BAHASA BINAN DALAM KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DI
KALANGAN WARIA
(Studi Deskriptif Mengenai Penggunaan Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II
Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
SANDHY SYARI PRATIWI
060904088
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Pengaruh Bahasa Binan dalam Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria ( Studi Deskriptif Mengenai Penggunaan Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang hanya menggambarkan suatu situasi atau peristiwa penelitian, tanpa mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.
Populasi dalam penelitian ini adalah para waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas. Untuk menentukan jumlah sampel dan penarikan sampel digunakan Total Sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 35 orang waria.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui dua cara, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa tabel tunggal dengan menggunakan aplikasi Statistical Product and System Solution (SPPS) 16.
Dari hasil penelitian ini diketahui mengenai para responden yang beridentitas sebagai waria menyatakan bahwa mereka sangat tertarik dengan asal usul bahasa binan yang sering mereka gunakan dalam berkomunikasi antarpribadi sehari-harinya. Ketika akan mengungkapankan informasi pribadi kepada orang lain, tentunya seorang waria harus memiliki sebuah kesamaan tertentu dengan orang lain sehingga dirinya merasa tidak canggung dalam berkomunikasi. Para waria mengakui sangat memiliki kesamaan dengan lawan bicara ketika menjalin komunikasi antarpribadi
KATA PENGANTAR Bismillahirahmannirrahim
Syukur allhamdulilah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-NYA, sehingga peniliti dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Bahasa Binan dalam Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria” (Studi Deskriptif mengenai Penggunaan Bahasa Binan dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara). Tak lupa salawat berangkaikan salam peneliti haturkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad Saw yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa isi dari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih minimnya pengetahuan dan pengalaman dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah data penelitian. Meskipun demikian, peneliti berusaha secara maksimal agar tulisan ini dapat tersusun sebaik mungkin. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati peneliti terbuka atas segala kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, sebagai masukan untuk menyempurnakan tulisan ini.
Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir peneliti dimungkinkan berkat bantuan berbagai pihak. Maka sudah pada tempatnya maka peneliti
menyampaikan penghargaan dan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya pada mereka yang banyak membantu dan mendukung peneliti dalam menulis skripsi ini.
Pertama sekali peneliti mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada orang tua yakni Ayahanda Syarifuddin,SE dan Ibunda Yusniar Nasution yang selalu ada untuk membimbing, memberikan semangat, cinta dan kasih sayang serta doa yang tak pernah putus untuk menjadikan kami anak yang terbaik. Untuk abang Yudha yang banyak memberikan masukan tentang kuliah, Fiera, Hendro, ibu Norma, om Amryn, mbak Ika, mbak Lia dan Yudo Baskoro yang selalu setia memberikan kebaikan dan ketulusan dalam memotivasi untuk membantu peneliti menggapai gelar sarjana, serta kepada Ayra Shaqi Nafila, keponakan yang selalu memberikan keceriaan dan senyuman dikala penat melanda.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini peneliti tidak hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak pihak yang memberikan kontribusi, baik berupa materi, pikiran, maupun dorongan semangat dan motivasi. Oleh karena iu melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs.Amir Purba, MA dan Ibu Dra.Dewi Kurniawati, M.Si selaku ketua
dan juga sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi yang begitu baik dan
3. Ibu Dra.Dayana, M.Si selaku dosen pembimbing peneliti, terimakasih yang
tak terhingga penulis ucapkan atas kebaikan dan pengetahuan yang telah
banyak ibu berikan dalam membimbing peneliti sehingga memotivasi peneliti
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Para dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang selalu memberikan contoh,
masukan serta teladan yang patut ditiru oleh peneliti berupa semangat untuk
terus belajar dan meraih cita-cita.
5. Kak Ros, Bang Ria, Pak Herman, Kak Icut dan Kak Maya untuk semua
dukungannya.
6. Kak Rotua atas semua dukungan, pengertian, memberikan motivasinya agar
peneliti segera menyelesaikan studi, serta meluangkan waktunya untuk
memberikan masukan dan ilmu kepada peneliti.
7. Terimakasih kepada teman-teman angkatan 2006 Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara atas perjuangan dan semangat kebersamaan kita.
8. Untuk anak-anak MZPZ : Aci, Sophia, Didar, Fara, dan Nizlya buat
motivasinya selama ini.
Medan, Agustus 2010
Peneliti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR... x
I.7. Kerangka Konsep... 11
I.8. Model Teoritis ... 12
I.9. Komponen Operasional ... 13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 42
III.2. Metodologi Penelitian ... 43
III.2.1. Metode Penelitian ... 43
III.2.2. Lokasi Penelitian... 43
III.3. Populasi dan Sampel ... 43
III.3.1. Populasi ... 43
III.3.2. Sampel... 44
III.4. Teknik Pengumpulan Data... 44
III.5. Teknik Analisis Data... 45
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1. Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 46
IV.1.1. Langkah-langkah pengumpulan data ... 46
IV.2. Proses Pengolahan Data... 47
IV.3. Analisa Tabel Tunggal... 48
IV.3.1. Karakteristik Responden... 48
IV.3.2. Bahasa Binan dalam Proses Komunikasi Antar pribadi di kalangan waria ... 51
IV.4. Pembahasan ... 78
BAB V PENUTUP V.1. Kesimpulan... 84
V.2. Saran... 85
IV.20 Anda memiliki intelegensia yang merupakan bagian
dari sifat positif ketika menjalin komunikasi ... 67
IV.21 Keyakinan bahwa keterbukaan sebuah dasar komunikasi
harmonis... 68
IV.22 Keyakinan bahwa keterbukaan diawali dengan bersikap
tulus, jujur dan apa adanya dalam menjalin hubungan ... 69
IV.23 Anda membayangkan diri anda kepada orang lain ketika
sedang berkomunikasi... 70
IV.24 Berempati diperlukan dalam menjalin sebuah hubunga ... 71
IV.25 Anda mendapatkan dukungan dari lingkungan terhadap
jati diri anda sebagai waria... 72
IV.26 Sebuah dukungan sangat berarti dalam kehidupan anda .... 73
IV.27 Anda mendapatkan tanggapan yang baik dari lingkungan
ketika menjalin komunikasi dengan mereka ... 74
IV.28 Sebuah tanggapan yang baik ketika berkomunikasi sangat
berarti dalam kehidupan anda ... 75
IV.29 Anda merasa memiliki kesamaan dengan lawan bicara
ketika menjalin komunikasi antarpribadi ... 76
IV.30 Anda memiliki kesamaan yang merupakan unsur yang
sangat penting ketika menjalin komunikasi antarpribadi
dengan sesama waria... 77
IV.31 Hubungan antara tahu asal usul bahasa binan dan sikap
berterusterang terhadap identitas sebagai waria... 79
IV.32 Hubungan antara sikap adaptif dan mengerti dengan bahasa
binan antara sesama waria... 80
IV.33 Hubungan antara kesamaan yang dimiliki oleh para waria
dan penggunaan bahasa sandi sebagai bahasa sandi kaum
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
I.1 Model Teoritis ... 12
II.1 Johari Window... 36
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Pengaruh Bahasa Binan dalam Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria ( Studi Deskriptif Mengenai Penggunaan Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang hanya menggambarkan suatu situasi atau peristiwa penelitian, tanpa mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.
Populasi dalam penelitian ini adalah para waria di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas. Untuk menentukan jumlah sampel dan penarikan sampel digunakan Total Sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 35 orang waria.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui dua cara, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa tabel tunggal dengan menggunakan aplikasi Statistical Product and System Solution (SPPS) 16.
