• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Erupsi Obat di Satuan Medis Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Tahun 2010 – 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Profil Erupsi Obat di Satuan Medis Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Tahun 2010 – 2013"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL ERUPSI OBAT DI SATUAN MEDIS FUNGSIONAL ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2010 – 2013

TESIS

Oleh

dr. Kristo A Nababan, SpKK NIM: 137041022

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PROFIL ERUPSI OBAT DI SATUAN MEDIS FUNGSIONAL ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2010 – 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik dalam Program Magister Kedokteran Klinik

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

dr. Kristo A Nababan, SpKK NIM: 137041022

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Profil Erupsi Obat di Satuan Medis Fungsional Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik

Tahun 2010 – 2013

Nama : dr.Kristo A Nababan SpKK

Nomor Induk : 137041022

Program Studi : Magister Kedokteran

Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof.Dr.dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi SpKK (K)) (dr. Chairiyah Tanjung SpKK(K)) NIP. 194712241976032001 NIP. 195012111978112001

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. dr. Chairuddin P.Lubis,DTM&H,SpA(K)) (Prof. dr. Gontar A.Siregar SpPD-KGEH) NIP. 19540220198011 1 001

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : dr. Kristo A Nababan, SpKK

NIM : 137041022

(5)

PROFIL ERUPSI OBAT DI SATUAN MEDIS FUNGSIONAL ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2010-2013

Kristo A Nababan

ABSTRAK

, Chairiyah Tanjung, Irma D.Roesyanto

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H.Adam

Malik Medan

Pendahuluan: Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sering memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu

manifestasi tersebut adalah terjadinya erupsi obat atau drug eruption, yaitu reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat

dengan cara sistemik. Kejadian erupsi obat dapat terjadi karena rumah sakit

adalah tempat pasien mendapat pengobatan. Ketersediaan data mengenai erupsi

obat dapat digunakan untuk melakukan langkah pencegahan dan penanganan

pasien yang lebih baik.

Tujuan penelitian: Untuk mengetahui gambaran distribusi erupsi obat di RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode penelitian: Penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif, yaitu menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien erupsi obat periode

2010-2013, sebanyak 144 data rekam medis.

Hasil: Penderita erupsi obat paling banyak berada pada usia 21-30 tahun yaitu 32 orang (22,2%), berjenis kelamin laki-laki yaitu 73 orang (50,7%), dan gambaran

klinis terbanyak adalah dermatitis exfoliativa yaitu 36 kasus (25,02%).

Kesimpulan: Profil erupsi obat di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan periode 2010-2013 paling banyak berjenis kelamin

laki-laki dan usia terbanyak 21-30 tahun dengan gambaran klinis terbanyak dermatitis

exfoliativa.

(6)

THE PROFILE OF DRUG ERUPTION PATIENTS IN THE FUNCTIONAL MEDICAL UNIT OF SKIN AND VENEREAL HEALTH SCIENCE OF H. ADAM MALIK,

MEDAN

IN THE PERIOD 2010-2013

Kristo A Nababan, Chairiyah Tanjung, Irma D.Roesyanto

Department of Skin and Venereal Disease Science

Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara/

RSUP H. Adam Malik, Medan

ABSTRACT

Background: Skin is one of body organs which easily give a clinical manifestation when there is the disturbance in the body. One of the manifestations

is drug eruption, a reaction on skin or on mucocutaneous area which occurs as the

effect of taking medicines systemically. The incidence of drug eruption occurs

because a hospital is the place for patients to get medicines. The availability of

data about drug eruption can be used to take measures in better prevention and

handling the patients.

Objective of the Research - The objective of the research was to find out the description of the distribution of drug eruption in RSUP H.Adam Malik, Medan.

Method of the Research - The research is decriptive retrospective by using secondary data from medical records of 144 patients affected by drug eruption in

the period of 2010-2013, taken by using total sampling technique.

Result of the Research - The result of the research showed that 32 drug eruption patients were from 21 to 30 years old (22.2%), 73 of them (50.7%) were males,

and the majority of clinical descriptions were about eksfoliativa dermatitis which

affected 36 cases (25.02%).

Conclusion: - The profile of drug eruption in SMF of Skin and Venereal Health Science of RSUP H.Adam Malik, Medan in the period of 2010-2013 showed that

there were more males who were 21 to 30 years old with the clinical description

of exfoliative dermatitis in majority.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah ini

disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di

program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara.

Selama penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah ini penulis menyadari

bahwa karya tulis ilmiah ini masih sangat sederhana dan masih banyak

kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan

tanggapan dari berbagai pihak guna memperbaiki kesalahan dan kekurangan

tersebut pada masa yang akan datang.

Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis

menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya

kepada:

1. Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK(K), sebagai Ketua

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara dan selaku pembimbing utama tesis ini dan

juga sebagai guru besar yang telah memberikan kesempatan kepada saya

untuk mengikuti pendidikan magister dibidang Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta banyak

membantu dan senantiasa memberikan dorongan kepada saya selama

menjalani pendidikan.

2. dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K), selaku dosen pembimbing kedua yang

telah banyak membantu dan memberikan saran-saran selama penulisan

sehingga tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Syahril Pasaribu

SpA(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk

(8)

4. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr.

Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan

kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Dokter

Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Ketua

Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara

6. dr. Salia Lakswinar, SpKK, dr. Kristina Nadeak, SpKK, dr. Ramona

Dumasari Lubis, M.Ked(KK). SpKK sebagai anggota tim penguji, yang

telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

7. Bapak Direktur RSUP H.Adam Malik yang telah memberikan kesempatan

dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.

8. Seluruh pegawai dan perawat rumah sakit umum pusat Adam Malik

Medan dan PPDS di Dept. IKKK terutama dalam divisi IKKK yaitu: dr.

Letvi Mona, dr. Radha Latifah Hanum, dr. Dina Rizki Utami Hasibuan

yang telah membantu saya dalam proses pengumpulan data penelitian ini.

