• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansia Dalam Produksi Getah Pinus di Perum Perhutani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansia Dalam Produksi Getah Pinus di Perum Perhutani"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGGUNAAN

STIMULANSIA RAMAH LINGKUNGAN DALAM PRODUKSI

GETAH PINUS DI PERUM PERHUTANI

SUKADARYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ”FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGGUNAAN STIMULANSIA RAMAH LINGKUNGAN DALAM PRODUKSI GETAH PINUS DI PERUM PERHUTANI” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi ataupun Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka

Bogor, September 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

SUKADARYATI. Formulasi Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansia Ramah Lingkungan Dalam Produksi Getah Pinus di Perum Perhutani. Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT, GUNAWAN SANTOSA, HARDJANTO dan GUSTAN PARI.

Peningkatan hasil produksi getah pinus untuk memenuhi permintaan pasar nasional dan internasional sangat diperlukan. Implikasi peningkatan produksi getah tentu akan meningkatkan pendapatan perusahaan dalam hal ini Perum Perhutani dan juga menambah penghasilan bagi penyadap. Dengan penggunaan stimulansia, target produksi yang ditetapkan Perum Perhutani dapat tercapai atau mungkin terlampaui. Penggunaan stimulansia membahayakan kesehatan dan lingkungan karena mengandung bahan dasar asam kuat yaitu asam sulfat (H2SO4).

Stimulansia tersebut dalam penelitian ini disebut sebagai stimulansia an-organik. Kebijakan penggunaan stimulansia yang tidak ramah lingkungan dan berdampak negatif perlu dievaluasi dan dicari bahan lain yang lebih ramah lingkungan. Peningkatan kesadaran akan perlunya produk yang aman dan tidak mengandung bahan berbahaya (green product) semakin mendukung evaluasi kebijakan penggunaan stimulansia asam kuat. Stimulansia ETRAT dapat digunakan dalam penyadapan pinus ramah lingkungan untuk mengganti stimulansia an-organik. Harga pembelian ETRAT yang lebih mahal dibandingkan stimulansia an-organik menjadi bahan pertimbangan sehingga Perum Perhutani menempuh kebijakan pengaturan penggunaan kedua stimulansia tersebut, yaitu stimulansia ETRAT digunakan untuk sadapan buka (pada waktu pinus berumur 11 tahun) sedang stimulansia an-organik digunakan untuk sadapan lanjutan (pembaharuan sadapan setelah sadapan pertama).

Perum Perhutani berkeinginan untuk menggunakan stimulansia yang lebih ramah lingkungan dengan syarat dapat meningkatkan produksi getah dengan harga yang lebih murah. Kebijakan pengaturan penggunaan kedua jenis stimulansia tersebut masih menjadi dilema bagi Perum Perhutani. Penggunaan stimulansia an-organik diklaim tidak aman dan tidak ramah lingkungan, sedangkan penggunaan ETRAT dinilai lebih ramah lingkungan namun memerlukan biaya pembelian yang lebih mahal. Di sisi lain ada peluang terbuka untuk pengembangan inovasi stimulansia baru yang ramah lingkungan dan harganya terjangkau untuk diaplikasikan di lapangan. Inovasi stimulansia berbahan dasar cuka kayu menjadi alternatif pilihan. Kelebihan stimulansia cuka kayu adalah mudah dibuat atau diproduksi sendiri, murah, aman digunakan, ramah lingkungan dan mempunyai nilai tambah karena memanfaatkan limbah.

(6)

ii

dilakukan tanpa menggunakan stimulansia karena dapat meningkatkan kandungan monoterpene meskipun produksi getah yang dihasilkan rendah. Banyaknya komponen kimia getah pinus yang dihasilkan dari penggunaan stimulansia berpengaruh terhadap derivat produk yang akan dihasilkan. Sebaiknya aspek ekonomi bukan menjadi faktor utama namun perlu mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial agar sustainabilitas tercapai.

Implikasi kebijakan adopsi inovasi stimulansia di Perum Perhutani dapat diterapkan dengan memperhatikan faktor internal yaitu pengalaman kerja dan luas lahan garapan. Sebaiknya penerapan inovasi stimulansia ramah lingkungan diawali dari para penyadap yang telah berpengalaman dan memiliki lahan garapan yang relatif luas. Faktor eksternal yang perlu diperhatikan berupa intensitas penyuluhan dan promosi secara langsung kepada para penyarap agar penerapan inovasi stimulansia ramah lingkungan tetap menguntungkan di mata penyadap dan mudah dilakukan di lapangan.

Kebijakan adopsi pengguaan stimulansia dalam penyadapan pinus berdasarkan peran dan kepentingannya dilakukan secara top down dengan mempertimbangkan tiga pihak pemangku kepentingan, yaitu 1) pihak kunci dalam hal ini Perum Perhutani dan jajarannya, 2) pihak utama, yaitu penyadap pinus dan 3) pihak pendukung, yaitu akademisi, peneliti, Dinas Kehutanan dan Kemenhut. Hubungan antar pemegang kepentingan selalu terjalin interaksi secara kontinu sehingga menyebabkan sinergitas atau konflik antara pihak utama dan kunci.

Empat strategi adopsi penggunaan stimulansia yang ramah lingkungan dapat ditempuh dengan cara 1) meningkatkan penggunaan stimulansia ramah lingkungan; 2) untuk menekan harga stimulansia ramah lingkungan dapat dilakukan dengan memproduksi sendiri stimulansia ramah lingkungan yang akan digunakan; 3) jangka pendek dapat ditempuh dengan mengadopsi penggunaan inovasi stimulansia ramah lingkungan dan 4) jangka panjang dengan mengembangkan inovasi-inovasi stimulansia ramah lingkungan sehingga dapat lebih meningkatkan produksi getah.

(7)

iii

SUMMARY

SUKADARYATI.Formulating the Strategy Policy on the Use of Environmentally Friendly Stimulants for Enhancing the Production of Pine Sap in Perum Perhutani. Supervied by DODIK RIDHO NURROCHMAT, GUNAWAN SANTOSA, HARDJANTO, and GUSTAN PARI.

. Increasing the production of pine sap to cope with the national as well as international market demands is urgently needed. Implication referring to the increasing production of pine sap will certainly enhance the income of the company, in this regard Perum Perhutani, and also increase the salary of the sap-tapping workers. The use of stimulant will expectedly enable the production of pine sap to achieve the Perum Perhutani’s desired target, or even surpass it. In other hand, the use of stimulant can endanger human health and environments, as it contains acid-base stuff (H2SO4). The stimulant as used in this research is called

inorganic stimulant.

The policy in the use of stimulants which are environmentally unfriendly and inflict negative impacts then deserve immediate assessment, and other stuffs that sound more environmentally friendly should be sought. Moreover, increasing human awareness has aroused for the necessity of seeking stimulants which are safe and not containing dangerous stuffs (green products). This situation consequently will support the strict-policy assessment on using the strong acidic (inorganic) stimulants. In the pine-sap tapping which is environmentally friendly, the so-called ETRAT stimulant has been already used as a substitute for the inorganic stimulants. However, since the purchasing price of ETRAT is considered more expensive than that of inorganic stimulants, the Perum Perhutani takes the policy on regulating the use of those two stimulants, whereby the ETRAT is used for the initial/first tapping stage (when the pine trees are 11 years old), while the inorganic stimulant is employed for the subsequent tapping stage (renewal of the first tapping)

The Perum Perhutani itself is actually quite willing to use more environmentally friendly stimulants under the conditions that they can increase sap production, not harmful, and the price is cheaper.It seems that the policy on regulating the use of those two stimulants so far still becomes a complicated dilemma for the Perum Perhutani itself. In one hand, the use of inorganic stimulants is claimed as unsafe and environmentally unfriendly; while in other hand that of ETRAT is regarded as more environmentally friendly; but unfortunately it necessitates more expensive price for its purchase. Also in other side, there is an open chance to develop newly-innovated stimulants which are environmentally friendly and the price is achievable for their application in the field. The innovated stimulant with wood-vinegar base stuff could serve as the alternative choice. The wood-vinegar base stimulants offer some advantages, among others being easily manufactured (by the company itself), cheap, safely used, environmentally friendly, and imparting added value as they utilize biomass wastes.

(8)

iv

below 500 m asl. At times, the pine-sap tapping is conducted without stimulant use, as this can increase the monoterpen content in the sap although its production is low. The kinds and quantities of chemical components in the yielded pine sap with the use of stimulants can affect its product derivatives. Consequently, the economic aspects should not become a main factor, and instead the ecology and social aspects should be thoroughly taken into consideration in order to achieve the sap-production sustainability.

Implication that the adoption policy on using the innovated stimulants at the Perum Perhutani can be well implemented is by paying strenuous attention to the internal factors as well as external factors. The former factors consist of working experience and area vastness of the cultivated land. It is strongly suggested that the implementation of innovated stimulants already confirmed as environmentally friendly should be initially carried out by the tapping workers who are far more experienced and own large areas of cultivation lands. Meanwhile, the latter (external factors) that deserve also attentions comprise the intensity of short training, and direct promotion to the tapping workers in order that the implementation of such innovated environmentally friendly stimulants can keep bringing in profit for them and be easily adopted in the field.

