• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Asean Free Trade Area (AFTA) terhadap Kesejahteraan Petani Padi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dampak Asean Free Trade Area (AFTA) terhadap Kesejahteraan Petani Padi di Indonesia"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya bermata

pencaharian di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang

bekerja di sektor pertanian sebesar 41.49 juta jiwa yang merupakan urutan pertama

dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penduduk 15 Tahun ke atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2006-2010

No. Lapangan Pekerjaan Jumlah Tenaga Kerja (Juta Jiwa) 2006 2007 2008 2009 2010

1. Pertanian 40.14 41.21 41.33 41.61 41.49 2. Pertambangan 0.92 0.99 1.07 1.16 1.25 3. Industri Pengolahan 11.89 12.37 12.55 12.84 13.82 4. Listri, Gas, dan Air 0.23 0.17 0.20 0.22 0.23 5. Bangunan 4.70 5.25 5.44 5.49 5.59 6. Perdagangan dan Hotel 19.22 20.55 21.22 21.95 22.49 7. Angkutan dan Komunikasi 5.66 5.96 6.18 6.12 5.62 8. Keuangan, dan Persewaan 1.35 1.40 1.46 1.49 1.74 9. Jasa-Jasa 11.36 12.02 13.10 14.00 15.96 Total 95.46 99.93 102.55 104.87 108.21

Sumber : BPS, 2010

Oleh karena itu, sektor pertanian bagi Indonesia memiliki peranan yang cukup penting

dalam pembangunan perekonomian. Sektor pertanian bermanfaat dalam proses

pembangunan Indonesia antara lain mencakup (1) penyediaan kebutuhan pangan

untuk penduduk yang semakin bertambah (2) penyediaan kesempatan kerja dan

menghasilkan pendapatan bagi penduduk (3) penyediaan bahan mentah untuk

agroindustri (4) menghasilkan devisa untuk negara, dan (5) menciptakan kelestarian

lingkungan hidup (Amang, 1999). Pentingnya sektor pertanian dapat dilihat dari

kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang cukup besar

(2)

2

Tabel 2. Kontribusi Setiap Sektor terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia Tahun 2006-2010 (%)

No Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010

1 Pertanian 13.00 13.70 14.46 15.29 15.90

2 Pertambangan 11.00 11.20 10.92 10.54 11.10

3 Industri Pengolahan 27.50 27.10 27.89 26.38 25.20 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.90 0.90 0.82 0.83 0.80

5 Konstruksi 7.50 7.70 8.48 9.89 10.10

6 Perdagangan, dan Restoran 15.00 14.90 13.97 13.37 13.80 7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.90 6.70 6.31 6.28 6.20

8 Keuangan dan Real Estat 8.10 7.70 7.43 7.20 7.10

9 Jasa-jasa 10.10 10.10 9.73 10.22 9.80

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : BPS, 2010

Produksi komoditas pertanian di Indonesia belum mencukupi kebutuhan

permintaan dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan perdagangan yang terkait

dengan komoditas pertanian untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Negara yang

produksi pertaniannya surplus dapat mengekspor produk pertaniannya ke negara yang

membutuhkan, sehingga dapat menguntungkan kedua belah pihak. Perkembangan

perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya sebuah aturan atau hukum

yang tertulis dan berlaku universal, maka dibentuk Asean FreeTrade Area (AFTA) untuk perdagangan bebas di antara negara-negara Assocation of Southeast Asian Nations (ASEAN). Hubungan ekonomi antara negara-negara ASEAN yang digariskan oleh Masyarakat Ekonomi ASEAN dan merupakan hasil dari Visi ASEAN 2020 yang

berisi berbagai langkah yang telah diambil oleh ASEAN untuk tujuan integrasi

ekonomi.

Tujuan dasar ekonomi negara-negara ASEAN adalah untuk menciptakan

stabilitas dan kemakmuran ekonomi secara keseluruhan. Negara-negara ASEAN juga

ingin menciptakan zona ekonomi dimana penyediaan barang, investasi, dan jasa tanpa

hambatan. Negara-negara ASEAN ingin memastikan bahwa tingkat kesenjangan

(3)

3 mendapatkan keragaman regional negara-negara anggotanya, dapat saling melengkapi

satu sama lain dan menciptakan peluang bisnis. Salah satu kebijakan dari ASEAN

yaitu melalui AFTA dapat menempatkan ASEAN sebagai salah satu nama besar

dalam rantai pasokan dunia1.

Partisipasi Indonesia dalam perdagangan bebas AFTA disadari sebagai upaya

untuk memperoleh keuntungan dengan adanya perdagangan tersebut. Hal ini

disebabkan karena produk Indonesia akan memiliki pangsa pasar yang lebih luas dan

mekanisme melakukan ekspor-impor komoditas menjadi lebih mudah dan

menguntungkan akibat adanya penurunan tarif ekspor. Namun, muncul berbagai

kekhawatiran akan kesiapan Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas.

Kekhawatiran tersebut berupa masuknya barang-barang impor yang lebih murah

dengan kualitas yang sama yang menjadi ancaman bagi produk lokal. Hal ini dapat

ditunjukan pada kasus beras impor dari Thailand dan Vietnam yang harganya lebih

murah dan berkualitas tinggi, kondisi tersebut menjadi ancaman bagi petani padi di

domestik.

Beras merupakan komoditas pertanian yang diperdagangkan di dalam

perdagangan bebas AFTA. Beras memiliki peran yang strategis dan politis karena

komoditas ini menjadi makanan pokok bagi 90 persen rakyat Indonesia sehingga

perlu mendapat perhatian khusus. (Firdaus et al. 2008). Peran pemerintah dalam pemantapan ketahanan pangan telah diatur di dalam Undang-Undang No.7 Tahun

1966 tentang pangan. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan terutama beras

di Indonesia, maka diperlukan peran pemerintah dalam meningkatkan

produktivitas padi. Adapun perkembangan laju pertumbuhan luas areal panen,

1 http://www.depdag.go.id/files/publikasi/djkipi/afta.htm diakses pada tanggal 23

(4)

4 produktivitas, dan produksi padi di Indonesia pada periode 1984-1997 (Orde

Baru) dan 1998-2010 (Orde Reformasi) ditunjukan pada Tabel 3. Laju

pertumbuhan produksi padi pada orde baru 2.86 persen pada periode tahun

1984-1990, tetapi pada periode tahun 1991-1997 laju pertumbuhan produksi padi

menjadi 1.93 persen disebabkan laju pertumbuhan produktivitas padi yang lebih

rendah pada periode 1991-1997. Orde reformasi laju pertumbuhan produksi padi

1.60 persen per tahun dalam periode 1998-2004 dan menjadi sebesar 4.29 persen

per tahun dalam periode 2005-2010, hal ini disebabkan laju pertumbuhan luas

panen dan produktivitas meningkat.

Tabel 3. Laju Pertumbuhan Luas Areal Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Periode 1984-1990, 1991-1997, 1998-2004, dan 2005-2010.

No. Uraian 1984-1990

(%) 1991-1997 (%) 1998-2004 (%) 2005-2010 (%) 1. 2. 3.

Luas Areal Panen Produktivitas Produksi 0.80 1.60 2.86 1.42 0.32 1.93 0.29 1.31 1.60 2.28 1.86 4.29

Sumber : Kementrian Pertanian (diolah), 2010

Perdagangan bebas AFTA yang sudah diterapkan saat ini mempengaruhi

penjualan beras domestik karena harus bersaing dengan beras impor dari

negara-negara ASEAN seperti beras dari Thailand dan Vietnam. Harga beras dunia saat

ini sekitar Rp 6,500/kg-Rp 7,500/kg seperti beras Vietnam seharga Rp 6,400/kg

dan Thailand Rp 6,500/kg-Rp 7,500/kg, sedangkan di Indonesia harganya

mencapai Rp 7,000/kg-Rp 8,500/kg. Di tingkat mikro, produsen padi domestik

merasakan dampak langsung dengan adanya penurunan tarif impor beras sebagai

salah satu implikasi perdagangan bebas AFTA. Beras lokal yang umumnya masih

belum berdaya saing tinggi harus menghadapi beras impor yang lebih murah,

(5)

5 domestik, hal ini sangat merugikan karena mereka harus menjual beras dengan

harga yang lebih rendah dari beras impor. Hal itu terjadi karena petani domestik

harus menjual dengan harga yang setara dengan harga beras impor agar laku

terjual, akibatnya dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas padi domestik.