9. dr. Djohan, SpKK, dr. Riyadh Ikhsan, SpKK, dr. Riana M.Sinaga, SpKK

merupakan teman satu angkatan dalam pendidikan ini yang banyak

membantu dalam perkuliahan maupun penyelesaian tesis ini.

10. Seluruh rekan staf di Dept.IKKK yang telah membantu memberikan saran

dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

11. Orang tua tercinta, bapak (Alm) A. Nababan dan ibunda R. Simatupang

yang telah memberi contoh untuk hidup saling mendukung dan yang tetap

menyayangi saya.

12. Istri saya dr. Donna E Sianturi dan anak-anak kami: Benny Roland

Nababan, Freddy Michael H Nababan, Jonathan Gilbert Nababan yang

memberi dukungan dan semangat dalam hidup ini dan memberi dorongan

(9)

Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada

penulis selama ini oleh pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu,

penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa

memberikan imbalan pahala yang sebesar-besarnya.

Akhir kata dari penulis, semoga karya tulis ilmiah ini memiliki manfaat

dan nilai bagi kita semua dan dimasa yang akan datang kiranya dapat menjadi

rujukan untuk penulisan yang lebih baik lagi.

Medan, Agustus 2014

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Khusus... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1. Bagi Pelayanan Masyarakat ... 3

1.4.2. Bagi Pengembangan Penelitian ... 3

1.4.3. Bagi Akademik dan Ilmiah ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Erupsi Obat ... 4

2.1.1. Definisi Erupsi Obat ... 4

2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat ... 4

2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat ... 5

2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat ... 6

2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat ... 9

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat ... 13

2.1.7. Diagnosis Erupsi Obat ... 14

2.1.8. Penatalaksanaan Erupsi Obat ... 15

2.1.9. Prognosis Erupsi Obat ... 16

2.2. Obat yang Sering Menyebabkan Erupsi Obat ... 16

2.3. Kerangka Teori... 18

2.4. Kerangka Konsep... 18

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 19

3.1. Jenis Penelitian ... 19

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 19

3.3.1. Populasi ... 19

3.3.2. Sampel ... 19

3.4. Kriteria Inklusi dan Inklusi ... 20

3.4.1. Kriteria Inklusi ... 20

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 20

3.5. Bahan dan Cara Kerja... 20

(11)

3.5.2. Cara Kerja ... 20

3.6. Kerangka Operasional... .. 21

3.7. Definisi Operasional... ... 21

3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 23

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1 Deskripsi Responden berdasarkan usia dan jenis kelamin ... 24

4.2 Pembahasan ... 30

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan ... 33

5.2 Saran ... 33

(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

(13)

DAFTAR SINGKATAN

ASHP : American Society of Health-System Pharmacists

CIMS : Council for International Organizations of Medical Sciences

HSA :Health Sciences Authority

SPSS : Statistical Product and Service Solutions

SMF :Satuan Medis Fungsional

EO : Erupsi obat

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Judul Halaman

(15)

PROFIL ERUPSI OBAT DI SATUAN MEDIS FUNGSIONAL ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2010-2013

Kristo A Nababan

ABSTRAK

, Chairiyah Tanjung, Irma D.Roesyanto

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H.Adam

Malik Medan

Pendahuluan: Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sering memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu

manifestasi tersebut adalah terjadinya erupsi obat atau drug eruption, yaitu reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat

dengan cara sistemik. Kejadian erupsi obat dapat terjadi karena rumah sakit

adalah tempat pasien mendapat pengobatan. Ketersediaan data mengenai erupsi

obat dapat digunakan untuk melakukan langkah pencegahan dan penanganan

pasien yang lebih baik.

Tujuan penelitian: Untuk mengetahui gambaran distribusi erupsi obat di RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode penelitian: Penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif, yaitu menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien erupsi obat periode

2010-2013, sebanyak 144 data rekam medis.

Hasil: Penderita erupsi obat paling banyak berada pada usia 21-30 tahun yaitu 32 orang (22,2%), berjenis kelamin laki-laki yaitu 73 orang (50,7%), dan gambaran

klinis terbanyak adalah dermatitis exfoliativa yaitu 36 kasus (25,02%).

Kesimpulan: Profil erupsi obat di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan periode 2010-2013 paling banyak berjenis kelamin

laki-laki dan usia terbanyak 21-30 tahun dengan gambaran klinis terbanyak dermatitis

exfoliativa.

(16)

THE PROFILE OF DRUG ERUPTION PATIENTS IN THE FUNCTIONAL MEDICAL UNIT OF SKIN AND VENEREAL HEALTH SCIENCE OF H. ADAM MALIK,

MEDAN

IN THE PERIOD 2010-2013

Kristo A Nababan, Chairiyah Tanjung, Irma D.Roesyanto

Department of Skin and Venereal Disease Science

Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara/

RSUP H. Adam Malik, Medan

ABSTRACT

Background: Skin is one of body organs which easily give a clinical manifestation when there is the disturbance in the body. One of the manifestations

is drug eruption, a reaction on skin or on mucocutaneous area which occurs as the

effect of taking medicines systemically. The incidence of drug eruption occurs

because a hospital is the place for patients to get medicines. The availability of

data about drug eruption can be used to take measures in better prevention and

handling the patients.

Objective of the Research - The objective of the research was to find out the description of the distribution of drug eruption in RSUP H.Adam Malik, Medan.

Method of the Research - The research is decriptive retrospective by using secondary data from medical records of 144 patients affected by drug eruption in

the period of 2010-2013, taken by using total sampling technique.

Result of the Research - The result of the research showed that 32 drug eruption patients were from 21 to 30 years old (22.2%), 73 of them (50.7%) were males,

and the majority of clinical descriptions were about eksfoliativa dermatitis which

affected 36 cases (25.02%).

