• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

EKOLOGI, PEMANFAATAN, DAN DAMPAK AKTIVITAS

MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE DI

KAWASAN SERAPUH KECAMATAN TANJUNG PURA,

KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Oleh: Devi Sri Yanti 051202045/Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

DEVI SRI YANTI. Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan ONRIZAL, S. Hut, M.Si dan Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Kehidupan masyarakat sekitar pesisir sangat tergantung pada flora dan fauna pesisir pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal, mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat setelah dieksploitasi, mengevaluasi dampak dari kegiatan manusia terhadap struktur vegetasi hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti, struktur vegetasi, komposisi jenis, kualitas perairan yang meliputi suhu, salinitas dan pH serta karakteristik responden. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komposisi jenis yang terletak di kawasan Serapuh disusun oleh 17 jenis tumbuhan. Pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal adalah untuk kayu bakar, kontruksi, obat-obatan, bahan makanan, serta bahan pakan ternak. Selain itu, ada perbedaan nyata antara jumlah permudaan, dengan pohon dewasa sehingga pengambilan kayu oleh masyarakat lokal tidak mendorong hilangnya struktur ekosistem hutan mangrove di kawasan Serapuh. Kata kunci : Mangrove, Komposisi Jenis, Pemanfaatan mangrove, Struktur

(3)

ABSTRACT

DEVI SRI YANTI. Ecology, Utilization, and Human Activity Impact on

Mangrove Ecosystem in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of

Langkat. Under supervision by ONRIZAL S. Hut, M.Si and

Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Life of society around coastal area very depend on fauna and flora of coastal area, either through indirect and also direct. This matter can be seen from existence of displacing farm function (mangrove) become fishpond, settlement, industrial, etcetera and also hewing by society to various need. Target of this research is to measure exploiting of mangrove to local society, identifying forest fauna and flora of mangrove in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of Langkat after exploited, evaluating impact of activity of human being to structure of vegetation forest of mangrove. This research is done by collecting primary data like, structure of vegetation, species composition, quality of water (temperature, salinity, and pH) and also respondent characteristic. Secondary data was obtained from generally data of village government resort. Result of research conclude that type composition which located in Serapuh area by 16 plant type. Exploiting of mangrove by local society is firewood, material construction, medicines, food-stuff, and also of food livestock. Besides, there is difference of reality of young amount, with adult tree so that intake of wood by local society do not push the loss of structure of ecosystem forest of mangrove in Serapuh area.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan Sumatera Utara pada tanggal 16 Desember 1987 dari pasangan Bapak Ali Akbar Sitanggang dan Ibu Ramaida Sitorus. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 067242 Kemuning tahun 1999, pada tahun 2002 lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Katolik St. Yoseph Medan, dan pada tahun 2005 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Katolik St. Yoseph Medan. Melalui jalur tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswi di Program Studi Budidaya Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (S1).

Penulis selama studinya aktif dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) Departemen Kehutanan. Prestasi yang pernah diraih adalah menjadi asisten praktikum Dendrologi. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Karo Sumatera Utara serta kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HPHTI PT. Musi Hutan Persada Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya berupa kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Ekologi, Pemanfaatan dan Dampak Aktivitas Manusia terhadap Ekosistem Mangrove di Sepanjang Sungai Serapuh Kabupaten Langkat tepat pada waktunya dan sesuai dengan harapan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ayah Ali Akbar Sitanggang dan Ibu Ramaida Sitorus, Abang Henriko Juni Edi Sitanggang, Adik Enny Tresiawati Sitanggang dan Wiwin Kristiantony Sitanggang. Bapak Onrizal, S.Hut, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Arief Mahmud, M.si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada teman-teman tersayang Ade Oktavia Sirait Lastria V Pardede, Sigit Prastiyo, Eden Desmon Pardede, Ririn, Inge, dan teman-teman khususnya program studi Budidaya Hutan 2005 atas dukungan dan semangatnya selama ini.

(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Hutan Mangrove ... 5

Ekosistem Hutan mangrove ... 6

Vegetasi Hutan Mangrove ... 7

Zonasi Hutan Mangrove ... 9

Peranan Ekologis Mangrove ... 9

Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove ... 10

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Kawasan ... 13

Iklim ... 13

Pemerintahan ... 14

Kecamatan Tanjung Pura ... 15

Letak Kawasan ... 15

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

Alat dan Objek Penelitian ... 17

Cara Kerja ... 17

Penentuan Lokasi Petak Contoh ... 17

Pengumpulan Data Primer dan Sekunder ... 20

Analisis Vegetasi Hutan Mangrove ... 20

Etnobotani Mangrove ... 22

Analisis Data ... 22

Ekologi Hutan Mangrove ... 22

Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis ... 23

Uji Antar Petak Ukur Per Lokasi ... 25

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden ... 28

Umur ... 28

Agama ... 28

Jenis Pekerjaan ... 29

Tingkat Pendidikan ... 29

Tingkat Pendapatan ... 30

Lama Menetap ... 31

Sosial Kependudukan dan Ciri Ekonomi ... 31

Komposisi Jenis dan struktur Tegakan ... 32

Komposisi Jenis ... 32

Struktur Tegakan ... 34

Penggunaan Mangrove ... 41

Tingkat Pengetahuan Mangrove ... 41

Etnobotani Mangrove ... 41

Kayu Bakar dan Arang ... 42

Konstruksi ... 44

Bahan Makanan ... 46

Obat-obatan ... 46

Bahan Pakan Ternak ... 49

Perikanan ... 49

Pandangan Masyarakat Lokal Mengenai Perubahan Area Mangrove ... 50

Penggunaan Lahan Mangrove dan Dinamika Flora dan Fauna ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 61

Saran ... 61

(8)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove ... 11 2. Kelompok Umur Responden ... 28 3. Pendapatan Serta Aset yang Dimiliki oleh Responden ... 32 4. Jenis Vegetasi Hutan Mangrove Sungai Serapuh, Desa Pulau

Banyak Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat ... 32 5. Parameter Lingkungan (suhu, pH, salinitas) ... 34 6. Penggunaan Tanaman Mangrove oleh Masyarakat di Hutan Mangrove

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Rata-rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Langkat ... 14

2. Rata-rata Suhu dan Kelembaban Kabupaten Langkat ... 14

3. Kondisi Tegakan Mangrove pada Setiap Stasiun Pengamatan ... 18

4. Peta Lokasi Penenlitian ... 19

5. Desain Kombinasi Metode Jalur dan Metode Garis Berpetak ... 21

6. Jenis Pekerjaan Responden ... 29

7. Tingkat Pendidikan Responden ... 30

8. Tingkat Pendapatan Responden ... 30

9. Lama Menetap Responden ... 31

10.Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Flora Mangrove ... 32

11.Variasi Kelimpahan Regenerasi dan Pohon pada 4 Stasiun ... 36

12.Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Flora Mangrove ... 41

13.Manfaat Mangrove oleh Responden ... 43

14.Pembelian Kayu Mangrove oleh Responden ... 44

15.Intensitas Responden Masuk Hutan Mangrove... 45

16.Jenis Tanaman Untuk Obat-obatan ... 47

17.Hasil yang di Kumpulkan dari Hutan Mangrove Berhubungan dengan Perikanan ... 50

18.Jarak dari Desa ke Hutan Mangrove ... 50

19.Perubahan Area Mangrove ... 51

20.Kegiatan/Aktivitas Pemanenan Mangrove ... 52

21.Status Kawasan Hutan Mangrove Tempat Responden Beraktivitas ... 53

22.Tempat Kawasan Responden Beraktivitas ... 54

23.Kondisi Flora Mangrove sampai dengan Tahun 1980 ... 58

24.Kondisi Flora Mangrove dari Periode 1980 - 2009 ... 58

25.Kondisi Fauna Mangrove sampai dengan Tahun 1980 ... 59

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Analisis vegetasi hutan mangrove stasiun I (Jauh dari desa) ... 64

