenangkan serta penuh
gairah. Dua karakteristik dari belanja impulsif, yaitu tidak direncanakan dan
adanya hasrat serta gairah yang mengiringi, membedakannyadari jenis
perilaku belanja "tanpa pikir'' lainnya. Bc!anja impulsif akan berbeda dengan
belanja karena kebiasaan atau belanja karena terdesak oleh keterbatasan
waktu.
Belanja impulsif dianggap sebagai perilaku belanja yang "irasional", karena
meskipun menyadari sebelumnya akan adanya kemungkinan merasakan
penyesalan dikemudian hari tetapi orang tetap berbelanja. Karena itu,
perilaku belanja impulsif diasosiasikan dengan kecendemngan mengabaikan
dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi dan yang dapat mengakibatkan
penyesalan, misalnya berkaitan dengan uang yang sudah terlanjurdibeli atau
kualitas produk yang dibeli.
2.1.2 Elemen-elemen Belanja lmpulsif
Menurut Loudon & Della Bitta (1993), ada lima elemen penting yang
membedakan .tingkah .laku impulsif dan tidak impulsif. Elemen-elernen
tersebut:
1. Konsumen merasakan adanya suatu dorongan yang tiba-tiba dan spontan
untuk melakukan suatu tindakan yang berbedadengan tingkah laku yang
2. Dorongan tiba-tiba untuk melakukan suatu kegiatan belanja
menempatkan konsumen dalam keadaan disekuilibrium secara psikologis,
dimana untuk sementara waktu ia merasa kehilangan kendali.
3. Konsumen akan mengalami konflik psikologis dan berusaha menimbang
pemuasan kebutuhan langsung dan konsekuensi jangka panjang dari
belanja.
4. Konsumen akan mengurangi evaluasi kognitif dari produk.
5. Konsumen seringkali belanja secara impulsif tanpa memperhatikan
konsekuensi akan datang.
2.1.3 Tipe Pembelanja lmpulsif
Menurut Loudon & Della Bitta (1993), ada empat tipe pembelanja impulsif,
yaitu:
1. Pure impulse. Pada tipe belanja impulsif ini, shopper tidak mengikuti pola
pembelian yang biasa ia lakukan (membeli tanpa melakukan
perlimbangan ).
2. Suggestion impulse. Pada tipe belanja jenis ini, shoppertidak mengetahui
mengenai suatu produk tetapi merasa memerlukannya ketika pertama kali
melihat produk tersebut.
3. Reminder impulse. Pada tipe belanja jenis ini, shoppermelihat suatu
4. Planned impulse. Pada tipe belanja impulsif ini, shoppermemasuki toko
derigan harapan dan intensi untuk melakukan transaksi pembelanjaan
berdasarkan harga khusus, kupon, dan kesukaan.
Menu rut Fitri (2006), terdapat empat jenis pembelanja impulsif.
Pertama, tipe kompensatif. Orang yang termasuk dalam tipe ini biasanya
berbelanja tanpa pikir panjang hanya karena-ingin meningkatkan hargadiri.
Bagi mereka berbelanja merupakan sarana untuk melarikan diri dari berbagai
masalah yang dihadapi, seperti masalah pekerjaan, rumah tangga, atau
keluarga, Sering kali barang-barang yang dibeli tidak dibiutuhkan, sehingga
tidak dipakai dan tersimpan rapi dalam lemari.
Kedua, tipe akseleratif. Orang yang termasuk dalam tipe ini sering kali
tergoda berbelanja pada saat banyak penawaran sale di pusat-pusat
perbelanjaan. Mereka akan .membeli barang.barang .tersebut, meskipun
tidak membutuhkannya saat membeli. Barang-barang yang dibeli murah
tersebut dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan di masa depan.
Ketiga, tipe terobosan. Orang yang termasuk dalam tipe ini akan membeli
barang-barang mahal tanpa ada perencanaan yang matang. Ketika
berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dan .melihat ada-pameran-mobil atau
rurnah atau rnobil baru tersebut. Bagi rnereka rnernbeli barang-barang mahal
tersebut rnenjadi larnbang dirnulainya babak baru dalarn kehidupannya,
rneskipun sebenarnya hasrat untuk rnernbelinya sudah lama ada.
Keempat, tipe pernbeli buta. Orang yang terrnasuk dalam tipe ini akan
rnernbeli barang tanpa ada pertirnbangan sama sekalL Sulit sekali
rnernahami apa yang melatarbelakangi merekaberbelanjaseperti itu.
