• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]"

Copied!
202
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM

TANAMAN SORGUM MANIS [

Sorghum bicolor

(L.) Moench]

ISNAINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

(3)

ABSTRACT

ISNAINI. Study of Aluminum Tolerance Inheritance of Sweet Sorghum

[Sorghum bicolor (L.) Moench]. Under direction of

TRIKOESOEMANINGTYAS and DESTA WIRNAS.

Sweet sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] is actually not Indonesian origin but it has a big potential to be grown and cultivated in this country as the solution to food and energy crisis owing to its wide adaptability and other advantages. Al toxicity is one of limiting factors in agriculture development in Indonesia. Further research on sorghum breeding is needed especially to search for genotypes that can be grown and cultivated in acid soil with Al toxicity. The successes in the sorghum breeding program to obtain adaptable varieties in Al stress is determined by selecting the appropriate breeding method. The objective of this research was to study inheritance of Al tolerance of sweet sorghum by analysis of F2 distribution, the genetic components and heritability of the four generation of sorghum to determine the effective and efficient method in breeding program for sorghum tolerance to Al. The four populations in this research were UPCA S1 (P1, susceptible parent) and Numbu (P2, tolerant parent), F1 and F1 reciprocal and F2. This research was also to develop selection criteria for Al tolerance in sorghum breeding and selection based on yield character for food and bio-ethanol. The crosses of parental, F1, F1R and F2 generation were established in University Farm of IPB and UPTD Tenjo from June 2008 to June 2009. The study of Al tolerance inheritance in nutrient culture was conducted in green house of University Farm of IPB from July-August 2009. The study of Al tolerance inheritance in field was conducted in UPTD Tenjo from July-November 2009. Selection was applied to 600 genotypes of F2 generation. Based on reciprocal analysis, all of characters are controlled by nuclear genes and their inheritance in not affected by maternal cytoplasm. The distribution of F2 genotype is indicating continuous with skewnesses which indicate that all characters are polygenics. All characters of Al tolerance in seedling stage i.e. root length, root and shoot dry weight were controlled by additive gene action with contribution by complementary epistasis gene except shoot length that is controlled by additive gene action with duplicate epistasis gene. Plant height in field experiment is controlled by additive gene action. Plant weight, total of biomass weight, ear length and total of grain weight are controlled by additive gene action with complementary epistasis gene. In F2 generation, there are transgresive segregants. All characters had broad sense heritability from medium to high. Based on heritability value, pedigree selection is the most effective selection method in breeding program for sorghum tolerance to Al. Multi-characters selection is more effective in F2 selection both for food and bio-ethanol.

(4)

RINGKASAN

ISNAINI. Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis

[Sorghum bicolor (L.) Moench]. Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS

dan DESTA WIRNAS.

(5)

heritabilitas arti luas untuk semua karakter toleransi Al yang berhubungan dengan pertumbuhan akar maupun karakter agronomi cekaman Al tergolong sedang hingga tinggi sehingga metode seleksi yang dapat digunakan dalam seleksi galur sorgum dengan toleransi terhadap Al dapat menggunakan metode pedigree sebagai metode seleksi yang paling efektif. Seleksi pada populasi F2 untuk keperluan pangan menghasilkan nilai diferensial seleksi yang lebih tinggi jika seleksi dilakukan berdasarkan bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman dibandingkan jika hanya berdasarkan bobot biji per tanaman. Seleksi pada populasi F2 sebagai bahan bioetanol menghasilkan nilai diferensial yang lebih tinggi apabila seleksi dilakukan berdasarkan kedua karakter bobot biji per tanaman dan bobot batang segar secara bersamaan dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan dengan menggunakan karakter tunggal.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM

TANAMAN SORGUM MANIS [

Sorghum bicolor

(L.) Moench]

ISNAINI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]

Nama : ISNAINI

NRP : A 253070051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Dr. Desta Wirnas, SP. MSi.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis dengan judul Studi Pewarisan Sifat

Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] ini

dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan tugas akhir sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains di Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor. Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat

bantuan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan

Nasional Republik Indonesia melalui beasiswa BPPS tahun 2007-2009 dan Hibah

Penelitian Tim Pascasarjana-HPTP tahun 2008-2010.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tidak

terhingga kepada:

1. Tim BPPS, Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI

yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program

Master di IPB.

2. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas

bimbingan dan perhatian selama penulis menempuh pendidikan di IPB dan

selama pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis ini.

3. Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. selaku Pembimbing Tesis Kedua yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan

penulisan tesis.

4. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS. selaku Kepala Bagian Laboratorium

Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura

IPB, yang telah memberikan kesempatan yang sangat berharga dan

rekomendasi kepada penulis untuk mendaftar di Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Prof. Dr. Ir. Bambang S Purwoko, MSc., Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham,

MAgr., Prof. Dr. Ir. MA Chozin, MAgr. dan Dr. Ir. Sobir, MSi. yang telah

berkenan memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk mendaftar

di Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Dr. Ir. Yudiwanti WE Kusumo, MSi. sebagai penguji luar komisi pada saat

(11)

7. Kepala dan staf UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan

Kabupaten Bogor.

8. Dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuan tiada batas kepada penulis selama

menempuh pendidikan di IPB.

9. Ayahanda Asmawi Bakrie dan Ibunda Asmarawati MA Bakrie, Abang Hendri

Afrizal dan Dang Nur Asmi Hayati, SPdI, Abang Syafrizal, SH. dan Dedek

Aidil Syah Putra atas semua doa, dukungan dan curahan kasih selama penulis

menyelesaikan pendidikan.

10.Sahabat tersayang, Fifin N Nisya, SP. MSi., (semangat, Sir! biar kita lanjut ke

project berikutnya), Genta Atmaja, SP. (atas sponsorship perbanyakan tesis),

Novy Anggraini, SP. MM., Effi Noverya, SPi., Melinda T Wulan, SP., I Gst

Ayu Dwi Putri Mayasari, SP., Rahdini Safitri, SSi. dan Yenni Rahmawati, SE.

(my bfs forever!) atas semua kebersamaan dan dukungan.

11.Rekan-rekan satu tim HPTP (Ir. Sungkono, MP., Ir. Karlin Agustina, MSi.,

Sumiyati, SP. dan Rahmansyah Darmawan, SP.), rekan-rekan PBT 2007 (Heni

Safitri, SP. MSi., Amin Nur, SP. MSi., Siti Noorohmah, SP. MSI., Nurwanita

E Putri, SP. MSi., Yussi Arisandi, SP. MSI., Alfin Widiastuti, SP. MSi.,

Rokhana Faizah, SP. MSi. dan Hairin Dalimunthe, SP. MSi.) dan Ayunda

Dian Novita, SP. atas semua kebersamaan dan bantuan.

12.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per satu yang banyak

membantu menyelesaikan studi dan penelitian penulis.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memperkaya

keilmuan dan bermanfaat bagi semua.

Bogor, Februari 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 17 Januari 1984 dari

Bapak Asmawi Bakrie BA dan Ibu Asmarawati MA Bakrie. Penulis merupakan

putri ketiga dari empat bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 20 Kota Bengkulu pada

tahun 1990 -1996, dilanjutkan dengan SLTP Negeri 2 Kota Bengkulu (1996-1999)

dan dilanjutkan ke SMU Negeri 2 Kota Bengkulu (1999-2002). Tahun 2002

penulis diterima di Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih,

Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2007.