The adoption policy on the use of stimulants for the pine tapping at the Perum Perhutani based on role and necessity levels is employed by the so-called top-down manner. This considers three parties who each serve as the particular necessity holders, which consist of: (1) the key party, who in this regard refer to the Perum Perhutani itself and its echelons; (2) the main party, who comprise the pine-tapping workers; and (3) the supporting party, who is made up of academic staffs, researchers, Forestry Services, and Ministry of Forestry. The relation between the necessity holders should be well coordinated such that there occurs continual interaction, thereby ensuring the synergy and avoiding the conflict between the main party and key party.

There are four adoption strategies on the use of environmentally friendly stimulants that can be realized by imposing: (1) intensifying and enhancing the use of environmentally friendly stimulants; (2) keeping down or stable the price of such stimulants by manufacturing itself the environmentally friendly stimulants that will be implemented; (3) in the sort-term duration, such attempts can be carried out by adopting the use of environmentally friendly stimulants; and (4) in the long-term duration, by encouraging and developing the innovated stimulants that sound environmentally friendly, thereby increasing more and more of the sap production.

(9)

v

© HAK CIPTA MILIK IPB, TAHUN 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGGUNAAN

STIMULANSIA RAMAH LINGKUNGAN DALAM PRODUKSI

GETAH PINUS DI PERUM PERHUTANI

SUKADARYATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

ix

Penguji luar komisi pada Ujian:

Tertutup: 1 . Dr Ir Yulius Hero, MSc 2 . Dr Ir Rita Kartika Sari, MSc

(14)

x

Judul Penelitian : Formulasi Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansia Dalam Produksi Getah Pinus di Perum Perhutani

Nama : Sukadaryati

NIM : E 161090064

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc FTrop Ketua

Dr Ir Gunawan Santosa, MS Anggota

Prof Dr Ir Hardjanto, MS Anggota

Prof (Ris) Dr Gustan Pari, MS Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan,

Prof Dr Ir Hardjanto, MS

Dekan

Sekolah Pascasarjana,

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 September 2014 (tanggal pelaksanaan ujian terbuka)

(15)

xi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas Anugerah dan Karunia-Nya sehingga penelitian disertasi dengan judul “Formulasi Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansia Ramah Lingkungan Dalam Produksi Getah Pinus di Perum Perhutani” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Atas selesainya penulisan disertasi ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc FTrop sebagai ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan pandangan hingga tersusunnya disertasi ini;

2. Dr Ir Gunawan Santosa, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan ilmu hingga tersusunnya disertasi ini;

3. Prof Dr Ir Hardjanto, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang memberikan bimbingan, ilmu dan motivasi hingga tersusunnya disertasi ini; 4. Prof (Ris) Dr Gustan Pari, MSi sebagai anggota komisi pembimbing yang

memberikan arahan, bimbingan di lapangan dan semangat untuk menyelesaikan disertasi ini;

5. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan atas kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi melalui program Research School Badan Litbang Kehutanan;

6. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Bogor atas kesempatan dan dukungan yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi;

7. Kepala Unit I Perum Perhutani Jawa Tengah, Kepala Unit II Perum Perhutani Jawa Timur, Kepala Unit III Perum Perum Perhutani Jawa Barat dan Banten serta Kepala Litbang Perhutani di Cepu, beserta jajarannya atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan data-data penelitian;

8. Kepada suami, Bagus Novianto, SHut, MP dan anak-anakku tercinta, Fidelya Fredelina (Elin/10th) dan Jovan Candra Astagina (Jovan/7th) atas dukungan, kasih sayang selama menjalankan tugas belajar.

9. Kepada kedua orangtua (Sukaca dan Surati, BA), mertua (Margono Saputro dan Jariah), kakak kandung (Drs Sukadarisman, MSi beserta keluarga dan Ir Sukadarminto, MT beserta keluarga), kakak ipar (Yuni Indraswati, SPd, MPd) dan adik ipar (Yuli Setyowati, SPd) yang sudah memberi semangat dan dukungan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi;

10.Rekan-rekan S3 dan S2 Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) angkatan 2009, 2010, 2011 dan 2012 untuk dukungan yang selalu diberikan;

(16)

xii

12.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan moril maupun materiil dalam penyelesaian disertasi ini.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengkayaan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2014 Penulis

(17)

DAFTAR ISI

RINGKASAN... i

SUMMARY ... iii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

1. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 7

Kegunaan Penelitian ... 8

Kerangka Pemikiran ... 8

Ruang Lingkup ... 12

Novelty ... 12

2. STIMULANSIA RAMAH LINGKUNGAN DALAM PENYADAPAN PINUS... 14

Pendahuluan ... 14

Metode ... 17

Hasil dan Pembahasan... 22

Simpulan ... 36

3. ADOPSI INOVASI STIMULANSIA DALAM KEGIATAN PENYADAPAN PINUS DI PERUM PERHUTANI ... 37 Pendahuluan ... 37

Metode ... 39

Hasil dan Pembahasan ... 47

Simpulan ... 62

4. PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADOPSI INOVASI STIMULANSIA ... 63 Pendahuluan ... 63

Metode ... 64

Hasil dan Pembahasan ... 67

(18)

xiv

5. STRATEGI KEBIJAKAN PENGGUNAAN STIMULANSIA

RAMAH LINGKUNGAN ... 78

Pendahuluan ... 78

Metode ... 79

Hasil dan Pembahasan ... 81

Simpulan ... ... 95

6. SINTESA ... 96

7. SIMPULAN DAN SARAN ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(19)

xv DAFTAR TABEL

Tabel 1 Getah pinus yang dihasilkan oleh perlakuan stimulansia, ketinggian tempat dan periode pengunduhan

(gr/quare/peludangan) ... 22

Tabel 2 Anova pengaruh penggunaan stimulansia terhadap getah pinus yang dihasilkan sesuai perlakuan ... 25

Tabel 3 Hasil uji LSD pengaruh perlakuan terhadap produksi getah pinus... 25

Tabel 4 Komponen kimia getah pinus berdasarkan jenis stimulansia dan ketinggian tempat ... 34

Tabel 5 Komposisi asam resin berdasarkan asal bahan baku getah pinus 35 Tabel 6 Indikator dan parameter faktor-faktor peubah dan persepsi terhadap inovasi ... 45

Tabel 7 Karakteristik intern penyadap pinus ... 48

Tabel 8 Karakteristik eskternal penyadap pinus ... 51

Tabel 9 Sifat keinovatifan stimulansia dalam penyadapan pinus ... 54

Tabel 10 Tahapan proses pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia... 56

Tabel 11 Hubungan karakteristik internal penyadap terhadap tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia ... 58

Tabel 12 Hubungan karakteristik eksternal penyadap terhadap tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia ... 60

Tabel 13 Hubungan persepsi inovasi penyadap terhadap tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia ... 61

Tabel 14 Diskripsi dan bobot nilai masing-masing unsur 3R (Rigth, Responsibilites, revenue)... 66

Tabel 15 Diskripsi dan bobot nilai masing-masing kategori relationship... 67

Tabel 16 Skor dan tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak sehubungan kebijakan penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus di Perum Perhutani ... 70

Tabel 17 Peranan para pihak berdasarkan hak, tanggungjawab dan manfaat yang diperoleh dalam kebijakan adopsi inovasi stimulansia pada penyadapan pinus... 73

Tabel 18 Distribusi peran para pihak dalam kebijakan adopsi penggunaan stimulansia ... 74

Tabel 19 Hubungan antar pemangku kepentingan dalam kebijakan adopsi stimulansia ... 75

Tabel 20 Skala penilaian urgensi (NF) ... 80

(20)

xvi

Tabel 22 Matriks komparasi urgensi antar faktor internal dan eksternal ... 89 Tabel 23 Evaluasi faktor internal dan eksternal ... 90 Tabel 24 Faktor-faktor kunci keberhasilan ... 91 Tabel 25

Tabel 26

Perumusan strategi dengan menggunakan analisis SWOT ... Analisis biaya berdasarkan jenis stimulansia yang digunakan....