Conclusion: - The profile of drug eruption in SMF of Skin and Venereal Health Science of RSUP H.Adam Malik, Medan in the period of 2010-2013 showed that

there were more males who were 21 to 30 years old with the clinical description

of exfoliative dermatitis in majority.

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Reaksi terhadap suatu obat dapat terjadi akibat pemberian obat yang

diresepkan oleh dokter, obat yang dijual bebas, vaksin, dan suplemen sehari-hari.

Menurut Council for International Organizations of Medical Sciences (CIMS),

reaksi obat lebih sering muncul pada pasien yang menerima pengobatan sejumlah

obat sehingga sulit untuk menentukan obat penyebab erupsi.1,2

Erupsi obat (EO) atau drug eruption adalah hal yang harus dipahami oleh

seorang dokter. Sebab-akibat yang ditimbulkan tidak jarang dapat berakhir dengan

kecacatan atau kematian, serta terkadang menyebabkan dokter berurusan dengan

aspek medikolegal.3

EO ialah reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai

akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Pemberian dengan cara sistemik

dapat melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus.4

Menurut Health Sciences Authority (HSA) pada tahun 2002 sebanyak

80,93% dari reaksi simpang obat merupakan EO. Chatterjee et al menyatakan

insiden EO mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.

Menurut Saha et al, kasus EO paling tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu

sekitar 25,27%, lebih sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 61,16%, dan

gambaran klinis kasus EO yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu

(18)

Berdasarkan uraian di atas, EO dapat terjadi pada distribusi tertentu. Oleh

karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti profil pasien EO di Satuan Medis

Fungsional (SMF) Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik

tahun 2010 – 2013.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah profil pasien EO di SMF IK Kulit dan Kelamin RSUP H.

Adam Malik periode tahun 2010 – 2013?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui profil EO di SMF IK Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam

Malik periode tahun 2010-2013.

1.3.2. Tujuan Khusus :

1. Mengetahui gambaran data demografik pasien EO di SMF IK Kulit

dan Kelamin RSUP H. Adam Malik periode tahun 2010-2013

berdasarkan umur dan jenis kelamin.

2. Mengetahui tipe EO di SMF IK Kulit dan Kelamin Rumah Sakit

(19)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Pelayanan Masyarakat

Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan

masukkan bagi RSUP H. Adam Malik tentang gambaran distribusi pasien

erupsi obat di SMF IK Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik periode

tahun 2010-2013 sehingga dapat ditingkatkan usaha pencegahan dan

penatalaksanaannya.

1.4.2. Bagi Pengembangan Penelitian

Memberikan data dasar atau data pendukung tentang EO bagi

penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4.3. Bidang Akademik dan Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Erupsi Obat

2.1.1. Definisi Erupsi Obat

Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat. Erupsi

obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau daerah mukokutan

yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat

yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.

Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang

diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat

diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga

dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk.

4

Reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga

memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,

pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis buruk seperti cacat permanen

sampai kematian.

9-12

10-13

2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat

Chatterjee et al, menyatakan insidens erupsi obat mencapai 2,66% dari

total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat terjadi pada 2-3%

pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens

erupsi obat pada negara berkembang berkisar antara 1-3%. Di India, kasus erupsi

(21)

Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi

obat. Insidens erupsi obat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari

50% kasus sindroma Stevens-Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal

necrolysis terkait dengan penggunaan obat.6,14,15

2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat

Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah:

1. Jenis kelamin dan usia

Anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan

dengan orang dewasa, akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat

alergi memiliki prognosis buruk. Pada anak – anak, ruam merah

yang timbul akibat virus sering mengaburkan gambaran klinis

erupsi alergi obat akibat antimikroba yang diberikan. Wanita lebih

sering menderita erupsi obat alergi dibandingkan pria.10-12,16,17

2. Faktor genetik

Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan

lingkungan. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte

antigen.10-12,16,17

3. Pajanan obat sebelumnya

Dapat terjadi pada pajanan obat yang sebelumnya menimbulkan

alergi ataupun obat-obatan lain yang memiliki struktur kimia yang

sama. Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten. Setelah

pajanan, imunnoglobulin E dapat bertahan dari 55 hingga 2000

(22)

4. Riwayat penyakit yang dimiliki

Seperti pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah

menderita dermatitis atopi.10-12,16,17

5. Bentuk obat

Seperti beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan

sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.

10-12,16,17

6. Cara masuk obat

Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih

menyebabkan erupsi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida

jarang digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi

pemberian obat juga berperan dalam timbunya erupsi obat.10-12,16,17

2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat

Terdapat dua mekanisme yang dikenal yaitu mekanisme imunologis dan

mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi

hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi

melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over

dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.

Terdapat empat mekanisme imunologis. Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I

(reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang paling banyak ditemukan. Pada

tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah imunoglobulin E yang mempunyai

afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak

menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama,

(23)

maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang

pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan

heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek

misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya

syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat

ikatan antara imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang

melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi

yang berakhir dengan lisis.11,17-20

Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana

antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen

antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam

jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen

merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan

terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi

alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang

tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe

lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.21

(24)

Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis

Tipe Contoh Kasus

Imunologis

Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam

Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin

Reaksi Tipe 3

Serum sickness akibat anti-thymocyte

globulin

Reaksi Tipe 4

Dermatitis kontak akibat antihistamin

topikal

Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid

Fas/Fas ligand-induced apoptosis

Sindroma Stevens-Johnson

Nekrolisis epidermal toksik

Non imunologis

Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin

Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotik

Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat metotreksat

Overdosis obat

Kejang akibat kelebihan pemakaian

lidokain

Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

(25)

2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat

Erupsi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan

kulit lain pada umumnya, yaitu:

1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis

Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi

eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali

terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema

dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam,

malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu

setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh

ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan

tetrasiklin.11,17,21,22

2. Urtikaria dan angioedema

Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria,

kadang-kadang disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya

ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya

umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul

mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat

disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri

kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir,

kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus

angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan

segera. Penyebab paling sering ialah penisilin, asam asetilsalisilat,

(26)

3. Eksantema Fikstum

Eksantema fikstum disebabkan khusus obat atau bahan kimia.