Penulis berkesempatan melanjutkan program master pada Mayor

Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun

2007 atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dari Direktorat Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Karya ilmiah yang

merupakan bagian dari tesis penulis telah dipresentasikan dalam Simposium dan

Kongres Nasional VI Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) pada

bulan November 2009 dengan Judul Genetic Variation, Heritability and Gene

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….……… xv

DAFTAR GAMBAR ……….……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……….……… xix

PENDAHULUAN ……….……… 1

Latar Belakang ……….………. 1

Tujuan ……….……….…………. 4

Hipotesis ……… 4

TINJAUAN PUSTAKA ……… 6

Sorgum Manis[Sorghum bicolor (L.) Moench] ………... 6

Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium ………. 8

Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman ……… 11

Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum ……… 13

Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat ……… 22

Pewarisan Toleransi terhadap Aluminium ……… 26

BAHAN DAN METODE ………. 28

Bahan Tanaman ……… 28

Waktu dan Tempat ……… 28

Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit ………. 28

Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al ……… 29

Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al ……….. 30

Analisis Data ………. 30

HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 33

Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit …………... 34

Pengaruh Tetua Betina terhadap Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit ……….. 37

Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit ………. 38

Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit ………. 42

Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al ……… 45

Pengaruh Tetua Betina Karakter Agronomi dan Hasil ………….. 48

(14)

DAFTAR TABEL

Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al ……….. 55

KESIMPULAN DAN SARAN ………. 59

Kesimpulan ………... 59

Saran ………. 59

DAFTAR PUSTAKA ……… 60

(15)

Halaman

1 Rata-rata Tetua P1 (UPCA S1), P2 (Numbu), Generasi F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada

Cekaman Aluminium di Kultur Hara ………. 35

2 Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara …... 38

3 Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Kultur Hara ………. 42

4 Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Kultur Hara ………. 44

5 Rata-rata tetua P1 (UPCA S1), P2 (Numbu), F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Lapangan ………. 47

6 Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ……... 48

7 Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Lapangan ………. 52

8 Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan ……… 54

9 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada

Cekaman Aluminium di Lapangan ……… 56

10 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1

dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapang an ………... 56

11 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Batang Hasil

Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan ……… 57

12 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan

(16)

DAFTAR GAMBAR

(17)

1 Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Toleransi Al Tanaman Sorgum

Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] ……….. 5

2 Penampilan UPCA S1 dan Numbu (kiri) dan F1/F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu (kanan) pada

Cekaman Al di Kultur Hara ………... 36

3 Penampilan Generasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Kultur Hara ………... 36

4 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Tajuk Populasi F2 Hasil

Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Kultur Hara ………. 40

5 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara ………. 40

6 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Kultur Hara ………. 41

7 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Kultur Hara ………. 41

8 Penampilan Tanaman dan Malai UPCA S1 (P1) dan Numbu (P2) di Lapangan ……… 46

9 Penampilan Tanaman dan Malai F1 dan F1 Resiprokal Hasil

Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan …… 46

10 Penampilan Tanaman dan Malai F2 Hasil Persilangan Sorgum

Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan ………. 46

11 Grafik Sebaran Frekuensi Tinggi Tanaman Populasi F2 Hasil

Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan ……… 50

12 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Batang Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di

Lapangan ……… 50

(18)

14 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Malai Populasi F2 Hasil

Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Lapangan ………. 51

15 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Biji per Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman

Aluminium di Lapangan ………. 52

(19)

Halaman

1 Komposisi Larutan Hara Steinberg yang telah dimodifikasi (Ohki

1987) ………... 70

2 Daftar Hasil Analisis Contoh Tanah Lapang UPTD Lahan Kering Tenjo ………..

71

3 Kriteria Kondisi Lahan Kering Masam Tenjo, Jasinga ………. 72

4 Deskripsi Varietas Numbu ………. 73

5 Deskripsi Varietas UPCA S1 ………. 74

6 Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Manis Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ……… 75

7 Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Manis Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu

tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal

tanam, produksi dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat

ke-lima setelah gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman

sorgum merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari

300 juta penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum

lainnya adalah produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan

sirup) serta gula atau jiggery (ICRISAT 1996).

Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat

potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Berkaitan dengan

program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman sorgum sangat potensial

untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat karena memiliki

kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006). Beberapa kandungan nutrisi yang

dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama

(beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi, fosfor dan vitamin B-1 (Departemen

Kesehatan RI 1992).

Batang dan biji sorgum dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses

fermentasi (Reddy dan Dar 2007). Sorgum memenuhi tiga syarat utama yang

sangat diperlukan untuk diproduksi menjadi bahan bakar non-fosil yaitu tidak

berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitasnya tinggi dan biaya

produksinya rendah (Medco Energi 2007). Produktivitas sorgum sebagai bahan

baku bioetanol lebih tinggi dibandingkan tanaman yang umum digunakan sebagai

bahan baku bioetanol di Indonesia seperti tebu, ubi kayu, jagung dan gula bit

(Medco Energi 2007).

Sorgum memiliki daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap

kekeringan, produksi tinggi, kebutuhan input lebih sedikit serta lebih tahan

terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain (Hoeman 2007).

(21)

di atas permukaan laut dan dapat ditanam di daerah tropis atau subtropis.

Tanaman sorgum memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan kondisi iklim

yang berbeda-beda (FAO 2002; Hoeman 2007). Selain itu tanaman sorgum

memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik dan dapat dibudidayakan dengan

hasil yang cukup baik.

Sorgum manis ideal untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini

mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Lahan

kering di Indonesia mencapai 144 juta hektar. Di antara luas lahan kering yang

tersedia, baru sekitar 55.6 juta hektar atau sekitar 29.4% yang telah digunakan

sebagai lahan pertanian (BPS 2001). Berdasarkan bentuk wilayah (topografi)

sekitar 31.5 juta ha merupakan lahan kering dengan topografi yang datar

berombak (kemiringan lereng < 8 %) dan sesuai untuk dibangun perkebunan

sorgum. Dengan demikian lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan

yang mempunyai potensi besar untuk pembangunan pertanian, baik tanaman

pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Kendala yang dihadapi dari

potensi lahan kering di Indonesia adalah sebesar 99.5 juta hektar (69.1%) dari

total lahan kering tersebut merupakan tanah yang bereaksi masam (Hidayat dan

Mulyani 2002).

Lahan kering masam dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa <

50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering masam juga ditandai oleh

tingginya konsentrasi Aluminium (Al), terutama Al3+, yaitu bentuk Al yang

dianggap paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Konsentrasi Al pada

larutan tanah mineral berkisar di bawah 1 mg/l (±37 µM) pada pH ≥ 5.5 dan akan

meningkat dengan penurunan pH tanah. Konsentrasi Al3+ pada taraf tersebut dapat

dengan cepat menghambat pertumbuhan akar (Carver and Ownby 1995). Lahan

bertanah masam juga mengalami defisiensi P akibat terikatnya P oleh Al yang

menyebabkan P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Toksisitas Al pada tanaman

serealia dapat menurunkan hasil antara 28-63% dari kapasitas optimumnya (Sierra

et al. 2005). Aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat

hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi

(22)

Menurut Marschner (1995), terdapat dua model pendekatan yang dapat

digunakan untuk mengatasi tanah marjinal yaitu dengan pendekatan bermasukan

tinggi melalui penerapan agroteknologi seperti pengapuran dan pemupukan, serta

dengan pendekatan bermasukan rendah melalui program pemuliaan tanaman yang

diarahkan untuk mendapatkan varietas yang adaptif. Bellon (2001) menyatakan

bahwa penggunaan varietas toleran Al merupakan pilihan terbaik dalam

mengatasi permasalahan keracunan Al karena pengapuran terlalu mahal dan tidak

efektif dalam mengatasi kemasaman tanah pada lapisan tanah yang lebih dalam.

