i
PENGARUH RED FLAGS, WHISTLEBLOWING, DAN PROFESIONALISME AUDITOR INTERNAL TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh: Mustika Dewi NIM: 1111082000128
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ii
PENGARUH RED FLAGS, WHISTLEBLOWING, DAN PROFESIONALISME AUDITOR INTERNAL TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN LAPORANG KEUANGAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
Mustika Dewi
NIM : 1111082000128
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : Mustika Dewi
2. NIM : 1111082000128
3. Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
4. Jurusan : Akuntansi
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggungjwabakan.
2. Tidak melakukan plagiat atas naskah orang lain.
3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya.
4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini.
Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan melalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya melanggar pernyataan di atas, maka saya siap dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS DIRI
1. Nama :Mustika Dewi
2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 30April 1993
3. Alamat : Jl.Pondok Pinang III No.43
Rt. 003Rw. 02KelurahanPondok Pinang KecamatanKebayoran LamaJakarta Selatan 12310
4. Telepon : 089667439141
5. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. TK Islam Fitria
2. SD Negeri Pondok Pinang 03 Pagi
(1998 – 1999) (1999 – 2005)
3. SMP Negeri 87 Jakarta (2005 – 2008)
4. SMA Negeri29Jakarta (2008 – 2011)
5. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta – S1 Akuntansi
(2011 – 2016)
III. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Bendahara Grup Vokal dan Paduan Suara SMA Negeri 29 Jakarta (2009-2010)
IV. PENGALAMAN KERJA
1. PT. ORIX Indonesia Finance. Funding Department, Internship Officer (Maret 2016-Juni 2016).
vii
V. SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Seminar “Potret Perpajakan Indonesia Menuju Sistem Perpajakan yang Transparan (2011)
2. Seminar dan Kunjungan Ilmiah “LiSEnsi goes to Bank Indonesia” (2011) 3. Seminar Seri IMI Goes to Campus, “Menggagas Maritime Policy di
Negeri Bahari” (2012)
4. Seminar International Culture Festival of Foreign Language Association “Japan with Its Science and Technology to Build Up the Character of the Country” (2012)
5. Seminar Bersama Dr. Ir. Anton Apriyantono, M.M “Membangun
Perekonomian Bangsa melalui Sektor Agribisnis” (2012)
VI. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Kosasih
2. Ibu : Suratmi
viii
THE EFFECT OF RED FLAGS, WHISTLEBLOWING, AND INTERNAL AUDITOR’S PROFESSIONALISM TO DETECT FRAUDULENT
FINANCIAL REPORTING
ABSTRACT
This research aims to findempirical evidence about the impact of red flags, whistleblowing, and internal auditor’s professionalism to detect fraudulent financial reporting.
This research used a sample of the internal auditors in the Internal Audit Foundation (YPIA). The number of internal auditor in this research were 56 auditors.This research is based on convenience sampling method. The hypothesis of this research were tested by multiple regression analysis
The results of this research shows that internal auditor’s professionalism affect to detect fraudulent financial reporting. While red flags and whistleblowing do not affect to detect fraudulent financial reporting.This research also find evidence that interaction between red flags, whistleblowing and internal auditor’s professionalism have a simultant effectto detect fraudulent financial reporting.
ix
PENGARUH RED FLAGS, WHISTLEBLOWING, DAN PROFESIONALISME AUDITOR INTERNAL TERHADAP PENDETEKSIAN KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris mengenai pengaruh red flags, whistleblowing, dan profesionalisme auditor internalterhadap pendeteksian kecurangan laporan keuangan.
Penelitian ini menggunakan sampel auditor internal yang sedang melakukan pelatihan di Yayasan Pendidikan Internal Audit (YPIA).Jumlah auditor internal yang menjadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 56 orang.Penelitian ini menggunakan metode convenience sampling.Hipotesis dalam penelitian ini diuji menggunakan analisis regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme auditor internal berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan laporan keuangan. Sementara red flags dan whistleblowing tidak berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan laporan keuangan. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa red flags, whistleblowing, dan profesionalisme auditor internal berpengaruh secara simultan terhadap pendeteksian kecurangan laporan keuangan.
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum, Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillaahirabbil’aalamiin.
Tiada kata yang patut saya sampaikan kecuali rasa syukur yang sedalam-dalamnyake hadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Red Flags, Whistleblowing, Dan Profesionalisme Auditor Internal Terhadap Pendeteksian Kecurangan Dalam Laporan Keuangan”.Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomidi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, rahmatan lil ‘alamiin yang telah mengubah kegelapan menjadi terang benderang bagi kehidupan ummat manusia di dunia maupun akhirat.
Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.Kesuksesan dan keberhasilan saya dalam menyusun skripsi ini tak luput dari bantuan berbagai pihak, baik dari dosen, keluarga maupun rekan-rekan seperjuangan. Dengan segenap kerendahan dan ketulusan hati yang paling dalam, saya menyampaikan untaian beribu ucapan terima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-setingginya kepada : 1. Kedua orangtua, Bapak Kosasih dan Ibu Suratmi,terima kasih atas doa, cinta,
kasih sayang, pengorbanan dan dukungannya baik moril maupun materil yang telah diberikan selama ini, sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan khusus untuk Bapak dan Ibu. 2. Kakak-kakak tercinta, Ati Restuati, Tirta Widodo, Arkat Sujiwa, Sri Yunita,
serta adik tercinta Fadel Fadillah, dan jugaseluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan untuk kesuksesan saya. 3. Bapak Dr. M. Arief Mufraini LC., MA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Yessi Fitri, SE., M.Si., Ak., CA. selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Hepi Prayudiawan, SE., MM., Ak., CA selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
xi
semangat, motivasi dan bimbingan terbaiknya selama penulisan skripsi ini. Terima kasih atas ilmu yang telah Bapak berikan.
7. Ibu Firi Yani Jalil, SE., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk berdiskusi, memberi kritik dan saran, serta bimbingan terbaiknya selama penulisan skripsi ini. Terima kasih atas saran, waktu dan perhatian yang Ibu berikan selama proses penulisan skripsi sampai terlaksananya sidang skripsi.
8. Dr. Yahya Hamja, terima kasih atas saran, waktu dan nasihat yang telah Bapak berikan selama proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah memberikan pahala yang berlimpah.
9. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bantuan kepada saya selama menempuh masa studi.
10. Bapak Heru Karyadi selaku manager diklat Yayasan Pendidikan Internal Audit (YPIA) yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di lembaga tersebut. Terima kasih atas segala bantuannya hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
11. Airlangga Risnu, terima kasih untuk partisipasi, semangat,doa, perhatian, dan dukungan penuh yang selalu memotivasi penulis untuk dapat secepatnya meyelesaikan skripsi ini.