2.1.4 Faktor-faktor yang Memicu Belanja lmpulsif
Verplanken & Herabadi (2001 ), rnengemukakan beberapa faktor yang dapat
memicu terjadinya-perilaku belanja impulsif.
1. Vanabel Situasional
a. lingkungan toko
Beberapa.variabel yang ada di lingkungan toko antara.lain adalah
penarnpilan fisik produk, cara menampilkannya, atau adanya
tambahan seperti bau yang wangi, warna yang inclah, atau musik yang
menyenangkan. lsyarat-isyarat yang bermuatan afek ini dapat menarik
perhatian, menimbulkan rnotivasi untuk membeli, atau menyebabkan
munculnya suasana hati yang postif, dan merupakan hal yang sangat
penting selamaberlangsungnya.in-.store.browsing dapat
membeli, di mana keduanya merupakan karakteristik dari belanja
impulsif.
b. Ketersediaan waktu dan uang
\'ariabel situasional lain yang juga mempengaruhi belanja impulsif
adalah tersedianya waktu dan uang, baik benar-benar tersedia
(benar-benarmemiliki waktu dan uang}, maupun hanyaperasaannya saja
(hanya "merasa memiliki waktu dan uang).
2. Variabel person-related
Belanja impulsif yang mungkin berada dalam batas-batas yang
berhubungan dengan manusia. Sebagai contoh menurut Wood (dalam
Verplanken & Herabadi,
2001)
menemukan hubungan antara belanjaimpulsif dengan latar belakang pendidikan. Rook dan Gardner (dalam
Verplanken & Herabadi,
2001)
mengemukakan bahwasuasanahatitertentu (misalnya kornbinasi dari kesenangan, kef1airahan dan
kekuasaan) mungkin menimbulkan belanja impulsif. Konsumen mungkin
juga.melakukan belanja-impulsif sebagai .cara-untuk rnenghilangkan
depressed mood.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa berbagai motivasi yang
temporer dapat menimbulkan belanja impulsif, seperti menginginkan
Motivasi-motivasi tersebut mungkin ditimbulkan oleh kejadian penting
dalam hidup seseorang baik yang positif maupun yan\J negatif (misalnya
lulus atau gaga! dalam ujian). Motivasi yang lebih terstruktur dapat juga
mendorong timbulnya belanja impulsif. Dittmar (dalam Verplanken &
Herabadi, 2001) mengemukakan bahwa belanja impulsif mungkin
mengekspresikan simbol identitas diri. Pendekatan identitas ini mungkin
menjelaskan perbedaan kelompok (misalnya jender) maupun individual
dalam mempengaruhi jenis barang-barang yang dibeli secara impulsif.
3. Variabel Normatif
Belanja impulsif mungkin berada dalam batas-batas normatif. Rook dan
Fisher (dalam Verplanken & Herabadi, 2001} menemukan bahwa belanja
impulsif hanya muncul di saat individu percaya bahwa tindakan itu pantas
dilakukan. Dan tampaknya, perbedaan kelompok jender sangat mungkin
mempengaruhi perilaku belanja pada umumnya; belanja impulsif pada
khususnya.
Menurut Loudon & Della Bitta (1993), terdapat faktor-faktor lain yang
mempengaruhi belanja impulsif. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah
karakteristik produk dan marketing. Karakteristik produk irang mempengaruhf
belanja impulsif adalah:
2) Adanya sedikit kebutuhan terhadap produk tersebut
3) Siklus kehidupan produknya pendek
4} Ukurannya kecil atau ringan
5) Mudah di simpan
Pada faktor marketing, hal-hal yang mempengaruhi belanja impulsif adalah:
1) Adanya distribusi massal untuk self-service outlet
2) lklan yang besar, serta
3) Posisi display dan lokasi yang menonjol turut mempengaruhi belanja
impulsif.
2.1.5 Dampak dari Perilaku Belanja lmpulsif
Menurut Fitri (2006), dampak yang ditimbulkan dari perilaku belanja impulsif,
yaitu:
• Kebiasaan berbelanja impulsif dapat menyebabkan timbulnya rasa
bersalah. Perasaan itu akan timbul begitu mereka sampai di rumah dan
melihat barang-barang yang telah dibeli, atau kettka mereka-memeriksa
lemari dan menyadari banyak baju, sepatu, tas, dan barang lain yang
tidak pernah dipakai. Meskipun demikian, mereka akan membuang jauh
perasaan tersebut dengan mencoba mencari alasan rasional yang
Ketika berada dalam situasi yang mendorong untuk bEirbelanja secara
impulsif lagi, terjadi pertentangan internal dalam diri mereka.