Keberhasilan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu

beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan

yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Dalam

upaya tersebut perlu diketahui informasi mengenai kendali genetik

karakter-karakter yang akan diperbaiki (Roy 2000; Chahal and Gosal 2003). Sampai sejauh

ini informasi mengenai pewarisan toleransi keracunan Al pada tanaman sorgum

manis masih sangat sedikit.

Program pemuliaan sorgum toleran Al diawali dengan pembentukan

populasi dasar dengan variasi genetik yang tinggi sebagai bahan pemuliaan.

Populasi dasar yang memiliki variasi genetik tinggi akan memberikan respon yang

baik terhadap seleksi karena akan memberikan peluang besar untuk mendapatkan

genotipe dengan gabungan sifat-sifat yang diinginkan. Kegiatan selanjutnya

adalah menyeleksi galur-galur/varietas-varietas dari koleksi yang dimiliki untuk

memperoleh galur/varietas sorgum yang toleran Al. Seleksi pada sorgum akan

menunjukkan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat yang dilibatkan dalam

seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi. Jika nilai heritabilitas tinggi,

sebagian besar variasi fenotipe disebabkan oleh variasi genetik, maka seleksi akan

memperoleh kemajuan genetik (Bernando 2002). Seleksi terhadap sifat yang

mempunyai nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada generasi awal,

sedangkan untuk sifat yang menunjukkan nilai heritabilitas rendah, seleksi

(23)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk

1. Memperoleh informasi mengenai pewarisan sifat toleransi Al pada

tanaman sorgum manis.

2. Memperoleh karakter untuk seleksi sorgum yang toleran Al.

3. Memperoleh genotipe-genotipe toleran Al melalui seleksi pada generasi

F2 di tanah masam.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain

1. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia

bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh gen-gen yang

terdapat di inti.

2. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia

bibit maupun karakter agronomi dan hasil bersifat poligenik.

3. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia

bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh aksi gen

aditif.

4. Terdapat karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi pemuliaan

sorgum yang toleran Al.

(24)

Gambar 1Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Toleransi Al Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench].

Plasma Nutfah

Seleksi Adaptasi Tanah Masam Dept. AGH IPB

Seleksi Produktivitas Bioethanol B2TP-BPPT

Galur Toleran

Hibridisasi / Persilangan

Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di

Lapangan

Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di Kultur

Hara

Analisis Data

Informasi Kendali Gen dan Parameter

Genetik Pewarisan Toleransi Al pada

Sorgum

Galur Peka

Seleksi Individu pada Generasi F2

(segregan)

Genotipe F2 Toleran Al Selfing

F1/F1R

F2

Karakter Seleksi pemuliaan sorgum

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]

Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan tanaman dari

famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae dan genus Andropogon

(Rukmana dan Oesman 2001). Daerah asal penyebaran tanaman sorgum baik

spesies liar maupun spesies budidaya terbesar ditemukan di Afrika (Grubben dan

Partohardjomo 1996) untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang di berbagai

daerah seperti India, Nigeria, Argentina, Meksiko dan Sudan (ICRISAT 1996).

Keunggulan tanaman sorgum adalah sangat efisien dalam penggunaan air.

Hal ini disebabkan karena sorgum memiliki sistem perakaran yang halus dan

pertumbuhan akar agak dalam sehingga memungkinkan penyerapan air yang

cukup intensif (Rismunandar 1989). Sistem perakaran sorgum terdiri dari

akar-akar seminal (akar-akar-akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar-akar

koronal (akar-akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) serta akar-akar

udara. Tanaman sorgum dapat membentuk perakaran sekunder berukuran dua kali

lipat dari akar sekunder jagung (Rukmana dan Oesman 2001). Doggett (1970)

menyimpulkan bahwa pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang

berfungsi mencegah kerusakan akar pada kondisi kekeringan.

Batang tanaman sorgum berbentuk silinder, beruas-ruas dan berbuku-buku

(ICRISAT 1996). Setiap ruas memiliki alur yang letaknya berselang-seling.

Batang sorgum memiliki sel-sel parenkim atau seludang pembuluh yang

diselubungi oleh sebuah lapisan keras. Beberapa varietas sorgum dapat

membentuk cabang dan memiliki anakan (Rukmana dan Oesman 2001). Menurut

Martin (1970) banyaknya anakan yang berkembang tergantung faktor genetik,

jarak tanam, kelembaban tanah, fotoperiodisme, vigor tanaman dan waktu tanam.

Ukuran diameter batang bervariasi antara 0.5 sampai 5 cm. Begitu juga dengan

tinggi tanaman bervariasi dari 0.5 sampai 4 m (Murty et al. 1994). Tinggi tanaman

dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas batang, panjang tangkai malai,

(26)

tanaman sorgum dikendalikan oleh empat lokus gen Dwarf yaitu Dw1, Dw2, Dw3

dan Dw4(House 1985).

Daun tanamam sorgum terdiri dari helai daun dan pelepah daun dengan

panjang helai daun mencapai 30-135 cm dan lebar daun maksimum 13-15 cm.

Menurut Rismunandar (1989) daun sorgum dilapisi sejenis lilin yang agak tebal

berwarna putih, berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari

dalam tanaman sehingga toleran terhadap kekeringan.

Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada

setiap malai sekitar 1500-4000 bunga. Bunga sorgum akan mekar teratur dari

cabang malai paling atas hingga ujung malai paling bawah. Malai sorgum

memiliki tangkai yang tegak atau melengkung, berukuran pendek atau panjang

dan bentuk malai dari agak kompak sampai terbuka, oval, kerucut, ramping

panjang atau piramida (Murty et al. 1994).

Biji sorgum berbentuk kariopsis atau karnel yaitu buah berbiji tunggal

dengan kulit buah (pericarp) yang bersatu dengan kulit biji. Warna, ukuran dan

bentuk biji sorgum beragam. Kulit biji dapat berwarna putih, krem, kekuningan,

merah atau coklat. Biji sorgum dapat berbentuk bola, bentuk seperti buah pear dan

gepeng pada salah satu bagiannya. Bobot 100 biji sorgum berkisar 0.75-7.5 gram

(Murty et al. 1994). Waktu yang diperlukan biji sorgum untuk mencapai berat

kering maksimal tergantung pada kondisi pertumbuhan, biasanya 25-55 hari

setelah antesis dengan kadar air 25-35% (Doggett 1970). Menurut Rismunandar

(1989) malai sorgum dapat dipanen rata-rata setelah tanaman berumur 90-120

hari.