Eksantema fikstum merupakan salah satu erupsi kulit yang sering

dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel

berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian

meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru hilang,

bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan

bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.

Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah

penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin

karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai

eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang sering ialah

sulfonamid, barbiturat, trimetoprim dan analgesik.23

4. Eritroderma (dermatitis eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya

disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh

bermacam-macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya

psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem

limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma

karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru

timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa

menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan

(27)

5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang

tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai

ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di

sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi

berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai

rasa gatal.11,17,21,22

6. Vaskulitis

Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya

distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.

Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat

penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non

steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada

pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan

kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di

atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malese. Tempat

predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum

dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya

tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap

sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan

(28)

7. Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak

alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.

Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan

matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah

fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non steroid, dan

griseofulvin.11,17,21,22

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang

terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut

oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis

kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular

yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan

lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu

demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang

sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa

hari.11,17,21,22

9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa

eritema multiforme, sindroma Stevens-Johnson, dan nekrolisis

epidermal toksik.

Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau

subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat

polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel

(29)

keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa

generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa

generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis

eksantematosa generalisata akut pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan

demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga

berbeda.11,17,21,22

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat

Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat adalah dengan

mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan

aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang

didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat

adalah sebagai berikut:

1. Biopsi kulit

Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat

membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat

dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi

pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab

erupsi.

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan

menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi

penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah

10,12,14,24-26

(30)

lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan

lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah

eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila

perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi

obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila

terdapat overdosis dari obat tersebut.10,12,14,24-26

3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi

Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat

dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan

pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling

membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang

lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati

dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko

legalnya.10,12,14,24-26

2.1.7. Diagnosis Erupsi Obat

Dasar diagnosis erupsi obat adalah anamnesis yang teliti mengenai

obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari

sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang

biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik

distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang

timbul.

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari

jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.

(31)

Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data

kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian

obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya

hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat

yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang

bersifat persisten.14

2.1.8. Penatalaksanaan Erupsi Obat

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat adalah

dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.

Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat

mungkin.14

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,

eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema

fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg

sehari. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa

gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan

kortikosteroid.

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering

atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%

ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa

gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam

salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

(32)

pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat

diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1-2,5%. Pada eritroderma

dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat

diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.10-12,17,19,20,27-29

2.1.9. Prognosis Erupsi Obat

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa

bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindroma

Stevens-Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

Sindroma Stevens-Johnson memiliki angka mortalitas dibawah 5 % sedangkan

nekrosis epidermal toksik mencapai 20-30% dan kebanyakan pasien meninggal

akibat sepsis.14

2.2 Obat yang Sering Menyebabkan Erupsi Obat

Saha et al melaporkan jenis-jenis obat yang paling sering menyebabkan

erupsi obat adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti flurokuinolon sekitar

11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%, allopurinol sekitar

7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.8

Menurut penelitian Young, Jong & Joo, jenis-jenis obat yang paling sering

menyebabkan erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 34,10%, lalu

diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti inflamasi non

(33)

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi mengemukakan jenis-jenis

obat yang paling sering menyebakan erupsi obat adalah golongan antimikroba

yaitu sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar

21,90%. Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu kotrimoksazol

sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.7,31

Jenis-jenis obat yang paling sering menyebabkan erupsi obat adalah

golongan antimikroba yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi

non steroid sekitar 22,9%, dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian

Ghosh, Acharya & Rao (2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan

erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan

anti epilepsi sekitar 25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik

sekitar 9%.32,33

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa, jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat adalah kotrimoksazol yaitu sekitar 22,2%, lalu

diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma, Sethuraman &

Kumar, jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat adalah

golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti golongan anti inflamasi non

(34)

2.3. Kerangka Teori

2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pasien dengan Erupsi Obat

Distribusi pasien erupsi obat berdasarkan umur • Fixed drug eruption

(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif retrospektif yang

bertujuan untuk mengetahui jumlah/ frekuensi serta gambaran distribusi pasien

erupsi obat di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik.

Data yang digunakan adalah data sekunder dan rekam medis pasien EO di RSUP

H. Adam Malik periode tahun 2010-2013. Pendekatan yang digunakan pada

penelitian ini adalah potong lintang retrospektif.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di rekam medik RSUP H. Adam Malik selama

bulan Januari – Maret 2014.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi target adalah rekam medis dari pasien yang mengalami EO.

Populasi terjangkau adalah rekam medis dari pasien EO di SMF IK Kulit dan

Kelamin RSUP H. Adam Malik.

3.3.2. Sampel

(36)

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi:

a. Semua data rekam medis dari pasien EO di SMF IK Kulit dan Kelamin

RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2013

3.4.2 Kriteria Eksklusi:

a. Data rekam medis yang tidak lengkap mencatat variabel-variabel yang

diteliti

b. Pasien-pasien yang datang untuk kontrol dengan penyakit yang sama

3.5. Bahan dan Cara Kerja 3.5.1. Bahan

Data yang digunakan diperoleh dari rekam medis pasien EO yang datang

berobat ke SMF IK Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan periode

2010-2013.

3.5.2 Cara Kerja

1. Data pasien EO yang berobat ke SMF IK Kulit dan Kelamin periode

2010-2013 dikumpulkan dari rekam medis.

2. Data jumlah kunjungan pasien EO yang berobat ke SMF IK Kulit dan

Kelamin periode 2010-2013 dicatat.

