SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Disusun oleh :
AGUNG MULYONO
NIM 103070029028
FAI<ULTAS PSll{OLOGI
UNIVERSITAS ISLAM
nャセgeri@
SYARIF HIDAYATULLAH J)\I<ARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Urituk Mernenuhi Syarat Mernperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Pem
Oleh:
AGUNG MUL YONO NIM : 103070029028
DI BAWAH BIMBINGAN
Pembimbing II
セ@
/ rセM
Abdul Rahman Sh I M.Si S. Evangeline. I. S, M.Si, Psi
NIP: 150 29
FAKUL TAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
tanggal 30 Agustus 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi.
Jaka11a, 30 Agustus 2007
SIDANG MUNAQOSYAH
Ketua
. / /
Drs. Ne Hartati M.Si NIP:150 15938
Penguji I
セ@
Drs. Sofiandy Zakaria, M.Psi.T
Drs. Abdul Rahm NIP: 150 293 22
Sekertaris Merangkap Anggota
Penguji II
Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi NIP : 150 300 679
Pembimbing II
セM
(QS. 78: 9 -11)
Bekerjalah Untuk Duniamu Seakan-akan
Engkau Hidup Selama-lamanya Dan Bekerjalah
Engkau Untuk Akhiratmu Seakan-akan Engkau
Mati Esok Hari (HR. 'firmidzi)
Nasihat Luqman Al-Hakim l(epada An.aknya
"Wahai Anakku,
Bermusyawarahlah dengan orang yang berpengalaman,
karena ia memberimu dari pendapatnya
sesuatu yang diperoleh dengan mahal,
sedangkan engkau mengambil secara Cuma-Cuma"
Orang yang paling panta:s untuk
bergembira adalah
ッイ。ョセQ@
yang
Insomnia
(E) Halaman xii+ 131
(F) Perilaku workaholic ialah perilaku seseorang yang sec:ara emosional beralih menjadi lumpuh dan kecanduan dalam bekerja untuk mendapatkan pengakuan dan kesuksesan. Mereka berusaha keras untuk mencapai
kesuksesan jika hasil yang ingin dicapai tidak sesuai den!Jan harapan mereka cepat mengalami stres dan berdampak pada kondisi kesehatan. Sementara stres kerja berpengaruh terhadap kondisi fisik dan psikis, stres juga
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit seperti sakit kepala, flu dan sulit tidur atau
insomnia. Insomnia merupakan keadaan di mana seseorang yang ingin tidur mengalami kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan sehingga insomnia menyebabkan penderita secara klinis mengalami gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan adanya hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia. Penelitian ini
dilakukan mulai dari akhir Juni dan berakhir awal Agustus. 2007.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia. Subjek penelitian ini adalah karyawan PT Astra
lnternasional, PT Telkomsel, PT Wahana Transporindo, Stasiun 1V AN1V dan RS. lnternasional Bintaro yang bekerja di Jakarta dan berprofesi sebagai marketing karena pada profesi tersebut seringkali karyawan bekerja melebihi batas waktu standar yang ditetapkan oleh undang-undang perburuhan. Penelitian ini mengikutsertakan 34 subjek yang diambil dengan
menggunakan teknik accidental sampling yaitu penelitian dilakukan pada setiap individu yang memenuhi karakteristik sampel dan bersedia menjadi subyek penelitian. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala perilaku workaholic, skala gejala insomnia dan skala stres kerja.
variabel kontrol yaitu stres kerja. Jika korelasi perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia tidak di mediasi oleh variabel l<ontrol yaitu stres . kerja maka hasil yang didapat r hitung 0.285 sedangkan r label 0.339 dengan taraf kepercayaan 0.05 (a= 0.285 > 0.399) maka dapat diperoleh hasil bahwa uji r hilung lebih kecil dari r label yang berarti bahwa Ho diterima dan Ha ditolak. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perilaku workaholic dan stres kerja akan mempengaruhi timbulnya gejala insomnia.
(D) Relation Between Behavior Of Workaholic With Insomnia Symptom (E) Page xii+ 131
(F) Behavior of workaholic is is behavior of someone which emotionally passing into paralysis and addicted in working for getin(J successfulness and confession. They make every effort to reach successfulness if results which wish to reached unmatched to their hopes quickly experience stres and affect at condition of healths. While stres activity have an effect on to condition of physical and psychical, stres also influence system impenetrability of body, so that body become more susceptiblely to various disease like headaches, flu and difficult to sleep or insomnia. Insomnia is situation where someone wishing sleep find difficulties to start or maintain sleep, or sleep which don't refresh so that insomnia cause patient in klinis experience trouble in social function, work, and important function is other.
intention of This research is to find existence of relation between behavior of workaholic with incidence of insomnia symptom. This research done to start from end of June and end early August 2007.
This research apply descriptive quantitative approach of correlation with aim to know relation between behavior of workaholic with incidence [of] insomnia symptom. This research subject is employees of PT Astra, lnternasional, PT Telkomsel PT Wahana, Transporindo, Station TV ANT\/ and RS. International Bintaro is laboring in Jakarta. This research involve 34 subject which taken by using technique in accidental sampling that is research is done in each
individual fulfilling sample characteristic and ready becoming research
subject. While data collecting instrument which applied is scale of behavior of workaholic, scale and insomnia symptom scale stres worked.
As for data analytical method which applied in this research is technique in partial correlation by using セNイッァイ。ュ@ SPSS for Windows version of 12.00. Based on result which got by using partial correlation formula known by calculate r of 0.366 and table r a= 0.05 that is 0.339 with trust level of 0.05 (a
= 0.366 > 0.339) hence is obtainable of result that testing calculate r bigger
than r of tables of meaning that Ho is refused and Ha is received. Mean is relationship which less signifikan between behavior of workaholic with
sesuatu, syukur yang tak henti-hentinya atas segala nikmat yang telah diberikan dan atas kehendk-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang tetap istiqomah. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi 1ni tidak dapat selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan dan keikhlasan, baik secara moril maupun materil dari semua pihak oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi, lbu Hj. Ora. Netty Hartati, M. Si, lbu Hj. Ora. Zahrotun Nihayah, M.Si selaku pembantu del<an I bidang akademik, dan seluruh dosen serta seluruh staf fakultas psikologi yang telah memberikan kemudahan dalam setiap urusan.
2. Bapak Ors Jaisy Prasodjo selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih alas bimbingan, nasihat serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Dan kepada ibu Yufi Adriani M.Psi, Psi alas bimbingan proposal yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Ors. Abdul Rahman Shaleh, M.Si selaku pembimbing I dan Jbu S. Evangeline. l.S, M.Si, Psi selaku pembimbing II, yan[l penulis hormati yang sudah banyak meluangkan waktunya dan dengan sabar untuk membimbing dan memberi arahan serta motivasi seh1ngga penulis dapat menyelesaikan skrpsi.
4. Orangtuaku Bapak Mulyadi Ambo dan lbu lndrawati Noor yang sudah Mengorbankan segalanya waktu dan tenaganya untuk memberikan kasih
sayang yang tulus dan ikhlas serta yang terbaik bagi penulis dalam mengenyam pendidikan dan mengarungi kehidupan, lbu Bapak saya mencintaimu. Saya akan membahagiakanmu dan memberikan yang terbaik untukmu. Terima kasih, ya Allah lindungilah dan sayangilah kedua orangtuaku, Amin.
Bintaro Elina, terima kasih alas bantuan untuk menyebarkan angket penelitian ini semoga kebaikan dan keikhlasan kalian di balas oleh Allah. 7. Sohib di Kosan Lentera Hali terutama Lalu Turjiman Ahmad, S.S, yang
sebentar lagi calon M.A yang telah banyak memberikan bantuan baik morii maupun materil, Lestar, S.Fil yang telah memberikan humor-humor yang menyegarkan, Aryadi, S.Hi, yang telah menjaga computer tetap aman dari serangan firus-firus, Thomas alas fasilitas komputernya dan segala kebaikannya dan kapan wisudanya, Rido Buie! kapan selesainya biar bisa ceper jadi pejabat Riau, lkin kapan kawin serta Aqib yang baru mulai berjuang di Ciputat kalian semua orang-orang yang telah
memberikan warna dalam hidup serta dukungan dan sebagai penghibur. 8. Sahabat di Fakultas Adab angkatan 2000 semoga kita tetap solid dan
tetap berjuang untuk masa depan. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2003 terutama kelas B Kance "llung" Betsi, Wawan, Yusuf, Surya, Kamal, Tsunayah, Ida, Ayu Honsah, Ami, Herlin, Rosyidah, Fadli, Dian K, dan seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu.
