KARAKTERISTIK REOLOGI MI JAGUNG DENGAN
PROSES EKSTRUSI PEMASAK – PENCETAK
TJAHJA MUHANDRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak – Pencetak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
ABSTRACT
Tjahja Muhandri. F261020071. Rheological Characteristic of Corn Noodles Made with Extrusion Process. Under the suppervision of Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS as the chairman, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, and Dr. Ir. Sutrisno, MAgr as advisory committe members.
This research generally aimed to prepare corn-based noodles which have good elasticity and low cooking loss by using extrusion process. In detail, this research has the objective to: (1) studythe effects of particle sizes, amounts of corn flour and corn starch in water, concentration of salt in corn flour and corn starch on gelatinization profile; (2) to optimize corn noodle extrusion using RSM, and (3) to study the effect of salt addition and number of passing in extruder on corn noodle characteristics.
The gelatinization profile of corn flour and corn starch were characterized by Brabender Visco Amylograph type D-4100 Duisburg. Corn noodles were prepared by Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C from Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Process optimization was conducted by using response surface methodology (RSM) with four parameters, i.e., 1) firmness; 2) stickiness, 3) elongation and 4) cooking loss. Firmness and stickness was set in range, elongation was set in maximum, and cooking loss was set in minimum.
It was found that the initial temperature and maximum temperature of gelatinization increased and peak viscosity decreased with the increase of particle sizes. Increasing concentration of corn flour and corn starch in water tended to decrease maximum temperature of gelatinization and increase peak viscosity, but it had no significant effect on initial temperature. The addition of sodium chloride
Process optimization showed that the optimum condition, with a desirability of 0.835, was achieved by the combination of 70% (dry basis) dough’s moisture content with the extruder temperature is 90
in corn flour increased significantly initial gelatinization temperature, maximum temperature of gelatinization, peak viscosity and cold viscosity. In the case of corn starch, the addition of sodium chloride 1% increased initial temperature and peak viscosity, but the addition more than 1% of concentration had no significant effect. The addition of sodium carbonate in corn flour and corn starch increased the initial temperature and peak viscosity, but decreased maximum temperature of gelatinization and cold viscosity.
o
In general, this research showed that firmness of corn noodle decreased by the increased of salt addition and by number of passing in extruder. In sodium carbonate addition, the optimum condition was obtained at moisture content of 80% (dry basis), salt concentration of 0.11 or 0.12%, and number of passing in extruder for 3 times (desirability 0.836). Under this optimum condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 2242.29 gf, stickiness of -58.83 gf, elongation of 418.81%, and cooking loss of 3.66%. In sodium chloride addition, the optimum condition was achieved at moisture content of 80% (dry basis), salt concentration 2%, and number of passing for 3 times (desirability 0.877). Under this condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 1855.23 gf, stickiness of -35.86 gf, elongation of 576.38%, and cooking loss of 2.62%. C and screw speed is 130 rpm. The RSM model predicted that the corn-based noodles prepared with optimum condition has firmness of 3039.79 gf, stickiness of -116.2 gf, elongation of 318.68%, and cooking loss of 4.56%.
RINGKASAN
Tjahja Muhandri. F261020071. Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak-Pencetak. Dibawah Bimbingan : Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Sutrisno, MAgr sebagai anggota komisi pembimbing.
Mi yang dibuat dari bahan baku non terigu memerlukan proses yang berbeda dengan mi dari terigu. Mi non terigu membutuhkan adanya mekanisme gelatinisasi dan retrogradasi pati untuk membentuk struktur mi yang kokoh. Bahan baku yang digunakan umumnya berupa pati.
Salah satu sumber pati yang berpotensi untuk digunakan adalah jagung. Pembuatan mi dari tepung jagung telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun mutu mi yang dihasilkan masih kurang baik, terutama pada rendahnya elongasi dan tingginya cooking loss mi. Hal ini diduga karena kurangnya tekanan shear yang diterima adonan selama proses pembuatan mi. Penggunaan ekstruder tipe pemasak-pencetak untuk membuat mi jagung belum pernah diteliti oleh peneliti lain.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mempelajari sifat amilografi tepung akibat perbedaan ukuran partikel, konsentrasi tepung jagung dan pati jagung dalam suspensi serta akibat pengaruh penambahan garam (2) Optimasi kadar air adonan, suhu proses dan kecepatan screw pada pembuatan mi jagung menggunakan ekstruder pemasak-pencetak, dan (3) Mempelajari karakteristik reologi mi jagung akibat penambahan garam dan perlakuan passing.
Karakterisasi tepung jagung meliputi analisa proksimat dan kadar amilosa serta dan profil gelatinisasi tepung dan pati jagung. Bahan yang digunakan adalah tepung jagung dari varietas P21. Profil gelatinisasi diukur menggunakan Brabender Visco Amylograph tipe D-4100 Duisburg buatan Jerman
Optimasi proses dilakukan dengan variabel kadar air tepung (70, 75, 80% basis kering), suhu ekstruder (80, 85, 90o
Pengaruh penambahan garam (sodium karbonat
C), dan kecepatan screw ekstruder (110, 120, 130 rpm). Analisis untuk menentukan kondisi optimum dilakukan menggunalan response surface methodology (RSM) D-optimal Combine dengan dasar empat parameter yaitu kekerasan dan kelengketan in range, elongasi maksimum dan cooking loss minimum. Pembuatan mi jagung dilakukan menggunakan cooking-forming extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand.
dan sodium klorida), kadar air dan jumlah passing melewati ekstruder dilakukan dengan masing-masing tiga level. Pada penambahan sodium karbonat (Na2CO3),
meningkakan viskositas puncak, tetapi tidak berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi. Penambahan sodium klorida pada tepung jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak dan viskositas dingin (p<0,05). Untuk pati jagung, penambahan sodium klorida 1% dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi peningkatan kadar yang lebih tinggi lagi tidak memberikan dampak yang signifikan. Penambahan sodium karbonat pada tepung jagung dan pati jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas dingin.
Pada tahap optimasi proses pembuatan mi, hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi proses yang optimum, dengan nilai desirability 0,835, dihasilkan dari kadar air adonan tepung jagung sebesar 70% (basis kering) yang diproses pada suhu ekstruder 90o
Penelitian pengaruh penambahan garam dan perlakuan passing, menunjukkan bahwa kekerasan mi jagung turun dengan penambahan garam dan perlakuan passing. Pada penambahan sodium karbonat, kondisi proses optimum diperoleh pada kadar air adonan 80% (basis kering), sodium karbonat 0,11 atau 0,12%, dan passing 3 kali (nilai desirability 0,836). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki nilai kekerasan 2242,29gf, kelengketan -58,83gf, elongasi 418,81%, dan cooking loss 3,66%. Pada penambahan sodium klorida, kondisi proses optimum diperoleh pada kadar air adonan 80% (basis kering), sodium klorida 2%, dan passing 3 kali (nilai desirability 0,877). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki kekerasan 1855,23gf, kelengketan -35,86gf, elongasi 576,38%, dan cooking loss 2,62%.
C dan kecepatan screw ekstruder 130 rpm. Prediksi model dari RSM menunjukkan bahwa mi jagung yang dibuat pada kondisi optimum memiliki karakteristik kekerasan 3039,79gf, kelengketan -116,2gf, elongasi 318,68%, dan cooking loss 4,56%. Mi dari prediksi model sedikit berbeda dengan kondisi aktual
dimana mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3199,10gf, kelengketan -108,90gf, elongasi 351,60% dan cooking loss 2,28%. Pada kondisi optimum, mi
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
KARAKTERISTIK REOLOGI MI JAGUNG DENGAN
PROSES EKSTRUSI PEMASAK – PENCETAK
TJAHJA MUHANDRI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Feri Kusnandar
: Dr. Emmy Darmawati
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Y. Aris Purwanto
Judul Penelitian : Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi
Pemasak – Pencet
ak
Nama : Tjahja Muhandri
Nrp : F 261020071
Program Studi : Ilmu Pangan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
Anggota Anggota
Dr. Ir. Sutrisno, MAgr
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc Dr.Ir. Dahrul Syah
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan S3 di Program Studi IPN - IPB. Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. P. Adil Basuki Ahza, P. Rizal Syarief dan P. Sutrisno selaku pembimbing. Arahan,
dorongan dan bimbingan yang sabar terhadap diri saya semoga menjadi amal ibadah
yang sangat besar pahalanya.
