• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Kotamadya Jakarta Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Kotamadya Jakarta Timur)"

Copied!
359
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN SOSIAL PARTISIPATIF

DALAM PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN

BERBASIS MASYARAKAT

(STUDI KASUS DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR)

NONON SARIBANON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :

PERENCANAAN SOSIAL PARTISIPATIF DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

PERMUKIMAN BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KOTAMADYA

JAKARTA TIMUR)

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akahir disertasi ini.

Bogor, 28 Agustus 2007

(3)

ABSTRACT

SOCIAL PLANNING ON COMMUNITY-BASED RESIDENTIAL SOLID WASTE MANAGEMENT IN EAST JAKARTA DISTRICT. 2007 (Under a Team of

Supervisors with Endriatmo Soetarto as chairman, Surjono Hadi Sutjahjo, E.

Gumbira Sa’id, and Sumardjo as members)

Residential solid waste is a critical problem in many cities including Jakarta. Community-based management is the most important strategy even when sophisticated treatment such as bio-energy or waste industrial park would be implemented soon, as every waste processing needs separated wastes. Increasing the participation through community-based management is more effective than change people’s perception and behavior on domestic wastes. In some cases, to change community behavior in waste separation and recycling need more than ten years i.e. at Kampong Banjarsari, but with appropriate support system on social planning only took two years i.e. Kampong Rawajati. The implementation constraint of this programme is on replication or expandability of the programme to implemented in another place. There are also lack of government’s significant efforts to push and to support that action. It’s true that some communities develop the same model, but without acceleration and expandable programme, the significance of that effort is very poor. This study tried to ellaborate the appropriate models of a community participation on residential solid waste management based on some methods of analysis. Spatial analyses had been used to determine residential typology and found five residential types i.e. high,middle-high,middle, middle-lower and lower level of residential; and using quantitative analyses to determine typology of community participation, this study found four types of community participation i.e. moral-normative, moral-remunerative, remunerative and calculative-coercive. Qualitative analyses had been used to determine authority or goverment policies typology, especially on strengthening the government institution and limiting the scope of government function. Breaking down from these typology approach, three strategies had been developed, namely community participation strategy, infrastructure development strategy and institutional management strategy. Implementation of these models could accomodate the heterogeneity of communities and give positive impact on social acceptability.

(4)

RINGKASAN

PERENCANAAN SOSIAL PARTISIPATIF DALAM PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR). 2007. (Di bawah bimbingan Endriatmo Soetarto sebagai Ketua, Surjono Hadi Sutjahjo, E. Gumbira Sa’id, dan Sumardjo sebagai Anggota)

Sampah permukiman merupakan salah satu permasalahan kritis di perkotaan, termasuk DKI Jakarta dengan 52,97% dati jumlah beban sampahnya merupakan sampah permukiman. Pengelolaan sampah permukiman berbasis partisipasi masyarakat merupakan strategi yang perlu dipertimbangkan secara lebih sungguh-sungguh, sebab pilihan teknologi apapun dalam pengolahan sampah dapat berjalan efektif dan efisien apabila sampah telah dipilah. Upaya peningkatan partisipasi melalui komunitas di lingkungan permukiman, dinilai lebih mudah dan lebih strategis dibandingkan dengan upaya mengubah persepsi dan perilaku perseorangan dalam mengelola sampah. Kasus di Kampung Banjarsari-Cilandak Barat, Jakarta Selatan misalnya, perubahan perilaku warga dalam memilah dan mendaur ulang sampah tercapai dalam waktu lebih dari sepuluh tahun, sedangkan di Kampung Rawajati-Pancoran, Jakarta Selatan dengan dukungan dan perencanaan yang tepat, perubahan tersebut terjadi hanya dalam waktu dua tahun. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sampah secara mandiri oleh masyarakat kemudian tumbuh secara sporadis, tetapi yang menjadi kendala adalah sulitnya melakukan perluasan dan replikasi kegiatan tersebut di tempat-tempat lain. Di samping itu, upaya pemerintah untuk mendukung perluasan kegiatan tersebut sangat sedikit, sehingga signifikansi kegiatan yang berasal dari inisiatif masyarakat tersebut sangat rendah terhadap pengurangan beban sampah yang harus dibuang ke TPA. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengkaji model yang tepat untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman melalui beberapa pendekatan. Analisis spasial digunakan untuk menetapkan tipologi permukiman dan menghasilkan lima tipe permukiman, yaitu permukiman lapisan atas, menengah atas, menengah, menengah bawan dan bawah. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menentukan tipologi partisipasi masyarakat yang dilihat dari dua aspek, yaitu tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruhnya. Hasil kajian memperlihatkan adanya empat tipe partisipasi, yaitu normatif, moral-remuneratif, kalkulatif-remuneratif dan kalkulatif-koersif. Kondisi pengelolaan sampah saat ini memerlukan upaya penguatan kelembagaan dan pembatasan lingkup fungsi pemerintah daerah untuk mendukung partisipasi masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sampah permukiman perlu bertumpu pada strategi pengembangan infrastruktur, strategi partisipasi komunitas dan strategi pengelolaan kelembagaan. Implementasi ketiga strategi tersebut dapat mengakomodasikan heterogenitas dalam masyarakat serta meningkatkan penerimaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat.

(5)

PERENCANAAN SOSIAL PARTISIPATIF

DALAM PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN

BERBASIS MASYARAKAT

(STUDI KASUS DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR)

NONON SARIBANON

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Kotamadya Jakarta Timur)

Nama : Nonon Saribanon

NRP : P 062024081

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Endriatmo Soetarto, M.A. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MADev. Dr. Ir. Sumardjo, M.S.

Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(7)

PRAKATA

Permasalahan sampah di perkotaan semakin lama semakin membebani, baik lingkungan, masyarakat maupun pemerintah kota. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau Sanitary Landfill yang selama ini menjadi tumpuan pemerintah DKI Jakarta dalam mengelola sampah, semakin menjadi pilihan yang sulit dan mahal, sebab lahan di DKI Jakarta sangat terbatas dan berbagai dampak timbul dalam operasionalisasinya, termasuk dampak sosial. Untuk itu, peran serta masyarakat perlu ditingkatkan, sebab dalam jangka panjang konsep inilah yang paling efektif dalam menunjang keberhasilan pengelolaan sampah secara terpadu.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari pola partisipasi yang sesuai dengan tipologi permukiman di perkotaan. Pola partisipasi masyarakat tersebut tidak terlepas dari bagaimana persepsi, sikap dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi, sikap, perilaku dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman, dan setiap tipe permukiman menunjukkan pola partisipasi yang berbeda. Untuk itu, perlu disusun strategi dan mekanisme perencanaan sosial partisipatif yang tepat, sehingga partisipasi masyarakat dapat optimal dalam mendukung pengelolaan sampah berbasis masyarakat di DKI Jakarta.

(8)

Universitas Nasional beserta staf, Dekan Fakultas Pertanian UNAS beserta staf, Kepala PPM UNAS beserta staf, jajaran Dinas Kebersihan DKI Jakarta dan para pakar yang telah membantu penyelesaian disertasi ini, serta rekan-rekan mahasiswa S3 PSL Angkatan 2003 dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dorongan sampai saat ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada suami tercinta, Ir. Rubyawan, MM yang telah memberikan motivasi, dukungan, kasih sayang dan do’a yang sangat berarti, serta putra-putri penulis Milla Aghnia dan Fadhli Razzaq yang telah memberikan pengertian atas sedikit waktu yang harus dikorbankan ibunda mereka untuk mencari ilmu. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis Alm. Isman Suwarman dan Almh. Yetty Supriyanti, Bapak dan Ibu mertua serta keluarga besar penulis, yang telah memberikan dukungan serta do’a yang tidak pernah putus. Di atas segalanya, puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadlirat Allah SWT atas segala karunia yang tidak terhitung yang telah diberikan-Nya, semoga seluruh upaya ini dapat menjadi amal baik.

Dalam kesempatan ini pula penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang dapat memperbaiki disertasi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pelaksanaan pengelolaan sampah permukiman di perkotaan, khususnya DKI Jakarta.