12. Rekan-rekan seperjuangan Akuntansi 2011. Terutama Rista Wahyuni, Ihdha Nurul Laila, Amna Suresti, Junita Muhayati, Selviani Fauzi, dan Tri Wahyuni. Terima kasih telah menjadi teman terbaik dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sukses untuk kita semua. 13. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Terima
kasih telah banyak membantu, mendukung dan mendoakan saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sehubungan dengan keterbatasan wawasan dan pengetahuan yang dimiliki, saya benar-benar menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, September 2016
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ...ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
ABSTRACT ...viii
ABSTRAK ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 11
B. Rumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19
A. Teori yang Berkaitan ... 19
1. Teori Segitiga Fraud ... 19
xiii
3. Red Flags ... 27
4. Whistleblowing ... 33
5. Profesionalisme Auditor Internal ... 35
6. Pendeteksian Kecurangan ... 38
7. Laporan Keuangan ... 43
B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis ... 45
1. Pengaruh Red Flags terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan... 45
2. Pengaruh Whistleblowing terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan ... 46
3. Pengaruh Profesionalisme Auditor Internal terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan ... 47
4. Pengaruh Red Flags, Whistleblowing, dan Profesionalisme Auditor Internal terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan... 48
C. Penelitian Terdahulu ... 49
D. Kerangka Pemikiran ... 53
BAB III METODE PENELITIAN ... 55
A. Ruang Lingkup Penelitian ... 55
B. Metode Penentuan Sampel ... 55
C. Metode Pengumpulan Data ... 55
D. Metode Analisis Data... 56
1. Statistik Deskriptif ... 56
2. Uji Kualitas data ... 56
3. Uji Asumsi Klasik ... 57
4. Uji Hipotesis ... 60
E. Operasional Variabel Penelitian ... 64
xiv
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 71
B. Hasil Uji Instrumen Penelitian ... 75
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 75
2. Hasil Uji Validitas ... 76
3. Hasil Uji Reliabilitas ... 78
4. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 79
5. Hasil Uji Hipotesis ... 85
C. Pembahasan ... 90
1. Pengaruh Red Flags terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan... 90
2. Pengaruh Whistleblowing terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan ... 91
3. Pengaruh Profesionalisme Auditor Internal terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan ... 92
4. Pengaruh Red Flags, Whistleblowing, dan Profesionalisme Auditor Internal terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 96
xv
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
Tabel 2.1 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 49
Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 69
Tabel 4.1 Data Sampel Penelitian ... 72
Tabel 4.2 Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 72
Tabel 4.3 Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 73
Tabel 4.4 Deskripsi Responden Berdasarkan Lama Bekerja ... 74
Tabel 4.5 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 75
Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas Red Flags ... 76
Tabel 4.7 Hasil Uji Validitas Whistleblowing ... 77
Tabel 4.8 Hasil Uji Validitas Profesionalisme Auditor Internal ... 77
Tabel 4.9 Hasil Uji Validitas Pendeteksian Kecurangan ... 78
Tabel 4.10 Hasil Uji Reliabilitas ... 78
Tabel 4.11 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Nilai Kolmogorov-Smirnov .. 81
Tabel 4.12 Hasil Uji Multikolonieritas ... 82
Tabel 4.13 Hasil Uji Glejser ... 84
Tabel 4.14 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 85
Tabel 4.15 Hasil Uji Statistik t ... 87
xvi
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
Gambar 2.1 Segitiga Kecurangan ... 19
Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran ... 54
Gambar 4.1 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik P-Plot ... 79
Gambar 4.2 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik Histogram ... 80
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
Lampiran 1 Surat Izin Permohonan Penyebaran Kuesioner ... 102
Lampiran 2 Surat Keterangan dari YPIA ... 103
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian ... 104
Lampiran 4 Daftar Jawaban Responden ...111
1
1BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan era globalisasi dunia menyebabkan perkembangan
perekonomian dunia juga ikut berkembang, termasuk juga perekonomian di
Indonesia yang tentunya tak lepas dari peran pelaku ekonomi negara ini,
yakni entitas perusahaan baik perusahaan milik negeri maupun swasta, juga
individu-individu yang berperan di dalamnya yang kini tengah
berlomba-lomba memperbesar sektor perekonomian perusahaan mereka masing-masing.
Sebuah perusahaan atau entitas usaha dianggap memiliki kualitas yang baik
apabila memiliki siklus keuangan perusahaan yang baik.Siklus keuangan
sebuah perusahaan dapat tergambar dari laporan keuangan yang dimiliki oleh
perusahaan tersebut.
Laporan keuangan merupakan suatu media utama bagi perusahaan
untuk mengkomunikasikan informasi keuangan perusahaan yang dikelolanya
kepada pihak-pihak diluar entitas perusahaan.Tentu ini menjadi tantangan
tersendiri bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, terutama para akuntan
yang mengurus tentang bagaimana laporan keuangan atas kegiatan ekonomi
tersebut harus disajikan.Setelah laporan keuangan tersaji, selanjutnya menjadi
tugas seorang auditor untuk menilai mengenai kewajaran laporan keuangan
2 telah terbebas dari kesalahan ataupun kecurangan yang dapat timbul di
dalamnya.
Kegiatan audit menjadi salah satu cara untuk menilai kewajaran laporan
keuangan yang tersaji. Seperti dalam Standar Profesional Akuntan Publik
(SPAP) Seksi 110 (IAI, 2011) yang menyatakan bahwa, tujuan
daripelaksanaan audit pada umumnya ialah untuk menyatakan pendapat
tentang kewajaran dan kematerialitasan atasposisi keuangan, hasil usaha,
perubahan ekuitas, dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum (PABU) di Indonesia.
Untuk memastikan bahwa setiap laporan keuangan yang tersaji telah
terbebas dari kecurangan, auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan
melaksanakan audit untuk memperolehkeyakinan yang memadai apakah
laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruanatau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan
keuangan.Kecurangan memiliki berbagai macam bentuk, seperti tindak
penggelapan, pemalsuan, pemerasan, pencurian, dan lain
sebagainya.Kekeliruan dan kecurangan dalam penyajian laporan keuangan
disebabkan dua faktor, yaitu kesalahan sajiberdasarkan tindakan yang
disengaja atau tidak disengaja. Terdapat dua tipe salah saji yang relevan
dengan pertimbanganauditor tentang kecurangan dalam audit atas laporan
keuangan, yaitu salah saji yang timbul sebagai akibat darikecurangan dalam
pelaporan keuangan dan kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak
3 Tindak kecurangan yang terjadi di suatu entitas tentu harus dicegah
agar tidak semakin merugikan perusahaan.The Institute of Auditor internal di
Amerika mendefinisikan kecurangan mencakup suatu kesatuan ketidakberesan
(irregularities) dan tindakan yang ilegal yang bercirikan penipuan yang
disengaja, dapat dilakukan untuk manfaat dan/atau kerugian organisasi oleh
orang di luar atau dalam organisasi (Widjaja, 1992). Terjadinya kecurangan
itu sendiri dikarenakan suatu tindakan yang disengaja dan tidak dapat
terdeteksi oleh suatu pengauditan yang dapat memberikan efek merugikan dan
cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius
dan membawa banyak kerugian. Berdasarkan laporan oleh Association of
Certified Fraud Examiners (ACFE), pada tahun 2002 kerugian yang
diakibatkan oleh kecurangan di Amerika Serikat adalah sekitar 6% dari
pendapatan atau $600 milyar dan secara persentase tingkat kerugian ini tidak
banyak berubah dari tahun 1996. Dari kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis
kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations (85%),
kemudian disusul dengan korupsi (13%) dan jumlah paling sedikit(5%) adalah
kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements). Walaupun demikian
kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu kerugian
sekitar $4,25juta (ACFE, 2002) dalam Koroy (2008).
Karena seperti yang banyak diketahui, kini semakin marak terjadi kasus
kecurangan dalam laporan keuangan yang dilakukan oleh entitas-entitas
ekonomi yang terlibat di dalam kegiatan tersebut. Yang masih sangat diingat
4 dunia yaitu kasus Enron dan World Com, dimana masing-masing perusahaan
tersebut memanipulasi laporan keuangan miliknya yang seharusnya memiliki
hutang yang besar namun disulap hingga memiliki laba usaha yang besar guna
menarik investor untuk tetap berinvestasi pada perusahaan tersebut. Juga ada
kasus yang terjadi pada Bank of Credit and Commerce International (BCCI)
dimana bank ini melakukan tindak kecurangan lebih dari $20 milyar, dan lebih
dari $13 milyar dana unaccounted serta tuduhan lainnya yaitu penyuapan,
mendukung terorisme, money laundering, penyelundupan, penjualan teknologi
nuklir, dan lain-lain.
