• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Disusun oleh :

AGUNG MULYONO

NIM 103070029028

FAI<ULTAS PSll{OLOGI

UNIVERSITAS ISLAM

nャセgeri@

SYARIF HIDAYATULLAH J)\I<ARTA

(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Urituk Mernenuhi Syarat Mernperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Pem

Oleh:

AGUNG MUL YONO NIM : 103070029028

DI BAWAH BIMBINGAN

Pembimbing II

セ@

/ r

セM

Abdul Rahman Sh I M.Si S. Evangeline. I. S, M.Si, Psi

NIP: 150 29

FAKUL TAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

tanggal 30 Agustus 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi.

Jaka11a, 30 Agustus 2007

SIDANG MUNAQOSYAH

Ketua

. / /

Drs. Ne Hartati M.Si NIP:150 15938

Penguji I

セ@

Drs. Sofiandy Zakaria, M.Psi.T

Drs. Abdul Rahm NIP: 150 293 22

Sekertaris Merangkap Anggota

Penguji II

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi NIP : 150 300 679

Pembimbing II

セM

(4)

(QS. 78: 9 -11)

Bekerjalah Untuk Duniamu Seakan-akan

Engkau Hidup Selama-lamanya Dan Bekerjalah

Engkau Untuk Akhiratmu Seakan-akan Engkau

Mati Esok Hari (HR. 'firmidzi)

Nasihat Luqman Al-Hakim l(epada An.aknya

"Wahai Anakku,

Bermusyawarahlah dengan orang yang berpengalaman,

karena ia memberimu dari pendapatnya

sesuatu yang diperoleh dengan mahal,

sedangkan engkau mengambil secara Cuma-Cuma"

Orang yang paling panta:s untuk

bergembira adalah

ッイ。ョセQ@

yang

(5)

Insomnia

(E) Halaman xii+ 131

(F) Perilaku workaholic ialah perilaku seseorang yang sec:ara emosional beralih menjadi lumpuh dan kecanduan dalam bekerja untuk mendapatkan pengakuan dan kesuksesan. Mereka berusaha keras untuk mencapai

kesuksesan jika hasil yang ingin dicapai tidak sesuai den!Jan harapan mereka cepat mengalami stres dan berdampak pada kondisi kesehatan. Sementara stres kerja berpengaruh terhadap kondisi fisik dan psikis, stres juga

mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit seperti sakit kepala, flu dan sulit tidur atau

insomnia. Insomnia merupakan keadaan di mana seseorang yang ingin tidur mengalami kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan sehingga insomnia menyebabkan penderita secara klinis mengalami gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan adanya hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia. Penelitian ini

dilakukan mulai dari akhir Juni dan berakhir awal Agustus. 2007.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia. Subjek penelitian ini adalah karyawan PT Astra

lnternasional, PT Telkomsel, PT Wahana Transporindo, Stasiun 1V AN1V dan RS. lnternasional Bintaro yang bekerja di Jakarta dan berprofesi sebagai marketing karena pada profesi tersebut seringkali karyawan bekerja melebihi batas waktu standar yang ditetapkan oleh undang-undang perburuhan. Penelitian ini mengikutsertakan 34 subjek yang diambil dengan

menggunakan teknik accidental sampling yaitu penelitian dilakukan pada setiap individu yang memenuhi karakteristik sampel dan bersedia menjadi subyek penelitian. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala perilaku workaholic, skala gejala insomnia dan skala stres kerja.

(6)

variabel kontrol yaitu stres kerja. Jika korelasi perilaku workaholic dengan timbulnya gejala insomnia tidak di mediasi oleh variabel l<ontrol yaitu stres . kerja maka hasil yang didapat r hitung 0.285 sedangkan r label 0.339 dengan taraf kepercayaan 0.05 (a= 0.285 > 0.399) maka dapat diperoleh hasil bahwa uji r hilung lebih kecil dari r label yang berarti bahwa Ho diterima dan Ha ditolak. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perilaku workaholic dan stres kerja akan mempengaruhi timbulnya gejala insomnia.

(7)

(D) Relation Between Behavior Of Workaholic With Insomnia Symptom (E) Page xii+ 131

(F) Behavior of workaholic is is behavior of someone which emotionally passing into paralysis and addicted in working for getin(J successfulness and confession. They make every effort to reach successfulness if results which wish to reached unmatched to their hopes quickly experience stres and affect at condition of healths. While stres activity have an effect on to condition of physical and psychical, stres also influence system impenetrability of body, so that body become more susceptiblely to various disease like headaches, flu and difficult to sleep or insomnia. Insomnia is situation where someone wishing sleep find difficulties to start or maintain sleep, or sleep which don't refresh so that insomnia cause patient in klinis experience trouble in social function, work, and important function is other.

intention of This research is to find existence of relation between behavior of workaholic with incidence of insomnia symptom. This research done to start from end of June and end early August 2007.

This research apply descriptive quantitative approach of correlation with aim to know relation between behavior of workaholic with incidence [of] insomnia symptom. This research subject is employees of PT Astra, lnternasional, PT Telkomsel PT Wahana, Transporindo, Station TV ANT\/ and RS. International Bintaro is laboring in Jakarta. This research involve 34 subject which taken by using technique in accidental sampling that is research is done in each

individual fulfilling sample characteristic and ready becoming research

subject. While data collecting instrument which applied is scale of behavior of workaholic, scale and insomnia symptom scale stres worked.

As for data analytical method which applied in this research is technique in partial correlation by using セNイッァイ。ュ@ SPSS for Windows version of 12.00. Based on result which got by using partial correlation formula known by calculate r of 0.366 and table r a= 0.05 that is 0.339 with trust level of 0.05 (a

= 0.366 > 0.339) hence is obtainable of result that testing calculate r bigger

than r of tables of meaning that Ho is refused and Ha is received. Mean is relationship which less signifikan between behavior of workaholic with

(8)
(9)

sesuatu, syukur yang tak henti-hentinya atas segala nikmat yang telah diberikan dan atas kehendk-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang tetap istiqomah. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi 1ni tidak dapat selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan dan keikhlasan, baik secara moril maupun materil dari semua pihak oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi, lbu Hj. Ora. Netty Hartati, M. Si, lbu Hj. Ora. Zahrotun Nihayah, M.Si selaku pembantu del<an I bidang akademik, dan seluruh dosen serta seluruh staf fakultas psikologi yang telah memberikan kemudahan dalam setiap urusan.

2. Bapak Ors Jaisy Prasodjo selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih alas bimbingan, nasihat serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Dan kepada ibu Yufi Adriani M.Psi, Psi alas bimbingan proposal yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Ors. Abdul Rahman Shaleh, M.Si selaku pembimbing I dan Jbu S. Evangeline. l.S, M.Si, Psi selaku pembimbing II, yan[l penulis hormati yang sudah banyak meluangkan waktunya dan dengan sabar untuk membimbing dan memberi arahan serta motivasi seh1ngga penulis dapat menyelesaikan skrpsi.

4. Orangtuaku Bapak Mulyadi Ambo dan lbu lndrawati Noor yang sudah Mengorbankan segalanya waktu dan tenaganya untuk memberikan kasih

sayang yang tulus dan ikhlas serta yang terbaik bagi penulis dalam mengenyam pendidikan dan mengarungi kehidupan, lbu Bapak saya mencintaimu. Saya akan membahagiakanmu dan memberikan yang terbaik untukmu. Terima kasih, ya Allah lindungilah dan sayangilah kedua orangtuaku, Amin.

(10)

Bintaro Elina, terima kasih alas bantuan untuk menyebarkan angket penelitian ini semoga kebaikan dan keikhlasan kalian di balas oleh Allah. 7. Sohib di Kosan Lentera Hali terutama Lalu Turjiman Ahmad, S.S, yang

sebentar lagi calon M.A yang telah banyak memberikan bantuan baik morii maupun materil, Lestar, S.Fil yang telah memberikan humor-humor yang menyegarkan, Aryadi, S.Hi, yang telah menjaga computer tetap aman dari serangan firus-firus, Thomas alas fasilitas komputernya dan segala kebaikannya dan kapan wisudanya, Rido Buie! kapan selesainya biar bisa ceper jadi pejabat Riau, lkin kapan kawin serta Aqib yang baru mulai berjuang di Ciputat kalian semua orang-orang yang telah

memberikan warna dalam hidup serta dukungan dan sebagai penghibur. 8. Sahabat di Fakultas Adab angkatan 2000 semoga kita tetap solid dan

tetap berjuang untuk masa depan. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2003 terutama kelas B Kance "llung" Betsi, Wawan, Yusuf, Surya, Kamal, Tsunayah, Ida, Ayu Honsah, Ami, Herlin, Rosyidah, Fadli, Dian K, dan seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu.