Tanaman sorgum mampu tumbuh di daerah tropis maupun subtropis mulai

dari dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m di atas

permukaan laut (Rismunandar 1989). Kondisi yang optimum untuk tanaman

sorgum adalah daerah bersuhu 20-30oC, kelembaban rendah dan curah hujan

375-425 mm selama tanaman masih muda hingga mencapai umur 4-5 minggu. Sorgum

dapat tumbuh di hampir setiap jenis tanah.

Sorgum merupakan tanaman C4 yaitu spesies tanaman yang menghasilkan

(27)

dalam proses metabolisme. Tanaman jenis ini memanfaatkan kedua sel mesofil

dan sel seludang berkas untuk menambat CO2 sehingga jenis tanaman C4 menjadi

sangat efisien dalam fotosintesis. Produk yang dihasilkan sel mesofil berupa asam

malat dan asam aspartat dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas dan asam

tersebut mengalami dekarboksilasi dengan melepaskan CO2 yang selanjutnya

ditambat oleh Rubisco untuk diubah menjadi 3-PGA (asam fosfogliserat).

Tanaman C4 juga memiliki sel seludang berkas yang lebih tebal dibandingkan

dengan sel seludang pada tanaman C3 sehingga mengandung lebih banyak

kloroplas, mitokondria dan organel penting lainnya dalam proses fotosintesis

(Salisbury dan Ross 1992; Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman C4 juga mampu

berfotosintesis lebih cepat pada penyinaran tinggi dan suhu panas sehingga

mampu menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3

(Salisbury dan Ross 1992).

Pada tanaman sorgum, selain memiliki mekanisme fotosintesis yang

efisien juga memiliki mekanisme fisiologi lainnya antara lain permukaan daun

yang dilapisi lilin sehingga dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai

sistem perakaran yang ekstensif (House 1985). Hal ini membuat produktivitas

biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan tanaman C4 sejenis yaitu jagung

(Hoeman 2007). Penelitian Borrel et al. (2005) menemukan bahwa tanaman

sorgum efisien dalam penggunaan radiasi dan transpirasi karena memiliki gen

pengendali stay-green sejak fase pengisian biji yang berhubungan dengan

kandungan nitrogen daun spesifik. Fenomena ini mampu memperlambat proses

senescen pada daun sorgum sehingga mampu mempertahankan batang dan daun

tetap hijau meskipun pasokan air sangat terbatas (Seetharama dan Mahalakshmi

2006; Borrel et al. 2006).

Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium

Lahan kering masam dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa <

50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Tanah masam juga ditandai oleh tingginya

konsentrasi Aluminium (Al), terutama Al3+, yaitu bentuk Al yang dianggap

(28)

morfologi, fisiologi dan ekspresi gen tanaman. Cekaman Al menyebabkan

terganggunya penyerapan hara tanaman (Adam et al. 1999). Meningkatnya

konsentrasi Al terlarut menyebabkan penyerapan unsur-unsur hara berkurang

sehingga pada akhirnya mengakibatkan terjadinya defisiensi hara antara lain Ca,

P, K Mg dan hara mikro seperti seng, tembaga dan molybdenum. Terganggunya

penyerapan secara langsung disebabkan kerusakan membran sel akar. Akumulasi

Al dapat menyebabkan kebocoran membran, mengurangi kandungan K dalam

jaringan ujung akar dan merusak viabilitas protoplasma karena Al dan membran

plasma akar membentuk ikatan polimer sehingga terjadi kerusakan pada membran

dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 1992).

Kerusakan akar akibat cekaman Al juga disebabkan terjadinya penebalan

ujung akar dan akar cabang. Penelitian Caniato et al. (2007) memperlihatkan

bahwa aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga

30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum

yang digunakan. Penelitian Yamamoto (1992) mendapatkan hasil bahwa toksisitas

Al pada tembakau menyebabkan tanaman kekurangan hara dan juga mengubah

struktur dan fungsi membran plasma serta menghalangi pembelahan sel pada

ujung-ujung akar.

Kelarutan Al yang tinggi secara tidak langsung berpengaruh terhadap

proses-proses fisiologi dan metabolisme tanaman. Terganggunya penyerapan hara

menyebabkan ketersediaan unsur hara menurun sehingga pertumbuhan tajuk

tanaman menjadi tertekan (Marschner 1995). Polle dan Konzak (1990)

menjelaskan bahwa kerusakan akar oleh Al menyebabkan terganggunya hara dan

meningkatkan kepekaan terhadap kekeringan sehingga mempengaruhi

pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

Mekanisme toleransi terhadap Al dapat dikelompokkan menjadi

mekanisme eksternal dan mekanisme internal (Taylor 1991; Sopandie 2006).

Tanaman yang memiliki mekanisme eksternal mampu mencegah Al masuk ke

dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif. Mekanisme ini dapat dicapai

antara lain dengan imobilisasi Al pada dinding sel dan selektivitas plasma

(29)

organik pengkelat Al. Penelitian Pineros dan Kochian (2001) pada pewarnaan

akar dengan hematoxylin menunjukkan bahwa jagung yang toleran Al mampu

melakukan akumulasi Al pada lapisan sel bagian luar tudung akar sebagai upaya

penahanan Al masuk ke dalam jaringan.

Peningkatan pH rizosfer pada larutan/media merupakan salah satu

indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Beberapa penyebab penurunan

pH pada zone perakaran: 1) Pelepasan ion H akibat absorpsi kation > anion, 2)

Pelepasan dan hidrolisis CO2, 3) Pelepasan ion-ion H dari gugus karboksil asam

poligalakturonat dan sisa-sisa asam pektat dan 4) Ekskresi proton-proton dari

mikroorganisme-mikroorganisme yang berhubungan dengan akar. Tanaman yang

memiliki mekanisme toleransi dengan mengubah pH di daerah perakaran akan

meningkat pH larutan hara sehingga tanaman mampu menurunkan kelarutan dan

toksisitas Al (Sasaki et al. 1997). Percobaan pada metode kultur hara

menunjukkan bahwa genotipe toleran pada tanaman jagung, gandum, barley dan

padi mengalami peningkatan pH larutan serta terjadi penurunan kelarutan dan

toksisitas Al (Caniato et al. 2007; Furukawa et al. 2007). Menurut Hayes (1990),

peningkatan pH rizosfer akan meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan

menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al. Penelitian Delhaize et al.

(1995) pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran mampu

meningkatkan pH rizosfer dua kali lipat dibandingkan dengan genotipe peka.

Kenaikan pH akan mengurangi kelarutan Al, toksisitas dan melepaskan ikatan

dengan P.

Tanaman toleran mampu menghasilkan asam organik yang dapat

mengkelat Al dan mencegah pengikatan Al-P dalam akar (Delhaize et al. 1993;

Furukawa et al. 2007). Ujung akar tanaman yang toleran Al selain mengeksudasi

asam organik juga mampu mengeksudasi fosfat organik. Hal ini merupakan

proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pellet

et al. 1996). Detoksifikasi Al oleh fosfat karena terbentuknya ikatan kompleks

Al-P (Delhaize et al. 1993). Tanaman jagung dan gandum toleran mampu

(30)

al. 1995 dan 1996). Mekanisme eksternal menyebabkan kandungan Al dalam

jaringan menjadi rendah.

Tanaman dengan mekanisme internal memiliki daya toleransi untuk

mengakumulasi Al dalam sel sehingga kandungan Al dalam jaringan tinggi.