Dari hasil penelitian ini diketahui mengenai para responden yang beridentitas sebagai waria menyatakan bahwa mereka sangat tertarik dengan asal usul bahasa binan yang sering mereka gunakan dalam berkomunikasi antarpribadi sehari-harinya. Ketika akan mengungkapankan informasi pribadi kepada orang lain, tentunya seorang waria harus memiliki sebuah kesamaan tertentu dengan orang lain sehingga dirinya merasa tidak canggung dalam berkomunikasi. Para waria mengakui sangat memiliki kesamaan dengan lawan bicara ketika menjalin komunikasi antarpribadi
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
Kata ‘waria’ sudah menjadi makanan telinga kita sehari-hari. Memang
dalam peristilahannya, waria adalah seorang laki-laki yang berbusana dan
bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita. Istilah ini awalnya
muncul dari masyarakat Jawa Timur yang merupakan akronim dari ‘wanita tapi
pria’ pada tahun 1983-an. Paduan dari kata wanita dan pria.
Sedangkan istilah lain yang lazim digunakan untuk kaum ini adalah
Banci yang kemudian mengalami metamorfosa dengan melahirkan kata bencong.
Wadam kependekan dari wanita adam. Istilah ini kurang begitu populer lagi.
Wandu berasal dari bahasa Jawa yang mungkin artinya wanito dhudhu (wanita
bukan). Pernah juga ada istilah binan, namun penggunaannya juga kian berkurang
menjadi kata yang umum. Kaum ini juga terkenal kreatif dalam menghasilkan
kosakata baru, yang acap membingungkan kita kaum kebanyakan dikarenakan
kaum semacam ini cenderung menggunakan istilah yang ditujukan bagi
komunitasnya belaka. Kata ‘Waria’ inilah yang kini menjadi kata baku dalam
bahasa Indonesia.
Waria dan diskriminasi, bagai dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan.
Keberadaan waria ditengah masyarakat merupakan suatu fenomena yang ikut
meramaikan fakta sosial baru di dalam masyarakat. Hal ini menimbulkan adanya
suatu pandangan-pandangan yang beraneka ragam di dalam masyarakat, mulai
dari pemberian cap bahwa mereka sampah masyarakat, penyakit sosial,
Tetepi ada juga yang menilai waria sebagai manusia yang seutuhnya, sama
seperti manusia lainnya. Bisa merasakan rasa sayang, senang, sakit hati dan sedih.
Waria hanyalah manusia biasa. Ada stigma negatif dari masyarakat terhadap
waria, sampai-sampai ada sikapnya tidak berpikir secara etis dan kritis merupakan
persepsi yang kurang dari nilai-nilai kemanusiaan.
Keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat sama halnya dengan
keberadaan setiap individual manusia lainnya. Ada yang bersikap baik dan ada
pula yang bersikap tidak baik. Ada yang memiliki nilai-nilai moral, etika dan
estetika serta sebaliknya adapula yang kurang bermoral, tidak memiliki etika dan
estetika. Semua itu kembali lagi kepada sikap pribadi perorangan masing-masing
individu. Kebanyakan dari kaum waria mencoret citranya sendiri. Dengan gaya
hidup waria yang dinilai berlebihan dalam mengeksplorasi keerotisan. Pergaulan
waria yang yang banyak memiliki teman perempuan nakal menjadikan sebagian
besar kaum waria berprofesi sebagai mucikari (penjual wanita). Selain itu
kebanyakan dari mereka pun berprofesi menjadi seorang PSK (Pekerja Seks
Komersil). Hal ini membuat perspektif pandangan masyarakat semakin memburuk
terhadap mereka. Menyukai sesama jenis dan identik dengan sikap yang bergonta
ganti pasangan mengakibatkan penilaian masyarakat bahwa waria itu sebagai
manusia yang kotor dan sumber penyakit.
Dalam kenyataannya, tidak semua citr negatif yang ditujukan kepada
waria itu benar. Dalam perspektif lain, tidak sedikit pula waria yang terlahir dari
sentuhan keindahan masyarakat yang tanpa ragu mengakuinya. Mereka tumbuh
dan berbaur dengan masyarakat tanpa menyinggung status sosialnya. Tidak
dimilikinya. Dengan bakat seperti kebanyakan perempuan yang dimilikinya, kaum
waria banyak yang menjadi perancang busana, make up artist, artis dan pengusaha
yang membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Contohnya seperti Ivan
Gunawan dan juga Oscar Lawalata yang merupakan designer papan atas
Indonesia, kemudian Dorce yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Banyak hal
positif yang dilakukan oleh presenter yang cukup akrab menyapa para pemirsa
televisi setiap harinya.
Dalam kenyataannya hidup sebagai waria yakni hanya sekedar beratribut
sebagaimana perempuan hidup. Sebagai waria adalah suatu kondisi kejiwaan dan
kulturual sekaligus sehingga seorang waria tidak hanya sebatas merasakan dirinya
waria, tetapi hidup dalam kultural itu sendiri, dalam berbagai dimensi dan
ragamnya untuk diterima di dalam ruang-ruang sosial yang ada. Karena itu,
sebagai waria tidak sama dengan menjadi homoseks sebagaimana yang banyak
dilihat dalam konteks relasi seksual semata.
Hidup sebagai waria mengandung makna bahwa waria selalu berusaha
menjadi bagian dari berbagai ruang sosial. Selebihnya mereka pun memiliki ruang
pribadi dan menjalin hubungan sosial antar sesama kaum waria. Mereka
cenderung melakukan perkelompokan dikarenakan adanya rasa persamaan dan
juga latar belakang. Komunikasi yang terjalin dalam hubungan ini bersifat lebih
akrab dan juga hangat, itulah yang dinamakan dengan komunikasi antarpribadi.
Dalam komunikasi antarpribadi ini, para waria menggunakan
lambang-lambang tertentu ataupun berupa komunikasi dalam bentuk verbal berupa
penggunaan bahasa binan atau waria. Bahasa ini memang sangat berbeda dengan
berkomunikasi akrab dengan sesama kaum waria, namun tidak jarang ada
beberapa kata bahasa binan ini menjadi bahasa gaul dan juga populer di kalangan
masyarakat.
Kita lihat saja bagaimana kata “peres” bisa sangat popular digunakan
sebagai pengganti untuk istilah kata gila. Memanggil teman kita dengan sebutan
“Nek”, dan sebuatan pria dengan istilah ‘lekong”. Itu semua tidak hanya
digunakan oleh para waria sebagai bahasa mereka berkomunikasi, namun sudah
menjadi istilah umum bagi siapa saja. Bahasa waria atau bahasa binan ini memang
sudah lazim didengarkan, namun lebih sering lagi, ketika kita bertemu dengan
sekumpulan waria ketika mereka sedang berkomunikasi satu sama lain.
Penelitian ini akan dilakuan di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan
Amplas Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian dikarenakan wilayah ini
banyak terdapat para waria yang tinggal dan juga menyewa rumah/kost di daerah
ini. Wilayahnya dianggap oleh para waria cukup strategis antara kota Medan dan
lintas luar kota Medan.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti
sejauhmana penggunaan bahasa binan dalam proses komunikasi antarpribadi di
kalangan para waria di kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera
Utara.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut, “Bagaimanakah penggunaan bahasa binan
terhadap proses komunikasi antarpribadi di kalangan waria di kelurahan Sitirejo II
I.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga
dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi masalah yang akan
diteliti. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini dibatasi pada penggunaan bahasa binan yang dilakukan oleh
para kaum waria dalam proses hubungan komunikasi antarpribadi dengan
sesama waria
2. Objek penelitian adalah para kaum waria di lingkungan kelurahan Sitirejo
II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara.