2. Analisis vegetasi hutan mangrove stasiun II (Dekat dari desa) ... 67

3. Analisis vegetasi hutan mangrove stasiun III (Dekat muara sungai) ... 70

4. Analisis hutan mangrove stasiun IV (Daerah tambak) ... 74

5. Hasil uji t ... 77

6. Kuisoner di Lapangan ... 78

(11)

ABSTRAK

DEVI SRI YANTI. Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan ONRIZAL, S. Hut, M.Si dan Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Kehidupan masyarakat sekitar pesisir sangat tergantung pada flora dan fauna pesisir pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal, mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat setelah dieksploitasi, mengevaluasi dampak dari kegiatan manusia terhadap struktur vegetasi hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti, struktur vegetasi, komposisi jenis, kualitas perairan yang meliputi suhu, salinitas dan pH serta karakteristik responden. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komposisi jenis yang terletak di kawasan Serapuh disusun oleh 17 jenis tumbuhan. Pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal adalah untuk kayu bakar, kontruksi, obat-obatan, bahan makanan, serta bahan pakan ternak. Selain itu, ada perbedaan nyata antara jumlah permudaan, dengan pohon dewasa sehingga pengambilan kayu oleh masyarakat lokal tidak mendorong hilangnya struktur ekosistem hutan mangrove di kawasan Serapuh. Kata kunci : Mangrove, Komposisi Jenis, Pemanfaatan mangrove, Struktur

(12)

ABSTRACT

DEVI SRI YANTI. Ecology, Utilization, and Human Activity Impact on

Mangrove Ecosystem in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of

Langkat. Under supervision by ONRIZAL S. Hut, M.Si and

Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Life of society around coastal area very depend on fauna and flora of coastal area, either through indirect and also direct. This matter can be seen from existence of displacing farm function (mangrove) become fishpond, settlement, industrial, etcetera and also hewing by society to various need. Target of this research is to measure exploiting of mangrove to local society, identifying forest fauna and flora of mangrove in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of Langkat after exploited, evaluating impact of activity of human being to structure of vegetation forest of mangrove. This research is done by collecting primary data like, structure of vegetation, species composition, quality of water (temperature, salinity, and pH) and also respondent characteristic. Secondary data was obtained from generally data of village government resort. Result of research conclude that type composition which located in Serapuh area by 16 plant type. Exploiting of mangrove by local society is firewood, material construction, medicines, food-stuff, and also of food livestock. Besides, there is difference of reality of young amount, with adult tree so that intake of wood by local society do not push the loss of structure of ecosystem forest of mangrove in Serapuh area.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi pasang surut air laut, daerah pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir atau lumpur berpasir (Indriyanto, 2006). Sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai, pencegah intrusi air laut, tempat tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Rochana, 2006).

(14)

(2008). Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1997) dalam Onrizal dan Kusmana (2008) pada tahun 1993 luas hutan mangrove menjadi 3,7 juta ha, sehingga terjadi penurunan luas 0,55 juta ha dalam kurun waktu 11 tahun atau laju kerusakan 0,05 juta ha/tahun.

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi yang memiliki hutan mangrove terluas. Luas keseluruhan hutan mangrove di Sumatera Utara mencapai 364.580,95 ha, sebanyak 280.939,71 ha dilaporkan dalam keadaan rusak berat atau sekitar 77,06 %, 47.645,41 ha dalam keadaan rusak sedang (13,06 %) dan 35.995,83 ha dalam keadaan tidak rusak atau sekitar 9,87 % hutan mangrove di Sumatera Utara yang masih baik (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatra Utara. Jika dilihat di 12 kabupaten/kota yang memiliki hutan mangrove di Sumatera Utara, kerusakan paling tinggi berada di wilayah Kabupaten Labuhan Batu yaitu mencapai 121.702,1 ha dari luas yang ada yakni 128.438,2 ha sedangkan kondisi yang masih baik yaitu 2.250,7 ha. Seperti halnya di Kabupaten Labuhan Batu, kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kabupaten Langkat yakni mencapai 22.387,57 ha dari total keseluruhan yaitu 43.014,47 ha sedangkan

kondisi hutan mangrove yang masih baik hanya 2.711,05 ha (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).

(15)

lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan (Rochana, 2006).

(16)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal.

2. Mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di Kawasan Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara setelah dieksploitasi.

3. Mengevaluasi dampak dari kegiatan manusia terhadap struktur vegetasi hutan mangrove.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat lokal mengenai dampak kegiatan masyarakat terhadap ekosistem mangrove serta kegunaan dari hutan mangrove tersebut bagi masyarakat.

2. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan para pembaca mengenai dampak pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Hutan Mangrove

Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tentang silvikultur hutan payau, hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Menurut Nybakken (1992) dalam Rochana (2006) hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang di dominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Ciri-ciri hutan mangrove menurut Soerianegara dan Indrawan (1982)

dalam Basyuni (2002) adalah sebagai berikut: tidak dipengaruhi iklim, terpengaruh pasang surut, tanah tergenang air laut atau berpasir dan tanah liat, hutan tidak mempunyai stratum tajuk, tinggi mencapai 30 meter. Jenis tumbuhan mulai dari laut ke darat adalah Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera, dan tumbuh-tumbuhan bawah yang hidup diantaranya

Acrostichum aureum, Achanthus illicifolius, dan Achanthus ebracteatus.

(18)

Ekosistem Hutan Mangrove

Mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada temperatur dari 19° sampai 40°C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10 °C. Berbagai jenis mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas. Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak (Irwanto, 2006).

Menurut Nugroho, Setiawan dan Harianto (1991) dalam Zaitunah (2002) Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di laguna, estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali.

(19)

keragaman flora maupun fauna yang hidup di lokasi tersebut. Beberapa jenis hewan yang bisa dijumpai di habitat mangrove antara lain adalah; dari jenis serangga misalnya semut (Oecophylla sp.), ngengat (Attacus sp.), kutu (Dysdercus

sp.); jenis krustasea seperti lobster lumpur (Thalassina sp.), jenis laba-laba (Argipe spp., Nephila spp., Cryptophora spp.); jenis ikan seperti ikan blodok (Periopthalmodon sp.), ikan sumpit (Toxotes sp.); jenis reptil seperti kadal (Varanus sp.), ular pohon (Chrysopelea sp.), ular air (Cerberus sp.); jenis mamalia seperti berang-berang (Lutrogale sp,) dan tupai (Callosciurus sp.), golongan primate (Nasalis larvatus) dan masih banyak lagi seperti nyamuk, ulat, lebah madu, kelelawar dan lain-lain (Irwanto, 2006).