Mekanisme resistesi internal dicapai dengan pengkelatan Al oleh asam organik

dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein pengikat Al

serta produksi dan peningkatan enzim yang tahan Al.

Senyawa organik pada tanaman toleran Al mampu melakukan kompleks

atau bahkan kelat (menjepit) Al sehingga dapat mengurangi kelarutan Al (Hayes

dan Swift 1990; Tan 1993). Senyawa organik pada tanaman peka Al tidak efektif

melakukan kompleks atau mengkelat ion logam, salah satunya disebabkan karena

jumlah yang dihasilkan tidak mampu untuk menetralkan atau mengusir Al

(Sopandie et al. 2003; Kasim et al. 2001).

Anion organik pada barley mengaktifkan Al-effluks dari akar dan

berkorelasi dengan toleransi Al (Furukawa et al. 2007). Caniato et al. (2007)

menyatakan bahwa mekanisme fisiologi toleransi Al pada sorgum berdasarkan

pengkelatan Al di rizosfer oleh malat yang dilepas dari apikal akar dan mencegah

logam mencapai situs sensitif di dalam akar. Tanaman teh merupakan salah satu

tanaman yang menghasilkan asam organik/polifenol yang dapat menawarkan

racun Al dengan cara mengkelatnya (Matsumoto dan Sasaki 2002). Aluminium

berikatan dengan catechin di dalam daun muda dan pucuk, sedangkan pada daun

tua ditemukan adanya kompleks aluminium-asam fenolik dan asam

alumonium-asam organik.

Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman

Lingkungan bercekaman adalah lingkungan sub optimum bagi

pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan sub optimum merupakan

lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan

untuk perbaikan produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan

oleh tingkat cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie

(31)

Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan

melalui perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi

dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran

(Accevedo dan Fererres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman

pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya

adaptasi tanaman terhadap cekaman.

Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman

ringan atau sedang dilakukan melalui perbaikan potensi hasil dan pembentukan

idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993). Perbaikan potensi hasil dapat

dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk

meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi

fotosintat (Accevedo dan Fererres 1993). Upaya pembentukan idiotype breeding

dilakukan dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung

fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman (Sopandie 2006). Melalui

pembentukan idiotype breeding, pemulia akan memperoleh gambaran yang jelas

dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil

(Romagosa dan Fox 1993;Sopandie 2006).

Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman

berat dilakukan melalui peningkatan adaptasi tanaman (Romagosa dan Fox 1993).

Pada lingkungan dengan cekaman berat terdapat interaksi genotipe dengan

lingkungan baik interaksi yang bersifat kuantitatif maupun interaksi yang bersifat

kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak

menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu

lingkungan tetap unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe

lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi

lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe

(Ceccareli 1996). Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa

mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat

pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal

(32)

Seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target

sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil

maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman (Ceccareli et al. 2007). Seleksi

pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular

dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi

berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan

adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk

meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka

molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan

daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi

terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu

seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006).

Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum

Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat

potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Kebutuhan

terhadap tanaman ini terus meningkat (Grassi 2001). Konsekuensinya adalah

perbaikan hasil dan kualitas sangat perlu dilakukan. Secara umum, tanaman

sorgum manis yang diinginkan adalah tanaman sorgum yang memiliki indeks

panen yang tinggi, produktivitas yang tinggi, stabilitas hasil, resisten terhadap

penyakit dan memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik seperti tidak sensitif

terhadap photoperiodisme, kelembaban tinggi, toleran kekeringan dan lahan

masam (Baenziger 2006).

Ketersediaan bahan bakar tidak terbarukan (berbasis fosil) saat ini semakin

terbatas menyebabkan kebutuhan akan sumber energi yang terbarukan (biofuel)

menjadi penting. Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca

sampai 12% (Reddy dan Dar 2007). Dari tahun ke tahun kebutuhan terhadap

bioetanol semakin meningkat. Sorgum merupakan salah satu tanaman yang dapat

menjadi bahan baku industri bioetanol karena batang dan juga bijinya dapat

dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Yudiarto 2006; Reddy

(33)

rendah, tanaman sorgum tidak berkompetisi dengan tanaman pangan. Saat ini

produsen bioetanol yang menggunakan sorgum masih didominasi oleh Amerika

Serikat, Cina, Afrika Selatan dan India (Dirjen Tanaman Pangan 2007). Sorgum

memenuhi persyaratan sebagai bahan baku bioetanol antara lain dapat tumbuh

dalam berbagai agroekologi, lebih tahan penyakit dan memerlukan input produksi

yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan tanaman penghasil bioetanol

lainnya.

Rasmusson (1987) menjelaskan bahwa ideotipe merupakan sifat yang

diharapkan dapat ditingkatkan potensi genetik hasilnya. Pemuliaan ideotipe

didefinisikan sebagai metode yang digunakan dalam pemuliaan untuk

meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi

karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000). Arah pemuliaan sorgum untuk

produksi bioetanol diarahkan pada perbaikan karakter-karakter produksi bioetanol

yaitu karakter malai dan batang.

Tanaman sorgum memiliki efisiensi fotosintesis yang tinggi yaitu 2.5%

dengan efisiensi fotosintesis maksimum pada beberapa jam tertentu dalam siklus

harian mencapai 27% (Grassi 2005). Perbaikan efisiensi fotosintesis diharapkan

dapat meningkatkan produksi biomassa sorgum sehingga produktivitas bioetanol

juga akan meningkat. Alkohol diperoleh dari nira bagian batang sorgum. Kualitas

nira sorgum manis setara dengan nira tebu, kecuali kandungan amilum dan asam

akonitat yang relatif tinggi (Sirappa 2003). Kandungan amilum yang tinggi

tersebut merupakan salah satu masalah dalam proses kristalisasi nira sorgum

sehingga gula yang dihasilkan berbentuk cair. Untuk mengatasi masalah tersebut,

pengembang ideotipe dapat diarahkan pada penurunan kandungan amilum dari

kadar awal.

Bioetanol juga diperoleh dari bagian malai. Sirappa (2003) menjelaskan

bahwa biji sorgum mengandung 65-71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula

sederhana. Gula sederhana yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat

difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Menurut Somani dan Pandrangi (1993)

(34)

384 liter bioalkohol. Seleksi berdasarkan bobot biji per tanaman diharapkan akan

diperoleh perbaikan produksi malai surgum.

Kelebihan lain adalah manfaat ganda tanaman sorgum yang dapat

digunakan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pakan. Sorgum manis

merupakan salah satu tanaman pangan dunia dengan luas areal tanam, produksi

dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah

gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum

merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta

penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah

produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula

atau jiggery (ICRISAT 1996).

Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman

sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber

karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006)

Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang

dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi,

fosfor dan vitamin B-1 (Sirappa 2003).

Kandungan tannin pada beberapa jenis sorgum cukup tinggi

(0,40−3,60%), sehingga hasil olahannya kurang enak. Sumarno dan Karsono

(1996) menyarankan untuk mengatasi masalah ini melalui teknologi pengolahan

kulit dan lapisan testa dengan pengikisan (penyosohan). Pendekatan melalui

program pemuliaan dapat dilakukan melalui perakitan sorgum dengan kandungan

tannin rendah. Keberadaan tannin pada sorgum sulit terdeteksi dan tidak

tergantung pada warna biji (House 1985).