9. Teman-teman kelompok KKL PT Pelita Air Service Rini, Adil, lntan, Ayu Karlina, Yeti, Hana. Terima kasih alas kerjasama dan berbagi

pengalamannya, semoga Allah SWT memudahkan jalan kita dalam membangun kehidupan yang labih baik. Amin.

10. Teman-teman ku yang baik Rina, Lilla, Putri Myra S.Psi, Haula Noor S.Psi, Kiki, Sibul, Ajeng, serta tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Rahma Zikra, S.Psi yang telah membuat penulis semangat dan telah mengajarkan SPSS.

11. Kepala Perpustakaan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bpi< Haidir yang telah memberikan pelayanan yang terbaik, perpustakaan UI, CSIS, Perpustakaan Nasional RI dan Perpustakaan Gandaria.

12. Saudara-saudaraku yang telah berjasa membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya, semoga Allah SWT membalas semua kebaikkan seudaraku semua dan ilmu yang ada bertambah serta bermanfaat. Amin. Tidak ada yang

sempurna di dunia ini, tetapi kita wajib berusaha untuk mendekatinya. terima kasih

(11)

Tabel 3.3 Distribusi stress kerja

Tabel 3.4 lndeks validitas item perilaku workaholic

Tabel 3.5 lndeks validitas item gejala insomnia Tabel 3.6 lndeks validit'ls item stress kerja Tabel 3.7 Kaidah klasifikasi uji reliabilitas tes

Tabel 4.1 Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.2 Gambaran umum responden berdasarkan usia

Tabel 4.3 Gambaran umum responden berdasarkan pendidikan Tabel 4.4 Gambaran umurn responden berdasarkan perusahaan Tabel 4.5 Gambaran umum responden berdasarkan status pernikahan Tabel 4.6 Statistic deskriptif

Tabel 4.7 Kalsifikasi skor perilaku workaholic

Tabel 4.8 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.9 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan usia

Tabel 4.10 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan pendidikan Tabel 4.11 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan perusahaan Tabel 4.12 Kalsifikasi skor perilaku workaholic berdasarkan status pernikahan Tabel 4.13 Kalsifikasi skor gejala insomnia

Tabel 4.14 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.15 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan usia

Tabel 4.16 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan pendidikan Tabel 4.17 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan perusahaan Tabel 4.18 Kalsifikasi skor gejala insomnia berdasarkan status pernikahan Tabel 4.19 Kalsifikasi skor stress kerja

Tabel 4.20 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan jenis. kelamin Tabel 4.21 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan usia

Tabel 4.22 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan pendidikan Tabel 4.23 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan perusahaan Tabel 4.24 Kalsifikasi skor stress kerja berdasarkan status penikahan Tabel 4.25 Penghitungan 3 variabel

(12)
[image:12.595.70.426.158.482.2]

Gambar 2.2 Scatterplot workaholic

Gambar 2.3 Scatterplot insomnia

(13)

ABSTRAK ii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL. ... viii

DAFT AR GAMBAR ... ix

DAFTARISI ...

x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. La tar Belakang Masalah . ... ... ... ... ... ... 1

1.2. ldentifikasi Masalah . ... .. ... ... ... ... ... 11

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah. ... ... .... ... 12

1.3.1. Pembatasan Masalah ... ... ... ... 12

1.3.2. Perumusan masalah ... 13

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... .... ... ... ... ... 13

1.4.1. Tujuan Penelitian ... ... .... ... ... 13

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 14

1.5. Sistematikan Penulisan ... 14

BAB 2 KAJIAN TEORI ... 16

2.1. Perilaku Workaholic .. ... ... ... ... ... 16

2.1.1. Pengertian Perilaku Workaho/ir: ... .... ... ... 16

2.1.2. r'aktor-faktor Yang Mempengaruhi Workaholic ... 26

2.1.3. Kepribadian Workaholic ... 29

2.1.4. Perubahan Secara Emosional ... ... ... .. 33

2.1.5. Tiga jenis Perilaku Workaholic... 35

(14)

2.2.3. Penyebab Insomnia ... 54

2.2.4. Dampak Dari Insomnia ... 60

2.2.5. Rekomendasi Mencegah Insomnia ... 63

2.3. Stres Kerja .. . .. .. .. . .. .. .. .. .. .. . .. .... .. . .. .... .. .. .. .. .. .. . .. .. .. . . . .. .. . .. .. .. .. .. .. .. . 64

2.3.2. Pengertian Sires Kerja ... 64

2.3.3. Dimensi Sires ... 64

2.3.4. Sumber Stres ... 65

2.4 Kerangka Berfikir ... 71

2.5. Hipotesis Penelitian ... 73

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 75

3.1. Jen is Penelitian ... 75

3.1.1. Pendekatan Penelitian ... 75

3.1.2. Metode Penelitian ... 75

3.2. Variabel Penelitian ... 76

3.2.1. Definisi Variabel ... 76

3.2.2. Definisi Operasional ... 77

3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 78

3.3.1. Populasi dan Sampel ... 78

3.4. Teknik Pengambilan Sampel ... 79

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 80

3.6. Teknik Uji lnstrumen Penelitian... 86

3.6.1. Uji Validitas Skala ... 86

3.6.2. Uji Reliabilitas Skala ... 89

(15)

4.2.2. Uji Homogenitas ... 101 .

4.2.3. Distribusi Penyebaran Skor Responden ... 103

4.3. Uji Hipotesis ... 119

4.4. Pembahasan ... 120

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 122

5.1. Kesimpulan ... 122

5.2. Diskusi ... 122

5.3. Saran ... 127

(16)

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada era yang semakin sulit untuk mendapatkan peluang kerja di negara ini,

ocang terdorong untLlk berkornpetisi demi mendapatkan p1,kerjaan. Apakah

pekerjaan tersebut sesuai dengan bidang dan kemampuannya atau tidak,

sepertinya hal yang demikian tidak menjadi pertimbangan lagi, karena yang

paling fundamental ialah mereka mendapatkan pekerjaan yang bisa

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bekerja merupakan tindakan seseorang untuk tujuan pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari berupa sandang, pangan dan papan. Pendapat tersebut

sama seperti yang diungkapkan oleh Smith bahwa tujuan inti dari pekerjaan

adalah untuk hidup. Dengan demikian yang dapat di sebut dengan bekerja

atau pekerja adalah aktivitas-aktivitas yang dapat di pertukarkan untuk

memelihara atau menyediakan sarana untuk hidup. Oleh karenanya, selagi

manusia masih hidup ia akan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya (Abdul Rahman Shaleh dan Yunita Faela Nisc., 2006).

Selain sebagai sekadar pemenuhan kebutuhan, dalam tingl<at yang lebih

(17)

martabat manusia itu dapat ditentukan. Pada tingkatan ini biasanya banyak

terjadi di kalangan masyarakat menengah ke atas karena mereka tidak lagi

memikirkan segi materi saja (Save M Dagun, 1997).

Bagi sementara orang, bekerja merupakan sarana untuk menuju ke arah

terpenuhinya kepuasan pribadi dengan jalan memperoleh kekuasaan dan

menggunakan kekuasaan itu pada orang lain (Panji Anoraga, 2001). Pada

level ini seseorang bekerja bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, keluarganya atau tuntutan lingkungannya, tetapi lebih mengarah

kepada pemenuhan kepuasan dalam bekerja sehingga dari sinilah banyak

melahirkan perilaku-perilaku yang tidak lazim dilakukan oleh kebanyakan

orang. Demi pemenuhan kepuasan dalam bekerja, banyak orang yang lupa

akan tugas dan kewajibannya, sehingga tugas-tugas sebagai manusia dan

sebagai m;ikfll11k sosial ia abaikan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan

bahwa kerja adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh individu untuk di

pertukarkan dengan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi kelangsungan

hidupnya. Tatapi pendapat tersebut lebih tepat konteksnya diberlakukan

pada masyarakat kelas menengah ke bawah sedangkan untuk masyarakat

kelas menengah ke alas bahwa bekerja adalah pemenuhan akan kebutuhan

(18)

pengalaman yang mereka miliki dan tentu mendapatkan posisi yang nyaman

di tempat ia bekerja.