Vegetasi Hutan Mangrove

Vegetasi mangrove mempunyai morfologi dan anatomi tertentu sebagai

respons fisiogenetik terhadap habitatnya. Vegetasi mangrove yang bersifat

halopitik menyukai tanah-tanah yang bergaram, misalnya Avicennia sp.,

Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., dan Xylocarpus sp. Vegetasi

tersebut menentukan ciri lahan mangrove berdasarkan sebaran, dan sangat terikat

pada habitat mangrove. Vegetasi yang tidak terikat dengan habitat mangrove

antara lain adalah Acanthus sp., Baringtonia sp., Callophyllum sp., Calotropis sp.,

Cerbera sp., Clerodendron sp., Derris sp., Finlaysonia sp., Hibiscus sp., Ipomoea

sp., Pandanus sp., Pongamia sp., Scaevola sp., Sesuvium sp., Spinifex sp.,

Stachytarpheta sp., Terminalia catappa, Thespesia sp., dan Vitex sp. Menurut

Kitamura et al. (1997) dalam Gunarto (2004), vegetasi mangrove dapat dibagi

(20)

Di mangrove Pulau Bali dan Lombok ditemukan 17 spesies vegetasi utama, di

antaranya Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza,

Bruguiera cylindrica, dan Xylocarpus granatum (vegetasi utama), 13 spesies

vegetasi pendukung antara lain Aegiceras aureum, Aegiceras corniculatum, dan

Aegiceras floridum, serta 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi, misalnya

Acanthus sp., Baringtonia sp., Callophyllum sp., Calotropis sp., Cerbera sp.,

Clerodendron sp., dan Derris sp. MacIntosh (1984) dalam Gunarto (2004)

menyatakan bahwa beberapa jenis kepiting antara lain Sesarma onychophorum,

Cleistocoeloma mergueinensis, Uca triangularis, Uca dussumieri, Uca rosea,

Ilyoplax spp., dan Metaplax spp. hidup di area vegetasi utama. Tomlinson (1986)

membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok sesuai dengan kemampuan

adaptasinya terhadap lingkungan mangrove, yakni:

1. Flora mangrove mayor (flora yang sebenarnya), yakni flora yang

menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan

membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur

komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus

(bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan

mempunyai mekanisme fisiologis dan mengontrol garam. Contohnya

adalah: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,

Lumnitzera, Laguncularia, dan Nypa.

2. Flora mangrove minor, yaitu flora mangrove yang tidak mampu

membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan

(21)

Heritiera, Aegialitis, Achrostichum, Camptostemon, Schyphipora,

Phempis, Osbornia, dan Peliciera.

3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,

Hibiscus, Calamus.

Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001) dalam Irwanto (2006), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp., yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus

spp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Peranan Ekosistem Hutan Mangrove

Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga

merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan

lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian,

daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun

(22)

Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk

menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing

sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat

pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,

dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman

biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman

anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai

sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan

tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove

(23)

Tabel 1. Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove

No. Kegiatan Dampak Potensial

1. Tebang habis Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang di tebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.

2. Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi.

- Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan.

- Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air tawar berkurang.

3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan

- Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan atau stadium muda ikan dan udang.

(24)

Tabel 1. Lanjutan

No. Kegiatan Dampak Potensial

- Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove di konversi mengendap di hutan mangrove.

- Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang mempertahankan keberadaannya melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut.

- Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.

4. Pembuangan sampah cair (Sewage)

Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik antara lain menghasilkan hidrogen sulfide (H2S) dan amonia

(NH3) yang keduanya merupakan racun bagi

organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur

busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik.

5. Pembuangan sampah padat

Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. Serta perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.

(25)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Kawasan

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 30 14’ – 40 13’ Lintang Utara, 970 52’ – 980 45’ Bujur Timur dan 4 – 105 m dari permukaan laut. Kabupaten Langkat memiliki luas area seluas ± 6.263,29 Km2 (626.329 Ha) yang terdiri dari 20 kecamatan dan 226 desa serta 34 kelurahan definitif. Area Kabupaten Langkat di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Acah Tamiang dan Selat Malaka, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, di sebelah barat berbatsan dengan Kabupaten Aceh Tenggara / Tanah Alas dan di

sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, 2008).

Iklim

(26)

168.00 168.83

Gambar 1. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Langkat (Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Langkat, 2007)

26,9 26,6 26,5 27,3 27,5 27,3 26,8 26,9 26,8 26,7 26,7 26,1

83 82 85 83 82 83 84 84 85 86 87 87

Gambar 2. Rata-Rata Suhu dan Kelembaban Kabupaten Langkat (Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Medan, 2007)

Pemerintahan

(27)

pinus, kayu gergajian sawnwood; hasil ikutan berupa kayu bakar, tiang, kasau, anak kayu, rotan, kulit kayu, nibung, getah-getahan, sampan, arang dan getah tusam. Jenis komoditi yaitu arang, bambu, damar, kayu gelondongan, kayu jati, kayu bakar, getah tusam, rotan, meranti, kayu campuran/sembarang, lainnya/kayu olahan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, 2008).

Kecamatan Tanjung Pura Letak Kawasan

Kawasan hutan mangrove desa Pulau Banyak Kecamatan Tanjung Pura yang menjadi objek penelitian terletak antara Lintang Utara : 03° 14’ 00” - 04° 13’ 00” dan Bujur Timur: 97° 52’ 00” - 98° 45’ 00” dan terletak pada 0 - 4 meter di atas permukaan laut. Dengan luas wilayah 16.578 Ha (165.78 Km2). Sebelah utara kawasan ini berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Hinai / Kecamatan Padang Tualang, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gebang / Kecamatan Padang Tualang dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Secanggang.

Kecamatan Tanjung Pura memiliki 19 desa, desa tersebut yaitu: 1. Kelurahan Pekan Tanjung Pura

(28)

8. Desa Pematang Sungai 9. Desa Pulau Banyak 10. Desa Lalang

11. Desa Pantai Cermin 12. Desa Pematang Cengal 13. Desa Bubun

14. Desa Tapak Kuda 15. Desa Kwala Langkat 16. Desa Kwala Serapuh 17. Desa Karya Maju 18. Desa Suka Maju

19. Desa Pematang Cengal Barat

(29)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Penelitian lapangan dilaksanakan selama 3 bulan mulai Januari sampai dengan Maret 2009.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: pacak, tali plastik, phiband, pita ukur, kompas, alat tulis, kamera digital, kalkulator, thermometer, troll 9500 dan GPS (Global Positioning System). Adapun bahan yang digunakan adalah data primer, data sekunder, kuisioner, buku panduan mangrove (JICA dan Wetlands) serta peta Kabupaten Langkat.

Cara Kerja

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah: penentuan lokasi petak contoh, wawancara dan analisis data primer dan sekunder. Survei lapang bertujuan untuk mengetahui kondisi struktur dan komposisi jenis hutan mangrove. Wawancara bertujuan untuk mengetahui keterkaitan dan penggunaan komponen penyusun mangrove oleh masyarakat sekitar kawasan. Tahap-tahap penelitian tersebut antara lain:

Penentuan Lokasi Petak Contoh

(30)

peletakan petak contoh. Stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan tataguna dan peruntukan wilayah pesisir hutan mangrove yang dibagi menjadi 4 stasiun pengamatan (Gambar 2), yaitu sebagai berikut:

- Stasiun 1 merupakan daerah yang jaraknya jauh dari desa (04o01’23,5”N, 98o27’20,8”E)

- Stasiun 2 merupakan daerah yang jaraknya dekat dengan desa (04o01’41,7”N, 98o27’06,1”E)

- Stasiun 3 merupakan daerah yang dekat dengan muara sungai (04o01’01,7”N, 98o27’27,9”E)

- Stasiun 4 merupakan daerah pertambakan dan budidaya (04o00’37,7”N, 98o27’13,6”E)

Gambar 3. Kondisi Tegakan Mangrove pada Setiap Stasiun Pengamatan I

III IV

(31)
(32)

Pengumpulan Data Primer dan Sekunder

Data primer adalah data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan. Data primer yang terkait dengan ekologi tegakan yang diukur langsung di lapangan meliputi struktur vegetasi, komposisi jenis, serta kualitas perairan meliputi suhu, salinitas dan pH. Data primer yang lain adalah persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove, yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan 50 orang responden menggunakan bantuan kuisioner yang telah dipersiapkan. Responden yang akan diwawancarai meliputi: camat, kepala desa, masyarakat lokal, nelayan, dan petambak.