9. Teman-teman kelompok KKL PT Pelita Air Service Rini, Adil, lntan, Ayu Karlina, Yeti, Hana. Terima kasih alas kerjasama dan berbagi
pengalamannya, semoga Allah SWT memudahkan jalan kita dalam membangun kehidupan yang labih baik. Amin.
10. Teman-teman ku yang baik Rina, Lilla, Putri Myra S.Psi, Haula Noor S.Psi, Kiki, Sibul, Ajeng, serta tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Rahma Zikra, S.Psi yang telah membuat penulis semangat dan telah mengajarkan SPSS.
11. Kepala Perpustakaan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bpi< Haidir yang telah memberikan pelayanan yang terbaik, perpustakaan UI, CSIS, Perpustakaan Nasional RI dan Perpustakaan Gandaria.
12. Saudara-saudaraku yang telah berjasa membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Akhirnya, semoga Allah SWT membalas semua kebaikkan seudaraku semua dan ilmu yang ada bertambah serta bermanfaat. Amin. Tidak ada yang
sempurna di dunia ini, tetapi kita wajib berusaha untuk mendekatinya. terima kasih
Tabel 3.3 Distribusi stress kerja
Tabel 3.4 lndeks validitas item perilaku workaholic
Tabel 3.5 lndeks validitas item gejala insomnia Tabel 3.6 lndeks validit'ls item stress kerja Tabel 3.7 Kaidah klasifikasi uji reliabilitas tes
Tabel 4.1 Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.2 Gambaran umum responden berdasarkan usia
Tabel 4.3 Gambaran umum responden berdasarkan pendidikan Tabel 4.4 Gambaran umurn responden berdasarkan perusahaan Tabel 4.5 Gambaran umum responden berdasarkan status pernikahan Tabel 4.6 Statistic deskriptif
Tabel 4.7 Kalsifikasi skor perilaku workaholic
Tabel 4.8 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.9 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan usia
Tabel 4.10 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan pendidikan Tabel 4.11 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan perusahaan Tabel 4.12 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan status pernikahan Tabel 4.13 Kalsifikasi skor gejala insomnia
Tabel 4.14 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.15 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan usia
Tabel 4.16 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan pendidikan Tabel 4.17 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan perusahaan Tabel 4.18 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan status pernikahan Tabel 4.19 Kalsifikasi skor stress kerja
Tabel 4.20 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan jenis. kelamin Tabel 4.21 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan usia
Tabel 4.22 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan pendidikan Tabel 4.23 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan perusahaan Tabel 4.24 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan status penikahan Tabel 4.25 Penghitungan 3 variabel
Gambar 2.2 Scatterplot workaholic
Gambar 2.3 Scatterplot insomnia
ABSTRAK ii
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR TABEL. ... viii
DAFT AR GAMBAR ... ix
DAFTARISI ...
x
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. La tar Belakang Masalah . ... ... ... ... ... ... 1
1.2. ldentifikasi Masalah . ... .. ... ... ... ... ... 11
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah. ... ... .... ... 12
1.3.1. Pembatasan Masalah ... ... ... ... 12
1.3.2. Perumusan masalah ... 13
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... .... ... ... ... ... 13
1.4.1. Tujuan Penelitian ... ... .... ... ... 13
1.4.2. Manfaat Penelitian ... 14
1.5. Sistematikan Penulisan ... 14
BAB 2 KAJIAN TEORI ... 16
2.1. Perilaku Workaholic .. ... ... ... ... ... 16
2.1.1. Pengertian Perilaku Workaho/ir: ... .... ... ... 16
2.1.2. r'aktor-faktor Yang Mempengaruhi Workaholic ... 26
2.1.3. Kepribadian Workaholic ... 29
2.1.4. Perubahan Secara Emosional ... ... ... .. 33
2.1.5. Tiga jenis Perilaku Workaholic... 35
2.2.3. Penyebab Insomnia ... 54
2.2.4. Dampak Dari Insomnia ... 60
2.2.5. Rekomendasi Mencegah Insomnia ... 63
2.3. Stres Kerja .. . .. .. .. . .. .. .. .. .. .. . .. .... .. . .. .... .. .. .. .. .. .. . .. .. .. . . . .. .. . .. .. .. .. .. .. .. . 64
2.3.2. Pengertian Sires Kerja ... 64
2.3.3. Dimensi Sires ... 64
2.3.4. Sumber Stres ... 65
2.4 Kerangka Berfikir ... 71
2.5. Hipotesis Penelitian ... 73
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 75
3.1. Jen is Penelitian ... 75
3.1.1. Pendekatan Penelitian ... 75
3.1.2. Metode Penelitian ... 75
3.2. Variabel Penelitian ... 76
3.2.1. Definisi Variabel ... 76
3.2.2. Definisi Operasional ... 77
3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 78
3.3.1. Populasi dan Sampel ... 78
3.4. Teknik Pengambilan Sampel ... 79
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 80
3.6. Teknik Uji lnstrumen Penelitian... 86
3.6.1. Uji Validitas Skala ... 86
3.6.2. Uji Reliabilitas Skala ... 89
4.2.2. Uji Homogenitas ... 101 .
4.2.3. Distribusi Penyebaran Skor Responden ... 103
4.3. Uji Hipotesis ... 119
4.4. Pembahasan ... 120
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 122
5.1. Kesimpulan ... 122
5.2. Diskusi ... 122
5.3. Saran ... 127
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada era yang semakin sulit untuk mendapatkan peluang kerja di negara ini,
ocang terdorong untLlk berkornpetisi demi mendapatkan p1,kerjaan. Apakah
pekerjaan tersebut sesuai dengan bidang dan kemampuannya atau tidak,
sepertinya hal yang demikian tidak menjadi pertimbangan lagi, karena yang
paling fundamental ialah mereka mendapatkan pekerjaan yang bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bekerja merupakan tindakan seseorang untuk tujuan pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari berupa sandang, pangan dan papan. Pendapat tersebut
sama seperti yang diungkapkan oleh Smith bahwa tujuan inti dari pekerjaan
adalah untuk hidup. Dengan demikian yang dapat di sebut dengan bekerja
atau pekerja adalah aktivitas-aktivitas yang dapat di pertukarkan untuk
memelihara atau menyediakan sarana untuk hidup. Oleh karenanya, selagi
manusia masih hidup ia akan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Abdul Rahman Shaleh dan Yunita Faela Nisc., 2006).
Selain sebagai sekadar pemenuhan kebutuhan, dalam tingl<at yang lebih
martabat manusia itu dapat ditentukan. Pada tingkatan ini biasanya banyak
terjadi di kalangan masyarakat menengah ke atas karena mereka tidak lagi
memikirkan segi materi saja (Save M Dagun, 1997).
Bagi sementara orang, bekerja merupakan sarana untuk menuju ke arah
terpenuhinya kepuasan pribadi dengan jalan memperoleh kekuasaan dan
menggunakan kekuasaan itu pada orang lain (Panji Anoraga, 2001). Pada
level ini seseorang bekerja bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, keluarganya atau tuntutan lingkungannya, tetapi lebih mengarah
kepada pemenuhan kepuasan dalam bekerja sehingga dari sinilah banyak
melahirkan perilaku-perilaku yang tidak lazim dilakukan oleh kebanyakan
orang. Demi pemenuhan kepuasan dalam bekerja, banyak orang yang lupa
akan tugas dan kewajibannya, sehingga tugas-tugas sebagai manusia dan
sebagai m;ikfll11k sosial ia abaikan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa kerja adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh individu untuk di
pertukarkan dengan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi kelangsungan
hidupnya. Tatapi pendapat tersebut lebih tepat konteksnya diberlakukan
pada masyarakat kelas menengah ke bawah sedangkan untuk masyarakat
kelas menengah ke alas bahwa bekerja adalah pemenuhan akan kebutuhan
pengalaman yang mereka miliki dan tentu mendapatkan posisi yang nyaman
di tempat ia bekerja.