3. Data demografik pasien EO yang berobat ke SMF IK Kulit dan Kelamin

(37)

4. Data gambaran klinis EO yang berobat ke SMF IK Kulit dan Kelamin

periode 2010-2013 dicatat.

5. Data yang terhimpun ditabulasi dan diolah menggunakan program

komputer.

6. Data dianalisis secara deskriptif

3.6 Kerangka Operasional

3.7. Definisi Operasional

3.7.1 Erupsi obat adalah reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.

3.7.2 Umur adalah lama hidup penderita pada saat didiagnosis dengan EO

3.7.3. Jenis kelamin merupakan penanda gender penderita EO yaitu laki-laki dan perempuan.

3.7.4. Gambaran klinis EO adalah berbagai bentuk klinis EO yang terdiri dari: Pengumpulan data pasien erupsi obat periode 2010-2013

Pencatatan jumlah kunjungan pasien erupsi obat periode 2010-2013

Pencatatan data demografik pasien erupsi obat periode 2010-2013

Pencatatan data gambaran klinis pasien erupsi obat periode 2010-2013

Data yang terhimpun ditabulasi dan diolah menggunakan program komputer

(38)

a. Morbiliformis adalah erupsi eksantematosa yang ditandani oleh erupsi

generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan selalu ada gejala

pruritus.

b. Urtikaria adalah jenis EO yang ditandai oleh wheals merah yang gatal

dengan berbagai macam ukuran, dimana lesi biasanya bertahan kurang

dari 24 jam, meskipun lesi baru tetap dapat muncul. Sedangkan

angioedema ditandai oleh pembengkakan hingga jaringan dermis

dalam dan subkutan.

c. Eksantema fikstum adalah kelainan yang berupa eritema dan vesikel

berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, yang kemudian

meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan kemudian

menghilang, namun dapat juga menetap.

d. Dermatitis eksfoliativa adalah eritema universal yang biasanya disertai

skuama.

e. Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak

hilang bila ditekan, biasanya muncul simetris di sekitar kaki,

pergelangan kaki atau tungkai bawah.

f. Vaskulitis adalah kelainan berupa palpable purpura yang mengenai

kapiler, biasanta terdistribusi simetris pada ekstremitas bawah dan

daerah sacrum.

g. Reaksi fotoalergik adalah kelainan yang biasanya berlokasi pada

tempat yang terpajan sinar matahari.

h. Pustulosis eksantematosa generalisata akut adalah kelainan berupa

(39)

eritematosa yang dapat disertai purpura dan dapat menyerupai lesi

target.

i. Sindroma Stevens-Johnson dan nekrosis epidermolisis toksik adalah

reaksi mukokutaneus yang mengancam nyawa yang ditandai oleh

nekrosis dan terlepasnya epidermis. Baik sindroma Stevens-Johnson

dan nekrosis epidermolisis toksik ditandai oleh keterlibatan kulit dan

membran mukosa.

j. Dan lain-lain adalah kelainan-kelainan yang tidak termasuk kriteria

bentuk-bentuk klinis yang disebutkan sebelumnya.

3.8. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi

(40)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Responden

Terdapat sebanyak 144 data penderita erupsi obat dalam penelitian ini.

Dari keseluruhan penderita EO, gambaran yang diamati meliputi usia dan jenis

kelamin. Tabel 4.1 mengambarkan data demografik penderita EO berdasarkan

usia, jenis kelamin dan gambaran klinis.

Tabel 4.1 Data Demografik Penderita Erupsi Obat di RSUP H. Adam Malik Periode 2010-2013

Data Demografik Jumlah Persen (%)

Usia

< 11 tahun 6 4.2

11-20 tahun 16 11.1

21-30 tahun 32 22.2

31-40 tahun 16 11.1

41-50 tahun 27 18.8

51-60 tahun 19 13.2

61-70 tahun 22 15.3

>70 tahun

Total

6

144

4.2

(41)

Jenis Kelamin

Pustulosis eksantematosa generalisata akut

(42)

Dari tabel 4.1 didapatkan bahwa penderita erupsi obat di rumah sakit

umum pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2010-2013 paling banyak berada

pada usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 32 orang (22,2%), diikuti usia 41-50 tahun

yaitu sebanyak 28 orang (19,1%), usia 61-70 tahun yaitu sebanyak 21 orang

(15%), usia 11-20 tahun yaitu sebanyak 19 orang (13,1%), dan usia 31-40 tahun

yaitu sebanyak 16 orang (11,1%), usia >70, dan usia dibawah 11 tahun yaitu

sebanyak 6 orang (4,2%). Didapatkan rata-rata usia adalah 41,27 tahun dengan

usia minimum 1 tahun dan usia maksimum 80 tahun.

Dari tabel di atas terlihat juga bahwa jumlah penderita erupsi obat pada

pria lebih banyak dibandingkan wanita yaitu sebanyak 73 orang (50,69%),

sedangkan wanita sebanyak 71 orang (49,31%). Dari tabel diatas dapat dilihat

bahwa gambaran klinis yang timbul paling banyak yaitu dengan gambaran

dermatitis eksfoliativa yait sebanyak 36 kasus (25,02%), diikuti dengan gambaran

morbiliformis yaitu sebanyak 31 kasus (21,54%), gambaran urtikaria dan

angioedema yaitu sebanyak 28 kasus (19,52%), gambaran pustulosis

eksantematosa generalisata akut yaitu sebanyak 12 kasus (8,34%), gambaran

eksantema fikstum yaitu sebanyak 10 kasus (6,94%), gambaran reaksi fotoalergik

dan sindroma Stevens-Johnson yaitu sebanyak 5 kasus (3,5%), gambaran purpura

dan gambaran vaskulitis yaitu sebanyak 2 kasus (1,40%), gambaran nekrosis

epidermolisis toksik yaitu sebanyak 1 kasus (0,70%), dan 12 kasus (8,34%)

(43)

Tabel 4.2 Distribusi Pasien Erupsi Obat Berdasarkan Usia dan Gambaran

Dari tabel diatas, terlihat bahwa pada usia dibawah 11 tahun, gambaran

klinis yang paling banyak adalah dermatitis eksfoliata, pada usia 11-20 tahun dan

21-30 tahun gambaran klinis yang paling banyak adalah morbiliformis, pada usia

31-40 tahun gambaran klinis yang paling banyak adalah dermatitis eksfoliativa,

(44)

exfoliativa, pada usia 51-60 tahun gambaran klinis yang paling banyak adalah

dermatitis eksfoliata, pada usia 61-70 tahun gambaran klinis yang paling banyak

adalah dermatitis eksfoliata dan urtikaria, dan diatas usia 70 tahun gambaran

klinis yang paling banyak adalah urtikaria dan dermatitis eksfoliativa.