Kemudian pada tahun 2015, masyarakat dunia digemparkan dengan
kasus yang melibatkan perusahaan dunia ternama yakni Toshiba. Bagaimana
tidak, Toshiba yang merupakan perusahaan Jepang yang telah berdiri selama
140 tahun tersebut telah melakukan skandal akuntansi yang cukup “terampil”
yang luput dari pengamatan luar. Toshiba tiba-tiba seperti kehabisan akal
untuk mempertahankan kinerja keuangannya hingga melakukan
penggelembungan laba perusahaan sebesar 151,8 miliar yen atau 1,22 miliar
dollar. Hal ini menyebabkan jajaran direksi mengundurkan diri dari jabatan
perusahaan. Pengunduran diri para direksi ini terjadi karena adanya laporan
pihak ketiga yang mengatakan bahwa eksekutif puncak menetapkan target
keuntungan realistis yang secara sistematis membuat akuntansi perusahaan
menjadi cacat. Kasus ini diduga telah dilakukan cukup lama, dan
menyebabkan perusahaan harus melakukan penyajian kembali laporan
5 Kasus-kasus tersebut hanyalah sebagian contoh kecil dari kasus-kasus
yang pernah terjadi terkait tindak kecurangan laporan keuangan di
dunia.Namun, kasus-kasus yang menjadi isu hangat dalam masyarakat luas
terkait tindak kecurangan laporan keuangan tak hanya terjadi di luar negeri
saja, beberapa kasus dari dalam negeri pun juga terjadi beberapa tahun
belakangan ini. Contoh-contoh kasus tersebut ialah:
1. Tahun 2001 pada PT. Kimia Farma Tbk. Yakni terjadi kesalahan penyajian dalam laporan keuangan yang tersaji. Adapun dampak
kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk
tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang
merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih PT Kimia
Farma Tbk. Selain itu juga terdapat kesalahan lain yang terdapat dalam
laporan keuangan milik perusahaan ini yaitu terdapat pada unit-unit
seperti: Unit Industri Bahan Baku,yaitu kesalahan berupa overstated pada
penjualan sebesar Rp 2,7 miliar. Unit Logistik Sentral, yakni kesalahan
berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar. Serta
pada Unit Pedagang Besar Farmasi (PBF) yaitu kesalahan berupa
overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar dan
jugaoverstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Dari pemeriksaan
yang dilakukan, tindak kecurangan ini dilakukan oleh direksi periode
1998-Juni 2002 dengan cara membuat dua daftar harga persedian (master
prices) yang berbeda yang masing-masing diterbitkan pada tanggal 1
6 prices yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur
Produksi PT Kimia Farma Tbk. Master prices per 3 Februari 2002
merupakan master prices yang telah disesuaikan nilainya
(penggelembungan) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai
persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma Tbk., per 31 Desember
2001. Atas tindakan tersebut, penyelesaian kasus yang melibatkan jajaran
direksi PT Kimia Farma Tbk. ini ialah direksi lama PT Kimia Farma
(Persero) Tbk. periode 1998 - Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah
Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke kas negara,
karena melakukan kegiatan praktik penggelembungan atas laporan
keuangan per 31 Desember 2001. (Bapepam, 2002)
2. Tahun 2002 pada Bank Lippo. Terjadi perbedaan laporan keuangan yang dilaporkan dalam kurun waktu yang sama, yakni tahun 2002. Sebelumnya,
Bank Lippo mempublikasikan dalam media cetak tanggal 28 November
2002 dengan menyebutkan bahwa perusahaan mengalami keuntungan
bersih sebesar 98 milyar rupiah dan memiliki aktiva sebesar 24 triliun
rupiah. Namun, selang satu bulan kemudian, dalam laporan ke Bursa Efek
Jakarta (BEJ) tanggal 27 Desember 2002, Bank Lippo melaporkan
mengalami kerugian mencapai 1,3 triliun rupiah dan memiliki total aktiva
yang berkurang menjadi Rp 22,8 triliun. Manajemen Bank Lippo
beralasan, perbedaan itu terutama pada kemerosotan nilai agunan yang
diambil alih dari Rp 2,393 triliun pada laporan publikasi dan Rp 1,42
7 berbeda signifikan, termasuk penurunan rasio kecukupan modal (CAR)
dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen. Setelah dilakukan pemeriksaan,
bahwa laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk. per 30 September 2002
yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002 adalah laporan keuangan
yang tidak diaudit. Namun angka-angkanya sama seperti yang tercantum
dalam Laporan Auditor Independen.Pada kasus ini, Bapepam
menyimpulkan bahwa kejadian Bank Lippo ini terjadi hanyalah karena
ketidakhati-hatian direksi dalam hal mencantumkan kata “diaudit’ dalam
laporan yang di publikasikan dalam media cetak. Terhadap Direksi PT
Bank Lippo Tbk yang menjabat pada saat Laporan Keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 September 2002 dipublikasikan, dikenakan sanksi
administratif berupa kewajiban menyetor uang ke kas negara sejumlah 2,5
milyar rupiah. (Bapepam, 2003).
3. Tahun 2006 pada PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Komisaris PT.KAI mengungkapkan adanya manipulasi laporan keuangan BUMN tersebut di
mana seharusnya perusahaan merugi namun dilaporkan memperoleh
keuntungan. Karena ketidaksediaan sang komisaris menandatangani
laporan tersebut, mengakibatkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
PT. KAI menjadi tertunda. Komisaris PT. KAI tersebut meminta agar
laporan itu dikoreksi terlebih dahulu, karena PT. KAI tidak mengalami
untung tetapi rugi. (Antara news, 2006).
8 berlangsung sejak tahun 2007 silam, Taspen belum menerima
pengembalian dana dari Bank Mandiri. Padahal, kasus pidana
pembobolan dana itu sudah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2009.
Kasus ini bermula saat Taspen menyimpan dana di deposito Bank
Mandiri Kantor Kas Balai Pustaka Rawamangun, Jakarta Timur pada
April 2007 lalu. Ternyata, Agoes Rahardjo, yang saat itu menjabat
kepala Kantor Kas Bank Mandiri menyalahgunakan dana tersebut.
Pembobolan dana terungkap setelah Taspen menerima rekening koran
giro dari Bank Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinegara Barat,
Jakarta Timur. Padahal, sebelumnya Taspen tidak memiliki rekening
itu.Dalam persidangan, hakim memutuskan pidana penjara 10 tahun dan
denda sebesar Rp 10 miliar kepada Agoes. Selain itu, Heru Maliksjah,
mantan Direktur Keuangan PT Taspen yang juga terlibat kasus itu
divonis penjara delapan tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan wajib
mengembalikan Rp 31 miliar atau diganti kurungan penjara tiga tahun.
(Wikanto, 2011).
5. Tahun 2013, kecurangan terjadi pada Bank Panin. Pihak bank mengklaim tuduhan terhadap adanya penyelewengan kredit senilai 30 miliar rupiah
pada Kantor Cabang Umum (KCU) Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Ketua tim audit melaporkan kepada direksi Bank Panin untuk diproses
melalui jalur hukum. Ketua tim audit tersebut mengaku bahwa pihaknya
diminta untuk mengubah laporanaudit bulan Juli 2010, namun tim
9 berujung pada pemberhentian kerja. Desember 2010, Bank Indonesia (BI)
melakukan investigasi dan terbukti terdapat kecurangan di Bank Panin.
(Wibawa, 2013).