Pertentangan tersebut terjadi antara "keharusan" (ought to be) dim
"hasrat" (desire). Di satu sisi mereka menyadari untuk berbelanja barang-barang yang dibutuhkan saja, tetapi disisi lain ada dorongan
kuat dalam diri mereka untuk berbelanja tanpa ュ・ューeセ、オャゥォ。ョ@ butuh atau
tidak.
• Berbelanja secara impulsif tentu juga akan menimbulkan masalah
keuangan. Membeli suatu barang tanpa perencanaan akan
mengakibatkan membengkaknya anggaran atau pengeluaran. Jika
memiliki simpanan uang berlebih tentu tidak jadi masalah. Akan tetapi
tetap saja hal tersebut akan menjadi masalah apabila tagihan kartu kredit
membengkak karena kebiasaan berbelanja yang berlebihan.
• Ketika melihat kualitas barang yang dibeli tidak bagus, maka akan
membuat suatu perasaan menyesal. Sehingga barang yang telah dibeli
Kata jender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa lnggris. Kalau
dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan
gender. Karena jender diartikan jenis kelamin, sama seperti halnya seks
Uenis kelamin). Makanya para aktifis perempuan seringkali menyebutkan
bahwa jender adalah jenis kelamin sosial, untuk membedakan pemahaman
tentang seks I jenis kelamin (Fakih, 2008).
Untuk membedakan konsep jender, maka harus membedakan kata jender
dan seks I jenis kelamin. Jender adalah pembedaan peran, status,
pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah masyarakat berdasarkan jenis
kelamin. Fakih (2008), menyebutkan bahwa jender adalah suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial dan kultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal lemah lembut,
cantik, emosional atau keibuan, identik dengan wama lembut-pink.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, pemimpin
dan identik dengan warna biru. Pembedaan ini bukan harga mati, sangat bisa
dipertukarkan satu dengan yang lain, hanya saja karenai pembedaan ini
sudah di konstruksi secara sosial dan budaya sehingga melekat dan menjadi
rumah tangga seperti memasak, menjahit, membersihkan rumah, mencuci
pakaian sering dianggap pekerjaan perempuan. Sementara pekerjaan
laki-laki seperti memperbaiki rumah, ikut dalam rapat-rapat atau pertemuan
bahkan urusan politik seringkali menjadi urusan lc>ki-laki. Ciri dari sifat-sifat itu
dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain dan
berbeda dari zaman ke zaman. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara
sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta
berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari tempat ke
tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain itulah
yang dinamakan jender (Fakih, 2008).
Sedangkan seks atau jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu, tidak dapat dipertukarkan dan metupakan kodrat,
pemberian dari Tuhan. Misalnya, laki-laki memiliki penis, memiliki jakala dan
memproduksi sperma. Dan perempuan memiliki vagina, haid, memproduksi
telur I ovum, memiliki potensi; melahirkan dan menyusui. Alat-alat tersebut
secara biologis tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yag dimiliki oleh
perempuan ditukarkan kepada laki-laki demikian pula sebaliknya (Fakih,
mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial
budaya, maka seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
lstilah seks (dalam kamus bahasa Indonesia berarti "jemis kelamin") lebih
banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan
karakteristik biologis lainnya. Sedangkan jender lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, budaya, pikologis, dan aspek-aspek non biologis
lainnya.
Studi jender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau
feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi seks yang lebih
menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh
laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak
(child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang
perempuan (being a women), lebih banyak digunakan istilah jender dari pada
istilah seks. lstilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada
persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities),
Menurut Pengurus Besar PGRI, (2006), perbedaan seks dan jender adalah
sebagai berikut:
Seks Qenis kelamin):
• Ciptaan Tuhan
• Bersifat kodrati
• Tidak dapat berubah
• Tidak dapat ditukar
• Berlaku sepanjang zaman dan dimana saja
Jender:
• " Buatan " manusia
• Tidak bersifat kodrat
• Dapat berubah
• Dapat ditukar
• Tergantung waktu dan budaya setempat
Menurut Pengurus Besar PGRI, (2006), sifat, fungsi, ruang dan peran jender
dalam masyarakat
Laki-laki Perempuan
Sifat Maskulin Feminin
Fungsi Produksi Reproduksi
Ruang lingkup Pabrik Domestik
2.2.3 Perbedaan Karakteristik antara Laki-laki dengan Perempuan
Menurut (Santrock, 2004) perbedaan antara laki-laki dengan perempuan
ditinjau dari faktor fisik, kognitif dan sosioemosional, sebagai berikut:
a. Perbedaan fisik atau biologis
Horman estrogen pada perempuan memperkuat sistem kekebalan tubuh,
membuat perempuan lebih kebal terhadap infeksi. Perempuan juga lebih
jarang mengembangkan penyakit mental atau fisik dibandingkan dengan
laki-laki (Santrock, 2004 ). Bahkan sebelum dilahirkan, laki-laki lebih aktif
secara fisik dibandingkan dengan perempuan (DiPiatro et al., dalam
Shaffer, 2000). Hal ini terus berlangsung selama masa kanak-kanak,
terutama ketika berinteraksi dengan teman sebayanya (Eaton & Enns;
Eaton & Yu dalam Shaffer, 2000).