Gambaran klinis morbiliformis paling banyak dialami pada usia 21-30

tahun, urtikaria dan angioedema paling banyak pada usia 21-30 tahun, eksantema

fikstum paling banyak pada usia 41-50 tahun, dermatitis eksfoliativa paling

banyak pada usia 51-60 tahun, purpura paling banyak pada usia 41-60 tahun,

vaskulitis paling banyak pada usia dibawah 11 tahun dan 61-70 tahun, reaksi

fotoalergik paling banyak pada usia 21-30 tahun , pustulosis eksantematosa

generalisata akut paling banyak pada usia 21-30 dan 61-70 tahun, Sindroma

Stevens-Johnson paling banyak pada usia 61-70 tahun, dan nekrosis epidermolisis

toksik paling banyak pada usia 21-30 tahun

Tabel 4.3 Distribusi Pasien Erupsi Obat Berdasarkan Jenis Kelamin dan Gambaran Klinis Erupsi Obat

Jenis Kelamin

Gambaran Pria Wanita

Klinis f (%) f (%)

Morbiliformis 16(11,12) 15(10,42)

Urtikaria dan Angioedema 11 (7,64) 17 (11,81)

Eksantema fikstum 7 (4,86) 3 (2,08)

Dermatitis eksfoliativa 21 (14,58) 15 (10,43)

(45)

Vaskulitis 2 (1,40) 0 (0)

Reaksi Fotoalergik 0 (0) 5 (3,47)

Pustulosis eksantematosa 8 (5,55) 4 (2,78)

generalisata akut

SindromaStevens-Johnsons 3 (2,08) 2(1,40)

Nekrosis Epidermolisis Toksik 0 (0) 1 (0,69)

Lain-lain 5 (3,47) 7 (4,86)

Total 73 (50,69) 71 (49,31)

Dari tabel 4.3 dapat dilihat erupsi obat pada pria paling banyak berupa

gambaran klinis dermatitis eksfoliativa yaitu sebanyak 21 orang (14,58%) dan

pada wanita berupa urtikaria dan angioedema yaitu sebanyak 17 orang (11,81%).

Dari tabel 4.3 dapat dilihat gambaran klinis morbiliformis lebih banyak

terjadi pada pria, gambaran klinis urtikaria dan angioedema lebih banyak terjadi

pada wanita, gambaran klinis eksantema fikstum lebih banyak terjadi pada pria,

gambaran klinis dermatitis eksfoliativa lebih banyak terjadi pada pria, gambaran

klinis purpura lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis vaskulitis lebih

banyak terjadi pada pria, gambaran klinis reaksi fotoalergik lebih banyak terjadi

pada wanita, gambaran klinis pustulosis eksantematosa generalisata akut lebih

banyak terjadi pada pria, gambaran klinis Sindroma Stevens-Johnsonlebih banyak

pada pria dibanding wanita, dan gambaran klinis nekrosis epidermolisis toksik

(46)

4.2 Pembahasan

Menurut penelitian Saha et al,, kasus erupsi obat rata-rata terjadi pada usia

33,2 tahun pada pria dan 34,4 tahun pada wanita.8

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi, kasus erupsi obat paling

tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar 25,27%, lalu diikuti usia 31-40

tahun sekitar 23,07%, usia 11-20 tahun sekitar 17,58%, usia 41-50 tahun sekitar

15,38%, usia 51-60 tahun sekitar 9,89%, usia 61-70 tahun sekitar 5,49%, usia

dibawah 10 tahun sekitar 3,29%, dan usia diatas 70 tahun sekitar 1,09%.7

Menurut penelitian Chatterjee et al, kasus erupsi obat rata-rata terjadi pada

usia 26,81 ±10.22 tahun pada pria dan 26,74 ±9.39 tahun pada wanita. Menurut

penelitian Pudukadan & Thappa, kasus erupsi obat alergi rata-rata terjadi pada

usia 37,06 tahun dimana kasus paling tinggi terjadi pada usia 20-39 tahun.6,34

Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar, kasus erupsi obat

paling tinggi terjadi pada usia 30-40 tahun35 sedangkan menurut penelitian Metha,

Marquis & Shetty usia 20-40 tahun.36

Menurut penelitian Chatterjee et al, kasus erupsi obat lebih sering terjadi

pada wanita yaitu sekitar 61,16%. Menurut penelitian Pudukadan & Thappa,

perbandingan terjadinya kasus erupsi obat pada pria dan wanita adalah 0.87:1,

sedangkan menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar adalah 1,47:1.

Menurut penelitian Metha, Marquis & Shetty, perbandingan terjadinya kasus

erupsi obat pada pria dan wanita adalah sama.

Menurut penelitian Saha et al, gambaran klinis kasus erupsi obat yang

paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 30,18%, lalu diikuti

eksantema fikstum sekitar 24,52%, sindroma Stevens-Johnson dan nekrosis

(47)

epidermolisis toksik sekitar 24,50%, dermatitis eksfoliativa sekitar 7,54%,

urtikaria sekitar 5,6%, dan reaksi foto alergik sekitar 3,8%.8

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi, gambaran klinis kasus

erupsi obat yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 42,85%.