Sedangkan secara lebih hakiki menurut pendapat Toto Tasmara (2002),

bekerja bagi seorang muslim merupakan ibadah dan bukt1 pengabdian dan

rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan llahi agar mampu

menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai

ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik. s・、。ョAセォ。ョ@ disisi lain

makna "bekerja" bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang

sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, fikir dan 、コゥセZゥイョケ。@ untuk

meng-aktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang

harus menundukkan dunia dan menempat-kan dirinya sebgai bagian dari

masyarakat yang terbaik (khoiru ummah) atau dengan kata lain dapatjuga

kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan

dirinya. Sebagaimana firman-Nya :

"Sesungguhnya Kami te/ah menciptakan apa-apa yang ada di bumi

sebagai perhiasan baginya supaya Kami menguji mereka siapakah

yang terbaik amalnya" (al-Kahfi : 7)

(19)

memiliki amal atau perbuatan yang terbaik, bahkan mereka pun sadar bahwa

persyaratan untuk dapat berjumpa dengan Allah hanyalah dengan berbuat

alam-amal yang prestatif, sebagaimana Firman-Nya surat al-Kahfi ayat 11 O

/ -;:; 0 o..- _, / / .... /

1:G-f

-:)

;;;G.

lJ

[ZセG、I@

w(.:,

セ@

セ@

-:)

,LlJ

1;..:; 0l5"

セ@

,,,,... / / / /

"Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka

hendaklah dia mengerjakan amal sha/eh dan jangan/ah dia

memper-sekatukan-Tuhannya da/am beribadah dengan sesuatu apa pun".

Tampaklah dengan sangat transparan bahwa bekerja memberikan makna

"keberadaan dirinya di hadapan llahi". Dia bekerja secara optimal dan bebas

dari segala belenggu atau tirani dengan cara tidak mau terikat atau

bertuhan-kan sesuatu apa pun. Dalam pengertian ini, seorang muslim menjadi seorang

yang kreatif, mereka mau menjadikan dirinya sebagai rnanusia yang terbaik.

Hal ini karena dia sadar bahwa bumi dihamparkan bukan sekedar tempat dia

menumpang hidup, melainkan justeru untuk diolahnya sedemikian rupa untuk

menggapai kehidupan yang lebih baik (Toto Tasmara, 2002).

Setiap manusia pada hakikatnya mempunyai sejumlah kebutuhan, pada

saat-saat tertentu menuntut pemuasan, di mana hal-hal yang dapat memberikan

pemuasan pada suatu kebutuhan adalah menjadi tujuan dari kebutuhan

(20)

lah kebutuhan itu terpuaskan, maka setelah beberapa waktu kemudian,

muncul kembali dan menuntut pemuasan lagi (Panji Anoraga, 2001).

Untuk memuaskan kembali kebutuhan tersebut, manusia harus mempunyai

tujuan yang jelas dalam bekerja. Tetapi tujuan saja ternyata tidak cukup

dalam bekerja, harus di dorong dengan prestasi karena, seseorang yang

mempunyai prestasi yang tinggi maka dalam bekerja akan memberikan hasil

yang maksimal bagi dirinya dan tentu bagi perusahaan tempat ia bekerja.

Namun pada era yang semakin kompetitif ini, banyak yang menempatkan

pekerjaan sebagai hal yang terpenting dalam kehidupan. Seperti yang dialami

oleh Sinta (28 tahun), seorang keryawati disebuah perusahaan multinasional

terkemuka. la memulai karirnya dari entry level bawah tiga tahun yang lalu.

Baru seminggu ia diangkat sebagai supervisor yang meimiliki beberapa anak

buah. Prestasi yang dicapainya ini tentu saja ia peroleh dengan kerja keras,

karena persaingan yang cukup tinggi dengan karyawan lainnya. la semakin

terpacu untuk memberikan performance yang lebih memuaskan. Malam

minggu ia habiskan untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor, dan tidak

jarang ia membawa sebagian pekerjaannya ke rumah, l<adang-kadang saat

makan siang pun ia masih tetap memikirkan pekerjaannya.

Kondisi yang dialami oleh sinta, merupakan fenomena workaholic, dimana

(21)

Mereka biasa bekerja dengan beban kerja yang tinggi dan menghabiskan

waktu yang panjang pula. Demi pekerjaan mereka sering mengabaikan

aktivitas ataupun tanggung jawab lainnya. Bagi yang belum berkeluarga,

mereka tidal< lagi terlibat dalam kegiatan atau aktivitas sosial dengan

temaf!-teman sehingga relasi dan kontak sosial semakin terbatas. (www.experd.org

dalam google.com, 2006).

Di kota besar yang ada di Jepang, setiap tahunnya 10.000 pekerja didapati

tergeletak di meja kerja mereka karena bekerja minimal 130 sampai 70 jam

dalam seminggu. Waktu istirahat mereka singkat sekali Hal ini tidal< hanya

berdampak pada kesehatan fisik saja, tetapi juga kesehatan mental karena

mereka mudah mengalami stres yang bersifat kronis. Dengan pikiran yang

terbebani dengan pekerjaan, mereka juga mengalami gejala sulit tidur. Jika

dibandingkan dengan rekan kerja yang bukan workaholic, mereka lebih

mudah merasa depresi bila mengalami hal-hal yang mengecewakan

(www.experd.org dalam google.com, 2006).

Selain itu, dari segi ォ・セ・ィ。エ。ョ@ akan menimbulkan stres yang akan

berpengaruh terhadap kondisi fisik seperti kemungkinan terkena serangan

jantung tergolong tinggi. Mereka berusaha keras untuk mencapai

kesuksesan, dan kalau promosi tidak sesuai harapan, mereka cepat

(22)

tinggi juga dapat menyebabkan tekanan darah rneningkat, sebagai faktor

yang paling beresiko terhadap sakit jantung atau serangan jantung. Stres

juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga menjadi lebih rentan

terhadap berbagai penyakit (Sinar Harapan 2003 dalam google.com).

Gejala stres juga dapat berupa gangguan psikis maupun fisik, atau

kedua-duanya. Menurut Munson, di antara gejala fisik adalah sakit kepala, flue, dan

sulit tidur. Sedangkan menurut Green dan Shellen Beger, gejala stres adalah

kurang konsentrasi, takut gagal dalam ujian, sulit membuat keputusan,

menurunnya daya ingat, dan perubahan dalam pola tidur dan makan (Jurnal

Tazkiyah, Netty Hartati, Bambang Suryadi, Neneng Tati Sumiati, 2005).

Dari beberapa gejala yang telah disebutkan di atas, yang ditimbulkan dari

stres diantaranya adalah sulit tidur. Sulit tic:.:r bis<:: di:;cbabkan dari beberapa

faktor salah satunya adalah dari perilaku workaholic, karena perilaku tersebut

banyak berdampak pada kesehatan. Seseorang yang mempunyai perilaku

workaholic juga mudah terserang berbagai penyakit dan gangguan psikis,

seperti gangguan tidur atau lebih khususnya lagi insomnia.

Insomnia (sulit tidur) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

yang fenomenal pada saat ini. Rosekind memperkirakan bahwa meskipun

(23)

menggolongkan 73% dari 115 pasiennya mengalami gangguan tidur.

Insomnia meningkat hingga 86% pada pengguna narkoba dan menjadi 100%

pada orang dengan kerusakan kognitif. Dengan tidak dilaporkannya kesulitan

tidur yang dialami pasien dokter hanya menemukan insomnia pada 33% dari

catatan medis pasien tersebut (Sinar Harapan 2003 dalam google.com).

Terhadap faktor penyebab gangguan tidur, maka banyak ahli mengatakan

pada umumnya disebabkan oleh banyak hal. Dalam pandangan Dr. Nino

Murcia mengatakan, "belum pernah menemukan gangguan tidur yang hanya

disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan banyak faktor". Dalam temuan

para ahli setidaknya ada empat faktor penyebab insomnia yakni predisposisi

psikologis dan biologis, penggunaan obat-obatan dan alkohol, lingkungan

yang mengganggu, serta kebiasaan buruk (Sinar Harapan 2003 dalam

google.com).

Secara khusus, faktor psikologis memegang peran utama terhadap

kecenderungan insomnia. Hal ini disebabkan oleh ketegangan pikiran

seseorang terhadap sesuatu yang kemudian mempengaruhi sistem saraf

pusat (SSP) sehingga kondisi fisik senantiasa siaga. Mis.alnya, ketika

seseorang sedang memiliki problematika pelik di lingkungan kantor, maka jika

ambang psikologisnya rendah akan menyebabkan fisik susah diajak

(24)

ketidakpastian hidup menyebabkan gangguan insomnia (Sinar Harapan 2003

dalam google.com).