2. M. Feri dan B. Emmy yang bersedia menjadi penguji pada ujian tertutup. Terima
kasih masukannya.
3. P. Ridwan Thahir dan P. Aris Purwanto yang telah bersedia menjadi penguji pada
ujian terbuka. Terima kasih masukannya.
4. P. Subarna yang menemani sejak pembuatan proposal, penelitian dan pengolahan
data. Terima kasih pula kepada P. Darwin, B. Betty Sri Laksmi Jenie, B. Ratih, P
Sugiyono, M. Feri dan P. Dahrul yang banyak memberikan masukan dan dorongan.
5. Semua sahabat di Dept. ITP-FATETA-IPB.
6. Seluruh kawan-kawan teknisi dan laboran serta kawan-kawan di IPN.
7. P. Khairil Anwar dan P. Marimin. Salam hormat.
8. Semua teman yang telah membantu.
Penulis menyadari penuh bahwa naskah ini masih memiliki banyak kekurangan,
sehingga penulis menerima semua kritik dan saran dalam bentuk apapun.
Sekali lagi, terima kasih.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 15 Mei 1972 sebagai putra ketiga
dari lima bersaudara dari pasangan Muchni dan Suwarti. Pendidikan sarjana ditempuh di
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (1991 – 1996). Pada tahun
1999 penulis melanjutkan kuliah di Program S2 Teknik dan Manajemen Industri, Institut
Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 2002. Program Doktor penulis jalani di
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
DAFTAR ISTILAH ... xix
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG ... 1
TUJUAN ... 5
HIPOTESA ... 6
MANFAAT ... 6
TINJAUAN PUSTAKA KOMPOSISI KIMIA BIJI JAGUNG ... 8
GELATINISASI ... 11
PROSES PENEPUNGAN JAGUNG ... 14
SIFAT AMILOGRAFI ... 15
PROSES PEMBUATAN MI ... 19
EKSTRUDER ... 22
a.Ekstruder ... 22
b.Proses Ekstrusi ... 24
c.Ekstrusi Pasta ... 25
REOLOGI MI ... 25
HUBUNGAN KARAKTERISTIK AMILOGRAFI DENGAN REOLOGI MI ... 28
PENGUKURAN SIFAT REOLOGI MI ... 29
RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM) ... 31
METODOLOGI PENELITIAN BAHAN DAN ALAT ... 33
TEMPAT PENELITIAN ... 34
PELAKSANAAN PENELITIAN ... 34
Pembuatan Tepung Jagung ... 34
Karakterisasi Tepung dan Pati Jagung ... 35
Analisa Profil Gelatinisasi ... 36
xiii
Optimasi Proses Pembuatan Mi Basah ... 37
Optimasi Proses dengan Perlakuan Garam (Na2CO3 dan NaCl), Kadar Air dan Jumlah Passing ... 38
PENGARUH UKURAN PARTIKEL, BOBOT DAN PENAMBAHAN GARAM TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG DAN PATI JAGUNG ABSTRACT ... 40
ABSTRAK ... 40
PENDAHULUAN ... 41
METODOLOGI PENELITIAN ... 42
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
KESIMPULAN ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
OPTIMASI PROSES EKSTRUSI MI JAGUNG DENGAN METODE RESPON PERMUKAAN ABSTRACT ... 63
ABSTRAK ... 63
PENDAHULUAN ... 64
METODOLOGI PENELITIAN ... 65
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68
KESIMPULAN ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 77
PENGARUH GARAM (SODIUM KARBONAT DAN SODIUM KLORIDA) DAN JUMLAH PASSING PADA OPTIMASI PROSES MI JAGUNG ABSTRACT ... 79
ABSTRAK ... 79
PENDAHULUAN ... 80
METODOLOGI PENELITIAN ... 81
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 83
KESIMPULAN ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 97
PEMBAHASAN UMUM ... 100
KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Teknologi pembuatan dan karakteristik produk mi jagung ... 1
Tabel 1.2. Karakateristik mi basah jagung dengan metode pengumpanan
yang berbeda ... 3
Tabel 2.1. Komposisi kimia biji jagung ... 8
Tabel 2.2. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal (Smith, 1981) ... 24
Tabel 4.1. Perbandingan karakteristik tepung jagung varietas P21 dengan
pati jagung yang diperoleh dari PT Suba Gel ... 45
Tabel 4.2. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 46
Tabel 4.3. Pengaruh konsentrasi partikel dalam suspensi terhadap profil
gelatinisasi tepung jagung dan pati jagung ... 49
Tabel 4.4. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ... 52
Tabel 4.5. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung ... 54
Tabel 4.6. Pengaruh penambahan Na2CO3
Tabel 4.7. Pengaruh penambahan Na
terhadap profil gelatinisasi tepung
jagung ... 57
2CO3
Tabel 5.1. Independen variabel dan level masing-masing variabel pada
optimasi proses pembuatan mi dengan metode RSM ... 67 terhadap profil gelatinisasi pati
jagung ... 57
Tabel 5.2. Hasil analisis kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss mi jagung ... 69
Tabel 5.3. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk keempat respon terukur .. 70
Tabel 5.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum ... 75 Tabel 5.5. Perbandingan karakteristik mi jagung dan spaghetti ... 76 Tabel 6.1. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk respon terukur pada
perlakuan kadar air (X1), passing (X2) dan sodium karbonat (X3 Tabel 6.2. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk respon terukur pada
perlakuan kadar air (X
) 83
1), passing (X2) dan sodium klorida (X3 Tabel 6.3. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada
penggunaan sodium karbonat ... 95 ) .. 84
Tabel 6.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Foto SEM mi basah jagung, (a) pemberian tekanan pada
adonan, dan (b) tanpa pemberian dorongan... 3
Gambar 2.1. Struktur amilosa dan amilopektin (Harper, 1981) ... 9
Gambar 2.2. Sruktur amilopektin pada daerah kristalin dan amorf (Liu, 2005) 9 Gambar 2.3. Model struktur granula pati (Liu, 2005) ... 10
Gambar 2.4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) ... 12
Gambar 2.5. Perubahan granula pati selama gelatinisasi dan retrogradasi (Srichuwong, 2006) ... 13
Gambar 2.6. Ilustrasi kurva sifat-sifat amilografi (Sowbhagya dan Bhattacharya, 2001) ... 16
Gambar 2.7. Profil gelatinisasi dan perubahan granula pati selama pemanasan (Srichuwong, 2006) ... 17
Gambar 2.8. Bagian-bagian penting alat ekstruder tunggal (Harper, 1981).. 24
Gambar 2.9. Kurva hasil pengukuran dengan TPA (Texture Profile Analyser) 30 Gambar 3.1. Ekstruder yang digunakan dalam penelitian ... 33
Gambar 3.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 34
Gambar 3.3. Diagram alir proses pembuatan tepung jagung... 35
Gambar 3.4. Diagram alir analisa profil gelatinisasi ... 36
Gambar 3.5. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung ... 38
Gambar 3.6. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung dengan perlakuan garam dan jumlah passing ... 39
Gambar 4.1. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ... 46
Gambar 4.2. Hubungan pengaruh ukuran tepung jagung terhadap suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b) dan viskositas puncak (c) ... 47
xvi
Gambar 4.4. Pengaruh konsentrasi partikel terhadap profil gelatinisasi
tepung jagung ... 49
Gambar 4.5. Hubungan antara konsentrasi tepung jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b) ... 50
Gambar 4.6. Hubungan antara konsentrasi pati jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b) ... 50
Gambar 4.7. Pengaruh garam NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 52 Gambar 4.8. Hubungan antara kadar NaCl dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50o Gambar 4.9. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung ... 54
C (d), viskositas breakdown (e) dan viskositas setback (f) pada profil gelatinisasi tepung jagung ... 53