Sorgum memenuhi syarat gizi dan faktor biofisik untuk dijadikan jalan

keluar dalam krisis pangan dan dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, sehingga

pengembangan varietas sorgum dengan level vitamin, mineral dan protein tinggi

harus dilakukan. Sorgum memiliki kandungan glutin sorgum sangat rendah

(Graybosch 1992) sehingga sorgum dikembangkan sebagai bahan pangan

premium untuk keperluan diet pada penderita diabetes dan diet pada penderita

(35)

Pemanfaatan sorgum sebagai pakan ternak yaitu biji sorgum untuk bahan

campuran ransum pakan ternak unggas, sedangkan batang dan daun sorgum

(stover) untuk ternak ruminansia (Hoeman 2007). Kandungan lemak sorgum yang

relatif tinggi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot ternak. Dengan

demikian, pemilihan ideotipe dapat diarahkan pada perakitan genotipe yang

memiliki kandungan lemak tinggi. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan

ternak bersifat suplemen (substitusi) terhadap jagung karena nilai nutrisinya tidak

berbeda dengan jagung, namun karena kandungan tannin yang cukup tinggi

membuat rasa pakan biji sorgum menjadi pahit (Sirappa 2003). Menurut

Koentjoko (1996), kandungan tanin dalam ransum di atas 0,50% dapat menekan

pertumbuhan ayam, dan apabila mencapai 2% akan menyebabkan kematian

(Rayudu et al. 1970) sehingga salah satu ideotipe yang dapat dikembangkan

dalam program pemuliaan sorgum untuk keperluan pakan adalah menurunkan

kadar tannin pada lapisan aleuron biji.

Potensi daun sorgum manis sekitar 14−16% dari bobot segar batang atau

sekitar 3 ton daun segar/ ha dari total produksi 20 ton/ha. Soebarinoto dan

Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat

menghasilkan jerami 2,62 + 0,53 ton bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor

sapi adalah 15 kg daun segar/hari (Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Dengan

demikian pengembangan sorgum sebagai tanaman pakan ternak (forage sorghum)

dapat dilakukan dengan meningkatkan potensi hijauan sorgum. Borrel et al.

(2006) menjelaskan kondisi stay green pada tanaman sorgum dipengaruhi oleh

efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi yang tinggi.

Penelitian sorgum selain mengarah pada perbaikan sifat agronomi dan

kualitas sebagai sumber pangan, pakan dan bahan baku bioetanol, juga diarahkan

pada peningkatan produktivitas antara lain dengan perakitan sorgum yang

memiliki daya adaptasi luas dengan produktivitas tinggi namun memerlukan input

relatif rendah, peningkatan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman serta

toleransi terhadap kondisi marjinal (kekeringan, salinitas dan lahan masam). Arah

pemuliaan sorgum dalam peningkatan komponen hasil dan produktivitas dapat

(36)

Agricultural Sciences at Xinxian-Shanxi 1972). Hasil panen pada hibrida sorgum

berkorelasi dengan berat malai. Poelman dan Sleper (1996) menerangkan bahwa

program pemuliaan sorgum untuk daya hasil tinggi memerlukan faktor-faktor

yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti umur tanam, sensitifitas

terhadap fotoperiode, resistensi terhadap kerebahan dan resistensi terhadap

cekaman (biotik maupun abiotik).

Karakter agronomi seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan produksi biji

dapat digunakan sebagai indikator tahan kekeringan. Grassi et al. 2004

menjelaskan bahwa daya adaptasi sorgum terhadap kekeringan berhubungan

dengan mekanisme efisiensi penggunaan air. Penelitian yang dilakukan Di Fonzo

et al. (1999) diketahui bahwa luas area hijau daun pada fase generatif

meningkatkan produksi biji. Genotipe dengan kemampuan stay-green pada

tanaman pangan seperti jagung, sorgum dan gandum, lebih aktif berfotosintesis

selama masa pengisian biji. Hal serupa juga dijelaskan oleh van Oosterom et al.

(1996), bahwa karakter stay-green merupakan komponen toleransi terhadap

kekeringan pada fase akhir pembungaan sorgum. Sorgum dengan fenotipe

stay-green mengakumulasi lebih banyak gula pada batang baik selama maupun setelah

fase pengisian biji. Karakter stay-green merupakan karakter penting dalam

perakitan varietas sorgum manis toleran kekeringan dan juga dapat digunakan

dalam aplikasi pemuliaan lainnya.

Penurunan produktivitas tanaman pada tanah masam terutama dialami oleh

jenis tanaman semusim (annual plant) dengan sistem perakaran yang dangkal

(Kochian et al. 2004). Pada kondisi tercekam kemasaman, pertumbuhan tajuk

akan terhambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang kerdil (Marschner

1995). Hal ini disebabkan oleh terhambatnya akses air dan nutrisi karena

pertumbuhan akar yang terhambat. Sistem perakaran merupakan salah satu

karakter yang dapat digunakan tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan

meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara.

Strategi untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lingkungan

bercekaman adalah melalui program pemuliaan tanaman yang didukung oleh

(37)

Pengembangan sorgum yang memiliki toleransi terhadap Al diperlukan upaya

mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi

agroekologi lahan bercekaman Al. Varietas sorgum toleran Al telah

dikembangkan di beberapa negara (Kochian et al. 2004), tetapi di Indonesia saat

ini belum dikembangkan, karenanya pengembangan varietas sorgum toleran tanah

masam sangat diperlukan. Pemahaman tentang mekanisme adaptasi dan kendali

genetiknya dapat membantu meningkatkan efektivitas seleksi galur-galur sorgum

toleran Al.

Indonesia bukan merupakan daerah origin sorgum, namun tanaman

sorgum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal. Perkembangan sorgum

di Indonesia tidak sebaik padi dan jagung karena masih sedikit daerah yang

memanfaatkan tanaman sorgum sebagai bahan pangan. Budidaya, penelitian dan

pengembangan tanaman sorgum di Indonesia masih sangat terbatas (Hoeman

2007). Salah satu penyebab keterbatasan tersebut adalah tidak tersedianya benih

varietas unggul sorgum. Hal inilah yang menyebabkan keragaman genetik yang

tersedia masih sangat terbatas. Peningkatan keragaman genetik sorgum dapat

dilakukan melalui introduksi, hibridisasi, mutasi dan bioteknologi maupun

kombinasi antara metode-metode tersebut.

Varietas sorgum yang terdapat di Indonesia sebagian besar merupakan

introduksi dari International Crop Research Institut for Semi-Arid Tropics

(ICRISAT) dan dari beberapa negara seperti India, Thailand dan Cina. Setelah

melalui proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi,

beberapa varietas introduksi tersebut telah dilepas oleh Departemen Pertanian

Republik Indonesia sebagai varietas sorgum unggul nasional antara lain UPCA,

Keris, Mandau, Higari, Numbu, Kawali, Badik, Gadam dan Sangkur (Dirjen Bina

Produksi Tanaman Pangan 2003).

Teknik hibridisasi atau persilangan buatan dapat menimbulkan keragaman

baru melalui rekombinasi yang terbentuk dari alela-alela yang berasal dari

tetua-tetua persilangan. Persilangan dapat menghasilkan keragaman baru yang tidak

ditemukan pada genotipe kedua tetuanya karena adanya rekombinasi (Baenziger

(38)

keragaman genetik lebih tinggi. Dengan hibridisasi, keragaman yang dibentuk

dapat diarahkan sesuai dengan sasaran program pemuliaan, berupa gabungan

karakter-karakter unggul yang ada di tetua-tetua persilangan.