Bukan hanya faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tentu saja gangguan

insomnia akan memiliki dampak negativ lain dalam kehidupan individu yang

bersangkutan. Pertama, akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga

berpeluang terhadap munculnya sejumlah penyakit. Kedua, susah tidur akan

berpengaruh terhadap stabilitas emosi sehingga mempengaruhi aktivitas

kehidupan sehari-hari, misalnya dalam menyelesaikan tugas di kantor, dan

interaksi dengan lingkungan sosial ijurnal Psychology Today, Juni 1986,

dalam Sinar Harapan 2003 dalam google.com).

Sampai di sini dapat digambarkan bahwa baik workaholic maupun insomnia

memiliki dampak yang buruk terhadap lingkungan sosial, dimana perilaku

11vorkaholic tersebut berimplikasi pada keluarga dengan kurangnya perhatian

yang dicurahkan kepada mereka, sementara insomnia berimplikasi pada

interaksi lingkungan sosial dengan gangguan stabilitas emosional sipenderita.

Ketika seseorang yang mempunyai perilaku workaholic diharapkan untuk

mengabdikan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan, maka besar kemungkinan

ia akan menghabiskan banyak waktu istirahat demi tuntutan profesionalitas.

(25)

problem kantornya bisa hadir dalam pikirannya yang dapat menjadi

penganggu tidurnya. Bila hal ini terus berlanjut, maka besar kemungkinan

bahwa seseorang yang mempunyai perilaku workaholic akan mengalami

gejala insomnia.

Pada PT. Astra lnternasional misalnya, sebuah perusahaan yang bergerak di

bidang industri otomotif, karyawan pada divisi Marketing dituntut untuk

mengembangkan potensi dirinya setiap saat. Hal ini disebabkan karena divisi

tersebut diharapkan menjadi sumber pengembangan dan sebagai tulang

punggung perusahaan. Oleh karena itu, peran divisi Marketing di PT. Astra

lnternasional menjadi sangat penting karena divisi terselbut harus

menyiapkan sumber daya manusia (SOM) yang siap menghadapi tantangan

pekerjaan yang sangat dinamis baik di lapangan maupun di dalam ruangan

(kantor).

Dari hasil wawancara dengan seorang karyawan divisi Marketing PT. Astra

lnternasional, diperoleh informasi bahwa pada divisi tersebut seringkali

karyawan bekerja melewati dari batas waktu normal dalam semiriggu. Mereka

harus mulai bekerja pada pukul 03:00 dan pulang ke rumah dengan jam yang

tidak bisa ditentukan. Sedangkan di dalam buku SM Lurnbantobiing (2004)

kebutuhan tidur untuk orang dewasa antara 6 sampai 9 jam jika mereka

(26)

yang fres keesokan harinya ketika bekerja. Kadang kala mereka merasa

mengalami gejala insomnia dikarenakan bekerja terlalu lelah dan dalam

kondisi tekanan, mereka merasa dikejar target, sebab, jik.a mereka tidak

mencapai target yang diharapkan oleh perusahaan maka mereka bisa

kehilangan pekerjaan tersebut. Dari hasil wawancara tersebut terlihat adanya

tuntutan kerja yang tinggi dan sekaligus tuntutan kerja itu berpengaruh

terhadap pola tidur mereka dengan minimnya waktu tidur pada malam hari.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik ingin mengetahui lebih jauh

mengenai perilaku workaholic pada beberapa karyawan di Jakarta dengan

timbulnya gejala insomnia. Oleh karena itu penulis ingin rnengungkapkan

lebih clalam lagi permasalahan tersebut, dengan penelitian yang berjudul :

"HUBUNGAN ANTARA PERILAKU WORKAHOLIC DE.NGAN TIMBULNYA

GEJALA INSOMNIA"

1.2 ldentifikasi Masalah

Untuk membatasi luasnya masalah yang dikemukakan, rnaka penulis

menjabarkan rumusan sebagai berikut :

1. Apakah para pekerja rli Jakarta memiliki perilaku workaholic ?

2. Adakah hubungan antara perilaku workaholic dengan timbulnya gejala

insomnia?

(27)

4. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi timbulnya gejala insomnia ?

5. Seberapa besar dampak yang ditimbulkan seseorang yang

mempunyai perilaku workaholic ?

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang dapat di identifikasi. rnaka masalah yang

menjadi objek penelitian dibatasi pada :

1. Apakah seseorang yang mempunyai perilaku workaholic mengalami

gejala insomnia?

Sedangkan batasan variabelnya adalah sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan perilaku workaholic adalah Seorang workaholic yang

secara emosional beralih menjadi lumpuh dan kecanducin terhadap kontrol

dan kekuatan dalam kendali dorongan hati yang kuat untuk mendapatkcin

pengakuan dan kesuksPsan (Barbara Killinger, 1991).

a. Perilaku workaholic adalah seseorang yang secara emosional beralih

menjadi lumpuh dan kecanduan terhadap control dan kekuatan dalam

kendali dorongan hati yang kuat untuk mendapatkan pengakuan dan

kesuksesan (Barbara Killinger, 1991 ).

Workaholic atau ketagihan kerja ialah orang yang terdorong untuk

terus menerus bekerja, sehingga sering kali tidak memperhatikan

(28)

b. Sedangkan diagnosis dalam Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa

(PPDGJ-111: 2001) insomnia adalah a). keluhan adanya kesulitan

masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk

; b) gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu setama minimal

satu bulan; c) adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur

(sleeplessness) dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada

malam hari dan sepanjang siang hari; d) ketidak puasan terhadap

kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang

cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.

1.3.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut di atas, peneliti merumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut:

1.

Apa!<ah ad:i !i'Jc'Jn;;ar. 1ang signifikan antara perliaku workaholic

dengan timbulnya gejala insomnia?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan

(29)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat rnernberikan rnanfaat, baik secara teoritis

rnaupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat rnernberikan rnanfaat bagi

pengernbangan teori-teori psikologi, khususnya yang berhubungan

dengan teori perilaku workaholic, teori insomnia serta bidang

psikologi industri dan psikologi klinis.

b. Manfaat Praktis

Sedangkan secara praktis untuk rnernberikan inforrnasi dan

pengetahuan, pertirnbangan, bahan rujukan dan pernbanding untuk

penelitian-penelitian selanjutnya. Disarnping itu rnasukan bagi para

pelaku workaholic, para pernerhati kesehatan, clan bagi para pekerja.

Khususnya bagi para pekerja rnuda yang rnasih bersernangat dan

arnbisius dalarn rnengejar karir.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk rnengetahui bagairnana penelitian ini dibuat, rnaka penulis

rnenjelaskan sebagai berikut :

BAB 1 Berisi tentang latar belakang rnasalah, identifikasi rnasalah,

(30)

BAB2

BAB3

BAB4

BABS

Kajian pustaka yang meliputi : Pengertian perilaku workaholic,

Faktor-faktor yang mempengaruhi workaholic, Kepribadian

workaholic, Perubahan secara emosional, jenis-jenis perilaku

workaholic, tanda-tanda utama gangguan workaholic,

perubahan kepribadian, Pengertian insomnia, Jenis-jenis

Insomnia, Penyebab insomnia, Dampak dari insomnia,

rekomendasi mencegah insomnia, pengertian stres kerja,

dimensi sires, sumber sires, kerangkan berfikir, hipotesis

penelitian.

Metodologi penelitian yang meliputi : Jenis penelitian, variable

penelitian, metode pengambilan sampel, tEikhik pengambilan

sempel, teknik pengumpulan data, teknik uji instrument

penelitian, prosedur penelitian.

Presentasi dan analisis hasil penelitian : Gambaran umum

responden penelitian, presentasi data, uji normalitas, uji

homogenitas, serta uji hipotesis.

Merupakan penutup yang meliputi: Kesimpulan, Diskusi, dan

(31)

2. 1 Perilaku Workaholic

2.1.1 Pengertian Perilaku Workaholic

The term was coined in. ·/971 by Wayne Gates, an American minister and

professor of the psychology of religion. In his personal story, Confessions of

a

Workaholic, he begins with a light-hearted attempt to josh his readers into

chuckling with him over the notion of

a

compulsion to work. This approach

soon gives way to a serious look at his own addiction and its roots.

lstilah workaholic diperkenalkan pada tahun 1971 oleh \Nayne Oates,

seorang menteri Amerika dan guru besar Psikologi Agarna. Dalam catatan

pribadinya, (Confessions of a Workaholic), ia memulai tulisannya dengan

cara mencandai para pembacanya yang diduganya bekerja karena terpaksa.