b. Perbedaan kognitif
Menurut penelitian mengenai perbedaan jender yang dilakukan oleh
Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin pada tahun 1974 (dalam Santrock,
2004), laki-laki memiliki kemampuan matematika dan kemampuan visual I
spatial (kemampuan yang dibutuhkan seorang arsitek untuk merancang
sebuah dimensi dan sudut pandang dari sebuah bangunan) yang lebih
baik, sedangkan perempuan memiliki kemampuan verbal yang lebih baik.
Namun, beberapa ahli dalam bidang jender seperti Janet Shibley Hyde
laki-laki dan perempuan terlalu berlebihan. Sebagai contoh, Hyde
berargumen bahwa terjadi overlap dalam penyebaran skor matematika
antara laki-laki dan perempuan, sehingga hal ini bera1ti bahwa walaupun
perbedaan rata-rata skor laki-laki lebih tinggi, namun banyak perempuan
mencapai skor lebih tinggi dalam kemampuan matematika dibandingkan
dengan laki-laki.
c. Perbedaan Sosioemosional
-Y Dalam berhubungan dengan orang lain.
Tanen, begitu juga dengan Gilligan (dalam Santrock, 2004)
mempercayai bahwa perempuan lebih relationship oriented
dibandingkan dengan laki-laki, dan bahwa hal ini sangat dihargai
dalam kebudayaan kita.
Y Kemampuan Mengontrol Emosi
Laki-laki biasanya menunjukkan self regulation yang lebih rendah
dibandingkan perenipuan (Eisenberg; Martin & Fabes dalam Santrock,
2004), kontrol diri yang rendah ini dapat mengakibatkan masalah
perilaku.
:;... Emotional expressivitylsensitivity
Dalam beberapa hal, perempuan nampak lebih emotionally expressive
dibandingkan laki-laki. Anak-anak perempuan usia 2 tahun sudah
dibandingkan anak-anak laki-laki (Cervantes & Callanan dalam
Shaffer, 2000). Para orangtua dari anak-anak pre-school berbicara
lebih banyak pada putri dibandingkan dengan putra mereka mengenai
emosi dan memorable emotional events (Kuebli, Butler, & Fivush;
Reese & Fivush dalam Shaffer, 2000). Tentu saja, dukungan sosial ini
sebagai refleksi perasaan mereka mungkin dapat membantu
menjelaskan mengapa perempuan mengkarakterisasikan emosi
mereka dengan lebih dalam atau lebih intens dan merasa lebih bebas
untuk mengekspresikannya dibandingkan dengan laki-laki (Diener,
Sandvik, & Larson; Fuchs & Thelen; Saarni dalam Shaffer, 2000).
セ@ lntegrasi Emosi
Gunarsa (1997), mengemukakan bahwa kepribadian seorang
perempuan merupakan suatu kesatuan yang tetintegrasikan antara
aspek-aspek emosionalitas, rasio dan suasana hati. Biasanya,
kesatuan ini pada perempuan bersifat kuat dan menyebabkan logika
berpikirnya dikuasai oleh kesatuan tersebut. Dengan demikian
perempuan seolah-olah berpikir dengan mengikutsertakan perasaan
dan suasana hatinya. Apabila kesedihan sedang rneliputi dirinya,
maka pikirannya terhambat oleh kegelapan suasana hati dan sulit
memperoleh penyelesaian persoalan. Pikiran, perasaan dan
kemampuan yang erat berhubungan satu sama lain menyebabkan
pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio dan
emosionalitas. Jalan pikirannya tidak dikuasai oleh emosi, perasaan
maupun suasana hati. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada
pekerjaan dengan kecenderungan mementingkan keseluruhan dan
kurang memperhatikan hal yang kecil.