Data sekunder diperoleh dari dinas terkait antara lain, Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Medan, Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Pemerintah Daerah setempat dan nara sumber lainnya. Data sekunder yang diperlukan antara lain adalah letak dan luas desa, jumlah penduduk, dan data dari sumber lain.

Analisis Vegetasi Hutan Mangrove

Analisa vegetasi yang akan dilakukan secara rinci diamati sebagai berikut: 1. Pada setiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek-transek garis dari arah

laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang formasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah pasang surut.

(33)

laut (Gambar 5). Ukuran permudaan yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove adalah sebagai berikut:

a. Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m

b. Pancang : Permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm

c. Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih

Selanjutnya ukuran sub – petak untuk setiap tingkat permudaan adalah: a. Semai : 2 x 2 m

b. Pancang : 5 x 5 m c. Pohon : 10 x 10 m

3. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur diameter batang setiap pohon mangrove pada setinggi dada (sekitar 1,3 m).

4. Pada setiap zona sepanjang transek garis, diukur parameter lingkungan seperti: suhu, salinitas dan pH.

10 m

Arah Rintis

2 m 5 m

(34)

Etnobotani Mangrove

Untuk mengetahui etnobotani mangrove dilakukan wawancara dengan mewawancarai 50 rumah tangga di sekitar desa yang berdekatan dengan hutan mangrove. Pengambilan contoh secara sistematis untuk mengunjungi setiap rumah. Hanya 1 orang yang akan diwawancarai dalam satu keluarga untuk menghindari pengulangan dari anggota keluarga yang sama. Wawancara dimulai dengan pertanyaan mengenai pemahaman responden mengenai istilah mangrove, untuk memastikan bahwa pewawancara dan responden tersebut berbicara mengenai pokok dan konsep yang sama. Responden yang akan diwawancarai berkisar mulai dari 16 tahun sampai usia 55 tahun (Dahdouh-Guebas, et al, 2000).

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden terhadap ethnobotani mangrove digunakan suatu katalog yang berisi dokumentasi yang menggambarkan pohon, daun, bunga, dan akar. Daftar pertanyaan lain adalah dengan membuat pilihan-pilihan pada setiap pertanyaan. Pertanyaan tersebut mencakup ethnobotani, isu terkait yang berhubungan dengan pemanfaatan mangrove, keadaan sosial ekonomi masyarakat serta persepsi masyarakat tentang hutan mangrove. Survei dilengkapi dengan pengamatan visual dan pengumpulan data sekunder (Dahdouh-Guebas, et al, 2006).

Analisa Data

Ekologi Hutan Mangrove

(35)

yaitu kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif, dan indeks nilai penting.

Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis a. Kerapatan Jenis

Kerapatan (K) =

d. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat pohon) INP = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang) e. Indeks Keanekaragaman

(36)

- Index Simpson’s

Formula yang digunakan untuk melihat keragaman Simpson’s adalah:

D = 1 -

Pi2

Keterangan:

D : Indeks Simpson’s

Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-i Pi2 : (Ni/Nt)2

Ni : Jumlah individu spesies ke-i Nt : Jumlah total untuk semua individu - Indeks Shannon-Wienner

Formula yang digunakan untuk melihat indeks keragaman Shannon-Wienner adalah:

H’ =

s

i

Pi e Pi

1

) (log

Keterangan:

H’ : Indeks Shannon-Wienner Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-i Pi2 : (Ni/Nt)2

Ni : Jumlah individu spesies ke-i Nt : Jumlah total untuk semua individu

(37)

dengan mengkaitkannya terhadap pengelolaan dan kelestarian hasil hutan (Latifah, 2005).

Menurut Barbour et al (1987) dalam Onrizal (2007) menyatakan bahwa nilai H’ berkisar antara 0 – 7 dengan kriteria : (a) 0 -2 tergolong rendah, (b) 2 -3 tergolong sedang, dan (c) 3 atau lebih terglong tinggi. Menurut Bengen (2000), kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan dominansi vegetasi dengan menggunakan indeks Simpson’s:

Mendekati 0 = indeks semakin rendah atau dominansi oleh satu spesies Mendekati 1 = indeks besar atau cenderung dominansi oleh beberapa spesies

Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar (Indriyanto, 2006).

Uji Antar Petak Ukur Per Lokasi

Pengambilan contoh vegetasi pada metode petak ganda dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata pada areal yang dipelajari, dan peletakan petak contoh sebaiknya secara sistematis. Ukuran petak contoh disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan bentuk tumbuhannya (Indriyanto, 2006).

(38)

< 10 cm, serta semai 2 m x 2 m dengan tinggi kurang dari 1,5 m. Untuk mendapatkan variasi kelimpahan dari permudaan pohon (semai dan pancang) dan regenerasi dihitung kerapatan.

Dari masing-masing stasiun sebanyak 3 plot berukuran 10 x 10 m dilakukan pengukuran tinggi dan diameter. Diameter yang digunakan adalah > 2,5 cm pada setinggi dada. Pengukuran ini dimaksudkan untuk menguji perbedaan peubah sebagai fungsi dari penempatan lokasi yang berbeda (Dave, 2006).

Dianalis indeks dampak manusia tersebut sebagai perbandingan anakan untuk pohon yang dewasa pada variasi yang berbeda antar 4 lokasi. Digunakan distribusi kelas ukuran diameter pohon untuk melihat perbedaan antar lokasi dalam peremajaan jenis. Digunakan uji t untuk melihat kelimpahan pohon dewasa dan permudaan/anakan dengan menggunakan software SPSS 15.

Analisis Data Etnobotani

Hasil dari wawancara kemudian akan dianalisis menurut Dahdouh- Guebas, et al. (2006) seperti tingkat pengetahuan responden terhadap mangrove, berdasarkan umur responden (16 sampai 55 tahun). Kategori tersebut dibagi kedalam 4 kategori seperti rendah (< 50 %), sedang (50-70 %), baik (70-80 %), dan sangat baik (≥ 80 %). Secara rinci, data ethnobotani akan dianalisis berupa:

a. Sosial kependudukan dan ciri ekonomi responden. Dianalisis pendapatan rata-rata responden per tahun, serta aset yang dimilki oleh responden. b. Penggunaan mangrove bagi masyarakat lokal (misalnya untuk kayu bakar,

(39)
(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden Umur

Kelompok umur responden berada antara 16 – 55 tahun, dapat dilihat pada Tabel 2. Dominan umur responden (masyarakat) di kawasan Serapuh adalah kelompok umur 36 – 40 tahun (30 %). Kelompok umur 16 – 20 tahun merupakan kelompok umur yang sangat rendah yaitu 2 %.

Tabel 2. Kelompok Umur Responden

Umur Frekuensi Persen (%)

16-20 1 2,0

21-25 2 4,0

26-30 11 22,0

31-35 4 8,0

36-40 15 30.0

41-45 7 14,0

46-50 6 12,0

51-55 4 8,0

Jumlah 50 100,0

Agama

Berdasarkan hasil kuisioner diketahui bahwa responden masyarakat di kawasan Serapuh beragama Islam. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dengan 50 responden diketahui bahwa 100% beragama Islam.

Jenis Pekerjaan

(41)

dengan 50 orang responden dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di kawasan Serapuh memiliki pekerjaan sebagai nelayan (38 %), seperti yang terlihat pada Gambar 6. Hal ini disebabkan karena Desa Pulau Banyak merupakan kawasan pesisir pantai, sehingga mayoritas pekerjaan masyarakatnya adalah sebagai nelayan.