Hal ini sama dengan hasil penelitian Young, Jong & Joo di tahun yang sama

dimana gambaran klinis kasus erupsi obat yang paling banyak terjadi adalah

morbiliformis yaitu sekitar 68,8%, lalu diikuti sindroma Stevens-Johnson sekitar

10,6%, urtikaria sekitar 8,5%, eksantema fikstum sekitar 2,9%, nekrosis

epidermolisis toksik sekitar 1,4%, dan erupsi bula 0,7%.7,30

Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit, gambaran klinis kasus erupsi

obat yang paling banyak terjadi adalah eksantema fisktum yaitu sekitar 27,3% dan

diikuti morbiliformis sekitar 24,5%. Menurut Hotchandani, Bhatt & Shah,

gambaran klinis kasus erupsi obat yang paling banyak terjadi adalah eksantema

fikstum yaitu sekitar 37,1% dan diikuti morbiliformis sekitar 28,6%.31,32

Menurut penelitian Gosh, gambaran klinis kasus erupsi obat yang paling

banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 21%, sedangkan menurut

penelitian Soebaryo, Nugrohowati & Effendi, gambaran klinis kasus erupsi obat

yang paling banyak terjadi adalah eksantema fikstum yaitu sekitar 21,99%.33,37

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa, gambaran klinis kasus erupsi

obat yang paling banyak terjadi adalah eksantema fikstum yaitu sekitar 31,1%,

lalu diikuti morbiliformis sekitar 12,2%, sindroma Stevens-Johnson dan nekrosis

epidermolisis toksik sekitar 18,8%, urtikaria sekitar 7,8%, dermatitis eksfoliativa

sekitar 3,3%, pustulosis eksamentosa generalisata akut sekitar 2,2%, dan

(48)

Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar, gambaran klinis kasus

erupsi obat yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 34,6%,

(49)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Profil penderita EO di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2013

paling banyak berada pada usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 32 orang

(22,2%) dan paling sedikit pada usia diatas 70 tahun yaitu sebanyak 6

orang (4,2%).

2. Profil penderita EO di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2010-2013

pada pria lebih banyak dibandingkan wanita yaitu 73 orang (50,7%),

sedangkan wanita berjumlah 71 orang (49,3%).

3. Profil gambaran klinis EO yang timbul paling banyak yaitu dengan

gambaran dermatitis eksfoliativa yakni sebanyak 36 kasus (25,02%) dan

paling sedikit dengan gambaran nekrosis epidermolisis toksik yaitu

sebanyak 1 kasus (0,70%).

5.2 Saran

1. Pengisian data-data pada rekam medis hendaknya semakin disempurnakan

untuk mendapatkan data gambaran pasien EO di RSUP H. Adam Malik

yang lebih baik sehingga dapat membantu penelitian selanjutnya.

2. Diperlukan penelitian yang menggunakan lebih banyak lagi variabel

(50)

DAFTAR PUSTAKA

1. Budnitz, D.L., Lovegrove, M.C., Shebab, N. & Richards, C.L. Emergency Hospitalizations for Adverse Drug Events in Older Americans. The New England Journal of Medicine. 2011; 365 (21):2002-12.

2. CIMS. Skin and Appendages Disorders. Reporting Adverse Drug Reaction.

Geneva: Council for International Organization of Medical Sciences. 1999; 32.

3. Cahyanur, R., Koesnoe, S. & Sukmana, N. Sindrom Hipersensivitas Obat. J Indon Med Assoc. 2011; 61(4):179-85.

4. Hamzah, M. Erupsi Obat Alergik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. 2007:154-8.

5. HSA. Analysis of Adverse Drug Reaction. Health Science Authority. 2002; 4(1):1-4.

6. Chatterjee, S., Ghosh, A.P., Barbhuiya, J. & Dey, S.K. Adverse Cutaneous Drug Reactions: A One Year Survey at a Dermatology Outpatient Clinic of a Tertiary Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology. 2006; 38(6):429-31. 7. Nandha, R., Gupta, A. & Hashmi, A. Cutaneous Adverse Drug Reactions in a Tertiary Care Teaching Hospital: A North Indian Perspective. International Journal of Applied and Basic Medical Research. 2011; 1(1):50-3.

8. Saha, A., Das, N.K., Hazra, A., Gharami, R.C., Chowdhury, S.N. & Datta, P.K. Cutaneous Adverse Drug Reaction Profile in a Tertiary Care Out Patient Setting in Eastern India. Indian Journal of Pharmacology. 2012; 44(6):792-7.

9. Edward, I.R. & Aronson, J.K. Adverse Drug Reactions: Definitions, Diagnosis, and Management. The Lancet. 2000; 356:1255-9.

10. Wedner HJ. Drug Allergy. Basic and Clinical Immunology. 1991; 7: 423- 43.

11. Shear NH, Knowles SR. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. New York: McGraw Hill. 2013; 8:449-57. 12. Thien, Francis CK. Drug hypersensitivity. Medical Journal of Australia.

2006; 185:333-8.

13. ASHP. Guidelines on Adverse Drug Reaction Monitoring and Reporting. Diunduh dari http://www.ashp.org/s_ashp/docs/files/MedMis_Gdl_ADR.pdf

14. Nayak, S. & Acharjya, B. Adverse Cutaneus Drug Reactions. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology. 2008; 53(1):2-8.

[Diakses tanggal 20 April 2013].

15. Adithan, C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert Departement of Pharmacology. 2006; 2(1):1-4.

16. Shear NH, Knowles SR. Cutaneous. Reaction to Drugs. In: wolff K, Gold Smith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lettel DJ, editors Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Grawhill incorporate. 2008:449-50.

17. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment Options. American Family Physician. 2003; 68:1781-9.

(51)

19. Pichler, Werner J, Yawalker, Nikhil. Allergic reactions to drugs: Involvement of T.cells. British Medical Journ. 2000; 55:561-5.