6. Pada Tahun 2013 di bulan April, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sempat mengeluarkan kritik terkait Bank Mutiara
yang melakukan kecurangan sebesar 6,7 tirilun rupiah, BPK
menyimpulkan bahwa proses penambahan Penyertaan Modal Sementara
(PMS) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada PT. Bank
Mutiara Tbk tanggal 23 Desember 2013 sebesar 1,2 triliun rupiah belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada. Hal tersebut
berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tanggal 29 Januari 2014 hingga 15
April 2014. Ketua BPK mengatakan ada pengelolaan kredit oleh PT. Bank
Mutiara yang diduga tidak sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.
7/2/PBI/2005 sebagaimana diubah terakhir dengan PBI No. 11/2/PBI/2009
jo. PBI No.14/15/PBI/2012 tentang penilaian kualitas asset bank umum
(Wahono, 2014).
7. Tahun 2014, di bulan April pembobolan kredit Bank Danamon Cluster Pasuruan senilai 12 milyar rupiah terbongkar. Sebanyak sepuluh pelaku
dari kalangan bank dan lima dari kalangan pihak ketiga ditetapkan sebagai
tersangka. Dari lima belas tersangka, dua diantaranya merupakan Kepala
Cabang Bank Danamon Cluster Pasuruan dan pengusaha properti asal
Bangil, Pasuruan. Sementara itu, tiga belas tersangka lainnya yaitu
10 merupakan anak buah pengusaha asal Bangil. Pelaku melakukan
pembobolan dengan modus mengucurkan kredit yang menyalahi prosedur
(Faizal, 2014).
8. Tahun 2015, di bulan Oktober PT. Timah (Persero) Tbk. diduga telah menyajikan laporan keuangan fiktif di awal semester pada tahun 2015.
Ketua Ikatan Karyawan Timah mengungkapkan hal ini diduga atas dasar
penurunan kondisi keuangan PT. Timah yang menyebabkan perusahaan
mengalami kerugian sebesar 59 miliar rupiah dan memiliki hutang yang
sangat besar, namun yang tersaji pada laporan keuangan ialah PT. Timah
telah berhasil melakukan efisiensi dan strategi yang tepat sehingga
perusahaan memiliki laba yang besar dalam kurun waktu tersebut. Sebagai
akibat dari tindak kecurangan ini, direksi perusahaan diminta oleh Ikatan
Karyawan Timah untuk mengundurkan diri hingga menghentikan kegiatan
operasi (Okezone, 2016).
Berdasarkan dari contoh kasus-kasus tersebut, dapat dilihat bahwa kini
kasus tindak kecurangan semakin marak terjadi di negara kita ini. Maka,
dibutuhkan cara agar laporan keuangan terlindungi dari kemungkinan
kecurangan yang dapat terjadi di dalamnya. Selain peran auditor yang
dibutuhkan untuk dapat mampu mendeteksi tindak kecurangan dalam laporan
keuangan, juga ada cara lain untuk memeriksa kecurangan dalam laporan
keuangan yakni deteksi laporan keuangan melalui red flags, kegiatan
whistleblowing, serta adanya profesionalisme auditor internal yang tinggi di
11 kemungkinan terjadinya kecurangan dalam laporan keuangan. Ketiga aspek
ini penting dilakukan agar tindak kecurangan pada laporan keuangan dapat di
minimalisir dan di deteksi.
Red flags merupakan suatu kondisi yang janggal atau berbeda dari
keadaan normal (Widiyastuti, 2009).Red flags menjadi sebuah petunjuk atau
indikasi akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan
yang lebih lanjut oleh pihak yang berwenang dalam perusahaan. Meskipun
timbulnya red flagstidak selalu mengidikasikan adanya tindak kecuangan yang
terjadi dalam perusahaan, namun red flags biasanya selalu muncul pada tiap
kasus kecurangan yang terjadi, sehingga dapat menjadi tanda peringatan
bahwa kecurangan terjadi (Amrizal, 2004). Red flags ini dapat menjadi alat
yang digunakan auditor internal sebelum memutuskan apakah pihak karyawan
maupun perusahaan melakukan kecurangan penyajian atau tidak. Maka, red
flags ini penting bagi auditor agar dapat membantu langkah selanjutnya bagi
auditor untuk dapat memperoleh bukti guna mendeteksi kecurangan yang
mungkin terjadi sehingga dapat meminimalisir dan mendeteksinya.
Selain itu, untuk mampu mengurangi tindak kecurangan dalam laporan
keuangan sebuah perusahaan, perlu juga ditumbuhkan kesediaan seseorang
untuk mengungkap dan melaporkannya apabila telah mengetahui adanya
tindakan kecurangan di dalam perusahaan tersebut.Tindakan pelaporan ini
dikenal dengan istilah whistleblowing.Pendeteksian kecurangan juga dapat
dilakukan melalui kegiatan ini yang dimaksudkan sebagai tindakan
12 pekerja atau mantan pekerja suatu organisasi untuk mengungkap sesuatu yang
dia yakini merupakan kesalahan yang terjadi dalam organisasinya (Jalil,
2013). Menurut pendapat Deputi Bidang Investigasi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Eko Susamto Ciptadi pada surat kabar Kompas, 12
September 2009 dalam Mutmainah (2010) bahwa, ditemukannya tindak
pidana korupsi karena adanya informasi yang berasal dari aduan atau laporan
dari masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), laporan
pegawai/orang dalam, temuan audit atau hasil investigasi intel.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) peran seorang pelapor
(whistleblower) sangat membantu proses penyelidikan selanjutnya karena
biasanya pelapor mempunyai informasi atau data yang dapat dijadikan
bukti.Maka, whistleblowing ini, apabila dilakukan mampu membantu untuk
mengungkap dan mendeteksi tindakan kecurangan yang dilakukan oleh
pegawai atau karyawan sebuah organisasi atau entitas perusahaan.Banyak
kasus kecurangan yang terungkap dari tindakan whistleblowing seperti dalam
kasus Enron dan Worldcom.Di Indonesia sendiri seperti pada kasus
Hambalang yang sempat hangat dibicarakan pada tahun 2013. Nazaruddin,
mantan bendahara umum Partai Demokrat selaku terpidana dan saksi dalam
kasus Hambalang berlaku sebagai whistleblower yang menjelaskan secara
rinci mengenai aliran dana fee proyek Hambalang yang diterima oleh
sejumlah orang yang terlibat dalam proyek Hambalang tersebut. Dari laporan
Nazaruddin, muncul beberapa nama yang diduga terlibat dalam kasus tersebut
13 mendeteksi dan mengungkap kecurangan yang terjadi dalam sebuah
organisasi.
Kecurangan dalam laporan keuangan memang memiliki banyak motif
dan peluang untuk dilakukan oleh banyak pihak dalam perusahaan. Maka
tugas auditor sangat dibutuhkan untuk mengendalikan angka kecurangan yang
dapat terjadi, terutama auditor internal selaku pihak pengendali perusahaan
yang terlibat langsung dalam perusahaan, harus melakukan banyak cara agar
mampu mendeteksi kemungkinan kecurangan yang dapat terjadi agar
meminimalisir hal tersebut. Untuk mendukung kemampuan auditor internal
dalam mendeteksi kecurangan yang dapat terjadi dalam auditnya, auditor perlu
untuk mengerti dan memahami kecurangan, jenis dan karakteristiknya, serta
cara mendeteksinya (Widiyastuti, 2009). Maka, dalam melaksanakan
pemeriksaan pada laporan keuangan perusahaannya, auditor internal wajib
menggunakan kemahiran profesionalismenya secara tepat dan seksama, yang
diharapkan mampu mendeteksi terjadinya kecurangan pada perusahaan
tersebut. Jika seorang auditor internal tidak bersikap profesional terhadap
profesinya sebagai seorang auditor internal, maka integritas pada laporan
keuangan perusahaannya akan sulit dicapai. Sikap profesionalisme auditor
internal ini juga berkaitan dengan etika profesi auditor internal, apakah auditor
internal tersebut telah memegang teguh etika profesi yang telah ditetapkan
oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), agar peran auditor internal dalam
14 Maka dari itu, berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan
sebelumnya, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian ini, karena
merujuk pada beberapa faktor yang mendorong untuk melakukan penelitian
ini, yakni diantaranya ialah melihat dari peran dan tanggung jawab seorang
auditor khususnya auditor internal yang umumnya terlibat langsung untuk
menangani risiko audit pada pemeriksaan laporan keuangan yang dapat timbul
kecurangan di dalamnya. Pada penelitian ini, peneliti memilih sampel
penelitian yang relevan yakni auditor internal yang sedang melakukan
pelatihan di Yayasan Pendidikan Internal Audit.