1.2. Perumusan Masalah

Manfaat adanya AFTA adalah untuk memudahkan perdagangan bebas antar

negara ASEAN sehingga setiap negara anggota ASEAN akan memperoleh

keuntungan pasar yang semakin luas. Perdagangan bebas AFTA juga dapat menjadi

ancaman bagi Indonesia jika tidak mampu mengontrol produk impor yang masuk.

Selain itu dengan adanya AFTA produsen domestik juga akan menghadapi

kompetitor-kompetitor besar dari negara-negara ASEAN.

Dalam perdagangan bebas AFTA terdapat skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) adalah pengurangan tarif regional dan menghapus hambatan non-tarif selama 15 tahap yang dimulai pada 1 Januari 1993. Produk CEPT

meliputi seluruh produk industri yang termasuk di dalamnya produk olahan hasil

pertanian dan produk lainnya. Berdasarkan CEPT Produk List komoditas beras

termasuk ke dalam high sensitive list, jadi komoditas tersebut termasuk dalam skema penurunan tarif dan hambatan non-tarif dalam jangka waktu yang lebih lama daripada

CEPT Produk List yang lain. Adanya skema CEPT-AFTA membuat produk-produk

pertanian dari negara-negara ASEAN memiliki pangsa pasar yang semakin luas, tetapi

produk lokal harus bersaing dengan produk impor. Permasalahan yang dikhawatirkan

terjadi dengan adanya AFTA, jika pada akhirnya tarif impor beras menuju nol yang

akan menyebabkan harga beras impor lebih murah daripada harga beras domestik dan

(6)

6 Pada penelitian ini akan dianalisis apakah dengan adanya AFTA tingkat

kesejahteraan petani padi di indonesia akan menurun atau meningkat. Hal tersebut

karena produk pertanian (beras) Indonesia akan bersaing dengan produk impor

negara-negara ASEAN.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah :

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di

Indonesia?

2. Bagaimana dampak Asean Free Trade Area (AFTA) terhadap perubahan kesejahteraan petani padi di Indonesia ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara

spesifik tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras

di Indonesia.

2. Mengevaluasi dampak Asean Free Trade Area (AFTA) terhadap perubahan kesejahteraan petani padi di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna di dalam pengembangan ilmu pengetahuan

baik bagi penulis sendiri maupun bagi kepentingan orang lain.

2. Dapat dijadikan sebagai referensi dalam mengkaji dampak AFTA terhadap sektor

(7)

7 3. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan pada

instansi yang terkait seperti Badan Urusan Logistik (BULOG).

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

permintaan dan penawaran beras di Indonesia kemudian mengestimasi perubahan

kesejahteraan petani padi di Indonesia akibat adanya AFTA. Data yang digunakan

dalam penelitian ini dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2009. Karena keterbatasan

data, maka untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini dibangun suatu model yang

merefleksikan fenomena ekonomi dengan keterbatasan yaitu :

1. Permintaan beras domestik tidak dilakukan pemisahan berdasarkan jenis beras.

Demikian juga penawaran dan permintaan beras domestik tidak didisagregasi

berdasarkan wilayah tetapi secara agregasi nasional.

2. Jenis dan harga beras impor yang digunakan adalah beras Thailand patahan 25

persen yang merupakan jenis beras yang paling banyak diimpor indonesia. Harga

beras Thailand patahan 5 persen menjadi acuan dalam perdagangan internasional

beras.

3. Beras domestik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beras eceran kualitas

medium varietas beras IR 64 II. Pemilihan varietas tersebut berdasarkan

pertimbangan bahwa varietas tersebut menghasilkan jenis beras yang paling

(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia

Kondisi penawaran dan permintaan beras di Indonesia dapat diidentifikasi

berdasarkan perkembangan komponen utamanya yaitu produksi, konsumsi, stok beras,

jumlah penduduk, dan impor beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan

sebagai berikut.

2.1.1. Produksi

Menurut Putong (2003), produksi adalah menambah nilai guna suatu barang,

proses produksi membutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat dan sarana untuk

melakukan proses produksi. Dalam pertanian, proses produksi sangat kompleks dan terus-menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Produksi padi nasional

ditentukan oleh luas areal panen dan tingkat produktivitasnya. Adapun perkembangan

luas areal panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 4. Luas Areal Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun Luas Areal Produktivitas Produksi Laju Pertumbuhan

Panen (Ha) (Ton/Ha) (Ton) Produksi (%)

2006 11,786,430 4.62 54,454,937 0.56 2007 12,147,637 4.71 57,157,435 4.96 2008 12,327,425 4.89 60,325,925 5.54 2009 12,883,576 5.00 64,398,890 6.75 2010 13,244,184 5.01 66,411,469 3.13

Rata-Rata Laju Pertumbuhan Produksi (%) 4.19

Sumber : Kementrian Pertanian (diolah) 2010

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa luas areal panen padi dan produksi

padi dari tahun 2006 sampai dengan 2010 cenderung meningkat. Tingkat

(9)

9 padi dan produksi padi yang cenderung meningkat dari tahun 2006 sampai dengan

2010, mengakibatkan produktivitas padi meningkat.

2.1.2. Konsumsi

Beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi 90 persen penduduk

Indonesia (Firdaus et al., 2008), hal ini menyebabkan beras menjadi bahan makanan yang superior daripada bahan makanan lainnya. Hal itu dapat terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Konsumsi Beberapa Macam Bahan Makanan di Indonesia Tahun 2007-2010

(Kg/Kap/Tahun)

Jenis Makanan 2007 2008 2009 2010

Beras 90.73 93.70 91.51 90.36

Jagung 3.13 2.29 1.83 1.56

Ketela Pohon 6.99 7.67 5.53 5.06

Ketela Rambat 2.40 2.66 2.24 2.29

Ikan dan Udang 13.56 13.71 12.98 14.13

Daging Sapi 0.42 0.37 0.31 0.37

Daging Ayam 4.12 3.81 3.60 4.17

Telur Ayam 6.36 6.00 6.05 10.43

Tahu 8.50 7.14 7.04 6.99

Tempe 7.93 7.25 7.04 6.94

Kacang Kedelai 0.10 0.05 0.05 0.05

Sumber : BPS, 2010

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui konsumsi bahan makanan di Indonesia yang

paling banyak adalah beras daripada bahan makanan yang lain. Data tahun 2007-2010,

menunjukan bahwa pada tahun 2007 konsumsi beras perkapita di Indonesia sebesar

90.73 kg, kemudian pada tahun 2008 konsumsi beras meningkat menjadi 93.70 kg.

Tingginya konsumsi beras daripada bahan makanan lain dipengaruhi oleh berbagai

faktor diantaranya rasa beras yang lebih enak, mudah diolah, kandungan gizi beras,

rendahnya pengembangan teknologi pengolahan, sosialisasi pangan non beras masih

(10)

10

2.1.3. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras

Pengelolaan stok, pengadaan, dan penyaluran beras yang dilakukan oleh

lembaga pemerintah melalui lembaga Badan Urusan Logistik (BULOG), bertujuan

menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pangan. Kemampuan pengadaan beras

yang dilakukan BULOG ditentukan oleh dua variabel penting yaitu selisih harga dasar

dan market clearing. Semakin tinggi selisih harga dasar dengan market clearing maka akan memberikan insentif bagi petani untuk menjual gabah atau berasnya ke

pemerintah (BULOG).

Tugas BULOG berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag)

No.22/M-DAG/PER/10/2005 tentang penggunaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP)

untuk pengendalian gejolak harga. (1) CBP adalah sejumlah tertentu beras milik

pemerintah pusat yang pengadaannya didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) sebagai cadangan stok beras nasional dan dikelola oleh BULOG

dengan arah penggunaan untuk penanggulangan keadaan darurat, kerawanan pangan

pasca bencana, pengendalian gejolak harga beras, dan untuk memenuhi kesepakatan

Cadangan Beras Darurat. (2) gejolak harga beras adalah kenaikan harga beras

ditingkat konsumen mencapai lebih dari 25 persen dari harga normal dan berlangsung

selama seminggu. (3) harga normal adalah harga rata-rata beras kualitas medium di

tingkat konsumen yang telah berlangsung selama tiga bulan sebelum terjadinya

gejolak harga beras. (4) beras kualitas medium adalah dengan kualitas yang setara

dengan CBP.

