PENGARUH DOSIS DAN LAMA WAKTU PERENDAMAN LARVA
UDANG WINDU
(Penaeus monodon
Fab.) PADA STADIA NAUPLIUS
DALAM LARUTAN HORMON 17p-ESTRADIOL TERHADAP
NISBAH KELAMIN DAN PERTUMBUHANNYA
OLEH :
SUTAMAN
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTAMAN BOGOR
PENGARUH DOSIS DAN LAMA WAKTU PERENDAMAN LARVA
UDANG WINDU
(Penaeus monodon
Fab.) PADA STADIA NAUPLIUS
DALAM LARUTAN HORMON 17p-ESTRADIOL TERHADAP
NISBAH KELAMLN DAN PERTUMBUHANNYA
SUTAMAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magistcr
Sains
pada
Program Studi Ilmu Perairan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 4 Maret 1962 sebagai anak kedua
dari pasangan Bapak Kape bin Kanduny (alm) dengan lbu Rapiah binti Tarnya. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1997, penulis ditr:rima di Program Studi Ilmu Perairan pada Program Pascasarjana IPB dengan biaya dari Universitas Pancasakti Tegal dan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) tahun 1998.
Penulis bekerja sebagai staf penyajar di Fakultas Pcrikanan Universitas Pancasakti Tegal sejak tahun 1989 hingga sekarang. Pekerjaan lain yang pernah
penulis lakukan adalah sebagai Manager Produksi pada Proyek Tambak Udang
Windu milik PT. Maya Inc. cabailg Sumbawa
-
NTB tahun 1987 hingga 1989.Konsultan pembenihan udang
milik
PT. Bayumas Utan Windu Teyal tahun 1990-
1994 dan staf ahli PT. Cahaya Windu Cikampek untuk bidang budidaya dan pakan udang tahun 1994
-
1997.Beberapa buku yang sudah penulis terbitkan melalui Penerbit Kanisius
Yogyakarta, yaitu Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga, Petunjuk Praktis Budidaya Teripang, dan Tiram Mutiara, Teknik Budidaya dan
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : /
Pengaruh Dosis dan Lama Waktu Perendaman Lawa Udan;g Windu
(Penaeus monodon Fab.) pada Stadia Nauplius dalam Larutan Hormon
17P-Estmdiol Terhadap Nisbah Kelamin dan Pertumbuh:annya
Adalah benar mempakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 4 Pebruari 2002
Sutaman
ABSTRAK
SUTAMAN Pengaruh Dosis dan Lama Waktu Perendaman Larva Udang Windu
(Petiei~s nlorrodori Fab.) pada Stadia Nauplius dalam Larutan Honnon 17P-Estradiol
Terhadap Nisbah Kelamin dan Pertumbuhannya. Dibimbing oleh : KOMAR
SUMANTADINATA, M. ZAIRIN JUNIOR DAN ENANG BABSUS.
Peningkatan produktivitas budidaya udang windu dapat diusahakan antara lain dengan pemeliharaan benih udang windu ( b a r ) yang beqenis kelamin betina. Secara biologis udang windu jenis kelarnin betina m m X i pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan yang j a m . Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis dan lama waktu perendaman hormon 17fLestradiol pada stadia nauplius udang windu terhadap keberhasilan perubahan jeni2: kelamin betina hngsional
Rancangan percobaan yang d i g u n a h adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 kombinasi perlakuan antara dosis honnon 0.2; 0,4 dan 0.6 (mg/l) dan lama perendaman 4 jam, 8 jam dan 12 jam serta kontrol dengan 4 kali ulangan.