Pendekatan ini segera memberikan cara untuk dapat melihat dengan serius

bahwa kecanduan bekerja atau workaholic berasal dari permasalah di alas

(Barbara Killinger, 1991 ).

Workaho/ism is certainly not mental dosorder and is not listed as such in the

American Psychiatric Association's handbook of such disorders. Nonetheless,

it is a disturbing behavioral trait with substantial costs, as shall be seen, to the

(32)

Workaholism bukanlah sebuah gangguan mental dan ia tidak terdaftar dalam

handbook Assosiasi Psikiatri Amerika sebagai suatu gangguan. Kendati

demikian, ia merupakan perilaku yang mengganggu ケ。ョセj@ sangat substansial

terhadap individu yang mengidapnya, sebagaimana ケ。ョセj@ akan dilihat.

Workaho/ism dapat dianggap sebagai gejala psikologis (Frank Bruno, 1993).

The concept of workaholism does not apply to individuals who must work long

hours as

a

necessity. A small farmer woth livestock that must be tended to

every day may work 60 or 70 hours a week, but he or she is not suffering

from workaholism. A single parent who works long hours and takes college

classes in the hope of becoming

a

better provider is not a victim of

work-aholism. On the whole, it can be said that persons who display worfraholism

tend to perform either challenging or creative work, not routine drudgery.

They tend to be people who own businesses or have management posi-tion

in

a

business, have profession in such fields as medicine, law, and teaching,

or have careers in the fine arts, such as writing, composing or performing.

Konsep workaholism tidak dapat diterapkan pada individu-individu yang harus

bekerja berjam-jam sebagai suatu keperluan. Petani kecil yang memiliki

cadangan hidup yang habis setiap harinya mungkin bekerja 60-70 jam dalam

seminggu, namun demikian ia tidak menderita workaholism. Seorang guru

yang bekerja berjam-jam untuk mengisi jam kelas tambahan dengan harapan

(33)

workaholism. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa seseorang yang

menunjukkan perilaku workaholism cenderung mengarah pada tantangan

ataupun kerja kreatif. Mereka cenderung menjadi orang yang 1) memiliki

bis-nis atau memiliki posisi manajerial dalam sebuah bisbis-nis, 2) memiliki profesi

profesi di bidang-bidang seperti obat, hukum, dan pengaj<iran, atau 3)

memi-liki karir di bidang seni seperti menulis, mengarang, atau pelaku seni (Frank

Bruno, 1993)

Workaholic bisa terjadi pada siapa saja, laki-laki atau perempuan, tua atau

muda. Workaholic bisa terjadi pada mereka yang berusia dua puluhan tahun

atau bahkan yang belasan tahun. Namun biasanya ia terjadi pada usia lanjut,

pada orang-orang yang telah berusia empat puluhan dan llima puluhan tahun.

Not many peo,fJI"' are c0mf0rtable with that label. We all think we know

some-one who is workaholic, but few of us are willing to acknowledge our own

addiction to work. And yet, workaholism has become pan of everyday life.

Tidak banyak orang yang merasa nyaman dengan panggilan workaholic.

Namun kita bisa mengetahui seseorang tergolong workaholic, meskipun

sed,kit dari kita yang mau menyadari diri sendiri sebagai pecandu kerja. Dan

terlebih lagi, workaholism telah menggejala dalam kehidupan riil. Jadi, siapa

(34)

A person who works long hours is not necessarily a workaholic. Work is

essential for our well-being. Through wort< we define ourselves, develop our

strengths, and take our places in society. Work gives us satisfaction, a sense

of accomplishment, and mastery over problems. It provides us with a

direc-tion, and gives us goals to reach and hurdles to overcome. When we lose a

job, or cannot work for whatever reason, our personalities suffer profound

emotional disorganization and disturbance. Work addiction is different.

Ironically, it usually happens to middle-class people who are not driven to

overwork by economic necessity. Someone who has to work extra hard to

clothe and feed the family is simply facing a stark reality. He or she is not

motivated by an obsession or driven by a neurotic addiction. Hard workers

who are not workaholics enjoy their work and at times do become

passio-nately devoted to it. They pour great energy and enthusiasm into work and,

on such ッ」」。ウゥッョセL@ may perbr.'il rc:r.arkable fea&! These'bursts of

produc-tivity are not the nonn, however. Most of the time, these workers can maintain

balance in their lives and are fully in charge of their work schedules.

Orang yang bekerja berjam-jam bukanlah langsung dianggap sebagai

seorang workaholic. Workaholic adalah is!ilah yang digunakan bagi mereka

yang gila keria atau kecanduan kerja. Tapi 'workaholic' berbeda dengan

pekerja keras (hard worker). Pekerja keras merupakan istilah yang paling

umum untuk menggambarkan orang-orang yang rajin bekerja untuk

(35)

menyadari bahwa ada hal lain yang juga penting selain bekerja. Pekerja yang

digolongkan sebagai hard worker memandang pekerjaan sebagai hal yang

penting sehingga berusaha untuk memberikan hasil dan kontribusi yang

optimal. Namun mereka dapat membatasi keterlibatan diri dengan pekerjaan,

sehingga masih memiliki waktu untuk keluarga, teman atau aktivitas rekreasi.

Dengan demikian mereka dapat melepaskan diri dari pekerjaan dan memiliki

kehidupan lain (Barbara Killinger, 1991).

Someone who has to work extra hard to clothe and feed the family is simply

facing a stark reality. He or she is not motivated by an obsession or driven by

a neurotic addiction. Hard workers who are not workaholics enjoy their work

and at times do become passionately devoted to it. They pour great energy

and enthusiasm into work and, on such occasions, may perform remarkable

tea&! These'bursts of productivity are not the norm, however. Most of the

time, these workers can maintain balance in their lives and are fully in charge

of their work schedules.

Seseorang yang bekerja ekstra keras (hard worker') untuk memberi makan

dan pakaian keluarganya disebabkan karena tuntutan realitas. la tidak

bekerja karena suatu obsesi, atau tidak dituntut oleh kecanduan neurotic

Seorang pekerja keras (hard worker) yang tidak tergolong workaholic

menikmati pekerjaannya dan pada saat yang sama ia benar-benar bernafsu

(36)

untuk bekerja dan pada saat itu, ia mungkin melakukan perbuatan yang hebat

sekali. Tetapi pekerja keras macam ini dapat mempertahankan

keseimbangan hidupnya dan tetap bekerja berdasarkan jadwal (Barbara

Killinger, 1991 ).

Meskipun pekerjaannya sangat membantu dalam menentukan siapa dia

dalam kehidupan masyarakat dan meskipun karirnya berperan dalam

membentuk gaya hidupnya, namun baginya bekerja hanyalah bagian dari

kehidupannya dan arti penting pekerjaannya dapat tergantikan oleh perasaan

cintanya kepada keluarga dan temannya, yang tampak dari ketertarikan dan

keterlibatannya dalam bergaul di berbagai aktifitas, dalarn kepercayaan sosial

dan spiritual serta perhatiannya. Orang seperti ini bersentuhan dengan

perasaannya dan mampu mengekspresikan rasa cintanya kepada orang lain

melalui perkataan dan perbuatannya, meskipun hal itu mengganggu waktu

kerjanya (Barbara Killinger, 1991).

Workaholism is not about healthy work, but about addiction and the abuse of

power and control. A workaholic is not someone who simply works hard and

enjoys what he or she does. For

a

workaholic, the job is simply the setting for

the addiction, a place where approval is sought.

Berbeda dengan workaholic yang mungkin tidak termasuk ke dalam kerja

(37)

Seorang workaholic bukanlah orang yang bekerja keras dan dapat dengan

mudah menikmati pekerjaannya. Bagi seorang workaholic, pekerjaan adalah

suatu setting bagi candu, suatu tempat di mana pengakuan bisa didapatkan

(Barbara Killinger,

1991 ).

Seorang workaholic, tidak rela membiarkan diri mereka tanpa bekerja karena

akan menimbulkan perasaan tidak berharga dan エ・イ。ウゥョセQM Bahkan ada yang

merasa aneh pada dirinya dan lingkungan. Pada sebagian workaholic,

mereka berusaha untuk menghindari kondisi di mana mereka tidak bekerja.

lni terjadi karena persepsi yang berlebihan terhadap pekerjaan, sebagai

satu-satunya hat yang paling dapat memberikan kebanggaan

(www.experd.org.com).