Pengadaan beras nasional yang dibeli pemerintah dari petani disimpan dan

disalurkan pada gudang-gudang BULOG. Apabila pengadaan dalam negeri tidak

(11)

11 (impor). Saat musim paceklik, BULOG melaksanakan operasi pasar murni (penjualan

beras ke pasar) untuk mengurangi laju kenaikan harga sehingga tidak melampaui batas

tertinggi dan mengatasi fluktuasi antar musim. Hal ini bertujuan untuk menjamin

pasokan pangan yang cukup pada tingkat harga yang wajar sebagai unsur penting

dalam pengamanan pangan nasional. Pengadaan pangan dalam negeri diharapkan

dapat meningkatkan produksi beras melalui jaminan harga yang memadai bagi petani

(Amang, 1999).

Tabel 6. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras di Indonesia Tahun 2005-2009

(Ton)

Tahun Stok Beras Pengadaan Beras Penyaluran Beras

2005 1,470,502 1,529,718 2,233,216

2006 1,093,370 1,434,127 1,842,680

2007 1,274,048 1,765,987 2,934,449

2008 1,443,936 2,931,776 3,757,111

2009 1,912,413 3,611,695 3,613,321

Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) 9.32 26.52 16.49 Sumber : BULOG, 2010

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata laju pertumbuhan stok beras 9.32 persen,

pengadaan beras 26.52 persen dan penyaluran beras 16.49 persen.

2.1.4. Jumlah Penduduk

Pada sisi penawaran, pertambahan populasi dapat diartikan sebagai

penambahan tenaga kerja untuk memproduksi komoditas ekspor, sedangkan

penambahan populasi pada sisi permintaan akan meningkatkan konsumsi

domestik yang berarti meningkatkan jumlah permintaan domestik akan suatu

komoditas (Salvatore, 1997).

Adapun perkembangan jumlah penduduk di Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 7. Jumlah penduduk Indonesia yang cenderung meningkat dengan laju

pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1.54 persen. Jumlah penduduk yang

(12)

12

Tabel 7. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2005 - 2010

Tahun Penduduk Laju Pertumbuhan

(juta jiwa) Penduduk (%)

2005 219.85 1.40

2006 222.74 1.32

2007 225.64 1.30

2008 228.52 1.28

2009 231.37 1.25

2010 237.64 2.71

Rata - Rata Laju Pertumbuhan Penduduk 1.54

Sumber : BPS (diolah) 2010

2.1.5. Impor Beras

Impor beras dilakukan di setiap negara untuk memenuhi permintaan beras di

dalam negeri. Produksi beras domestik yang belum dapat mencukupi kebutuhannya,

menyebabkan pemerintah perlu mengimpor beras. Adapun perkembangan impor beras

di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Beras di Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun Volume (Ton) Nilai 000 (US$)

2006 439,782 133,905

2007 482,103 157,772

2008 289,274 123,783

2009 250,276 107,955

2010 687,582 360,790

Sumber : Kementrian Pertanian, 2010

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah Impor beras nasional terkecil

terdapat pada tahun 2009 sebesar 250,276 ton, sedangkan jumlah impor beras nasional

terbesar pada tahun 2010 sebesar 687,582 ton. Jumlah impor beras dari tahun 2007

sampai 2009 cenderung menurun tetapi pada tahun 2010 jumlah impor beras

(13)

13

2.2. Peran Beras

Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Menurut

Suryana dan Mardianto (2001) beras mempunyai peran yang strategis dalam

memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan stabilitas politik nasional.

Masyarakat masih tetap menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang stabil,

tersedia sepanjang waktu terdistribusi secara merata dan dengan harga terjangkau.

Kondisi ini menunjukan bahwa beras masih menjadi komoditas strategis secara politis.

Menurtut Suryana dan Mardianto (2001) Beras memiliki karakteristik menarik

antara lain: (1) 90 persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia (2) pasar

beras dunia sangat rendah, yaitu hanya empat sampai dengan lima persen dari total

produksi, berbeda dengan komoditas tanaman pangan lainnya seperti gandum, jagung

dan kedelai yang masing-masing mencapai 20 persen, 15 persen, dan 30 persen dari

total produksi : (3) harga beras sangat tidak stabil dibanding dengan produk lainnya (4)

80 persen perdagangan beras dikuasai oleh enam negara, yaitu Thailand, Amerika

Serikat, Vietnam, Pakistan, Cina, dan Myanmar (5) struktur pasar oligopolistik (6)

Indonesia merupakan negara net importir sejak tahun 1998 dan (7) sebagian besar

negara di Asia umumnya beras diperlakukan sebagai wage goods dan political goods. 2.3. Kebijakan Beras Nasional

Menurut Firdaus et al. (2008) kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan yang berguna untuk mempengaruhi

suatu keadaan. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan

dalam mempengaruhi perubahan secara sektoral pada masyarakat, begitu pula

(14)

14 No.2/2005 kebijakan perberasan di Indonesia terbagi menjadi kebijakan produksi,

kebijakan harga, kebijakan distribusi, dan kebijakan impor.

2.3.1. Kebijakan Produksi

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa program kebijakan produksi padi

nasional diawali dengan dikeluarkannya program padi sentra tahun 1959.

Tabel 9. Perkembangan Kebijakan Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Tahun 1959-2007

Program Tahun Hard Soft

Technology Technology

Padi Sentra 1959 Varietas Si, Gadis, Jelita Komando operasi

Dara gerakan makmur

BIMAS 1965 Varietas Si, Gadis, Jelita Perbaikan kelembagaan

Dara dan kredit

Inmas 1968 Varietas PB5 Perbaikan kelembagaan

dan PB 8(IRRI) BIMAS

1969 Penggunaan varietas PB5 Penguatan kelembagaan

Gotong Royong dan PB 8 modal swasta

Insus 1979 Panca Usahatani Pembentukan

kelompok tani

Supra Insus 1987 Sapta Usahatani

Penguatan kelompok tani

SUTPA 1995 Varietas Cibodas Diversfikasi Pertanian

dan Membramo

INBIS 1997 Varietas Cibodas Pendampingan Pertanian

dan Membramo

Gama Palagung 1998 Sapta Usahatani Kredit Usaha Tani Corparate

2000 Varietas Cibodas Konsolidasi petani

Farming dan Membramo sehamparan dan dana

PTT 2001 Perpaduan Sumberdaya Kelompok agrbisnis dan

penguatan modal

P2BN 2007

Bantuan benih, perbaikan Pengendalian OPT, irigasi dan pupuk

bersubsidi Manajamen pascapanen

Sumber : Firdaus etal. (2008)

Program ini dilakukan dengan dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan

(15)

15 kebijakan dalam upaya meningkatkan produksi padi. Kemudian pemerintahan

orde baru mengeluarkan berbagai paket teknologi seperti Bimbingam Massal

(BIMAS) tahun 1965, Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1979, dan Supra insus

pada tahun 1987. Indonesia dapat mencapai swasembada beras pada tahun 1984

melalui teknologi pasca usahatani. Kebijakan produksi UU No.7 Tahun. 1996

tentang pangan untuk mendorong peningkatan produksi beras nasional. Kebijakan

tersebut memiliki dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi

dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman. Ekstensifikasi

kebijakan produksi pangan melalui Inpres No.9 Tahun 2002 tentang dukungan

dalam rangka meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Kebijakan produksi

yang berlaku saat ini dikenal dengan sebutan Program Peningkatan Beras

Nasional (P2BN) yang dimulai sejak awal tahun 2007.