Gambar 4.10. Pengaruh Na2CO3 Gambar 4.11. Hubungan antara kadar dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50 terhadap profil gelatinisasi tepung jagung . 55
o Gambar 4.12. Pengaruh Na C (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi tepung jagung ... 56
2CO3 Gambar 4.13. Hubungan antara kadar dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50 terhadap profil gelatinisasi pati jagung ... 58
o Gambar 5.1. Grafik RSM kekerasan mi jagung ... 71
C (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi pati jagung ... 59
Gambar 5.2. Grafik RSM kelengketan mi jagung ... 72
Gambar 5.3. Grafik RSM elongasi mi jagung ... 73
Gambar 5.4. Grafik RSM cooking loss mi jagung ... 74
Gambar 5.5. Grafik nilai desirability mi yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm, pada suhu dan kadar air yang berbeda ... 76
xvii
Gambar 6.1. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh passing dan
sodium karbonat ... 85
Gambar 6.2. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara
kadar air dengan passing (a) dan antara sodium klorida dengan
passing (b) ... 86 Gambar 6.3. Kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar
air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium
karbonat (b) ... 87
Gambar 6.4. Kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi kadar air
dengan sodium klorida ... 88
Gambar 6.5. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar
air dengan sodium karbonat (a), antara kadar air dengan
passing (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c) .... 89 Gambar 6.6. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar
air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium klorida (b) ... 90
Gambar 6.7. Elongasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air
dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium
karbonat (b) ... 91
Gambar 6.8. Elongasi mi jagung pada perlakuan kadar air, sodium klorida
dan passing ... 92
Gambar 6.9. Cooking loss mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar
air dengan passing (a), antara kadar air dengan sodium
karbonat (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c) .. 93
Gambar 6.10. Cooking loss mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengansodium klorida ... 94
Gambar 6.11. Visualisasi kondisi proses optimum pada passing 3 pada
penggunaan sodium karbonat ... 96
Gambar 6.12. Visualisasi kondisi proses optimum pada passing 3 pada
penggunaan sodium klorida ... 96
Gambar 7.1. Struktur mikro mi jagung yang dihasilkan dari proses yang
xviii
Gambar 7.2. Struktur mikro mi jagung jika kondisi proses ekstrusi optimal
(a) dan jika kondisi proses kurang mencukupi kebutuhan
teksturisasi selama ekstrusi (b). ... 103
Gambar 7.3. Konfigurasi ulir pada ekstruder pemasak-pencetak yang
digunakan dalam penelitian ... 105
Gambar 7.4. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan
dan shear stress yang tidak optimal ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) ... 106
Gambar 7.5. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan
dan shear stress yang cukup ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) ... 107
Gambar 7.6. Model adonan pati yang diusulkan pada pembuatan mi (Chen,
2003)... 107
Gambar 7.7. Perubahan granula pada pembuatan mi pati ketika mi dicetak
DAFTAR SINGKATAN
BU : Brabender Unit
CGM : Corn Gluten Meal
DSC : Differential Scanning Calorimetry IRRI : International Rice Research Institute
LMW : Low Moleculer Weight P21 : Pioneer 21
PP : Polyprophylene RPM : Rotation Per Minute
RSM : Response Surface Methodology
SEM : Scanning Electron Microscope TPA : Texture Profile Analyzer
DAFTAR ISTILAH
Amilopektin : Polisakarida dengan molekul bercabang pada rantai
lurusnya, memiliki ikatan β-1:6 pada cabang yang terdapat pada setiap 20-25 unit glukosa
Amilosa : Molekul linier (rantai lurus) polisakarida dengan ikatan α -1:4
Cooking loss : Banyaknya padatan dalam mi yang terurai ke dalam air selama proses pemasakan
Derajat gelatinisasi : Persentase granula yang telah mengalami gelatinisasi
Ekstruder : Alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi Ekstruder pemasak : Ekstruder yang dilengkapi satuan pemanas / proses
pemasakan dengan injeksi uap (secara langsung) atau dari jaket pemanas (secara tidak langsung)
Ekstruder ulir tunggal
: Ekstruder yang memiliki satu buah ulir(screw) Elongasi : Pertambahan panjang maksimum suatu bahan yang
mengalami tarikan sebelum putus
Gelatinisasi : Proses perubahan sifat pati yang ditandai dengan keluarnya amilosa dan amilopektin karena pengaruh fisik (panas dan air) dan mekanik (tekanan).
Kekerasan : Gaya maksimum yang diperlukan untuk menekan sampai terjadi perubahan bentuk yang telah ditetapkan
Kelengketan : Gaya yang dibutuhkan untuk menarik bagian pangan dan memisahkannya dari lempeng kompresi
Passing : Jumlah (ulangan) adonan dicetak melewati ekstruder
Profil gelatinisasi : Karakteristik yang ditunjukkan oleh suspensi pati atau tepung ketika mengalami gelatinisasi oleh panas
Response Surface Methodology
: Teknik statistik dan matematik yang digunakan untuk pengembangan, perbaikan dan optimasi proses dalam respon utama yang diakibatkan oleh beberapa variabel dan
tujuannya adalah optimasi respon tersebut
Retrogradasi : Proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati yang telah tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu, ketika adonan didinginkan
Sifat amilografi : Sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan menggunakan alat Brabender Amilograph
Suhu awal gelatinisasi
: Suhu pada suspensi ketika granula pati atau tepung mulai membengkak dan amilosa keluar dari granula, yang ditandai dengan naiknya viskositas suspensi
Suhu gelatinisasi maksimum
: Suhu ketika suspensi pati atau tepung mencapai viskositas puncak
Tekanan shear : Tekanan yang bersifat geser, arahnya tidak tegak lurus dengan materi yang terkena tekanan
Tensile strength : Gaya yang diperlukan untuk menarik suatu benda hingga putus
Titik awal gelatinisasi
: Kondisi yang terjadi pada pati ketika granula mengembang dan amilosa mulai keluar dari granula
Viskositas break down
: Nilai yang dihitung dari viskositas puncak dikurangi dengan viskositas terendah pada saat pemanasan diteruskan
Viskositas dingin : Nilai viskositas yang dicapai pada waktu suhu Brabender Amilograph diturunkan hingga mencapai suhu 50oC
Viskositas puncak : Nilai maksimum viskositas yang dicapai ketika suspensi pati atau tepung mengalami proses pemanasan
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Berbagai penelitian tentang teknik pembuatan mi jagung telah dilakukan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) pembuatan mi jagung dengan teknik ekstrusi (Waniska et al., 1999), dan (2) teknik pembuatan mi jagung dengan pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sleeting) atau modifikasi teknik mi terigu (Budiyah, 2004; Fitriani, 2004).
Mi jagung yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya memiliki karakteristik yang belum sesuai dengan karakteristik mi yang baik, yaitu cooking loss yang rendah dan elongasi yang tinggi. Hasil penelitian sebelumnya (Tabel 1.1.) menunjukkan bahwa mi jagung yang dihasilkan memiliki karakteristik cooking loss yang tinggi dan beberapa peneliti tidak melakukan pengukuran terhadap elongasi produk mi jagung.