Sedangkan secara lebih hakiki menurut pendapat Toto Tasmara (2002),
bekerja bagi seorang muslim merupakan ibadah dan bukt1 pengabdian dan
rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan llahi agar mampu
menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai
ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik. s・、。ョAセォ。ョ@ disisi lain
makna "bekerja" bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, fikir dan 、コゥセZゥイョケ。@ untuk
meng-aktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
harus menundukkan dunia dan menempat-kan dirinya sebgai bagian dari
masyarakat yang terbaik (khoiru ummah) atau dengan kata lain dapatjuga
kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan
dirinya. Sebagaimana firman-Nya :
"Sesungguhnya Kami te/ah menciptakan apa-apa yang ada di bumi
sebagai perhiasan baginya supaya Kami menguji mereka siapakah
yang terbaik amalnya" (al-Kahfi : 7)
memiliki amal atau perbuatan yang terbaik, bahkan mereka pun sadar bahwa
persyaratan untuk dapat berjumpa dengan Allah hanyalah dengan berbuat
alam-amal yang prestatif, sebagaimana Firman-Nya surat al-Kahfi ayat 11 O
/ -;:; 0 o..- _, / / .... /
1:G-f
-:)
;;;G.
lJ
[ZセG、I@
w(.:,
セ@
セ@
-:)
,LlJ
1;..:; 0l5"
セ@
,,,,... / / / /
"Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah dia mengerjakan amal sha/eh dan jangan/ah dia
memper-sekatukan-Tuhannya da/am beribadah dengan sesuatu apa pun".
Tampaklah dengan sangat transparan bahwa bekerja memberikan makna
"keberadaan dirinya di hadapan llahi". Dia bekerja secara optimal dan bebas
dari segala belenggu atau tirani dengan cara tidak mau terikat atau
bertuhan-kan sesuatu apa pun. Dalam pengertian ini, seorang muslim menjadi seorang
yang kreatif, mereka mau menjadikan dirinya sebagai rnanusia yang terbaik.
Hal ini karena dia sadar bahwa bumi dihamparkan bukan sekedar tempat dia
menumpang hidup, melainkan justeru untuk diolahnya sedemikian rupa untuk
menggapai kehidupan yang lebih baik (Toto Tasmara, 2002).
Setiap manusia pada hakikatnya mempunyai sejumlah kebutuhan, pada
saat-saat tertentu menuntut pemuasan, di mana hal-hal yang dapat memberikan
pemuasan pada suatu kebutuhan adalah menjadi tujuan dari kebutuhan
lah kebutuhan itu terpuaskan, maka setelah beberapa waktu kemudian,
muncul kembali dan menuntut pemuasan lagi (Panji Anoraga, 2001).
Untuk memuaskan kembali kebutuhan tersebut, manusia harus mempunyai
tujuan yang jelas dalam bekerja. Tetapi tujuan saja ternyata tidak cukup
dalam bekerja, harus di dorong dengan prestasi karena, seseorang yang
mempunyai prestasi yang tinggi maka dalam bekerja akan memberikan hasil
yang maksimal bagi dirinya dan tentu bagi perusahaan tempat ia bekerja.
Namun pada era yang semakin kompetitif ini, banyak yang menempatkan
pekerjaan sebagai hal yang terpenting dalam kehidupan. Seperti yang dialami
oleh Sinta (28 tahun), seorang keryawati disebuah perusahaan multinasional
terkemuka. la memulai karirnya dari entry level bawah tiga tahun yang lalu.
Baru seminggu ia diangkat sebagai supervisor yang meimiliki beberapa anak
buah. Prestasi yang dicapainya ini tentu saja ia peroleh dengan kerja keras,
karena persaingan yang cukup tinggi dengan karyawan lainnya. la semakin
terpacu untuk memberikan performance yang lebih memuaskan. Malam
minggu ia habiskan untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor, dan tidak
jarang ia membawa sebagian pekerjaannya ke rumah, l<adang-kadang saat
makan siang pun ia masih tetap memikirkan pekerjaannya.
Kondisi yang dialami oleh sinta, merupakan fenomena workaholic, dimana
Mereka biasa bekerja dengan beban kerja yang tinggi dan menghabiskan
waktu yang panjang pula. Demi pekerjaan mereka sering mengabaikan
aktivitas ataupun tanggung jawab lainnya. Bagi yang belum berkeluarga,
mereka tidal< lagi terlibat dalam kegiatan atau aktivitas sosial dengan
temaf!-teman sehingga relasi dan kontak sosial semakin terbatas. (www.experd.org
dalam google.com, 2006).
Di kota besar yang ada di Jepang, setiap tahunnya 10.000 pekerja didapati
tergeletak di meja kerja mereka karena bekerja minimal 130 sampai 70 jam
dalam seminggu. Waktu istirahat mereka singkat sekali Hal ini tidal< hanya
berdampak pada kesehatan fisik saja, tetapi juga kesehatan mental karena
mereka mudah mengalami stres yang bersifat kronis. Dengan pikiran yang
terbebani dengan pekerjaan, mereka juga mengalami gejala sulit tidur. Jika
dibandingkan dengan rekan kerja yang bukan workaholic, mereka lebih
mudah merasa depresi bila mengalami hal-hal yang mengecewakan
(www.experd.org dalam google.com, 2006).
Selain itu, dari segi ォ・セ・ィ。エ。ョ@ akan menimbulkan stres yang akan
berpengaruh terhadap kondisi fisik seperti kemungkinan terkena serangan
jantung tergolong tinggi. Mereka berusaha keras untuk mencapai
kesuksesan, dan kalau promosi tidak sesuai harapan, mereka cepat
tinggi juga dapat menyebabkan tekanan darah rneningkat, sebagai faktor
yang paling beresiko terhadap sakit jantung atau serangan jantung. Stres
juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga menjadi lebih rentan
terhadap berbagai penyakit (Sinar Harapan 2003 dalam google.com).
Gejala stres juga dapat berupa gangguan psikis maupun fisik, atau
kedua-duanya. Menurut Munson, di antara gejala fisik adalah sakit kepala, flue, dan
sulit tidur. Sedangkan menurut Green dan Shellen Beger, gejala stres adalah
kurang konsentrasi, takut gagal dalam ujian, sulit membuat keputusan,
menurunnya daya ingat, dan perubahan dalam pola tidur dan makan (Jurnal
Tazkiyah, Netty Hartati, Bambang Suryadi, Neneng Tati Sumiati, 2005).
Dari beberapa gejala yang telah disebutkan di atas, yang ditimbulkan dari
stres diantaranya adalah sulit tidur. Sulit tic:.:r bis<:: di:;cbabkan dari beberapa
faktor salah satunya adalah dari perilaku workaholic, karena perilaku tersebut
banyak berdampak pada kesehatan. Seseorang yang mempunyai perilaku
workaholic juga mudah terserang berbagai penyakit dan gangguan psikis,
seperti gangguan tidur atau lebih khususnya lagi insomnia.
Insomnia (sulit tidur) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang fenomenal pada saat ini. Rosekind memperkirakan bahwa meskipun
menggolongkan 73% dari 115 pasiennya mengalami gangguan tidur.
Insomnia meningkat hingga 86% pada pengguna narkoba dan menjadi 100%
pada orang dengan kerusakan kognitif. Dengan tidak dilaporkannya kesulitan
tidur yang dialami pasien dokter hanya menemukan insomnia pada 33% dari
catatan medis pasien tersebut (Sinar Harapan 2003 dalam google.com).
Terhadap faktor penyebab gangguan tidur, maka banyak ahli mengatakan
pada umumnya disebabkan oleh banyak hal. Dalam pandangan Dr. Nino
Murcia mengatakan, "belum pernah menemukan gangguan tidur yang hanya
disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan banyak faktor". Dalam temuan
para ahli setidaknya ada empat faktor penyebab insomnia yakni predisposisi
psikologis dan biologis, penggunaan obat-obatan dan alkohol, lingkungan
yang mengganggu, serta kebiasaan buruk (Sinar Harapan 2003 dalam
google.com).