2.3.2. Kebijakan Harga

Kebijakan pengendalian harga dilakukan dengan tujuan untuk melindungi

petani dan konsumen beras melalui mekanisme stabilisasi harga. Guna melindungi

petani, sejak tahun 1970 pemerintah mengeluarkan harga dasar (floorprice) gabah dan beras. Tujuannya untuk memberikan jaminan kepada petani bahwa hasil

produksinya akan dibeli sesuai harga yang ditetapkan pemerintah agar dapat

merangsang peningkatkan produksi. Guna melindungi konsumen, pemerintah

menerapkan harga konsumen (ceilling price), yaitu harga tertinggi yang boleh diterapkan pedagang kepada konsumen. Ceilling price digunakan untuk menjamin harga pasar masih dalam jangkauan daya beli konsumen sehingga seluruh lapisan

(16)

16 Melalui Inpres No.9 Tahun 2002, pemerintah merubah Harga Dasar Gabah

(HDG) menjadi Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDGP) atau lebih

dikenal dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan HPP hanya

menjamin harga gabah pada tingkat tertentu di lokasi yang telah ditetapkan, tetapi

tidak menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani. HPP juga berlaku

di gudang BULOG, bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG.

Bentuk kebijakan harga yang lain pada beras yang masih berlaku hingga

saat ini adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK).

OPM digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat adanya excess demand

di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga sekitar 10 sampai 15

persen di bawah harga pasar. OPK adalah penyaluran bantuan pangan pada

masyarakat miskin yang rawan pangan. Sejak tahun 2002, OPK diubah namanya

menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga masih terus

dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya semakin

meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga

beras di tingkat konsumen.

2.3.3. Kebijakan Distribusi

Tujuan kebijakan distribusi adalah untuk menjamin ketersediaan pangan

sepanjang tahun secara merata dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sejak

tahun 1967 pemerintah menunujuk BULOG untuk mengatur penyediaan beras

dalam negeri dan menstabilkan harga. Proses distribusi beras di Indonesia

dilakukan dengan dua cara yaitu melalui BULOG dan mekanisme pasar. BULOG

hanya menguasai sekitar 10 persen dari pangsa pasar nasional, sedangkan sisanya

(17)

17 gudang-gudang (divre dan subdivre) di seluruh provinsi Indonesia, untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan.

2.3.4. Kebijakan Impor

Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan mengurangi tingkat

ketergantungan impor beras Indonesia. Kebijakan impor diimplementasikan

melalui dua instrumen pokok yaitu hambatan tarif dan kuota tarif. Tahun 2000,

pemerintah mengeluarkan kebijakan protektif dengan menetapkan tarif impor

spesifik sebesar Rp 430 per kg (setara dengan ad valorem 30 persen). Kemudian nilai tarif tersebut dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004 menjadi sebesar Rp

450 per kg yang berlaku pada awal tahun 2005.

Tahun 2004 pemerintah mengeluarkan ketentuan impor beras dalam SK

Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004. SK ini menyangkut beberapa ketentuan

penting adalah (1) bahwa impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang

telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP) dan importir

yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Beras (IT Beras) (2)

pelarangan impor selama 1 bulan sebelum panen raya, selama panen raya, dan dua

bulan setelah panen raya (sekitar bulan Januari-Juni) (3) pelaksanaan importisasi

beras oleh IT beras hanya dapat dibongkar di pelabuhan yang tujuan sesuai

dengan persetujuan impor yang diberikan oleh direktorat Jenderal Perdagangan

Luar Negeri dan (4) beras yang diimpor oleh IP beras hanya boleh digunakan

sebagai bahan baku untuk proses industri yang dimilikinya dan dilarang

(18)

18

2.4. Perdagangan Internasional

Indonesia termasuk negara berkembang yang berani dalam mengarahkan

kebijakan perdagangan sesuai dengan tuntutan mekanisme pasar. Indonesia terikat

untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang telah disepakati

dalam perundingan General Agreement on Tariffs and trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO). Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan pengaruh terhadap sistem dan pranata hukum nasional di sektor perdagangan.

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi

terhadap Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing WTO. Indonesia wajib mematuhi semua perjanjian yang ada di dalamnya termasuk perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AOA). Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan liberalisasi perdagangan dunia termasuk produk

pertanian. Perjanjian ini terdapat tiga pilar utama yaitu: (1) akses pasar (Market Access) (2) subsidi domestik (Domestic Support) (3) subsidi export (export Subsidies).

Keikutsertaannya membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal.

Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Keikutsertaan

Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional baik pada global (GATT-WTO)

maupun regional (Asean Free Trade Area, Asia Pacific Economic Cooperation, dan

(19)

19

2.5. ASEAN Free Trade Area (AFTA)

Asean Free Trade Area (AFTA) adalah bentuk dari kerjasama perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk menciptakan situasi

perdagangan yang seimbang dan adil melalui penurunan tarif barang perdagangan

dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk nol sampai dengan lima persen) maupun

hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN.

AFTA disepakati pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura. Awalnya ada

enam negara yang menyepakati AFTA, yaitu: Brunei Darussalam, Indonesia,

Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Vietnam bergabung dalam AFTA tahun

1995, sedangkan Laos dan Myanmar pada tahun 1997 kemudian Kamboja pada tahun

1999.

Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara

ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk

menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Dalam

kesepakatan, AFTA direncanakan beroperasi penuh pada tahun 2008 namun dalam

perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003.

Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema “Common Effective Preferential Tariff”(CEPT) yang bertujuan agar barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan setidak-tidaknya

40 persen kandungan lokal akan dikenai tarif hanya nol sampai dengan lima

persen. Anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPT dalam tiga

kategori :

1. Pengecualian sementara

(20)

20 3. Pengecualian umum lainnya (Sekretariat ASEAN, 2004)

Pada kategori pertama, pengecualian bersifat sementara karena pada

akhirnya diharapkan akan memenuhi standar yang ditargetkan, yakni nol sampai

dengan lima persen. Adapun untuk produk pertanian sensitif akan diundur sampai

2010. Dapat disimpulkan, paling lambat 2015 semua tarif di antara negara

ASEAN diharapkan mencapai titik nol persen.

AFTA dicanangkan dengan instrumen CEPT, yang diperkenalkan pada

Januari 1993. ASEAN pada 2002, mengemukakan bahwa komitmen utama di

bawah CEPT-AFTA hingga saat ini meliputi empat program, yaitu :

1. Program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di antara

negara ASEAN hingga mencapai nol sampai dengan lima persen.

2. Penghapusan hambatan-hambatan kuantitatif (quantitative restrictions) dan hambatan-hambatan non-tarif (non-tariff barriers).

3. Mendorong kerjasama untuk mengembangkan fasilitasi perdagangan

terutama di bidang bea masuk serta standar dan kualitas.

4. Penetapan kandungan lokal sebesar 40 persen.

2.5.1. Common Effective Preferential Tarif (CEPT)

Common Effective Preferential Tarif (CEPT) dalam kerangka kesepakatan AFTA adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan

non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN. Maka dalam

melakukan pedagangan sesama anggota biaya operasional mampu ditekan

sehingga akan menguntungkan. Ada empat klasifikasi produk yang termasuk

(21)

21 1. Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria

sebagai berikut :

a. Jadwal penurunan tarif

b. Tidak ada pembatasan kuantitatif

c. Hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu lima tahun.

2. General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan

keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia,

binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis.

Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).

3. Temporary Exclusions List (TEL). yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk

TEL barang manufaktur harus dimasukkan ke dalam IL paling lambat 1 Januari

2002. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari

negara anggaota ASEAN lainnya. Produk dalam TEL tidak ada hubungannya sama

sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions. 4. Sensitive List, yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan

(Unprocessed Agricultural Products = UAP).

a. Produk-produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan

(22)

22 b. Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk

asalnya.