Peneliti tertarik untuk memilih sampel penelitian tersebut karena
penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pendeteksian kecurangan
laporan keuangan pada perusahaan. Auditor yang sedang pelatihan di Yayasan
Pendidikan Internal Audit memiliki latar belakang perusahaan yang
berbeda-beda sehingga dapat mencakup berbagai bidang perusahaan di Indonesia,
sehingga dapat dilihat bagaimana pengaplikasian ketiga faktor yang akan
diteliti oleh peneliti, yakni red flags, whistleblowing, profesionalisme auditor
internal yang dapat mempengaruhi pendeteksian kecurangan dalam laporan
keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Red Flags, Whistleblowing, dan Profesionalisme Auditor internal Terhadap Pendeteksian Kecurangan dalam Laporan Keuangan”.
Pengujian atas pengaruh red flags, whistleblowing, dan profesionalisme
15 diteliti sebelumnya. Namun, pada penelitian ini, peneliti menggabungkan dan
mengembangkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Novian (2012), Ayu et.al (2015), dan Dimar
(2014). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah sebagai
berikut:
1. Variabel yang digunakan oleh Novian (2012), red flags bagi auditor
independen yang dapat mempengaruhi pendeteksian kecurangan dalam
laporan keuangan. Penelitian oleh Ayu et.al (2015) dengan variabel yang
digunakan dalam penelitian tersebut ialah pengaruh profesionalisme dan
independensi auditor internal terhadap pendeteksian fraud assets
misappropriation. Dan penelitian selanjutnya oleh Dimar (2014) dengan
variabel yang digunakan adalah fraud dan peran whistleblowing sebagai
upaya pencegahan dan pendeteksian fraud. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti sekarang ini bersifat menggabungkan dan
mengembangkan menjadi sebuah penelitian baru terhadap
penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya tersebut. Dimana
variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini ialah red flags,
whistleblowing, dan profesionalisme auditor internal, serta yang menjadi
variabel dependen ialah pendeteksian kecurangan laporan keuangan.
Peneliti menghilangkan beberapa variabel yang digunakan oleh peneliti
terdahulu agar penelitian ini menjadi sebuah penelitian yang baru dan
16 menggunakan 3 variabel X yang digabungkan menjadi satu dalam
penelitian ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya di atas.
2. Obyek dalam penelitian ini ialah auditor internal yang sedang pelatihan di
Yayasan Pendidikan Internal Audit, sedangkan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Novian (2012) ialah menggunakan obyek auditor
independen. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayu et.al (2015), obyek
yang digunakan ialah auditor internal yang bekerja di beberapa Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) di kota Bandung. Dan obyek penelitian
yang dilakukan oleh Dimar (2014) ialah aparatur pemerintahan dan
anggota dewan perwakilan rakyat daerah kota Malang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, rumusan
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah red flags berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan dalam
laporan keuangan?
2. Apakah whistleblowing berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan
dalam laporan keuangan?
3. Apakah profesionalisme auditor internal berpengaruh terhadap
pendeteksian kecurangan dalam laporan keuangan?
4. Apakah red flags, whistleblowing, dan profesionalisme auditor internal
17
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
penelitian ini untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1. Pengaruh red flags terhadap pendeteksian kecurangan dalam laporan
keuangan.
2. Pengaruh whistleblowing terhadap pendeteksian kecurangan dalam laporan
keuangan.
3. Pengaruh profesionalisme auditor internal terhadap pendeteksian
kecurangan dalam laporan keuangan.
4. Pengaruh red flags, whistleblowing, dan profesionalisme auditor internal
terhadap pendeteksian kecurangan dalam laporan keuangan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini berdasarkan tujuan penelitian ialah
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Pemerintah, yaitu untuk mengetahui informasi mengenai red flags,
whistleblowing dan profesionalisme internal auditor dalam mendeteksi
tindak kecurangan dalam laporan keuangan di lingkungan pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah guna meminimalisir kecurangan yang
mungkin dapat terjadi.
2. Auditor internal, yaitu untuk mengetahui informasi mengenai red flags,
18 tindak kecurangan dalam laporan keuangan di lingkungan tempatnya
bekerja guna meminimalisir kecurangan yang mungkin dapat terjadi.
3. Pengguna jasa audit, yaitu agar dapat memahami mengenai informasi atas
red flags, whistleblowing dan profesionalisme internal auditor dalam
mendeteksi tindak kecurangan dalam laporan keuangan.
4. Whistleblower, yaitu agar dapat tetap melaporkan kebenaran karena
tindakan whistleblowing merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi dan meminimalisir tindak kecurangan dalam laporan
keuangan.
5. Mahasiswa jurusan akuntansi, penelitian ini bermanfaat untuk bahan
referensi serta pemahaman dan bahan pembanding mengenai red flags,
whistleblowing dan profesionalisme internal auditor dalam mendeteksi
kecurangan dalam laporan keuangan.
6. Masyarakat, yaitu sebagai sarana informasi mengenai tindakan-tindakan
yang dapat dilakukan untuk mendeteksi tindak kecurangan dalam laporan
keuangan dan menambah informasi mengenai akuntansi.
7. Penulis, yaitu sebagai sarana untuk menambah pengetahuan mendalam
mengenai auditing terutama tindakan yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan sehingga di masa datang
19
2BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori yang Berkaitan
1. Teori Segitiga Fraud (Fraud Triangle Theory)
Teori ini dicetuskan pertama kali oleh Dr. Donald Cressy dalam
Karyono (2013:8), salah seorang pendiri ACFE yang dikutip oleh
pengarang auditing antara lain Steve Alberecht dalam bukunya Fraud
Examination dan Alvin A.Aremd CS dalam Auditing and Assurances
Service. Pada teori segitiga kecurangan, perilaku fraud didukung oleh tiga
unsur, yakni tekanan, kesempatan, dan pembenaran.Berikut disajikan
gambar segitiga kecurangan.
Gambar 2.1 Sumber: Karyono, 2013
a. Tekanan (Pressure)
Menurut Karyono (2013:9) dijelaskan bahwa dorongan untuk
melakukan fraud terjadi pada karyawan (employee fraud) dan manajer
(management fraud), dorongan itu bisa terjadi karena:
SEGITIGA KECURANGAN (THE FRAUD TRIANGLE)
Tekanan/Pressure
20 1) Tekanan keuangan: seperti banyak hutang, gaya hidup yang
melebihi batas kemampuan, keserakahan, dan kebutuhan yang
tidak terduga.
2) Kebiasaan buruk, seperti kecanduan narkoba atau kebiasaan
mengkonsumsi alkohol.
3) Tekanan lingkungan kerja: seperti kurangnya dihargai atas prestasi
kerja, gaji yang rendah atau tidak puas dengan pekerjaan.