Persilangan buatan dapat melibatkan semua bentuk genotipe, varietas dari

suatu spesies yang sama atau antar spesies yang berbeda. Berdasarkan

pengelompokan genotipe ini persilangan buatan dapat dikelompokkan menjadi (1)

Intervarietal yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua berupa kultivar dari

spesies yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (2) Interspesifik yaitu persilangan

yang melibatkan tetua yang berasal dari dua spesies yang berbeda dari genus

yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (3) Intergenerik yaitu persilangan yang

melibatkan tetua-tetua yang berasal dari spesies dari genus yang berbeda (Greene

dan Morris 2001) dan (4) Introgressi yaitu persilangan yang melibatkan

tetua-tetua yang berasal dari spesies yang berbeda dengan tujuan untuk memindahkan

satu atau beberapa gen saja dari tetua spesies liar ke spesies budidaya (Gepts

2002). Tipe persilangan yang paling umum dilakukan adalah tipe persilangan

intervarietal, karena rekombinasi gen dapat terjadi lebih mudah dan tanpa

hambatan reproduksi. Persilangan yang melibatkan spesies tanaman yang berbeda

mempunyai kendala pada hambatan reproduksi sehingga memerlukan teknik

khusus.

Pemilihan tetua sangat penting diperhatikan dalam hibridisasi karena

menentukan keberhasilan dari tujuan persilangan yang diinginkan. Tetua yang

digunakan dalam persilangan harus membawa karakter unggul yang diinginkan

(Sutjahjo et al. 2005). Selain itu, salah satu atau kedua tetua memiliki adaptasi dan

penampilan agronomis yang baik dan juga antara tetua mempunyai jarak

kekerabatan yang jauh sehingga dapat menghasilkan keragaman genetik yang

tinggi pada turunannya.

Sumber keragaman untuk seleksi tetua persilangan dapat diperoleh dari

koleksi plasma nutfah yang ada atau jika tidak ada dapat diintroduksikan dari

wilayah lain. Sutjahjo et al. (2005) menjelaskan bahwa plasma nutfah yang

menjadi sumber keragaman bagi seleksi tetua dapat terdiri dari varietas komersial,

(39)

spesies liar. Varietas komersial adalah varietas yang telah ditanam luas dan

diterima baik oleh petani. Galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines) adalah

yaitu galur-galur terpilih dengan sifat-sifat unggul tetapi belum dilepas sebagai

varietas. Varietas lokal atau landrace yaitu kultivar hasil seleksi petani yang

mempunyai keunggulan dalam adaptasi terhadap cekaman lingkungan tertentu

seperti kekeringan, tanah masam, salinitas atau tanah gambut sulfat masam,

sedangkan spesies liar adalah spesies bukan budidaya namun mempunyai

sifat-sifat yang diinginkan dan akan digunakan dalam persilangan dengan spesies

budidaya.

Jika keragaman dari karakter yang dikehendaki tidak dapat ditemukan

dalam koleksi plasma nutfah, maka keragaman dapat diperoleh melalui mutasi

induksi (Ahloowalia et al. 2004). Aisyah (2006) menjelaskan bahwa mutasi

adalah perubahan materi genetik yang terjadi secara mendadak dan bersifat

permanen akibat perlakuan radiasi atau bahan kimia (mutagen fisik atau kimia).

Keragaman yang ditimbulkan oleh mutasi tidak dapat diduga arahnya (van Harten

1998). Peningkatan keragaman lainnya dapat dilakukan dengan melalui

pendekatan bioteknologi antara lain embryo rescue (Comeau et al. 1992),

manipulasi kromosom sitoplasma (Fedak 1999; Jauhar dan Chibbar 1999) atau

manipulasi kromosom molekular dengan transformasi genetik (Zhong 2001).

Kegiatan selanjutnya adalah proses seleksi dan pengujian selama beberapa

generasi hingga diperoleh galur-galur harapan dengan karakter yang diinginkan.

Sorgum termasuk kelompok tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri

dengan persentase menyerbuk silang sebesar 6% (Poehlman dan Sleper 1996).

Sasaran yang hendak dicapai pada program pemuliaan tanaman menyerbuk

sendiri adalah sifat unggul dan tanaman homozigot (Poespodarsono 1988).

Metode seleksi yang digunakan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti sorgum

dapat dilakukan pada populasi yang heterogen dan pada populasi bersegregasi

(Trikoesoemaningtyas, bahan kuliah 2007). Seleksi pada populasi heterogen

dilakukan dengan metode seleksi massa dan seleksi galur murni, sedangkan pada

populasi bersegregasi, seleksi dapat dilakukan dengan metode adalah pedigree,

(40)

Metode pedigree banyak digunakan untuk seleksi pada karakter kualitatif

atau karakter kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong tinggi

sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Moreno-Gonzales dan

Cubero 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003). Metode pedigree merupakan

metode yang paling sering digunakan dalam pemuliaan sorgum (House 1985).

Kelebihan metode pedigree antara lain hanya keturunan dari tanaman unggul saja

yang dilanjutkan, menghemat lahan karena jumlah tanaman tiap generasi semakin

sedikit dan silsilah dari galur diketahui (Sutjahjo et al. 2006). Namun pada metode

ini banyak genotipe akan terbuang pada saat masih bersegregasi, sedangkan

genotipe tersebut mungkin akan mempunyai fenotipe yang baik pada generasi

lanjut setelah seluruh gen-gen aditif terfiksasi dan juga pencatatan yang dilakukan

setiap generasi memerlukan banyak tenaga dan ketelitian yang tinggi dalam

mencatat dan menyimpan data silsilah.

Metode silang balik (back cross) diterapkan dengan tujuan memasukkan

satu atau dua karakter pada varietas atau genotipe yang sudah mempunyai daya

adaptasi atau karakter agronomi yang sudah baik (Stoskopf et al. 1993; Roy

2000; Chahal and Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006). Metode silang balik bertujuan

untuk memperbaiki kultivar yang sudah mempunyai karakter agronomi dan

adaptasi yang baik, tetapi kekurangan satu atau beberapa karakter saja, misalnya

pemuliaan untuk memperbaiki resistensi terhadap penyakit dari varietas unggul

komersial yang diadopsi luas. Tujuan dari silang balik berulang dengan tetua

recurrent adalah untuk meningkatkan proporsi gen tetua recurrent. Metode silang

balik dilaksanakan dengan menyilangkan kembali F1 dengan tetua yang

mempunyai sifat agronomi baik sebagai tetua berulang (recurrent parent) untuk

beberapa generasi. Untuk itu metode silang balik memerlukan tetua recurrent

dengan sifat agronomi baik. Umumnya tetua recurrent merupakan varietas unggul

komersial yang diadopsi secara luas oleh petani. Metode silang balik hanya

memperbaiki satu sifat tetapi tidak dapat meningkatkan potensial hasil dari

varietas yang ada.