Produk dalam SL harus dimasukkan kedalam CEPT dengan jangka waktu untuk

masing-masing negara sebagai berikut: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,

Filipina, dan Thailand tahun 2003; Vietnam tahun 2013; Laos dan Myanmar tahun

2015; Kamboja tahun 2017. Negara anggota juga menyetujui untuk membagi produk

kategori sensitif menjadi (1) sensitif, dan (2) sangat sensitif. Indonesia memasukkan

beras dan gula pasir sebagai produk yang sangat sensitif (highly sensitive). CEPT-AFTA untuk komoditas beras secara ringkas diuraikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Common Effective Preferential Tarif for Asean Free Trade Area (CEPT- AFTA) untuk Komoditas Beras

CC AHTN 2007 DESCRIPTION

OF GOODS Status

MFN Tariff

Indicative CEPT Rates

2008 2009 2010

10.06 Rice.

ID 1006.10.00.00 Rice in the husk

(paddy or rough) HSL

Rp

450/kg 30 30 30

1006.20 Husked (brown) rice :

ID 1006.20.10.00 Thai Hom Mali

rice HSL

Rp

450/kg 30 30 30

ID 1006.20.90.00 Other HSL Rp

450/kg 30 30 30

1006.30 Fragrant rice ID 1006.30.15.00 Thai Hom Mali

rice HSL

Rp

450/kg 30 30 30

ID 1006.30.19.00 Other HSL Rp

450/kg 30 30 30

ID 1006.30.20.00 Parboiled rice HSL Rp

450/kg 30 30 30

ID 1006.30.30.00 Glutinous rice

(pulot) HSL

Rp

450/kg 30 30 30

ID 1006.30.90.00 Other HSL Rp

450/kg 30 30 30

ID 1006.40.00.00 Broken Rice HSL Rp

450/kg 30 30 30

(23)

23

2.6. Penelitian Terdahulu

Menurut Widya (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan

penawaran beras di Indonesia, yaitu (1) permintaan beras secara nyata dipengaruhi

oleh harga riil beras Indonesia, jumlah penduduk, dan permintaan bertas sebelumnya;

(2) penawaran beras dipengaruhi oleh produksi beras, jumlah impor beras, stok beras,

dan stok beras tahun sebelumnya; (3) harga riil gabah tingkat petani secara nyata

dipengaruhi oleh harga riil pemebelian pemerintah, produksi padi, dan harga riil gabah

tingkat petani tahun sebelumnya, dan (4) harga riil beras Indonesia secara nyata

dipengaruhi oleh harga riil pembelian pemerintah. Beberapa alternatif kebijakan

pemerintah dalam penelitian, pemerintah sebaiknya tetap menerapkan kebijakan

subsidi pupuk, meningkatkan harga pembelian terhadap harga gabah dan beras,

mendorong peningkatkan produksi beras melalui program intensifikasi.

Andriana (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa jumlah

penawaran impor beras dunia terhadap Indonesia semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya produksi beras dunia. Peningkatan tersebut dikarenakan dukungan

pemerintah negara eksportir pada petani melalui pemberian insentif untuk

meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Selain itu harga beras impor relatif lebih

murah dibanding dengan harga beras domestik. Jumlah impor beras Indonesia

cenderung menurun karena adanya peningkatan produksi dalam negeri dan

menurunnya konsumsi beras per kapita.

Beberapa kebijakan pemerintah sudah dilakukan untuk melindungi petani

maupun konsumen beras. Namun, kebijakan pemerintah untuk melindungi petani

maupun konsumen belum berjalan dengan efektif, karena Harga Pembelian

(24)

24 Situmorang (2005) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia menunjukan jumlah penggunaan

urea dan lag produktivitas berpengaruh nyata terhadap produktivitas. Jumlah impor

beras Indonesia dipengaruhi oleh harga impor beras, produksi beras, jumlah penduduk,

nilai tukar rupiah terhadap dollar dan lag impor beras Indonesia. Variabel harga beras

yang berpengaruh nyata terhadap jumlah impor beras Indonesia. Harga impor beras

Indonesia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor. Semua

variabel berpengaruh nyata terhadap harga beras impor Indonesia kecuali variabel tarif

impor.

Sitepu (2002) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan ekonomi dan

liberalisasi perdagangan terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia

menunjukan bahwa respon produksi terhadap harga inelastis, baik jangka panjang

maupun jangka pendek. Hal ini menunjukan bahwa harga bukanlah faktor utama

dalam peningkatan produksi, karena luas areal panen dan produktivitas padi sudah

mendekati batas maksimum. Permintaan beras untuk konsumsi dipengaruhi nyata oleh

perubahan harga beras eceran dan harga jagung, namun respon inelastis artinya

perubahan harga beras dan harga jagung hanya berdampak kecil pada permintaan

beras. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan beras adalah besarnya jumlah

penduduk Indonesia, responnya inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam

jangka panjang.

2.4. Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki kesamaan dan juga kebaruan dibandingkan

penelitian Widya (2011), Adriana (2007), Situmorang (2005), dan Sitepu (2002).

(25)

25 metode analisis datanya dengan menggunakan persamaan simultan, lokasi

penelitian di Indonesia, dan sama-sama mengunakan software analisis data aplikasi SAS, sedangkan perbedaannya terletak pada jumlah persamaan

simultannya dimana dalam penelitian ini persamaan dan variabel yang digunakan

lebih banyak. Selain itu perbedaan terletak pada tahun penelitian, jumlah

persamaan model, dan simulasi. Tahun penelitian ini periode 1980 sampai 2009,

sedangkan tahun penelitian Widya (2011) periode 1971 sampai 2008. Model yang

digunakan dalam penelitian ini lebih banyak yaitu 11 persamaan, sedangkan

Widya (2011) memiliki 10 persamaan. Simulasi model yang digunakan dalam

penelitian ini tentang dampak AFTA, sedangkan penelitian Widya (2011) simulasi

model tentang kebijakan pemerintah.

Penelitian ini juga memiliki kesamaan dengan penelitian Adriana (2007)

yaitu sama-sama membahas permintaan dan penawaran beras Indonesia dan

lokasi penelitian di Indonesia. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian

Adriana (2007) adalah dalam hal metode analisis. Penelitian Adriana (2007)

hanya menggunakan metode analisis data secara kualitatif, sedangkan dalam

penilitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Situmorang (2005) dalam

komoditas beras dan lokasi penelitian di Indonesia, sedangkan perbedaannya

ditunjukkan oleh tahun penelitian dan software yang digunakan untuk mengolah datanya. Tahun penelitian ini periode 1980-2009, sedangkan tahun penelitian

Situmorang (2005) periode 1980-2003. Selain itu perbedaannya terletak pada

(26)

26 Penelitian ini memiliki persamaan dengan Sitepu (2002) dalam

penggunaan metode analisis datanya dengan menggunakan persamaan simultan,

sama-sama membahas perdagangan beras dan lokasi penelitian di Indonesia.

Perbedaannya penelitian ini dengan Sitepu (2002) adalah jumlah persamaan

simultan yang digunakan Sitepu (2002) lebih banyak daripada penelitian ini.

Selain itu perbedaannya terletak pada simulasinya.

Penelitian terdahulu menjadi masukan untuk kesempurnaan penelitian ini.

Tabel 11 berikut menunjukkan persamaan dan perbedaan antara penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya.

Tabel 11. Persamaan dan Perbedaan Penelitian “Analisis Dampak Skema CEPT-AFTA’’ terhadap Kesejahteraan Produsen Padi di Indonesia Penelitian Sebelumnya Persamaan Perbedaan

Widya (2011) 1.Metode Analisis 1.Jumlah Persamaan Simultan 2.Software Analisis Data 2.Tahun Penelitian

3.Lokasi Penelitian 3.Simulasi Model Adriana (2007) 1.Komoditas Beras 1.Tahun Penelitian

2.Lokasi Penelitian 2.Metode Analisis Data Situmorang (2005) 1.Lokasi Penelitian 1.Tahun Penelitian

2.Komoditas Beras 2.Software Analisis Data Sitepu (2002) 1.Metode Analisis Data 1.Jumlah Persamaan Simultan

(27)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Komponen utama pasar beras mencakup kegiatan produksi dan konsumsi.

Penelitian ini menggunakan persamaan simultan karena memiliki lebih dari satu

variabel endogen. Berikut ini dipaparkan teori dari fungsi produksi dan penawaran,

fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen.