Secara khusus, faktor psikologis memegang peran utama terhadap
kecenderungan insomnia. Hal ini disebabkan oleh ketegangan pikiran
seseorang terhadap sesuatu yang kemudian mempengaruhi sistem saraf
pusat (SSP) sehingga kondisi fisik senantiasa siaga. Mis.alnya, ketika
seseorang sedang memiliki problematika pelik di lingkungan kantor, maka jika
ambang psikologisnya rendah akan menyebabkan fisik susah diajak
ketidakpastian hidup menyebabkan gangguan insomnia (Sinar Harapan 2003
dalam google.com).
Bukan hanya faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tentu saja gangguan
insomnia akan memiliki dampak negativ lain dalam kehidupan individu yang
bersangkutan. Pertama, akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga
berpeluang terhadap munculnya sejumlah penyakit. Kedua, susah tidur akan
berpengaruh terhadap stabilitas emosi sehingga mempengaruhi aktivitas
kehidupan sehari-hari, misalnya dalam menyelesaikan tugas di kantor, dan
interaksi dengan lingkungan sosial ijurnal Psychology Today, Juni 1986,
dalam Sinar Harapan 2003 dalam google.com).
Sampai di sini dapat digambarkan bahwa baik workaholic maupun insomnia
memiliki dampak yang buruk terhadap lingkungan sosial, dimana perilaku
11vorkaholic tersebut berimplikasi pada keluarga dengan kurangnya perhatian
yang dicurahkan kepada mereka, sementara insomnia berimplikasi pada
interaksi lingkungan sosial dengan gangguan stabilitas emosional sipenderita.
Ketika seseorang yang mempunyai perilaku workaholic diharapkan untuk
mengabdikan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan, maka besar kemungkinan
ia akan menghabiskan banyak waktu istirahat demi tuntutan profesionalitas.
problem kantornya bisa hadir dalam pikirannya yang dapat menjadi
penganggu tidurnya. Bila hal ini terus berlanjut, maka besar kemungkinan
bahwa seseorang yang mempunyai perilaku workaholic akan mengalami
gejala insomnia.
Pada PT. Astra lnternasional misalnya, sebuah perusahaan yang bergerak di
bidang industri otomotif, karyawan pada divisi Marketing dituntut untuk
mengembangkan potensi dirinya setiap saat. Hal ini disebabkan karena divisi
tersebut diharapkan menjadi sumber pengembangan dan sebagai tulang
punggung perusahaan. Oleh karena itu, peran divisi Marketing di PT. Astra
lnternasional menjadi sangat penting karena divisi terselbut harus
menyiapkan sumber daya manusia (SOM) yang siap menghadapi tantangan
pekerjaan yang sangat dinamis baik di lapangan maupun di dalam ruangan
(kantor).
Dari hasil wawancara dengan seorang karyawan divisi Marketing PT. Astra
lnternasional, diperoleh informasi bahwa pada divisi tersebut seringkali
karyawan bekerja melewati dari batas waktu normal dalam semiriggu. Mereka
harus mulai bekerja pada pukul 03:00 dan pulang ke rumah dengan jam yang
tidak bisa ditentukan. Sedangkan di dalam buku SM Lurnbantobiing (2004)
kebutuhan tidur untuk orang dewasa antara 6 sampai 9 jam jika mereka
yang fres keesokan harinya ketika bekerja. Kadang kala mereka merasa
mengalami gejala insomnia dikarenakan bekerja terlalu lelah dan dalam
kondisi tekanan, mereka merasa dikejar target, sebab, jik.a mereka tidak
mencapai target yang diharapkan oleh perusahaan maka mereka bisa
kehilangan pekerjaan tersebut. Dari hasil wawancara tersebut terlihat adanya
tuntutan kerja yang tinggi dan sekaligus tuntutan kerja itu berpengaruh
terhadap pola tidur mereka dengan minimnya waktu tidur pada malam hari.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik ingin mengetahui lebih jauh
mengenai perilaku workaholic pada beberapa karyawan di Jakarta dengan
timbulnya gejala insomnia. Oleh karena itu penulis ingin rnengungkapkan
lebih clalam lagi permasalahan tersebut, dengan penelitian yang berjudul :
"HUBUNGAN ANTARA PERILAKU WORKAHOLIC DE.NGAN TIMBULNYA
GEJALA INSOMNIA"
1.2 ldentifikasi Masalah
Untuk membatasi luasnya masalah yang dikemukakan, rnaka penulis
menjabarkan rumusan sebagai berikut :
1. Apakah para pekerja rli Jakarta memiliki perilaku workaholic ?
2. Adakah hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala
insomnia?
4. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi timbulnya gejala insomnia ?
5. Seberapa besar dampak yang ditimbulkan seseorang yang
mempunyai perilaku workaholic ?
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1 Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang dapat di identifikasi. rnaka masalah yang
menjadi objek penelitian dibatasi pada :
1. Apakah seseorang yang mempunyai perilaku workaholic mengalami
gejala insomnia?
Sedangkan batasan variabelnya adalah sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan perilaku workaholic adalah Seorang workaholic yang
secara emosional beralih menjadi lumpuh dan kecanducin terhadap kontrol
dan kekuatan dalam kendali dorongan hati yang kuat untuk mendapatkcin
pengakuan dan kesuksPsan (Barbara Killinger, 1991).
a. Perilaku workaholic adalah seseorang yang secara emosional beralih
menjadi lumpuh dan kecanduan terhadap control dan kekuatan dalam
kendali dorongan hati yang kuat untuk mendapatkan pengakuan dan
kesuksesan (Barbara Killinger, 1991 ).
Workaholic atau ketagihan kerja ialah orang yang terdorong untuk
terus menerus bekerja, sehingga sering kali tidak memperhatikan
b. Sedangkan diagnosis dalam Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa
(PPDGJ-111: 2001) insomnia adalah a). keluhan adanya kesulitan
masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk
; b) gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu setama minimal
satu bulan; c) adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur
(sleeplessness) dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada
malam hari dan sepanjang siang hari; d) ketidak puasan terhadap
kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
1.3.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut di atas, peneliti merumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1.
Apa!<ah ad:i !i'Jc'Jn;;ar. 1ang signifikan antara perliaku workaholicdengan timbulnya gejala insomnia?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan
1.4.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat rnernberikan rnanfaat, baik secara teoritis
rnaupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat rnernberikan rnanfaat bagi
pengernbangan teori-teori psikologi, khususnya yang berhubungan
dengan teori perilaku workaholic, teori insomnia serta bidang
psikologi industri dan psikologi klinis.
b. Manfaat Praktis
Sedangkan secara praktis untuk rnernberikan inforrnasi dan
pengetahuan, pertirnbangan, bahan rujukan dan pernbanding untuk
penelitian-penelitian selanjutnya. Disarnping itu rnasukan bagi para
pelaku workaholic, para pernerhati kesehatan, clan bagi para pekerja.
Khususnya bagi para pekerja rnuda yang rnasih bersernangat dan
arnbisius dalarn rnengejar karir.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk rnengetahui bagairnana penelitian ini dibuat, rnaka penulis
rnenjelaskan sebagai berikut :
BAB 1 Berisi tentang latar belakang rnasalah, identifikasi rnasalah,
BAB2
BAB3
BAB4
BABS
Kajian pustaka yang meliputi : Pengertian perilaku workaholic,
Faktor-faktor yang mempengaruhi workaholic, Kepribadian
workaholic, Perubahan secara emosional, jenis-jenis perilaku
workaholic, tanda-tanda utama gangguan workaholic,
perubahan kepribadian, Pengertian insomnia, Jenis-jenis
Insomnia, Penyebab insomnia, Dampak dari insomnia,
rekomendasi mencegah insomnia, pengertian stres kerja,
dimensi sires, sumber sires, kerangkan berfikir, hipotesis
penelitian.
Metodologi penelitian yang meliputi : Jenis penelitian, variable
penelitian, metode pengambilan sampel, tEikhik pengambilan
sempel, teknik pengumpulan data, teknik uji instrument
penelitian, prosedur penelitian.
Presentasi dan analisis hasil penelitian : Gambaran umum
responden penelitian, presentasi data, uji normalitas, uji
homogenitas, serta uji hipotesis.