2% 12%

4%

18%

38% 14%

12% Bertani

wiraswasta PNS

Pedagang Nelayan

Pengambil daun Nipah

Ibu rumah tangga

Gambar 6. Jenis Pekerjaan Responden

Tingkat Pendidikan

(42)

64% 26%

4%0% 6%

SD

SLTP

SMA/Sederajat

Sarjana

Belum Bersekolah

Gambar 7. Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendapatan

Berdasarkan hasil kuisioner diketahui bahwa tingkat pendapatan masyarakat di kawasan Serapuh berkisar mulai dari < Rp. 500.000,- sampai > Rp. 2.000.000,- per bulan (Gambar 8). Tingkat pendapatan responden yang paling dominan adalah berkisar antara Rp. 1.500.000,- sampai Rp. 2.000.000,- per bulan yaitu sebesar 78 %. Tingkat pendapatan responden yang paling rendah adalah kurang dari Rp. 500.000,- per bulan yaitu sebesar 12 %.

12%

78% 10% 0%

Kel I Kel II Kel III Kel IV

Gambar 8. Tingkat Pendapatan Responden

(43)

Lama Menetap

Dari hasil kuisioner diketahui bahwa masyarakat di kawasan Serapuh terdiri dari masyarakat asli. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa responden yang menetap lebih dari 7 tahun adalah 92 % sedangkan masyarakat yang menetap kurang dari 5 tahun hanya 2 %. Hal ini dapat diketahui bahwa penduduk asli mendominasi desa tersebut dibandingkan penduduk pendatang.

2% 4% 2%0%

92%

< 5 tahun

5 tahun 6 tahun

7 tahun

> 7 tahun

Gambar 9. Lama Menetap Responden

Sosial Kependudukan dan Ciri Ekonomi

(44)

Tabel 3. Pendapatan Serta Aset yang Dimiliki oleh Responden

Aset Jumlah keluarga/Responden Persentase (%)

Tanah 12 24,0

Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Komposisi Jenis

Berdasarkan inventarisasi flora diketahui bahwa hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura disusun oleh 17 jenis tumbuhan, yang terdiri dari 16 famili, dimana 11 berhabitus pohon, dan 2 merupakan palma dan 4 jenis vegetasi lainnya merupakan tumbuhan bawah. Jenis-jenis yang dijumpai tersebut berdasarkan Tomlinson (1986), terdiri dari 6 jenis mangrove sejati, 3 jenis mangrove pendukung, dan 8 jenis termasuk asosiasi mangrove. Untuk lebih jelasnya hasil inventarisasi flora dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Vegetasi Hutan Mangrove kawasan Serapuh, Desa Pulau Banyak, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

No. Suku No. Jenis Nama Lokal Habitus

Mangrove Sejati

1. Avicenniaceae 1. Avicennia alba Blume Api-api Pohon

2. Arecaceae 2. Nypa fruticans Wurmb Nipah Palma

3. Oncosperma tigillarium Nibung Palma

3. Combretaceae 4. Lumnitzera littorea (Jack)

Voigt

Teruntun Pohon

4. Rhizophoraceae 5. Rhizophora apiculata

Blume

Bakau Pohon

5. Sonneratiaceae 6. Sonneratia alba J. Sm. Perepat, Berembang Pohon

Mangrove Pendukung

6. Euphorbiaceae 7. Excoecaria agallocha L. Buta-buta Pohon

7. Pteridaceae 8. Acrostichum aureum Linn. Piai Terna

tanah

(45)

Tabel 4. Lanjutan

No. Suku No. Jenis Nama Lokal Habitus

Asosiasi Mangrove

9. Leguminosae 10. Pongamia pinnata (L.) Pierre Kacang kayu laut Pohon

10. Verbenaceae 11. Clerodendrum inerme Gaertn. Dadap laut Belukar

11. Pandanaceae 12. Pandanus odoratissima Pandan Pandan

12. Achantaceae 13. Acanthus illicifolius L. Jeruju Herba

tanah

13. Combretaceae 14. Terminalia catappa L. Ketapang Pohon

14. Verbenaceae 15. Hibiscus tilliaceus L. Waru laut Pohon

15. Casuarinaceae 16. Casuarina equisatifolia Cemara laut Pohon

16. Bombacaceae 17. Ceiba petandra Kapuk Pohon

(46)

Tabel 5. Parameter lingkungan (suhu, pH, salinitas)

No. Stasiun T (oC) pH Salinitas

(ppt) T dalam tegakan T luar tegakan

1 I (Jauh dari desa) 29,0 29,1 7,01 23,20

2. II (Dekat dari desa) 29,0 30,0 7,20 24,48

3. III (tambak) 37,6 38,4 7,12 4,55

4. IV (muara sungai) 36,0 36,7 7,22 4,96

Struktur Tegakan

Gambar 11 yaitu variasi kelimpahan semai (anakan pohon) dan pohon dewasa antar 4 stasiun, dapat dilihat bahwa pada stasiun I dan II Sonneratia alba

memiliki kelimpahan yang sangat besar di tingkat semai pada stasiun I, namun tidak ditemukan pada stasiun III dan IV baik pada semai maupun pohon. Hal ini dikarenakan jenis ini hanya terdapat pada stasiun I (daerah yang jauh dari desa atau rumah penduduk.

Berdasarkan hasil uji t pada masing-masing stasiun, pada stasiun I dapat diketahui bahwa t hitung adalah 1,253 dengan probabilitas 0,242. Untuk uji 2 sisi, angka probabilitas adalah 0,242/2 = 0,121, oleh karena 0,121 > 0,025, maka Ho diterima, artinya tidak ada perbedaan nyata antara jumlah regenerasi (semai dan pancang) dengan pohon dewasa.

(47)

Bruguiera gymnorrhiza, dan Rhizophora apiculata. Menurut Dahuri et al (1996)

dalam Rochana (2006) bahwa dampak potensial dari adanya tebang habis adalah berubahnya komposisi tumbuhan, pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang di tebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.

Pada stasiun III dapat diketahui bahwa t hitung adalah 2,305 dengan probabilitas 0,047. Untuk uji 2 sisi, angka probabilitas diperoleh 0,0235. Oleh karena 0,0235 < 0,025, maka Ho ditolak, artinya jumlah regenerasi (semai dan pancang) dengan pohon dewasa berbeda secara nyata. Sama seperti pada stasiun II pengambilan kayu oleh masyarakat mendorong hilangya struktur hutan mangrove yang terletak di kawasan Serapuh. Pada stasiun ini spesies yang dominan pada tingkat semai adalah Bruguiera gymnorrhiza, pada tingkat pancang spesies yang dominan adalah Dolichandron sphantaceae dan pada tingkat pohon spesies yang dominan adalah Lumnitzera littorea. Pada tingkat pohon spesies Bruguiera gymnorrhiza sudah digantikan oleh spesies Lumnitzera littorea. Hal ini disebabkan karena Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu spesies yang banyak digunakan masyarakat untuk konstruksi.