Tabel 1.1. Teknologi pembuatan dan karakteristik produk mi jagung
No. Peneliti Teknologi Proses Bahan Baku Utama
Karakteristik Utama Mi
1. Waniska et al. (1999) Ekstruder pasta (mi
kering)
Tepung jagung Cooking loss 47%
Elongasi tidak diukur
2. Budiah (2004) Kalendering (mi
instant)
Pati jagung Cooking loss 20,10%
Elongasi tidak diukur
3. Fitriani (2004) Kalendring (mi
instant)
Tepung jagung Cooking loss 8,35%
Elongasi tidak diukur
4. Kurniawati (2006) Kalendering (mi
basah)
Pati jagung, CGM Cooking loss 16,53%
Elongasi 20,55%
5. Rianto (2006) Kalendering (mi
basah)
Tepung jagung Cooking loss 17,79%
Elongasi 20,05%
6. Soraya (2006) Kalendering (mi
basah)
Tepung jagung Cooking loss 10,10%
Elongasi 14,70%
2 Pembuatan mi jagung dengan bahan baku jagung ukuran tepung (lolos ayakan 80 mesh) dan maize meal (lolos ayakan 40 mesh) telah dilakukan oleh Waniska et al. (1999). Jenis ekstruder yang digunakan adalah pasta maker untuk rumah tangga, memiliki 24 lubang die dengan diameter die 1,5 mm, chamber berukuran diameter 45 mm dan panjang 85 mm. Namun mi jagung yang dihasilkan memiliki cooking loss yang terlalu tinggi yaitu di atas 47%.
Tingginya cooking loss diduga karena adonan tidak cukup mengalami kompresi dan tekanan shear. Ekstruder tidak mampu memecah granula tepung, sebagian pati yang telah tergelatinisasi masih terikat dalam granula tepung. Ketika retrogradasi, ikatan hidrogen antar amilosa tidak terjadi secara sempurna pada seluruh bagian mi sehingga struktur mi kurang kokoh.
Kelemahan pada teknik pembuatan mi jagung yang dikembangkan oleh Waniska et al. (1999) yaitu dengan teknik pencetakan menggunakan ekstruder pasta adalah kesulitan untuk memasukkan adonan ke dalam zona pengumpanan di dalam ekstruder. Kondisi ini terjadi karena adonan sudah digelatinisasi terlebih dahulu sehingga memiliki sifat panas dan lengket. Kecepatan ulir bersifat konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir pada ekstruder pasta yang memiliki permukaan halus menyebabkan adonan mengalami selip dan tidak terdorong secara maksimal menuju die. Ulir tipe constant root dengan jarak antar flight yang sama, sehingga tidak memiliki compression section.
Charutigon et al. (2007) menyatakan bahwa vermicelli dari tepung beras yang diproses dengan ekstruder pemasak-pencetak memiliki cooking loss 14,2% dan dapat diterima oleh panelis terlatih pada kecepatan screw 50 rpm (kecepatan aliran sekitar 750 gr/jam). Pada kecepatan aliran 400-700 gr/jam, vermicelli tidak diterima oleh panelis. Ekstruder yang digunakan adalah ekstruder ulir tunggal dengan dua buah die yang berukuran 0,6 mm.
3 Tabel 1.2. Karakteristik mi basah jagung dengan metode pengumpanan yang
berbeda Karakteristik Mi
Basah Jagung
Metode Pengumpanan pada saat Pencetakan Adonan Tidak Diberi
Dorongan
Adonan Diberi Dorongan
Cooking Loss (%) 7,15 ± 0,11 5,56 ± 0,04 Elongasi(%) 108,46 ± 2,78 126,29 ± 6,29
Menurut Muhandri dan Subarna (2009), berdasarkan hasil foto SEM (Gambar 1.1), struktur mi basah jagung yang dibuat ekstruder pasta yang diberikan dorongan (tekanan) pada adonan terlihat lebih kompak dibandingkan dengan tanpa pemberian dorongan. Granula tepung terlihat menyatu satu dengan lainnya (Gambar 1.1.a).
.
Pada penelitian ini digunakan ekstruder pemasak-pencetak. Adonan dimasukkan ke dalam zona pengumpanan dalam keadaan mentah (belum tergelatinisasi) sehingga aliran adonan lebih lancar. Ulir memiliki compression section sehingga terjadi tekanan yang cukup besar di dalam ekstruder.
Di Indonesia, belum ada peneliti yang melaporkan varietas jagung yang cocok untuk dibuat mi. Namun Tam et al. (2004) memberikan karakteristik berupa kandungan amilosa sekitar 27-30% yang cocok untuk dibuat bihun dari jagung. Penelitian ini akan menggunakan tepung jagung yang memiliki kandungan amilosa normal.
Reologi mi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bahan baku, proses pengolahan, bahan tambahan (terutama garam dapur dan garam basa) yang digunakan dan proses pemasakan. Garam yang sering digunakan adalah NaCl dan garam basa
Gambar 1.1. Foto SEM mi basah jagung yang dibuat dengan : (a) pemberian dorongan pada adonan
(b) tanpa pemberian dorongan
4 yang mencakup sodium dan potasium karbonat, bikarbonat dan fosfat dan kadang-kadang dipakai NaOH meskipun tidak legal di beberapa negara (Moss et al., 1986).
Pada adonan terigu, kondisi basa menyebabkan adonan menjadi lebih liat dan ekstensibel (Moss et al., 1986). Perubahan ini terjadi akibat oksidasi grup sulfidril, pertukaran sulfidril disulfida dan oksidasi fraksi globulin membentuk ikatan protein dengan berat molekul lebih tinggi.
Shiau dan Yeh (2001) mendapatkan kondisi bahwa penambahan garam basa atau kansui (campuran sodium karbonat dan potasium karbonat dengan perbandingan 1:1) sebanyak 0,5% menghasilkan mi terigu (teknik ekstrusi) dengan tensile strength paling kuat yaitu sebesar 43±3 mN. Tensile strength mi dengan penambahan garam basa berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan 1,00 % adalah 25±1 mN, 31±2 mN, 43±3 mN dan 36±2 mN. Namun semakin tinggi garam basa, cooking loss mi semakin tinggi pula. Cooking loss mi dengan penambahan kansui berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan 1,00% adalah 5,58±0,38 %, 6,94±0,31 %, 15,74±0,51 % dan 19,20±0,46 %.
Menurut Shiau dan Yeh (2001), kansui dapat meningkatkan perubahan ikatan S-H menjadi S-S. Dimana S-H berperan dalam pembentukan ikatan yang erat antara pati dengan matriks protein. Sehingga dengan berkurangnya S-H, maka pati tidak lagi terikat erat pada matriks protein dan akan terlepas ketika mi dimasak.
NaCl dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu. Selain itu NaCl dapat memperkuat adonan dan meningkatkan penyerapan air. Namun penggunaan NaCl di atas 3% dapat merusak reologi mi yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mi menjadi kurang elastis, sehingga disarankan penggunaannya tidak lebih dari 2% (Wu et al., 2006).
5 Informasi tentang sifat-sifat suspensi tepung atau pati yang berkaitan dengan viskositas dan gelatinisasi merupakan suatu informasi penting yang diperlukan untuk menduga karakteristik suatu produk pasta berbasis tepung atau pati. Menurut Chen (2003), mutu mi dari pati dapat diprediksi dari sifat-sifat gel pati, karena gel pati yang lebih keras dapat menghasilkan mutu pemasakan (elastisitas lebih tinggi dan cooking loss lebih rendah) dan mutu organoleptik mi yang lebih baik. Lebih lanjut Chen menemukan bahwa viskositas dingin (cold viscosity) campuran tepung dalam larutan NaCl 1,5 % menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cooking loss, elongasi dan tensile strength.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil gelatinisasi tepung jagung akibat pengaruh garam, sifat-sifat reologi mi jagung yang dibuat dengan teknik ekstrusi, mempelajari hubungan antara sifat-sifat amilografi tepung dengan reologi mi jagung, optimasi proses pembuatan mi jagung dan bagian terakhir penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan garam dan passing (ulangan adonan melewati ekstruder) terhadap sifat reologi mi jagung.