4) Tekanan lain: seperti tekanan dari keluarga, istri/suami untuk
memiliki barang-barang mewah.
b. Kesempatan (Opportunity)
Karyono (2013:9) menjelaskan bahwa kesempatan muncul karena
lemahnya pengendalian internal untuk mencegah dan mendeteksi
kecurangan.Kesempatan juga dapat terjadi karena lemahnya sanksi
atau ketidakmampuan untuk menilai kualitas kinerja. Disamping itu,
tercipta beberapa kondisi lain yang kondusif untuk terjadinya tindak
kriminal. Menurut Steve Alberecht dalam Karyono (2013:9) ada
beberapa faktor yang dapat meningkatkan kesempatan untuk
melakukan tindak kecurangan atau fraud, yaitu:
1) Kegagalan untuk menertibkan pelaku kecurangan
2) Terbatasnya akses terhadap informasi
21 c. Pembenaran (Rationalization)
Menurut Karyono (2013:10), pelaku kecurangan akan mencari
pembenaran seperti:
1) Pelaku menganggap bahwa yang dilakukan sudah merupakan hal
yang biasa/wajar.
2) Pelaku merasa berjasa besar terhadap organisasi.
3) Pelaku menganggap tujuannya baik, yaitu mengatasi masalah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa teori
segitiga fraud ini dapat digunakan sebagai dasar pencegah serta
pendeteksian fraud. Hal ini dikarenakan segitiga fraud telah dinyatakan
berpengaruh kuat terhadap tindakan kecurangan (fraud) dalam Karyono
(2013), misalnya menentukan bagaimana cara mengetahui tanda-tanda
kecurangan (red flags) melalui pengamatan sikap, tekanan dan pelaku
kecurangan, tindakan whistleblowing sebagai langkah preventifserta
profesionalisme internal auditor guna mendukung pendeteksian
kecurangan dalam laporan keuangan, untuk mengurangi kesempatan hal
tersebut dapat terjadi.
2. Auditing
a. Definisi Auditing
Auditing menurut Arens dan Beasley (2010:4) ialah sebagai berikut:
22 Artinya, auditing adalah pengumpulan dan penilaian bukti
mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat
kesesuaian antara informasi tersebut dan kriteria yang
ditetapkan.Auditing harus dilakukan oleh seorang yang kompeten dan
independen.
Menurut Agoes (2004:3), ia mendefinisikan auditing sebagai
berikut:
“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa auditing adalah proses pemeriksaan atas
laporan keuangan yang dilakukan secara kritis dan sistematis yang
didasarkan atas bukti-bukti pendukung yang ada yang dilakukan oleh
pihak yang independen dan kompeten yang digunakan sebagai bahan
pertimbangan dan kemudian dikomunikasikan kepada pihak-pihak
pemakai laporan keuangan yang berkepentingan.
Menurut Boynton, Johnson dan Kell (2009), pada umumnya,
terdapat tiga jenis tipe auditor, yaitu (1) auditor independen, (2)
auditor internal, dan (3) auditor pemerintah. Adapun penjelasannya
23 1) Auditor Independen
Auditor independen biasanya bertindak sebagai praktisi
perorangan ataupun anggota kantor akuntan publik yang
memberikan jasa auditing profesional kepada klien.
2) Auditor Internal
Auditor internal biasanya adalah pegawai dari organisasi yang di
audit.Auditor jenis ini melibatkan diri dalam suatu kegiatan
penilaian independen, yang dinamakan audit internal dalam suatu
organisasi atau perusahaan.
3) Auditor Pemerintah
Auditor tipe ini bekerja di berbagai jenis kantor pemerintahan.
Seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan Inspektorat
Jenderal (Itjen) RI.
b. Tujuan Audit
Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada
umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran,
dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha,
perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum di Indonesia (IAI, 2001, SA Seksi 2001:110.1).
Menurut Suharli (2008) audit dikembangkan dan dilaksanakan karena
audit memberi banyak manfaat bagi dunia bisnis. Pelaksanaan audit
24 1) Penilaian pengendalian (Appraisal of Control)
Pemeriksaan operasional berhubungan dengan pengendaliann
administratif pada seluruh tahap operasi perusahaan yang
bertujuan untuk menentukan apakah pengendalian yang ada telah
memadai dan terbukti efektif serta mencapai tujuan perusahaan.
2) Penilaian Kinerja (Appraisal of Performance)
Penilaian diawali dengan mengumpulkan informasi-informasi
kuantitatif kemudian melakukan penilaian efektivitas, efisiensi
dan ekonomisasi kinerja.Penilaian selanjutnya menjadi informasi
bagi manajemen untuk meningkatkkan kinerja perusahaan.
3) Membantu Manajemen (Assistance to Management)
Dalam pemeriksaan operasional dan ketaatan maka hasil audit
lebih diarahkan bagi kepentingan manajemen untuk
penampilannya. Dan hasil merupakan rekomendasi-rekomendasi
atas perbaikan-perbaikan yang diperlukan pihak manajemen.
c. Standar Auditing
Standar auditing ditetapkan dalam PSA No. 01 (SA Seksi 150)
sebagai berikut:
1) Standar Umum
a) Audit harus dilakukan oleh seorang atau lebih yang memiliki
keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
Standar ini menegaskan bahwa betapa tingginya kemampuan
25 a) keuangan, auditor tidak dapat memenuhi persyaratan yang
dimaksudkan, jika tidak memiliki pendidikan serta pengalaman
memadai dalam bidang auditing.
b) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan,
independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh
auditor. Standar ini mengharuskan auditor bersikap
independen, artinya tidak mudah dipengaruhi karena auditor
melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum.
c) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor
wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat
dan seksama. Standar ini menurut auditor untuk merencanakan
dan melaksanakan pekerjaannya dengan menggunakan
kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama.
Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama
menuntut auditor untuk melaksanakan keahlian profesional.
2) Standar Lapangan
a) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika
digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
Standar ini berisi pedoman bagi auditor dalam membuat
perencanaan dan melakukan supervisi.
b) Pemahaman memadai atas pengendalian internal harus
diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat saat
26 inimenjelaskan mengenai unsur-unsur pengendalian internal
dan bagaimana cara auditor mempertimbangkan pengendalian
internal seperti dalam merencanakan dan melaksakan suatu
audit.
c) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui
inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan konfirmasi
sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas
laporan keuangan yang diaudit.
3) Standar Pelaporan
a) Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan
telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum di Indonesia.
b) Laporan auditor harus menunjukkan jika ada
ketidakkonsistenan penerapan-penerapan prinsip akuntansi
dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan
dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut
dalam periode sebelumnya.
c) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus
dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan
auditor. Penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia mencakup
dimuatnya pengungkapan informatif yang memadai atas hal-hal
27 d) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat
mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu
asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan.
3. Red Flags
Menurut Montgomery (2002) dalam Suartana (2009), ada fenomena
segitiga kecurangan (fraud triangle). Tekanan yaitu intensif yang
mendorong orang melakukan kecurangan karena tuntutan gaya hidup,
ketidakberdayaan dalam hal keuangan, mencoba-coba untuk mengalahkan
sistem dan ketidakpuasan kerja menurut Salman (2005) dalam Novian
(2012).
Red flags, sangat erat kaitannya dengan fenomena kecurangan.