20. Gruchalla, Rebecca S. Clinical assessment of drug-induced disease. The Lancet. 2000; 356(9240):1505-11.

21. Lee A, Thomson J. Drug induced skin reaction. In : Adverse Drug Reactions. 2006; 2:125-56.

22. Newell, Brandon D, Horii, Kimberly A. Cutaneous Drug Reactions in children. Pediatric Annals. 2010; 39:618-25.

23. Docrat, M.E. Skin Focus. Current Allergy & Clinical Immunology. 2005; 18(1):24.

24. PERDOSKI. Update in pathogenesis, diagnotic test and treatment. Simposium and workshop Makassar. 2010

25. Grammer LC, Greenberger PA. Drug Allergy and Protocols for Management of Drug Allergics. 2003; 3(25):267-72.

26. Bousquet PJ, Gaeta F, Rouanet LB, Lefrant JY, Demoly P, Romano A. Provocation Tests in Diagnosing Drug Hypersensitivity. Current Pharmaceutical Design. 2008;14:2792-802.

27. Carneiro SCS, Silva MCA, Silva MR. Drug Eruption in elderly. Clinics in Dermatology. 2011; 29:43-8.

28. Blume J.E. Drug Eruptions Medications. Medscape Reference. 2012.

29. Wedi, Bettina. Definitions and Mechanisms of drug hypersensitivity. Expert Review of Clinical Pharmacology. 2010; 3(4):539-51.

30. Young, M.S., Jong, R.L. & Joo, Y.R. Causality Assessment of Cutaneous Adverse Drug Reactions. Ann Dermatology. 2011; 23(4):432-8.

31. Shah, S.P., Desai, M.K. & Dikshit, R.K. Analysis of Cutaneous Adverse Drug Reactions at a Tertiary Care Hospital, a Prospective Study. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 2011; 10(4):517-22.

32. Hotchandani, S.C., Bhatt, J.D. & Shah, M.K. A Prospective Analysis of Drug-Induced Acute Cutaneous Reactions Reported in Patients at a Tertiary Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology. 2010; 42(2):118-9.

33. Ghosh, S., Acharya, L.D. & Rao, P.G.M. Study and Evaluation of the Various Cutaneous Adverse Drug Reactions in Kasturba Hospital, Manipal. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences. 2006; 68(2):212-5.

34. Pudukadan, D. & Thappa, D.M. Adverse Cutaneous Drug Reactions: Clinical Pattern and Causative Agents in a Tertiary Care Center in South India.Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology. 2004;70(1):20-4. 35. Sharma, V.K., Sethuraman, G. & Kumar, B. Cutaneous Adverse Drug

Reactions: Clinical Pattern and Causative Agents, a 6 Year Series from Chandigarh, India. Journal of Postgraduate Medicine. 2001; 47(2):95-9. 36. Metha, T.K., Marquis, L. & Shetty, J.N. A Study of 70 Cases of Drug

Eruptions. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology. 1971; 37(1):2-5.

(52)
(53)

Lampiran 2 Data Induk

Data hasil penderita erupsi obat

No No rekam medis Umur Jenis kelamin Gambaran klinis

(54)
(55)
(56)

No No rekam medis Umur Jenis kelamin Gambaran klinis

2= Urtikaria dan Angioedema 3 = Fixed drug eruption

4 = Dermatitis eksfoliativa 5 = Purpura

6 = Vaskulitis

7 = Reaksi Fotoalergik

8 = Pustulosis eksantematosa generalisata akut

9 = Steven Johnsons Syndrome 10 = Toxic Epidermolysis Necrose

(57)

Lampiran 3

Hasil Uji Statistik

Distribusi frekuensi penderita erupsi obat berdasarkan usia

Umur

N Valid 144

Missing 0

Mean 41.2703

Median 41.0000

Mode 21.00a

Std. Deviation 18.88672

Variance 356.708

Range 79.00

Minimum 1.00

Maximum 80.00

Distribusi frekuensi penderita erupsi obat berdasarkan jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1.00 73 50.66 50.66 50.66

2.00 71 49.34 49.34 100.0

(58)

Distribusi frekuensi gambaran klinis erupsi obat Gejala

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1.00 31 21.54 21.54 21.54

2.00 28 19.44 19.44 40.98

3.00 10 6.94 6.94 47.92

4.00 36 25 25 72.92

5.00 2 1.4 1.4 74.32

6.00 2 1.4 1.4 75.72

7.00 5 3.45 3.45 79.17

8.00 12 8.34 8.34 87.51

9.00 5 3.45 3.45 90.96

10.00 1 0.70 0.70 91.66

11.00 12 8.34 8.34 100.0

(59)

Gambar

Tabel 4.1 Data Demografik Penderita Erupsi Obat di RSUP H. Adam Malik
Gambaran Klinis
Gambaran
gambaran klinis dermatitis eksfoliativa yaitu sebanyak 21 orang (14,58%) dan
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

profil informasi terkait obat dan non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan batuk.. untuk mengetahui profil tingkat

Elfriede RM Silitonga atas segala doa yang diberikan, kasih sayang yang dicurahkan, dan pengorbanan yang dilakukan yang tidak pernah berhenti selama hidup penulis

If you are using an older version of Packet Tracer and encounter an issue, please download and install Packet Tracer 7.1.. Most known issues in older versions of Packet Tracer

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang dikemukakan pada bab sebelumnya, yaitu ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi

Ansietas berhubungan dengan mengalami penyakit kronis ditandai dengan Suami pasien mengatakan semenjak sakit pasien hanya menangis dan diam, Suami

PELATIHAN KARAWITAN BAGI MAHASISWA PGSD FKIP UNS UNTUK MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KARAKTER1. Danis Sugiyanto,

Kegiatan sosialisasi pada hari pertama, peserta diberi informasi ten- tang hasil penelitian ini, termasuk teori dan praktik cara membuat learning continuum,