Hasil analisis sidik ragam dan uji Beda Nyata Jujur menunjukkan bahwa perendaman stadia nauplius dalam larutan hormon 17$-estradiol memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap pembentukar~ kelamin betina hngsional Persentase udang windu betina terbanyak dicapai pada perlakuan kombinasi dosis 0.2 mgll dengan lama perendaman 8 jam sebesar 78,7 % dan terendah perlakuan kombinasi dosis 0,6 mgl dengan lama perendaman 12 jam sebesar 65.7 % Uji histologis terhadap sampel jaringan gonad udang windu hasil percobaan tidak ditemukan adanya individu hennaprodit.
Perlakuan kombinasi dosis dan lama waktu perendaman dalam hortnon 17P- estrndiol j~lgn me~nberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot rata- rata individu Perbedaan ini diduga disebabkan oleh adanya perbetiaan bobot antara individu jantan dan betina. Didapatkan bahwa perlakuan kombinasi dosis 0.2 mg/l dengan lama perendaman 8 jam, menghasilkan pertumbuhan (bobot) yang lebih tinggi (5.9 grlekor) dibandingkan perlakuan lain. Sedangkan perlakuan kombinasi dosis 0,6 mg/l dan lama perendaman 12 jam menghasilkan botlot terendah (3,l grlekor)
Menyetujui,
Dr. M. Zairin Junior. Anggota
1. Komisi Pembimbing
C\
Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, MSc. Ketua
2. Ketua Program Studi Ilmu
Dr. Ir. Kusman Sumawidiaia
-4-
~ r . 6 J n g Harris, MS Anggota
Mengetahui. -
:rogram Pascasarjana
rqjj-""
r r S frida hlanuwoto. MSc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 4 Maret 1962 sebagai anak kedua
dari pasangan Bapak Kape bin Kandung (alm) dengan lbu Rapiah binti Tarnya. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan
IPB,
lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan pada Program Pascasarjana IPB dengan biaya dari Universitas Pancasakti Tegal dan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) tahun 1998.Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pcrikanan Universitas Pancasakti Tegal sejak tahun
1989
hingga sekarang. Pekerjaan lain yang pernahpenulis lakukan adalah sebagai Manager Produksi pada Proyek Tambak Udang
Windu milik
PT.
Maya Inc. cabalkg Sumbawa-
NTB tahun 1987 hingga 1989.Konsultan pembenihan udang
milik
PT.
Bayumas UtanWindu
Tegal tahun 1990 -1994 dan staf ahli PT. Cahaya Windu Cikampek untuk bidang budidaya dan pakan udang tahun 1994
-
1997.Beberapa buku yang sudah penulis terbitkan melalui Penerbit Kanisius
Yogyakarta, yaitu Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga, Petunjuk Praktis Budidaya Teripang, dan Tiram Mutiara, Teknik Budidaya dan
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR LAMPIRAN
...
PENDAHULUAN ......
Latar Belakang
. .
...
Tujuan Penel~t~an
.
.
Kegunaan Penelltlan ...
... Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
...
Pengaturan Jenis Kelamin ...
Penentuan Diferensiasi Kelamin ...
Peranan Hormon Steroid ...
Metode Pemberian Homon Steroid
...
BAHAN DAN METODE PERCOBAAN ... Tempat dan Waktu Percobaan ...
...
Materi Percobaan Metode Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN ...
.
.
... ...Hasil
... Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN ...
...
...... Kesimpulan
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Korisentrasi efektif dan perlakuan
. .
17 $- estradiol dalam merangsang...
penlbahan kelamln ~kan 14
2 Pengaruh hormon estrogen dalam merangsang perubahan kelamin udang
windu (Penaeus monodon Fab.)
...
15 3 Jadwal pemberian pakan berdasarkan perkembngan stadia larva udangwindu (Penaeus monodon Fab.) ... 23 4 Persentase (%) udang windu (Penaeus monodon Fab.) berkelamin betina
pada berbagai perlakuan dan kontrol ... 28
5 Bohot individu (gram) udang windu (Penaetrs monodon Fab.) pada akhir
percobaan dari berbagai perlakuan dan kontrol ...
.
..
..
..
..