Bagian Pertama disertasi ini adalah Pendahuluan yang berisi kondisi yang melatarbelakangi pentingnya penelitian ini dilakukan, tujuan, hipotesa dan manfaat penelitian. Bagian Kedua berisi Tinjauan Pustaka yang terkait dengan penelitian. Bagian Ketiga menggambarkan Tahapan Penelitian secara keseluruhan dan metode (langkah) dalam setiap tahap penelitian. Bagian Keempat berisi Pengaruh Ukuran Partikel, Konsentrasi dalam Air dan Garam terhadap Profil Gelatinisasi Tepung dan Pati Jagung, Bagian Kelima Optimasi Proses Ekstrusi Mi Jagung dengan Metode Respon Permukaan, dan Bagian Keenam berisi Pengaruh Garam (Sodium Karbonat dan Sodium Klorida) dan Passing pada Optimasi Proses Mi Jagung. Pada Bagian Ketujuh disajikan pembahasan umum dari semua hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini.
TUJUAN
6 Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Mempelajari profil gelatinisasi tepung dari berbagai ukuran partikel. Dikaji pula profil gelatinisasi pada tepung dan pati jagung akibat perbedaan konsentrasi dalam suspensi dan akibat penambahan garam.
2. Mendapatkan kondisi proses yang optimum pada pembuatan mi jagung menggunakan ekstruder pemasak-pencetak, dengan variabel kadar air adonan, suhu ekstruder dan kecepatan ulir ekstruder.
3. Mengkaji perubahan karakteristik reologi mi jagung akibat penambahan garam dan passing (jumlah ulangan adonan melewati ekstruder). Garam yang digunakan adalah sodium karbonat dan sodium klorida.
HIPOTESA
Hipotesa penelitian ini adalah :
1. Ukuran partikel tepung, konsentrasi tepung dalam suspensi dan garam (Na2CO3
2. Kombinasi kadar air, suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang sesuai, dapat menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik (elongasi tinggi dan cooking loss rendah).
dan NaCl) berpengaruh terhadap sifat amilografi tepung jagung. Semakin besar ukuran partikel, diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk memulai gelatinisasi serta untuk mencapai gelatinisasi maksimum, namun semakin rendah viskositas puncak. Penambahan garam dapat meningkatkan suhu awal dan suhu gelatinisasi maksimum serta viskositas puncak. Semakin tinggi konsentrasi tepung dalam suspensi, viskositas puncak semakin tinggi.
3. Penambahan garam (Na2CO3
MANFAAT
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
dan NaCl) serta perlakuan passing dapat mempengaruhi karakteristik mi basah jagung. Semakin tinggi garam yang ditambahkan dan semakin sering adonan dilewatkan ekstruder (passing) kekerasan mi akan semakin turun.
7 pengkondisian kadar air yang sama ketika akan peneliti lain akan melakukan pengukuran profil gelatinisasi.
2. Memberikan informasi tentang kondisi proses meliputi kadar air, suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang dapat menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik.
3. Menunjukkan pentingnya faktor suhu dan tekanan pada pembuatan mi yang menggunakan bahan baku selain terigu (misalnya tepung jagung, tepung sorghum atau tepung singkong).
TINJAUAN PUSTAKA
KOMPOSISI KIMIA BIJI JAGUNG
Pati jagung terdiri dari amilosa dan amilopektin yang terutama berada pada bagian endosperma. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaga. Asam lemak penyusunnya terdiri dari asam lemak jenuh seperti palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi kimia biji jagung
Komponen Pati (%) Protein (%) Lipid (%) Gula (%) Abu (%)
Biji utuh Endosperma Lembaga Perikarp Tip cap 71,5 86,4 8,2 7,3 5,3 10,3 9,4 18,8 3,7 9,1 4,8 0,8 31,5 1,0 3,8 2,0 0,6 10,8 0,3 1,6 1,4 0,3 10,1 0,8 1,6 Sumber : Inglett, 1970.
Granula pati jagung mengandung amilosa dan amilopektin, dengan kadar amilosa sekitar 27 % dan amilopektin sekitar 73 %. Keduanya merupakan polimer dengan bobot molekul yang tinggi. Polimer tersebut tersusun dari unit–unit D-glukosa. Amilopektin yang berbentuk rantai cabang mengandung 40.000 atau lebih unit glukosa. Sedangkan amilosa yang berupa rantai lurus mengandung 1000 unit glukosa (Inglett, 1970).
Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Menurut Harper (1981) amilosa merupakan molekul linier polisakarida dengan ikatan α-1:4, sedangkan amilopektin merupakan struktur seperti amilosa pada rantai lurusnya tetapi memiliki ikatan β-1:6 pada cabang yang terdapat pada setiap 20-25 unit glukosa (lihat Gambar 2.1).
9 amorf berisi percabangan amilopektin dan amilosa (Liu, 2005). Model untuk molekul amilopektin pada daerah kristalin dan amorf dapat dilihat pada Gambar 2.2.
[image:30.595.145.421.409.706.2]Gambar 2.1. Struktur amilosa dan amilopektin (Harper, 1981)
10 Hilum granula pati ada yang berada di tengah dan ada yang cenderung berada di tepi granula, tergantung asal pati tersebut. Liu (2005) menggambarkan model struktur pati seperti pada Gambar 2.3.
[image:31.595.97.518.153.757.2]
11 Menurut (Inglett, 1970), protein yang terkandung pada jagung mencapai 10% dari biji utuh. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan skleroprotein. Hampir 85% minyak jagung terdapat pada bagian lembaga. Asam lemak yang terkandung pada minyak jagung terdiri dari 59% linoleat, 27% oleat, 12% palmitat, 2% stearat, 0,8% linolenat dan 0,2% arakhinat. Komponen lain yang terdapat dalam minyak jagung selain asam lemak adalah vitamin A, vitamin D, vitamin E (0,3–0,7 mg/g), sterol, sterol ferulat (25 mg/g), squalen (0,16–0,42 mg/g), dan ubiquinon (0,12–0,21 mg/g).
GELATINISASI
Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985).
Menurut Fennema (1985), suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefriengence pati mulai menghilang. Fenomena gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan Differential Scanning Calorimetry (BeMiller et al., 1995).
12 Menurut Harper (1981) mekanisme gelatinisasi dapat digambarkan sebagai berikut.
Srichuwong (2006) menggambarkan perubahan granula pati pada proses gelatinisasi dan retrogradasi seperti dapat dilihat pada Gambar 2.5. Pati mengalami pengembangan dengan peningkatan suhu. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan oleh melemahnya ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul amilosa dan amilopektin sehingga mengganggu kekompakan granula pati. Jika pemanasan diteruskan, sebagian amilosa keluar. Setelah pengembangan maksimum dan pemanasan dilanjutkan, granula akan pecah (rupture). Pada saat pendinginan akan terjadi penggabungan kembali rantai linier pati.
Gambar 2.4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan
pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula hanya
13 Gelatinisasi tidak hanya dipengaruhi oleh air dan panas saja, tetapi juga dipengaruhi oleh tekanan. Dengan tekanan shear yang tinggi, tidak diperlukan air yang banyak untuk terjadinya gelatinisasi. Derby et al. (1975) meneliti gelatinisasi tepung terigu pada proses ekstrusi dan menemukan bahwa pada kadar air 33% mulai terjadi pembengkakan granula, pada kadar air di atas 50% dapat terjadi gelatinisasi sempurna.
Menurut Tan et al. (2008) pada tekanan atmosfer, diperlukan suhu sekitar 85oC untuk membuat pati beras tergelatinisasi sempurna. Namun dengan tekanan 500 Mpa, pada suhu 50oC, pati sudah tergelatinisasi sempurna. Pada tekanan atmosfer, pati beras mulai tergelatinisasi pada suhu 50oC, tetapi pada tekanan 200 Mpa pati sudah mulai tergelatinisasi pada suhu 20o
Granula pati mempunyai ukuran diameter 3-26 μm, sedangkan rata-rata ukuran granula pati jagung adalah 15 μm. Pati dengan ukuran granula besar mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati dengan granula yang berukuran kecil. Pengamatan dengan DSC (Differential Scanning Calorimeter) menunjukkan bahwa pati dengan ukuran kecil mempunyai
[image:34.595.115.522.107.354.2]C.
14 suhu awal gelatinisasi lebih rendah dibandingkan dengan pati yang berukuran lebih besar (Wirakartakusumah, 1981).