Bogor, Agustus 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 31 Mei 1966 sebagai anak sulung dari pasangan Isman Suwarman dan Yetty Supriyanti. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SDN 5 Ciateul Bandung pada tahun 1979, pendidikan menengah di SMPN 5 Bandung diselesaikan pada tahun 1982 dan SMAN 3 Bandung diselesaikan pada tahun 1985. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian UNPAD, lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1992 penulis diterima di Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana UI dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2002 semester genap, dan memulai perkuliahan pada semester ganjil 2003 setelah cuti satu semester. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (BPPS), Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

(10)

iv

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 6

1.3. Kerangka Pemikiran Konseptual... 6

1.4. Perumusan Masalah ... 12

1.5. Hipotesis ... 12

1.6. Novelty ... 13

1.7. Definisi Operasional ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA... 15

2.1. Permasalahan Sampah Perkotaan ... 15

2.2. Pengelolaan Sampah Perkotaan di DKI Jakarta... 19

2.3. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat... 24

2.4. Partisipasi Masyarakat... 29

2.5. Corporate Social Responsibility sebagai Model Pengembangan Masyarakat ... 31

2.6. Partisipasi dan Kekuasaan... 33

2.7. Aspek Perencanaan Sosial dalamPengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ... 35

2.8. Model Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ... 37

III. METODE PENELITIAN ... 39

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

3.2. Pendekatan Penelitian ... 40

3.3. Kajian Tipologi Permukiman ... 41

3.3.1. Penggunaan Sistem Informasi Geografi dalam Penetapan Tipologi Kawasan... 41

3.3.2. Luas Bangunan ... 43

(11)

v

Halaman

3.3.4. Keteraturan Kawasan dan Kepadatan Ruang... 45

3.3.5. Aspek Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah... 45

3.4. Kajian Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi Masyarakat ... 48

3.4.1. Penelitian Kuantitatif ... 48

3.4.2. Penelitian Kualitatif... 52

3.5. Perumusan Pola Partisipasi, Strategi dan Mekanisme Perenca- naan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman 54 3.6. Organisasi Penulisan ... 57

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 60

4.1. Kelurahan Pondok Kelapa ... 62

4.2. Kelurahan Kramat Jati... 62

4.3. Kelurahan Cibubur ... 63

4.4. Pengelolaan Sampah Permukiman di Wilayah Jakarta Timur ... 65

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 73

5.1. Tipologi Permukiman sebagai Dasar Implementasi Pengelolaan Sampah berbasis Masyarakat ... 73

5.1.1. Tipologi Permukiman berdasarkan Luas bangunan ... 74

5.1.2. Tipologi Permukiman Berdasarkan Keteraturan Kawasan dan Kepadatan Ruang ... 78

5.1.3. Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah ... 80

5.1.4. Tipologi Permukiman berdasarkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah ... 85

5.1.5. Tipologi Permukiman berdasarkan Seluruh Parameter . 88 5.2. Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ... 99

5.3. Studi Kasus Beberapa Kegiatan Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta ... 104

(12)

vi

5.5. Strategi Perencanaan Sosial dalam Pengelolaan Sampah

Permukiman berbasis Masyarakat ... 117

5.5.1. Tipologi Otoritas dalam Pengelolaan Sampah berbasis Masyarakat ... ... 116

5.5.2. Strategi Pengembangan Infrastruktur ... 121

5.5.3. Strategi Partisipasi Komunitas ... 123

5.5.4. Strategi Pengelolaan Kelembagaan ... 128

5.6. Pemodelan Implementasi Strategi Pengelolaan Sampah berbasis Masyarakat ... 134

5.6.1. Validasi Model ... 137

5.6.2. Analisis Kecenderungan Sistem ... 139

5.6.3. Analisis Sensitivitas Model ... 142

5.7. Mekanisme Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat ... 143

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 152

6.1. Kesimpulan ... 152

6.2. Saran... 153

DAFTAR PUSTAKA... 154

(13)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Persentase Komposisi Sampah DKI Jakarta (%)... 20

2. Jumlah Lokasi Pengumpulan Sampah Sementara di DKI Jakarta ... 21

3. Kaitan Pelancaran Pengaruh (Kekuasaan) dengan Sifat Keterlibatan (Etzioni, 1964)... 34

4. Luas Lahan Perumahan, Jumlah Kepala Keluarga (KK) dan Jumlah Rumah di DKI Jakarta (2001) ... 39

5. Faktor Analisis dalam Penentuan Tipologi Permukiman ... 43

6. Klasifikasi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan... 44

7. Klasifikasi Infrastruktur Pengelolaan Sampah Permukiman ... 44

8. Klasifikasi Keteraturan Kawasan dan Kepadatan Ruang Permukiman ... 45

9. Klasifikasi Tingkat Restribusi Sampah di Kawasan Permukiman ... 46

10. Klasifikasi Tipe Partisipasi Masyarakat di Kawasan Permukinan ... 46

11. Struktur Pengambilan sampel Responden... 50

12. Kondisi Umum Perumahan dan Kependudukan di DKI Jakarta ... 60

13. Jumlah Rumah berdasarkan Kondisi Lingkungan Perumahan Menurut Kotamadya di DKI Jakarta ... 61

14. Jumlah Rumah berdasarkan Kualitas Lingkungan Perumahan Menurut Kotamadya di DKI Jakarta ... 61

15. Perkembangan dan Distribusi Penduduk di Kelurahan Pondok Kelapa, Kramat Jati dan Cibubur ... 64

16. Jenis Mata Pencaharian Warga di Kelurahan Pondok Kelapa, Kramat Jati dan Cibubur ... 65

(14)

viii

18. Rentang Nilai dalam Penentuan Tipologi Permukiman ... 93 19. Kendala Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah

Permukiman ... 105 20. Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilahan

Sampah Permukiman ... 105 21. Tipologi Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman

berbasis Masyarakat berdasarkan Tipe Keterlibatan & Pelancaran

Pengaruh pada Beberapa Tipe Permukiman ... 111 22. Tipe Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah

Permukiman ... 112 23. Karakteristik Tipologi Partisipasi ... 114 24. Harapan Masyarakat terhadap Perbaikan Sistem Pengelolaan

Sampah Permukiman ... 122 25. Kesediaan Memilah Sampah dengan Beberapa Pilihan Partisipasi

dalam Penyediaan Sarana Pemilahan ... 127 26. Informasi Pemilahan dan Daur Ulang Sampah dan Ajakan untuk

Memilah yang Diterima Masyarakat ... 129 27. Jenis Aktivitas Pengelolaan Sampah di Permukiman ... 130

28. Pengelola Sampah yang Efektif menurut Pilihan Masyarakat ... 131

29. Gambaran Umum Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Sampah Permukiman ... 134 30. Kecenderungan Pertumbuhan Penduduk dan Peningkatan Beban

(15)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Konseptual Model Partisipatif Pengelolaan

Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat di DKI Jakarta ... 11

2. Mekanisme Pengelolaan Sampah DKI Jakarta

(Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005)... 24 3. Modifikasi dari Asngari (984) pada Proses Terbentuknya Persepsi

Model Literrer (Harihanto, 2001) ... 26 4. Model Hubungan antara Pengetahuan Sikap, Niat dan

Perilaku (Ajzen, 2007)... 28 5. Rancangan Operasi Analisis Tipologi Permukiman di

DKI Jakarta ... 47 6. Jalur Antar Variabel dalam Penelitian Perilaku dan Partisipatif

Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Permukiman di

DKI Jakarta ... 51 7. Tahapan Penelitian Perencanaan Sosial Partisipatif dalam

Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat di

di DKI Jakarta ... 56 8. Perjalanan Sampah Permukiman di Jakarta Timur... 66 9. Potensi Pengomposan Bahan Organik, Daur Ulang Plastik dan

Kertas di DKI Jakarta (2005)... 71 10. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di

Kelurahan Pondok Kelapa ... 74 11. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di

Kelurahan Kramat Jati... 75 12. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di

Kelurahan Cibubur ... 76 13. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di

Kelurahan Pondok Kelapa ... 77 14. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di

Kelurahan Kramat Jati... 78 15. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di

Kelurahan Cibubur ... 79 16. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di

Kelurahan Pondok Kelapa ... 80 17. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di

Kelurahan Kramat Jati... 81 18. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di

(16)

x

19. Infrastruktur dan Mekanisme Pengangkutan Sampah Permukiman di Jakarta Timur ... 83 20. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan

Sampah di Kelurahan Pondok Kelapa ... 84 21. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan

Sampah di Kelurahan Kramat Jati ... 85 22. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan

Sampah di Kelurahan Cibubur ... 87 23. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Pondok Kelapa ... 88

24. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Kramat Jati... 89 25. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Cibubur ... 90 26.Hirarki Nilai Penting dari Faktor Analisis pada Penentuan Tipologi