3.1.1. Fungsi Produksi dan Penawaran

Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam

transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan antara input dengan output (Doll dan Orazem, 1984). Secara umum hubungan antara

input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditas pertanian (Y) secara

matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = f (X1, X2, X3, X4) ……….(γ.1)

Y = Output (Kg/Ha)

X1 = Luas areal produksi (Ha)

X2 = Modal (Rp/Ha)

X3 = Tenaga Kerja (HOK/Ha) X4 = Faktor produksi lainnya

Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada

tingkat produksi optimal dengan tingkat harga tertentu. Produksi optimal harus

memenuhi syarat FOC (First Order Condition) dan SOC (Second Order Condition). Syarat pertama yang harus dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi

keuntungan sama dengan nol, yang berarti nilai produk marginal faktor produksi sama

dengan harga faktornya, sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu, jika

produksinya cembung, dan nilai determinan Hessian lebih besar dari nol. Jika

(28)

28

Y= f ( A, P, L) ………...(γ.β)

Keterangan :

Y= Produksi padi (Ton) A= Luas areal produksi (Ha) P= Jumlah pupuk (Kg/Ha) L= Tenaga kerja (HOK/Ha)

Sehingga fungsi keuntungan produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut :

π = HY * f (A, P, L) – HA * A – HP * P – HL * L ………(3.3)

Keterangan :

π = Keuntungan (Rp) HY = Harga output (Rp/Kg) HA = Harga sewa lahan (Rp/Ha) HP = Harga pupuk (Rp/Kg)

HL = Upah tenaga kerja (Rp/HOK)

Fungsi keuntungan maksimum diperoleh jika turunan pertama dari fungsi keuntungan

sama dengan nol dengan turunan keduanya mempunyai nilai Hessian Determinan

lebih besar dari nol. Dengan melakukan prosedur penurunan secara matematis dari

persamaan 3.3 maka diperoleh:

………....(3.4)

………...(3.5)

……….(3.6) Dimana , , dan

adalah produk marginal dari masing-masing faktor produksi.

Keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga

faktor produksi terhadap harga produk (gabah). Dari persamaan 3.4, 3.5, dan 3.6

fungsi permintaan faktor produksi oleh petani dirumuskan sebagai berikut :

A = g (HA, HY, HL, HP) ………..(3.7)

(29)

29

L = i (HL, HY, HA, HP) ………(3.9)

Persamaan 3.7, 3.8, dan 3.9 disubstitusikan ke persamaan 3.2 maka diperoleh

fungsi penawaran padi sebagai berikut :

Qs = qs(HY, HA, HP, HL) ………..(γ.10)

Menurut Dolan (1974), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu

komoditas, yaitu harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain (sebagai

substitusinya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat

teknologi, pajak, subsidi, harapan harga, dan keadaan alam.

3.1.2. Fungsi Permintaan

Secara umum, fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang diturunkan

dari fungsi utilitas konsumen. Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah :

U = u (Cb, Cn) ……….(3.11)

Dimana U adalah total utilitas konsumen dari konsumsi beras (Cb) dan komoditas lain

(Cn). Konsumen yang rasional akan berupaya memaksimumkan utilitas pada tingkat

harga yang berlaku dan sesuai dengan kendala pendapatan (I).

Pb * Cb + Pn * Cn = I………(3.12)

atau Pb * Cb + Pn * Cn – I = 0

dimana Pb adalah harga beras dan Pn adalah harga komoditas lain. Dengan pendekatan

Lagrangian Multipliers, persoalan maksimisasi berkendala di atas dapat dinyatakan

sebagai berikut :

Maksimum : U = u (Cb, Cn)

Kendala : Pb * Cb + Pn * Cn = I

Fungsi komposit berupa gabungan dari kedua fungsi di atas atau disebut

(30)

30 U = u (Cb, Cn) + (Pb * Cb + Pn * Cn – I) ………....(3.13)

Dimana persamaan 3.13 adalah lagrange Multiplier, jika syarat pertama dan kedua

terpenuhi maka fungsi utilitas dapat dirumuskan sebagai berikut :

⁄ ………...(3.14)

⁄ ………...(3.15)

⁄ ( – ) ………..(3.16)

Dari persamaan (3.14), (3.15), dan (3.16) di atas diperoleh :

⁄ ……….(3.17)

⁄ ……….(γ.18)

……….(γ.19)

Sedangkan ⁄ dan ⁄ maka :

λ = MUb/Pb = MUn/Pn ………...(γ.β0)

dan MUb/MUn = Pb/Pn = MRSs,n………(γ.β1)

yang merupakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi dimana

rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditas, yaitu sebesar

koefisien pengganda Lagrangian (λ).

Penyelesaian Pb dan Pn pada persamaan (3.21) dan kemudian substitusikan ke

dalam persamaan (3.19), maka dapat diperoleh fungsi permintaan terhadap

beras, yaitu :

(31)

31 yang menyatakan bahwa konsumsi atau permintaan konsumen terhadap beras

ditentukan oleh harga beras itu sendiri, harga komoditas alternatif, dan pendapatan

konsumen.

Dengan asumsi permintaan tersebut bersifat dinamis maka elastisitas

permintaan beras terhadap harga beras, harga komoditas lain, dan terhadap pendapatan

dapat dihitung, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Dolan,

(1974) permintaan suatu barang dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang

lain, selera, pendapatan, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, dan harapan harga.

3.1.3. Model Persamaan Simultan

Menurut Gujarati (1978) sistem persamaan simultan dapat memberikan

gambaran yang lebih baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan

tunggal. Hal ini disebabkan karena peubah-peubah dalam persamaan satu dengan

lainnya dalam model dapat berinteraksi satu sama lain. Persamaan simultan tidak

hanya memiliki satu persamaan yang menghubungkan antara satu variabel endogen

tunggal dengan sejumlah variabel eksogen non stokastik atau didistribusikan secara

bebas dari unsur gangguan stokastik. Suatu ciri unik dari persamaan simultan adalah

variabel endogen dari satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel yang

menjelaskan (eksogen) dalam persamaan lain dari sistem. Bentuk umum dari

persamaan simultan dapat dirumuskan sebagai berikut :

Y1i= 10+ 12 Y2i+ 11 X1i + u1i ………..(3.23)

Y2i= 20+ 21 Y1i+ 21 X1i + u2i ………..(3.24)

Dimana Y1 dan Y2 merupakan variabel yang saling bergantung, atau bersifat endogen,

dan Xt merupakan variabel yang bersifat eksogen, dimana u1 dan u2 adalah unsur

(32)

32 yang akan digunakan berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk mendapatkan

faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia.

3.1.4. Elastisitas

Konsep elastisitas digunakan untuk mendapatkan nilai kuantitatif dari respon

suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model yang dinamis

dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun rumus untuk

mendapatkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut :

Elastisitas Jangka Pendek (ESR)

…….………..(3.25)

Elastisitas Jangka Panjang (ELR)

………....(3.26)

Keterangan :

b = Parameter dugaan dari peubah eksogen blag = Parameter dugaan dari lag endogen

= rata-rata peubah eksogen

= rata-rata peubah endogen (mean predicted hasil validasi model)

3.1.5. Surplus Produsen

Kebijakan harga dasar untuk melindungi produsen dan harga batas tertinggi

dilakukan untuk melindungi konsumen sementara dalam hal perdagangan dunia,

pemerintah dapat melindungi produsen maupun konsumen domestik berupa kebijakan

tarif, dan kuota. Dampak yang ditimbulkan dapat diketahui dengan menggunakan

pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), yaitu dengan konsep pengukuran surplus konsumen (consumer’s surplus) dan surplus produsen (producer’s

(33)

33 Surplus konsumen dapat didefinisikan dengan kesedian membayar dikurangi

jumlah yang sebenarnya dibayarkan konsumen untuk mempeoleh suatu komoditas.

Adapun surplus produsen adalah jumlah pembayaran yang diterima penjual dikurangi

biaya dalam memproduksi suatu komoditas (Mankiw, 2000).

Menurut Vesdapunt (1984) menyatakan ada tiga dasar yang penting dalam

penggunaan surplus produsen dan surplus konsumen untuk mengukur kesejahteraan

yaitu : (1) permintaan merupakan refleksi dari keinginan untuk membayar, (2)

penawaran merupakan refleksi dari biaya marginal (marginal cost) dan (3) perubahan pendapatan individu bersifat penambahan (additive). Secara matematis, surplus produsen diukur dengan mengintegralkan fungsi penawaran (Chiang, 1984).

∫ ...……….(3.27)

dimana :

QS = Fungsi Penawaran

PS = Surplus produsen (Rp) Pe = Harga keseimbangan (Rp)

Pm = Harga pada perpotongan kurva penawaran dengan sumbu harga

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kerangka pemikiran operasional secara ringkas disajikan pada Gambar 1.