:>-
Standar Peran JenderAnak perempuan telah didorong untuk mengambil peran ekspresif
(expressive role) yang mana di dalamnya melibatkan sifat ramah, baik,
kooperatif, dan peka terhadap kebutuhan orang lain (Parsons dalam
Shaffer, 2000). Trait psikologis ini diasumsikan akan mempersiapkan
anak-anak perempuan untuk memegang peran ibu dan istri, untuk
menjaga dan merawat keluarga dan untuk berhasil membesarkan
anak dengan baik. Sebaliknya, anak laki-laki didorong untuk memiliki
peran instrumental (instrumental role), yang mana sebagai suami dan
ayah tradisional, seorang laki-laki akan menghadapi tugas untuk
menafkahi keluarga dan melindunginya dari segala bahaya. Oleh
karenanya, anak laki-laki diharapkan menjadi dorninan, asertif,
independen, dan kompetitif. Norma dan peran jender seperti ini telah
ditemukan di banyak masyarakat (Williams & Best dalam Shaffer,
2.2.4 Peran Jenis Kelamin
Di usia tiga tahun anak mulai mengenal apa yang disebut dengan peran jenis
kelamin (gender role), yaitu kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan
laki-laki dan perempuan. Dasar dari pengetahuan peran jenis ini adalah
pengenalan identitas kelamin. Kesadaran ini juga yang kelak akan membuat
anak menentukan hidupnya dan memilih pekerjaan. Lalu, bagaimana anak
mengenal peran jenis kelaminnya (Sholihah, 2006).
Biasanya ada dua cara. Pertama, belajar dari orangtua (sebagai figur yang
paling dekat) dan teman-teman sejenisnya. Anak laki-laki meniru tingkah laku
ayah atau figur penggantinya seperti kakek atau paman. Dalam psikologi,
perkembangan ini disebut imitasi. Mereka juga belajar tentang peran jenis
dengan meniru tindakan atau apa yang dilakukan oleh sesama anak laki-laki
(Sholihah, 2006).
Kedua, anak belajar peran jenis dari lawan jenisnya. Anak laki-laki tahu
tentang apa yang diharapkan untuk dilakukan anak perempuan dari melihat
tingkah ibunya dan apa yang dilakukan oleh anak perempuan. Dengan
memahami peran dari lawan jenisnya ia jadi tahu peran apa yang diharapkan
masa main robot-robotan?"
Ketika di pertokoan atau di taman bermain, kadang kita menjumpai
anak-anak yang menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka melakukan imitasi.
Misalnya, anak laki-laki menirukan gaya jalan ayahnya secara persis. Anak
perempuan biasanya ingin memakai lipstik dan kutek seperti ibunya
(Sholihah, 2006).
2.2.5 Perbedaan Perilaku Berbelanja antara Laki-laki dan Perempuan
Fakta menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perilaku belanja antara
perempuan dan laki-laki; misalnya: perempuan ternyata membelanjakan
uanghya lebih banyak dari laki-laki pada masa remaja (Taylor dalam
Reynolds & Wells, 1977), sehingga kondisi pasar lebih banyak dirancang
dan ditujukan untuk perempuan. Selain itu, perempuan juga cenderung
lebih mudah dipengaruhi (Lindzey & Amstrong, 1969), sehingga
mendorong perempuan untuk lebih konsumtif dari laki-laki.
Peran jender dari perempuan adalah sebagai "purchasing agent" bagi
keluarga, sehingga kegiatan belanja sebagian besar dilakukan oleh
perempuan karena mereka membeli begitu banyak produk (Engel; Blackwell
& Miniard, 1993). Secara tipikal perempuanlah yang melakukan kegiatan berbelanja (80% atau lebih keputusan konsumsi ditentukan oleh perempuan),
artinya, perempuanlah yang sebenarnya membeli seb<>gian besar barang dan
melakukan "pekerjaan" konsumsi (Lury, 1998). Psikolog lnggris, Johnstone
(dalam Mangkunegara, 1988, dan Tambunan, 2001), mengemukakan
tipe-tipe konsumen sebagaimana diuraikan oleh Faisal Afif (dalam
Mangkunegara, 1988), sebagai berikut:
Karakteristik pembeli laki-laki :
1) Mudah terpengaruh bujukan penjual.
2) Sering tertipu karena tidak sabar untul< memilih terlebih dahulu sebelum
membeli.
3) Punya perasaan kurang enak jika memasuki toko tanpa membeli sesuatu.
4) Kurang begitu berminat untuk berbelanja sehingga sering terburu-buru
mengambil keputusan membeli.