Permukiman dalam Pengelolaan Sampah ... 92

27. Nilai Penting untuk setiap Parameter dalam Tipologi Permukiman 92

28. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Pondok Kelapa ... 94 29. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Kramat Jati... 95 30. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Cibubur ... 96 31. Permukiman Lapisan Atas di Sekitar Danau RW 011 Cibubur yang

Berdampingan dengan Permukiman Lapisan Menengah di RW 09

Cibubur (Google Earth, 2007) ... 97 32. Permukiman Lapisan Menengah Bawah yang Padat dan Tidak Teratur

di RW 03 Kelurahan Kramat Jati (Google Earth, 2007) ... 98 33. Permukiman Lapisan Menengah Atas di RW 04 Pondok Kelapa

(Google Earth, 2007) ... 99 34. Model Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi dalam Pengelolaan

Sampah Permukiman... 103 35. Sebaran Populasi dalam Tipologi Partisipasi ... 112 36. Perkembangan Jumlah Kader Lingkungan dan Jumlah RT sebagai

Wilayah Binaan Program “Jakarta Green and Clean” ... 116 37. Arah Strategi Pengelolaan Sampah berbasis Masyarakat sesuai

dengan Tipologi Otoritas ... 120 38. Jenis Pemilahan Sampah di Permukiman ... 125 39. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Mengatasi Permasalahan

(17)

xi

Halaman

40. Diagram Alir Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis

Masyarakat ... 135 41. Model PenguranganJumlah Sampah yang Dibuang Ke TPA melalui

Partisipasi Masyarakat ... 137

42. Hubungan antara Jumlah Penduduk dengan Beban Sampah... 138

43. Perbandingan Jumlah Penduduk Hasil Simulasi dengan Data

Empirik ... 140 44. Kecenderungan Jumlah Beban Sampah yang Dibuang Ke TPA dan

yang Dikelola melalui Partisipasi Masyarakat ... 141

45. Kecenderungan Pola Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta ... 143

46. Perubahan Beban Sampah dengan Intervensi Struktural... 144 47. Arah Program Pengelolaan Sampah permukiman berbasis

Masyarakat di DKI Jakarta ... 145 48. Kerangka Penguatan Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan

Sampah Permukiman ... 146 49. Mekanisme Perencanaan Sosial Pengelolaan Sampah

(18)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Proporsi Responden per RW di tiga kelurahan... 161 2. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Parameter dalam Path Analysis 162 3. Pengujian Estimasi Kurva Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta

dengan SPSS (1961-2005) ... 165 4. Uji Validitas Kinerja Hasil Simulasi dengan Uji Statistik Kalman

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Volume sampah di DKI Jakarta pada tahun 2005 mencapai 27.966 meter kubik perhari atau setara dengan 6.000 ton/hari. Data menunjukkan bahwa sampah padat yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang pada tahun 2004 adalah 74,6 persen, sedangkan sisanya dibuang di lokasi-lokasi informal dan tidak terkelola seperti dibuang ke sungai, lahan kosong atau pinggir jalan (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005). Hal tersebut antara lain disebabkan karena Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan, menerapkan sistem pengelolaan sampah dengan bertumpu pada penimbunan sampah di TPA. Oleh karena itu, proses distribusi dan transportasi menjadi penting, padahal Dinas Kebersihan DKI Jakarta hanya memiliki 785 buah truk sampah dari jumlah ideal sebanyak 1.300 buah truk atau sebesar 60,4% (Wardhani, 2004). Selain itu, sistem tersebut juga sangat bergantung pada keberadaan TPA yang semakin banyak tantangannya, mulai dari kapasitas TPA yang tidak sesuai dengan timbulan sampah, kesulitan mencari lahan yang sesuai dan penolakan warga sekitar TPA. Untuk penanganan sampah, Pemerintah DKI Jakarta memberikan subsidi sebesar Rp. 63 Milyar pertahun, sementara hasil pungutan retribusi sampah hanya mencapai Rp. 8 Milyar (Karyono, 2004). Dalam kenyataan empiris, permasalahan sampah telah menjadi wacana sosial yang meluas dan eksesif, baik bagi pemerintah maupun masyarakat.

(20)

mengolah sampah sebanyak 33 persen dari total volume sampah DKI Jakarta. Padahal jumlah tersebut belum termasuk kegiatan daur ulang plastik dan kertas. Salah satu paradigma baru dalam pengelolaan sampah adalah perubahan dalam pendekatan pengelolaan sampah yang semula dianggap

hanya sebagai pusat biaya (cost center) menjadi peluang untuk menghasilkan

energi dari sampah dan produk daur ulang sampah. Pergeseran ke arah paradigma baru dalam pengelolaan sampah tersebut perlu terus dikembangkan, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat. Upaya menumbuhkembangkan industri daur ulang sampah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan konversi sampah menjadi energi listrik, sejalan dengan rencana sepuluh tahun ke depan sistem pengelolaan sampah di DKI Jakarta. Salah satu faktor kunci dalam efektivitas dan efisiensi daur ulang sampah dan pemanfaatan energi dari sampah adalah pemilahan sampah dari sumbernya melalui partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam pengelolaan sampah perlu dikaji ulang, dengan menjadikan partisipasi masyarakat sebagai mainstream dalam kebijakan pengelolaan sampah.

Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan masyarakat terhadap sampah, dari barang negatif menjadi barang positif, sehingga kegiatan pengolahan sampah diminati sebagai salah satu kegiatan ekonomi. Selain itu, partisipasi masyarakat perlu dioptimalkan melalui upaya swakelola sampah oleh masyarakat dalam skala kawasan. Desentralisasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut harus segera dimulai, sebab pemerintah DKI Jakarta tidak dapat lagi bergantung pada pengadaan Tempat Pembuangan Akhir atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPA/TPST) yang umumnya bermasalah, terutama aspek sosial berupa penolakan masyarakat sekitar TPA/TPST (Hadi, 2004). Dalam pengelolaan sampah, Pemerintah DKI Jakarta perlu mengenali efisiensi jangka panjang sebagai paradigma baru dalam manajemen, dan tidak menekankan pada solusi jangka pendek. Konversi sampah secara proaktif tidak hanya berdampak pada efisiensi pengelolaan sampah dalam jangka panjang, tetapi juga bermanfaat positif bagi lingkungan (Gumbira-Sa’id, 2005).

(21)

3

Teknologi atau BPPT (BPPT, 2004). Banyak aspek yang mempengaruhi keberhasilan penerapan teknologi dalam pengelolaan sampah perkotaan, diantaranya adalah pola kebijakan yang sentralistik dan bersifat top-down. Aspek lainnya adalah problem sosial yang muncul dalam bentuk rendahnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap penanganan sampah, meskipun hal tersebut bukan berarti tidak dapat berubah. Problem sosial tersebut muncul lebih karena rendahnya upaya pelibatan masyarakat dan proses internalisasi sejak awal dikembangkannya suatu program. Untuk itu, kajian aspek sosial khususnya perilaku masyarakat berkaitan dengan upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, perlu segera dilakukan, sebab setiap orang pada dasarnya memiliki pemahaman dan pengetahuan tertentu tentang sampah. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang sampah yang sangat beragam, telah menjadi dasar munculnya kesadaran dan perilaku kolektif terhadap sampah. Meskipun demikian, pemahaman, perilaku dan kesadaran masyarakat pada tingkat tertentu dapat diubah untuk tujuan perubahan (Sarwono, 1995). Oleh karena itu, penanganan masalah sampah harus dimulai dari perubahan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sampah, yang kemudian diharapkan berimplikasi pada perubahan perilaku dan tindakan positif masyarakat terhadap sampah.