93 98 Tabel 27 Perbandingan penggunaan stimulansia an-organik, ETRAT,

cuka kayu dan tanpa stimulansia berdasarkan aspek teknis, ekonomi, lingkungan dan produksi

(21)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pemikiran... 9 Gambar 2 Pohon Masalah ... 10 Gambar 3 Pengambilan contoh uji batang ………. 20 Gambar 4 Grafik hasil getah pinus per periode peludangan pada

ketinggian di bawah 500 dpl ... 24 Gambar 5 Grafik hasil getah pinus per periode peludangan pada

ketinggian di atas 500 dpl ... 24 Gambar 6 Warna kayu tidak terpapar stimulansia an-organik (a) dan

warna kayu yang terpapars timulansia an-organik (b)... 30 Gambar 7 Peluruhan dinding trakeid pada kayu pinus yang terpapar

stimulansia an-organik pada penampang axial (a) dan (b)... 30 Gambar 8 Warna kayu pinus tidak terpapar ETRAT (a) dan terpapar

ETRAT (b) ... 31 Gambar 9 Peluruhan trakeid pada kayu pinus yang terpapar stimulansia

ETRAT pada penampang axial (a) dan (b) ... 31 Gambar 10 Tahapan adopsi inovasi stimulansia (Roger, 2003) ... 40 Gambar 11 Matriks pengaruh dan kepentingan menurut Reed et al. 2009 65 Gambar 12 Matriks kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku

(22)
(23)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan hasil hutan selain kayu, berupa nabati dan hewani beserta produk turunannya (Permenhut 35/MENHUT-II/2007). HHBK dikenal sebagai hasil ikutan atau hasil sampingan dari hutan, yaitu hasil hutan yang berasal dari bagian pohon atau tumbuhan yang memiliki sifat khusus dan dapat dimanfaatkan menjadi suatu barang yang diperlukan oleh masyarakat atau dijual sebagai bahan baku industri maupun komoditi ekspor. Menurut UU No 41 tahun 1999, HHBK merupakan benda-benda hayati, non hayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan. Hasil hutan nabati beserta turunannya seperti kayu, rotan, bambu, rerumputan, tanaman obat, jamur, getah-getahan, bagian atau yang dihasilkan tetumbuhan. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan hewan hutan. Hasil benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih dan sehat serta barang lain tetapi tidak termasuk barang tambang. Jasa yang diperoleh dari hutan seperti jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan dan jasa lainnya;

Dewasa ini pemanfaatan HHBK menjadi komoditas yang patut diperhitungkan. Selain menghasilkan produk bernilai tinggi dan mampu menyumbangkan devisa negara, pemanfaatan HHBK juga dapat mendukung pengurangan emisi dan pemanasan global. Di sisi lain, hasil hutan bukan kayu menjadi alternatif sumber pendapatan bagi perusahaan pada saat ketersediaan hasil hutan kayu di Indonesia semakin terbatas. Oleh karena itu pengelolaan hutan hendaknya beroreintasi pada berbagai macam manfaat, bukan berbasis hasil kayu saja tetapi juga mengembangkan pemanfaatan HHBK (Sundawati dan Nurrochmat 2008; Suhardjito et al. 2012) dan merealisasikan nilai ekonomi secara cerdas (Nurrochmat 2009; Nurrochmat et al. 2010).

(24)

2

Produk gondorukem dan terpentin diperoleh setelah getah pinus diolah lebih lanjut. Pemanafaatan gondorukem dan terpentin tidak terbatas pada penggunaan untuk produk non foodgrade (tidak berhubungan langsung dengan manusia) seperti untuk industri batik, sabun, plastik, tinta cetak, bahan pelitur, namun juga digunakan untuk produk foodgrade (berhubungan langsung dengan manusia) seperti untuk bahan baku parfum, desinfektan, tambal gigi, pengawet makanan (Duta Rimba 2010, Duta Rimba 2012a, Duta Rimba 2012b, Kasmudjo 1982, Kasmudjo 1992, Kasmudjo 2011).

Pada tahun 2013 Perum Perhutani mampu meraup pendapatan sebesar Rp3,954 Triliun yang diperoleh dari usaha kayu sebesar 48% dan non-kayu 52%. Meskipun pendapatan dari usaha non-kayu lebih tinggi persentasenya, tetapi penyumbang terbesar pendapatan masih dari kayu tebangan, yaitu sebesar Rp1,607 Trilyun dan industri non-kayu yang dijual ke luar negeri sebesar Rp1,339 Trilyun (Laporan Tahunan Perum Perhutani 2013). Laba yang diperoleh Perum Perhutani pada tahun 2013 mencapai Rp204 Miliar atau 105% dari rencana laba yang ditetapkan perusahaan dan indikator penilaian kinerja dinyatakan “SEHAT AA” dalam kurun waktu tahun 2009 sampai dengan 2013. Lebih lanjut disebutkan bahwa perbandingan sumber pendapatan antara kayu dengan non kayu mengalami pergeseran, dimana pada tahun 2009 perbandingan pendapatan dari kayu dan non-kayu sebesar 63% : 37% namun pada tahun 2013 perbandingan pendapatan non-kayu dan no-kayu menjadi 48% : 52% (Perum Perhutani 2014). Produksi getah pinus akhir-akhir ini menjadi prioritas Perum Perhutani.

Peluang pasar akan kebutuhan alphapinene dan bethapinen mendorong Perum Perhutani menjalankan industri derivat gondorukem terpentin (Perhutani Pine Chimical Industry/PPCI) di Pemalang, Jawa Tengah. Kapasitas terpasang pabrik derivat tersebut sebesar 24.500 ton getah pinus per tahun Pengolahan pabrik derivat gondorukem dan terpentin menghasilkan glicerol rosin ester, alphapinene, bethapinene, limonene, cineol dan alpha terpineol yang merupakan bahan baku industri batik, kosmetik, farmasi, parfum, industri makanan dan minuman, adhesive, industri kertas, industri cat dan tinta. Kebutuhan alphapinene dan bethapinene di dunia mencapai 600.000 ton per tahun, sementara untuk kebutuhan di dalam negeri mencapai 19.000 ton per tahun (Bina 2014a). Ekspor perdana pabrik derivat PPCL dilakukan pada tahun 2014 ke negara India sebanyak 13,6 ton alphapinene (Bina 2014a).

(25)

3

belum seluruhnya bisa didayagunakan, hanya 60% yang bisa didayagunakan sedang 40% sisanya terletak di hutan lindung atau di hutan produksi yang aksesibilitasnya rendah. Kondisi yang demikian kebutuhan bahan baku getah pinus dipenuhi dengan melakukan eksploitasi berlebihan pada saat pemanenan getah. Hal ini didukung dengan kenyataan di lapangan bahwa kegiatan penyadapan pinus dilakukan tidak sesuai dengan SOP atau pedoman penyadapan pinus berdasar SK Direksi No.792/KPTS/DIR/2005.

Kebijakan Perum Perhutani lima tahun ke depan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku getah pinus ditempuh dengan perluasan areal tanam pinus seluas 50.000 ha dan penerapan tanaman pinus bocor getah yang sudah diujicoba sejak 2007 (Bina 2012). Populasi pohon pinus per hektar diatur dengan jarak tanam 4 x 4 m. Selain itu Perum Perhutani memberlakukan peraturan baru tentang penebangan pohon pinus, yaitu penebangan pohon pinus hanya diperbolehkan saat pohon tersebut melebihi umur 50 tahun, menggantikan pengaturan penebangan sebelumnya, yaitu ditebang pada umur 35 tahun. Lebih lanjut disebutkan bahwa kebijakan penambahan luas tanaman pinus ditempuh dengan pertimbangan biaya trading (pembelian) getah yang diambil dari luar Jawa (Aceh dan Sulawesi) yang relatif lebih tinggi hingga dua kali lipat jika dibandingkan diambil dari kawasan hutan pinus milik Perum Perhutani. Trading getah pinus dilakukan Perum Perhutani untuk memenuhi sebagian kebutuhan getah pinus.

Usaha peningkatan produksi getah pinus dalam kegiatan penyadapan pinus secara teknis di lapangan dilakukan dengan pemberian stimulansia atau zat perangsang. Berbagai penelitian pemberian stimulansia pada penyadapan pinus telah dikembangkan, seperti stimulansia an-organik yang berbahan dasar asam kuat (H2SO4) ditambah asam kuat lainnya. Hampir seluruh areal Perum Perhutani

menggunakan stimulansia an-organik dalam penyadapan pinus dengan komposisi yang berbeda tergantung ketinggian tempat. Efek penggunan stimulansia an-organik tersebut dapat mengganggu kesehatan pohon dan juga penyadapnya serta menimbulkan pencemaran lingkungan (LIPI 2004). Oleh karena itu, dikembangkanlah produk stimulansia berbahan dasar organik yaitu etilen dengan nama merk dagang ETRAT yang lebih aman dan ramah lingkungan. Stimulansia berbahan dasar etilen sudah digunakan dalam penyadapan pinus di India, Pakistan dan Brasil dengan merk dagang CEPA (Rodrigues at al. 2007; Rodrigues, Neto 2009; Rodrigues at al. 2011; Sharma, Lekha 2013). Masyarakat penyadap tidak dengan serta merta menggunakan stimulansia ETRAT di lapangan. Hal ini berhubungan dengan kebijakan Perum Perhutani yang memang belum memberikan instruksi penggunaan stimulansia ETRAT dalam penyadapan pinus untuk seluruh areal hutan pinus.