Terdapat beberapa kategori untuk mengidentifikasi Red Flags dalam
mendeteksi kecurangan yang dirangkum menjadi lima kategori sebagai
berikut:
a. Pemberitahuan atau peringatan
b. Dokumen yang mencurigakan
c. Informasi mengenai seseorang yang mencurigakan
d. Kegiatan yang dilakukan oleh personal tetapi mencurigakan
e. Informasi dari berbagai pihak
Menurut Association of Certified Fraud Examiners dalam Karyono
(2013:100), terdapat beberapa macam karakteristik red flag, yaitu
28 a. Red flags kecurangan yang dilakukan manajemen puncak:
1) Adanya keengganan untuk memberikan informasi kepada auditor
2) Terjadinya perselisihan dengan auditor
3) Terdapat pengambilan keputusan yang didominasi oleh
sekelompok individu
4) Kurangnya tanggung jawab organisasi yang jelas
5) Adanya sistem pengendalian internal yang lemah
6) Staf akuntannya lemah dalam keahlian sebagai akuntan dan tidak
berpengalaman
7) Jumlah rekening cek yang berlebihan
8) Adanya konflik kepentingan, nepotisme dan pelanggaran tugas
9) Kompensasi program yang tidak proporsional
10)Transaksi keuangan yang tidak masuk akal
b. Red flags kecurangan yang dilakukan oleh karyawan:
1) Adanya perubahan gaya hidup karyawan tersebut
2) Adanya masalah hutang
3) Kurangnya pemisahan tugas di area yang potensial
4) Adanya penolakan dalam mengambil cuti
5) Adanya perubahan tingkah laku
6) Tingginya tingkat penggantian pekerja terutama di bagian yang
29 c. Red flags kecurangan untuk faktor yang mempengaruhi kurangnya
lingkungan kerja yang positif dan dapat mendorong motif tindak
kecurangan:
1) Persepsi ketidakadilan dalam organisasi
2) Loyalitas rendah terhadap organisasi
3) Bersifat manajemen otokratis daripaa manajemen partisipatif
4) Terdapat anggaran yang tidak masuk akal di dalam suatu
manajemen
5) Takut menyampaikan berita buruk untuk manajemen maupun
supervisor
6) Kurangnya tanggung jawab organisasi yang jelas
d. Red flags kecurangan pada pendanaan atau pembiayaan
1) Perubahan yang signifikan pada operasi dan rasio laba
sebelumnya guna memperoleh pendanaan atau pembiayaan
2) Mengadopsi suatu perubahan prinsip akuntansi dasar atau
merevisi estimasi akuntansi periode sebelumnya untuk
memperoleh pendanaan atau pembiayaan
3) Peningkatan kas dalam jangka pendek dan penurunan piutang
pada saat penjualan sedang meningkat untuk mencari pendanaan
atau pembiayaan yang baru
4) Penundaan pengeluaran bulanan, triwulan atau laporan keuangan
tahunan periode sebelumnya untuk mencari pendanaan atau
30 e. Red flags kecurangan pada produksi
1) Produksi yang tinggi namun tidak sesuai dengan permintaan pasar
dan adanya penundaan pesanan
2) Banyaknya produk sisa atau produk cacat atau banyak bahan baku
yang hilang
3) Penempatan kembali fisik barang jadi di dalam area produksi di
luar suatu periode waktu yang layak
4) Akses yang tidak terbatas pada dokumen pengirim dan ke gudang
penyimpanan bagi personel yang tidak terkait produksi
5) Kelemahan dalam prosedur pisah batas (cut off) persediaan
6) Tingkat perputaran persediaan barang jadi yang tidak ada
korelasinya dengan siklus operasional
f. Red flags kecurangan pada pendapatan
1) Penurunan tidak normal pada penjualan, padahal biaya
pengiriman cukup tinggi, jam kerja yang tinggi atau industri yang
sedang naik tajam
2) Perputaran piutang dagang yang rendah
3) Peningkatan yang signifikan dalam penyisihan piutang tak
tertagih pada kondisi ekonomi yang positif
g. Red flags kecurangan pada pembelian
1) Perubahan signifikan dalam rata-rata permintaan pembelian di
31 2) Tidak dihitung nomor pesanan atau hilangnya catatan pesanan
pembelian
3) Terdapat pembelian yang tidak konsisten dengan kategori yang
terindikasi pada periode sebelumnya atau oleh rencana operasi
atau hilangnya pesanan pembelian
h. Red flags kecurangan pada hutang dagang
1) Terdapat banyak alamat penjual produk yang sama yang tidak
sesuai dengan alamat yang telah disetujui
2) Pembayaran yang tidak biasa atau tingginya pembayaran rutin
dalam kondisi rendahnya volume pembelian
3) Hilangnya cek atau akses yang tidak mudah blanko cek ke mesin
penyiapan cek
4) Pembayaran tunai untuk kewajiban yang tidak dicatat dan biaya
rutin ketika semua pembelanjaan yang direncanakan harus
terlebih dahulu dibuat voucher pembayaran
Red flags merupakan signal yang harus dideteksi oleh auditor dalam
mengaudit laporan keuangan (Novian, 2012). Dalam mendeteksi red flags
ini auditor harus memiliki keahlian dalam mendeteksi dan menaksir risiko
yang ada. Dikatakan Vicky, Hoffman, Morgan dan Patton (1996, dalam
Hegazy 2010) bahwa penggunaan red flags pada pendeteksian kecurangan
ketika sesuatu hal dicurigai dan ditetapkan sebagai salah satu tanda (red
flags), maka tanda ini dapat membantu auditor untuk lebih memfokuskan
32 MenurutMoyes et al., (2006), disebutkan bahwa dalam laporan audit
keuangan menurut SAS No.99 mengharuskan auditor eksternal
mengunakan efektivitas red flags untuk mendeteksi adanya kecurangan
yang merupakan temuan audit. Namun, timbulnya tanda-tanda kecurangan
atau red flagsini, tidak selalu mengindikasikan adanya tindak kecuangan
yang terjadi dalam perusahaan, tetapi red flags biasanya selalu muncul
pada tiap kasus kecurangan yang terjadi, sehingga dapat menjadi tanda
peringatan bahwa kecurangan terjadi (Amrizal, 2004).
Menurut Amrizal (2004), red flags merupakan karakteristik personal
pribadi yang tergantung dari suatu kondisi personal tersebut. Berdasarkan
SAS No. 99, kemampuan untuk menyadari ataupun mengenali red flags
adalah sebuah hal penting bukan hanya untuk akuntan publik tetapi untuk
seluruh auditor eksternal maupun internal yang bekerja di semua sektor
publik. Bila ada satu hal yang mengindiksikan red flags, seseorang harus
mengambil tindakan untuk menginvestigasi kondisi tersebut dan
memutuskan apakah terdeteksi temuan audit yang bersifat negatif atau
tidak.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa red flags ialah sebuah tanda atau kondisi yang janggal
atau tidak biasa yang merupakan tanda-tanda terjadinya sebuah tindak
kecurangan pada sebuah entitas perusahaan. Ketika ada tanda-tanda red
flags ini, auditor diharapkan lebih memfokuskan pada tanda-tanda tersebut
33 mendeteksi tanda kecurangan yang mungkin terjadi agar tidak
mengakibatkan dampak yang berkepanjangan bagi perusahaan.
4. Whistleblowing
Menurut Near and Miceli (1985), whistleblowing diartikan sebagai
berikut:
“The disclosure by organization members (current or former) of illegal, immoral or illegitimate practice under the control of their employers, to persons or organizations that may be able to effect action”
Artinya, whistleblowing ialah pengungkapan oleh anggota organisasi
(mantan atau yang masih menjadi anggota) atas suatu praktik ilegal, tidak
bermoral, atau tanpa legitimasi dibawah kendali pimpinan kepada individu
atau organisasi yang dapat menimbulkan efek tindak perbaikan.
Menurut Jalil (2013), whistleblowing merupakan usaha yang
dilakukan seorang pekerja atau mantan pekerja suatu organisasi untuk
mengungkap sesuatu yang dia yakini merupakan kesalahan yang terjadi
dalam organisasinya. Sedangkan menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) dalam Sagara (2013), whistleblowing ialah
pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang
melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain
yang dapat merugikan organisasi kepada pemimpin organisasi atau
lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut.