Dalam konteks permasalahan sampah, gagasan tentang pengelolaan

sampah dengan melibatkan masyarakat, terutama pada tahap pemilahan sampah menjadi dua yaitu organik dan anorganik, sebenarnya sudah pernah digulirkan pada tahun 1983-an oleh BPPT. Pemerintah DKI Jakarta sebagai pengelola sampah tidak menanggapi secara serius ide tersebut, dengan alasan tidak sesuai dengan gaya hidup masyarakat Indonesia yang dianggap malas dan tidak mau bersusah-payah memilah sampah. Hal tersebut berlawanan dengan pendapat Bebassari (2004), bahwa kesadaran masyarakat akan tumbuh apabila pemerintah membuat sistem yang jelas mengenai pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat tidak dapat terwujud dalam waktu singkat. Negara maju di dunia pun, seperti negara bagian Bavaria di Jerman, baru tiga tahun terakhir benar-benar dapat mengatasi masalah sampah setelah

adanya Umweltforum (Forum Lingkungan Hidup) yang melibatkan seluruh

(22)

dengan perjuangan selama itu, sebab persoalan sampah kota telah dapat diatasi mulai dari sumbernya, sehingga beban pemerintah sangat jauh berkurang. Oleh karena itu, Pemerintah DKI Jakarta harus memulai upaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Penelitian terhadap program pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat yang telah berjalan di Taiwan, memperlihatkan bahwa perilaku

masyarakat untuk mendaur ulang sampah dipengaruhi oleh sikap (attitude),

norma subyektif (subjective norm) dan pengendalian perilaku (perceived

behavioral control). Oleh karena itu, pendekatan secara multidimensional pada

struktur keyakinan (belief) dalam masyarakat, sangat diperlukan untuk

membentuk perilaku (behaviour) dalam pengelolaan sampah (Chu et al., 2004). Pengelolaan sampah di masa yang akan datang perlu lebih dititikberatkan pada perubahan cara pandang dan perilaku masyarakat dan lebih mengutamakan

keterlibatan masyarakat dalam pengelolaannya (bottom-up), sebab terbukti

pendekatan yang bersifat top-down tidak berjalan secara efektif (Kholil, 2004). Salah satunya adalah proyek percontohan pengelolaan sampah secara terpadu dengan pendekatan zerowaste, antara lain terdapat di Rawasari-Jakarta Pusat, yang merupakan kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta dengan BPPT. Proyek tersebut tidak berjalan secara efektif antara lain karena tidak dilaksanakan secara simultan dengan perencanaan perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah, sehingga pada akhirnya fasilitas yang tersedia tidak digunakan secara optimal.

Pengelolaan sampah secara terpadu dengan pendekatan zero waste

merupakan program pengurangan sampah melalui pengomposan sampah organik, daur ulang sampah anorganik dan pembakaran sampah dengan incinerator, sehingga sampah yang tersisa hanya tiga persen berupa abu yang dapat digunakan sebagai material bangunan (Bebassari, 2004). Proyek percontohan di Rawasari, Jakarta Pusat telah difasilitasi dengan sarana

pengomposan, daur ulang sampah anorganik dan incinerator, tetapi karena

(23)

5

dengan motivasi yang tinggi dan intensif, partisipasi masyarakat dapat terwujud dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dua tahun, seperti yang terjadi di Kampung Rawajati Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan. Untuk kawasan permukiman, beberapa wilayah lainnya juga telah menerapkan program daur ulang sampah secara mandiri dan berhasil menumbuhkan partisipasi

masyarakat, sedangkan sebagian besar program pemerintah yang bersifat top

down melalui UDPK (Usaha Daur Ulang Produksi Kompos) dan penerapan zero

waste, tidak berjalan karena partisipasi masyarakat yang rendah.

Komitmen pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah dinilai masih kurang terutama dalam membangun sistem pengelolaan sampah secara terpadu. Hal ini sejalan dengan penelitian Bebassari (1996), yang memperlihatkan pada tahun 1989 tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilahan sampah dan pemeliharaan sarana pengumpulan sampah meningkat sejalan dengan berjalannya sistem daur ulang sampah dan dukungan pemerintah dalam penyediaan sarana pendukungnya. Setelah lima tahun program tersebut berjalan, komitmen pemerintah mulai menurun dengan penyatuan kembali sampah yang telah dipilah dan pemeliharaan sarana pendukung yang semakin berkurang, maka pada tahun 1995 pada saat dilakukan evaluasi program, masyarakat sudah tidak lagi memilah sampah dan sarana pengumpulan sampah kembali kotor dengan sampah yang berceceran.

Keberlanjutan pengelolaan sampah memerlukan sistem yang efektif dalam mengatasi masalah lingkungan, menghasilkan secara ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat. Sebagian besar model pengelolaan lingkungan, khususnya pengelolaan sampah, hanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, serta sangat sedikit mempertimbangkan aspek sosial. Hal inilah yang seringkali mengakibatkan implementasi model tersebut kurang berhasil

(Morrissey dan Browne, 2004). Perencanaan sosial (social planning) dapat

dijadikan dasar bagi pendekatan sistem pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, sebab dengan mempertimbangkan aspek sosial, diharapkan penerimaan dan partisipasi masyarakat dapat optimal.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permukiman selain

(24)

dan daur ulang sampah di permukiman. Untuk itu, kajian karakteristik masyarakat dan lingkungan dalam setiap tipe permukiman menjadi penting untuk menentukan pola partisipasi yang sesuai, sehingga dapat diterima secara sosial (social acceptability).

1.2. Tujuan Penelitian

1. Memahami keterkaitan antara karakteristik kawasan permukiman di perkotaan dengan perilaku masyarakat terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman

2. Memahami pola-pola partisipasi yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dalam pengelolaan sampah pada masing-masing tipologi permukiman.

3. Merumuskan suatu strategi dan mekanisme perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat di Kotamadya Jakarta Timur.

1.3. Kerangka Pemikiran Konseptual

Penataan model pengelolaan sampah perkotaan secara menyeluruh meliputi upaya meminimumkan model TPA dalam jangka panjang, yang dimulai dengan mengurangi ketergantungan terhadap TPA. Hal ini disebabkan antara lain karena dalam banyak hal pengelolaan sampah di TPA masih sangat buruk, mulai dari penanganan air lindi (leachate) hingga penanganan bau, di samping dampak lingkungan berupa pencemaran dan dampak sosial yang memerlukan penanganan dengan investasi lebih besar. Masyarakat sesungguhnya dapat dilibatkan dalam pengelolaan sampah mulai dari pemilahan sampah hingga daur ulang. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu faktor pendukung yang sangat penting dalam penanggulangan persoalan sampah perkotaan. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor kunci dalam sistem pengelolaan sampah secara terpadu (Kholil, 2004).

Pendekatan pengelolaan sampah secara terpadu yang berbasis

(25)

7

konsep 4R yaitu reduce, reuse, recycle dan replace (Rusmendro, 2003) atau

konsep 3R yaitu reduce, reuse, recycle (Bebassari, 2004) sebagai upaya

pengelolaan sampah di perkotaan, khususnya DKI Jakarta, perlu direncanakan dan diwujudkan dengan dukungan seluruh masyarakat kota, dan difasilitasi oleh pemerintah DKI Jakarta yang bertanggung jawab penuh sebagai pengelola sampah. Sistem pengelolaan sampah yang berbasis pengembangan masyarakat, antara lain dengan menumbuhkan industri daur ulang dan kegiatan kemitraan dalam pengolahan sampah, merupakan bagian dari kepedulian pemerintah terhadap upaya peningkatan pendapatan, penyediaan kesempatan kerja, dan antisipasi terhadap kerawanan sosial akibat tekanan ekonomi dan pengangguran, sekaligus sebagai upaya perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan.

Di samping melibatkan industri dalam membuat produk yang dapat didaur ulang, pengelolaan sampah kota dengan melibatkan partisipasi masyarakat

menjadi langkah yang sangat penting. Thank et al. (1985) menyatakan bahwa

dalam jangka panjang pengelolaan sampah dengan bertumpu pada TPA memiliki banyak kelemahan (Diana, 1992). TPA dengan timbunan sampah sebagai pencemar primernya, juga menimbulkan pencemaran sekunder berupa

pencemaran air oleh lindi (leachate), emisi gas metan, amonium, hidrogen

sulfida dan karbon dioksida, bau sampah itu sendiri dan bau gas yang ditimbulkan dari proses dekomposisi, sebagai tempat hama dan vektor, adanya kebisingan dan getaran serta rentan terhadap kebakaran (Hadi, 2004). Demikian pula teknologi insinerasi (Tangri, 2003), yang secara umum merupakan sumber dioksin utama, di samping logam berat seperti merkuri (Hg), timah (Pb), kadmium (Cd), arsen (As) dan kromium (Cr). Selain itu, insinerator juga menghasilkan senyawa–senyawa hidrokarbon-halogen (non dioksin), gas-gas penyebab hujan asam, partikulat-partikulat yang dapat mengganggu fungsi paru-paru dan gas-gas efek rumah kaca, serta senyawa yang belum teridentifikasi dalam bentuk emisi dan abu di udara (Tangri, 2003).