5) Mudah dipengaruhi oleh nasihat yang baik dan argumentasi yang obyektif.
Karakteristik pembeli perempuan :
1) Tidak mud ah terbawa arus bujukan penjual.
2) Lebih banyak tertarik pada warna dan bentuk, bukan pada kegunaannya,
3) Lebih banyak tertarik pada "gejala mode".
4) Mementingkan status sosial, dalam hal ini perempuan jauh lebih peka.
5) Menyenangi hal-hal romantis daripada yang objektif. lni bisa anda
perhatikan pada bunyi reklame yang biasanya berkisar antara
kesejahteraan anak, kebahagiaan rumah tangga, kesehatan suami dan
sebagainya.
6) Mudah meminta pandangan, pendapat ataupun nasihat dari orang lain.
7) Kurang tertarik pada hal-hal teknis dari barang yang akan dibelinya.
8) Senang berbelanja sehingga seringkali sukar untuk cepat menentukan
barang mana yang akan dibelinya.
9) Cepat merasakan suasana toke.
2.3 Remaja
2.3.1 Definisi Remaja
Menurut Santrock (2004: 19), masa depan remaja adalah "sebuah tahap
perkembangan transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa, yang
melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional."
Menurut Sarwono (2002), pada tahun 1972, WHO memberikan pengertian
tentang remaja yang lebih bersifat konseputual. Remaja adalah:
2. lndividu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menuju dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
relatif lebih mandiri.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa dimana telah
terjadi tahap perkembangan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa disertai
perubahan fisik, kognitif, maupun psikososial. Pada masa remaja terjadi
banyak perubahan yang hampir terjadi pada setiap remaja adalah berupa
meningginya emosi, perubahan fisik, perubahan minat, dan pola tingkah laku,
serta sebagian besar remaja bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan.
2.3.2 Pembagian Tahapan Masa Remaja
Pembagian usia pada masa remaja yang biasa digunakan para peneliti ilmu
sosial adalah sebagai berikut (Kagan & Coles; Keniston; Lipsitz dalam
Steinberg, 1996):
o Remaja awal (early adolescence): 11-14 tahun, biasanya berada pada
tingkat SMP. Perubahan yang terjadi pada masa ini :sangat cepat, baik
pertumbuhan fisik maupun kapasitas intelektual. Pacla masa ini tugas
perkembangannya lebih dipengaruhi oleh perubahan fisik dan mental
yang cepat yaitu adaptasi clan penerimaan tubuh yang berubah.
penekanan yang lebih penting dalam hal penampilan personal yang
sering dihubungkan dengan meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis.
Pada tahapan ini, mereka mengalami kebutuhan yang sangat kuat untuk
berhubungan dengan kelompok teman sebaya mereka, untuk diterima
dalam kelompok tersebut dan mendapat dukungan dari teman-teman
sebayanya. Hal ini mengakibatkan remaja berusaha mengekspresikan
dirinya dengan cara mengkonsumsi barang-baranu yang mengikuti tren,
fashionable dan sesuai dengan gaya hidup yang sedang populer pada
saat itu (Baxter, 1988).
Remaja menjadi penting bagi para produsen bukan saja karena mereka
memiliki pengaruh besar pada pembelian rumah tanm1a, tapi juga karena
daya beli mereka yang terpisah. Para remaja membelanjakan lebih dari 95
milyar dolar pada tahun 1992 di Amerika (Peter & Olson, 1996). Beberapa
studi menemukan bahwa yang melakukan sebagian besar pembelian di toko
bahan pangan untuk kebutuhan adalah para remaja. Perkiraannya adalah
bahwa 49-61 % remaja perempuan dan 26-33 % remaja laki-laki yang
biasanya melakukan tugas tersebut. Di samping itu, sekitar.60% remaja ikut
membuat daftar belanjaan di supermarket, dan 40% memilih beberapa merek
Loyalitas terhadap merek juga ditemukan mulai terbentuk di antara para
konsumen remaja. Dalam sebuah survey terhadap perempuan berusia 20-34
tahun, paling sedikit 30% mengatakan bahwa mereka memutuskan merek
mana yang akan dipakai ketika usia remaja dan terus rnenggunakan merek
tersebut hingga saat ini dan 64% mengatakan bahwa mereka mencari merek
tertentu pada saat mereka remaja dulu. Oleh karena itu, alasan terakhir
mengapa pasar remaja ini begitu pentingnya bagi beberapa produk dan jasa
adalah adanya potensi untuk mengembangkan loyalitas merek yang akan
bertahan untuk waktu yang lama.