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya bermata pencaharian

di sektor pertanian. Sektor pertanian bagi Indonesia merupakan salah satu faktor

penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Beras merupakan

komoditas pertanian yang memiliki peran strategis karena menjadi makanan pokok

bagi 90 persen rakyat Indonesia. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan

kebutuhan beras nasional mendorong usaha pemerintah untuk terus meningkatkan

(34)

34 Guna memenuhi kebutuhan beras dalam negeri maka pemerintah melakukan

impor beras. Beras merupakan komoditas pertanian yang termasuk ke dalam

perdagangan Asean Free Trade Area (AFTA). Perdagangan bebas AFTA yang sudah diterapkan saat ini mempengaruhi penjualan beras domestik karena harus bersaing

dengan beras impor dari negara-negara ASEAN seperti beras dari Thailand dan

Vietnam. Melihat perkembangan produksi, konsumsi, dan perdagangan beras, maka

perlu dilakukan penelitian mengenai dampak kebijakan AFTA terhadap permintaan

(35)

35

Beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia

Pertambahan jumlah penduduk

à

peningkatan

kebutuhan beras

Impor beras meningkat disertai implementasi AFTA

Permintaan dan penawaran beras di Indonesia

Analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi permintaan dan penawaran

beras di Indonesia

à

Model Persamaan

Simultan

Menganalisis dampak perubahan variabel

eksogen terhadap variabel endogen

dengan simulasi

à

Analisis Simulasi

Rekomendasi Kebijakan

Keterangan :

= Hubungan satu arah = Respon Positif

[image:35.595.102.499.74.760.2]

Sumber : Peneliti, 2011

(36)

36 Permintaan dan penawaran atas suatu komoditas produk berkaitan erat dengan

perkembangan harga komoditas tersebut. Menurut teori ekonomi, apabila penawaran

meningkat maka harga akan turun dan jika penawaran turun maka harga akan naik.

Adapun jumlah yang diminta akan meningkat jika harga turun dan jumlah yang

diminta akan menurun jika harga naik. Guna menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia, serta mengevaluasi

dampak AFTA terhadap kesejahteraan petani padi di Indonesia dengan menggunakan

salah satu model ekonometrika yaitu model persamaan simultan. Model persamaan

simultan tersebut kemudian diestimasi dan divalidasi.

Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model

tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi terhadap variabel endogen dan

eksogen. Simulasi ini betujuan untuk melihat adanya perubahan variabel yang

(37)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah

Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia dan

mengevaluasi dampak Asean Free Trade Area (AFTA) terhadap kesejahteraan petani padi di Indonesia.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder

dengan rentang waktu (data time series) dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2009. Adapun data sekunder yang digunakan adalah data luas areal panen padi,

produktivitas padi, produksi padi, harga gabah tingkat petani, harga jagung tingkat

petani, harga beras Thailand broken 5 persen, harga beras Thailand broken 25

persen, harga beras eceran tingkat konsumen, harga pembelian pemerintah

terhadap gabah, harga pupuk urea, indeks harga konsumen, nilai tukar rupiah

terhadap dollar, GDP Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, curah hujan, total

kredit usahatani, stok beras, jumlah impor beras, dan tarif impor. Data sekunder

diperoleh melalui pengumpulan data dari Badan Pusat Statistik Republik

Indonesia (BPS-RI), Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan, dan Badan

Urusan Logistik (BULOG). Selain itu, referensi diambil juga dari jurnal-jurnal,

internet, dan perpusatakaan IPB.

4.3. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kuantitatif dan

(38)

38 model yang terkait erat dengan tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan

model ekonometrika untuk menjawab tujuan penelitian, yaitu model sistem

persamaan simultan. Model ekonometrika dalam penelitian ini terdiri dari 11

persamaan simultan yang terdiri dari tujuh persaman struktural (luas areal panen

padi, produktivitas padi, harga riil gabah tingkat petani, permintaan beras, harga

riil beras Indonesia, harga riil beras impor Indonesia, dan jumlah impor beras

Indonesia) dan empat persamaan identitas (produksi padi, produksi beras,

penawaran beras, pemasaran beras). Data sekunder kemudian dianalisis dengan

menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2010 dan SAS 9.2 untuk mengolah data mentah yang diperoleh dari berbagai sumber.

4.3.1. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap

perkembangan permintaan dan penawaran beras dan dampak AFTA terhadap

kesejahteraan produsen padi di Indonesia. Selain itu, analisis deskriptif juga akan

memberikan penjelasan dari hasil analisis kuantitatif yang telah diolah untuk

melihat seberapa besar pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen.

4.3.2. Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung seberapa besar

faktor-faktor yang telah mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia,

serta dampak AFTA terhadap kesejahteraan produsen padi di Indonesia. Analisis

faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia

tidak bisa diselesaikan dengan model persamaan tunggal, sehingga dalam

penelitian ini menggunakan persamaan simultan yang diselesaikan dengan metode

(39)

39

4.4. Perumusan Model

Guna menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan

penawaran beras di Indonesia, serta mengevaluasi dampak AFTA terhadap

kesejahteraan produsen padi di Indonesia dengan menggunakan salah satu model

ekonometrika yaitu model persamaan simultan. Terdapat empat tahapan dalam

membangun model ekonometrika yaitu: (1) spesifikasi, (2) pendugaan, (3)

evaluasi parameter estimasi, dan (4) evaluasi peramalan model (Koutsoyiannis,

1977). Spesifikasi model merupakan tahapan yang paling penting karena pada

tahap ini model yang digunakan dalam penelitian atas dasar gambaran ekonomi,

teknis, dan kelembagaan dari fenomena ekonomi yang dipelajari ke dalam

hubungan matematik dan statistik.

Tahapan spesfikasi model menurut Koutsoyiannis (1977) meliputi

penentuan (1) variabel dependen dan variabel penjelas yang akan dimasukkan ke

dalam model, (2) harapan teoritis apriori mengenai tanda dan besaran parameter

dari setiap persamaan. Dasar apriori adalah pengetahuan mengenai teori, logika,

dan fakta empiris yang ada dalam hubungan ekonomi antar variabel dependen dan

penjelas (3) bentuk matematis dari model (linier atau non linier, jumlah

persamaan).

Model yang digunakan dalam penelitian ini disebut model permintaan dan

penawaran di Indonesia. Model tersebut terdiri dari atas tujuh persamaan

(40)

40

4.4.1. Luas Areal Panen Padi

Luas areal panen padi merupakan fungsi dari harga riil gabah tingkat

petani, harga riil jagung di tingkat petani, total kredit usahatani, harga riil pupuk

urea t-1, curah hujan, dan luas areal panen padi t-1. Persamaan luas areal panen

padi dirumuskan sebagai berikut :

LAPt = α0+ α1HRGTPt+ α2HRJTPt + α3TKUt + α4LHRPUKt + α5CRAHt

+ α6LLAPt+ ε1………..(4.1)

dimana :

LAPt = Luas areal panen padi tahun ke-t (Ha)

HRGTPt = Harga riil gabah tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)

HRJTPt = Harga riil jagung tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)

TKUt = Total kredit usahatani padi tahun ke-t (Rp)

LHRPUKt = Harga riil pupuk ureatahun ke-t-1 (Rp/Kg)

CRAHt = Curah hujan tahun ke-t (mm/tahun)

LLAPt = Luas areal panen padi tahun ke-t-1 (Ha)

ε1 =Standar error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah α1, α3, α5> 0 ; α2,

α4< 0 ,dan 0 < α6 < 1.