(26)

4

memanfaatkan limbah kayu pinus (batang, cabang ataupun ranting) dan dapat diproduksi sendiri oleh Perum Perhutani karena mudah dan murah. Potensi stimulansia cuka kayu diharapkan dapat digunakan dalam penyadapan pinus sebagai alternatif penggunaan stimulansia di areal Perum Perhutani namun perlu dilihat bagaimana proses atau tahap pengadopsian inovasi stimulansia cuka kayu tersebut.

Darusman (2002) menyebutkan bahwa peningkatan peran masyarakat adalah suatu keniscayaan dalam paradigma pengelolaan hutan karena (setidaknya) empat alasan, yaitu: 1) masyarakat merupakan bagian integral dan ekosistem hutan; 2) masyarakat sebagai bagian yang sangat besar dari subyek dan obyek pembangunan Indonesia, 3) masyarakat sebagai pihak yang selama ini terpinggirkan dalam pembangunan, 4) masyarakat merupakan kekuatan yang sangat besar dan signifikan baik secara positif maupun negatif terhadap keberadaan hutan. Dalam kegiatan penyadapan pinus di Perum Perhutani peran serta masyarakat sekitar hutan dilibatkan sebagai tenaga penyadap pinus. Pada umumnya mereka berstatus buruh lepas dan upah yang diterima tergantung banyaknya getah yang mereka peroleh. Sebagian dari mereka bekerja sebagai pekerja sampingan namun bagi masyarakat sekitar hutan yang berada di areal yang menjadi penghasil getah terbesar, pekerjaan penyadapan pinus sebagai pekerjaan utama atau pokok. Keahlian, kemampuan, pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari mutu modal manusia yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi (Hardjanto 2002).

Tingkat pendapatan yang diperoleh tenaga penyadap tergantung pada jumlah getah yang dihasilkan, semakin banyak getah yang diperoleh akan meningkatkan pendapatannya. Jumlah getah yang diperoleh tergantung pada luas areal sadapan yang mereka kerjakan atau jumlah pohon yang mereka sadap (Nurrochmat 2001). Hasil getah yang diperoleh juga tergantung musim pengambilan (musin kemarau atau penghujan), kondisi lapangan dan kemampuan petani penyadap. Hasil getah pada musim kemarau pada umumnya lebih banyak dibandingkan musim penghujan. Kondisi lapangan yang sulit dijangkau akan mempengaruhi produktivitas kerja sehubungan dengan getah yang dihasilkan. Kemampuan penyadap berhubungan dengan tenaga yang dimiliki oleh penyadap, ada penyadap yang mampu menyadap lebih banyak per harinya baik dilakukan sendiri maupun ada yang membantu, namun sebalikya ada yang hanya mendapat hasil sadapan getah sedikit karena tenaganya terbatas (tidak kuat).

(27)

5

Pendapatan yang cukup besar dari HHBK menunjukkan bahwa HHBK berperan besar menjadi sumber pendapatan andalan masyarakat karena pendapatan dari HHBK seperti getah damar dan getah kemenyan dapat diperoleh hampir setiap tahun, sedangkan pendapatan dari kayu hanya dapat diperoleh pada akhir masa daur tanam atau pada saat usia panen sudah tiba.

Peningkatan produksi getah sangat diharapkan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial tersebut. Hanya saja sering terjadi untuk mencapai hasil getah yang banyak, pohon disadap untuk menghasilkan getah sebanyak mungkin misalnya dengan melukai atau menyadap batang pohon secara berlebihan dan atau pemberian stimulansia berbahaya tanpa aturan sehingga pohon menjadi merana dan akhirnya mati. Kegiatan penyadapan pohon pinus ini dilakukan dengan “memaksa” pohon untuk mengeluarkan getah banyak tanpa memberi kesempatan pohon untuk recovery, baik dalam hal cara penyadapannya maupun takaran stimulansia yang digunakan. Pada taraf ini telah terjadi eksploitasi berlebihan terhadap pohon penghasil getah pinus itu sendiri tanpa mempedulikan keberlanjutan hasil. Peningkatan produksi getah pinus dengan introduksi stimulansia yang aman dan ramah lingkungan diperlukan untuk menjamin kelestarian hasil getah dan pohon penghasilnya.

Perum Perhutani sebagai pengelola hutan pinus mempunyai kewenangan yang besar dalam pengadaan stimulansia bagi penyadap getah. Bagi Perum Perhutani, peningkatan produksi getah melalui introduksi stimulansia diperlukan untuk memenuhi target produksi getah yang sudah ditetapkan. Pengadaan stimulansia getah dan penggunaannya di lapangan menjadi tanggungjawabnya. Masyarakat penyadap tinggal menggunakan stimulansia yang sudah disediakan oleh Perum Perhutani. Penyadap pinus yang sudah sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan stimulansia an-organik lebih memilih meninggalkannya dan menggantinya dengan stimulansia yang aman dan ramah lingkungan. Keinginan mereka terkendala oleh faktor kepentingan Perum Perhutani sebagai penguasa untuk memperoleh hasil sadapan pinus sebesar-besarnya dan pihak-pihak lain (aktor) yang mempengaruhi pengambilan keputusan penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus.

Perumusan Masalah

(28)

6

masyarakat sekitar hutan maupun Perum Perhutani sebagai pengelola diperlukan untuk menjamin pengelolaan hutan pinus yang berkelanjutan.

Peningkatan hasil produksi getah pinus sangat diperlukan untuk memenuhi permintaan pasar nasional dan internasional serta bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan yang bekerja sebagai petani penyadap getah. Penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus dipilih sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi getah. Di Perum Perhutani, sebagian besar stimulansia yang digunakan sampai saat ini adalah stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat. Penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat dapat menimbulkan efek negatif terhadap penyadap, pohon yang disadap dan lingkungannya. Bagi penyadap getah pinus, penggunaan stimulansia an-organik dapat mengganggu kesehatan (seperti gatal-gatal dan sesak nafas), sedang pada pohon pinus banyak dijumpai berupa bekas luka sadap yang menjadi kering dan terlihat “gosong” dan dalam jangka waktu yang lama bekas sadap pada bagian dalamnya menjadi rapuh atau lembek sehingga diduga tidak dapat menopang kokoh batang pohon akibatnya pohon mudah roboh bila terkena angin kencang. Keadaan ini semakin terlihat nyata manakala penggunaan stimulansia an-organik di lapangan tidak sesuai lagi dengan aturan Perum Perhutani yang sudah diberlakukan. Penggunaan stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat tersebut menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara (Santosa 2011).

Penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat tersebut kemudian dievaluasi dan mulai dikembangkan stimulansia yang lebih aman dan ramah lingkungan. Salah satu stimulansia yang sudah dikenal dan sudah digunakan meskipun masih bersifat lokal adalah stimulansia ETRAT yang berbahan dasar etilen (C2H4). Bagi penyadap pinus stimulansia ETRAT ini dapat meningkatkan

produksi getah dan juga aman digunakan baik untuk kesehatan penyadap maupun pohon yang disadap. Penyadap pinus yang sudah menggunakan stimulansia ETRAT lebih memilih tetap menggunakan stimulansia tersebut dibandingkan stimulansia an-organik karena dampak positif yang ditimbulkan. Bagi Perum Perhutani sebagai penyedia stimulansia, belum merasa yakin akan penggunaan stimulansia ETRAT secara menyeluruh di areal Perum Perhutani. Hal ini disebabkan karena pertimbangan harga pengadaan stimulansia ETRAT dirasa lebih mahal dibandingkan stimulansia an-organik sementara efek jangka panjang sehubungan dengan kemampuan pohon pinus pasca sadap untuk melakukan recovery belum dapat diyakini benar karena belum ada hasil penelitian mengenai hal tersebut. Penggunaan stimulansia ETRAT dapat meningkatkan produksi getah pinus lebih tinggi dan aman untuk kesehatan penyadap dan pohon yang disadap.

(29)

7

stimulansia cuka kayu tersebut mudah dibuat/diproduksi sendiri, murah, aman digunakan, ramah lingkungan dan mempunyai nilai tambah karena memanfaatkan limbah. Potensi stimulansia cuka kayu yang demikian, diharapkan dapat digunakan dalam penyadapan pinus di Perum Perhutani namun seperti halnya stimulansia ETRAT, stimulansia cuka kayu juga perlu dilihat bagaimana proses atau tahapan pengadopsian inovasi stimulansia cuka kayu tersebut.

Stimulansia organik yang lebih ramah lingkungan seperti ETRAT dan cuka kayu telah tersedia, namun penggunaan stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat masih tetap dipergunakan untuk kegiatan penyadapan pinus di areal Perum Perhutani. Perum Perhutani sebagai pengelola hutan pinus mempunyai pertimbangan dan kepentingan sendiri terhadap pilihan penggunaan stimulansia an-organik, sementara itu masyarakat penyadap pinus sangat membutuhkan stimulansia yang aman dan ramah lingkungan. Inovasi stimulansia yang aman dan ramah lingkungan belum dapat diterima penggunaannya di Perum Perhutani menggantikan inovasi stimulan yang lama.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka dirumuskan beberapa pertanyaan kajian sebagai berikut:

1. Bagaimana inovasi stimulansia organik dalam penyadapan pinus dapat meningkatkan produksi getah dan pengaruh penggunaan stimulansia terhadap struktur anatomi kayu pinus yang disadap?