2.3.4 Remaja dan Perilaku Belanja lmpulsif
Psikolog lnggris, Johnstone (dalam Mangkunegara, 1988), mengemukakan
tipe-tipe konsumen remaja sebagai berikut:
Karakteristik pembeli remaja :
D Mudah terpengaruh oleh rayuan penjual
D Mudah terbujuk iklan, terutama pada kerapian kertas pembungkus
(apalagi jika dihiasi dengan warna-warna yang menarik)
D Tidak berpikir hemat
D Kurang realistis, romantis dan mudah terbujuk (impulsif)
Dari karakteristik konsumen remaja yang telah dikernukakan di atas, remaja
(dalam Herabadi, 2003) yang mengemukakan bahwa individu yang berumur
lebih muda lebih memiliki kecenderungan belanja impulsif yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan individu yang lebih tua. Antara usia 18-39 tahun
belanja impulsif meningkat dan kemudian menurun kernbali setelahnya. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian lain yang mengemukakan bahwa
konsumen di bawah umur 35 tahun lebih cenderung melakukan belanja
impulsif dibandingkan dengan konsumen yang berusia 35 tahun ke atas
(Bellenger; Robertson & Hirschman dalam Herabadi, 2003). Hasil penelitian
ini juga menemukan bahwa dengan bertambahnya usia konsumen, mereka
dapat belajar mengendalikan kecenderungan belanja impulsif mereka,
mengingat individu yang lebih tua memperlihatkan pengendalian yang lebih
besar dalam ekspresi emosional dibandingkan dengan individu yang lebih
muda (Kacan & Lee dalam Herabadi, 2003).
Pada masa remaja, keadaan emosi mereka cukup bergejolak karena
banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari peralihan
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Gunarsa, 1997). Suasana
emosi remaja yang sedang bergejolak tidak menentu ini tentunya merupakan
faktor yang sangat mendukung timbulnya perilaku belanja impulsif karena
mereka belum mampu menggunakan rasio mereka secara maksimal dalam
mempertimbangkan sesuatu, melainkan sangat dipengaruhi oleh kondisi
2.4 Teori Perilaku Konsumsi Dalam Perspektif Islam
a. Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam mer.entukan pilihan
konsumsi
Diasumsikan bahwa konsumen menyadari nilai-nilai Islam dan perilakur;ya
dilandasi oleh nilai-nilai tersebut. Sebelum sampai pada ruang pilihan
komoditas, terlebih dahulu dilihat proses seorang konsumen menentukan
pilihan pada ruang komoditas. Fahim Khan (dalam Amalia, 2003),
menjelaskan ada dua ha! yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan
pilihan konsumsi dalam pandangan ekonomi Islam yang tidak terdapat
pada teori perilaku konsumen Kapitalis adalah:
1) Pilihan adalah bagaimana membelanjakan pendapatan untuk
kebutuhan duniawi dan untuk kebutuhan ukhrawi (infaq fi
sabilillah). Konsumen sebenarnya menghadapi dua keranjang,
sebut saja keranjang X dan keranjang Y. Keranjang X adalah
pembelanjaan untuk kebutuhan hidup duniawi dan keranjang Y
adalah untuk kebutuhan ukhrawi. Pentingnya memenuhi kebutuhan
pada keranjang Y sangat ditekankan oleh ayat-ayat al-Qur'an dan
hadis yang mendorong untuk membelanjakan di jalan Allah.
2) Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan pilihan
antara lain adalah kuantitas saat ini dan seberapa banyak saving
untuk konsumsi mendatang. Seperti dijelaskan dalam al-Qur'an
sebagai berikut :
"Dan orang-orang yang apabila membe/anjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah pembelanja itu di tengah-tengah antara yang demikian." (Q.S. 55:67).
b. Konsep Kebutuhan (need)
Kebutuhan (need) merupakan konsep yang lebih bernilai dari sekedar
keinginan (want). Want ditetapkan berdasarkan konsep utiliti, tetapi
need didasarkan atas konsep maslahah. Tujuan syari'ah adalah
mensejahterakan manusia. Karenanya semua barang dan jasa yang
memberikan maslahah disebut kebutuhan manusia. Teori ekonomi
konvensional menggambarkan utiliti sebagai kepemilikan terhadap
barang atau jasa untuk memuaskan keinginan manusia. "Kepuasan"
bersifat subyektif. Setiap orang menentukan kepuasan 「・イ、。ウ。イォセョ@
kriteria mereka sendiri. Sebagain aktivitas ekonomi dilakukan atau
memproduksi sesuatu didorong oleh utilitanya. Jika segala sesuatu
dapat memuaskan keinginannya, manusia akan mau berusaha untuk
memenuhi, memproduksi, mengkonsumsi 「。イ。ョAセM「。イ。ョァ@ tersebut.