(48)

Keterangan: Sa = Sonneratia alba; Ci = Clerodendron inerme; Aa = Avicennia alba; Ea = Excoecaria agallocha; Tc = Terminalia catappa; Pp =

Pongamia pinnata; Bg = Bruguiera gymnorrhiza; Ra = Rhizophora apiculata; Ll = Lumnitzera littorea; Dc = Dolichandrone sphantaceae

Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada keempat stasiun dijumpai 10 jenis flora penyusun tegakan hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Pada stasiun pertama yaitu daerah yang jaraknya jauh dari desa ditemukan 3 jenis flora yaitu Sonneratia alba, Clerodendron inerme, Excoecaria agallocha pada ketiga plot. Pada tingkat semai diketahui bahwa indeks nilai penting (INP) Sonneratia alba adalah 159,6154 % dan untuk Clerodendron inerme adalah 40,38462 %, dengan indeks Shannon-Wienner adalah 0,4741 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,29. Pada tingkat pancang ditemukan 3 jenis spesies yaitu Sonneratia alba dengan kerapatan relatif (KR) adalah 53,33 %. Avicennia alba 26,67 % sedangkan Excoecaria agallocha

Stasiun I

(49)

memiliki KR sebesar 20 %. Sedangkan untuk indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pada tingkat ini adalah 1,00 dan indeks Simpson nya yaitu 0,60. Untuk fase pohon hanya ditemukan 1 jenis pohon yaitu Sonneratia alba karena pada tingkat ini merupakan daerah komunitas Sonneratia spp. Jenis ini memiliki kerapatan relatif sebesar 100 %, sedangkan untuk indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dan indeks Simpson pada jenis ini adalah 0, hal ini karena keanekaragamannya sangat rendah.

Pada stasiun kedua, merupakan daerah yang jaraknya dekat dengan desa memiliki 5 jenis flora yaitu Avicennia alba, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha, Pongamia pinnata, dan Terminalia catappa. Pada tingkat semai kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Soneratia alba dengan jumlah 32,35% sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Pongamia pinnata yaitu 5,88 % sedangkan indeks nilai keanekaragaman Shannon-Wienner pada stasiun ini yaitu 1,51 dan indeks Simpson nya yaitu 0,75. Untuk tingkat pancang, kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba yaitu 31,03 % sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Avicennnia alba dan

Excoecaria agallocha yaitu masing-masing 13,79 % sedangkan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pada tingkat pancang ini yaitu 1,56 dan indeks Simpson nya yaitu 0,78. Pada fase pohon terdapat 4 jenis yaitu Aveicennia alba, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha dan Terminalia catappa. Dimana kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba dengan kerapatan relatif sebesar 43,75 % sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada

(50)

masing-masing 18,75 %. Untuk indeks Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,56 dan indeks Simpson nya yaitu 0,78.

Pada stasiun ketiga yaitu daerah yang dekat dengan muara sungai ditemukan 5 jenis flora, yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Lumnitzera littorea, Dolichandrone sphantaceae dan Nypa fruticans. Pada tingkat semai untuk jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Nypa fruticans yaitu 27,65 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah terdapat pada

Lumnitzera littorea yaitu 14,89 %. Untuk indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,58 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,78. Pada fase pancang kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Dolichandrone sphantaceae yaitu 28,57 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah terdapat pada Rhizophora apiculata yaitu 8,57 %. Untuk indeks Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,54 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,78. Pada fase pohon kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Lumnitzera littorea yaitu 35,29 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah terdapat pada Rhizophora apiculata

yaitu 11,76 %. Untuk indeks Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,31 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,72.

Pada stasiun keempat yaitu daerah pertambakan, berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tingkat semai ditemukan 4 jenis flora mangrove yaitu, Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Pongamia pinnata serta Excoecaria agallocha. Pada tingkat ini kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Avicennia alba yaitu 36,36 %, sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Excoecaria agallocha

(51)

5 jenis flora yaitu Avicennia alba, Soneratia alba, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza serta Excoecaria agallocha. Dari kelima jenis ini kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia alba dengan nilai 30 % sedangkan kerapatan relatif terendah yaitu Soneratia alba dengan nilai 6,67 % dan indeks Shannon-Wienner pada tingkat pancang ini adalah 1,50 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,76. Pada fase pohon ditemukan 4 jenis flora, dimana kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Lumnitzera littorea, yaitu 35,29 % sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Rhizophora apiculata

yaitu sebesar 11,76 %. Pada fase ini indeks keanekaragaman Shannon-Wienner nya adalah 1,49 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,75.

Berdasarkan hasil perhitungan analisis vegetasi dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman masing-masing stasiun untuk setiap fase pertumbuhan tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Barbour

et al (1987) dalam Onrizal (2007) yang menyatakan bahwa nilai H’ berkisar antara 0–7 dengan kriteria : (a) 0-2 tergolong rendah, (b) 2-3 tergolong sedang, dan (c) 3 atau lebih tergolong tinggi. Menurut Indriyanto (2006) suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan.

(52)

Pada hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara, gangguan utama perkembangan mangrove adalah konversi lahan untuk tambak yang telah dilakukan 20 tahun yang lalu dan kelapa sawit yang masih baru (5 tahun yang lalu) serta pengambilan pohon mangrove untuk kayu bakar dan pembuatan arang. Jenis utama yang dijadikan arang adalah kelompok Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Penggunaan kedua jenis tersebut untuk arang karena kandungan kalornya yang tinggi, sebagaimana dilaporkan oleh FAO (1994) dalam Onrizal (2008). Kayu dari jenis Avicennia

spp., Ceriops spp. dan Xylocarpus spp. dijadikan sebagai kayu bakar pada tungku arang atau kayu bakar untuk rumah tangga. Penggunaan jenis-jenis tersebut sebagai bahan bakar juga dilaporkan di Papua, Indonesia Leonard et al., (2003)

dalam Onrizal (2008) dan Mida Creek, Kenya (Dahdouh-Guebas et al., 2000) dan Andhra Pradesh, (Dahdouh-Guebas et al., 2006) oleh karena itu, pada areal tersebut sangat sulit vegetasi mangrove mencapai tingkat pohon karena sebelum mencapai tingkat pohon telah ditebang untuk kayu bakar.

(53)

Penggunaan mangrove

Tingkat Pengetahuan Terhadap Flora Mangrove

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa responden yang diwawancarai mayoritas memiliki kategori pengetahuan yang rendah terhadap flora mangrove yaitu sebesar 42 %, sedangkan tingkat pengetahuan responden yang sangat baik hanya 10 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden belum banyak mengenal flora atau tumbuhan magrove tersebut.

42%

26% 22%

10%

Rendah Sedang Baik Sangat baik

Gambar 12. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Flora Mangrove

Etnobotani Mangrove

(54)

Selain secara tradisional masyarakat di kawasan Serapuh memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara langsung. Pemanfaatan langsung ini dilakukan, baik dengan mengubah area tersebut maupun tidak mencakup tambak ikan/udang, pemasangan jaring apung (keramba), tempat penangkapan langsung, sumber kayu bakar dan arang, sumber kayu bangunan, sumber bahan pangan, pakan ternak, serta bahan obat (Setyawan dan Winarno, 2006). Manfaat hutan mangrove di kawasan Serapuh dapat dilihat pada Gambar 13.

Kayu Bakar dan Arang

Mangrove memiliki berbagai fungsi, seperti fungsi fisik, biologis dan fungsi ekonomis. Fungsi ekonomis ini yang kemudian dimanfaatkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fungsi ekonomis tersebut diantaranya adalah penghasil kayu bakar, untuk konstruksi, serta obat-obatan. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Gunarto (2004) yang menyatakan bahwa fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan,

dan obat-obatan.