2. Bagaimana proses adopsi inovasi stimulansia dalam penyadapan getah pinus yang terjadi di Perum Perhutani?

3. Bagaimana peran pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia dalam penyadapan pinus di Perum Perhutani?

4. Bagaimana formulasi strategi kebijakan adopsi inovasi stimulansia ramah lingkungan yang direkomendasikan kepada Perum Perhutani dalam rangka menjamin kelestarian pengelolaan hutan pinus?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi penggunaan stimulania an-organik dan organik dalam penyadapan pinus di Perum Perhutani dan pengaruh penggunaan stimulansia terhadap struktur anatomi kayu pinus yang disadap.

2. Mengidentifikasi proses adopsi inovasi stimulansia dalam penyadapan getah pinus yang terjadi di Perum Perhutani.

3. Mengidentifikasi peran pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia.

(30)

8

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk Perum Perhutani dalam mengambil kebijakan untuk mengadopsi suatu inovasi. Selain itu juga dapat digunakan untuk menambah informasi dan bahan acuan literatur bagi peneliti, penyuluh ataupun kalangan perguruan tinggi.

Kerangka pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1 dan identifikasi masalah didekati dengan menyusun pohon masalah yang disajikan pada Gambar 2. Permintaan getah pinus yang semakin meningkat mendorong peningkatan produksi getah pinus. Salah satu upaya peningkatan produksi getah pinus dilakukan dengan introduksi stimulansia atau zat perangsang dalam kegiatan penyadapan pinus. Stimulansia atau zat perangsang merupakan cairan tertentu yang diberikan pada luka sadap pinus yang berguna untuk lebih memperlancar keluarnya getah dari dalam batang pinus sehingga getah yang dikumpulkan menjadi lebih banyak. Hampir seluruh areal Perum Perhutani hingga saat ini menggunakan stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat sebagai stimulansia dalam penyadapan pinus namun dengan komposisi pemberian stimulansia yang berbeda-beda berdasarkan ketinggian tempatnya. Selain dapat mencukupi kebutuhan industri dalam negeri dan untuk kepentingan ekspor, peningkatan produksi getah pinus juga berimbas pada peningkatan pendapatan yang diperoleh penyadap. Orientasi yang hanya mengejar pencapaian target produksi getah dikhawatirkan terjadi eksploitasi secara berlebihan (aspek ekonomi).

Penggunaan stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat dapat mengganggu kesehatan, yaitu timbulnya gatal-gatal jika terkena kulit dan sesak nafas bila terhirup. Pada keadaan tersebut masyarakat penyadap dihadapkan pada pilihan jenis pekerjaan lain yang lebih aman dan menguntungkan. Jika hal tersebut terjadi, tidak menutup kemungkinan pekerjaan sebagai penyadap pinus ditinggalkan masyarakat sekitar hutan. Bagi Perum Perhutani akan mengalami kesulitan mendapatkan penyadap dan secara aspek sosial akan mengecilkan peran pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

(31)

9

mudah roboh bila terkena angin kencang. Secara ekologis terhadap gangguan lingkungan, penggunaan stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat H2SO4

tersebut menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara karena termasuk bahan berbahaya atau B3 (Santosa 2011).

teknis (produksi dan kandungan getah)

gangguan lingkungan

struktur anatomi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Peningkatan produksi getah

pinus

Kebijakan perusahaan untuk mengadopsi stimulansia ramah

lingkungan Proses pengambilan

keputusan ? Penggunaan

stimulansia (an-organik, ETRAT,

Cuka kayu)

Strategi Kebijakan Pengelolaan hutan pinus yang lestari

Peran pemangku kepentingan Analisis stakeholder

Analisis SWOT

= alur pikir = analisis

(32)

10

Ironisnya hingga saat ini penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat masih banyak digunakan oleh penyadap pinus di areal Perum Perhutani, sementara itu stimulansia ETRAT yang lebih ramah lingkungan penggunaannya belum luas atau hanya di lokasi-lokasi tertentu saja. Petani penyadap sebagai pengguna sudah paham dampak negatif dan positif yang ditimbulkan oleh kedua stimulansia tersebut. Jika dihadapakan pada pilihan, sebagaian besar petani penyadap memilih menggunakan stimulansia yang berbahan dasar ramah lingkungan seperti ETRAT. Penggunaan stimulansia ETRAT yang lebih ramah lingkungan belum dapat sepenuhnya menggantikan penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat yang lebih berbahaya.

Pengembangan stimulansia ramah lingkungan berbahan dasar cuka kayu dilakukan untuk mendukung pencapaian kelestarian pengelolaan hutan pinus. Cuka kayu diperoleh dari limbah bahan yang berlignoselulosa yang mengalami karbonisasi sehingga asap yang keluar akibat proses tersebut dapat dikondensasikan sehingga menjadi bentuk cair. Komponen utama cuka kayu berupa asam asetat (CH3COOH) yang termasuk dalam kelompok asam lemah.

Asam asetat sendiri merupakan senyawa yang biasa digunakan sebagai bahan

Hutan pinus menjadi rusak dan masyarakat sekitar hutan kehilangan pendapatan

Kelestarian hasil hutan dan penghasil getah pinus tidak terjamin karena penggunaan stimulansia yang tidak ramah lingkungan

EKOLOGI

(33)

11

pengawet makanan (menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin berkembang dalam makanan) dan bekerja sebagai pelarut lipid sehingga dapat merusak membran sel (Darmadji 2009, Pari dan Nurhayati 2009). Sifat cuka kayu yang asam inilah yang dimanfaatkan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Berdasarkan pertimbangan manfaatnya, maka cuka kayu dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan stimulansia ramah lingkungan dalam penyadapan pinus.

Proses pengambilan keputusan dalam adopsi inovasi stimulansia pada penyadapan getah pinus mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi. Pertimbangan ekonomi berhubungan dengan pendapatan finansial yang diperoleh baik oleh masyarakat penyadap maupun Perum Perhutani sedangkan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat penyadap. Pertimbangan lingkungan berhubungan dengan pemakaian stimulansia yang aman baik untuk penyadapanya, pohon yang disadap dan juga lingkungan sekitar, sedangkan aspek teknologi berhubungan dengan teknologi inovatif yang mudah dan diterapkan dan ekonomis. Proses pengambilan keputusan adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh aktor atau stakeholder kunci. Stakeholder di sini adalah semua pihak yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dalam sebuah sistem. Dengan demikian stakeholder dalam penelitian ini adalah Perum Perhutani sebagai pengelola hutan pinus, petani penyadap sebagai pekerja di lapangan dan pihak-pihak lain di luar Perum Perhutani, seperti para akademisi dan peneliti. Stakeholder mempunyai pengaruh dan kepentingan yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu mengetahui intensitas stakeholder dalam pembuatan keputusan adopsi inovasi stimulansia di Perum Perhutani dengan melakukan analisis stakeholder dari aspek pengaruh dan kepentingannya menurut Reed et al. (2009), Crosby (1991) dan Dubois (1998) .

Introduksi stimulansia yang ramah lingkungan ditawarkan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh stimulansia an-organik yang sekarang ini masih digunakan di Perum Perhutani. Adopsi penggunaan stimulansia ramah lingkungan seperti ETRAT dan cuka kayu masih terkendala beberapa faktor, sehingga dirasa perlu untuk mengidentifikasi tahap-tahap adopsi inovasi stimulansia ramah lingkungan dan faktor-faktor intern dan ekstern yang mempengaruhinya dengan analisis adopsi inovasi sesuai Roger (2003).

(34)

12

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tentang Formulasi Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansi Ramah Lingkungan dalam Produksi Getah Pinus Penyadapan Pinus dilakukan dengan ruang lingkup penelitian sebagai berikut:

1. Inovasi Stimulansia Dalam Penyadapan Pinus; Penelitian ini termasuk dalam kajian teknis dan dilakukan dengan ujicoba langsung penggunaan stimulansia cuka kayu dalam penyadapan pinus di areal Perum Perhutani. Stimulansia yang sudah digunakan di Perum Perhutani yaitu stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat (H2SO4) dan ETRAT (organik) juga diujicobakan

di lapangan, demikian juga dengan yang tanpa stimulansia sebagai kontrol. Kajian teknis yang dilakukan berupa produksi getah dan kandungan getah yang dihasilkan serta struktur anatomi kayu yang dipengaruhi oleh penggunaan stimulansia an-organik dan organik.

2. Adopsi Inovasi Stimulansia Dalam Kegiatan Penyadapan Pinus di Perum Perhutani; Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi proses adopsi inovasi, persepsi terhadap inovasi dan proses tahapan adopsi inovasi stimulansia yang terjadi di Perum Perhutani.