1) Konsep Maslahah, menurut Syatibil (Amalia, :2003), maslahah
adalah pemilikan atau kekuatan dari barang atau jasa yang
dunia. Syatibi (Amalia, 2003) telah mendeskripsikan lima
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi eksisnya kehidupan
manusia di dunia, yaitu:
a. Kehidupan (life I al nafs)
b. Kekayaan (property! al ma/)
c. Keimanan (faihtl al-din)
d. Pendidikan/ Kecerdasan (inte/ectua/I al-'aq/)
e. Keturunan (poterityl nas/)
Seluruh barang dan jasa yang akan mempertahankan kelima elemen ini
disebut maslahah bagi manusia. Seluruh kebutuhan tidak sama pentingnya.
Ada tiga tingkatan kebutuhan :
1. Tingkatan di mana kelima elemen di atas mendasar untuk dilindungi
(essential)/ dharuriyat.
2. Tingkatan di mana kelima elemen tersebut adalah pelengkap yang
menguatkan perlindungan mereka (comp/enteries)/ hajjiyat.
3. Tingkatan di mana kelima elemen tersebut merupakan kesenangan
atau keindahan (amelioratories)/ tahsiniyat.
Seluruh barang dan jasa yang mendorong dan berpotensi dalam memelihara
kelima elemen tersebut disebut maslahah. Seorang Muslim didorong oleh
mas/ahah bergantung pada barang dan jasa yang cer.derung
mempertahankan elemen mendasar. Barang atau jasa yang melindungi
elemen-elemen ini akan lebih bermaslahat diikuti oleh barang atau jasa
sebagai pelengkap dan barang-barang yang sekedar memberikan keindahan.
(Syatibi dalam Amalia, 2003).
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya
konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan
demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
Dalam relitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata
tidak sesederhana yang baru saja digambarkan di atas. Sudah tabiat
produsen untuk mengkonversinya menjadi demand. Dengan promosi yang
gencar, sistem pembayaran yang "merangsang" serta hadiah-hadiah yang
ditawarkan, konsumen seakan tidak memilil<i alasan untul< tidal< memilil<i daya
beli. Sistem l<redit misalnya, merupal<an bagian dari upaya produsen dalam
memprovol<asi konsumen agar terus membeli, sampai al<hirnya perilal<u
konsumen mereka menjadi lepas kendali.
Menurut Najib (2003), Islam telah memberikan rambu-rambu berupa
batasan-batasan serta arahan-arahan positif dalam berl<onsumsi. Setidaknya terdapat
Pertama, pembatasan dalam hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti
sensitif terhadap sesuatu yang dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi
produk-produk yang jelas keharamannya hanis dihindari, seperti minum khamr dan
makan daging babi.. Seorang muslim haruslah senantiasa mengkonsumsi
sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat, sehingga jauh dari
kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang
dalam islam (QS. 17 : 27)
Kedua, pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam
melarang umatnya berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang
dikaruniakan Allah SWT kepada mereka. Namun Allah juga tidak
menghendaki umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan
di luar kewajaran (QS. 25: 67, 5: 87). Dalam mengkonsumsi, Islam sangat
menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni sesuai dengan kebutuhan.
Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan "dan janganlah kamu
jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya ... "(QS. 17: 29).
Menurut Najib (2003), terdapat arahan menurut Islam dalam berkonsumsi
Pertama, jangan boros. Seorang muslim dituntut untuk selektif dalam
membelanjakan hartanya. Tidak semua hal yang dianmiap butuh saat ini
harus segera dibeli. Karena sifat dari kebutuhan sesungguhnya dinamis, ia
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar sangat pandai
mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang
sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjacli barang yang seolah
sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral. Dahulu orang tidak terlalu
membutuhkannya. Namun karena perusahaan rajin "memprovokasi" pasar,
kini hampir di setiap rumah kita ada air mineral.
Kedua, seimbangkan pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim
hendaknya mampu menyeimbangkan antara pemasukan dan
pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin tidak berutang. Karena utang,
menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan cli malam hari dan
mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak memiliki daya beli,
kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih, tidak malah memaksakan
diri sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu bertentangan dengan
perilaku prod