Dari Gambar 13, dapat dilihat bahwa penggunaan mangrove untuk kayu

bakar atau pembuatan arang sebanyak 6 responden (12 %). Jenis mangrove yang

digunakan oleh responden untuk kayu bakar adalah Avicennia spp., kemudian

Rhizophora spp., Bruguiera spp., dan jenis lainnya. Jenis yang paling banyak

digunakan oleh responden adalah jenis Avicennia spp. yaitu sekitar 40 % dari total

(55)

22%

Gambar 13. Manfaat Mangrove oleh Responden

Keterangan: Kel 1, memancing; Kel 2, Kayu bakar dan arang; Kel 3 Konstruksi rumah dan pembuatan perahu; Kel 4 Obat-obatan; Kel 5, Mebel; Kel 6, Bahan makanan; Kel 7, Memancing dan kayu bakar; Kel 8, Memancing, kayu bakar, konstruksi dan pembuatan perahu; Kel 9, Semuanya, Kel 10, Tidak menggunakan, Kel 11, Tidak tahu

Karakteristik yang digunakan oleh responden untuk kayu bakar yaitu daya

kalori yang tinggi dan kayu yang kecil. Seperti yang telah dikemukakan oleh

Setyawan dan Winarno (2006) yaitu jenis pohon yang ditebang untuk pembuatan

arang umumnya Rhizophora spp. karena memiliki kalori yang cukup tinggi, sedangkan untuk kayu bakar hampir semua pohon digunakan.

Kayu yang kecil ini seharusnya tidak boleh digunakan sebagai kayu bakar

karena kayu kecil ini merupakan permudaan atau regenerasi yang kemudian akan

(56)

merupakan penyumbang utama kerusakan ekosistem mangrove di dalam kawasan hutan, seperti pada kawasan hutan mangrove di Segara Anakan Propinsi Jawa Tengah. Penebangan hutan hingga tingkat yang tidak memungkinkan penyembuhan secara alami merupakan ancaman serius ekosistem mangrove. Pembabatan hutan mangrove menyebabkan abrasi di Bulak dan Telukawur Propinsi Jawa Tengah, hingga menghapus beberapa kawasan dari peta. Sebaliknya pengelolaan hutan mangrove yang baik di sekitar Pasar Banggi Propinsi Jawa Tengah menyebabkan kawasan tersebut aman dari abrasi dan badai. Badai tsunami merupakan salah satu bencana alam paling merusak di kawasan pantai. Hasmonel et al, (2000) dalam Setyawan dan Winarno (2006).

Selain mengambil langsung kayu mangrove ke hutan ada juga responden

yang membeli kayu mangrove. Responden yang membeli kayu mangrove yaitu

sebesar 22 %. Responden membeli kayu mangrove dari masyarat sekitar (14 %)

dan penjual kayu mangrove (8 %) (Gambar 14).

14%

8% 0%4%

74%

masy arakat sekitar p enjual kay u mangrove p erusahaan kay u lainny a tidak ada

Gambar 14. Pembelian Kayu Mangrove oleh Responden

Konstruksi

(57)

yang paling dominan digunakan untuk kayu konstrusi adalah Bruguiera sp., (20 %). Seperti yang dikemukakan oleh Setyawan dan Winarno (2006) jenis mangrove yang digunakan untuk bahan bangunan, yaitu Rhizophora spp., selain itu digunakan pula Sonneratia spp. dan Bruguiera spp.

Kriteria yang digunakan oleh responden untuk kayu konstruksi ini adalah ketahanan yang tinggi dan kuat. Sebuah tanaman mangrove dapat bertahan 5 hingga 10 tahun, tetapi bagi responden sebuah kayu mangrove biasanya bertahan 5 tahun. Sebanyak 32 % responden menyatakan bahwa kayu mangrove dapat bertahan 5 tahun, untuk ketahanan 7 tahun sebanyak 16 %, 9 tahun (10 %) dan ketahanan 10 tahun sebanyak 6 %. Tetapi menurut responden jika kayu mangrove tersebut diberi minyak maka kayu tersebut akan bertahan lebih lama lagi. Intensitas responden berkunjung ke hutan untuk mengambil kayu sebagai konstruksi rumah mereka dapat dikategorikan sering, karena mereka mengambil kayu mangrove tersebut kapan saja jika dibutuhkan (Gambar 15).

6% 2%

22%

8% 8% 28%

26% 1 x seminggu

2 x seminggu 3 x seminggu 4 x seminggu > 4 x seminggu tidak pernah

kapan saja jika dibutuhkan

(58)

Bahan Makanan

Pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan di lokasi penelitian ini, jauh lebih rendah dari pada potensi yang ada. Jenis yang digunakan masyarakat sebagai bahan makanan di Pulau Banyak ini yaitu Nypa fruticans.

Menurut Bandaranayake (1998) dalam Setyawan dan Winarno (2006). Tumbuhan mangrove menyediakan berbagai bahan makanan. Buah/hipokotil

Bruguiera spp., Sonneratia caseolaris, dan Terminallia catapa mengandung pati dan dapat menjadi sumber karbohidrat. Daun muda Acrostichum aureum, Avicennia marina, dan Pluchea indica, hipokotil B. gymnorrhiza dan B. sexangula, serta buah, biji dan semai A. marina, A. officinalis, B. sexangula dapat dijadikan sayuran. Ekstrak galih kayu Avicennia alba dan A. officinalis dapat digunakan sebagai tonik; buah Rhizophora spp. dan Sonneratia caseolaris secara berturut-turut dapat dijadikan tuak dan sari buah. Nira bunga N. fruticans dapat diolah menjadi gula merah dan tuak, karena kandungan sukrosanya yang tinggi. Nipah juga dapat menghasilkan minyak goreng, daunnya untuk kertas rokok, dan abunya untuk sumber garam

Obat-obatan

(59)

perasan buah atau akar dapat digunakan untuk mengatasi racun gigitan ular. Di Bogowonto dan Segara Anakan, Jawa Tengah masyarakat mengetahui potensi obat beberapa tumbuhan mangrove, seperti buah (biji) Acanthus ilicifolius yang berpotensi untuk pengobatan hepatitis. Menurut Bandaranayake (1998) dalam

Setyawan dan Winarno (2006), tumbuhan ini berperan sebagai afrodisiak, asma, pembersih darah (buah), diabetes, diuretik, dispepsia, hepatitis, lepra (buah, daun, akar), neuralgia, paralisis, cacingan, rematik, penyakit kulit, gigitan ular, dan sakit perut (kulit kayu, buah, daun). Caranya adalah dengan langsung memakan bagian buah dari tanaman tersebut. Kemudian ada Excoecaria agallocha atau biasa disebut buta-buta, bagian tanaman ini yaitu akar digunakan untuk menyembuhkan penyakit sakit gigi (Tabel 6).

34%

Gambar 16. Jenis Tanaman untuk Obat-obatan

Selain tanaman mangrove responden juga menggunakan daun dari pohon

(60)

Tabel 6. Penggunaan Tanaman Mangrove oleh Masyarakat di Hutan Mangrove Kawasan Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat

No. Nama spesies Nama lokal Pemanfaatan Bagaian

yang

2. Acanthus ilicifolius Jeruju Obat pembersih darah,

cacingan, mengobati reumatik.

Buah, daun

3. Acrosticum aureum Piai Makanan ternak Daun

4. Bruguiera gymnorrhiza Mata buaya Kayu konstruksi, kayu

bakar, arang

Batang (kayu)

5. Casuarina equisatifolia Cemara laut Digunakan pada ritual

atau upacara tertentu, digunakan sebagai bahan pembuatan perahu.

Daun, batang

6. Ceiba petandra Kapuk Digunakan untuk

meredakan demam, bahan pembuatan kasur, bantal.