Merupakan penutup yang meliputi: Kesimpulan, Diskusi, dan
2. 1 Perilaku Workaholic
2.1.1 Pengertian Perilaku Workaholic
The term was coined in. ·/971 by Wayne Gates, an American minister and
professor of the psychology of religion. In his personal story, Confessions of
a
Workaholic, he begins with a light-hearted attempt to josh his readers into
chuckling with him over the notion of
a
compulsion to work. This approachsoon gives way to a serious look at his own addiction and its roots.
lstilah workaholic diperkenalkan pada tahun 1971 oleh \Nayne Oates,
seorang menteri Amerika dan guru besar Psikologi Agarna. Dalam catatan
pribadinya, (Confessions of a Workaholic), ia memulai tulisannya dengan
cara mencandai para pembacanya yang diduganya bekerja karena terpaksa.
Pendekatan ini segera memberikan cara untuk dapat melihat dengan serius
bahwa kecanduan bekerja atau workaholic berasal dari permasalah di alas
(Barbara Killinger, 1991 ).
Workaho/ism is certainly not mental dosorder and is not listed as such in the
American Psychiatric Association's handbook of such disorders. Nonetheless,
it is a disturbing behavioral trait with substantial costs, as shall be seen, to the
Workaholism bukanlah sebuah gangguan mental dan ia tidak terdaftar dalam
handbook Assosiasi Psikiatri Amerika sebagai suatu gangguan. Kendati
demikian, ia merupakan perilaku yang mengganggu ケ。ョセj@ sangat substansial
terhadap individu yang mengidapnya, sebagaimana ケ。ョセj@ akan dilihat.
Workaho/ism dapat dianggap sebagai gejala psikologis (Frank Bruno, 1993).
The concept of workaholism does not apply to individuals who must work long
hours as
a
necessity. A small farmer woth livestock that must be tended toevery day may work 60 or 70 hours a week, but he or she is not suffering
from workaholism. A single parent who works long hours and takes college
classes in the hope of becoming
a
better provider is not a victim ofwork-aholism. On the whole, it can be said that persons who display worfraholism
tend to perform either challenging or creative work, not routine drudgery.
They tend to be people who own businesses or have management posi-tion
in
a
business, have profession in such fields as medicine, law, and teaching,or have careers in the fine arts, such as writing, composing or performing.
Konsep workaholism tidak dapat diterapkan pada individu-individu yang harus
bekerja berjam-jam sebagai suatu keperluan. Petani kecil yang memiliki
cadangan hidup yang habis setiap harinya mungkin bekerja 60-70 jam dalam
seminggu, namun demikian ia tidak menderita workaholism. Seorang guru
yang bekerja berjam-jam untuk mengisi jam kelas tambahan dengan harapan
workaholism. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa seseorang yang
menunjukkan perilaku workaholism cenderung mengarah pada tantangan
ataupun kerja kreatif. Mereka cenderung menjadi orang yang 1) memiliki
bis-nis atau memiliki posisi manajerial dalam sebuah bisbis-nis, 2) memiliki profesi
profesi di bidang-bidang seperti obat, hukum, dan pengaj<iran, atau 3)
memi-liki karir di bidang seni seperti menulis, mengarang, atau pelaku seni (Frank
Bruno, 1993)
Workaholic bisa terjadi pada siapa saja, laki-laki atau perempuan, tua atau
muda. Workaholic bisa terjadi pada mereka yang berusia dua puluhan tahun
atau bahkan yang belasan tahun. Namun biasanya ia terjadi pada usia lanjut,
pada orang-orang yang telah berusia empat puluhan dan llima puluhan tahun.
Not many peo,fJI"' are c0mf0rtable with that label. We all think we know
some-one who is workaholic, but few of us are willing to acknowledge our own
addiction to work. And yet, workaholism has become pan of everyday life.
Tidak banyak orang yang merasa nyaman dengan panggilan workaholic.
Namun kita bisa mengetahui seseorang tergolong workaholic, meskipun
sed,kit dari kita yang mau menyadari diri sendiri sebagai pecandu kerja. Dan
terlebih lagi, workaholism telah menggejala dalam kehidupan riil. Jadi, siapa
A person who works long hours is not necessarily a workaholic. Work is
essential for our well-being. Through wort< we define ourselves, develop our
strengths, and take our places in society. Work gives us satisfaction, a sense
of accomplishment, and mastery over problems. It provides us with a
direc-tion, and gives us goals to reach and hurdles to overcome. When we lose a
job, or cannot work for whatever reason, our personalities suffer profound
emotional disorganization and disturbance. Work addiction is different.
Ironically, it usually happens to middle-class people who are not driven to
overwork by economic necessity. Someone who has to work extra hard to
clothe and feed the family is simply facing a stark reality. He or she is not
motivated by an obsession or driven by a neurotic addiction. Hard workers
who are not workaholics enjoy their work and at times do become
passio-nately devoted to it. They pour great energy and enthusiasm into work and,
on such ッ」」。ウゥッョセL@ may perbr.'il rc:r.arkable fea&! These'bursts of
produc-tivity are not the nonn, however. Most of the time, these workers can maintain
balance in their lives and are fully in charge of their work schedules.
Orang yang bekerja berjam-jam bukanlah langsung dianggap sebagai
seorang workaholic. Workaholic adalah is!ilah yang digunakan bagi mereka
yang gila keria atau kecanduan kerja. Tapi 'workaholic' berbeda dengan
pekerja keras (hard worker). Pekerja keras merupakan istilah yang paling
umum untuk menggambarkan orang-orang yang rajin bekerja untuk
menyadari bahwa ada hal lain yang juga penting selain bekerja. Pekerja yang
digolongkan sebagai hard worker memandang pekerjaan sebagai hal yang
penting sehingga berusaha untuk memberikan hasil dan kontribusi yang
optimal. Namun mereka dapat membatasi keterlibatan diri dengan pekerjaan,
sehingga masih memiliki waktu untuk keluarga, teman atau aktivitas rekreasi.
Dengan demikian mereka dapat melepaskan diri dari pekerjaan dan memiliki
kehidupan lain (Barbara Killinger, 1991).
Someone who has to work extra hard to clothe and feed the family is simply
facing a stark reality. He or she is not motivated by an obsession or driven by
a neurotic addiction. Hard workers who are not workaholics enjoy their work
and at times do become passionately devoted to it. They pour great energy
and enthusiasm into work and, on such occasions, may perform remarkable
tea&! These'bursts of productivity are not the norm, however. Most of the
time, these workers can maintain balance in their lives and are fully in charge
of their work schedules.
Seseorang yang bekerja ekstra keras (hard worker') untuk memberi makan
dan pakaian keluarganya disebabkan karena tuntutan realitas. la tidak
bekerja karena suatu obsesi, atau tidak dituntut oleh kecanduan neurotic
Seorang pekerja keras (hard worker) yang tidak tergolong workaholic
menikmati pekerjaannya dan pada saat yang sama ia benar-benar bernafsu
untuk bekerja dan pada saat itu, ia mungkin melakukan perbuatan yang hebat
sekali. Tetapi pekerja keras macam ini dapat mempertahankan
keseimbangan hidupnya dan tetap bekerja berdasarkan jadwal (Barbara
Killinger, 1991 ).
Meskipun pekerjaannya sangat membantu dalam menentukan siapa dia
dalam kehidupan masyarakat dan meskipun karirnya berperan dalam
membentuk gaya hidupnya, namun baginya bekerja hanyalah bagian dari
kehidupannya dan arti penting pekerjaannya dapat tergantikan oleh perasaan
cintanya kepada keluarga dan temannya, yang tampak dari ketertarikan dan
keterlibatannya dalam bergaul di berbagai aktifitas, dalarn kepercayaan sosial
dan spiritual serta perhatiannya. Orang seperti ini bersentuhan dengan
perasaannya dan mampu mengekspresikan rasa cintanya kepada orang lain
melalui perkataan dan perbuatannya, meskipun hal itu mengganggu waktu
kerjanya (Barbara Killinger, 1991).
Workaholism is not about healthy work, but about addiction and the abuse of
power and control. A workaholic is not someone who simply works hard and
enjoys what he or she does. For
a
workaholic, the job is simply the setting forthe addiction, a place where approval is sought.
Berbeda dengan workaholic yang mungkin tidak termasuk ke dalam kerja
Seorang workaholic bukanlah orang yang bekerja keras dan dapat dengan
mudah menikmati pekerjaannya. Bagi seorang workaholic, pekerjaan adalah
suatu setting bagi candu, suatu tempat di mana pengakuan bisa didapatkan
(Barbara Killinger,
1991 ).