Untuk lebih memahami pengertian perilaku workaholic, berikut akan

dikemukakan beberapa definisi perilaku workaholic dari berbagai sumber:

Konsep "workaholic" ini muncul sebagai sesuatu yang sifatnya tidak formal di

tengah masyarakat umum, dan ia jelas merupakan turunan dari kata

alkoholism. Meskipun workaholic tidak memiliki arti klinis yang ielas, namun

secara luas ia dapat didefinisikc.n sebagai "a stable behavioral pattern in

which an individuals is psychologically addicted to work." Like an alcoholic,

the individual cannot readily resist the "drug" of work. Work draws the person

(38)

secara psikologis kecanduan bekerja." Sebagaimana halnya seorang

pecandu alkohol, individu itu tidak sanggup menahan "drug" pekerjaan.

Pekerjaan akan menggambarkan orang itu layaknya seperti magnet (Frank J.

Bruno, 1993)

(A workaholic is a person who gradually becomes emotionally crippled and

addicted to control and power in a compulsive drive to gain approval and

success) Seorang workaholic adalah seseorang yang secara emosional

beralih menjadi lumpuh dan kecanduan terhadap control dan kekuatan dalam

kendali dorongan hati yang kuat untuk mendapatkan pengakuan dan

kesuksesan (Barbara Killinger, 1991 ).

Workaholic sesuai dengan imbuhan di belakangnya ' aholic', berarti

kecanduan atau ketagihan. Jadi perilaku workaholic adalah istilah yang

digunakan untuk mereka yang ketagihan atau kecanduan kerja. Mereka

serasa mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dengan bekerja secara

berlebihan. Mereka juga bisa menghabiskan waku untuk bekerja dalam

seminggu antara 60 jam - 70 jam (www.astaga.com).

Workaholic atau ketagihan kerja ialah orang yang terdorong untuk

terus-menerus bekerja keras, sehingga sering kali tidak memperhatikan kesehatan

(39)

(A workaholic

is a

person addicted to work. This addiction may be pleasurable

to the victim or it may be burdensome and troubling) Workaholic adalah

seseorang menjadi kecanduan untuk bekerja. Kecanduan ini bisa

menyenangkan bagi korban atau mungkin saja beban dan mengganggu

(www. Wikipedia. com, 2006).

Dari gambaran di atas, penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan

perilaku workaholic adalah perilaku seseorang yang kecanduan dalam

bekerja, mereka merasa mendapat kenikmatan dalam bekerja dengan

menghabiskan waktunya untuk bekerja tanpa menghiraukan lingkungan yang

ada di sekitarnya demi mendapatkan pengakuan dan kesuksesan. Mereka

juga bekerja dengan tujuan untuk mendapatkan status d:an posisi di tempat

kerja. Mereka juga bisa menghabiskan waktu bekerja dalam seminggu 40

jam lebih padahal undang-undang perburuhan mengatur tenaga kerja

maksimal 40 jam perminggu karena, kekuatan seseorang ada batasnya dan

apa yang dikerjakan diluar daya kemampuannya, apalagi sudah melampaui

ambang kelelahan, sudah tidak produktif lagi. Bahkan mungkin keputusan

yang sebenarnya penting sekali diambil dengan sembarangan saja karena

lelah b«ik fisik maupun psikis.

Workaholism saat ini telah menggandrungi kehidupan terutama di kota-kota

(40)

dan menyebabkan perasaan tidak nyaman dan tidak bahagia dalam hidup

pengidapnya karena jauh dari orang-orang yang ia cintai. Workaholic atau

kecanduan bekerja biasanya terjadi pada orang-orang golongan menengah

ke atas yang bekerja tidak karena keterpaksaan dengan alasan ekonomi

(Barbara Killinger,1991).

Orang-orang workaholic umumnya tidak butuh melakukan hal lain yang

sesungguhnya juga penting dalam hidupnya. Memang, seorang workaholic

cenderung memiliki kekhasan tersendiri dalam bekerja. Perilakunya selalu

terarah dan terfokus hanya pada pekerjaan. Seorang 'workaholic' mampu

bekerja sejak pagi hingga pagi lagi. Sehingga hal-hal di luar pekerjaan

dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. (vvww.Astaga.com).

Pada masyarakat pe;kotaar. セ」。、。。イL@ i11i disebabkan olE!h pengaruh

lingkungan. Orang diharapkan untuk setia terhadap perusahaan teli'pat ia

bekerja dan mengorbankan segala sesuatu untuk perusahaannya.

Sebaliknya secara moral perusahaan dituntut untuk mempekerjakan si

karyawan seumur hidupnya. Keadaan ini juga dapat 、ゥsAセ「。「ォ。ョ@ oleh ambisi

yang terlalu besar. Rasa tidak percaya diri, kurangnya harga diri, dapat pula

menjadi penyebabnya. Kerja keras merupakan salah satu mekanisme

(41)

merugikan kesehatan dan menjadi salah saru penyebab kematian di Jepang

(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004).

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Workaholic

Menu rut (Barbara Killinger, 1991) Workaholisme muncul dari lingkungan

sosial, yaitu peran keluarga yang kurang berfungsi, atau berasal dari

lingkungan masyarakat workaholic itu sendiri:

1. (Children are taught that it is not okay to talk about problems).

Anak-anak berpikir bahwa tidak baik membicarakan problem. Tidak

membicarakan permasalahan akan mendorong terciptanya suatu

kerahasiaan dan menjadikan system keluarga mi:mjadi tetap tertutup

meskipun untuk hal-hal lainnya. Membantah tidal< pernah diijinkan di

dalam lingkungan keluarga.

2. (the family does not believe that feelings should Ile expressed openly)

Keluarga tidak percaya bahwa perasaan hendaknya diungkapkan

secara terbuka. Komunikasi yang sehat menjadi sulit ketika

contoh-contoh peran yang sehat tidak ada. Bila orang tua secara emosional

menjadi pincang oleh workaholism atau kecanduan-kecanduan lain

'

mereka benar-benar tidak lagi mengetahui bagairnana perasaan

mereka.

3. (Communication between family members is usually indirect, with one

(42)

antara anggota keluarga biasanya tidak secara langsung, di mana

salah satu di antaranya menjadi penyambung pesan untuk dua orang

yang lain. Ketidakberfungsian keluarga selalu membentuk" segi tiga,"

di mana satu anggota keluarga bertemu dengan orang lain untuk

mengatakan permasalahannya dengan orang yang akan menjadi

penghubung. Pola-pola komunikasi tak langsung ini adalah tidal<

berfungsinya anggota keluarga sebab mereka jarang didorong untuk

memecahkan permasalahan yang sedang dipecahkan bersama, tetapi

mereka menciptakan orang-orang baru.

4. (Children get the message that they should be strong, good, right, and

perfect) Anak-anak mendapat pesan bahwa mereka hendaknya kuat,

baik, benar, dan sempurna. Cinta bersyarat mengatakan: ''.Aku akan

mencintaimu jika kamu baik, sempurna, kuat, dan bertanggung jawab."

Di sisi yang lain, cinta tak bersyarat mengatakan, "Jadilah dirimu

sendiri, aku akan mendukungmu sebagai dirimu yang unik. Aku akan

memberitahu ketika aku tidak setuju dan tidal< mendukung tingkah

lakumu, dan aku akan mencoba untuk menawarkanmu petunjuk dan

kebijaksanaan sebagai pertimbanganmu. Kamu dapat menerima atau

menolak hal ini, dan aku akan tetap mencintaimu."

5. (Parents expect children to make them proud) Orang tua berharap

anak-anaknya membuatnya bangga. Di dalam keluarga-keluarga yang

(43)

mengomentari mutu pekerjaan yang dikerjakan, tetapi tidak

memberikan kritikan " baik" atau" tidak baik" untuk setiap hasilnya.

6. ("Don't be selfish" is a common admonition from parents) "Jangan

egois!" adalah satu peringatan umum dari orang tua. " Egoisme sehat"

berarti memelihara diri sendiri. Di dalam dysfunctional keluarga,

pasangan hidup dan anak-anak belajar untuk merawat orang lain,

tetapi sering melupakan kesehatan dan kebahagiaan mereka sendiri,

dan bahkan mereka menjadi sangat sibuk melayani orang lain bahwa

mereka medahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri.

7. (Children are told" Do as I say and not as I do'} .A.nak-anak

diperintahkan, "Kerjakan seperti yang kukatakan, bukan seperti yang

aku lakukan". Di dalam disfunctional keluarga, perilaku dan

perbuatan-perbuatan orang tua tidak selalu mern3tapkan satu contoh

ya119 t,.:;ik untuk anak-anak.