3. Peranan Pemangku Kepentingan Dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi Stimulansia; Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan peranannya baik sebagai pihak kunci, pihak utama atau sebagai pihak pendukung serta kepentingannya. Berdasarkan identifikasi itu para pemangku kepentingan dikelompokkan menjadi key player, context setter, crowd atau pun subject. Hubungan antar pemangku kepentingan juga diidentifikasi untuk mengetahui kualitas hubungan tersebut.

4. Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansia Ramah Lingkungan; Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis keadaan yaitu dengan cara menemukan suatu strategi yang sesuai antara peluang-peluang eksternal dan kekuatan-kekuatan internal serta bekerja dalam lingkungan ancaman-ancaman eksternal dan kelemahan-kelemahan internal.

Novelty

(35)

13

(36)

14

2 INOVASI STIMULANSIA RAMAH LINGKUNGAN DALAM PENYADAPAN PINUS

Pendahuluan

Perum Perhutani sebagai salah satu penghasil getah pinus terbesar di Indonesia mampu mengekspor 80% produksinya ke mancanegara, yaitu Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan Amerika (Perum Perhutani 2010). Untuk memenuhi kebutuhan getah pinus, Perum Perhutani berusaha meningkatkan produksi getah pinus sebagai bahan baku industri. Kisaran produksi per tahun sebesar 90.000 per ton akan dinaikkan menjadi 121.000 ton per tahun (Bina 2012) sehingga dapat memenuhi kebutuhan bahan baku getah pinus delapan Pabrik Gondorukem Terpentin (PGT) dan satu pabrik derivat PPCI.

Potensi hutan pinus yang dikelola Perum Perhutani seluas 876.992,66 ha atau sebesar 36% dari luas hutan yang dikelola Perum Perhutani di Jawa yaitu 2,4 juta hektar (Bina 2014a, Bina 2014b) dirasa kurang dapat mendukung pasokan bahan baku getah pinus. Penambahan populasi pohon pinus per hektar tengah diupayakan melalui sistem penanaman dengan jarak tanam didekatkan sehingga jika selama ini jumlah pohon sekitar 350 pohon per ha menjadi sekitar 900 pohon per ha. Selain itu Perum Perhutani memberlakukan peraturan baru tentang penebangan pohon pinus, yaitu penebangan pohon pinus diperbolehkan saat pohon tersebut melebihi umur 50 tahun, menggantikan peraturan sebelumnya yaitu umur tebang 35 tahun.

Upaya peningkatan produksi getah secara teknis di lapangan dilakukan dengan penggunaan stimulansia dalam kegiatan penyadapan pinus. Stimulansia merupakan bahan yang bersifat asam yang dapat menghasilkan suatu reaksi atau perubahan keadaan atau perubahan proses yang bersifat rangsangan, sehingga stimulansia dikenal juga sebagai zat perangsang. Pengaruh penambahan suatu substansi asam diharapkan dapat mengurangi pembekuan atau pengeringan getah yang keluar dalam penyadapan pinus (Rodrigues at al. 2007; Rodrigues dan Neto 2009; Rodrigues at al. 2011; Sharma dan Lekha 2013). Penggunaan stimulansia diharapkan produksi getah yang diperoleh per pengunduhan dapat lebih banyak.

Penggunaan stimulansia dalam penyadapan getah pinus sudah dilakukan sejak tahun 1933 di Jerman dan Rusia dan diikuti Amerika pada tahun 1936. Penggunaan stimulansia ini kemudian juga diadopsi di Indonesia. Bahan kimia yang dianjurkan digunakan pada awalnya adalah asam sulfat dengan konsentrasi cukup tinggi hingga 40% atau 60% (Sutjipto 1975). Sampai saat ini stimulansia asam sulfat dalam penyadapan getah pinus masih digunakan di wilayah Perum Perhutani namun dalam konsentrasi yang lebih rendah. Dalam penelitian ini stimulansia berbahan dasar asam sulfat disebut sebagai stimulansia an-organik.

(37)

15

stimulansia an-organik pada penyadapan getah pinus dengan komposisi antara 20%–24% yang dicampur dengan HNO3 (0–1%) dan HCl (0,5–1%) pada

ketinggian tempat tumbuh yang berbeda (< 500 m dpl dan > 500 m dpl) menunjukkan kenaikkan hasil produksi getah sebesar 56–111% lebih tinggi dibanding kontrol. Sudradjat et al. (2002) menyimpulkan bahwa bahan stimulansia yang hingga sekarang digunakan dalam penyadapan pinus banyak macamnya, tetapi komponen utamanya adalah asam sulfat dan asam nitrat atau campuran keduanya.

Penggunaan stimulansia an-organik ternyata menimbulkan efek negatif terhadap penyadap, pohon yang disadap dan lingkungannya. Asam kuat yang terkandung dalam stimulansia an-organik termasuk oksidator kuat dan dapat merusak kulit manusia, kayu dan lingkungan (LIPI 2004). Oleh karena itu penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat kemudian dievaluasi dan mulai dikembangkan stimulansia yang lebih aman dan ramah lingkungan. Stimulansia yang digunakan berbahan dasar organik, yaitu ETRAT. Stimulansia ETRAT ini merupakan stimulansia yang dibuat dari campuran zat etilen dan asam sitrat. Zat etelin (C2H4) dapat dimanfaatkan juga untuk menstimulan atau merangsang

eksudasi getah (Moore 1979, Wattimena 1988, Dewi 2008). Menurut Santosa (2011), pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan mengaktifkan etelin di dalam tanaman (ethylen endogen) dan adanya stress (pembuatan luka sadapan). ETRAT tersebut berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi getah dan memperlancar keluarnya getah. ETRAT sendiri berbahan dasar etilen dan ditambahi asam sitrat dalam komposisi tertentu.

Etelin dimanfaatkan sebagai stimulan dalam penyadapan getah atau lateks dalam usaha perkebunan karet (Sumarmadji 2002). Stimulan tersebut berupa etefon dengan merk dagang Ethrel atau Chepa. Senyawa tersebut bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethelyne. Pemberian stimulan etefon dalam penyadapan lateks memberikan dampak berkurangnya masa ekploitasi karet, persentase Kering Alur Sadap (KAS) yang tinggi, terhambatnya perkembangan lilit batang dan produktivitas tanaman semakin menurun (Tistama dan Siregar 2005). Penggunaan stimulansia berbahan dasar etilen perlu juga dikaji lebih dalam pengaruh penggunannnya terhadap sifat fisik dan morfologi tanaman yang terpapar.

(38)

16

seperti misalnya penggunaan stimulansia an-organik pada kegiatan penyadapan lanjutan dan pada ketinggian tempat di atas 500 mdp sedang pada ketinggian tempat di bawah 500 mdpl dan pada sadapan pertama digunakan stimulansia ETRAT. Selain stimulansia an-organik dan ETRAT, di beberapa daerah di areal Perhutani Unit II Jawa Timur ada yang menggunakan stimulansia BIOCAS.

Inovasi stimulansia yang ramah lingkungan dan aman digunakan terus dikembangkan untuk mendukung pencapaian kelestarian pengelolaan hutan pinus. Penggunaan stimulansia yang aman dan ramah lingkungan juga dapat meningkatkan produksi getah pinus seperti halnya stimulansia an-organik (Matangaran et.al 2012; Sukadaryati dan Dulsalam 2013). Salah satu jenis stimulansia yang dikembangkan berbahan dasar cuka kayu. Cuka kayu diperoleh dari limbah bahan yang berlignoselulosa yang mengalami karbonisasi sedemikian rupa sehingga asap yang keluar akibat proses tersebut dapat dikondensasikan sehingga menjadi bentuk cair. Tiga komponen utama yang terdapat dalam asap cair yang berasal dari kayu adalah asam asetat, fenol dan alkohol. Disebut juga cuka kayu karena komponen utamanya berupa asam asetat (CH3COOH), yaitu

kurang lebih 50%. Asam asetat termasuk dalam kelompok asam lemah. Asam asetat sendiri merupakan senyawa yang biasa digunakan sebagai bahan pengawet makanan (menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin berkembang dalam makanan) dan bekerja sebagai pelarut lipid sehingga dapat merusak membran sel (Darmadji 2009, Pari dan Nurhayati 2009; Wijaya 2010). Alkohol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai denaturasi protein dan pelarut lipid sehingga juga dapat merusak membran sel, sedangkan fenol adalah senyawa yang berfungsi sebagai desinfektan, denaturasi protein dan dapat menghambat aktivitas enzim (Darmadji 2009; Pari dan Nurhayati 2009; Wijaya 2010). Sifat cuka kayu yang asam inilah yang berguna untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Berdasarkan pernyataan di atas, penggunaan cuka kayu sebagai bahan stimulansia mempunyai peluang yang bagus untuk dikembangkan. Kelebihan stimulansia cuka kayu mudah dibuat/diproduksi, murah, aman digunakan dan ramah lingkungan karena mengandung asam lemah (asam asetat, CH3COOH)

serta mempunyai nilai tambah karena memanfaatkan limbah. Pada penelitian ini cuka kayu yang digunakan berasal dari limbah pohon pinus yang dianggap tidak bernilai ekonomi tinggi seperti bagian ranting, dahan, sisa batang yang tumbang, dan lain-lainnya. Limbah pinus cukup tersedia di lapangan dengan potensi yang cukup besar yang berasal dari sisa-sisa tebangan penjarangan ataupun tebangan karena pohon roboh.