Seorang workaholic, tidak rela membiarkan diri mereka tanpa bekerja karena
akan menimbulkan perasaan tidak berharga dan エ・イ。ウゥョセQM Bahkan ada yang
merasa aneh pada dirinya dan lingkungan. Pada sebagian workaholic,
mereka berusaha untuk menghindari kondisi di mana mereka tidak bekerja.
lni terjadi karena persepsi yang berlebihan terhadap pekerjaan, sebagai
satu-satunya hat yang paling dapat memberikan kebanggaan
(www.experd.org.com).
Untuk lebih memahami pengertian perilaku workaholic, berikut akan
dikemukakan beberapa definisi perilaku workaholic dari berbagai sumber:
Konsep "workaholic" ini muncul sebagai sesuatu yang sifatnya tidak formal di
tengah masyarakat umum, dan ia jelas merupakan turunan dari kata
alkoholism. Meskipun workaholic tidak memiliki arti klinis yang ielas, namun
secara luas ia dapat didefinisikc.n sebagai "a stable behavioral pattern in
which an individuals is psychologically addicted to work." Like an alcoholic,
the individual cannot readily resist the "drug" of work. Work draws the person
secara psikologis kecanduan bekerja." Sebagaimana halnya seorang
pecandu alkohol, individu itu tidak sanggup menahan "drug" pekerjaan.
Pekerjaan akan menggambarkan orang itu layaknya seperti magnet (Frank J.
Bruno, 1993)
(A workaholic is a person who gradually becomes emotionally crippled and
addicted to control and power in a compulsive drive to gain approval and
success) Seorang workaholic adalah seseorang yang secara emosional
beralih menjadi lumpuh dan kecanduan terhadap control dan kekuatan dalam
kendali dorongan hati yang kuat untuk mendapatkan pengakuan dan
kesuksesan (Barbara Killinger, 1991 ).
Workaholic sesuai dengan imbuhan di belakangnya ' aholic', berarti
kecanduan atau ketagihan. Jadi perilaku workaholic adalah istilah yang
digunakan untuk mereka yang ketagihan atau kecanduan kerja. Mereka
serasa mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dengan bekerja secara
berlebihan. Mereka juga bisa menghabiskan waku untuk bekerja dalam
seminggu antara 60 jam - 70 jam (www.astaga.com).
Workaholic atau ketagihan kerja ialah orang yang terdorong untuk
terus-menerus bekerja keras, sehingga sering kali tidak memperhatikan kesehatan
(A workaholic
is a
person addicted to work. This addiction may be pleasurableto the victim or it may be burdensome and troubling) Workaholic adalah
seseorang menjadi kecanduan untuk bekerja. Kecanduan ini bisa
menyenangkan bagi korban atau mungkin saja beban dan mengganggu
(www. Wikipedia. com, 2006).
Dari gambaran di atas, penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
perilaku workaholic adalah perilaku seseorang yang kecanduan dalam
bekerja, mereka merasa mendapat kenikmatan dalam bekerja dengan
menghabiskan waktunya untuk bekerja tanpa menghiraukan lingkungan yang
ada di sekitarnya demi mendapatkan pengakuan dan kesuksesan. Mereka
juga bekerja dengan tujuan untuk mendapatkan status d:an posisi di tempat
kerja. Mereka juga bisa menghabiskan waktu bekerja dalam seminggu 40
jam lebih padahal undang-undang perburuhan mengatur tenaga kerja
maksimal 40 jam perminggu karena, kekuatan seseorang ada batasnya dan
apa yang dikerjakan diluar daya kemampuannya, apalagi sudah melampaui
ambang kelelahan, sudah tidak produktif lagi. Bahkan mungkin keputusan
yang sebenarnya penting sekali diambil dengan sembarangan saja karena
lelah b«ik fisik maupun psikis.
Workaholism saat ini telah menggandrungi kehidupan terutama di kota-kota
dan menyebabkan perasaan tidak nyaman dan tidak bahagia dalam hidup
pengidapnya karena jauh dari orang-orang yang ia cintai. Workaholic atau
kecanduan bekerja biasanya terjadi pada orang-orang golongan menengah
ke atas yang bekerja tidak karena keterpaksaan dengan alasan ekonomi
(Barbara Killinger,1991).
Orang-orang workaholic umumnya tidak butuh melakukan hal lain yang
sesungguhnya juga penting dalam hidupnya. Memang, seorang workaholic
cenderung memiliki kekhasan tersendiri dalam bekerja. Perilakunya selalu
terarah dan terfokus hanya pada pekerjaan. Seorang 'workaholic' mampu
bekerja sejak pagi hingga pagi lagi. Sehingga hal-hal di luar pekerjaan
dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. (vvww.Astaga.com).
Pada masyarakat pe;kotaar. セ」。、。。イL@ i11i disebabkan olE!h pengaruh
lingkungan. Orang diharapkan untuk setia terhadap perusahaan teli'pat ia
bekerja dan mengorbankan segala sesuatu untuk perusahaannya.
Sebaliknya secara moral perusahaan dituntut untuk mempekerjakan si
karyawan seumur hidupnya. Keadaan ini juga dapat 、ゥsAセ「。「ォ。ョ@ oleh ambisi
yang terlalu besar. Rasa tidak percaya diri, kurangnya harga diri, dapat pula
menjadi penyebabnya. Kerja keras merupakan salah satu mekanisme
merugikan kesehatan dan menjadi salah saru penyebab kematian di Jepang
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004).
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Workaholic
Menu rut (Barbara Killinger, 1991) Workaholisme muncul dari lingkungan
sosial, yaitu peran keluarga yang kurang berfungsi, atau berasal dari
lingkungan masyarakat workaholic itu sendiri:
1. (Children are taught that it is not okay to talk about problems).
Anak-anak berpikir bahwa tidak baik membicarakan problem. Tidak
membicarakan permasalahan akan mendorong terciptanya suatu
kerahasiaan dan menjadikan system keluarga mi:mjadi tetap tertutup
meskipun untuk hal-hal lainnya. Membantah tidal< pernah diijinkan di
dalam lingkungan keluarga.
2. (the family does not believe that feelings should Ile expressed openly)
Keluarga tidak percaya bahwa perasaan hendaknya diungkapkan
secara terbuka. Komunikasi yang sehat menjadi sulit ketika
contoh-contoh peran yang sehat tidak ada. Bila orang tua secara emosional
menjadi pincang oleh workaholism atau kecanduan-kecanduan lain
'
mereka benar-benar tidak lagi mengetahui bagairnana perasaan
mereka.
3. (Communication between family members is usually indirect, with one
antara anggota keluarga biasanya tidak secara langsung, di mana
salah satu di antaranya menjadi penyambung pesan untuk dua orang
yang lain. Ketidakberfungsian keluarga selalu membentuk" segi tiga,"
di mana satu anggota keluarga bertemu dengan orang lain untuk
mengatakan permasalahannya dengan orang yang akan menjadi
penghubung. Pola-pola komunikasi tak langsung ini adalah tidal<
berfungsinya anggota keluarga sebab mereka jarang didorong untuk
memecahkan permasalahan yang sedang dipecahkan bersama, tetapi
mereka menciptakan orang-orang baru.
4. (Children get the message that they should be strong, good, right, and
perfect) Anak-anak mendapat pesan bahwa mereka hendaknya kuat,
baik, benar, dan sempurna. Cinta bersyarat mengatakan: ''.Aku akan
mencintaimu jika kamu baik, sempurna, kuat, dan bertanggung jawab."
Di sisi yang lain, cinta tak bersyarat mengatakan, "Jadilah dirimu
sendiri, aku akan mendukungmu sebagai dirimu yang unik. Aku akan
memberitahu ketika aku tidak setuju dan tidal< mendukung tingkah
lakumu, dan aku akan mencoba untuk menawarkanmu petunjuk dan
kebijaksanaan sebagai pertimbanganmu. Kamu dapat menerima atau
menolak hal ini, dan aku akan tetap mencintaimu."
5. (Parents expect children to make them proud) Orang tua berharap
anak-anaknya membuatnya bangga. Di dalam keluarga-keluarga yang
mengomentari mutu pekerjaan yang dikerjakan, tetapi tidak
memberikan kritikan " baik" atau" tidak baik" untuk setiap hasilnya.