3. Penelitian dilakukan dari April-Juni 2010
I.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penlitian, yang
menguraikan apa yang akan dicapai dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan
peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian tesebut :
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bahasa sandi/khusus atau yang populer disebut bahasa
binan yang digunakan oleh responden yakni para kaum waria
2. Untuk mengetahui proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara
sesama waria
3. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa binan terhadap proses
komunikasi antarpribadi di kalangan para waria.
I.5 Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah atau
mempeluas khasanah penelitian di Departemen Ilmu Komunikasi.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
peneliti mengenai komunikasi verbal dan komunikasi antar pribadi.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontibusi atau
masukan yang positif bagi para kaum waria di kota Medan.
I.6 Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan ttitik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun
kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari
sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39).
Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi,
dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan
menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala
tersebut (Rakhmat, 2004:6).
Dalam penelitian ini, teori – teori yang dianggap relevan diantaranya
adalah Komunikasi, Komunikasi Verbal, Komunikasi Antarpribadi dan
Self-disclosure.
I.6.1 Komunikasi
Istilah komunikasi dalam bahasa inggris “communication” berasal dari
kata latin “communication” dan bersumber dari kata communis yang berarti
sama. Komunikasi merupakan unsur penting bagi kehidupan manusia. Hal ini
sangat diperlukan dalam rangka menjalin hubungan dengan sesama sehubungan
lain. Komunikasi digunakan sebagai jembatan yang menghubungkan manusia
yang satu dengan yang lainnya (Effendy, 2003 : 27). Dewasa ini, ilmu komunikasi
berkembang menjadi ilmu yang dianggap penting sehubungan dengan dampak
sosial yang menjadi kendala bagi kehidupan manusia akibat perkembangan
teknologi.
Harold Lasswell (Mulyana, 2005 : 62), menerangkan cara terbaik untuk
menggambarkan komunikasi adalah dengan mnjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut : Who Says What In Which Channel To Whom Wtih What Effect ? (Siapa
Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa ?).
Jawaban bagi pertanyaan paradigma Lasswell merupakan unsur-unsur proses
komunikasi yang meliputi komunikator, pesan, media, komunikan dan efek
(Effendy, 2004 : 253).
I.6.2 Komunikasi Verbal
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka setiap hari sebenarnya
setiap orang dalam berkomunikasi antarpribadi telah melaksanakan pengiriman
pesan-pesan yang bersifat verbal maupun nonverbal.
Dalam komunikasi tanda-tanda verbal diwakili dalam penyebutan
kata-kata, pengungkapannya baik yang lisan maupun tertulis. Sedangkan tanda-tanda
nonverbal terlihat dalam ekspresi wajah, gerakan tangan. Dan hal demikan setiap
saat dilakukan oleh siapa saja tanpa kecuali. Sebenarnya jika kita jujur maka
pelaksanaan komunikasi antarpribadi setiap hari terbanyak melibatkan prilaku non
verbal sebagai penguat pesan-pesan verbal yang diucapkan.
Goffman (1971) dan De Lozier (1976) Little John (1978) merinci perilaku
kinesik dan perilaku yang terletak antara verbal dan nonverbal yang disebut
dengan paralinguistik.
Jadi, baik perilaku verbal maupun nonverbal masing-masing dapat
menunjukkan seberapa jauh hubungan antara pihak-pihak yang terlibat
didalamnya. Perilaku verbal dan nonverbal yang memiliki/mengandung pesan
dapat menghasilkan suatu suasana yang menunjukkan erat tidaknya hubungan
antara dua orang atau dekat atau jauhnya jarak sosial (Liliweri, 1991:31).
I.6.3 Bahasa Binan
Pada dekade 1990-an ini, khalayak pendengar radio dan penonton televisi
mau tak mau mendengar suatu jenis bahasa baru yang kata-katanya ada yang
sepintas dengar terkendali, akan tetapi konteks penggunaan dan maknanya,
setidaknya pada awal, terkesan tidak pada tempatnya; ada yang asing sama sekali;
dan ada pula yang menggunakan gaya bahasa khas waria yang latah atau
dilatah-latahkan.
Setidaknya sejak tahun 1960-an di kalangan wadam/waria dan homo/gay
digunakan bahasa khusus yang dikenal dengan nama Omong Cong atau Omong
Ces, hingga saat ini yang diberi nama Bahasa Binan. Sebagian dari kata bahasa
binan ini kemudian masuk ke dalam bahasa informal umum, seperti kata nepsong,
trimse' kamse', dan puncaknya saat ini dengan penggunaan begitu banyak kata
Bahasa Binan dalam Bahasa Gaul.
Hal yang boleh dikatakan baru dalam media elektronik dalam dekade
1990-an ini adalah meluasnya penggunaan ragam bahasa yang awalnya berasal
dari ragam yang dipakai oleh komunitas kaum gay /homoseks. Dengan perkataan
kemudian menjadi apa yang dinamakan bahasa gaul dan digunakan oleh mereka
yang bukan waria dan bukan (atau belum diketahui) gay. Sejauh yang kita
ketahui, di kepulauan Nusantara ini tercatat adanya enam jenis proses
pembentukan kata-kata bahasa binan (Oetomo:2003:63).
Kata-kata bahasa binan dibentuk dengan dua proses, yakni :
1. Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah
atau bahasa Indonesia
2. Proses penciptaan kata atau istilah baru atau pun penggeseran makna
kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau
bahasa Indonesia.
I.6.4 Komunikasi Antarpribadi
Dikutip oleh Liliweri (1991 : 12), Devito menjelaskan komunikasi
merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan telah diterima oleh orang lain
atau sekelompok orang lain dengan efek dan efek umpan balik yang berlangsung.
Untuk memperjelas pengertian komunikasi antarpribadi Devito memberikan
beberapa ciri komunikasi antar pribadi :
1. Keterbukaan
Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan segala ide atau
gagasan bajwa permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan terbuka
tanpa rasa takut atau malu, kedua-duanya saling mengerti dan memahami
pribadi masing-masing.
2. Empati
Kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada orang lain.
Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan
dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau
hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membnatu
seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta
meraih tujuan yang didambakan.
4. Rasa Positif
Setiap pembicaraan yang disampaikan dapat tanggapan yang positif, rasa
positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga
atau berprasangka yang menggangu jalinan interaksi.
5. Kesamaan
Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan pribadi pun lebih kuat apabila
memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, sikap, usia,
ideologi dan sebagainya.
I.6.5 Self-Disclosure
Menurut Devito (1997:231-232), teori self disclosure atau pembukaan diri
merupakan proses mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi
yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi guna memahami suatu
tanggapan terhadap orang lain dan sebaliknya. Membuka diri berarti membagikan
kepada orang lain perasaan kita terhadap suatu yang telah dikatakan atau
dilakukannya, atau perasaan kita terhadap suatu kejadian-kejadian yang baru saja
kita saksikan.
Beberapa manfaat dan dampak pembukaan diri terhadap hubungan antar
1. Pembukaan diri merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua
orang
2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, maka orang tersebut
akan menyukai diri kita, sehingga ia akan semakin membuka diri kepada
kita.
3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung
memiliki sifat-sifat sebagai berikut : kompeten, terbuka, ekstrover,
fleksibel, adaptif dan inteligen.
4. Membuka diri pada orang lain merupakan dasar relasi yang
memungkinkan komunikasi intim baik dengan diri kita sendiri maupun
dengan orang lain.