..
..
. 32 6 Kelangsungan hidup (%) udang windu (Penaeus monodon Fab.) tahapperlakuan (nauplius sampai dengan PL 13) pada berbagai perlakuan dan
kontrol ... 33 7 Kelangsungan hidup (%) udang windu (Penaeus monodon Fab.) tahap
...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Periode labil untuk efektivitas perlakuan hormon steroid pada berbagai stadia perkembangan ikan teleosts
...
2 Alat kelamin udang windu (Penaeus rnonodon Fab.) pada fase megalopa. 3 Perkembangan petasma (dat kelamin jantan) udang windu (Penaeus
monodon Fab.) pada berbagai stadia dan ukuran ...
4 Perkembngan the[ynrm (alat kelamin betina) udang windu pada berbagai ...
...
stadia dan ukuran
.
.
5 Sensitivitas tahapan diferensiasi seks terhadap hormon steroid pada teleost ... 6 Diagram pengaruh perlakuan hormon steroid terhadap pertumbuhan ikan
Teleost ...
... 7 Jaringan ovarium udang windu (Penaeus rnonodon Fab.) betina
...
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Penentuan dosis dan lama perendaman nauplius udang windu (Penaeus A4onodon Fab.) dalam larutan hormon 17
p-
estradiol pada ujipendahuluan ... 47 ...
2 Prosedur ke j a dan kalkulasi pencampuran hormon saat perlakuan 5 1 3 Anova dan uji BNJ pada pengaruh dosis dan lama waktu perendaman
terhadap persentase udang windu (Penaetrs monodon Fab.) berkelamin ...
betina 53
4 Anova dan uji BNJ pada pengaruh dosis dan lama waktu perendaman ...
terhadap bobot akhir udang windu (Penaetis moriodon Fab.) 55
5 Anova pengaruh dosis dan lama waktu perendaman terhadap kelangsungan hidup udang windu (Penaetis monohn Fab.) tahap perlakuan (nauplius
sampai dengan PL 13) ... 57 6 Anova pengaruh dosis dan lama waktu perendaman terhadap kelangsungan
...
hidup udang windu (Penaeiis monodori Fab.) tahap pembesaran 58
7 Data kisaran parameter kualitas air pada tahap perlakuan (nauplius sampai dengan PL 13) dan pada tahap pembesaran (PL 15 sampai dengan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu aspek peningkatan produktivitas budidaya udang adalah dengan
memanfaatkan sifat biologis udang windu betina, yang cendemng tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan yang jantan. Menurut Primavera (1989), dalam kelompok umur
yang sama, udang windu betina umumnya tumbuh lebih besar dibandingkan dengan
jantan. Menurut Yamazaki (1983) dan Sumantadinata (1997), jenis kelamin jantan
dan betina pada ikan memiliki perbedaan dalam pertumbuhan saat mencapai dewasa
dan ukuran maksimum individu. Diduga udang windu pun memiliki sifat biologis
yang sama dengan ikan. Oleh karena itu berdasarkan sifat biologis tersebut maka
pemeliharaan udang windu yang be jenis kelamin betina akan menguntungkan.
Pada ikan tilapia produksi secara mortoseks dapat dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu menggunakan hormon steroid (estrogen dan androgen) untuk
mempengaruhi proses diferensiasi kelamin secara langsung serta menggunakan
rekayasa kromosom (Donaldson dan Benfey, 1987). Secara genetik, jenis kelamin
suatu individu ditentukan oleh kromosom kelamin. Namun secara fisiologis jenis
kelamin tersebut dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid (Yamazaki,
1983). Hal ini dimungkinkan karena menurut Carman, Sastrawibawa dan Alimudin
(1998), pada ikan terdapat fase diferensiasi kelamin yaitu pada saat awal
pembentukan zigot hingga larva yang pembentukan jenis kelaminnya masih labil.