PROSES PENEPUNGAN JAGUNG
Proses penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua cara yaitu proses penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pada penggilingan kering tidak dilakukan tahap perendaman biji jagung seperti pada proses penggilingan basah. Produk yang dihasilkan pada penggilingan basah biji jagung adalah pati. Sedangkan produk yang dihasilkan dari penggilingan kering biji jagung adalah grits, meal dan flour (Inglett, 1970).
Secara garis besar, proses penepungan jagung melalui teknik penggilingan basah terdiri atas tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, sentrifugasi, dan pengeringan. Proses penepungan jagung diawali dengan pencucian biji jagung. Proses ini perlu dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi (Inglett, 1970).
Tahap selanjutnya adalah perendaman. Perendaman dilakukan untuk melunakkan biji jagung dan memfasilitasi disintegrasi protein yang mengikat granula pati di dalam biji. Selanjutnya dilakukan pemisahan lembaga pada biji jagung menggunakan degerminating mill yang terdiri dari dua pelat logam yaitu pelat statis dan pelat berputar dengan projecting teeth. Alat ini bertujuan menyobek biji jagung sehingga lembaga dapat lepas tanpa harus menghancurkannya. Hasil penggilingan kasar ini selanjutnya dialirkan ke hydroclone sehingga lembaga dapat dipisahkan (Inglett, 1970).
Selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan partikel kasar. Hasil penyaringan kemudian digiling menggunakan atrition mill sehingga pati benar– benar keluar. Lalu slurry hasil penggilingan dialirkan ke gyratory shaker untuk memisahkan serat halus. Hasilnya yang tersisa sekarang adalah pati dan gluten. Untuk memisahkan pati dan gluten, digunakan sentrifuse dengan kecepatan tinggi sebanyak dua kali sehingga gluten yang tersisa dapat terpisahkan. Tahap terakhir, pati dikeringkan menggunakan oven kemudian digiling (Inglett, 1970).
15 penggilingan kering adalah pembersihan biji jagung, jika diperlukan dapat dilakukan pencucian. Kemudian dilakukan tempering dengan penambahan air yang terkontrol. Hal ini dilakukan untuk melunakkan biji jagung sehingga mempermudah pelepasan lembaga dari endosperma jagung. Setelah tempering, dilakukan degerming untuk melepaskan kulit, tip cap, dan lembaga. Lalu dilakukan pengeringan dan pendinginan untuk persiapan fraksinasi. Fraksinasi dilakukan menggunakan serangkaian alat yaitu roller mill, sifter, gravity table separator, dan purifier untuk memisahkan komponen grits, meal, dan flour. Tahap terakhir dilakukan pengeringan jika diperlukan (Inglett, 1970).
SIFAT AMILOGRAFI
Sifat amilografi adalah sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan menggunakan alat Brabender Amylograph. Sifat amilografi meliputi suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas maksimum, viskositas balik dan viskositas dingin (suhu 50o
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Tetapi tidak semua amilosa terpisah selama gelatinisasi (Ellies et al., 1988). Perubahan morfologis granula pati selama pengembangan tergantung pada sifat alami pati itu sendiri. Kemampuan pembengkakan granula biasanya dihitung dengan daya pengembangan (berat pengembangan granula yang tersedimentasi tiap gram pati kering) atau volume pengembangan (volume granula yang mengembang tiap gram pati kering) pada suhu tertentu (Konik, 2001).
C).
16 Gambar 2.6. Ilustrasi kurva sifat-sifat amilografi (Sumber: Sowbhagya dan
Bhattacharya, 2001)
Sifat-sifat adonan ini sangat berguna sebagai indikator pada aplikasi pati. Beberapa sifat yang didapatkan langsung dari kurva gelatinisasi seperti terlihat pada Gambar 2.6 meliputi:
1. Viskositas maksimum (PV) adalah nilai maksimum viskositas yang dicapai selama proses pemanasan
2. Viskositas panas (V95i) adalah viskositas yang dicapai pada suhu 95o
3. Viskositas panas 10 menit (V
C
95t) adalah viskositas pada saat 10 menit setelah
dicapai suhu 95o
4. Viskositas dingin (V C
50) adalah viskositas yang dicapai pada waktu
pendinginan mencapai suhu 50oC.
17 hidrogen antara molekul pati yang mempunyai gugus hidroksil dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai molekul pati membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin (Srichuwong, 2006). Perubahan granula selama proses pemanasan menggunakan Rapid Visco Analyzer dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai paralel. Retrogradasi dalam waktu lama ditunjukkan dengan rekristalisasi yang terjadi secara lambat pada bagian luar molekul amilopektin (Daniel dan Weaver, 2000). Amilopektin yang terkristalisasi
18 dalam gel yang teretrogradasi dapat meleleh pada suhu 55oC, sementara amilosa yang terekristalisasi suhu pelelehannya mencapai 130o
Karakterisasi sifat amilografi diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan variabel bahan atau proses, pendugaan sifat pati dan tepung selama pengolahan dan identifikasi data awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung.
C (Zhang dan Jackson, 1992).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sifat amilografi diantaranya adalah: 1. Ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati
(Vidal dan Juliano, 1967).
2. pH/penambahan garam basa (Moss et al., 1986).
3. Enzim pektinolitik dan selulotik akibat fermentasi mikroba (Subagio, 2006). 4. Suhu penyimpanan dan lama penyimpanan (Villareal et al., 1976).
5. Modifikasi pati (modified starch) baik dengan hidrolisis, oksidasi, fosforilasi, substitusi maupun pre gelatinisasi (Luallen, 1989).
Lebih lanjut Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1% natrium karbonat dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas puncak. Pada semua kasus terjadi peningkatan viskositas rata-rata 300 – 1000 BU.
Chen (2003), meneliti sifat amilografi pati ubi jalar dan menemukan bahwa suspensi pati dalam larutan NaCl 1,5% memberikan nilai suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dan viskositas puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan suspensi pati dalam aquades. Menurut Koch dan Jane (2000), ion dari NaCl memiliki interaksi elektrostatik dengan air yang lebih kuat dengan air dan mendorong terjadinya ikatan hidrogen diantara molekul-molekul air. Interaksi elektrostatik ini juga meningkatkan viskositas larutan. Kondisi ini menghambat molekul air untuk masuk ke dalam granula pati. Perlu waktu lebih lama dan suhu lebih tinggi untuk mulai terjadinya gelatinisasi. Selain itu kondisi ini menyebabkan viskositas suspensi pati dengan penambahan NaCl menjadi lebih rendah dibanding suspensi tanpa penambahan NaCl.
19 peningkatan viskositas maksimum yang sangat tajam. Penambahan NaCl dapat menyebabkan peningkatan resistensi granula pati terhadap break down dan menghambat aktivitas amilolitik dalam tepung yang mengandung α-amilase.
Menurut Linko et al. (1984), interaksi antara ion-ion garam dengan protein gluten terigu merubah kondisi fisik dari molekul protein sehingga mengurangi daya ikat air dari gluten. NaCl diperkirakan menutupi aktivitas muatan molekul dengan interaksi gugus polar protein. Garam meningkatkan waktu pembentukan dan meningkatkan stabilitas adonan terigu, meningkatkan ekstensibilitas serta meningkatkan resistensi adonan.
Menurut Moss et al. (1986), garam basa menyebabkan tepung terigu lebih cepat mengalami gelatinisasi dan menghasilkan mi yang lebih lunak. Selain itu garam basa akan meningkatkan suhu gelatinisasi. Garam basa yang biasa digunakan (Na2CO3 dan K2CO3
Menurut Suhendro et al. (2000), ukuran partikel memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap mutu mi non terigu, semakin kecil ukuran tepung mi yang dihasilkan semakin bagus. Menurut Waniska et al. (1999), tepung jagung dengan ukuran partikel kecil lebih bagus untuk dibuat mi dibandingkan dengan maize meal.