5. membuka diri berarti berarti bersikap realistis, maka di dalam pembukaan
diri kita haruslah jujur, tulus, dan autentik.
Teori Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama
menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan merupakan
proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan seterusnya.
I.7 Kerangka Konsep
Teori-teori yang dijadikan landasan pada kerangka teori harus dapat
menghasilkan beberapa konsep yang disebut dengan kerangka konsep. Menurut
Nawawi (2001 : 56) kerangka konsep merupakan hasil pemikiran rasional yang
bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan
dicapai. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus
Pembatasan konsep dalam penelitian ini tidak saja untuk menghindari
salah maksud dalam memahami konsep penelitian dalam membatasi penelitian,
tetapi batasan konsep diperlukan untuk penjabaran variabel penelitian maupun
indikator variabel/komponen (Bungin, 2005: 92).
Komponen yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggunaan
bahasa binan dalam proses komunikasi antarpribadi di kalangan waria .
I.8 Model Teoritis
Berdasarkan komponen yang akan diteliti dalam kerangka konsep maka
dibentuk suatu model teoritis yaitu :
Gambar I.1 Model Teoritis
Komunikasi verbal di kalangan waria
Proses Komunikasi Antarpribadi Penggunaan Bahasa Binan
Tingkat keterbukaan diri
I.9 Komponen Operasional
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan di
atas, maka untuk lebih memudahkan penelitian, perlau dibuat operasional
Tabel I.1
Komponen Operasional
Komponen Teoritis Komponen Operasional
Bahasa Binan Dalam Proses Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria
1. Asal-usul bahasa 2. Fungsi Bahasa 3. Gramatika
4. Keterbukaan (Self-Disclosure) Dasar hubungan yang sehat Keterbukaan lebih disukai Sifat positif
Terjalinnya komunikasi intim Bersikap realistis
I.10 Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana caranya untuk mengukur suatu komponen. Dengan kata lain defenisi
operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu penelitian lain
yang ingin menggunakan komponen yang sama (Singarimbun, 1995 : 46).
Defenisi operasional dari komponen penelitian ini adalah :
1. Penggunaan bahasa Binan dalam proses komunikasi antarpribadi di kalangan waria :
a. Asal usul bahasa adalah bagaimana proses terciptanya bahasa binan di
b. Fungsi bahasa adalah makna dari penggunaan bahasa binan tersebut di
kalangan waria di Kelurahan Siti Rejo II Kecamatan Medan Amplas.
c. Gramatika adalah susunan tata bahasa dalam suatu bahasa, dalam
penelitian ini adalah tata bahasa binan di kalangan waria di Kelurahan
Siti Rejo II Kecamatan Medan Amplas.
d. Keterbukaan (Self-Disclosure) adalah proses yang terjadi antara
komunikator dan komunikan dalam saling mengungkapkan segala ide
atau gagasan bajiwa permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan
terbuka tanpa rasa takut atau malu, kedua-duanya saling mengerti dan
memahami pribadi masing-masing di kalangan waria di Kelurahan Siti
Rejo II Kecamatan Medan Amplas.
Dasar hubungan yang sehat adalah sebuah awal hubungan yang
baik dan akan berproses secara baik. Dasar ini menjadi sebuah awal
jalinan hubungan di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo
Kecamatan Medan Amplas.
Keterbukaan lebih disukai adalah adanya keterusterangan dalam
menjalin hubungan di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo
Kecamatan Medan Amplas.
Sifat positif adalah sifat baik yang dimiliki oleh orang yang terbuka
di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan
Amplas. Ada 6 sifat positif :
1. Kompeten : memiliki kemampuan yang handal di kalangan para
2. Terbuka : sikap selalu apa adanya dan terus terang pada diri
seseorang di kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo
Kecamatan Medan Amplas.
3. Ekstrovet : keterbukaan diri total seseorang di kalangan para
waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.
4. Fleksibel : mampu seseorang mengikuti situasi yang ada di
kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan
Amplas.
5. Adaptif : seseorang mampu menyesuaikan diri di kalangan para
waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.
6. Inteligen : kecakapan seseorang dalam bersikap dan berpikir di
kalangan para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan
Amplas.
Terjalinnya komunikasi intim adalah terjalinnya komunikasi timbal
balik ketika berkomunikasi satu sama lain antara para waria di
Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.
Bersikap realistis adalah bersikap tulus, jujur dan autentik antara
para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.
e. Empati adalah kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya
kepada orang lain. Dalam hal ini bagaimana para waria di Kelurahan
Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas mampu memproyeksikan diri
mereka
f. Dukungan adalah setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan
demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk
mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih
bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang
didambakan. Dukungan ini sangat dibutuhkan oleh para waria di
Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas.
g. Rasa Positif adalah setiap pembicaraan yang disampaikan dapat
tanggapan yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang
berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka yang menggangu
jalinan interaksi, begitupun rasa positif yang diharapkan oleh para
waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan Amplas ketika mereka
menjalin komunikasi.
h. Kesamaan adalah suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan pribadi pun
lebih kuat apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan
pandangan, sikap, usia, ideologi dan sebagainya. Kesamaan ini sangat
dibutuhkan oleh para waria di Kelurahan Siti Rejo Kecamatan Medan
Amplas.
2. Karakteristik Responden
a. Usia adalah jumlah umur responden mulai lahir sampai saat mengisi
kuesioner.
b. Agama, keyakinan agama yang dianut responden meliputi agama
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
c. Tingkat pendidikan responden meliputi tamat SD, tamat SMP, tamat
SMA, Akademi dan Universitas.
BAB II
URAIAN TEORITIS II.1 Pengertian Komunikasi
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan
manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin
mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia
perlu berkomunikasi. Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat
fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Secara etimologis atau menurut asal katanya komunikasi atau
communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin communis yang
berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti
“membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah
yang paling sering sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari
kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu
pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana 2002:41).
Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu
pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa
komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu
kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia .
karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia atau
dalam sering kali disebut komunikasi sosial atau social communication.
komunikasi sosial karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat
terjadinya komunikasi.
Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan
oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap,
pandapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui
media (Effendy, 2004:4).
Menurut Harold D. Lasswel, bahwa cara terbaik untuk menjelaskan
kegiatan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “who says what in which
channel to whom with what effect?.
Paradigma Laswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima
unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni :
- Komunikator (communicator, source, sender)
- Pesan (message)
- Media (channel, media)
- Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient)
- Efek (effect, impact, influence)
Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang
menimbulkan efek tertentu Effendy (2004: 10).
Adapun fungsi dari komunikasi, adalah sebagai berikut:
a. Menyampaikan informasi (to inform)
b. Mendidik (to educate)
c. Menghibur (to entertain)
Adapun tujuan dari komunikasi, adalah sebagai berikut:
a. Perubahan sikap (attitude change)
b. Perubahan pendapat (opinion change)
c. Perubahan perilaku (behavior change)
d. Perubahan sosial (social change) (Effendy, 2004: 8)
II.2 Komunikasi Verbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk
ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan
secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga
dianggap sebagai suatu sistem kode verbal (Mulyana, 2007:237).
Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami
suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,
perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya,
kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang
merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu.