Sedangkan Edward ddam Malecha et al. (1992) menduga bahwa jaringan gonad
labil untuk jangka pendek, tetapi perkembangannya akan meningkat sejalan dengan
umur seperti pada vertebrata. Menurut Strussmann, Takashima dan Toda (1996),
perlakuan hormonal h m s dilaksanakan pada periode labil yaitu sebelum gonad
berdiferensiasi, karena periode ini sensitif terhadap perlakuan hormon. Sedangkan menurut Piferrer (2001), sensiti-itas hormon steroid terhadap perkembangan
diferensiasi seks sangat tergantung pada fase perkembangan gonad yang tejadi.
Dalam ha1 ini puncak sensitivitasnya tejadi setelah fase pembelahan sel jaringan
gonad atau sebelum jaringan gonad terdiierensiasi. Fenomena ini menurut Carman et
nl. (1998), karena hngsi kromosom kelamin dalam menentukan jenis kelamin belum aktif
Pada ikan, hormon yang digunakan untuk mengarahkan diferensiasi
kelamin terbagi atas dua kelompok, yaitu hormon androgen yang digunakan untuk
mengarahkan diferensiasi menjadi kelamin jantan dan hormon estrogen yang
digunakan untuk mengarahkan diferensiasi kelamin menjadi betina. Keberhasilan
penggunaan hormon untuk proses pengarahan diferensiasi kelamin bergantung
kepada beberapa faktor yaitu jenis hormon, dosis yang digunakan, serta cara dan
lama penggunaan, jenis dan umur spesies serta faktor lingkungan terutama suhu
air media (Hunter dan Donaldson, 1983). Dalam mengubah fenotipe jenis
kelamin, dosis hormon dan lama waktu perendaman yang optimum perlu
diketahui untuk mendapatkan betina monoseks yang maksimal dan mengurangi
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis dan lama waktu perendaman
hormon 17a-estradiol pada stadia nauplius udang windu terhadap keberhasilan
perubahan jenis kelamin dari jantan menjadi betina.
Kegnnaan Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
(1) Sebagai landasan dalam mewujudkan produksi masal benih udang windu berjenis
kelamin betina.
(2) Diharapkan dapat memberikan andil yang nyata bagi usaha pembenihan dan
pembesaran udang windu.
Hipotesis
Apabila dosis dan lama waktu perendaman nauplius dalam larutan hormon
17p-estradiol optimal, maka proses pengarahan diferensiasi kelamin berlangsung
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaturan Jenis Kelamin
Menurut Sumantadinata dan C m a n (1995), perubahan kelamin adalah upaya
yang dilakukan untuk mengubah status kelamin baik dari jantan menjadi betina
ataupun sebaliknya. Pada ikan, ha1 ini dapat diialcukan melalui pendekatan hormonal
dan genetik, diduga pada udang pun dapat diakukan pendekatan yang sama.
Pendekatan hormonal biasanya dilakukan dengan cara pemberian hormon steroid
(kelompok androgen dan estrogen) sebelum diferensiasi tejadi. Sedangkan
pendekatan genetik dilakukan melalui persilangan antar spesiestgenus tertentu.
Jenis kelamin ikan memiliki arti penting dalam pengembangbiakannya, karena
antara jantan dan betina terdapat perbedaan laju pertumbuhan, pola tingkah laku dan
ukuran maksimum individu (Yamazaki, 1983; Sumantadinata, 1997). Jenis kelamin
suatu individu ditentukan bersama oleh faktor genetis dan lingkungan. Kedua faktor
tersebut. akan bekeja secara sinergis untuk menentukan ekspresi fenotipe suatu
karakter. Faktor genetis yang menetukan jenis kelamin yaitu kromosom seks atau
genosom yang mengandung faktor gen-gen jantan dan betina. Sedangkan yang tidak
menentukan jenis kelamin disebut kromosom biasa atau autosom (Kqichnikov,
1981; Yatim, 1986).