(39)

17

di lapangan terhadap peningkatan produksi getah dan analisis struktur anatomi kayu dan komposisi getah pinus dilakukan di laboratorium.

Metode penelitian Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pohon pinus (Pinus merkusii Jung.et de Vriese) strain Aceh siap sadap, cuka kayu, asam palmitat, aquades, stimulansia an-organik dan ETRAT yang diperoleh dari lokasi penelitian. Tegakan pinus yang digunakan termasuk dalam KU III. Alat yang digunakan berupa alat sadap (kedukul/pethel), sprayer, paku, palu, gelas plastik untuk menampung getah, plastik, alat ukur diameter pohon dan alat tulis menulis.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ujicoba stimulansia an-organik, ETRAT dan stimulansia berbahan dasar cuka kayu dilakukan di hutan tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) milik Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, yaitu di BKPH Majenang, KPH Banyumas Barat. Areal yang digunakan untuk ujicoba dibedakan dalam 2 ketinggian, yaitu petak 28L di RPH Cimanggu yang mewakili ketinggian rendah (≤ 500 mdpl) dan petak 6F di RPH Majenang yang mewakili ketinggian tinggi (> 500 mdpl). Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober–Desember 2013.

Kondisi Lokasi Penelitian

Areal BKPH Majenang, KPH Banyumas Barat yang digunakan untuk ujicoba penggunaan stimulansia an-organik, ETRAT dan cuka kayu di petak 28L di RPH Cimanggu untuk daerah yang mewakili ketinggian rendah (300 m dpl) dan petak 6F di RPH Majenang untuk daerah yang mewakili ketinggian tempat tinggi (700 m dpl).

Tegakan pinus di petak 28L mempunyai pertumbuhan cukup baik, daun menghijau dan keliling batang berkisar antara 42–90 cm. Tegakan pinus di areal tersebut sudah disadap 2–3 koakan dalam satu batang dengan tinggi koakan mencapai ± 1 m dan tanpa diberi stimulan. Tegakan pinus di petak 28L ditanam pada tahun 1999 (termasuk KU III) dengan luas areal 12 ha dan jumlah pohon sebanyak 4282 pohon. Petak 28L terletak di desa Cilempuyang, kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap.

Kondisi tegakan pinus di petak 6F juga cukup baik dengan kisaran keliling batang antara 50–102 cm. Batang pinus yang disadap antara 3–4 koakan per batang dengan tinggi koakan mencapai ± 1 m dan diberi stimulan an-organik berbahan dasar asam kuat H2SO4 sejak penyadapan. Pada tahun 2010 penyadap

(40)

18

17.559 pohon. Letak petak 6F di desa Pangadegan, kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap.

Pemilihan pohon pinus sebagai pohon contoh

Pemilihan pohon pinus yang digunakan untuk pohon contoh (sample tree) bertujuan untuk mendapatkan pohon contoh yang dapat mewakili tegakan pinus dalam satu areal. Pohon pinus yang dipilih tidak tumbuh di tepi areal/border, tetapi yang tumbuh di baris kedua dan seterusnya. Pohon pinus yang digunakan sebagai pohon contoh dalam penelitian ini merupakan pohon pinus sadap lanjut dan termasuk dalam KU III dan diambil pada 2 tinggi tempat yang berbeda, yaitu ketinggian tempat rendah (T1) dan ketinggian tinggi (T2). Pengukuran keliling batang pohon dilakukan sebanyak 10% dari jumlah seluruh pohon pinus yang ada di petak penelitian. Pengukuran keliling ini dimaksudkan untuk menentukan kisaran diameter batang yang dipilih sebagai pohon contoh sedemikian rupa sehingga keliling batang pohonnya relatif sama. Keliling pohon pinus yang digunakan sebagai pohon contoh berkisar antara 52–90 cm dengan rata-rata 62,5 cm.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan melakukan ujicoba penggunaan stimulansia berbahan dasar cuka kayu dalam kegiatan penyadapan pinus di petak 28L (99 mdpl), 23G (300 mdpl) dan 29F (500 mdpl), RPH Cimanggu, BKPH Majenang, KPH Banyumas Barat. Komposisi stimulansia cuka kayu yang digunakan 100% (cuka kayu murni tanpa pengenceran), 75% (cuka kayu diencerkan menjadi 75%), 50% (cuka kayu diencerkan menjadi 50%) dan 25% (cuka kayu diencerkan menjadi 25%). Cairan cuka kayu diperoleh dari pembakaran batang pinus sisa penjarangan selama 25–30 jam dengan lama pendinginan 6 jam. Kadar air batang pinus bervariasi dari 21,65–46,83%, rendemen cuka kayu berdasarkan berat kering bahan berkisar antara 35,66– 62,84%. Penggunaan stimulansia cuka kayu dapat meningkatkan getah pinus sebesar 26%–39%.

Rancangan Penelitian

(41)

19

ETRAT dan an-organik yang digunakan sesuai dengan yang biasa digunakan di lapangan.

Hasil getah pinus

Getah pinus diperoleh dari kegiatan penyadapan yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat. Cara penyadapan pinus yang biasa dilakukan di areal Perum Perhutani adalah secara kedukul, yaitu menggunakan alat sadap yang disebut kedukul atau pethel.

Penyadapan pinus dengan cara kedukul :

a. Batang pohon dilukai dengan alat kedukul dengan ukuran perlukaan lebar ± 6 cm, tinggi koakan ± 30 cm dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentuh kayu bagian dalam.

b. Perlukaan dilakukan pada batang pohon yang terkena sinar matahari.

c. Stimulansia cuka kayu masing-masing komposisi diberikan setelah selesai perlukaan pada bidang sadap sebanyak ± 1 cc.

d. Dilakukan pembaharuan perlukaan dan pengulangan pemberian stimulansia setiap 3 hari sekali selama masa peludangan.

e. Getah yang keluar dialirkan melalui talang kecil dan ditampung di tempat penampungan berupa gelas plastik yang ditutup platik untuk mngurangi kotoran dan air yang masuk bercampur dengan getah.

f. Penimbangan getah dilakukan diakhir peludangan (istilah untuk kegiatan pengumulan hasil getah pinus) yaitu setiap 15 hari=1 periode. Dalam penelitian ini dilakukan penimbangan sebanyak 4 periode peludangan. Getah hasil penimbangan dinyatakan dalam satuan gr/quare/pengunduhan yang artinya gram getah yang diperoleh per perlukaan (ada 1 perlukaan dalam 1 batang) per pengunduhan.

g. Periode peludangan dilakukan selama 3 bulan selama Oktober–Desember 2013.

Analisis data

Data hasil getah pinus berdasarkan perlakuan pemberian jenis stimulansia dan ketinggian tempat dianalisis dengan menggunakan rancangan faktorial 4 x 2 x10 dimana faktor yang diamati adalah 4 jenis stimulansia (cuka kayu, an-organik, ETRAT dan tanpa stimulansia/kontrol) dan 2 ketinggian tempat, yaitu T1=ketinggian rendah dan T2=ketinggian tinggi. Dengan demikian diperlukan jumlah contoh uji sebanyak 4 x 2 x 10 = 80 pohon. Data yang diperoleh kemudian dianalisis sidik ragamnya. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf α = 0,05 maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji LSD untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan (Steel dan Torrie 1991). Persamaan rancangan adalah sebagai berikut:

(42)

20

dimana:

Yikjl = Respon berat getah tehadap faktor komposisi stimulansia dan ketinggian tempat

μ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh faktor komposisi stimulansia ke-i (i = 1,2,3) βj = Pengaruh faktor ketinggian tempat ke-j (j = 1,2) βk = Pengaruh blok ke-k (k= 1, 2, 3, 4)

k = ulangan

Pengamatan struktur anatomi kayu Pengambilan contoh batang

Contoh uji batang yang digunakan untuk pengamatan struktur anatomi kayu diambil dari batang pohon bekas luka sadap kedukul yang sudah terpapar beberapa tahun oleh stimulansia an-organik atau organik yaitu ETRAT. Pembuatan preparat dilakukan secara mikroskopis dan pengambilan contoh uji dialkukan sesuai Gambar 3.