II.2.1 Asal-Usul Bahasa
Hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai
bagaimana bahasa itu muncul di permukaan bumi. Ada dugaan kuat bahasa
nonverbal muncul sebelum bahasa verbal. Dulu, nenek moyang kita yang juga
disebut Cro Magnon ini tinggal di gua-gua. Ketika mereka belum mampu
pada tulang, tanduk, cadas dan dinding gua yang banyak ditemukan di Spanyol
dan Prancis Selatan. Dalam tahap perkembangan berikutnya, antara 40.000 dan
35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan. Ini
dimungkinkan karena mereka memiliki struktur tengkorak, lidah, dan kotak suara
yang mirip dengan yang kita miliki sekarang. Kemampuan berbahasa inilah yang
membuat mereka terus bertahan hingga kini. Karena Cro Magnon dapat berpikir
lewat bahasa, mereka mampu membuat rencana, konsep dan berburu dengan cara
yang lebih baik (Mulyana, 2002 :241).
Sekitar 5000 tahun lalu manusia melakukan tansisi komunikasi dengan
memasuki era tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang. Transisi
paling dini dilakukan bangsa Sumeria dan Mesir kuno yang mengembangkan
tulisan mereka secara independen. Tahun 2000 Sebelum Masehi, papirus
digunakan secara luas di Mesir untuk menyebarkan pesan tertulis dan merekam
informasi. Sistem tulisan dan bahasa lisan itu terus berkembang hingga kini. Kita
pun memasuki era cetak pada abad ke 15, yang beberapa abad kemudian disusul
oleh era radio, era telekomunikasi, dan kini era komunikasi. Kesemuanya telah
merekam hasil peradaban manusia untuk disempurnakan lagi oleh
generasi-generasi mendatang lewat kemampuan mereka dalam berbahasa.
II.2.2 Fungsi Bahasa Dalam Kehidupan Manusia
Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita sepanjang
hidup menggunakannya. Kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita menemui
jalan buntu dalam menggunakan bahasa misalnya ketika kita berupaya
berkomunikasi dengan orang yang sama sekali tidak memahami bahasa kita yang
kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain; ketika kita harus dihadapkan pada situasi
baru yang menuntut pola interaksi komunikasi timbal balik.
Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki
orang, objek dan peristiwa. Menurut Larry L.Barker, bahasa memiliki tiga fungsi :
penamaan (naming atau labeling), interaksi dan transmisi informasi (Mulyana,
2002 : 243). Penamaan atau penjulukan merujuk pda usaha mengidentifikasi
objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk
dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi,
yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau keamrahan dan kebingungan.
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.
Anda juga menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur
kembali, dari orang lain, baiks ecara langsung ataupun tidak (misalnya melalui
media massa). Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi. Keistimewaan
bahasa sebagai sarana transmisi informasi dari lintas/waktu, dengan
menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan., memungkinkan
kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar
informasi; kita tidak mungkin menghadirkan semua objek ditempat untuk rujuk
dalam komunikasi kita.
II.2.3 Keterbatasan Bahasa
Berbicara tentang komunikasi verbal, yang porsinya hanya 35% dari
keseluruhan proses komunikasi , banyak orang tidak sadar bahwa bahasa oti
terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu
orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan dan sebagainya. Tidak semua kata tersedia
untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi bukan
realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial,
tidak melukiskan sesuatu secara eksak.
Kesulitan menggunakan kata yang tepat juga kita alami ketika kita ingin
mengungkapkan perasaan. Pesan verbal biasanya lebih lazim kita gunakan untuk
menerangkan sesuatu yang bersifat faktual-deskriptif- rasional. Akan tetapi, untuk
mengungkapkannya menjadi sesuatu yang sangat efektif dan pribadi, kita
biasanya lebih mengandalkan pesan nonverbal. Keterbatasan jumlah kategori
untuk menamai objek sebenarnya berfungsi untuk mengendalikan lingkungan kita,
dan memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain dan berbagi
pengalaman serta pengetahuan dengan mereka. Bayangkan betapa sulitnya kita
berkomunikasi dengan orang lain kalau kita dibebani dengan penggunaan
berbagai perkiraan kosa kata. Akan tetapi, penamaan suatu objek yang bersifat
kira-kira itu sebenarnya sekaligus merupakan hambatan bagi kita untuk
berkomunikasi. Artinya, selalu ada perbedaan antara makna dalam kepala kita
dengan makna dalam kepala orang lain, sekecil apa pun perbedaan itu (Mulyana,
2007: 272). Oleh karena itu pengalaman kita berbeda dengan pengalaman orang
lain, sebenarnya makna yang kita berikan pada kata-kata tidak akan pernah persis
sama dengan makna yang orang lain berikan pada kata-kata yang sama.
2. Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi
berbeda-beda. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai
kata-kata tersebut. Ruang dan waktu mengubah makna kata. Menurut Hubert
Alexander, makna harus dianggap sebagai proses ketimbang sesuatu yang statis.
Kata-kata baru muncul, sementara kata-kata lama pelan-pelan menghilang, satu
demi satu. Gaya bahasa yang dulu populer kini menjadi klise. Prinsip bahwa
kata-kata bersifat kontekstual sebenarnya mengisyaratkan bahwa aturan-aturan baku
dalam berbahasa tidaklah mutlak.
3. Kata-kata mengandung bias budaya
Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat
dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut hipotesis Sapirwhorf, sering
juga disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa
menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas
pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa yang
berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat
lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan
karenanya berperilaku secara berbeda pula. Hipotesis yang dikemukakan
Benjamin Lee Whorf dan mempopulerkan serta menegaskan pandangan
gurunya Edward Sapir ini menyatakan bahwa (1) Tanpa bahasa kita tidak
dapat berpikir, (2) bahasa mempengaruhi persepsi, dan (3) bahasa
mempengaruhi pola berpikir.
4. Pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian
Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran
(dugaan), dan penilaian. Komunikasi kita akan lebih efektif kalau kita
II.3 Bahasa Binan
Pada dekade 1990-an ini, khalayak pendengar radio dan penonton televisi
mau tak mau mendengar suatu jenis bahasa baru yang kata-katanya ada yang
sepintas dengar terkendali, akan tetapi konteks penggunaan dan maknanya,
setidaknya pada awal, terkesan tidak pada tempatnya; ada yang asing sama sekali;
dan ada pula yang menggunakan gaya bahasa khas waria yang latah atau
dilatah-latahkan.
Hal yang boleh dikatakan baru dalam media elektronik dalam dekade
1990-an ini adalah meluasnya penggunaan ragam bahasa yang awalnya berasal
dari ragam yang dipakai oleh komunitas kaum gay /homoseks. Dengan perkataan
lain, ragam bahasa yang dalam komunitas asalnya dikenal sebagai bahasa binan
kemudian menjadi apa yang dinamakan bahasa gaul dan digunakan oleh mereka
yang bukan waria dan bukan (atau belum diketahui) gay. Sejauh yang kita
ketahui, di kepulauan Nusantara ini tercatat adanya enam jenis proses
pembentukan kata-kata bahasa binan (Oetomo:2003:63).
Kata-kata bahasa binan dibentuk dengan dua proses, yakni :
3. Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah
atau bahasa Indonesia
4. Proses penciptaan kata atau istilah baru atau pun penggeseran makna
kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau
bahasa Indonesia.
Jenis yang pertama ditemui di Surabaya, Malang, Semarang, Solo,
Yogyakarta dan kota-kota berbasis budaya Jawa lainnya, dan umumnya berupa
suku kata pertamanya yang dipertahankan. Bilamana suku kata pertama berakhir
dengan vokal, maka konsonan pertama kata beriktunya dipertahankan pula.