4.4.2. Produktivitas Padi

Produktivitas padi dipengaruhi oleh harga riil gabah di tingkat petani,

perubahan penggunaan pupuk, luas areal irigasi sawah, total kredit usahatani, dan

produktivitas padi t-1. Persamaan produktivitas padi adalah sebagai berikut :

PRDVt = b0 + b1HRGTPt + b2STPPUKt + b3LAIt + b4TKUt + b5LPRDVt

+ ε2 ………(4.2)

dimana :

PRDVt = Produktivitas padi tahun ke-t (Ton/Ha)

HRGTPt = Harga riil gabah tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)

STPPUKt = Perubahan penggunaan pupuk tahun ke-t (Kg/Ha)

LAIt = Luas areal irigasi sawah tahun ke-t (Ha)

TKUt = Total kredit usahatani padi tahun ke-t (Rp)

LPRDVt = Produktivitas padi tahun ke-t-1(Ton/Ha)

ε2 =Standar error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : b1, b2, b3,b4> 0 ;

(41)

41

4.4.3. Produksi Padi

Produksi padi merupakan hasil perkalian antara luas areal panen padi

dengan produktivitas padi. Secara matematis produksi padi dapat dirumuskan

sebagai berikut :

TPPt = LAPt * PRDVt………(4.3)

dimana :

TPPt = Total produksi padi tahun ke-t (Ton)

LAPt = Luas areal panen padi tahun ke-t (Ha)

PRDVt = Produktivitas padi tahun ke-t (Ton/Ha)

4.4.4. Produksi beras

Produksi beras diperoleh dari hasil perkalian antara produksi padi dengan

faktor konversi. Berdasarkan hal tersebut, maka produksi beras dapat dirumuskan

sebagai berikut :

PBt = TPPt * FKt ………(4.4)

dimana :

PBt = Produksi beras tahun ke-t (Ton)

TPPt = Total produksi padi tahun ke-t (Ton)

FKt = Faktor Konversi (0,63)

4.4.5. Harga Riil Gabah Tingkat Petani

Harga riil gabah di tingkat petani merupakan fungsi dari harga riil

pembelian pemerintah, total produksi padi, harga riil beras impor Indonesia dan

harga riil gabah di tingkat petani t-1. Secara matematis harga riil gabah di tingkat

petani dapat dirumuskan sebagai berikut :

HRGTPt = c0 + c1HRPPt + c2TPPt + c3HRIMBt + c4LHRGTPt +ε3…..(4.5)

dimana :

HRGTPt = Harga riil gabah tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)

HRPPt = Harga riil pembelian pemerintah tahun ke-t (Rp/Kg)

(42)

42 HRIMBt = Harga riil beras impor Indonesia tahun ke-t (US$/Ton)

LHRGTPt =Harga riil gabah tingkat petani tahun ke-t-1 (Rp/Kg)

ε3 =Standar error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan yakni : c1, c3> 0 ; c2 < 0

dan 0 < c4< 1.

4.4.6. Permintaan Beras

Menurut Dolan (1974) permintaan terhadap suatu komoditas akan

dipengaruhi oleh harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, selera,

pendapatan, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, dan harapan harga.

Berdasarkan studi ini persamaan permintaan beras dipengaruhi oleh rasio harga

riil beras Indonesia dengan harga riil gandum, pendapatan riil perkapita Indonesia,

jumlah penduduk Indonesia, dan permintaan beras t-1. Secara matematis

persamaan permintaan beras dapat dirumuskan sebagai berikut :

QDBRt = d0 + d1RHBRGDt + d2 PPRIt + d3JPIt + d4LQDBRt+ ε4…..(4.6)

dimana :

QDBRt = Permintaan beras indonesia tahunke-t (Kg)

RHBRGDt = Rasio harga riil beras Indonesia dengan harga riil gandum tahun

ke-t (Rp/Kg)

PPRIt = Pendapatan perkapita riil penduduk Indonesia tahun ke-t (Rp)

JPIt = Jumlah penduduk Indonesia tahun ke-t (Jiwa)

LQDBRt = Permintaan beras tahun ke-t-1 (Ton)

ε4 =Standar error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : d1< 0 ; d2, d3 > 0

dan 0 < d4<1

4.4.7. Penawaran Beras

Penawaran beras merupakan fungsi dari produksi beras, jumlah impor

beras Indonesia, stok beras, dan stok beras t-1. Persamaan penawaran beras dapat

dirumuskan sebagai berikut :

(43)

43 dimana :

QSBRt = Penawaran beras tahun ke-t (Ton)

PBt = Produksi beras tahun ke-t (Ton)

JIMBt = Jumlah impor beras Indonesia tahun ke-t (Ton)

STOKt = Stok beras tahun ke-t (Ton)

LSTOKt = Stok beras tahun ke-t-1 (Ton)

4.4.8. Harga Riil Beras Indonesia

Harga riil beras Indonesia dipengaruhi oleh penawaran beras dan tren

waktu. Persamaan harga riil beras Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

HRBERt = e0 + e1QSBRt + e2TRENt + ε5………..(4.8)

dimana :

HRBERt = Harga riil beras Indonesia tahun ke-t (Rp/Kg)

QSBRt = Penawaran beras tahun ke-t (Ton)

TRENt = Tren waktu

ε5 =Standar error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : e1< 0 dan e2 > 0

4.4.9. Harga Riil Beras Impor Indonesia

Harga riil beras impor dipengaruhi oleh harga riil beras dunia, tarif impor

nilai tukar riil, tren waktu, dan harga riil beras impor Indonesia t-1. Secara

matematis harga riil beras impor Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

HRIMBt = f0 + f1HRBDt + f2TRIFt + f3EXCTt + f4TRENt + f5LHRIMBt

+ ε6………...(4.9)

dimana :

HRIMBt = Harga riil beras impor Indonesia tahun ke-t (US$/Ton)

HRBDt = Harga riil beras dunia tahun ke-t (US$/Ton)

TRIFt = Tarif impor beras tahun ke-t (Rp/Kg)

EXCTt = Nilai tukar riil (Rp/US$)

TRENt = Tren waktu

LHRIMBt = Harga riil beras impor Indonesia tahun ke-t-1 (US$/Ton)

ε6 =Standar error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : f1,f2 > 0; f3,f4 < 0,

(44)

44

4.4.10. Jumlah Impor Beras Indonesia

Model jumlah impor beras Indonesia merupakan fungsi dari harga riil

beras impor Indonesia, nilai tukar riil, stok beras t-1, jumlah penduduk Indonesia

dan jumlah impor beras Indonesia t-1. Fungsi dari persamaan jumlah impor beras

Indonesia adalah sebagai berikut :

JIMBt = g0 + g1HRIMBt + g2EXCTt + g3LSTOKt + g4JPIt +

g5LJIMBt + ε7 ………..(4.10)

dimana :

JIMBt = Jumlah impor beras Indonesia tahun ke-t (Ton)

HRIMBt = Harga riil beras impor Indonesia tahun ke-t (US$/Ton)

EXCTt = Nilai tukar riil tahun ke-t (Rp/US$)

LSTOKt = Stok beras tahun ke-t-1 (Ton)

JPIt = Jumlah penduduk Indonesia tahunke-t (Jiwa)

LJIMBt = Jumlah impor beras Indonesia tahun ke-t-1 (Ton)

ε7 =Standar error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang

Gambar

Tabel 5. Konsumsi Beberapa Macam Bahan Makanan di Indonesia Tahun 2007-
Tabel 6. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras di Indonesia Tahun 2005-2009
Tabel 9. Perkembangan Kebijakan Peningkatan Produksi Padi dan Paket
Tabel  10. Common Effective Preferential Tarif for Asean Free Trade Area (CEPT-
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia sebagai negara anggota ASEAN bekerjasama dengan China adalah karena Indonesia melihat China memiliki potensi yang besar dengan jumlah penduduk yang besar dan

Untuk lebih memperjelas hasil analisis uji statistik volume dan harga ekspor karet alam bentuk smoked sheet Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA (ASEAN- China Free Trade Area) ke

Dalam Walpole (1997) untuk melihat apakah ada perbedaan nyata volume impor jeruk, harga jeruk impor, volume ekspor jeruk, harga jeruk ekspor dan harga jeruk

Maka untuk memenuhi permintaan akan buah apel di Sumatera Utara dilakukanlah impor buah apel dari negara-negara penghasil buah apel contohnya Amerika dan China karena di

Data pendukung yang digunakan meliputi data luas areal panen, produksi padi, harga riil gabah tingkat petani, stok beras akhir tahun, impor beras Indonesia, produktivitas padi,

(ASEAN China Free Trade Area) terhadap volume dan harga karet alam bentuk. smoked sheet ekspor Indonesia dengan menganalisis data sebelum

Bagaimana harga karet alam bentuk smoked sheet ekspor Indonesia ke negara China sebelum dan sesudah adanya ACFTA (ASEAN-China Free

(2) Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada volumer jeruk ekspor Sumatera Utara dan harga jeruk ekspor sebelum dan sesudah CAFTA ( China ASEAN Free Trade Area).. Terdapat