6. ("Don't be selfish" is a common admonition from parents) "Jangan
egois!" adalah satu peringatan umum dari orang tua. " Egoisme sehat"
berarti memelihara diri sendiri. Di dalam dysfunctional keluarga,
pasangan hidup dan anak-anak belajar untuk merawat orang lain,
tetapi sering melupakan kesehatan dan kebahagiaan mereka sendiri,
dan bahkan mereka menjadi sangat sibuk melayani orang lain bahwa
mereka medahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri.
7. (Children are told" Do as I say and not as I do'} .A.nak-anak
diperintahkan, "Kerjakan seperti yang kukatakan, bukan seperti yang
aku lakukan". Di dalam disfunctional keluarga, perilaku dan
perbuatan-perbuatan orang tua tidak selalu mern3tapkan satu contoh
ya119 t,.:;ik untuk anak-anak.
8. (Children team that it is not okay to play or be playful) Anak-anak
belajar bahwa tidak baik bermain atau banyak bHrmain. Permainan
adalah inti sari dari kreativitas dan kegembiraan, dari kesenangan dan
persahabatan. Di dalam disfunctional keluarga, permainan adalah
pekerjaan yang dicurigai.
9. ("Don't rock the boat" is a family motto) "Tidak mengacaukan keadaan"
itu adalah semboyan keluarga. Jika anda tidak mengacaukan
pengalaman di dalamnya. Hanya dalam suatu keinginan anda belajar
dari kegagalan, bukan dari hasilnya. Satu pengalaman keluarga atas
permasalahan perlu untuk diuji terhadap kenyataan bagaimana orang
lain melihat mereka.
Poin-poin di atas dari pengaruh dalam keluarga. Namun bagaimanapun,
keluarga bukan satu-satunya pengaruh yang mendorong perilaku
workaholism atau yang dapat mengubah nilai sosial dalarn lingkungannya.
Separuh dari abad ini sudah membuat perkembangan satu iklim
konsumerisme dan paham materialisme (l<ebendaan). Seorang workaholic,
kontribusinya terhadap masyarakat adalah patut dicontoh , namun kehidupan
pribadinya adalah bencana (Barbara Killinger, 1991).
2.1.3 Kepribadian Workaholic
As workaholism begins to control the workaholic's life, three traits
-perfectionism, obsession, and narcissism - become exaggerated and
dominate the workaholic's thoughts and actions. We will see how
perfectionism leads to obsession and, eventually, to narcissism. Consider
how far along
a
continuum line you are for each of these traits. We all slidealong the continuum and exhibit neurotic behaviour some of the time but we
'
Ketika workaholism mulai mengontrol/mengendalikan kehidupan seorang
workaholic, ada tiga ciri yang mendominasi pemikiran dan tindakan seorang
pengidap menu rut (Barbara Killinger, 1991 ).
a. Petfecsionisme : suatu kebiasaan di mana orang ingin segala
pekerjaan dilakukan dengan sempurna (John M Echols, Hasan
Shadily, 1997).
Perfeksionis (petfectionis) adalah orang yang ingin segalanya serba
sempurna, orang yang percaya bahwa kesempurnaan moral bisa
dicapai lewat perilaku tanpa dosa (Save M Dagun, 1997).
b. Obsesi (Obsession) adalah gangguan jiwa neurotic yang membuat
seseorang hanya memikirkan dan mengingat-ingat sesuatu (ide,
aspirasi, keinginan) secara terus menerus.
Untuk kriteria gangguan kepribadian obsesif-kompulsif dalam
Diagnostic Statistic Manual-IV (DSM-IV) adalah : a). terfokus secara
berlebihan pada aturan dan detail hingga poin utama suatu aktivitas
terabaikan; b). perfeksionisme ekstrem hingga ke tingkat yang
membuat berbagai proyek jarang terselesaikan; c). pengabdian
berlebihan pada pekerjaan hingga mengabaikan kesenangan dan
persahabatan; d). tidak fleksibel tentang moral; f). sulit membuang
benda-benda yang tidak berarti; g). enggan mendelegasikan kecuali
kepala (Mellinger, Balter, & Uhlenhunt, dalam Gerald C. Davison, John
M. Neale, Ann M. Kring, dalam Noermalasari f。ェ。Qセ@ (2006).
Kepribadian obsesif-kompulsif adalah seorang yang perfeksionis,
terfokus berlebihan pada detail, aturan, jadwal, dan sejenisnya.
Orang-orang tersebut sering kali terlalu memperhatikan detail sehingga
mereka tidak pernah menyelesaikan proyek. Mereka berorientasi pada
pekerjaan dan bukan pada kesenangan dan teramat sulit mengambil
keputusan (karena takut salah) dan mengalokasi waktu (karena takut
terfokus pada hal yang salah). Hubungan interpersonal mereka sering
kali buruk karena mereka keras kepala dan menuntut agar segala
sesuatu dilakukan dengan cara mereka. "Gila kendali" adalah istilah
popular bagi orang-orang tersebut.
c. Narsisme (Narcissism) adalah menganggap diri sendiri paling tampan,
paling cantik, kecintaan yang berlebihan terhadap diri sendi1 i,
l\eGeri-derungan untuk bercinta dengan diri sendiri (Save M Dagun, 1997).
Sedangkan kriteria gangguan kepribadian narsisistik dalam Diagnostic
Statistic Manual-IV (DSM-IV) adalah : a). Pandangan yang
dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri, arogansi; b). terfokus
pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri; c). kebutuhan ekstrem
untuk dipuji; d). perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan
Orang-orang dengan gangguan kepribadian narsisistik memiliki
pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka;
mereka terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan besar. Mereka
juga menghendaki perhatian dan pemujaan berlE!bihan yang hampir
tanoa henti dan vakin behwa mereka hanya dapat dimengerti oleh
orang-orang yang istimewa atau memiliki status tinggi. Hubungan
interpersonal mereka terhambat karena kurangnya empati, perasaan
iri dan arogansi, dan memanfaatkan orang lain serta perasaan bahwa
mereka berhak mendapatkan segala sesuatu - rnereka menghendaki
orang lain melakukan sesuatu yang istimewa untuk mereka tanpa
perlu dibalas. Kerpibadian narsisistik sangat sensitif terhadap kritik dan
sangat takut kegagalan (Gerald C. Davison, John M. Neale, Ann M.
Kring, dalam Noermalasari Fajar (2006).
Orang-orang yang mengalami gangguan ini dari luar tampak memiliki
perasaan luar biasa akan pentingnya dirinya. Kegagalan untuk
mengembangkan harga diri yang sehat terjadi bila orang tua tidak
merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan anak-anak
mereka. bila orang tua merespons anaknya den9an penghargaan,
kehangatan, dan empati, mereka menumbuhkan rasa makna diri yang
normal dan harga diri yang sehat pada si anak (Gerald C. Davison,
2.1.4 Perubahan Secara Emosional (The Emotional Turmoil)
Someone who is
a
hard worker, but obsessive in his actions or driven toexcel, is not necessarily
a
work addict. A workaholic cannot not work for anyextended period of time without growing anxious. The long hours spent at
work are only
a
sign that the person is not being effective. It may now taketwelve hours to do what used to be done in eight. Working Jess is not a
solution because it is what is happening in the inner psyche that produces the
profound personality changes that cripple the workaholic.
Seorang pekerja keras (hard worker), tidak dikendalikan dan terasul<i di
dalam tindakannya, mereka tidal< harus menjadi pencandu kerja. Sedangkan
seorang workaholic tidal< bisa tidal< bel<erja untul< periode yang lama tanpa
didorong dengan semangat dan rasa cemas (Barbara Killinger, 1991)
To illustrate ti'1i& pr0c&s.>, I will describe one personality type that is
parli-cularly prone to workaholism: the introverled thinker. These people process
information by taking it in and fanning their own subjective way of viewing the
world. Because these people are introverled, and tend not to check with
others, it is easy for them to get lost in
a
fantasy world where their ideas aretied to inner images rather than to reality. Such people are often indifferent to
the opinions of other people and are prone to view their own ideas as "right,"
Untuk menggambarkan proses ini, akan diuraikan satu tipe kepribadian itu,
yaitu "Senang memikirkan diri sendiri." Orang-orang ini rnemproses informasi
dan membentuk jalan pemikirannya dengan cara subjektif mereka sendiri
dengan mengamati dunia. Sebab orang-orang ini senan9 rnemikirkan diri
sendiri, dan cenderung bukan untuk memperhatikan orang lain. Orang-orang
seperti itu sering tidak acuh akan pendapat-pendapat dari orang lain dan
merel<a ingin orang lain cenderung memandang gagasan-gagasan mereka
sendiri sebagai yang "benar," maksudnya untuk mereka, masuk akal, logis,
dan adil. Sikap rendah hati adalah bul<an salah satu ciri dari mereka.