) pada konsentrasi 1% dapat menghasilkan warna kuning dan flavor yang khas yang disukai oleh konsumen. Namun penambahan NaOH 1% menyebabkan warna kuning tidak terbentuk, karena pH adonan mencapai 11,4, dimana pada pH tersebut diduga berada diluar kisaran aktivitas enzim pembentuk warna gelap ada adonan. Selain itu NaOH 1% menyebabkan adonan menjadi begitu lengket dan sulit untuk ditangani.
PROSES PEMBUATAN MI
20 menit pada suhu 25-40o
Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit dibentuk menjadi lembaran. Sedangkan jika jumlah air yang ditambahkan berlebih, maka adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985).
C. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak menjadi mi dengan ketebalan 1-2 mm.
Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100oC selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (60oC selama 7 jam) akan menjadi mi kering. Jika digoreng dengan suhu 140-150o
Pasta dan adonan dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk dan mengurangi kehilangan selama pemasakan (cooking loss). Mi non terigu (misal mi beras, kacang hijau dan ubi jalar) memanfaatkan pati daripada protein untuk membentuk struktur mi. Mi berbasis pati biasanya memiliki penampakan yang jernih dan tesktur yang sangat elastis (Xu dan Seib, 1993, Kohlwei et al., 1995). Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder pasta tipe rumah tangga untuk membuat mi berbahan tepung jagung dari tepung dan air yang dipanaskan.
C sampai kadar airnya 3-5% dan ditiriskan akan menjadi mi instan (Sunaryo, 1985).
Bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorghum (Fuglie dan Hermann, 2001). Di Cina, mi yang dibuat dari pati ubi jalar dilakukan dengan proses sebagai berikut : sebagian pati ubi jalar ditambah air, dipanaskan sambil diaduk. Setelah adonan mengalami gelatinisasi, pasta pati ditambah pati ubi jalar sambil terus diaduk. Adonan dicetak menjadi mi yang langsung ditampung dengan air hangat, kemudian didinginkan dan dikeringanginkan selama 1-2 jam dengan wadah bambu. Selanjutnya dijemur selama kurang lebih 8 jam sampai kering (Wiersema, 1992).
21 dasar tepung jagung dan air yang dipanaskan. Proses pembuatan mi jagung diawali dengan pencampuran tepung jagung, garam, natrium metabisulfit, dan air. Penambahan natrium metabisulfit dapat meningkatkan viskositas pasta pati. Hal ini disebabkan banyak granula pati yang terdispersi dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi selama proses. Viskositas pasta pati juga dipengaruhi oleh kadar air dan suhu.
Semakin tinggi kadar air, maka viskositasnya semakin rendah dan semakin tinggi suhu, viskositasnya semakin tinggi. Kadar air dalam campuran bahan pembuat mi yang tinggi dapat menurunkan cooking loss namun meningkatkan waktu pemasakan (Waniska et al., 1999). Dari hasil penelitian yang dilaporkan, mi tipe bihun dari tepung jagung masih memiliki cooking loss yang terlalu tinggi (> 47%).
Campuran tersebut kemudian diberi pemanasan awal menggunakan oven microwave. Pemanasan awal ini bertujuan mendispersikan granula pati dan menyebabkan pati tergelatinisasi meskipun tanpa penambahan Natrium metabisulfit. Selanjutnya, campuran diekstrusi menggunakan ekstruder pasta sehingga membentuk mi. Setelah ekstrusi, mi dipotong sepanjang 25 – 30 cm dan dikeringkan (Waniska et al., 1999). Mi terbaik diperoleh dari tepung jagung yang diberi perlakuan pemanasan awal 95o
Suhendro et al. (2000) membuat mi dari tepung sorghum dengan teknik yang diambil dari teknik pembuatan mi jagung oleh Waniska et al. (1999). Tepung dan air dicampur dengan cara menambahkan air destilata (90 ml) sedikit demi sedikit ke dalam tepung sorghum (100 gram) yang telah ditambah garam 1%, sambil diaduk dengan sepatula karet. Campuran dipanaskan dengan 2 metode pemanasan, yaitu (1) hotplate dengan suhu 80
C, baik yang diberi sulfit maupun tidak.
0
C selama 5 menit sambil terus diaduk, dan (2) microwave oven dengan suhu 950
Tam et al. (2004) meneliti pembuatan mi tipe bihun di Filipina menggunakan pati jagung yang diekstrak dari jagung dengan kandungan amilosa pada kisaran 0,2-60,8%. Pati jagung normal yang memiliki kandungan amilosa sekitar 28 % merupakan pati yang baik untuk digunakan dalam produksi bihun ini. Pati jagung lilin dengan kandungan amilosa sekitar 0,2-3,8% dan pati jagung kaya amilosa
22 dengan kandungan amilosanya sebesar 40,0-60,8% menghasilkan bihun yang kurang baik.
Charutigon et al. (2007) mengatakan bahwa secara tradisional pembuatan mi beras meliputi perendaman semalam, penggilingan, penyaringan, pengendapan dan pengurangan kadar air hingga 40%, ekstrusi menjadi pelet, pengukusan, penggantungan, pengukusan kedua dan pengeringan. Mi beras dengan teknik tersebut memiliki kelemahan yaitu proses yang cukup lama dan limbah cair yang banyak. Penggunaan bahan tepung dan proses ekstruder ulir dalam pembuatan mi beras dapat mengurangi waktu proses dan limbah.
Charutigon et al. (2007) meneliti pembuatan mi beras dari bahan baku tepung beras dan menggunakan ekstruder ulir. Peningkatan suhu barel dari 70oC ke 90oC dapat menurunkan cooking loss dari 14,2±1,6% menjadi 7,2±1,2%. Cooking loss disebabkan oleh kelarutan pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi.
EKSTRUDER
a. Ekstruder
Ekstruder adalah alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi (Harper, 1981). Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk, yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston.
Ekstrusi pemasakan dapat digambarkan sebagai proses dimana bahan pangan yang mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas (secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981).
23 aliran proses; isotermal ekstruder; dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder dimana panas diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas. Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture extruder dengan kadar air bahan 20-28%, dan high moisture extruder dengan kadar air bahan lebih dari 28%. Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda.
Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada barel silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi : high shear extruder (untuk produk – produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk – produk semi basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk – produk daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal lebih rendah dari pada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder berulir tunggal (Fellows, 2000).
Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis ekstruder tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Sedangkan ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan). Ekstruder dengan ulir yang co-rotating banyak diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan.
24 Tabel 2.2. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal (Smith, 1981)
Kategori Low Shear Medium Shear High Shear Kadar Air Produk (%) 25 – 75 15 – 30 5 – 8 Densitas produk (g/100ml) 32 – 80 16 – 51 3.2 – 20 Suhu barrel maksimum (°C) 20 – 65 55 – 145 110 – 180 Tekanan barrel maksimum
(kg/cm2) 6 – 63 21 – 42 42 – 84 Kecepatan ulir (rpm) 100 200 200 Produk khas Produk pasta
daging
Roti, makanan ternak
Snack, breakfast cereal
b. Proses Ekstrusi
Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan (Fellows, 2000). Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan shear, dimana tekanan shear tergantung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan kecepatan shear. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaidah non-newtonian (Harper, 1981).
Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi rendah serta
25 mutu produk lebih tinggi karena menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 2000). Selain itu, produk yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak banyak limbah.
c. Ekstrusi Pasta
Pada umumnya, pasta terbuat dari semolina dan pembuatan pasta cukup sederhana. Air dicampur dengan semolina untuk mendapatkan kadar air 31%, kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder. Ulir yang terdapat di dalam ekstruder mengadon campuran dan mendorongnya keluar melalui die. Selanjutanya pasta yang keluar melalui die dikeringkan dan dikemas (Hoseney, 1998).
Pasta diekstrusi pada berbagai bentuk dan ukuran. Kecepatan aliran adonan melalui die sangatlah penting karena adanya fluktuasi kecepatan aliran adonan melalui die dapat menyebabkan variasi pada ukuran dan karakteristik produk.