(26)

memberikan nilai ekonomi. Seperti ditengarai oleh Morrisey dan Browne (2004), aspek sosial sebagai salah satu bagian yang harus terintegrasi dalam penerapan sisitem pengelolaan sampah, sangat jarang dikaji secara mendalam. Sebagian besar model pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia hanya menekankan pada aspek lingkungan dan ekonomi saja, padahal dalam sistem yang terpadu, partisipasi masyarakat merupakan faktor kunci dalam berjalannya sistem tersebut (Kholil, 2004). Di samping itu, perilaku masyarakat sangat berperan dalam berjalannya berbagai sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat (Chu et al., 2004). Menurut Proteous (1977), perilaku masyarakat yang berwujud pada tindakan, merupakan hasil pengambilan keputusan yang dimotivasi oleh faktor fungsional, faktor struktural dan faktor eksistensial. Faktor fungsional antara lain meliputi sistem nilai, kemampuan fisik dan mental, sedangkan faktor struktural antara lain meliputi usia, pekerjaan dan penghasilan. Keduanya lebih sering disebut sebagai lingkungan sosial ekonomi. Faktor eksistensial antara lain meliputi lokasi dan orientasi, dan sering disebut sebagai faktor lingkungan fisik (Fithri, 1995).

(27)

9

partisipasi yang utuh, meliputi persepsi dan sikap yang menjadi landasan dalam berperilaku dan pengambilan keputusan untuk berpartisipasi.

Perilaku dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah tidak terlepas dari pengaruh faktor lingkungan. La Barre (1954) menyebutkan bahwa teori evolusi biologi telah bergeser menjadi evolusi teknologi, sehingga proses evolusi itu sendiri telah berjalan dengan kecepatan yang tidak terbatas. Akibatnya, manusia tidak hanya menciptakan teknologi dan kebudayaan sebagai perantara antara dirinya dengan makhluk lain dan lingkungan fisiknya, tetapi juga mengubah dan menciptakan lingkungan fisik menjadi suatu lingkungan budaya. Hal ini dipertegas oleh Hall (1966) yang mengkaji hubungan antara kebudayaan dan penataan ruang dengan menyatakan bahwa manusia dan lingkungan sama-sama berpartisipasi dalam membentuk satu sama lain (Suparlan, 2004). Teori tersebut diperkuat oleh Castells, seorang pakar Geografi-Sosiologi yang secara eksplisit menegaskan bahwa ruang bukan hanya cerminan dari masyarakat, tetapi merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri (Castells, 1997 & 2007).

(28)

berbasis masyarakat diharapkan dapat diwujudkan dalam waktu yang relatif singkat serta akan menjadi solusi efektif dan aman bagi lingkungan.

Program pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat yang sesuai dengan karakteristik permukiman dan masyarakatnya, diharapkan mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Program tersebut tidak lagi hanya bertumpu pada top-down planning, tetapi juga

melalui mekanisme partisipatif, sehingga lebih bersifat bottom-up planning

dengan sebesar-besarnya mengikutsertakan tokoh masyarakat sebagai agent of

change. Hal tersebut menjadi pertimbangan utama bedasarkan pengalaman proyek-proyek percontohan dengan karakteristik top-down planning yang tidak berjalan, sebab mengabaikan pentingnya tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat untuk mencapai keberhasilan program (Kholil, 2004; Wardhani, 2004). Di samping itu, persoalan persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat DKI Jakarta terhadap sampah dan pengelolaannya perlu menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam perumusan perencanaan sosial pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat di DKI Jakarta. Penerapan mekanisme partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman sejalan dengan rencana pengelolaan sampah DKI Jakarta sepuluh tahun ke depan, yang menitikberatkan pada industri daur ulang dan pengolahan sampah. Pengelolaan sampah tidak lagi terpusat pada satu lokasi, tetapi tersebar di beberapa kawasan, dengan perbedaan jenis industri daur ulang sesuai dengan potensi masing-masing kawasan.

Dari uraian di atas tampak bahwa pendekatan pengelolaan sampah yang

bersifat top-down cenderung menyebabkan kegagalan dalam implementasi

(29)

11

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konseptual Model Partisipatif Pengelolaan Sampah Permukiman di Kotamadya Jakarta Timur

Pendidikan

Pengelolaan Sampah - Keteraturan Kawasan dan Kepadatan Ruang Faktor Sosial Ekonomi : - Tingkat Retribusi Sampah - Pola Partisipasi dalam

Pengelolaan Sampah

(30)

1.4. Perumusan Masalah

Keragaman persepsi dan perilaku masyarakat perkotaan dalam pengelolaan sampah permukiman memerlukan implementasi pola partisipasi yang berbeda, sehingga melalui pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, diharapkan program pengelolaan sampah permukiman berbasis

masyarakat dapat berhasil (Chu et al., 2004). Tanpa mengabaikan pentingnya

pendekatan yang berbeda-beda pada setiap kelompok masyarakat di perkotaan yang beragam, keragaman tersebut dicoba untuk dapat dikelompokkan melalui pendekatan tipologi permukiman. Oleh karena itu, untuk menerapkan suatu pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman pada berbagai tipe kawasan permukiman, dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana susunan karakteristik kawasan permukiman di perkotaan berdasarkan faktor-faktor yang relevan dalam membentuk tipologi permukiman di Kotamadya Jakarta Timur.

2. Bagaimana perilaku dan pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pada setiap karakteristik permukiman di Kotamadya Jakarta Timur. 3. Bagaimana strategi dan mekanisme perencanaan sosial partisipatif yang

efektif bagi pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat di

Kotamadya Jakarta Timur.

1.5. Hipotesis Penelitian

1. Manusia dengan lingkungan fisiknya, dalam hal ini lingkungan tempat tinggalnya, membentuk suatu lingkungan sosial budaya tertentu termasuk dalam perilaku terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman. Selain faktor lingkungan fisik, faktor lain yang dominan adalah latar belakang masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, antara lain lapisan sosial dan tingkat pendidikan. Keseluruhan faktor tersebut akan membentuk suatu tipologi tertentu yang menjadi ciri atau karakter pada masing-masing permukiman.

(31)

13

dengan ciri bangunan yang padat, terbuka dan memiliki kebersamaan yang tinggi karena adanya perasaan senasib. Pada kawasan permukiman yang merupakan kombinasi lapisan menengah-bawah, maka golongan bawah menjadi penghubung interaksi sosial yang terjadi. Interaksi sosial tersebut merupakan faktor yang paling mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman.

3. Pengelolaan sampah permukiman memerlukan dukungan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat harus menjadi mainstream dalam kebijakan pengelolaan sampah. Pengembangan partisipasi masyarakat melalui pendekatan tipologi dapat meningkatkan penerimaan masyarakat (social acceptability) terhadap program pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat.

1.6. Novelty

Salah satu faktor penting dalam pengembangan partisipasi masyarakat adalah pola pendekatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Penyeragaman cara pengelolaan hanya akan menimbulkan kegagalan dalam implementasi program, seperti yang sering terjadi sampai saat ini. Oleh karena itu, melalui penyusunan tipologi permukiman dan tipologi partisipasi masyarakat yang sesuai untuk setiap tipe permukiman, diharapkan pemerintah daerah dapat menyusun kebijakan yang lebih dapat diterima oleh masyarakat (social acceptability). Kedua kajian tipologi tersebut dilakukan

dengan multi-dual approach yang menggabungkan antara analisis spasial

dengan aspek sosiologis yang dikaitkan dengan pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman. Pendekatan tersebut memiliki nilai kebaruan yang penting dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, sebab dapat mengakomodasikan kekhasan karakteristik permukiman, sehingga kebijakan dapat efektif karena disusun berdasarkan karakteristik tersebut, tetapi tetap efisien dengan terbentuknya tipologi. Di samping itu, rumusan strategi dan mekanisme perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman dapat membantu

(32)

sekaligus dapat berperan sebagai agents of change di masing-masing kawasan permukiman.

1.7. Definisi Operasional

Perencanaan Sosial :

Perubahan sosial yang direncanakan, didesain, serta ditetapkan tujuan dan strateginya.

Perencanaan Sosial Partisipatif :

Perubahan sosial yang direncanakan, didesain, serta ditetapkan tujuan dan strateginya dengan keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah dan strategi kegiatan, memikul beban dalam pelaksanaan kegiatan, menilai serta memetik hasil dan manfaat kegiatan secara adil.

Sampah Permukiman :

Limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dalam suatu kawasan permukiman. Komposisi terbesar sampah permukiman umumnya adalah bahan organik, kertas dan plastik sehingga sangat potensial untuk didaur ulang.

Pengelolaan Sampah Permukiman :

Sistem atau mekanisme dalam mengelola sampah permukiman dan menangani permasalahan sampah permukiman yang umumnya berasal dari kegiatan rumah tangga.

Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat :

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Permasalahan Sampah Perkotaan

Penanganan sampah sebagai pelayanan dasar pada banyak kota-kota di negara miskin dan di negara berkembang belum dapat ditanggulangi dengan baik. Pembuangan sampah yang tidak dikelola dengan baik, akan mengakibatkan masalah besar, karena penumpukan atau pembuangan sampah

secara sembarangan ke lahan terbuka (open dumping) mengakibatkan

pencemaran lahan, air dan udara. Pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, sedangkan pembuangan sampah ke sungai akan mengakibatkan pencemaran air, kerusakan saluran drainase dan bahkan seringkali mengakibatkan banjir.

Terjadinya eksternalitas negatif pada lingkungan disebabkan karena dalam kenyataan masyarakat tidak hanya memproduksi barang dan jasa yang bersifat positif, tetapi juga barang negatif, yaitu barang dan jasa yang keberadaannya justru menimbulkan kerusakan. Ketidaknyamanan dan kerusakan yang menimpa lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, terjadi karena adanya barang negatif (bads) yang diproduksi oleh manusia bersama dengan produksi barang positif dan jasa (Tietenberg, 1992). Barang negatif dapat berupa barang dan atau jasa yang keberadaannya justru menimbulkan kerusakan. Barang negatif tersebut dikenal dengan istilah sampah yang menyebabkan pemandangan tidak sedap, bau busuk dan menjadi media perkembangan penyakit menular/patogen. Sampah merupakan suatu masalah yang rumit untuk dipecahkan dan mempunyai dampak yang luas, terutama dalam kaitannya dengan masalah lingkungan. Jumlah timbulan sampah yang semakin lama semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah aktivitas manusia, memerlukan penanganan yang terpadu.

(34)

Sumber, jenis dan komposisi sampah merupakan elemen penting dalam

merancang dan melaksanakan pengelolaan sampah (Tchobanoglous et al,

1977). Saeni (2003) menyatakan bahwa pengelolaan sampah bertujuan mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak mengganggu dan menekan volume sehingga mudah diatur. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak sangat serius, seperti : 1) Dampak buruk bagi kesehatan, 2) Kebakaran dan peledakan, 3) Kerusakan pada tanaman, 4) Bau yang tidak enak, 5) Pencemaran air tanah, udara dan pemanasan global.

Umumnya masyarakat tidak menghendaki lokasi penimbunan sampah dibuat dekat dengan tempat tinggal mereka, karena hal ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan warga setempat. Pencemaran sekunder yang ditimbulkan di lokasi penimbunan sampah adalah pencemaran air oleh lindi (leachate), gas yang ditimbulkan seperti metan, amonium, hidrogen sulfida dan karbon dioksida, bau yang tak sedap seperti bau sampah itu sendiri dan bau gas yang ditimbulkan dari proses dekomposisi, sebagai tempat hama dan vektor, adanya kebisingan dan getaran serta rentan terhadap kebakaran (Hadi, 2004).

Sampah padat perkotaan di seluruh dunia menimbulkan masalah terhadap lingkungan baik lokal maupun global. Tingginya pertumbuhan penduduk merupakan indikator meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan dalam suatu wilayah, terutama di perkotaan. Indonesia, khususnya Jakarta juga menghadapi masalah dalam menangani sampah perkotaan. Hal tersebut disebabkan kurangnya biaya untuk menerapkan sistem pengelolaan sampah, karena kebanyakan jalan keluar yang ditawarkan menggunakan teknologi tinggi dengan biaya yang besar (Bebassari, 2004).

Reduce (mengurangi), Reuse (penggunaan kembali) dan Recycle (daur ulang) adalah model yang relatif aplikatif dan dapat bernilai ekonomis

(Bebassari, 2004). Selain itu, konsep Replace (mengganti bahan baku produk

(35)

17

ekonomi untuk mengatasi pengangguran. Konsep di atas memerlukan waktu panjang, dan tingkat kesulitannya lebih besar. Namun bila partisipasi masyarakat dioptimalkan, maka efektivitas pengelolaan sampah akan dapat dicapai.

Apabila sampah menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, maka penanganannya akan menjadi lebih ringan daripada hanya bertumpu pada pemerintah. Pemberian tanggung jawab pada struktur masyarakat untuk dapat menangani sampah secara terpadu akan mengurangi beban biaya, waktu dan pencemaran lingkungan. Jika masyarakat telah terlibat dalam pengelolaan sampah di lingkungannya, maka penerapan peraturan dalam pengelolaan sampah dan instrumen ekonomi dapat diberlakukan secara efektif. Besarnya retribusi misalnya, dapat dijadikan instrumen ekonomi melalui penerapan insentif apabila masyarakat memilah dan mendaur ulang sampah, atau berlaku sebagai disinsentif bagi yang tidak melakukan pemilahan dan daur ulang sampah.

Pengomposan sampah organik baik secara individual maupun kolektif, hasilnya (kompos) dapat dijadikan sebagai pupuk untuk pertanian hortikultura, terutama tanaman hias di wilayah perkotaan (city farming) atau dikembalikan ke wilayah pertanian di pedesaan (rural) maupun di wilayah pinggiran kota (peri urban). Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Departemen

Pekerjaan Umum di Bandung telah mengembangkan sistem individual

composting yang sangat baik dan efektif. Bila sampah organik dari satu keluarga yang terdiri dari lima jiwa dimasukkan ke dalam individual composting yang volumenya hanya 100 liter, maka dalam enam bulan tong pengomposan tersebut baru penuh. Bila sampah organik dipisahkan dan dikomposkan, maka tingkat reduksi (penurunan volume) akibat proses dekomposisi dapat mencapai 90 persen, padahal selama ini diduga bahwa tingkat reduksi hanya sekitar 40 persen (Utami, 2004).

(36)

pemasok produk pertanian, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Untuk kawasan kota yang padat dan tidak tersedia lagi lahan, maka sistem pengomposan dapat dilakukan secara kolektif.

Pengelolaan sampah skala kawasan dapat juga menghasilkan industri rumah tangga, berupa kompos, kaleng atau plastik daur ulang, batako, pengisi plywood atau multipleks, kertas daur ulang dan sebagainya yang memiliki nilai ekonomi (BPPT, 2004). Pada dasarnya, teknologi daur ulang untuk produk-produk tersebut sudah tersedia, seperti teknologi yang telah dikembangkan oleh BPPT untuk skala industri kecil. Selanjutnya yang diperlukan adalah kajian

kelayakan dan pembentukan kelembagaan masyarakat (social institusion)

sebagai pelaku daur ulang sampah. Dalam hal ini, pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator yang memberikan akses informasi dan pembinaan terhadap masyarakat, atau sebagai stimulator yang memberikan bantuan untuk mendorong kegiatan daur ulang. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif dan disinsentif untuk mendorong percepatan daur ulang oleh masyarakat melalui peraturan atau kebijakan.

Di Indonesia, peran pemulung dalam daur ulang sampah sudah berlangsung sejak lama. Setiap pagi para pemulung keluar masuk daerah permukiman untuk mengambil barang-barang bekas yang dapat dimanfaatkan kembali. Di TPA Bantar Gebang Bekasi, ribuan pemulung mengambil sampah. Indonesia bahkan sering menjadi sasaran pembuangan barang bekas (sampah) dari negara industri maju. Dengan kondisi tersebut sebenarnya Indonesia sudah memiliki infrastruktur daur ulang sampah, hanya selama ini sistemnya kurang terorganisasi dengan baik dan kurang manusiawi. Bila sampah organik dipisahkan dan dikompos tersendiri maka sisanya yang terdiri atas sampah plastik, kertas, gelas, besi dan lain-lain, dapat dikumpulkan secara terorganisasi rapi dan barang-barang tersebut dapat dijadikan bahan baku industri. Agar pemulung tidak menjadi penganggur, tapi malah sebaliknya martabatnya meningkat, maka para pemulung perlu diwadahi melalui sistem organisasi yang sesuai, melalui pendekatan sosial sehingga mereka dapat bekerja lebih terorganisasi, sehat dan terhomat (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2004).

Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility/

EPR) sangat terkait dengan konsep Replace (Rusmendro, 2003). EPR adalah

(37)

19

kemasannya. Kebijakan di atas memberikan insentif kepada mereka untuk mendesain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Meskipun demikian, EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau diimplementasikan, sebab sampai saat ini baru diprioritaskan untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun serta produk yang bermasalah. Manajemen ekoefisiensi perlu diterapkan pada industri dengan Manajemen Faktor Empat, yaitu bahan baku yang bersumber dari alam dikurangi setengahnya (faktor nilai manfaat adalah dua kali) dan mentransformasikan bahan-bahan baku tersebut menjadi produk dengan nilai tambah dua kalinya (faktor nilai tambah dua kali). Dengan demikian, nilai tambah manfaat selanjutnya adalah empat kalinya (Gumbira-Sa’id, 2003). Salah satu bentuk transformasi adalah daur ulang, dan apabila produsen telah menerapkan hal tersebut, maka industri tersebut telah berperan dalam EPR melalui manajemen ekoefisiensi.

Pengelolaan sampah yang tidak terpusat, melainkan tersebar di setiap wilayah, dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain: (a) jenis kegiatan daur ulang disesuaikan dengan potensi wilayah; (b) biaya transportasi dan pengumpulan sampah rendah; (c) pemerataan kegiatan ekonomi untuk mengatasi pengangguran; dan (d) pencemaran akibat air sampah dan bau pun dapat ditekan ke titik yang terendah, karena kuantitas sampah pada kawasan yang lebih sempit, relatif kecil dan komposisinya belum kompleks.

2.2. Pengelolaan Sampah Perkotaan di DKI Jakarta

(38)

sampah kertas dan plastik yang cukup besar pada lima tahun terakhir. Kecenderungan tersebut dapat menjadi sumberdaya sekunder yang potensial untuk didaur ulang, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Komposisi Sampah DKI Jakarta (%) Komposisi Sampah Tahun

1995 1)

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : 1) Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2004

2) Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005

Dinas Kebersihan DKI Jakarta hanya terlibat pada proses pengambilan, pengangkutan dan pembuangan sampah, tidak pada aspek pengelolaan terpadu (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2004). Padahal, persoalan sampah perkotaan tidak dapat ditangani hanya oleh Dinas Kebersihan sendiri. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penataan ulang secara menyeluruh tentang konsepsi pengelolaan sampah di perkotaan, khususnya di DKI Jakarta.

(39)

21

serta masyarakat, dan 4) Penataan rantai distribusi sampah (Wibowo dan Sutjahyo, 2005). Saat ini, Pemerintah DKI Jakarta masih mengandalkan

mekanisme pengelolaan sampah pada teknik pembuangan atau landfill melalui

tempat pembuangan sementara (TPS) sampai tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantar Gebang Bekasi. Jumlah lokasi TPS dan fasilitas yang dimiliki Pemerintah DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Lokasi Pengumpulan Sampah Sementara di DKI Jakarta Lokasi Tahun

261 224 122 252 271 223

2. Bak Terbuka 129 133 - 129 350 417

2) Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005

(40)

tersebutlah yang akan terus dihadapi oleh Pemerintah DKI Jakarta apabila mengandalkan pengelolaan sampah pada sistem pembuangan saja, padahal di banyak kota-kota di negara maju, sistem tersebut sudah mulai ditinggalkan.

Salah satu aspek penting dari dampak tempat pembuangan akhir sampah adalah pencemaran tanah dan air. Hasil pengujian sumur penduduk di sekitar TPA Bantar Gebang oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2003) menunjukkan kadar logam berat timbal dan kadmium yang melampaui Nilai Ambang Batas (NAB), yaitu sebesar 0,115 dan 0,006 ppm padahal NAB atau kadar maksimum yang diperbolehkan sebesar 0,05 dan 0,005 ppm (Suyoto, 2004). Oleh karena itu, ketergantungan terhadap sistem Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dalam mengelola sampah harus segera ditinggalkan, sebab walaupun dilengkapi dengan sistem sanitasi yang baik namun pengendalian air lindinya sampai saat ini masih belum memuaskan. Di dalam air lindi sendiri terdapat ribuan jenis zat organik dan anorganik yang seringkali satu sama lain saling bereaksi membentuk senyawa baru yang sangat berbahaya, seperti senyawa klor organik dan logam-logam berat yang bersintesis dengan zat organik dan melahirkan senyawa baru yang bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker), misalnya metil merkuri (Hadi 2004).

(41)

23

Dioksin merupakan polutan yang diketahui paling berbahaya yang

dihasilkan dari proses insinerasi. Dioksin dapat menyebabkan gangguan kesehatan secara luas, termasuk kanker, kerusakan sistem kekebalan, reproduksi, dan permasalahan-permasalahan dalam pertumbuhan. Dioksin terakumulasi dalam tubuh, melalui rantai makanan, terkonsentrasi dalam tubuh organisme, dan pada akhirnya terakumulasi dalam tubuh manusia sebagai puncak dalam rantai makanan tersebut. Dioksin memerlukan perhatian khusus, karena dioksin dapat berada dimana-mana di lingkungan (dalam tubuh manusia) pada tingkatan yang sudah dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan (Tangri, 2003). Secara umum, insinerator merupakan salah satu sumber dioksin utama.

(42)

Gudang LB3

Gambar 2. Mekanisme Pengelolaan Sampah DKI Jakarta (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005)

2.3. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat

Konsep “persepsi” pada dasarnya merupakan konsep dan kajian Psikologi. Persepsi merupakan pandangan individu terhadap suatu obyek. Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut (Sarwono, 1995). Merton (1982) menyatakan bahwa individu tidak hanya merespon situasi obyektif, tetapi juga memberi makna situasi tersebut menurut kepentingannya (Sztompka, 2004). Dalam konteks persepsi terhadap pengelolaan sampah permukiman misalnya, respon tersebut dapat digunakan sebagai indikator bagaimana individu menilai suatu program pengelolaan sampah, sehingga dapat diidentifikasi kendala yang mungkin muncul dari persepsi tersebut dalam implementasi pengelolaan sampah tersebut.

(43)

25

merupakan suatu pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut. Thoha (1988) secara implisit menyebutkan bahwa informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu persepsi, walau informasi tentang lingkungan juga dapat berupa suatu situasi tertentu, tidak harus berupa rangkaian kalimat, atau isyarat lain (Harihanto, 2001).

Krech dan Crutchfield (1977) menyatakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional, atau sering disebut sebagai faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang biasa disebut sebagai faktor personal, seperti suasana emosional, latar belakang budaya dan kesiapan mental. Selain itu, kerangka rujukan (frame of reference) dapat mempengaruhi persepsi melalui cara memberikan interpretasi perseptual terhadap suatu obyek. Faktor struktural berkaitan dengan sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem individu. Individu mengorganisasikan stimulus sesuai dengan konteksnya, sehingga walaupun stimulus yang diterima tidak lengkap, individu akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang dipersepsi (Rakhmat, 2000a). Meskipun demikian, kemampuan individu relatif terbatas dalam menyerap stimulus, karena adanya filter perseptual, yaitu keterbatasan fisiologis yang terbentuk dalam diri manusia, atau dengan kata lain, keterbatasan kemampuan mempersepsi seperti tingkat kecermatan penginderaan yang tidak sama pada setiap orang. Filter lainnya adalah filter psikologis yaitu harapan atau kecenderungan dalam memberi respon, yang berpengaruh terhadap cara seseorang mempersepsi suatu obyek, misalnya seorang yang defensif akan cenderung mengartikan suatu obyek secara negatif (Tubbs dan Moss, 2001).

(44)

Proses terbentuknya persepsi menurut pendekatan fungsionalis diilustrasikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Modifikasi dari Asngari (1984) pada Proses Terbentuknya Persepsi Model Literrer (Harihanto, 2001)

Seperti halnya konsep persepsi, telah banyak definisi mengenai “sikap”. Umumnya definisi-definisi tersebut menggambarkan sikap sebagai kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu obyek. Mc.Guire (1969) mendefinisikan sikap sebagai respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan (Sarwono, 1995). Obyek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang dan lain-lain) yang bisa dinilai oleh manusia. Dimensi pertimbangan sikap adalah semua skala positif-negatif, yaitu dari baik ke buruk, dari haram ke halal, dari sah ke tidak sah, dari setuju ke tidak setuju dan semacamnya. Dengan demikian, sikap adalah menempatkan suatu obyek ke dalam salah satu skala tersebut. Berbeda dengan definisi-definisi lain yang umumnya menganggap sikap sebagai potensi atau calon tingkah laku, definisi tersebut menganggap sikap sudah sebagai respon, sehingga sikap adalah juga perilaku. Sebagai dimensi pertimbangannya adalah skala positif-negatif, mulai dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju terhadap sejumlah pernyataan verbal mengenai kualitas lingkungan. Apabila sikap akan dimasukkan sebagai perilaku, maka lebih merujuk kepada perilaku yang tidak kasat indera atau covert behavior (Sarwono, 1995). Dari berbagai definisi dapat disimpulkan beberapa hal mengenai sikap (Rakhmat, 2000a) sebagai berikut,

Pengalaman

Informasi sampai kepada individu

Persepsi

Perilaku

Penafsiran

Seleksi

(45)

27

1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap berupa benda, orang, gagasan, tempat, situasi atau kelompok.

2. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apa yang diinginkan, dihindari, dikesampingkan, dan lain-lain.

3. Sikap relatif lebih menetap.

4. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan.

5. Sikap timbul dari pengalaman dan merupakan hasil belajar, sehingga dapat diperteguh atau diubah.

Perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor-faktor personal dan faktor-faktor situasional dalam kerangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu (Lionberger dan Gwin, 1982). Dengan kata lain, menurut pendekatan interaksionis, perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam (inside factor) dan faktor luar (outside factor). Faktor dalam yang bersifat fisik terutama adalah otak, hormon, sistem syaraf dan gen, sedangkan yang bersifat psikis adalah persepsi, kepribadian, mental, intelektual, ego, moral, keyakinan dan motivasi. Faktor luar yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor sosial budaya, sosial ekonomi, dan lingkungan fisik seperti pendidikan, pengetahuan, penghargaan sosial, hukuman, kebudayaan, norma sosial, tekanan lingkungan (kemiskinan, diskriminasi, dan sebagainya), model

(panutan), input informasi, kohesi kelompok, dukungan sosial (social

reinforcement), agama, ekonomi, politik, pola perilaku kelompok (patterns of behavior) serta status dan peranan individu dalam masyarakat. Di samping itu, sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia dan sikap

sangat menentukan perilaku (behavior) seseorang. Sikap juga sangat

mempengaruhi tanggapan seseorang terhadap masalah kemasyarakatan, termasuk masalah lingkungan (Harihanto, 2001). Secara umum, Proteus (1977) menyebutkan bahwa perilaku atau tindakan seseorang juga dapat dimotivasi oleh faktor fungsional, struktural dan eksistensial (Fithri, 1995).

(46)

(distinctiveness). Dalam prinsip konsensus, penilaian perilaku didasarkan pada kesesuaiannya dengan konsensus umum, dan apabila perilakunya tidak sesuai dengan konsensus umum, maka cenderung dikatakan bahwa perilaku tersebut disebabkan oleh faktor internal tertentu. Dalam prinsip konsistensi yang diperhatikan adalah pengulangan perilaku individu pada situasi yang serupa, sedangkan dalam prinsip keberbedaan, yang diperhatikan adalah perilaku individu yang sama pada situasi yang berbeda. Dari ketiga hal tersebut dapat dinilai faktor mana yang lebih mempengaruhi perilaku seseorang, apakah faktor internal atau faktor eksternal (DeVito, 1997).

Model hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku dikemukakan oleh Ajzen (2007) seperti terlihat pada Gambar 4. Menurut model tersebut, keyakinan terhadap akibat perilaku tertentu merupakan komponen yang berisi aspek pengetahuan tentang perilaku tersebut. Seseorang yang menentang praktik-praktik pencemaran lingkungan, akan mengambil tindakan yang searah dengan sikapnya tersebut, misalnya membeli produk yang ramah lingkungan dan kemasannya dapat didaur ulang, dan lain-lain. Meskipun demikian, faktor eksternal dapat berpengaruh terhadap perilaku yang muncul karena tidak ada dukungan yang memadai dalam pelaksanaannya, seperti fasilitas pendukung yang tersedia dan penegakan hukum.

(47)

29

2.4. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris “participation “ yang berarti ambil bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Fairchild (1977) menyatakan bahwa partisipasi diartikan mengambil bagian atau ikut serta menanggung bersama orang lain. Jika dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti partisipasi adalah suatu keadaan seseorang ikut merasakan sesuatu bersama-sama orang lain sebagai akibat adanya interaksi sosial (Mandailing, 2001).

Partisipasi adalah suatu bentuk khusus interaksi dan komunikasi yang menerapkan pembagian kekuasaan dan tanggung jawab. Selain itu, partisipasi masyarakat juga merupakan keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah dan strategi dalam kebijakan kegiatan, memikul beban dan pelaksanaan kegiatan, memetik hasil dan manfaat kegiatan secara adil. Partisipasi juga berarti memberi sumbangan dan turut serta menentukan arah atau tujuan pembangunan, yang penekanannya adalah bahwa partisipasi itu merupakan hak dan kewajiban setiap orang (Uphoff, 2005). Dengan demikian, partisipasi dapat diartikan sebagai sesuatu keterlibatan warga masyarakat untuk berperan secara aktif dalam suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan untuk menciptakan, melaksanakan serta memelihara lingkungan yang bersih dan sehat, khususnya pengelolaan sampah permukiman.

(48)

Bentuk atau tahap dalam partisipasi dapat dirangkum ke dalam enam jenis (Ndraha, 1990) seperti dijelaskan di bawah,

1. Partisipasi melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik awal perubahan sosial (Rogers, 1969; Staudt, 1979)

2. Partisipasi dalam menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menyetujui, menerima dengan syarat, maupun menolaknya (Wood, 1962)

3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan

keputusan, baik dalam keputusan politik (Mubyarto, 1984), maupun yang bersifat teknis (Mosha dan Matte, 1979)

4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan (Cohen dan Uphoff, 1977)

5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan atau participation in benefits (Cohen dan Uphoff, 1977)

6. Partisipasi dalam menilai pembangunan (Mosha dan Matte, 1979; Cohen dan Uphoff, 1977)

Faktor pendorong partisipasi masyarakat adalah kebutuhan (needs),

harapan, motif dan ganjaran (reward). Di samping itu, ketersediaan sarana dan prasarana, adanya dorongan moral dari budaya lokal dan adanya kelembagaan baik formal maupun informal, dapat menjadi faktor pendukung partisipasi masyarakat (Ife, 2002). Menurut Oppenheim (1973), terdapat dua hal yang dapat mendukung keberhasilan atau kegagalan partisipasi masyarakat, yaitu : 1) terdapat unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant); 2) terdapat iklim atau lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu tersebut (Sumardjo dan Saharudin, 2003).

Pendekatan yang umum dikembangkan untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam inisiatif pengelolaan lingkungan adalah pembentukan komite

pengarah (steering committee) yang umumnya merupakan perwakilan seluruh

pemangku kepentingan (stakeholders). Pendekatan lainnya adalah melalui

pembentukan kelompok-kelompok topik (topic groups) yang mewakili aktivitas

Gambar

Tabel 1. Persentase Komposisi Sampah DKI Jakarta (%)
Gambar 2. Mekanisme Pengelolaan Sampah DKI Jakarta      (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005)
Gambar 4. Model Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, Niat dan Perilaku (Ajzen, 2007)
Tabel 8. Klasifikasi Keteraturan Kawasan dan Kepadatan Ruang Permukiman
+7

Referensi

Dokumen terkait

ITB perlu berkonsentrasi pada riset sesuai dengan keunggulan ITB yang dilakukan secara intensif melalui prinsip kemitraan dengan sasaran terarah dan hasil terukur yang dapat

Salah satu fungsi ekologis tanaman peneduh jalan adalah mengakumulasi bahan pencemar (Santoso et al., 2012) serta memiliki kontribusi secara signifikan dalam

Siswa yang menjalani pendidikan berasrama dengan tuntutan akademik, tuntutan jasmani dan tuntutan kepribadian yang memiliki bakat dan kemauan yang kuat dalam

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Mengukur besar nilai willingness to pay pengunjung untuk memperbaiki kualitas

Environmentally Responsible Behavior atau disingkat ERB merupakan tindakan- tindakan dari hasil intention untuk melakukan aksi positif yang signifikan untuk

Keterangan: H adalah perubahan entalpi (panas) dan T adalah suhu absolut.Di dalam kondisi reaksi biokimia, mengingat H kurang lebih sama dengan E, yaitu perubahan total

Mengetahui kelayakan investasi usaha budidaya ikan lele di Kelurahan Toapaya Asri, Kecamatan Toapaya, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah media alat peraga yang digunakan yaitu tabel periodik unsur dan pasangan kation-ion untuk mata pelajaran kimia dan