Kemudian pada awal potongan itu ditambahkan awalan si-,
Contohnya : banci→ban→siban
lanang”laki-laki”(Jawa)→lan→silan
wedok→wed→siwed
homo→hom→sihom
Jenis yang kedua dan ketiga ditemui di semua kota di Indonesia pada
kalangan yang terpengaruh bahasa Indonesia Jakarta. Prosesnya adalah mengubah
suku kata terakhir sehingga berakhir dengan –ong (jenis kedua) atau –es (jenis
ketiga), dan mengubah bunyi/huruf vokal suku kata sebelumnya dengan e-
diucapkan (-e). Jenis kedua biasa dinamakan omong cong atau bahasa ong-ong,
sedangkan jenis ketiga biasa dinamakan omong ces atau bahasa es-es.
Contohnya : laki→lekong (lėkong) atau lekes (lėkes)
homo→hemong (hėmong) atau (hėmes)
banci→bencong (bencong) atau bences (bėnces)
Penggunaan jenis –ong atau pun -es tidak mengikuti suatu kaidah ayng
pasti. Terkesan orang menggunakannya secara manasuka atau sembarang.
Sekitar pertengahan tahun 1990-an muncul varian yang mengganti bentuk
akhir –ong atau –es itu dengan –i, meskipun pembentukan ini tidak seproduktif
varian kedua dan ketiga. Maksudnya , apabila dengan proses transformasi gaya
–ong dan –es praktis kata manapun dapat dijadikan kata bahasa binan, dengan
proses –i, ini hanya sejumlah kata tertentu saja yang dapt dijadikan sebagai kata
kenti (sebagai transformasi dari kata:‘zakar, penis’), orang mengatakan kenti
atau bukannya lagi pentong (transformasi dari pantat) melainkan penti.
Jenis yang keempat tampaknya hanya dipakai di Jakarta dan Bandung,
setidaknya pada awalnya namun didalam perkembangannya menyebar ke
kota-kota lain. Prosesnya adalah penyisipan –in- sesudah konsonan awal suku
kata-suku kata pada kata tertentu, sehingga kata menjadi dua kali lebih panjang.
Kemudian kata yang panjang itu dipendekkan lagi.
Contohnya : bule→binuline→binul
lesbi→linesbini→lines
gay→ginay
Jenis yang kelima mirip dengan jenis pertama, yaitu kata asal dipotong
sehingga hanya tinggal suku kata pertama dan (kalau suku kata pertama berakhir
dengan vokal) konsonan pertama suku kata berikutnya, kemudian ditambahkan
akhiran –se’.
Contohnya : homo→hom→homse’
cina→cin→cinse’
Perlu dicatat bahwa dibeberapa kalangan, kata se’ sendiri dipakai dengan makna
‘gay, homoseks.’Kadang-kadang jenis ini digabungkan dengan kata-kata yang
sudah diubah melalui proses –ong atau –es, seperti :
Dorong ‘semburit, sanggama dubur’→dorong/deres→derse’.
Akhirnya, masih ada lagi jenis yang keenam, yang konon berawal di
Medan dan kemudian menyebar disemua kota-kota Indonesia. Jenis ini berupa
pemertahanan suku kata atau bagian suku kata awal kata dasar, sementara
Contohnya : sundal→sund→sundari
enak→en-→endang
sekal→s-→sulastri
sudah→su-→sutra
tidak→ti-→tinta
emang→em→ember,embrong
sakit ‘gay, homoseks’→sak→sakinah
Jenis inilah yang pada dekade 1990-an amat populer. Berkembang pesat
dan meluas di seantero nusantara, dan kemudian dipakai sebagai bahasa gaul.
Setiap komunitas waria atau gay senantiasa menciptakan sendiri kata-kata jenis
ini, dan dari kunjung-mengunjungi maupun komunikasi melalui berbagai medium
tersebar ke komunitas lain.
Selain itu masih ada kata-kata yang tidak dipakai sama sekali dalam
bahasa masyarakat umum, seperti cucok ‘cakep’, rumpik ‘sialan, penipu,’
bala-bala ‘bagi-bagi, ‘ tau kata-kata yang maknanya lain dari yang dipakai umum,
seperti racun ‘perempuan, istri, ‘jeruk’pemeras, ‘kucing’pelacur laki-laki,’ngebom
‘meledek, ‘serta seruan-seruan panggilan seperti nek (tak diketahui asalnya,
mungkinkah dari nenek?).
Kecuali kata-kata khas yang dipakai didalam berbahasa daerah (semisal
proses si- dalam berbahasa Jawa) jenis-jenis yang lima lagi dapat dan memang
senantiasa dipakai berganti-ganti secara mana suka atau sembarang. Selain itu
juga suatu hasil transformasi dari proses yang satu dapat mengalami transformasi
lagi melalui proses yang lain, seperti yang ktia lihat pada kasus kata
Pura (bentuk dasar pura-pura) →peres→per→persi
tidak→ti-→tint→tin-→tintring
lumayan→luma-→lumajang→lumejong
silit ‘dubur(Jawa)’→sil→sisil→sisilia
silit→sil→sisil→susil→susilo→susilo sudarman
Ciri pembeda bahasa binan di atas peringkat tata bunyi dan kosa kata
adalah intonasi agak centil (atau sangat centil, bergantung pada penuturnya) dalam
berbicara, serta juga pada sebagian penuturnya, kebiasaan latah yang
sesungguhnya atau yang dibuat-buat.
Satu lagi ciri pembeda wacana pada bahasa binan adalah materi
pembicaraan yang lebih lugas, bebas atau bahkan vulgar seperti penyebutan
bagian-bagian dan cairan tubuh yang dilibatkan dalam hubungan seks
(kenti:’zakar,’susil atau pentil :’dubur, pantat,’pejong :’mani,’dan sebagainya).
Serta perbuatan-perbuatan seksual (meong :’main, berhubungan seks,
’karaoke:’seks oro-gential, fellatio,’cuci WC :menjialti dubur, seks oro-anal’, dan
sebagainya).
Penggunaan bahasa binan di kalangan waria dan gay merupakan salah satu
ciri pembeda yang menunjukkan apakah seseorang itu kerap bergaul dalam
komunitasnya ataukah hanya hidup terselubung (yang dilakukan cukup banyak
gay kalengan/tertutup karena takut akan stigma dari keluarga dan masyarakat)
II.4 Komunikasi Antarpribadi
II.4.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi
Pada dasarnya, komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial
dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Devito (1997:97), bahwa komunikasi antarpribadi
merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain,
atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.
Selanjutnya Devito (1997: 169-170) menjabarkan komunikasi antarpribadi
menjadi tiga pendekatan secara umum, yaitu :
a. Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai pengiriman pesan-pesan dari
seseorang dan diterima oleh orang lain. Atau sekelompok kecil orang, dengan
efek dan umpan balik yang langsung.
b. Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi antara dua orang yang
memang telah ada hubungan di antara keduanya.
c. Interpersonal communication is seen a kind of progrestion (or development)
from interpersonal communication at one extreme to personal
communication at the other extreme, yang artinya “Komunikasi antarpribadi
merupakan bentuk perkembangan atau peningkatan dari komunikasi dari satu
sisi menjadi komunikasi pribadi pada sisi yang lain”.
Dalam bukunya “Komunikasi Antarpribadi” (1991:12), Alo Liliweri
mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi anatarpribadi adalah
komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis
ini dianggap paling efektif dalam hal mengubah sikap, pendapat, atau perilaku
langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada
saat komunikasi dilancarkan. Komunikan mengetahui pasti apakah komunikasi
itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat memberikan
kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.