Whistleblowing merupakan suatu istilah yang muncul sejak adanya
Sarbanes-Oxley Act yang dapat mendorong para pegawai dari
34 ada rasa takut terhadap pihak yang dilaporkan (Dimar, 2014). Menurut
Priantara (2013:209), berbagai survei menunjukkan pengaduan atau
whistleblowing menjadi alat yang paling utama untuk mencegah dan
mendeteksi fraud karena calon pelaku mestinya takut akan diadukan jika
sistem ini efektif.
Namun, tentunya dibutuhkan kesadaran khusus dari para pelapor atau
whistleblower agar bersedia melaporkan suatu tindak kecurangan apabila
mengetahui adanya kemungkinan kecurangan itu terjadi.Banyak hal yang
dipertimbangkan oleh whistleblower sebelum bersedia melaporkan suatu
tindak kecurangan, salah satunya ialah perlindungan hukum.Tentunya,
whistleblower harus terlindung dari segala macam ancaman yang dapat
terjadi apabila telah melaporkan suatu tindak kecurangan.Apabila telah
terpenuhi perlindungan hukum yang memadai untuk whistleblower, maka
deteksi dini atas sebuah kecurangan dapat lebih mudah untuk
ditangani.Selain itu, whistleblower juga harus memiliki cukup bukti
sebelum melaporkan suatu kejadian agar informasi yang disampaikan
dapat meyakinkan banyak pihak.Whistleblowing dapat dikatakan sebagai
salah satu cara yang cukup mudah untuk mendeteksi adanya fraud (Dimar,
2014).
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
whistleblowing ialah upaya atau tindakan yang dilakukan oleh seorang
indvidu untuk melaporkan sebuah tindakan yang janggal yang
35
5. Profesionalisme Auditor Internal
Dalam menjalankan setiap pekerjaannya, seseorang dituntut untuk
bersikap profesional terhadap pekerjaannya, tak terkecuali para internal
auditor.Sikap profesionalisme auditor terkait dengan kepatuhan terhadap
etika profesi auditor yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI).Hal ini menuntut auditor untuk memiliki keterampilan umum yang
dimiliki auditor pada umumnya, yakni menggunakan sikap profesionalnya
dengan cermat dan seksama.Penggunaan kemahiran profesional dengan
cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan
yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material,
baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan (Widiyastuti,
2009).
Seorang auditor profesional harus memenuhi tanggung jawabnya
terhadap masyarakat, klien, termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku
dengan semestinya. Menurut Jusuf (1997) dalam Widiyastuti (2009),
kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional akan
meningkat jika profesimenetapkan standar kerja dan perilaku yang dapat
mengimplementasikan praktik bisnis yangefektif dan tetap mengupayakan
profesionalisme yang tinggi.
Hall (1986) dalam Sumardi dan Hardiningsih (2002) mengemukakan
36 a. Hubungan dengan sesama profesi (community afiliation), yaitu
menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di
dalamnyaorganisasi formal dan kelompok-kelompokkolega informal
sebagai sumber ide utama dalam melaksanakan pekerjaan.
b. Kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang
pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat
maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
c. Keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation),
maksudnya bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan
profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak
memiliki kemampuan dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
d. Dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dengan menggunakan
pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap
melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap
ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap
pekerjaan sehingga kompensasi utarna yang diharapkan dari
pekerjaan adalah kepuasan rohani setelah itu baru materi.
e. Kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu
pandangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat
keputusan sendiri tanpa tekanan pihak lain (pemerintah, klien dan
mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada carnpur tangan dari
37 Sikap profesionalisme seorang auditor tentunya sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan kemampuan auditor tersebut dalam melakukan
pekerjaannya.Dengan adanya sikap profesionalisme diri
seseorang,tentunya dapat membuat mereka melakukan pekerjaan dengan
lebih maksimal. Menurut Arens dan Loebbecke (2009), untuk
meningkatkan profesionalisme, seorang akuntan harus memperlihatkan
perilaku profesinya, di antaranya:
a. Tanggung Jawab
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional,
akuntan harus mewujudkan kepekaan profesional dan pertimbangan
moral dalam semua aktivitas mereka.
b. Kepentingan Masyarakat
Akuntan harus menerima kewajiban untuk melakukan tindakan yang
mendahulukan kepentingan masyarakat, menghargai kepercayaan
masyarakat, dan menunjukkan komitmen pada profesionalisme.
c. Integritas
Untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan masyarakat,
akuntan harus melaksanakan semua tanggung jawab profesional
dengan integritas tertinggi.
d. Objektivitas dan Independensi
Akuntan harus mempertahankan objektivitas dan bebas benturan
kepentingan dalam melakukan tanggung jawab profesional.
38 Akuntan harus memenuhi standar teknis dan etika profesi, berusaha
keras untuk meningkatkan kompetensi dan mutu jasa dan melakukan
tanggung jawab profesional dengan kemampuan terbaik.
f. Lingkup dan Sifat Jasa
Dalam menjalankan praktik sebagai akuntan publik, akuntan harus
mematuhi prinsip-prinsip perilaku profesional dalam menentukan
lingkup dan jasa audit yang akan diberikan.
Sikap profesionalisme juga tentunya dibutuhkan oleh seorang auditor
internal. Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi
untuk memenuhi kewajiban profesionalnya, memberikan opini yang
objektif, tidak bias, dan tidak dibatasi serta melaporkan masalah apa
adanya, bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga
(Sawyer, 2006:35) dalam Ayu et al., (2015). Untuk dapat menilai apakah
sebuah laporan keuangan telah bebas dari salah saji atau kekeliruan
maupun kecurangan, tentunya auditor internal harus menggunakan
profesionalismenya sebagai auditor internal. Apabila tidak adanya perilaku
profesional dalam diri auditor internal, maka tentunya akan menjadi sulit
untuk mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan perusahaan.
6. Pendeteksian Kecurangan
Tindak kecurangan yang kini kian marak terjadi di ranah ekonomi
tentunya mengharuskan entitas untuk lebih cermat mengamati tiap
39 saja belum tentu cukup untuk mengatasi hal ini, perlu adanya tindakan
preventif untuk melengkapi pencegahan kecurangan, yakni pendeteksian
kecurangan yang lebih dulu dapat dilakukan. Deteksi
kecurangan(fraud)ialah suatu tindak mengetahui bahwa fraud terjadi, siapa
pelaku, siapa korbannya, dan apa penyebabnya. Kunci pada pendeteksian
fraud ialah dapat melihat adanya kesalahan dan ketidakberesan (Karyono,
2013:91). Menurut Koroy (2008:2), pendeteksian kecurangan bukan
merupakan tugas yang mudah untuk dilakukan oleh auditor. Setidaknya
ada empat faktor yang teridentifikasi penyebab sulitnya pendeteksian
kecurangan, yakni seperti karakteristik terjadinya kecurangan, standar
pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan, lingkungan pekerjaan
audit yang mengurangi kualitas audit, metode dan prosedur audit yang
tidak efektif dalam penceteksian kecurangan.
Menurut Mui (2010) dalam Nasution dan Fitriany (2012:7)
menyatakan bahwa tugas pendeteksian kecurangan merupakan tugas yang
tidak terstruktur yang menghendaki auditor untuk menghasilkan
metode-metode alternatif dan mencari informasi-informasi tambahan dari berbagai
sumber.Tindakan pendeteksian kecurangan tidak dapat di generalisir
terhadap semua kecurangan.Masing-masing jenis kecurangan memiliki
karakteristik sendiri, sehingga untuk dapat mendeteksi kecurangan perlu
kiranya pemahaman yang baik terhadap jenis-jenis kecurangan yang
mungkin timbul dalam perusahaan (Amrizal, 2004). Menurut