8. (Children team that it is not okay to play or be playful) Anak-anak

belajar bahwa tidak baik bermain atau banyak bHrmain. Permainan

adalah inti sari dari kreativitas dan kegembiraan, dari kesenangan dan

persahabatan. Di dalam disfunctional keluarga, permainan adalah

pekerjaan yang dicurigai.

9. ("Don't rock the boat" is a family motto) "Tidak mengacaukan keadaan"

itu adalah semboyan keluarga. Jika anda tidak mengacaukan

(44)

pengalaman di dalamnya. Hanya dalam suatu keinginan anda belajar

dari kegagalan, bukan dari hasilnya. Satu pengalaman keluarga atas

permasalahan perlu untuk diuji terhadap kenyataan bagaimana orang

lain melihat mereka.

Poin-poin di atas dari pengaruh dalam keluarga. Namun bagaimanapun,

keluarga bukan satu-satunya pengaruh yang mendorong perilaku

workaholism atau yang dapat mengubah nilai sosial dalarn lingkungannya.

Separuh dari abad ini sudah membuat perkembangan satu iklim

konsumerisme dan paham materialisme (l<ebendaan). Seorang workaholic,

kontribusinya terhadap masyarakat adalah patut dicontoh , namun kehidupan

pribadinya adalah bencana (Barbara Killinger, 1991).

2.1.3 Kepribadian Workaholic

As workaholism begins to control the workaholic's life, three traits

-perfectionism, obsession, and narcissism - become exaggerated and

dominate the workaholic's thoughts and actions. We will see how

perfectionism leads to obsession and, eventually, to narcissism. Consider

how far along

a

continuum line you are for each of these traits. We all slide

along the continuum and exhibit neurotic behaviour some of the time but we

'

(45)

Ketika workaholism mulai mengontrol/mengendalikan kehidupan seorang

workaholic, ada tiga ciri yang mendominasi pemikiran dan tindakan seorang

pengidap menu rut (Barbara Killinger, 1991 ).

a. Petfecsionisme : suatu kebiasaan di mana orang ingin segala

pekerjaan dilakukan dengan sempurna (John M Echols, Hasan

Shadily, 1997).

Perfeksionis (petfectionis) adalah orang yang ingin segalanya serba

sempurna, orang yang percaya bahwa kesempurnaan moral bisa

dicapai lewat perilaku tanpa dosa (Save M Dagun, 1997).

b. Obsesi (Obsession) adalah gangguan jiwa neurotic yang membuat

seseorang hanya memikirkan dan mengingat-ingat sesuatu (ide,

aspirasi, keinginan) secara terus menerus.

Untuk kriteria gangguan kepribadian obsesif-kompulsif dalam

Diagnostic Statistic Manual-IV (DSM-IV) adalah : a). terfokus secara

berlebihan pada aturan dan detail hingga poin utama suatu aktivitas

terabaikan; b). perfeksionisme ekstrem hingga ke tingkat yang

membuat berbagai proyek jarang terselesaikan; c). pengabdian

berlebihan pada pekerjaan hingga mengabaikan kesenangan dan

persahabatan; d). tidak fleksibel tentang moral; f). sulit membuang

benda-benda yang tidak berarti; g). enggan mendelegasikan kecuali

(46)

kepala (Mellinger, Balter, & Uhlenhunt, dalam Gerald C. Davison, John

M. Neale, Ann M. Kring, dalam Noermalasari f。ェ。Qセ@ (2006).

Kepribadian obsesif-kompulsif adalah seorang yang perfeksionis,

terfokus berlebihan pada detail, aturan, jadwal, dan sejenisnya.

Orang-orang tersebut sering kali terlalu memperhatikan detail sehingga

mereka tidak pernah menyelesaikan proyek. Mereka berorientasi pada

pekerjaan dan bukan pada kesenangan dan teramat sulit mengambil

keputusan (karena takut salah) dan mengalokasi waktu (karena takut

terfokus pada hal yang salah). Hubungan interpersonal mereka sering

kali buruk karena mereka keras kepala dan menuntut agar segala

sesuatu dilakukan dengan cara mereka. "Gila kendali" adalah istilah

popular bagi orang-orang tersebut.

c. Narsisme (Narcissism) adalah menganggap diri sendiri paling tampan,

paling cantik, kecintaan yang berlebihan terhadap diri sendi1 i,

l\eGeri-derungan untuk bercinta dengan diri sendiri (Save M Dagun, 1997).

Sedangkan kriteria gangguan kepribadian narsisistik dalam Diagnostic

Statistic Manual-IV (DSM-IV) adalah : a). Pandangan yang

dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri, arogansi; b). terfokus

pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri; c). kebutuhan ekstrem

untuk dipuji; d). perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan

(47)

Orang-orang dengan gangguan kepribadian narsisistik memiliki

pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka;

mereka terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan besar. Mereka

juga menghendaki perhatian dan pemujaan berlE!bihan yang hampir

tanoa henti dan vakin behwa mereka hanya dapat dimengerti oleh

orang-orang yang istimewa atau memiliki status tinggi. Hubungan

interpersonal mereka terhambat karena kurangnya empati, perasaan

iri dan arogansi, dan memanfaatkan orang lain serta perasaan bahwa

mereka berhak mendapatkan segala sesuatu - rnereka menghendaki

orang lain melakukan sesuatu yang istimewa untuk mereka tanpa

perlu dibalas. Kerpibadian narsisistik sangat sensitif terhadap kritik dan

sangat takut kegagalan (Gerald C. Davison, John M. Neale, Ann M.

Kring, dalam Noermalasari Fajar (2006).

Orang-orang yang mengalami gangguan ini dari luar tampak memiliki

perasaan luar biasa akan pentingnya dirinya. Kegagalan untuk

mengembangkan harga diri yang sehat terjadi bila orang tua tidak

merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan anak-anak

mereka. bila orang tua merespons anaknya den9an penghargaan,

kehangatan, dan empati, mereka menumbuhkan rasa makna diri yang

normal dan harga diri yang sehat pada si anak (Gerald C. Davison,

(48)

2.1.4 Perubahan Secara Emosional (The Emotional Turmoil)

Someone who is

a

hard worker, but obsessive in his actions or driven to

excel, is not necessarily

a

work addict. A workaholic cannot not work for any

extended period of time without growing anxious. The long hours spent at

work are only

a

sign that the person is not being effective. It may now take

twelve hours to do what used to be done in eight. Working Jess is not a

solution because it is what is happening in the inner psyche that produces the

profound personality changes that cripple the workaholic.

Seorang pekerja keras (hard worker), tidak dikendalikan dan terasul<i di

dalam tindakannya, mereka tidal< harus menjadi pencandu kerja. Sedangkan

seorang workaholic tidal< bisa tidal< bel<erja untul< periode yang lama tanpa

didorong dengan semangat dan rasa cemas (Barbara Killinger, 1991)

To illustrate ti'1i& pr0c&s.>, I will describe one personality type that is

parli-cularly prone to workaholism: the introverled thinker. These people process

information by taking it in and fanning their own subjective way of viewing the

world. Because these people are introverled, and tend not to check with

others, it is easy for them to get lost in

a

fantasy world where their ideas are

tied to inner images rather than to reality. Such people are often indifferent to

the opinions of other people and are prone to view their own ideas as "right,"

(49)

Untuk menggambarkan proses ini, akan diuraikan satu tipe kepribadian itu,

yaitu "Senang memikirkan diri sendiri." Orang-orang ini rnemproses informasi

dan membentuk jalan pemikirannya dengan cara subjektif mereka sendiri

dengan mengamati dunia. Sebab orang-orang ini senan9 rnemikirkan diri

sendiri, dan cenderung bukan untuk memperhatikan orang lain. Orang-orang

seperti itu sering tidak acuh akan pendapat-pendapat dari orang lain dan

merel<a ingin orang lain cenderung memandang gagasan-gagasan mereka

sendiri sebagai yang "benar," maksudnya untuk mereka, masuk akal, logis,

dan adil. Sikap rendah hati adalah bul<an salah satu ciri dari mereka.

Then the addiction to work gradually pushes him or her to work harder and

longer to achieve power and control in the form of success. The workaholic,

as the breakdown progresses, sees only limited possibilities and rigidly

adheres to what is knc;;·n 。ョセ@ sc.fa. Addicts are prone to use dualistic thinking

because it reduces the very complex into two simplistic choice;;. One must be

right; the other wrong. There are very few greys in the world of the

work-aholic. At this stage, unlimited options are too confusing and upsetting.

However, the answer often lies beyond the two options.