Metode bulk dan single seed descent umum digunakan untuk seleksi pada

(41)

tergolong rendah atau sedang sehingga seleksi dilakukan pada generasi lanjut

yaitu F5 atau F6. Prinsip kedua metode ini adalah upaya menangani populasi

bersegregasi selama beberapa generasi secara bersama-sama sampai mencapai

tingkat homozigositas yang diinginkan sebelum melakukan seleksi terhadap

individu tanaman. Generasi F1 sampai F4 pekerjaan tidak terlalu berat, karena

pada generasi tersebut tidak dilakukan seleksi. Dalam metode single seed descent

hanya satu benih yang diambil secara acak dari setiap tanaman untuk ditanam

pada generasi berikutnya (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal

2003; Sutjahjo et al. 2006).

Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat

Karakter-karakter yang diekspresikan tanaman dibedakan atas karakter

kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif seperti warna dan bentuk

bunga, bentuk dan warna biji, penampilannya sangat sedikit dipengaruhi oleh

faktor lingkungan. Karakter-karakter ini akan mempunyai penampilan yang tetap

pada berbagai lingkungan yang berbeda (Stoskopf 1993). Hal ini dapat terjadi

karena karakter-karakter ini dikendalikan oleh gen-gen yang mempunyai

pengaruh yang sangat besar terhadap penampilan/fenotipe (gen mayor), sehingga

pengaruh lingkungan terhadap karakter tersebut kecil. Karakter kualitatif memiliki

keragaman yang dapat dengan mudah dikelaskan dan pewarisan karakternya

mengikuti hukum pewarisan sifat Mendel (Roy 2000) yaitu menurut Hukum

Segregasi, di mana alel-alel dari pasangan gen bersegregasi (berpisah) satu

dengan lainnya ke dalam gamet dan Hukum Perpaduan Bebas yaitu pada waktu

pembentukan gamet, salah satu pasangan gen berpadu secara bebas dengan

pasangan gen lainnya. Fenotipe dari karakter kualitatif dapat dikelaskan dengan

jelas.

Keragaman karakter kualitatif dapat dibedakan berdasarkan aksi gen yang

mengendalikan karakter tersebut (Stoskopf 1993; Chahal dan Gosal 2002).

Karakter kualitatif dapat dikendalikan oleh satu gen yang mempunyai aksi

dominan, over dominan atau kodominan, yang merupakan bentuk interaksi alela

(42)

menyebabkan alela pasangannya dalam lokus yang sama tertekan ekspresinya.

Alela yang terekspresi disebut alela dominan sedangkan alela yang tertekan

ekspresinya disebut alela resesif. Jika dominansi bersifat penuh, maka ekspresi

aksi gen dominan akan menyebabkan genotipe dengan alela heterozigot

mempunyai fenotipe yang sama dengan bentuk homozigot dominannya. Jika

dominansi tidak bersifat penuh, maka genotipe heterozigot akan mempunyai

fenotipe yang berada di antara fenotipe genotipe homozigot dominan dengan

homozigot resesif. Aksi gen dominan dapat terjadi dalam bentuk overdominansi,

di mana genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang melebihi genotipe

homozigot dominan. Fenomena ini umumnya terlihat pada karakter yang

berhubungan dengan ukuran dan viabilitas. Epistasis terjadi jika dua gen

berinteraksi mengatur karakter yang sama dan interaksi tersebut melibatkan alela

dari lokus yang berbeda. Epistasis dapat menyebabkan timbulnya fenotipe yang

berbeda dari fenotipe yang disebabkan oleh interaksi antar alela dalam lokus yang

sama, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam nisbah fenotipe di

generasi F2.

Karakter-karakter kuantitatif seperti karakter yang berhubungan dengan

pertumbuhan tanaman atau hasil panen, umumnya merupakan karakter-karakter

yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Roy 2000). Karakter kuantitatif

dikendalikan oleh banyak gen di mana pengaruh masing-masing gen terhadap

penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil dan bersifat aditif. Gen-gen tersebut

secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh

lingkungan (Roy 2000). Gen-gen yang demikian disebut gen minor. Aksi gen

minor ditentukan oleh bentuk interaksi yang terjadi baik interaksi antar alel pada

lokus yang sama. Untuk karakter kuantitatif maka interaksi antar alela dapat

terjadi dalam bentuk interaksi aditif dan dominan maupun interaksi antar alel pada

lokus yang berbeda (epistasis).

Jumlah gen yang banyak menyebabkan keragaman fenotipe dari karakter

kuantitatif tidak dapat dikelaskan dengan jelas dan cenderung membentuk sebaran

yang kontinyu. Seleksi terhadap karakter kuantitatif tidak didasarkan pada visual

(43)

Pemulia harus memilih metode yang paling efektif dan efisien dalam

pelaksanaan seleksi untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Pemilihan metode

dilakukan melalui analisis pewarisan dengan menghitung potensialitas dari

persilangan yang dilakukan (Roy 2000). Analisis harus dilakukan sejak generasi

awal menggunakan data tetua dan data dari generasi awal. Roy (2000)

menjelaskan terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam

memprediksi tingkat kepotensialitas persilangan yaitu dengan melihat penampilan

tetua, analisa rata-rata generasi atau dengan analisa diallel.

Metode analisa penampilan tetua merupakan metode analisis yang paling

sederhana karena tidak menggunakan analisis genetik namun pendugaan

pewarisan hanya didasarkan pada penampilan kedua tetua dan progeni F1 dengan

hipotesis semua karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Hubungan antara nilai

tengah kedua tetua dan F1 tidak hanya tergantung pada tipe penyerbukan tanaman

saja, namun juga tergantung pada sejarah materi genetik yang digunakan (Chahal

dan Gosal 2002). Bebe

Gambar

Tabel 1 Rata-rata Tetua UPCA S1 (P1), Numbu (P2), Generasi F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara
Gambar 3 Penampilan Beberapa Generasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Kultur Hara
Tabel 2 Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara
Gambar 5 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Akar Populasi F2 Hasil Persilangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peserta lelang yang dinyatakan sebagai Pemenang atau kuasanya dapat mengambil objek lelang secara langsung ke Penjual pada saat pelaksanaan lelang, atau ke KPKNL Yogyakarta

Revivalisme gaya- rupa asing dalam arsitektur masjid terlihat sebagai pendekatan yang banyak digunakan saat ini, contohnya dapat dilihat pada perancangan Masjid Putra, Masjid

Pengaruh keberadaan tangkahan dalam hal pendaratan hasil tangkapan terhadap PPN Sibolga dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan armada penangkapan yang

ME mengundang pasangan suami istri yang ingin menghangatkan kembali relasi suami istri dan belum pernah bergabung dalam ME untuk mengikuti Week-end yang akan diadakan

Dari beberapa penelitian yang ada, penulis membuat pengembangan penelitian perancangan lampu penerangan otomatis, yang mana dari penelitian tersebut diharapkan dapat

Karakteristik ini ditambah dengan konsistensi yang sangat licin menyebabkan manitol menjadi eksipien pilihan untuk formulasi tablet kunyah.

Dari hasil implementasi dan evaluasi yang telah dilakukan, dapat disampaikan saran guna pengembangan sistem deteksi microaneurysms ini, yaitu: 1) Data retina yang memiliki

Swap transaction adalah transaksi sejumlah mata uang negara yang berbeda dengan cara kedua pihak melakukan kombinasi terhadap dua mata uang yang bersangkutan secara tunai