Menurut Evert M. Rogers, dalam Komunikasti antarpribadi (Liliweri
1991:46) ada beberapa cirri komunikasi yang menggunakan saluran antarpribadi,
yaitu :
1) Arus pesan yang cenderung dua arah
2) Konteks komunikasinya tatap muka
3) Tingkat umpan balik yang terjadi tinggi
4) Kemampuan mengatasi tingkat selektifitas (terutama “selectivitas exposure’)
yang tinggi
5) Kecepatan jangkauan terhadap audiens yang besar relatif lambat
6) Efek yang mungkin terjadi ialah perubahan sikap
II.4.2 Sifat-Sifat Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu
dari mereka yang belum mengenal karena setiap pihak mengetahui secara baik
tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran, dan pengetahuannya, perasaanya,
maupun menanggapi tingkah lakunya. Sehingga jika hendak menciptakan
komunikasi anatarpribadi yang lebih bermutu maka didahului dengan keakraban,
dengan kata lain tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan anatara dua orang
dapat digolongkan ke dalam komunikasi antarpribadi.
Ada tujuh sifat yang menunjukan bahwa sesuatu komunikasi antara dua
lainnya yang terangkum dari pendapat Effendy (2003:.46) Sifat-sifat komunikasi
antarpribadi itu sendiri adalah : (1) melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan
non verbal; (2) melibatkan pernyataan ataupun ungkapan yang spontan, scripted,
dan contrived; (3) tidak statis, namun dinamis; (4) melibatkan umpan balik
pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan satu dan harus berkaitan
dengan sebelumnya); (5) dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsic dan
ekstrinsik. (6) komunikasi antarpribadi merupakan satu kegiatan dan tindakan; (7)
melibatkan didalamnya bidang persuasif (Liliweri, 1991:31).
II.4.3 Komponen Komunikasi Antarpribadi dan Proses Komunikasi Antarpribadi
Menurut Effendy (2003:7), yang mencoba mengutip paradigma Laswell.
Ada lima komponen penting yang menyebabkan suatu komunikasi dapat berjalan
dengan baik, yaitu:
Who : komunikator : pihak penyampaian pesan
Says what : pesan : pernyataan yang didukung oleh lambang-
lambang
In which channel : media : sarana atau saluran penyampaian pesan
To whom : komunikan : pihak penerima pesan
With what effect : efek : dampak yang timbul sebagai pengaruh dari
pesan
II.4.4 Efektifitas Komunikasi Antarpribadi
Dikatakan efektifitas dalam waktu tertentu tujuan dapat tercapai dengan
baik. Ini berarti komunikasi antarpribadi efektif jika dalam waktu tertentu
melaksanakannya. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan
komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan.
Rakhmat (2004:159) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif bila pertemuan
komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan.
Menurut Effendy (2003:219) Komunikasi yang efektif adalah komunikasi
yang menimbulkan sikap, opini ataupun perilaku. Efek komunikasi yang timbul
pada komunikan diklasfikasikan sebagai berikut:
a. Efek kognitif yaitu efek yang berkaitan dengan pikiran, nalar atau ratio.
Dengan efek ini diharapkan komunikan yang semula tidak mengerti menjadi
mengerti, yang semula tidak tau membedakan mana yang salah dan yang
benar.
b. Efek afektif adalah efek yang berhubungan dengan perasaan. Misalnya yang
semula tidak senang menjadi senang, yang semula rendah diri menjadi
mimiliki rasa percaya diri.
c. Efek behavioral yakni efek yang menimbulkan etika untuk berprilaku tertentu
dalam arti kata melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik
atau jasmani.
Ketiga jenis efek ini adalah hasil proses psikologi yang berkaitan satu
sama lain, secara terpadu. Efek behavioral tidak mungkin timbul pada komunikan
apabila sebelumnya dia tidak tahu atau tidak mengerti disertai rasa senang dan
berani.
Menurut Tubbs dan Moss (Rakhmat, 2004:13) komunikasi yang efektif
a. Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimulus/pesan seperti
yang dimaksud oleh komunikator.
b. Kesenangan, artinya tidak semua komunikasi ditujukan untuk
menyampaikan informasi dan membentuk pengertian, akan tetapi ada juga
dilakuakan untuk menimbulkan kesenangan, misalnya menanyakan
seseorang. Komunikasi inilah yang menyebabkan hubungan kita menjadi
hangat, akrab dan menyengkan.
c. Pengaruh pada sikap. Komunikasi seringkali dilakukan dengan tujuan
untuk mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif ditandai dengan
perubahan sikap, perilaku atau pendapat komunikan sesuai dengan
kehendak komunikator.
d. Hubungan sosial yang baik. Komunikasi juga ditunjukan untuk
menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia juga adalah makhluk
sosial yang tidak tahan hidup sendiri.
e. Tindakan Efektifitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang
dilakukan komunikan.
Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang
baik. Menurut Rakhmat (2004:129) ada tiga faktor menumbuhkan hubungan
interpersonal, yaitu:
1. Percaya.
Definisi ini menyebutkan tiga unsur percaya, yaitu:
a. Ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh
b. Orang yang menaruah kepercayaan pada orang lain berarti
menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang
lain.
c. Orang yakin bahwa perilaku pihak lain akan berakibat baik
baginya.
Selain itu, faktor kepercayaan juga berhubungan dengan
karakterisitik dan maksud orang lain, hubungan kekuasaan, serta sifat dan
kualitas komunikasi.
2. Sikap Suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam
berkomunikasi. Orang dikatakan defensif bila tidak menerima, tidak jujur,
dan tidak empatis; dan tentunya akan menggagalkan komunikasi
interpersonal. Jack R. GIBB (Rahkmat, 2004:134) menyebutkan enam
prilaku sportif, yaitu sebagi berikut:
Tabel II.1 Perilaku Defensif dan suportif dari Jack Gibb
Iklim Defensif Iklim Suportif
1. Evaluasi
Sikap terbuka (open mindness) amat besar pengaruhnya dalam
(Rakhmat, 2004:136), mengkarakteristikkan orang bersikap terbuka
sebagai orang yang menilai pesan objektif dengan data dan logika, serta
membedakan dengan mudah dengan melihat suasana.
II. 5 Self Disclosure
Proses mengungkapakan informasi pribadi kita kepada orang lain atau
sebaliknya disebut dengan self disclouser. Salah satu tipe komunikasii dimana
informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan diri orang lain, kini
dikomunikasikan kepada orang lain (Rakhmat, 2004:108).
Josep Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada modal
interaksi model interaksi manusia yang di sebut Johari Window.
Gambar II.1 Johari Window
Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya Gambar yang disebut Jendela Johari tersebut melukiskan bahwa dalam pengembangan hubungan antar seorang denga yang lainnya terdapat empat kemungkinan sebagai mana terwakili melalui suasana di keempat bidang (Jendela). Bidang 1, melukiskan suatu kondisi di mana antara seorang dengan yang lain mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka. Bidang 2 melukiskan bidang buta, masalah hubungan antara kedua pihak hanya diketahui orang lain namun tidak diketahui oleh diri sendiri. Bidang 3, disebut bidang tersembunyi
Diketahui oleh diri sendiri Tidak diketahui oleh diri sendiri
Diketahui oleh orang lain
Tidak diketahui oleh orang lain
yakni permasalahan hubungan antara kedua pihak diketahui diri sendiri namun
tidak diketahui orang lain. Bidang 4, bidang tidak dikenal, dimana kedua pihak
sama-sama tidak mengetahui masalah hubungan diantara mereka.
Keadaaan yang dikehendaki sebenarnya dalam suatu komunikasi
mengetahui makna pesan yang sama. Meskipun demikian kenyataan hubungan
antarpribadi tidak seideal yang diharapkan itu, ini disebabkan karena dalam
berhubungan dengan orang lain betapa sering setiap orang mempunyai peluang
untuk menyembunyikan atau mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Menurut De Vito (De vito, 1997:30), ada beberapa keuntungan dari self disclouser :
1. Memahami diri sendiri
2. Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi rasa bersalah
3. Energy release
4. Meningkatkan efisiensi dan berkomunikasi
5. Membina hubungan yang bermakna
6. Kesehatan fisiologis.
II. 5.1 Dimensi Self Disclosure
Self disclosure memiliki berbagai dimensi menurut Joseph A. Devito
(1997:40) menyebutkan ada 5 dimensi self disclosure, yaitu (1) ukuran
self-disclosure, (2) valensi self-disclosure, (3) kecermatan dan kejujuran, (4) maksud
dan tujuan, dan (5) keakraban. Ini berbeda dengan dimensi yang dikemukakan
dalam Fisher (1986 : 261) yang menyebutkan dua sifat pengungkapan yang umum
dalam self-disclosure adalah memperhatikan jumlah (seberapa banyak informasi
tentang diri yang diungkapkan) dan valensi (informasi yang diungkapkan bersifat
positif atau negatif). Apabila diperbandingkan, fokus yang dikemukakan Fisher
hanya pada jumlah atau dalam istilah Devito “ukuran” dan valensi saja.
Kini kita mencoba untuk mendalami kelima dimensi tersebut dengan
memadukan apa yang diungkapkan Devito dan Fisher, dengan melihat contohnya
1. Ukuran/jumlah self-disclosure
Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak jumlah informasi diri kita yang
diungkapkan. Jumlah tersebut bisa dilihat berdasarkan frekuensi kita
menyampaikan pesan-pesan self-disclosure atau bisa juga dengan menggunakan
ukuran waktu, yakni berapa lama kita menyampaikan pesan-pesan yang
mengandung self-disclosure pada keseluruhan kegiatan komunikasi kita dengan
lawan komunikasi kita. Misalnya, dalam percakapan antara anak dan orang
tuanya, tentu tidak sepanjang percakapan di antara keduanya. Taruhlah
berlangsung selama 30 menit itu bersifat self-disclosure. Mungkin hanya 10 menit
saja dari waktu itu yang percakapannya menunjukkan self-disclosure, seperti saat
anak menyatakan kekhawatirannya nilai rapornya jelek untuk semester ini atau
tatkala si anak menyatakan tengah jatuh hati pada seseorang.
2. Valensi Self-disclosure
Hal ini berkaitan dengan kualitas self-disclosure kita: positif atau negatif.
Saat kita menyampaikan siapa diri kita secara menyenangkan, penuh humor, dan
menarik seperti yang dilakukan seorang tua yang berkepala botak yang
menyatakan, “Inilah model rambut yang paling cocok untuk orang seusia saya.”
Ini merupakan self-disclosure yang positif. Sebaliknya, apabila orang tersebut
mengungkapkan dirinya dengan menyatakan, “Sudah berobat ke sana ke mari dan
mencoba berbagai metode mencegah kebotakan yang ternyata bohong semua,
inilah hasilnya. Ini berarti self-disclosure negatif. Dampak dari self-disclosure
yang berbeda itu tentu saja akan berbeda pula, baik pada orang yang
3. Kecermatan dan Kejujuran
Kecermatan dalam self-disclosure yang kita lakukan akan sangat
ditentukan oleh kemampuan kita mengetahui atau mengenal diri kita sendiri.
Apabila kita mengenal dengan baik diri kita maka kita akan mampu melakukan
self-disclosure dengan cermat. Bagaimana kita akan bisa menyatakan bahwa kita
ini termasuk orang yang bodoh apabila kita sendiri tidak mengetahui sejauh mana
kebodohan kita itu dan tidak bisa juga merumuskan apa yang disebut pandai itu.
Di samping itu, kejujuran merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi
self-disclosure kita. Oleh karena kita mengemukakan apa yang kita ketahui maka
kita memiliki pilihan, seperti menyatakan secara jujur, dengan dibungkus
kebohongan, melebih-lebihkan atau cukup rinci bagian-bagian yang kita anggap
perlu. Untuk hal-hal yang bersifat pribadi, banyak orang memilih untuk
berbohong atau melebih-lebihkan. Namun, self-disclosure yang kita lakukan akan
bergantung pada kejujuran kita.
4. Maksud dan Tujuan
Dalam melakukan self-disclosure, salah satu hal yang kita pertimbangkan
adalah maksud atau tujuannya. Tidak mungkin orang tiba-tiba menyatakan dirinya
apabila tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Contohnya pada saat untuk
mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang
populer disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan
tertentu. Oleh karena menyadari adanya maksud dan tujuan self-disclosure itu
maka kita pun melakukan kontrol atas self-disclosure yang kita lakukan. Orang
sisi bisa dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol supaya self-disclosure-nya
mencapai maksud atau tujuan yang diinginkannya.
5. Keakraban
Seperti yang dikemukakan Fisher (1986 :261-262), keakraban merupakan
salah satu hal yang serta kaitannya dengan komunikasi self-disclosure. Apa yang
diungkapkan itu bisa saja hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya
mengenai perasaan kita, tetapi bisa juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum,
seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air atau bisa saja
antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik.
Berkenaan dengan dimensi self-disclosure yang disebut terakhir, kita bisa
mengacu pada apa yang dinamakan Struktur Kepribadian Pete yang
dikembangkan Irwin Altman dan Dalmas Taylor dengan Teori Penetrasi
Sosial-nya (Griffin, 2003:134). Dalam Struktur Kepribadian Pete ini, digambarkan
kepribadian manusia itu seperti bawang, yang memiliki lapisan-lapisan. Setiap
lapisan itu menunjukkan derajat keakraban orang yang menjalin relasi atau
berkomunikasi kerangka Teori Penetrasi Sosial - kita menjalin hubungan dengan
orang lain. Misalnya, pada tahap awal kita berbincang-bincang soal yang sifatnya
umum saja. Kita bicara soal perkuliahan yang kita ikuti. Bisa juga
berbincang-bincang soal selera makanan kita. Di sini kita hanya berbicara pada lapisan
pinggiran dari bawang tadi yang disebut periferal. Makin lama akan makin masuk
ke lapisan berikutnya. Kita mulai berbicara mengenai keyakinan agama kita,
aspirasi dan tujuan hidup kita, akhirnya konsep diri kita sebagai lapis terdalam
“bawang” kepribadian itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa self-disclosure tidak
berisikan informasi yang sifatnya pribadi. Bisa saja bercampur baur dengan
informasi yang bersifat umum atau berada pada tataran periferal.
Dalam konteks ini berarti kita sudah mulai membicarakan soal kedalaman
(depth) dan keluasan (breadth) self-disclosure. Sejauh mana kedalaman dalam
self-disclosure itu akan ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan
komunikasi. Makin akrab kita dengannya maka akan makin dalam self-disclosure
-nya. Selain itu, akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan
melalui self-disclosure itu. Ini merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau
berbincang-bincang mengenai lapisan terdalam dari diri kita apabila kita tidak
merasa memiliki hubungan yang akrab dengan lawan komunikasi kita. Apabila
kita tidak akrab dengan seseorang, sebutlah dengan orang yang baru kita kenal di
dalam bis atau pesawat terbang maka kita akan berbincang mengenai lapisan
terluar “bawang” tadi. Begitu juga halnya dengan upaya kita membangun
keakraban maka akan menuntut kita untuk berbicara mengenai diri kita. Pada
awalnya tidak menyentuh lapisan terdalam melainkan lapisan yang berada agak di