REOLOGI MI
Menurut Bourne (1984), reologi adalah ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Pada bahan padat reologi merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan pada bahan cair hubungan antara gaya dengan aliran.
Beberapa sifat reologi yang penting pada produk mi diantaranya adalah kekerasan, kekenyalan, elongasi dan kekuatan tarik (tensile strength). Reologi mi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bahan baku, proses pengolahan, bahan tambahan (terutama garam dan garam basa) yang digunakan dan proses pemasakan. Garam yang sering digunakan adalah NaCl dan garam basa yang mencakup sodium dan potasium karbonat, bikarbonat dan fosfat dan kadang-kadang dipakai NaOH meskipun tidak legal di beberapa negara. Penggunaan rata-rata adalah 1 – 1,5% karbonat dan 0,3% untuk sodium hidroksida. Jika sodium hidroksida terlalu tinggi maka kecukupan pengembangan gluten tidak terjadi (Moss et al., 1986) dan mutu gigitan mi menjadi kurang elastis.
26 sulfidril, pertukaran sulfidril disulfida dan oksidasi fraksi globulin membentuk protein dengan berat molekul lebih tinggi.
Shiau dan Yeh (2001) mendapatkan kondisi bahwa penambahan kansui (campuran sodium karbonat dan potasium karbonat dengan perbandingan 1:1) sebanyak 0,5% menghasilkan mi terigu (teknik ekstrusi) dengan tensile strength paling kuat. Namun semakin tinggi kansui, cooking loss mi semakin tinggi pula. Lebih lanjut, Shiau dan Yeh menjelaskan bahwa kansui akan meningkatkan perubahan ikatan S-H menjadi S-S. Ikatan S-H berperan dalam pembentukan ikatan yang erat antara pati dengan matriks protein, sehingga dengan berkurangnya S-H, maka pati tidak lagi terikat erat pada matriks protein dan akan terlepas ketika mi dimasak.
NaCl dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu. Selain itu NaCl dapat memperkuat adonan dan mengurangi penyerapan air. Namun di atas 3% dapat merusak reologi mi yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mi menjadi kurang elastis, sehingga disarankan penggunaan NaCl tidak lebih dari 2% (Wu et al., 2006).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reologi produk mi ternyata juga berpengaruh terhadap sifat reologi suspensi tepung atau pati yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi. Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1% (campuran natrium karbonat dan potasium karbonat) dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi viskositas maksimum. Pada semua kasus, peningkatan viskositas maksimum mencapai 300 – 1000 BU dibandingkan dengan penambahan NaCl 1%.
Menurut Koch dan Jane (2000) ion-ion garam yang bermuatan besar memiliki interaksi yang kuat dengan air dan mendorong ikatan hidrogen yang kuat antar molekul air. Struktur larutan yang kuat menghambat difusi molekul air (dalam larutan garam) ke dalam granula pati.
Menurut Moss et al. (1986), penambahan NaOH 1% menghambat pembentukan gluten, adonan menjadi begitu lengket sehingga sulit untuk ditangani. Mi yang dihasilkan mudah putus dan lebih banyak rongga kosong di tengah mi.
27 menghambat gelatinisasi pati dan meningkatkan viskositas pasta dari pati, menghambat aktivitas enzim dan menahan reaksi pembentukan warna gelap oleh enzim (Moss et al., 1986), menurunkan waktu pembentukan adonan dan stabilitas adonan (Lorenz dan Karel, 1991) dan berperan dalam pembentukan warna kuning dan flavor (Miskelly, 1996).
Lebih lanjut Wu et al. (2006) mengatakan bahwa penambahan garam basa memberikan sifat warna dan tekstur yaitu warna kuning dan keras (firm) serta elastis. Berbeda dengan mi yang ditambah NaCl dimana warna mi putih atau krem, mi basa berbahan baku tepung terigu berwarna kuning. Warna kuning ini diakibatkan adanya senyawa alami flavone pada tepung yang tidak terpisah dari pati dan menjadi warna kuning dibawah kondisi basa (Moss et al., 1986).
Feillet dan Dexter (1993) menyimpulkan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada produk pasta di bawah kondisi ekstrusi yaitu :
a. Protein semolina bergabung dengan ikatan disulfida, hidrogen dan hifrofobik membentuk matriks yang mempengaruhi sifat-sifat viscoelastic pasta yang dimasak. Kontinuitas dan kekuatan matriks protein tergantung pada sifat ikatan inter dan intra molekular.
b. Kondisi pengolahan pasta yang bervariasi dalam pencampuran, pengadonan, ekstrusi dan pengeringan sangat mempengaruhi sifat-sifat matriks protein yang terbentuk. Matriks protein sebagian mengalami kerusakan akibat proses mekanis waktu penekanan pasta, yang mengakibatkan pemisahan ketika pemasakan. Selama pemasakan, matriks protein yang lemah menyebabkan keluarnya eksudat dalam jumlah besar selama gelatinisasi. Eksudat melapisi permukaan pati, dan pasta menjadi lengket. Integritas dari produk berkurang dan cooking loss tinggi.
c. Pada pasta dari gandum, protein yang mampu memerangkap berbagai bahan lain dari semolina, sedangkan pati tidak.
28 dan LMW-2 glutenin memiliki sifat yang mirip secara genetik dengan gamma-45 dan gamma-42 gliadin.
HUBUNGAN KARAKTERISTIK AMILOGRAFI DENGAN REOLOGI MI
Informasi tentang sifat-sifat suspensi tepung atau pati yang berkaitan dengan viskositas dan gelatinisasi merupakan suatu informasi penting yang diperlukan untuk menduga karakteristik suatu produk pasta berbasis tepung atau pati. Menurut Chen (2003), mutu mi dari pati dapat diprediksi dari sifat-sifat gel pati, karena gel pati yang lebih keras dapat menghasilkan mutu pemasakan dan mutu organoleptik mi yang lebih baik.
Bhattacharya dan Corke (1996) melaporkan bahwa viskositas puncak mempunyai korelasi positif dengan mutu WSN (Wheat Salt Noodle). Penambahan NaCl (Oosten, 1982) menyebabkan beberapa group alkoholik berubah menjadi group sodium alkohol. Anion (Cl
-Menurut (Oosten, 1982), penambahan NaCl akan memperlambat gelatinisasi. Penundaan gelatinisasi ini menyebabkan peningkatan stabilitas pati ketika pemanasan mencapai 95
) terlepas dan kemudian menjadi agen gelatinisasi dan dapat meningkatkan gelatinisasi dengan memecahkan ikatan hidrogen diantara molekul pati.
o
Parameter viskoamilografi dan volume pengembangan memiliki korelasi yang signifikan dengan kandungan amilosa pati jagung. Karakteristik viskoamilografi mungkin dapat digunakan untuk mengindikasikan bahwa sampel pati pada tingkat amilosa yang normal, memiliki kemungkinan untuk digunakan sebagai bahan pembuatan bihun (Tam et al., 2004).
C, pati tergelatinisasi secara serempak sehingga viskositas meningkat. Mi yang dihasilkan memiliki mutu yang lebih baik karena terjadi gelatinisasi yang serempak pada saat dimasak.
29 pemanasan (95oC) dan mengalami retrogradasi yang berfungsi untuk mempertahankan struktur bihun.
PENGUKURAN SIFAT REOLOGI MI
Kekenyalan (elasticity) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya, dan gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi kekenyalan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Kekenyalan dapat diukur dengan menggunakan Texture Analyser. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi).
Pada bahan dilakukan penekanan dengan kecepatan yang konstan, pada jarak tertentu tekanan dihentikan. Bahan mengalami relaksasi dan resistensi bahan menurun. Pada waktu tertentu tekanan ditarik (decompression), bahan mengalami proses kembali ke bentuk semula (recovery).
Tensile strength adalah gaya yang diperlukan untuk menarik bahan hingga putus. Alat yang digunakan adalah Rheometer. Alat ini mengukur variabel gaya yang diperlukan sampai bahan (mi) putus, serta tambahan panjang bahan sampai bahan tersebut pu