Then the addiction to work gradually pushes him or her to work harder and
longer to achieve power and control in the form of success. The workaholic,
as the breakdown progresses, sees only limited possibilities and rigidly
adheres to what is knc;;·n 。ョセ@ sc.fa. Addicts are prone to use dualistic thinking
because it reduces the very complex into two simplistic choice;;. One must be
right; the other wrong. There are very few greys in the world of the
work-aholic. At this stage, unlimited options are too confusing and upsetting.
However, the answer often lies beyond the two options.
Kemudian kecanduan untuk pekerjaan secara berangsu1·-angsur, atau
dengan desakan-desal<an untul< bekerja lebih panjang dan lebih keras,
men-capai kekuasaan dan dapat mengendalikan dalam wujucl sukses. Ketika
kemung-kinan dan dengan bertahan untuk rnendapatkan rasa aman.
Pencandu-pencandu kerja atau workaholic cenderung akan rnenggunakan pernikiran
dualistic, sebab itu rnengurangi kornpleksitas ke dalarn dua pilihan
seder-hana. Satu harus benar; yang satu lagi harus salah. Sangat sedikit untuk
bersikap netral dalarn dunia workaholic. Pada tangkah ini, pilihan-pilihan yang
tak terbatas adalah rnernbingungkan dan rnerepotkan.
2.1.4.1 Tiga Jenis Workaholic
Walaupun para workaholic biasanya mernpunyai karakteristik-karakteristik
tertentu narnun ada tiga tipe yang berbeda di antara rnereka: Workoholic
Pengendali (Controller'), Workoholik Pengendali yang Narsisistik (Narcissistic
Controller'), dan Workaholic Menyenangkan (Pleaser).
Tipe Pertama Workoholic Pengendali
Controller workaholics are very independent, ambitious, driven, and intense.
These people are energetic, need little sleep, enjoy keeping busy, and rarely
relax. They can be charming and witty, and appear to be sociable, but they
have few close friends. Secrecy and privacy are important to them, and
sharing is not natural. They are impatient and impulsive. Many controllers are
thinking types. Because they value independence so hfghly, they are often
Sangat bebas, ambisius, dan kuat. Orang-orang ini giat, minim tidur,
menik-mati terus bersibuk, dan jarang rileks. Mereka bisa saja pintar, jenaka,
mem-pesona, dan tampak pandai membawa diri, tetapi mereka mempunyai sedikit
sahabat karib. Privasi dan kerahasiaan adalah penting bagi mereka, dan
me-reka tidak lazim berbagi. Meme-reka tidak sabaran (impatient) dan meluap-luap
(impulsive). Di antara para workaholic tipe pengendali ini banyak yang tipe
pemikir. Karena, mereka sangat menghargai kebebasan. Mereka sering kali
ditemukan pada posisi management atas, atau bekerja untuk diri sendiri.
Mereka bekerja mati-matian sampai kelelahan. Kemudian mereka menjadi
dihentikan dan berhenti untuk berfungsi dengan baik sampai badan bisa
memugar kembali energinya. Para workaholic pengontrol menciptakan
atmospir yang meningkat dari marah bera!ih ke merah padam, hingga
akhir-nya menghancurkan anggota keluarga dan teman kerja. Benteng pertahanan
utama dari workaholic tipe ini adalah menyangkal, rasionalisasi, menghindar.
Tipe kedua workaholic Pengendali Narsissistic
A second type, the more disturbed Narcissistic Controller, has similar
reac-tions, but tends to resort to dissociation when stress climbs too high.
Dis-sociation occurs when
a
person splits off and represses negative feelingsabout things, other people, and him or herself. Unwanted things cease to
exist; people are ignored. The person does not remember that things have
Capacity to truly love others unconditionally. They are エィQセ@ takers who
mani-pulate others to serve their own ends. Stubborn and proud, they view image
as everything.
Memiliki reaksi yang serupa, tetapi cenderung mencari jalan untuk
memisahkan diri ketika stres yang ia alami terlalu berat. Pemisahan diri
terjadi bila ada orang yang memberikan perasaan negativ terhadap sesuatu,
orang lain, atau terhadap diri workaholic ini sencliri. Ketika hal-hal yang tak
cliinginkan tidak nampak lagi, orang-orang diabaikannya. Pengidap
workaholic tipe ini tidak ingat lagi bahwa hal yang tak diinginkan itu sudah
pernah terjadi. Orang-orang workaholic ini narcissistik clan belum dapat
mengembangkan suatu kapasitas untuk mencintai orang lain dengan
sesungguhnya dalam keadaan yang tanpa syarat. Mereka adalah penerima
yang memanipulasi orang lain untuk kepentingannya sendiri. Keras kepala
dan berbangga, adalah citra yang lekat pada dirinya.
Tipe ketiga, Pleaser
Pleaser workaholics tend to be less ambitious, more sociable people who are
keenly aware of other people and other people's needs. They enjoy beinf'f
with others, but can be too dependent on them. They take middle
manage-ment jobs because feedback from others and the boss's sea/ of approval are
important to them. They tend to avoid making waves ano' will act out passively
to go wrong, emotions build up inside. Sometimes anger gets misdirected to
someone or something else. Fear and resentment make them overly sensitive
to criticism, and some become paranoid. Instead of verbalizing their hurt and
confusion, pleasers absorb their anger and feel guilty. Since guilt is
self-anger, it only adds to their distress. They become depressed, moody, and
more distant and uninvolved. They may walk away to avoid their own anger or
to get away from others' anger.
Cenderung kurang ambisius, lebih sosialis, selalu sadar akan orang lain dan
kebutuhan orang lain. Mereka menikmati kebersamaan dengan orang lain,
tetapi dapat menjadi sangat bergantung pada orang lain. Pekerjaan yang ia
ambil adalah management kelas menengah, karena umpan balik berupa
pengakuan dari orang-orang dan bosnya masih penting bagi mereka. Mereka
cenderung untuk menghindari membuat gelombang dan akan bertindak
secara pasif dari pada mendapatkan risiko penolakan ataupun celaan yang
dibarengi dengan kemarahan yang tertuju padanya. Ketika ada masalah,
berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Terkadang, jika ia sedang
marah, orang lain bisa kena sasaran. Mereka menjadi suka murung ,
terte-kan, dan lebih tidak dilibatkan jauh. Mereka boleh pergi untuk menghindari
kemarahan mereka sendiri atau untuk lolos da:i kemarahan lainnya. Mereka
mem-verbalisasikan derita dan kekacauan perasaannya, workaholic tipe ini
menahan kemarahan dan malah merasa dirinya-lah yan9 bersalah. Karena
bersalah itu hanya akan menambah derita dirinya sendiri. Mereka ini menjadi
depresi, suka murung, dan semakin jauh dan
ュ・ョァ。ウゥョセQN@
tanpa terlibat dalammasyarakat. Mungkin mereka berjalan untuk menghindari kemarahannya
sendiri atau untuk menjauh dari kemarahan orang (Barbara Killinger, 1991).
2.1.4.2. Tanda-tanda Utama dari Gangguan Workaholic
Prevention is an important concept to keep in mind as W•'l look at the process
the breakdown follows. If you recognize the major warning signs early
enough, negative effects can be reversed before the addiction causes further
emotional damage. As Lyle Longelaws, a First Nations elder, says, "Before
the healing can take place, the poison must be exposed." Awareness is
essential to recovery. Let's look at some of the signs of breakdown. If you
recognize any of these warning signs m yourself, your spouse, or
a
friend,understanding them now can lead to recovery tater.
Pencegahan adalah sat