Semua contoh uji batang untuk pengamatan dan pengukuran saluran getah dalam penelitian ini diambil dari BKPH Trenggalek, KPH Kediri. Pengambilan contoh uji yang diambil dari lokasi tersebut dengan pertimbangan ketersediaan bahan di lapangan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Contoh uji batang bekas luka sadap dan diberi stimulansia an-organik diambil dari petak 33, RPH Bendungan, BKPH Trenggalek. Pohon tersebut ditanam pada tahun 1972 dan roboh akibat terpaan angin pada tahun 2012. Luka sadap yang ditinggalkan sudah terpapar stimulan an-organik selama ±15 tahun. Contoh uji batang bekas luka sadap yang terpapar stimulansia ETRAT diambil dari petak 132B, RPH Kampak, BKPH Trenggalek. Pohon yang digunakan untuk contoh uji bekas luka sadap ETRAT ditanam pada tahun 1988 dan sudah terpapar ETRAT selama kurang lebih 2 tahun.

Contoh uji batang bekas sadapan seperti tersebut di atas berbentuk disk ± 15 cm dan pengambilannya dari batang pohon seperti pada Gambar 3.

(43)

21

Pengamatan makroskopis

Pengamatan makroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop cahaya terhadap contoh uji batang pinus. Pengamatan difokuskan pada perubahan warna kayu akibat penggunaan stimulansia an-organik dan organik.

Pengamatan mikroskopis

Guna keperluan pembuatan preparat mikrotom, contoh kulit terlebih dahulu diinfiltrasikan dengan Poly Ethylen Glicol (PEG) 2000 sebelum disayat. Infiltrasi dilakukan menurut petunjuk Richter dan Wijk (1990) dalam Mandang (2004) sebagai berikut:

a) Contoh uji berukuran 1x1x1 cm dimasukkan ke dalam wadah gelas yang berisi larutan 20% PEG 2000 dalam alkohol teknis.

b) Wadah gelas dan isinya kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 60ºC sampai semua alkohol menguap (5-6 hari).

c) Selanjutnya wadah dan contoh kulit didinginkan di udara terbuka hingga PEG membeku.

d) Contoh uji selanjutnya dibersihkan dari PEG lalu dimasukkan ke dalam cetakan. Ke dalam cetakan ditambahkan PEG 2000 cair sampai contoh terbenam. Cetakan dan isinya dimasukkan ke lemari es hingga beku.

e) Setelah PEG membeku, contoh kulit siap disayat dengan mikrotom. Agar hasil sayatan tidak sobek atau hancur, permukaan contoh dilapisi dengan pita perekat.

f) Sayatan kemudian direndam dalam larutan safranin selama 2-4 hari

g) Sayatan didehidrasi bertingkat dengan alkohol, kemudian dengan karboxylol dan terakhir dengan toluen.

h) Sayatan dipindahkan ke atas gelas objek dan siap untuk diamati. Pengamatan sebaran saluran getah dilakukan pada bidang lintang, sedangkan pengamatan arah orientasi saluran getahnya dilakukan pada bidang tangensial. Hasil pengamatan didokumentasi.

Pengamatan dan pengukuran terhadap saluran resin dilakukan dibawah mikroskop Axio Imager Alm zeis dengan pembesaran 2,5–20 kali. Setelah pengukuran, dilakukan pengambilan gambar dengan menggunakan kamera yang terintegrasi dengan mikroskop. Pengukuran sudut penebalan spiral dilakukan dengan bantuan software scion image dengan 50 kali ulangan.

Komponen Kimia Getah Pinus

(44)

22

berisi komponen kimia dan persentase relatif masing-masing komponen kimia yang muncul, Analisis komponen kimia getah pinus dilakukan di Laboratorium Terpadu milik Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pemanenan Hasil Hutan.

Hasil dan Pembahasan Hasil Getah Pinus

Getah hasil sadapan pinus yang diperoleh setelah diberi perlakuan jenis stimulansia, yaitu cuka kayu, an-organik dan ETRAT, dimana masing-masing dilakukan pada kedua ketinggian tempat yang berbeda, yaitu T1 (ketinggian tempat rendah) dan T2 (ketinggian tempat tinggi) disajikan pada Tabel 1. Penimbangan hasil getah dilakukan selama 4 periode peludangan (pengumpulan getah) selama bulan Oktober sampai dengan Desember. Waktu yang diperlukan untuk masing-masing periode peludangan selama 15 hari sehingga untuk 4 periode peludangan dibutuhkan total waktu peludangan selama 60 hari.

Tabel 1 Getah pinus yang dihasilkan oleh perlakuan stimulansia, ketinggian tempat dan periode pengunduhan (gr/quare/peludangan)

Tinggi

I 34,7 121,6 71,4 44,5 59,17 II 85,8 131 109,6 45,7 80,37 III 29,8 45,6 42 16,5 33,48 IV 25,5 55,2 29,4 21,9 33 Rata-rata 1 43,95 88,35 63,10 32,15 56,89 Peningkatan 1 (%) 15,52 46,64 32,49 -

-T2

I 38,3 155,4 57,4 31,6 70,68 II 78,9 165,6 100,2 56,4 100,28 III 59,5 75,4 40,2 33,9 52,25 IV 43,7 86,4 35,6 25,7 47,85 Rata-rata 2 55,10 120,7 58,35 36,90 67,76 Peningkatan 2 (%) 19,78 53,17 22,52

-Rata-rata 1 & 2 49,53 70,76 60,73 34,53 60,34 Peningkatan1 & 2 (%) 14,61 31,45 24,40 - -Keterangan : jumlah sample 80 pohon dan waktu peludangan 4 periode = 46 hari

(45)

23

gram/quare/pengunduhan atau dapat meningkatkan produksi getah masing-masing sebesar 15,51%; 46,64% dan 32,49% per pengunduhan. Peningkatan produksi getah per pengunduhan paling besar dihasilkan jika menggunakan stimulansia an-organik per pengunduhan. Demikian juga dengan produksi getah pinus yang diperoleh pada ketinggian tinggi (T2), dipengaruhi oleh jenis stimulansia yang digunakan. Rata-rata produksi getah yang diperoleh dengan menggunakan stimulanisa cuka kayu, an-organik dan ETRAT pada ketinggian tempat tinggi masing-masing sebesar 55,10; 120 dan 58,35 gram/quare/pengunduhan atau dapat meningkatkan produksi getah per pengunduhan masing-maisng sebesar 19,78%; 53,17% dan 22,52% terhadap kontrol. Pada ketinggian tempat tinggi, penggunaan stimulansia an-organik dapat meningkatkan produksi getah pinus paling tinggi per pengunduhannya.

(46)

24 berpengaruh pada produksi getah yang diperoleh. Luka sadap yang diperbaharui secara teratur lebih banyak menghasilkan getah daripada yang tidak diperbaharui. Kegiatan memperbaharui luka sadap oleh penyadap pada musim penghujan menjadi kendala dibandingkan musim kemarau karena kondisi lapangan yang kurang mendukung, seperti resiko pohon tumbang akibat angin atau petir, jalan licin dan gangguan kesehatan (pilek, flu atau batuk). Mereka juga dihadapkan pada pilihan pekerjaan lainnya yaitu menanam tanaman pertanian. Dalam penelitian ini keadaan yang demikian dihindari dan penelitian dikondisikan sedimikian rupa sehingga kegiatan pembaharuan luka sadap tetap dilakukan teratur selama proses kegiatan ujicoba.

Hasil getah yang diperoleh pada masing-masing perlakuan sesuai Tabel 1 kemudian dianalisis untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perlakuan jenis stimulansia dan ketinggian tempat maupun interaksinya terhadap getah pinus yang dihasilkan. Hasil analisis varian pengaruh masing-masing perlakuan terhadap produksi getah yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.

34.70

periode I periode II periode III periode IV

g

periode I periode II periode III periode IV

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2  Pohon Masalah
Tabel 3  Hasil uji LSD pengaruh perlakuan terhadap produksi getah pinus
Gambar 6  Warna kayu tidak terpapar stimulansia an-organik  (a) dan warna kayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Hal ini dapat diinformasikan bahwa kegiatan penyadapan getah pinus di BKPH Lengkong lebih banyak dijadikan sebagai sumber pendapatan utama dan dengan

Tesis dengan Judul Implementasi Kebijakan Perhutani Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Di Wilayah Perum Perhutani

Formulasi kebijakan pidana denda dan uang pengganti dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di indonesia dilihat dari dua sisi, yaitu ; Pertama , sisi peraturan perundang

Nilai NPMxi/Pxi faktor produksi pestisida cair kurang dari satu yang berarti bahwa penggunaan pestisida cair pada usahatani kedelai di Kabupaten Sukoharjo tidak efisien secara

Namun, dunia fangirling K-Pop di twitter tempat kedua informan menunjukkan sisi lain diri mereka menunjukkan bahwa medium tersebut adalah tempat yang dirasa aman dan nyaman bagi kedua

20 Kurang optimalnya edukasi terhadap petani dalam hal penggunaan pupuk organik di Kecamatan Bener tahun 2022 Manpower Method Material PPL kurang memberikan pendampingan