Kemudian kecanduan untuk pekerjaan secara berangsu1·-angsur, atau

dengan desakan-desal<an untul< bekerja lebih panjang dan lebih keras,

men-capai kekuasaan dan dapat mengendalikan dalam wujucl sukses. Ketika

(50)

kemung-kinan dan dengan bertahan untuk rnendapatkan rasa aman.

Pencandu-pencandu kerja atau workaholic cenderung akan rnenggunakan pernikiran

dualistic, sebab itu rnengurangi kornpleksitas ke dalarn dua pilihan

seder-hana. Satu harus benar; yang satu lagi harus salah. Sangat sedikit untuk

bersikap netral dalarn dunia workaholic. Pada tangkah ini, pilihan-pilihan yang

tak terbatas adalah rnernbingungkan dan rnerepotkan.

2.1.4.1 Tiga Jenis Workaholic

Walaupun para workaholic biasanya mernpunyai karakteristik-karakteristik

tertentu narnun ada tiga tipe yang berbeda di antara rnereka: Workoholic

Pengendali (Controller'), Workoholik Pengendali yang Narsisistik (Narcissistic

Controller'), dan Workaholic Menyenangkan (Pleaser).

Tipe Pertama Workoholic Pengendali

Controller workaholics are very independent, ambitious, driven, and intense.

These people are energetic, need little sleep, enjoy keeping busy, and rarely

relax. They can be charming and witty, and appear to be sociable, but they

have few close friends. Secrecy and privacy are important to them, and

sharing is not natural. They are impatient and impulsive. Many controllers are

thinking types. Because they value independence so hfghly, they are often

(51)

Sangat bebas, ambisius, dan kuat. Orang-orang ini giat, minim tidur,

menik-mati terus bersibuk, dan jarang rileks. Mereka bisa saja pintar, jenaka,

mem-pesona, dan tampak pandai membawa diri, tetapi mereka mempunyai sedikit

sahabat karib. Privasi dan kerahasiaan adalah penting bagi mereka, dan

me-reka tidak lazim berbagi. Meme-reka tidak sabaran (impatient) dan meluap-luap

(impulsive). Di antara para workaholic tipe pengendali ini banyak yang tipe

pemikir. Karena, mereka sangat menghargai kebebasan. Mereka sering kali

ditemukan pada posisi management atas, atau bekerja untuk diri sendiri.

Mereka bekerja mati-matian sampai kelelahan. Kemudian mereka menjadi

dihentikan dan berhenti untuk berfungsi dengan baik sampai badan bisa

memugar kembali energinya. Para workaholic pengontrol menciptakan

atmospir yang meningkat dari marah bera!ih ke merah padam, hingga

akhir-nya menghancurkan anggota keluarga dan teman kerja. Benteng pertahanan

utama dari workaholic tipe ini adalah menyangkal, rasionalisasi, menghindar.

Tipe kedua workaholic Pengendali Narsissistic

A second type, the more disturbed Narcissistic Controller, has similar

reac-tions, but tends to resort to dissociation when stress climbs too high.

Dis-sociation occurs when

a

person splits off and represses negative feelings

about things, other people, and him or herself. Unwanted things cease to

exist; people are ignored. The person does not remember that things have

(52)

Capacity to truly love others unconditionally. They are エィQセ@ takers who

mani-pulate others to serve their own ends. Stubborn and proud, they view image

as everything.

Memiliki reaksi yang serupa, tetapi cenderung mencari jalan untuk

memisahkan diri ketika stres yang ia alami terlalu berat. Pemisahan diri

terjadi bila ada orang yang memberikan perasaan negativ terhadap sesuatu,

orang lain, atau terhadap diri workaholic ini sencliri. Ketika hal-hal yang tak

cliinginkan tidak nampak lagi, orang-orang diabaikannya. Pengidap

workaholic tipe ini tidak ingat lagi bahwa hal yang tak diinginkan itu sudah

pernah terjadi. Orang-orang workaholic ini narcissistik clan belum dapat

mengembangkan suatu kapasitas untuk mencintai orang lain dengan

sesungguhnya dalam keadaan yang tanpa syarat. Mereka adalah penerima

yang memanipulasi orang lain untuk kepentingannya sendiri. Keras kepala

dan berbangga, adalah citra yang lekat pada dirinya.

Tipe ketiga, Pleaser

Pleaser workaholics tend to be less ambitious, more sociable people who are

keenly aware of other people and other people's needs. They enjoy beinf'f

with others, but can be too dependent on them. They take middle

manage-ment jobs because feedback from others and the boss's sea/ of approval are

important to them. They tend to avoid making waves ano' will act out passively

(53)

to go wrong, emotions build up inside. Sometimes anger gets misdirected to

someone or something else. Fear and resentment make them overly sensitive

to criticism, and some become paranoid. Instead of verbalizing their hurt and

confusion, pleasers absorb their anger and feel guilty. Since guilt is

self-anger, it only adds to their distress. They become depressed, moody, and

more distant and uninvolved. They may walk away to avoid their own anger or

to get away from others' anger.

Cenderung kurang ambisius, lebih sosialis, selalu sadar akan orang lain dan

kebutuhan orang lain. Mereka menikmati kebersamaan dengan orang lain,

tetapi dapat menjadi sangat bergantung pada orang lain. Pekerjaan yang ia

ambil adalah management kelas menengah, karena umpan balik berupa

pengakuan dari orang-orang dan bosnya masih penting bagi mereka. Mereka

cenderung untuk menghindari membuat gelombang dan akan bertindak

secara pasif dari pada mendapatkan risiko penolakan ataupun celaan yang

dibarengi dengan kemarahan yang tertuju padanya. Ketika ada masalah,

berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Terkadang, jika ia sedang

marah, orang lain bisa kena sasaran. Mereka menjadi suka murung ,

terte-kan, dan lebih tidak dilibatkan jauh. Mereka boleh pergi untuk menghindari

kemarahan mereka sendiri atau untuk lolos da:i kemarahan lainnya. Mereka

mem-verbalisasikan derita dan kekacauan perasaannya, workaholic tipe ini

menahan kemarahan dan malah merasa dirinya-lah yan9 bersalah. Karena

(54)

bersalah itu hanya akan menambah derita dirinya sendiri. Mereka ini menjadi

depresi, suka murung, dan semakin jauh dan

ュ・ョァ。ウゥョセQN@

tanpa terlibat dalam

masyarakat. Mungkin mereka berjalan untuk menghindari kemarahannya

sendiri atau untuk menjauh dari kemarahan orang (Barbara Killinger, 1991).

2.1.4.2. Tanda-tanda Utama dari Gangguan Workaholic

Prevention is an important concept to keep in mind as W•'l look at the process

the breakdown follows. If you recognize the major warning signs early

enough, negative effects can be reversed before the addiction causes further

emotional damage. As Lyle Longelaws, a First Nations elder, says, "Before

the healing can take place, the poison must be exposed." Awareness is

essential to recovery. Let's look at some of the signs of breakdown. If you

recognize any of these warning signs m yourself, your spouse, or

a

friend,

understanding them now can lead to recovery tater.

Pencegahan adalah sat

Gambar

Gambar 2.2 Scatterplot workaholic
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir Hubungan Antara Perilaku
Tabel 3.1 Distribusi Perilaku Workah•olic
Tabel 3.2 Distribusi Skala Insomnia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “ Hubungan Antara Depresi dan Insomnia Pada Lansia Di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta” ini diajukan dalam rangka memenuhi syarat

Skripsi dengan judul “ Hubungan Antara Depresi dan Insomnia Pada Lansia Di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta” ini diajukan dalam rangka memenuhi syarat

Saya mohon kesediaan saudara/saudari untuk mengisi daftar pertanyaan (kuesioner) penelitian ini.Informasi yang Saudara/i berikan adalah sebagai data penelitian dalam rangka

Pada kesempatan ini saya sangat mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi daftar pertanyaan yang diajukan berdasarkan pendapat pribadi dari apa yang

Namun sebenarnya hal itu berdampak negatif bagi dirinya karena selain jadwal tidur sudah tidak teratur yang dialaminya saat itu, merokok dapat menyebabkan seseorang insomnia

Mahasiswa Program Studi DIV Bidan Pendidik STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta yang paling banyak mengalami insomnia yaitu mahasiswa yang mengalami insomnia sedang sebanyak 34

Demi tercapainya tujuan penelitian ini, maka penyusun mohon kesediaan dari Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk membantu mengisi kuesioner atau daftar pertanyaan yang

Kemudian berdasarkan wawancara tingkat depresi dengan Insomnia pada 15 lansia didapatkan bahwa 8 orang lansia mengalami insomnia, 5 lansia tidak mengalami gejala insomnia, 2 lansia