Daun, buah

7. Excoecaria agallocha Buta-buta Untuk menyembuhkan

sakit gigi

Getah

8. Heritiera littoralis Cerlang laut Kayu bakar Kayu

9. Lumnitzera littorea Teruntun Bahan baku pembuatan

furniture

Kayu

10. Nypa fruticans Nipah Buah dari Nipah yang

masih muda dan segar dibelah. Air dan daging dimakan dan diminum dengan rasa seperti buah kelapa muda, atap rumah, kertas rokok (bahan pembuatan rokok), akar dibakar dan arangnya diletakkan pada gigi yang sakit.

Buah, daun, akar

11. Oncosperma tigillarium Nibung Bahan pembuatan lantai Kayu

12. Pongamia pinnata Kacang laut Makanan ternak Daun

13. Rhizophora apiculata Bakau Bahan bakar dan arang Kayu

14. Sonneratia alba Perepat, Berembang Kayu bakar, bahan baku

konstruksi dan pembuatan perahu

Kayu

15. Spinex littoreus Lalang gajah Bahan pakan ternak Daun dan

batang

16. Tidak tahu Sintak gegamit Alas/tempat ternak Daun dan

batang

17. Terminalia catappa Ketapang Konstruksi rumah Kayu

(61)

Bahan Pakan Ternak

Tanaman yang biasa digunakan sebagai bahan pakan ternak oleh masyarakat di kawasan Serapuh yaitu Acrosticum aureum atau Piai. Pakan ternak dari tumbuhan mangrove umumnya mencakup daun/ranting Rhizophora sp,

Sonneratia sp, Avicennia sp, serta jenis rumput-rumputan (Gramineae). Hal ini dilakukan baik di pantai utara maupun selatan. Di pantai selatan, kawasan yang sering tergenang banjir di musim hujan atau dikenal dengan nama Bonorowo, biasa digunakan sebagai lokasi penggembalaan ternak, baik sapi maupun kerbau, seperti di Bogowonto dan Lukulo (Setyawan dan Winarno, 2006).

Perikanan

(62)

6% 0%

20%

66%

2% 6%

Udang Kerang Ikan

Udang dan Ikan Semuanya Tidak ada

Gambar 17. Hasil yang Dikumpulkan dari Hutan Mangrove Berhubungan dengan Perikanan

Jarak pengambilan hasil perikanan tersebut dari rumah responden adalah tergolong dekat dan dapat diakses dengan berjalan kaki. Jarak tersebut hanya 1 km. Sebanyak 26 % responden menyatakan jarak pengambilan hasil perikanan tersebut (Gambar 18). Kemudian hasil pemancingan tersebut biasanya dikonsumsi dan dijual oleh responden.

14%

8%

12%

16% 26%

24% 1 km

2 km 3 km 4 km > 4 km tidak tahu

Gambar 18. Jarak dari Desa ke Hutan Mangrove

Pandangan Masyarakat Lokal Mengenai Perubahan Area Mangrove.

(63)

baku pembuatan perahu dan rumah (konstruksi), obat-obatan serta pemanfaatan hasil perikanan.

Responden juga menyatakan bahwa area hutan mangrove di desa mereka telah mengalami penurunan, baik penurunan luas maupun keanekaragaman vegetasi. Sebanyak 96 % (Gambar 19) responden menyatakan bahwa area mangrove mengalami penurunan telah mengakibatkan berkurangnya flora pada hutan mangrove tersebut. Penurunan ini dikarenakan intensitas pengambilan kayu mangrove yang tinggi khususnya pada kayu-kayu kecil (permudaan) yang digunakan untuk kayu bakar atau bahan pembuatan arang.

Intensitas responden memasuki kawasan hutan mangrove untuk mengambil kayu bakar dan keperluan lain tergolong cukup tinggi, yaitu sebanyak 11 responden (22%) menyatakan bahwa mereka berkunjung ke hutan 3 kali seminggu, dan sebanyak 12 responden (24%) dari responden memilih masuk ke hutan untuk mengambil kayu mangrove jika dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa responden atau masyarakat di kawasan Serapuh sangat bergantung pada keberadaan hutan mangrove.

96% 0%4%

Penurunan vegetasi Peningkatan vegetasi Tidak mengetahui

(64)

Mayoritas responden melakukan aktivitas pemanenan mangrove di sepanjang tepi hutan (38 %) atau yang terdekat dengan rumah, sedangkan 10 % responden melakukan aktivitas pemanenan tersebut di bagian terjauh dari hutan (Gambar 20). Responden melakukan aktivitas pemanenan tersebut dengan cara melakukan pembagian pekerjaan. Misalnya melakukan kegiatan penebangan, pengangkutan dan lainnya.

38%

30% 10%

22%

Sepanjang tepi hutan Ditengah hutan

Dibagian Terjauh dari hutan Tidak tahu

Gambar 20. Kegiatan/Aktivitas Pemanenan Mangrove

(65)

38%

6% 6% 14%

0% 36%

Kawasan hutan masyarakat

Hutan produksi

Hutan lindung

Hak milik

Bukan kawasan hutan

T idak tahu

Gambar 21. Status Kawasan Hutan Mangrove Tempat Responden Beraktivitas

Responden melakukan aktivitas pemanenan kayu di kawasan hutan hak milik 52 % responden, sedangkan 14 % responden melakukan pemanenan di kawasan hutan lindung dan sisanya (34 %) tidak mengetahui kawasan dimana aktivitas pemanenan kayu dilakukan (Gambar 22). Data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat menyebutkan bahwa kawasan hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura merupakan kawasan hutan produksi sehingga pengambilan kayu oleh masyarakat tidak dilakukan dengan sembarangan. Hal ini sesuai dengan keputusan menteri kehutanan nomor 8171/Kpts-II/2002 tanggal 5 September 2002 tentang kriteria potensi hutan alam pada hutan produksi yang dapat diberikan izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan kayu.

(66)

perdagangan kecil, 22 % untuk penggunaan lain, sedangkan sisanya (44 %) responden tidak melakukan aktivitas pemanenan mangrove.

0% 14%

0%

52% 34%

kawasan suaka margasat wa

kawasan hut an lindung

kawasan hut an produksi

kawasan hak milik

T idak t ahu

Gambar 22. Tempat Kawasan Responden Beraktivitas

Bagi sebagian besar responden memanen mangrove merupakan hal yang mudah. Sebanyak 50 % responden menyatakan bahwa memanen mangrove merupakan hal yang mudah untuk dilakukan tetapi sebanyak 14 % responden menyatakan bahwa memanen mangrove merupakan hal yang sulit, dikarenakan peralatan yang terbatas dan aksesibilitas yang sulit, ada juga yang menyatakan bahwa pengawasan yang ketat menjadi faktor lain (4 %).

Gambar

Gambar 3. Kondisi Tegakan Mangrove pada Setiap Stasiun Pengamatan
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 5. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak
Tabel 2. Dominan umur responden (masyarakat) di kawasan Serapuh adalah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove Di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Sumatera Utara.. Skripsi

Agus Purwoko : Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) Terhadap Pendapatan Masyarakat…, 2005 USU Repository © 2008... Agus Purwoko : Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan

Untuk mengetahui kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Sumatera Utara yang.. merupakan salah satu provinsi yang memiliki hutan mangrove yang

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 45 orang perawat di RSUD Tanjung Pura Langkat Sumatera Utara tentang kinerja yang terdiri dari pengkajian dengan jumlah terbesar 32

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Analisis Vegetasi dan Keanekaragaman Ikan di Perairan Kawasan Mangrove Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara” adalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penyebab kerusakan ekosistem hutan bakau ( mangrove ), dampak kerusakan ekosistem hutan bakau ( mangrove ), program rehabilitasi

Penelitian Keanekaragaman Jenis dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa Selotong Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan