BAHASA GAUL PADA KALANGAN WARIA
DI JALAN GADJAH MADA MEDAN:
TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK
T E S I S Oleh
EVA TUTI HARJA SIREGAR
087009008/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BAHASA GAUL PADA KALANGAN WARIA
DI JALAN GADJAH MADA MEDAN:
TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
EVA TUTI HARJA SIREGAR
087009008/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : BAHASA GAUL PADA KALANGAN WARIA DI JALAN GADJAH MADA MEDAN: TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK
Nama Mahasiswa : Eva Tuti Harja Siregar Nomor Pokok : 087009008
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Eddy Setia, M. Ed., TESP) (Dr. Gustianingsih, M. Hum) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Tengku Silvana Sinar, M. A., Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa,B., M.Sc)
Telah diuji pada Tanggal 28 April 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Tengku Silvana Sinar, M. A., Ph.D Anggota : 1. Dr. Eddy Setia, M. Ed., TESP
ABSTRAK
Judul penelitian adalah: Bahasa Gaul pada Kalangan Waria di Jalan Gadjah MAda Medan: Tinjauan Sosiolonguistik.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bahasa gaul pada kalangan waria di Jalan Gadjah Mada Medan, mengkaji berdasarkan teori sosiolinguistik dan semantic structural. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Peneliti berperan sebagai instrumen utama dalam pengumpulan dan pengidentifikasin data dengan melakukan kegiatan pemaparan dan deskripsi terhadap objek penelitian. Data dikumpulkan dengan teknik rekam dan cetak. Objek analisis adalah bahasa waria dari sudut deskripsi semantik, struktur leksikal, selanjutnya karakteristik bahasa gaul waria.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa gaul di kalangan waria diciptakan sebagai alat komunikasi dalm berinteraksi antar kelompok mereka. Bahasa gaul waria di Jalan Gadjah Mada tidak hanya berpedoman pada kamus waria, yang berarti bahasa yang digunakannya adalah bahasa yang diciptakan sendiri. Bahasa waria juga memiliki hubungan makna dengan bahasa Indonesia. Terdapat pembentukan kata-kata baru yang dapat menciptakan perubahan makna. Selanjutnya, penelitian tentang bahasa di kalangan waria, berbeda dengan bahasa yang digunakan waria di Jalan Gadjah Mada Medan.
Berdasarkan hasil analisis data deskripsi semantik bahasa gaul waria diperoleh hasil penelitian bahwa bahasa yang digunakan waria dalam berkomunikasi terdapat kaitan makna sinonim, antonym, dan perubahan makna. Sedangkan struktur leksikal memiliki pola tertentu, yaitu gejala bahasa seperti penambahan suku kata, penghilangan suku kata, serta pembentukan kata-kata baru secara teratur dan tidak teratur. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis karakteristik bahasa yang digunakan bersifat atbitrer, dan diperoleh ciri yang unik dan tidak berpedoman pada kamus Debby Sehertian. Bahasa waria hanya memiliki beberapa ratus kata saja dan penggunaan bahasa waria ini meliputi bidang-bidang tertentu.
ABSTRACT
The title of this research is: Bahasa Gaul Pada Kalangan Waria di Jalan Gajah
Mada Medan: Tinjauan Sosiolinguistik.
The objective of this research is to describe the pidgin/daily language used by transsexual people in St. Gajah Mada, studied by the sociolinguistics and structural semantics theory. The method used in this research is descriptive-qualitative. The researcher is take part as the main instrument in identifying and interpreting data by carrying out several exposition and description toward the object of research. Data are identified by several techniques such as record and notation techniques. The data are the pidgi/daily language used by transsexual people in St. Gajah Mada based on semantic description, lexical structure, and the language characteristic.
The findings in this research have shown that language is created as communication and interaction tool in the transsexual community. This research is not only based on glossary tract but also field study involvement, which is show that the language is created by the community. The language also related with Bahasa Indonesia. There are new gloss constructions which construct meaning. Then, this research is different from research toward transsexual language.
Based on data analysis toward semantic description oh transsexual language shown that the language have synonymy, antonymy, polisemy, and meaning changing relation. Whereas the lexical structure has specific construction, i.e. addition, deletion, and new gloss construction, arranged and not arranged. Based on data analysis, this pidgin/daily language has arbitrary character which shown by the used of wider experimental device, not only the dictionary by Debby Sehertian. This arbitrary shown by more glossary findings, not only for specific object, then, this language different based on the location of the research.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiratan Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan tesis ini.
Penelitian ini berjudul : Bahasa Gaul Pada Kalangan Waria Di Jalan
Gajah Mada Medan: Tinjauan Sosiolinguistik. Penelitian ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Magister pada Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara. Proses pembuatan tesis ini dari
penggumpulan data sampai penyusunan tesis mendapat dukungan dari berbagai
pihak. Pengumpulan data, analisis data, dan sampai selesainya tesis ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan tesis ini.
Medan, April 2010
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan rahmad dan hidayah-Nya setiap saat, hingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam kepada junjungan sekalian alam,
Rasulullah Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umat manusia menuju
pencapaian-pencapaian tertinggi peradabannya melalui ilmu pengetahuan.
Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada.
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM),
Sp. A(K)
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa,
B., M. Sc
3. Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof.
Tengku Silvana Sinar, M. A., Ph.D dan Sekretaris Program Studi Linguistik, Drs. Umar
Mono, M.Hum
4. Pembimbing penulis selama pengerjaan tesis ini, Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP., dan Dr.
Gustianingsih, M. Hum., atas keluangan waktu, arahan, koreksi, dan bantuannya
5. Dosen Penguji penulis dalam pengerjaan tesis ini, Prof. Dr. Robert Sibarani M. S., dan
Dr. Syahron Lubis, M. A., atas segala koreksi dan masukan-masukan selama ujian
berlangsung
7. Teman-teman angkatan 2008, Dewi Kumala Sari, Nurismilida, Helmita Mufida, Buang
P. Agus, Abdul Zebar, Citrayana, Erliana Siregar, Nurilam Harianja, Ricky Manik,
Veryani Guniesti, Bima Pranachitra, Nelvita, Dewi Sukhrani dan Rehan Halilah Lubis,
atas pertemanannya. Khusus kepada Ferdianto Yusuf, Yusradi Usman,
Halimatussakdiah Nasution, dan Ita Khairani. Khusus kepada Ade Kurniawan Nasution
atas segala masukannya.
8. Yang lebih khusus dan teristimewa Ibunda Arjah, S. Pd., dan Ayahanda Nurudin
Siregar atas curahan kasih sayang yang tidak terkira, untaian doa, dukungan, serta
bantuan yang tak pernah henti. Adinda tercinta: Rifi Hartati Siregar dan As’ari Siregar.
9. Juga, kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu penulis baik langsung
RIWAYAT HIDUP
Nama : EVA TUTI HARJA SIREGAR
Tempat/Tgl Lahir : Selat Besar, 3 Juni 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Tempat Tinggal : Jl. S.M.Raja, Gang Purnama No.10b Medan
Medan– 20217
Nomor Ponsel : +6281365458422
Alamat Email : evatutiharja@yahoo.com
PENDIDIKAN FORMAL
SD : SD Negeri No. 112197 Rantauprapat
SLTP : MTS Gaya Baru Negeri Lama
SMU : SMU Negeri 1 Rantauprapat
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
PRAKATA... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Batasan Masalah ... 8
1.3 Rumusan Masalah... 9
1.4 Tujuan Penelitian ... 9
1.5 Manfaat Penelitian ... 10
1.5.1 Manfaat Teoretis ... 10
1.5.2 Manfaat Praktis... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Sosiolinguistik... 11
2.1.1 Konteks dan Situasi... 16
2.1.2 Ragam Bahasa ... 18
2.2 Semantik Sebagai Kajian Makna ... 25
2.3 Jenis Makna ... 27
2.3.1 Makna Leksikal, Makna Gramatikal dan Konseptual... 27
2.3.2 Makna Referensial dan Non Referensial ... 28
2.3.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif ... 28
2.3.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif ... 29
2.3.5 Makna Idiom ... 29
2.4Relasi Makna……… 33
2.4.1. Kebermaknaan……….…..……. 33
2.4.2. Polisemi………. 34
2.4.3. Homonim……….…………..…… 34
2.4.4. Homograf………..……… 34
2.4.5. Sinonim……….……… 35
2.4.6. Antonim……… 35
2.4.7. Hiponim………..………..……… 35
2.4.8. Ketaksaan………..……… 35
2.4.9. Kemubaziran (Redundansi)………...………… 36
2.5 Perubahan Makna……… 36
2.6 Sejarah Penggunaan Bahasa Gaul... 38
2.7 Pembagian Bahasa Gaul ... 44
2.7.1 Bahasa Gaul Umum ... 44
2.7.2 Bahasa Gaul Khusus ... 45
2.8 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan... 46
3.2 Sumber Data... 48
3.3 Metode Penelitian ... 48
3.4 Pengumpulan Data ... 49
3.5 Teknik Analisis Data... 50
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51
4.1 Temuan Penelitian ... 51
4.1.1 Deskripsi Semantik Bahasa gaul di Kalangan Waria di Jalan Gajah Mada Medan ... 51
4.1.1.1 Sinonim ... 56
4.1.1.2 Antonim ... 57
4.1.2 Struktur Leksikal Bahasa Gaul di Kalangan Waria di Jalan Gajah Mada Medan ... 58
4.1.2.1 Penghilangan Suku Kata di Akhir Kata dan Menggantikannya dengan Fonem yang Lain………...……… 58
4.1.2.2 Penambahan suku kata di akhir kata dan Menggantikannya dengan fonem yang Lain………...……… 59
4.1.2.3 Pembentukan kata‐ kata baru yang benar‐ benar asing…...…...………. 62
4.1.3 Karakteristik Bahasa Gaul di Kalangan Waria di Jalan Gajah Mada Medan……… 64
4.1.3.1 Ragam Bahasa……… 64
4.1.3.2Struktur Leksikal………... 67
4.2 Pembahasan……… 68
4.2.1 Deskripsi Semantik Bahasa gaul di Kalangan Waria di Jalan Gajah Mada medan ... 68
4.2.2 Struktur Leksikal Bahasa Gaul di Kalangan Waria di Jalan
Gajah Mada Medan ... 82
4.2.2.1 Penghilangan Suku Kata di Akhir Kata dan Menggantikannya dengan Fonem yang Lain………...………. 82
4.2.2.2 Penambahan suku kata di akhir kata dan Menggantikannya dengan Fonem yang Lain…………...…….….. 83
4.2.2.3 Pembentukan kata‐ kata baru yang benar‐ benar asing………….…...…. 86
4.2.2.4Pembentukan Kata-Kata baru dengan Mengulang Bagian Pertama Kata Asalnya Sehingga Seperti Kata Ulang……….. 87
4.2.3 Karakteristik Bahasa Gaul di Kalangan Waria di Jalan Gajah Mada Medan ……… 88
4.2.3.1Ragam Bahasa……… 88
4.2.3.3 Struktur Leksikal………... 90
BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 92
5.1 Simpulan ... 92
5.2 Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA... 94
Lampiran 1 ... 97
Lampiran 2 ... 107
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Deskripsi Semantik Bahasa Gaul di Kalangan Waria…………. … 52
ABSTRAK
Judul penelitian adalah: Bahasa Gaul pada Kalangan Waria di Jalan Gadjah MAda Medan: Tinjauan Sosiolonguistik.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bahasa gaul pada kalangan waria di Jalan Gadjah Mada Medan, mengkaji berdasarkan teori sosiolinguistik dan semantic structural. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Peneliti berperan sebagai instrumen utama dalam pengumpulan dan pengidentifikasin data dengan melakukan kegiatan pemaparan dan deskripsi terhadap objek penelitian. Data dikumpulkan dengan teknik rekam dan cetak. Objek analisis adalah bahasa waria dari sudut deskripsi semantik, struktur leksikal, selanjutnya karakteristik bahasa gaul waria.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa gaul di kalangan waria diciptakan sebagai alat komunikasi dalm berinteraksi antar kelompok mereka. Bahasa gaul waria di Jalan Gadjah Mada tidak hanya berpedoman pada kamus waria, yang berarti bahasa yang digunakannya adalah bahasa yang diciptakan sendiri. Bahasa waria juga memiliki hubungan makna dengan bahasa Indonesia. Terdapat pembentukan kata-kata baru yang dapat menciptakan perubahan makna. Selanjutnya, penelitian tentang bahasa di kalangan waria, berbeda dengan bahasa yang digunakan waria di Jalan Gadjah Mada Medan.
Berdasarkan hasil analisis data deskripsi semantik bahasa gaul waria diperoleh hasil penelitian bahwa bahasa yang digunakan waria dalam berkomunikasi terdapat kaitan makna sinonim, antonym, dan perubahan makna. Sedangkan struktur leksikal memiliki pola tertentu, yaitu gejala bahasa seperti penambahan suku kata, penghilangan suku kata, serta pembentukan kata-kata baru secara teratur dan tidak teratur. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis karakteristik bahasa yang digunakan bersifat atbitrer, dan diperoleh ciri yang unik dan tidak berpedoman pada kamus Debby Sehertian. Bahasa waria hanya memiliki beberapa ratus kata saja dan penggunaan bahasa waria ini meliputi bidang-bidang tertentu.
ABSTRACT
The title of this research is: Bahasa Gaul Pada Kalangan Waria di Jalan Gajah
Mada Medan: Tinjauan Sosiolinguistik.
The objective of this research is to describe the pidgin/daily language used by transsexual people in St. Gajah Mada, studied by the sociolinguistics and structural semantics theory. The method used in this research is descriptive-qualitative. The researcher is take part as the main instrument in identifying and interpreting data by carrying out several exposition and description toward the object of research. Data are identified by several techniques such as record and notation techniques. The data are the pidgi/daily language used by transsexual people in St. Gajah Mada based on semantic description, lexical structure, and the language characteristic.
The findings in this research have shown that language is created as communication and interaction tool in the transsexual community. This research is not only based on glossary tract but also field study involvement, which is show that the language is created by the community. The language also related with Bahasa Indonesia. There are new gloss constructions which construct meaning. Then, this research is different from research toward transsexual language.
Based on data analysis toward semantic description oh transsexual language shown that the language have synonymy, antonymy, polisemy, and meaning changing relation. Whereas the lexical structure has specific construction, i.e. addition, deletion, and new gloss construction, arranged and not arranged. Based on data analysis, this pidgin/daily language has arbitrary character which shown by the used of wider experimental device, not only the dictionary by Debby Sehertian. This arbitrary shown by more glossary findings, not only for specific object, then, this language different based on the location of the research.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah salah satu identitas sebuah bangsa demikian juga halnya
dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti
bahasa Indonesia terdiri dari latar belakang etnis, budaya, dan bahasa yang berbeda-
beda, seperti bahasa Indonesia, Batak, Jawa, dan lain- lain. Bahasa sebagai alat
komunikasi yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri. Kokasih (2003:18) menyebutkan bahasa sebagai
rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu yang dikenal sebagai kata,
melambangkan suatu konsep. Setiap bahasa sebenarnya mempunyai ketetapan atau
kesamaan dalam hal tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata makna,
tetapi karena berbagai faktor yang terdapat di dalam masyarakat penggunaan bahasa
itu, seperti usia, pendidikan, agama, bidang kegiatan dan profesi, dan latar belakang
budaya daerah, maka bahasa itu menjadi tidak seragam.
Bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian internal berkaitan
dengan struktur internal bahasa yaitu yang berhubungan dengan aspek- aspek
linguistik dan teori linguistik semata, sedangkan kajian eksternal berkaitan dengan
faktor yang di luar bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut oleh
melibatkan lebih dari satu disiplin ilmu, misalnya sosiolinguistik yang merupakan
gabungan sosiologi dan linguistik.
Sosiolinguistik menurut Chaer dan Agustina (2004:4) menyebutkan
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu
sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor
sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Sedangkan Fishman, (1972 dalam Chaer dan
Agustina 2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri
khas ragam bahasa, fungsi ragam bahasa, dan penggunaan bahasa karena ketiga unsur
ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat
tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi
serta tingkatan ragam dan ragam linguistik.
Jelas bahwa sosiolinguistik adalah pengkajian bahasa eksternal yaitu antara
masyarakat dengan bahasa, mengkaji tentang ciri khas ragam bahasa, fungsi ragam
bahasa, dan pengunaan bahasa serta hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor
sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
Maka dengan demikian jika ditinjau dari segi sosiolinguistik alat bedah atau
teori yang digunakan dalam menganalisis data cenderung menggunakan teori Chaer
dan Agustina (2004). Hal ini disebabkan dimensi kemasyarakatan bukan hanya
memberi makna kepada bahasa tatapi juga menyebabkan terjadinya ragam-ragam
masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa yang
mencerminkan tujuan, topik, kaidah dan modus- modus pengguna bahasa.
Menurut George (1964 dalam Peteda 1996:7) semantik adalah bahasa yang
terdiri dari struktur yang merupakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam
pengalaman dunia manusia. Semantik sebagai kajian makna, yaitu makna yang
tersirat dalam kalimat juga menjadi objek pembahasan dalam semantik, dan setiap
kata yang diucapkan oleh manusia, maupun kelompok sosial lainnya pasti
mempunyai makna. Semantik sebagai studi tentang makna, yaitu berpikir kognisi
yang berkaitan dengan mengklasifikasikan dan menggambarkan pengalaman manusia
tentang bahasa. Maka setiap makna kata yang digambarkan dari pengalaman manusia
mempunyai arti yang terdapat dalam kamus sering disebut dengan semantik leksikal.
Pateda (1996:74) mengatakan Semantik leksikal adalah kajian semantik yang
lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata,
sedangkan Saeed (1997:55) mengatakan makna semantik adalah kata yang
mengandung atau arti yang sebenarnya.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa semantik leksikal
adalah cabang semantik yang mengkaji sistem makna yang terdapat dalam kata yang
memiliki arti berdasarkan kamus. Jadi teori yang digunakan menurut Pateda (1996),
karena bahasa yang digunakan para waria berkaitan dengan makna leksikal. Kata
yang terdapat pada komunitas para waria dalam pembentukan makna memiliki pola
berhungan erat dengan ragam bahasa dalam masyarakat yang menjadi ciri atau
identitas kelompok mereka dalam pergaulan mereka sehari- hari.
Istilah “Gaul”, yang terdapat pada golongan selebritis, remaja hingga waria ini
dianggap sebagai suatu identitas kemajuan zaman dalam pergaulan sehari- hari dan
dunia yang lahir untuk mereka, dengan sebutan modern dalam segala hal, tidak
terkecuali alat kornunikasi verbal yaitu bahasa yang sering mereka sebut dengan
“Bahasa Gaul”. Menurut Sehertian (2002:97) bahasa gaul mulai muncul pada akhir
tahun 1980-an. Awalnya istilah dalam bahasa gaul itu adalah untuk merahasiakan isi
obrolan atau pembicaraan dalam komunitas tertentu, namun karena sering juga
digunakan di luar komunitas mereka, lama-lama istilah tersebut menjadi bahasa
sehari-hari. Bahasa gaul awalnya digunakan oleh para preman yang kehidupanya
dekat dengan kekerasan, narkoba, dan minuman keras. Istilah- istilah baru, mereka
ciptakan agar orang- orang di luar komunitas mereka tidak mengerti. Salah satu kata
yang terkenal pada zaman itu ialah kata “Nich yee”. Kemudian bahasa gaul mulai
berkembang hingga sekarang.
Wa
kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan
memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait
dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial
Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan
biologisnya (
kondisi lingkungan pergaulan. Sebutan bencong juga dikenakan terhadap waria dan
bersifat negatif.
Waria yang ada di jalan Gajah Mada merupakan kumpulan dari berbagai
daerah yang berlatar belakang berbeda, menurut penelitian penyebab utama seseorang
menjadi waria adalah faktor lingkungan. Sejak lahir, waria memang penuh dengan
konflik. Pada mulanya mereka dihadapkan pada dua pilihan, menjadi laki- laki atau
perempuan. Kedua pilihan ini tentu membawa konsekuensi masing- masing. Konflik
lain muncul ketika mereka bereda ditengah- tengah masyarakat di sekitarnya yang
penuh dengan norma- norma dan aturannya sendiri. Kehadiran mereka ditengah
masyarakat dianggap sebagai sampah masyarakat yang tidak memiliki hak dan
kewajiban yang sama sebagai mana layaknya manusia lainnya. Faktor ekonomi juga
sebagai pemicu, jadi para lelaki banyak yang berperan sebagai waria, hal ini terjadi
karena sulitnya mencari lapangan pekerjaan, demi mendapatkan penghidupan yang
layak mereka berani menyatakan diri sebagai waria dan penampilan mereka dengan
berpakaian menggunakan rok yang mencerminkan seorang wanita yang seutuhnya.
Dengan adanya latar belakang yang berbeda tersebut para waria yang ada di jalan
Gajah Mada Medan cenderung bekerja di salon, maupun memiliki salon. Maka
di lokasi Gajah Mada Medan setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda
dan mendominasi bekerja di salon.
Waria merupakan sekelompok bagian dari masyarakat yang mempunyai
komunitas tersendiri bagian dari masyarakat. Sesama waria dalam menggunakan
bahasa tertentu dilihat dari situasi tertentu yang disebut ragam bahasa. Perkembangan
bahasa pada kalangan Waria dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat
tempat mereka tinggal. Hal ini berarti sebuah proses pembentukan karakreristik yang
dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat di sekitar akan menjadi ciri khusus
dalam sebuah perilaku bahasa.
Pembicaraan tentang ragam bahasa gaul biasanya dikaitkan dengan masalah
dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa yang digunakan oleh siapa, dimana,
dan kapan, maka ragam berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk
kegiatan apa. Dalam kehidupan modern ada kemungkinan adanya seseorang yang
hanya mengenal satu dialek, namun, pada umumnya dalam masyarakat modern orang
hidup dengan lebih dari satu dialek (regional maupun sosial) dan menggeluti
sejumlah ragam, sebab dalam masyarakat modern orang sudah pasti berurusan
dengan sejumlah kegiatan yang berbeda. Bahasa gaul biasanya digunakan dalam
suasana informal yang sifatnya menghibur, dan untuk menjalin keakraban, karena
apabila kita mengunakan bahasa baku dalam suasana akrab atau hiburan akan
terkesan kaku dan membuat suasana menjadi formal yang cenderung melahirkan
digunakan selain praktis juga mudah dipahami. Khususnya remaja yang lebih sering
menggunakan bahasa gaul misalnya kalimat “ya iyalah, masa iya dong”, “masa sich”
dan kalimat “secara gituloh”. Pada kalimat tersebut terdapat penggunaan kata yang
khas, yaitu iyalah,. masa, secara, dong dan sebagainya. Berdasarkan latar belakang
yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti bahasa gaul pada
1.2 Batasan Masalah
Mengingat luasnya masalah perlu adanya pembatasan masalah. Penelitian ini
dibatasi di jalan Gajah Mada Medan kecamatan Medan Baru. Adapun pertimbangan
serta alasan penelitian pada lokasi tersebut karena pertama; jalan Gajah Mada
termasuk juga pusat komunitas para waria di tempat tersebut para waria dalam
berkomunikasi cenderung mengunakan bahasa gaul terhadap komunitas tertentu pada
kelompok mereka maupun pada orang lain, kedua; lokasi tersebut sangat strategis
untuk dijadikan sebagai tempat penelitian serta bahasa yang digunakan kelompok
mereka mendominasi bahasa waria. Ketiga; pemilik serta pekerja salon yang ada di
lokasi Gajah Mada mendominasi para kalangan waria. Masalah dalam kajian
penelitian ini berkaitan dengan sosiolinguistik ragam bahasa, yaitu tempat, waktu,
pengguna, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan penggunaan
ragam bahasa yang digunakan para waria. konteks dan situasi bahasa itu digunakan
untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta bagaimana situasi
keformalannya di jalan Gajah Mada Medan. Kajian linguistik yaitu fonologi,
morfologi, sintaksis dan semantik. Semantik juga terbagi menjadi dua yaitu leksikal
dan gramatikal. Dengan demikian dengan adanya pembatasan masalah ini penelitian
dapat lebih terpusat pada tujuan yang ingin dicapai.Makan masalah dalam penelitian
dibatasi pada bahasa gaul tentang aspek semantik leksikal dan karekteristik bahasa
1.3 Rumusan Masalah
Setelah melakukan pembatasan masalah, maka selanjutnya perlu dilakukan
rumusan masalah. Berdasarkan batasan masalah di atas maka dalam penelitian ini
masalah dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah deskripsi semantik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah
Mada Medan?
2. Bagaimanakah struktur leksikal bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah
Mada Medan?
3. Bagaimanakah karekteristik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada
Medan?
1.4 Tujuan Penelitian
Waria adalah manusia biasa yang juga menggunakan bahasa dalam
kehidupannya sehari- hari. Kemampuan para waria dalam hal menciptakan bahasa
baru dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah fenomena yang cukup unik, karena
setiap kata- kata yang mereka ciptakan menjadi sebuah ragam bahasa yang unik
untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan semantik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada
Medan
2. Mendeskripsikan struktur leksikal bahasa gaul di kalangan waria di jalan
3. Mendeskripsikan karekteristik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah
Mada Medan
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1 Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian teoretis yang
mendukung penelitian terdahulu dan bermanfaat bagi ilmu sosiolinguistik,
khususnya tentang penggunaan bahasa gaul pada kalangan waria.
2. Menambah khasanah kajian linguistik, khususnya aspek semantik leksikal.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat lebih mengenal kelompok para waria yang
hingga dewasa ini belum dapat diterima keberadaannya oleh masyarakat
secara umum.
2. Memperkaya khasanah penemuan tentang perkembangan bahasa gaul
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosiolinguistik
Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur
bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum
yaitu sebagai alat komunikasi. Sosiolingistik lazim didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan diantara para bahasawan
dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana,
1978:94), Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan
bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi
bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling
mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur,
lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam
linguistik. Berdasarkan teori Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) berpendapat bahwa
dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di
dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis
kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi. Sedangkan
Nababan (1994:2) mengatakan bahwa pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi
variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti
korelasi antara faktor- faktor sosial itu dengan variasi bahasa.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi,
hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur
serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa.
Selanjutnya ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik
yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat
dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4)
analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan
ragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. (Chaer,
2004:5).
Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa
penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Maka,
identitas penutur dapat berupa anggota keluarga. Identitas penutur itu dapat
mempengaruhi pilih kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga
di dalam sebuah rumah tangga, di perpustakaan, di perkuliahan, di pinggir jalan
hingga di lingkungan para waria. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula
perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, sedangkan
dilingkungan para waria berbicara dalam mengunakan bahasa dalam kelompok
tertentu dengan bahasa yang sering mereka gunakan, seperti ragam bahasa gaul.
Tingkatan variasi dan ragam linguistik, bahwa sehubungan dengan
heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan
politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi,
manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi
sosialnya masing- masing.
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer,
digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Hal ini memberi gambaran bahwa bahasa
adalah berupa bunyi yang digunakan oleh rnasyarakat untuk berkornunikasi. Keraf
(1991:1) mengatakan bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat terdiri atas dua
bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Sapir (1921) dalam Sibarani
(2004:36) mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampaian ide,
perasaan, dan keinginan yang sungguh manusiawi dan noninstingtif dengan
mempergunakan sistem simbol- simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan suka
tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok
manusia atau masyarakat.
Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau sistem
lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau
masyarakat untuk mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa yang terdapat dalam kata yang diucapkan.
Indonesia adalah Negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, maka pengunaan bahasa Indonesia juga beragam.
Apabila beberapa orang berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami, pertama
yang terdengar adalah berbagai bunyi dan berselang- seling dan rumit sekali. Ketika
ingin semakin akrab dengan bahasa itu bunyi yang berselang- seling tadi berubah
menjadi bunyi yang dapat dibedakan. Tiap bahasa memiliki aturan-aturan sendiri
yang menguasai bunyi- bunyi dan urutan- urutannya, kata dan bentukan- bentuknya,
kalimat dan susunannya.
Indonesia adalah Negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang
digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah , besar maupun kecil,
yang digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu untuk keperluan
yang bersifat kedaerahan, tetapi di samping itu banyak pula yang hanya menguasai
satu bahasa, namun ada pula yang menguasai dwi bahasa (bilingual) atau lebih dari
Sebagai sebuah subjek kajian bahasa gaul merupakan suatu fenomena
penciptaan bahasa yang berbeda namun berlaku dikalangan pengguna bahasa karena
seperti yang kita ketahui bahwa bahasa memiliki salah satu sifat yang arbitrer bisa
diartikan sewenang-wenang, berubah ubah, tidak tetap, dan mana suka. Keraf (1991 :
16) menyatakan bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dalam praktek kehidupan sehari-hari
manusia tidak terlepas dari simbol dan alat komunikasi. Bahasa adalah alat yang
digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi serta penyampaiannya segala sesuatu
dalam bentuk lisan kepada sesama manusia. Dalam pergaulan sehari- hari di berbagai
kalangan mengakui adanya pluralitas orientasi seksual dikenal adanya penggunaan
bahasa gaul di sekelompok waria yang secara budaya dan pengucapan menunjukkan
kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa
yang monoton dan tidak berkembang.
Berbicara mengenai bahasa tidak hanya membicarakan satu jenis bahasa,
tentu banyak pula ragamnya yang berdasarkan konteks situasi dimana mereka
menggunakan bahasa yang mereka anggap sebagai alat komunikasi yang sering
digunakan dalam kelompok mareka, salah satu bahasa yang digunakan ialah ragam
bahasa gaul pada kalangan waria. Ragam bahasa yang disikapi dalam pengertian ini
adalah fenomena bahasa pada kalangan waria. Dalam hal ini ragam bahasa yang
digunakan seseorang dalam situasi non formal pada orang yang sama akan menukar
disesuaikan dengan bahan dan bahasa yang tepat. Begitu pula tentang bahasa pada
kalangan waria yang ada di jalan Gajah Mada Medan.
2.1.1 Konteks dan Situasi
Menurut Poerwadarminta(2008:156) pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,
konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
atau menambah kejelasan makna. Istilah konteks dan situasi sering digunakan untuk
menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami
masalah arti bahasa. Walau kata konteks dan situasi sering diiringi penggunaannya,
sebaliknya diadakan juga perbedaan antara kedua kata itu. Kata- kata pada satu
bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteks nya.
Fishmam (dalam Tarigan, 3:1988) beserta pakar sosiolinguistik lainnya sangat
yakin bahwa maksud dan tujuan penggunaan satu atau dua bahasa sangat beraneka
ragam dan barbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya dari orang ke orang
bergantung pada topik, penyimak dan konteks. Berdasarkan penggunaannya, berarti
bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta
bagaimana situasi keformalannya.
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti
bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh
bahasa. Bahsa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai
Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa
menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan
medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut
penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya
variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada penggunaan bahasa
dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persurat kabaran), kesusastraan,
dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau
gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pengungkapan
dapat berupa sarana atau cara penggunaan bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa
tulis, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang
satu berbeda dengan ragam yang lain.
Penggunaan ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi
penggunanya. Hal ini mengindifikasikan bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana
komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi
bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keaneka
ragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat
diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang,
bahasa yang digunakan memperlihatkan perbedaan.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai
dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang
ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa
termasuk bahasa gaul di kalangan waria menjadi tuntutan bagi setiap penutur,
mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing, menghendaki
kesesuaian bahasa yang digunakan.
2.1.2 Ragam Bahasa
Manusia merupakan mahluk sosial, manusia melakukan interaksi, bekerja
sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal
tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa
memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan
kebutuhannya untuk hidup bersama. Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat
secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas
diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok sosial
tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok
tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan
bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya
berbeda. Adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang
dipergunakan beragam. Keragaman bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan
sosialnya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah
kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.
Dalam ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang
sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang
dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi.
ragam bahasa juga dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pengguna,
situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan penggunaan ragam
bahasa (Pateda dalam Chaer 1987: 52).
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa beragam, yang dimaksud dengan
tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik seperti di jalan, di
Mall, hingga di lingkungan para waria.
Dari segi penggunaannya, bahasa dapat menimbulkan keberagaman juga,
istilah penggunaan di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan.
Sedangkan ragam bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam
situasi resmi dan bahasa yang digunakan dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi,
bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kestandartan ini disebabkan oleh
situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
Ragam bahasa gaul ditinjau dari ilmu folklore adalah salah satu bentuk
(genre) foklor yang disebut ”ujaran rakyat” (folk speech). Slang ini dapat berupa satu
kalimat, tetapi dapat juga terdiri sebuah kata yang tidak lazim di dalam bahasa
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam
bahasa yang tidak resmi digunakan oleh kaum remaja, serta waria atau kelompok
sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya
tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan
dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang
bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, digunakan oleh
kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa
pemendekan kata, penggunaan kata diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan
berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi,
kosakata yang lazim digunakan di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang
berbeda makna sebenarnya dipertegas lagi kedalam bentuk.
Slang ini selanjutnya dapat dipertegas lagi ke dalam bentuk cant, yaitu bahasa
gaul yang diucapkan dengan nada atau intonasi tertentu sehingga terasa ringan, lucu,
dan ekspresif cocok untuk suasana santai yang bersifat rahasia. Sedangkan cant yang
khusus dipergunakan oleh para penjahat atau preman dikenal dengan istilah Argot
menurut Kridalaksana (1982:14) bahasa dan perbendaharaan kata suatu kelompok
orang, seperti bahasa pencopet. Sedangkan menurut Chear (1995:80) Argot adalah
variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi- profesi tertentu dan
bersifat rahasia. Kelompok yang dimaksud disini adalah kelompok orang muda
bahasa Cant yang berfungsi sebagai bahasa dari sekelompok orang atau kalangan
tertentu terutama pada kelompok remaja dan waria. Pada tahun 1940-an cant tersebut
berbentuk penggantian suku kata (syllable) terakhir dari suatu kata dari suatu kata
dengan ”se”. Sebagai contoh kata genis menjadi gense. Namun pada tahun 1980-an
para pemuda usia ini mengambil alih bahasa prokem yang berasal dari para penjahat
atau preman di Jakarta. Jadi ujaran rakyat kelompok usia muda sejak itu telah
mengubah slang nya dari sifat cant menjadi argot. Bahasa prokem ini kemudian telah
berhasil menjadikan dirinya menjadi bahasa lisan dari orang Indonesia pada
umumnya di daerah perkotaan.
Bahasa pada kalangan homoseksual (gay dan lesbian) sangat menarik karena
para homoseksual menciptakan cant tersendiri untuk kelompoknya. Bahasa para gay
dan lesbian ini juga tidak langgeng, karena pada beberapa tahun ini telah timbul jenis
cant gay yang lain lagi, yang mereka namakan bahasa gaul. Bahasa gaul saat ini
semakin ngetop dan ngetrend, sehingga diambil alih juga oleh para remaja dan orang
muda dari kalangan pengusaha, artis, film sinetron, mahasiswa dan lain- lain.
Bahasa para gay dan lesbian ini pada beberapa tahun yang lalu, adalah cant
dengan cara menyisipkan suku kata ”in”, seperti untuk banci menjadi binancini,
sedangakan untuk istilah bule menjadi binuline, dan sebagainya. Dalam bahasa
pergaulan sehari-hari, kalagan yang mengakui adanya prularitas orientasi seksual
dikenal adanya pengguaan bahasa gaul yang secara budaya dan pengucapan
penyeragaman bahasa yang membosankan, tanpa daya pikir, anti-kenikmatan dan
mentabukan seksual. Sebaliknya mereka aktif menciptakan keragaman, merangsang
gairah- gairah (pengucapan) oral mereka selalu aktif menciptakan dan menciptakan
literatur yang lebih terbuka pada kesenangan para gay dan lesbian.
Secara permukaan dimarjinalkan, masyarakat secara aktif mengagungkan satu
orientasi seksual yang sakral mengadopsinya dalam bahasa keseharian mereka
(contoh: ”bencong”) di bawah ini adalah penjelasan singkat bagaimana kreativitas
bahasa itu diekspresikan dalam keberagaman, yang disebut bentuk bahasa ”binan”
waria. Bahasa gaul khusus yang diciptakan para waria khususnys di jalan Gajah
Mada Medan dalam berkomunikasi sesama kelompok termasuk kedalam gejala
bahasa.
2.1.3 Gejala Bahasa
Menurut Badudu (1985:47) gejala bahasa adalah peristiwa yang menyangkut
bentuk kata atau kalimat dengan secara macam proses pembentukannya. Beberapa
gejala bahasa yang digunakan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul
khusus adalah penghilangan fonem, penambahan fonem dan metatesis dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Penghilangan Fonem
Gejala penghilangan fonem bahasa gaul khusus tidak banyak ditemukan, karena
2. Penambahan Fonem
Gejala penanbahan fonem banyak ditemukan dalam proses pembentukan kata
dalam bahasa gaul khusus. Gejala penambahan fonem terjadi gejala bahasa yang
menyimpang. sebagai contoh yaitu:
a. Tambahan awalan ko.
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem.
Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata
pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil
bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata
koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu
mengalami perubahan bunyi jadi okem.
Contoh dalam bentuk kata:
— mati — komat — (ko + mat) = mokat
— bisa— kobis — (ko + bis) = bokis
— beli — kobel — (ko + bel) = bokel
b. Tambah awalan si
Awalan si biasanya digunakan oleh waria di Jawa Timur. Cara penggunaannya
dengan menambahkan kata si pada setiap kata yang digunakan dengan terlebih
menghasilkan bunyi baru. Syaratnya setiap kata modifikasi tesebut harus berakhir
dengan huruf konsonan. Contoh dalam bentuk kata:
— wedhok (Jawa. perempuan) = siwed (si + wed)
— pergi = siper (si+ per)
— makan = simak (si + mak)
c. Tambahan akhiran ong
Penambahan akhiran ong adalah modifikasi sederhana lain yang sering juga digunakan. Penggunaannya dengan menyelesaikan/ mengasimilasi setiap suku kata terakhir dalam bahasa keseharian dengan bunyi ong dan setiap huruf vokal suku kata pertama menjadi bunyi e.
Contoh dalam bentuk kata:
— homo — hemong (ho + mo = -he + mong)
— laki— lekong (le + ki = -le + kong)
d. Tambahan sisipan “in”
Di banding dengan modifikasi regular lainnya , sisipan “in” sedikit lebih sulit dalam
penerapannya. Setiap modifikasi sisipan “in” setiap suku kata dibagi diasimilasikan
dengan dengan sisipan bunyi “in”.
Contoh dalam bentuk kata:
— Lesbi — lines bini (les + bi = -lines + bini)
3. Metatesis
Menurut Badudu (1985:64) gejala metatesis adalah gejala yang
memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem.
2.2 Semantik Sebagai Kajian Makna
Kajian tetang semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu
pada studi tentang makna (arti, ingris: meaning). Istilah semantik baru muncul dan
diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika (America Philological Assocition)
tahun 1894 Goseriu dan Gecheler dalam Pateda (1985:3) menyatakan bahwa istilah
semantik yang mulai populer tahun 50-an mula-mula diperkenalkan oleh Sarjana
Prancis yang bernama M. Breal pada tahun 1883. Semantik sebagai disiplin ilmu
muncul pada abad ke-19. Sematik sebagai kajian makna, yang terdapat dalam kalimat
dan makna yang muncul dalam pembicaraan tentang kata yang disebut makna kata.
Pembicaraan dengan makna katapun menjadi objek semantik. Jadi merupakan bidang
yang sangat luas tentang makna. Para ahli berpendapat semantik adalah studi tentang
makna. Menurut mereka semantik mengamsusikan bahasa terdiri dari struktur yang
menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia
manusia. Menurut Pateda (1996:7) secara empiris sebelum seseorang berbicara dan
ketika seseorang mendengar ujaran seseorang terjadi proses mental pada diri
keduanya baik pada pembicara maupun pihak pendengar terjadi proses pemaknaan,
Menurut George (1964) dalam Peteda (1996:7) semantik adalah bahasa yang
terdiri dari struktur yang merupakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam
pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1988:32) mengatakan bahwa
semantik berarti teori makna atau teori arti yang terdapat dalam kata.
Menurut Parera (1982:16-18) Secara umum teori semantik tentang makna
dibedakan atas:
1. Teori Refrensial yaitu makna sebuah kata cenderung semantik leksikal dalam
arti makna yang ditujukan oleh kata itu, atau objek yang ditunjuk oleh objek.
2. Teori Kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran
mempunyai makna jika ia lepas dari konteks. Walaupun demikian ada pakar
semantik yang berpendapat bahwa kata mempunyai makna dasar atau primer
yang terlepas dari konteks situasi. Dan kedua kata itu baru mendapatkan
makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Jadi begitu pentingnya konteks
situasi dalam analisis makna.
3. Teori mentalisme atau konseptual yaitu makna adalah (konsep, ide, gagasan)
yang ditambahkan oleh kata itu. Dalam arti sebuah kata adalah konsep atau
gagasan yang berhubungan dengan kata tersebut.
4. Teori pemakiaan, adalah kata tidak mungkin digunakan dan bermakna untuk
semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Maka
Jadi jelas bahwa berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkankan
semantik adalah studi yang mengkaji tentang makna yang berarti teori makna atau
teori arti, makna kata, makna kalimat, makna ujar, makna harfiah, dan non harfiah.
2.3 Jenis Makna
Menurut Chaer (1994:289-296) ada bermacam- macam jenis makna dalam bidang
semantik yaitu:
2.3.1 Makna Leksikal, Makna Gramatikal, dan Konseptual
Makna leksikal adalah makna yang memeliki atau ada pada kata tanpa
konteks apapun. Contoh kata kuda memiliki makna leksikal ”sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai” Air bermakna leksikal ” sejenis benda cair
yang biasa digunakan untuk keperluan sehari- hari. Dengan demikian makna leksikal
adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil indra kita atau
makna apa adanya.
Makna Gramatikal adalah untuk menyatakan makna-makna atau
nuansa-nuansa makna gramatikal, untuk menyatakan makna jamak bahasa Indonesia,
menggunakan proses reduplikasi seperti kata: buku yang bermakna “2buah buku,”
2.3.2 Makna Referensial dan Nonreferensial
Sebuah kata disebut bermakna refrensial kalau ada referensinya, atau
acuannya. Kata-kata seperti kuda, meja, kursi adalah termasuk kata- kata yang
bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata seperti
dan, atau, dan karen, termasuk kata yang tidak bermakna referensial, karena kata itu
tidak mempunyai referensi.
2.3.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah kata. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan leksikal.
Contoh kata babi bermakna denotatif ”sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk
dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif ”keadaan tubuh seseorang
yang lebih kecil dari ukuran normal”. Sedangkan makna konotatif makna yang tidak
sebenarnya. Contoh kata babi pada contoh di atas, pada orang yang beragama islam
atau di dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau
perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di
atas berkonotasi netral, artinya tidak memilki nilai rasa yang menyenangkan
(unfavorable). Tetapi kata ramping yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus
itu memiliki konotasi positif nilai rasa yang menyenangkan orang akan senang kalau
dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng yang juga sebenarnya bersinonim
tidak menyenangkan; orang merasa tidak senang kalau dikatakan tubuhnya
kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa
ketiga kata itu memiliki kata itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau
bersinonim, tetapi ketiganya memilki konotasi yang tidak sama. Kurus berkonotasi
netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.
2.3.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Menurut Leech (1976) dalam chear (1994:147) membagi makna menjadi
makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual
adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari konteks atau asosiasi apa
pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ”sejenis binatang berkaki empat yang
biasa dikendarai” dan kata rumah memiliki makna konseptual ”bangunaan tempat
tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama dengan makna
leksikal, makna denotatif, dan mmakna referensial.
2.3.5 Makna Idiom
Makna idiom satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ’diramalkan’ dari
makna unsur nya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya,
Beberapa jenis makna di atas dalam penelitian ini dibatasi pada makna
leksikal mendaftarkan kata yang diucapkan oleh para waria. Semantik sebagai studi
tentang makna, merupakan pusat studi tentang pemikiran manusia, yaitu berpikir
kognisi yang berkaitan dengan mengklasifikasi dan menggambarkan pengalaman
manusia tentang bahasa.
Menutur Pateda (1996:74) mengatakan Semantik leksikal adalah kajian
semantik yang lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat
dalam kata. Verhaar (1988:74) mengatakan semantik leksikal adalah memperhatikan
makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam kamus.
Sedangkan Djajasudarman (1999:13) makna leksikal (bahasa Inggris- lexical
meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur- unsur bahasa
sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain, makna leksikal dimiliki unsur- unsur
bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks.
Saeed (1997:55) mengatakan makna semantik adalah kata yang mengandung
atau arti yang sebenarnya. Makna semantik dapat dibagi kedalam beberapa tipe,
diantaranya:
1. Makna leksikal yang berbeda apabila diletakkan dalam konteks kalimat yang
berbeda. Misalnya :
a. Bisa ular itu sangat mematikan
Dari kedua contoh di atas, jelas bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda sesuai
dengan konteks kalimatnya.
1. Makna leksikal juga tergantung kepada kegunaan, fungsi dan bidang ilmu.
Contoh: Raw (mentah), memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan
dalam konteks kalimat yang berbeda bidang ilmunya. Dengan kata yang sama,
yaitu raw, tetapi menghasilkan makna kata yang berbeda khususnya dalam
konteks bidang ilmu, seperti:
1. Raw; dapat diartikan sebagai tidak tercapainya kata sepakat di dalam bisnis,
artinya kesepakatan bisnis tersebut mentah, dalam artian gagal
2. Raw fruit; dapat diartikan sebagai buah yang benar- benar mentah, belum
dapat di makan.
Contoh lain seperti kata Kali, memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan
dalam konteks kalimat yang berbeda bidang keilmuannya. Seperti :
1. Kali dalam bidang Matematika, 3 x 4 = 12
2. Kali dapat bermakna sungai dalam bahasa sehari- hari.
Jadi dari kedua kalimat diatas dapat disimpulkanbahwa semantik leksikal
tergantung pada penggunaan, fungsi dalam bidang ilmu, dan kalimat tersebut akan
berubah berdasakan konteks. Maka jelas semantik leksikal dapat berbeda berdasarkan
Leech (2003:38) menyimpulkan tujuh tipe makna yaitu sebagai berikut:
1. makna konseptual atau pengertian
Isi yang logis, kognitif atau denotatif
2. Makna konotatif Yang dikomunikasikan dengan apa yang diacu oleh bahasa
3. Makna stilistika Yang dikomunikasikan dari keadaan sosial mengenai penggunaan bahasa
4. makna afektif Yang terungkap dari pesan dan tingkah laku pembicara/ penulis
5. makna refleksi Yang disampaikan melalui
asosiasi dengan pengertian yang lain dari ungkapan yang sama MAKNA
ASOSIATIF
6. makna kolokatif Yang disampaikan melalui
asosiasi dengan kata yang cenderung terjadi pada lingkup kata yang lain
7. makna thematik Yang dikomunikasikan dengan
cara dimana pesannya disusun atas dasar urutan dan tekanan
Bardasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan semantik leksikal adalah
mengkaji makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam
kamus. Kamus yang relevan dengan pembahasan ini adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dan Kamus Bahasa Gaul karangan Debby Sahertian.
Secara linguistik bahasa gaul adalah bahasa Indonesia yang pada umumnya
digunakan oleh para kalangan remaja, selebritis hingga para waria. Perbendaharaan
kata dalam bahasa gaul diartikan dengan mencari arti dalam arti, arti perbendaharaan
katanya, atau pemberian makna pada suatu fakta realita, atau keinginaan yang
diungkapkan dalam hal tertentu serta selalu dimaknai dan dikuatkan dengan hal- hal
sedangkan dalam kamus waria Cakap. Kata tawar di dalam makna KBBI tidak ada
rasanya, kurang asin, kurang sedap (tt makanan); hambar, sedangkan dalam kamus
waria tahu. Kata Capcai dalam KBBI masakan Cina, sedangkan dalam kamus waria
Cepat.
Berdasarkan contoh di atas kata cakrawala, kata tawar dan capcai terjadi
perubahan makna KBBI, selain terjadi perubahan makna kata juga merujuk pada
makna yang sama. Jadi jika dianalisis berdasarkan kata yang mereka ucapkan
ternyata memiliki kaitan dengan makna sebenarnya, dengan demikian sekelompok
waria dalam menggunakan bahasa tidak sembarangan tetapi ada pola tertentu
berdasarkan makna secara leksikal.
2.4 Relasi Makna
Relasi adalah hubungan makna ini menyangkut hal kesamaan makna
(sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas),
ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna
(redundansi) dan sebagainya, sebagai berikut:
2.4.1 Kebermaknaan
Sebuah kata disebut bermakna atau mempunyai arti apabila kata ini
2.4.2 Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau itu mempunyai makna
lebih dari satu (Chaer 1994 : 301). jadi polisemi adalah kata yang mengandung
makna lebih dari satu atau ganda. Contoh: Kata kepala bermakna ; bagian tubuh dari
leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang
terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta
api, bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, kepala paku dan kepala j
arum dan Iain-lain.
2.4.3 Homonim
Homonim adalah dua kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama,
maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata ujaran yang
berlainan (Chaer 1994 : 302)
2.4.4 Homograf
Homograf mengacu pada bentuk ujaran yang sama otografinya atau ejaannya,
tetapi ucapan dan maknanya tidak sama, (Chaer, 1994 : 303). Dalam bahasa
Indonesia bentuk-bentuk homograf hanya terjadi karena otografi untuk fonem /e/ dan
fonem /#/ sama lambangnya yaitu huruf /e/, contoh homograf yang ada dalam bahasa
yang maknanya bagian depan rumah; kata memerah /memerah/ yang berarti
‘melakukan perah’ dan kata memerah /memerah/ yang berarti ‘menjadi merah’
2.4.5 Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan dengan satuan ujarann lainnya (Chaer,
1994 : 297).Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat, bunga dan kembang.
2.4.6 Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang
maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu dengan yang
lain (Chaer, 1994 : 305). Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata
besar berantonim dengan kata kecil.
2.4.7 Hiponim
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam maknanya bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994 : 305).
2.4.8 Ketaksaan
Menurut Chaer (1994 : 307) ketaksaan adalah gejala yang menunjukkan
Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena
dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat diuraikan secara akurat.
2.4.9 Kemubaziran (Redundansi)
Menurut Chaer (1994 : 310) istilah redundansi biasanya diartikan sebagai
berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Ciri
semantic ini dapat menandai makna kalimat dalam bahasa minangkabau. Makna
kalimat yang mubajir mengandung makna berlebihan atau lebih dari yang diperlukan.
2.5 Perubahan Makna
Pertumbuhan atau perkembangan bahasa, makna suatu kata dapat mengalami
perubahan-perubahan. Perubahan makna itu dapat dilihatkan dari bermacam-macam
sudut. Di antara bermacam-macam peristiwa perubahan makna itu Keraf (1980 :
130-131) adalah :
1. Meluas adalah cakupan makna sekarang lebih luas dari pada makna yang
dulu. Contoh kata bapak, ibu, saudara, dahulu digunakan untuk menyebut
orang yang bertalian darah dengan kita. Tetapi sekarang kata bapak, ibu,
saudara telah meluas maknanya.
2. Amelioratif adalah suatu proses perubahan makna, baru dirasakan lebih tinggi
atau lebih baik nilainya dari makna dulu.
3. Peioratif (kebalikan dari amelioratif) adalah suatu proses perubahan makna,
makna baru dirasakan lebih rendah nilainya dari makna yang dulu. Sebagai
contoh dalam bahasa Indonesia kata bini dianggap baik pada zaman dulu,
tetapi sekarang dirasakan kurang baik. Yang lebih baik adalah kata wanita
sehingga ada kata wanita sarjana.
4. Sinestesia adalah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan antara dua
indera yang berlainan. Contoh katanya pedas,pedas sebenarnya tanggapan
indera perasa. Suara sedap didengar, sedap sebenarnya tanggapan indra
perasa. Pidatonya hambar, hambar juga sebenarnya merupakan kata yang
dipakai untuk indera perasa.
5. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena persamaan sifat. Catut,
alat untuk mencabut paku, kemudian berdasarkan persamaan sifat ini dipakai
untuk orang yang menjual barang-barang dengan harga tinggi. Menurut
(Chaer, 1994 : 313) asosiasi adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran
dengan sesuatu yang lain, yang berkenaan dengan bentuk itu, sehingga
dengan demikian bila disebutkan ujaran itu maka yang dimaksud adalah suatu
2.6 Sejarah Penggunaan Bahasa Gaul
Bahasa gaul sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980-an tetapi pada
waktu itu istilah bahasa prokem (okem). Lalu bahasa tersebut diadopsi kemudian
dimodifikasi sedemikian unik dan digunakan oleh orang-orang tertentu atau
kalangan-kalangan tertentu saja. Pada awalnya bahasa prokem digunaakan oleh para
preman yang kehidupanya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman
keras. Banyak istilah-istilah baru yang mereka ciptakan dengan tujuan agar
masyarakat awam atau orang luar komunitas mereka tidak mengerti dengan apa yang
mereka bicarakan atau yang telah mereka bicarakan. Mereka merancang kata-kata
baru, mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka,
penggantian fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran
Pergaulan di kalang waria mengenal apa yang disebut dengan budaya teman
sebaya (peer culture). Kelompok waria yang sebaya itu umumnya mempunyai nilai
serta karakteristik budaya yang bebeda atau bahkan bertentangan dengan budaya
orang lain. Dalam upayanya memisahkan diri dari budaya lingkungan sekitar, mereka
membuat budaya tandingan, budaya yang khas waria (Alatas, 2006:59). Budaya khas
waria ini kemudian menciptakan sebuah bahasa yang biasa digunakan oleh kaum
waria untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa tersebut kemudian disebut
dengan bahasa gaul, sesuai dengan pengertian awalnya yakni bahasa yang digunakan
untuk berteman dan bersahabat di tengah masyarakat (KBBI,2008:296). Di kalangan