Menurut Yatim (1986), pembahan jenis kelamin dapat tejadi secara alami dan buatan. Perubahan kelamin secara alami adalah perubahan kelamin yang disebabkan oleh faktor lingkungan dengan susunan genetiknya tidak mengalami
mengarahkan perkembangan organ reproduksi dengan pemberian bahan yang dapat
merangsang perubahan tersebut. Selanjutnya menurut Chan dan Yeung (1983)
perubahan kelamin buatan untuk menghasilkan individu dengan fenotipe kelamin
yang tidak sama dengan kelamin genotipenya.
Perubahan jeNs kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada fase
pertumbuhan gonad belum tejadi diferensiasi kelamin dan belum ada pembentukan
steroid sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan menggunakan hormon
steroid sintesis (Yamazaki, 1983; Hunter dan Donaldson, 1983). Selanjutnya
Yamazaki (1983) menyatakan bahwa honnon steroid tersebut dapat mengatur
beberapa fenomena reproduksi misalnya proses diferensiasi gonad, pembentukan
gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan atau tingkah laku kawin, ciri-ciri seks sekunder,
perubahan morfologis atau fisiologis pada musim pemijahan atau produksi feromon.
Di antara fenomena tersebut diferensiasi gonad tejadi lebih dahulu kemudian diikuti
oleh fenomena lain.
Penentuan Diferensiasi Kelamin
Secara genetik, jeNs kelamin suatu individu sudah ditetapkan pada saat
pembuahan. Akan tetapi pada
masa
embrio, jaringan bakal gonad masih berada dalammasa indiferent. Pada suatu jaringan bakal jantan atau betina sebenamya struktur-
struktur jantan dan betina sudah ada dan t~nggal menunggu proses diferensiasi dan penekanan ke arah aspek-aspek jantan dan betina (Matty, 1985). Menurut C m a n et
kelaminnya masih labil. Hal
ini
diduga karena hngsi kromosom kelamin dalammenentukan jenis kelamin masih belum aktif.
Piferrer (2001) menyatakan bahwa diferensiasi seks meliputi seluruh aktivitas
yang berhubungan dengan keberadaan gonad, yang meliputi perpindahan awal sel
nutfah, munculnya bagian tepi gonad dan diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari.
Selanjutnya dikatakan bahwa diferensiasi seks pada ikan dapat melalui dua jalan yang
berbeda. Jalan pertama gonad secara langsung berdiferensiasi menjadi ovari atau
testis, sedangkan jalan yang kedua ikan akan berdiferensasi menjadi ovari kemudian
berubah menjadi testis.
Masa diferensiasi seks ikan sangat beragam bergantung kepada spesies.
Diferensiasi seks pada golongan Cichlids dan Cyprindonfintid berlangsung antara 10
dan 30 hari setelah penetasan, sedangkan pada golongan Anabanfids antara 3 dan 40
hari (Pandian dan Sheela, 1995). Pada ikan mas (Cyprinus carpio, L.) terjadi pada 8 -
98 hari setelah penetasan (Nagy, Bercsenyi dan Csanyi, 1981).
Berdasarkan Piferrer (2001) beragamnya diferensiasi seks ini sangat
bergantung pada kondisi periode labil masing-masing spesies ikan, karena efektivitas
perlakuan hormon steroid (Gambar I), sangat ditentukan oleh kondisi labil dari
spesies ikan masing-masing. Pendapat yang sama disampaikan oleh Pandian dan
Sheela (1995), bahwa pada beberapa spesies ikan diferensiasi seks dapat dimulai dari
embrio, setelah penetasan (larva), juvenil, bahkan dewasa.
Malecha et al. (1992), menduga bahwa jaringan gonad udang galah
(Macrohrachium rosenbergii) yang belum terdiierensiasi masih labil untuk jangka
vertebrata. Selajutnya dikatakan bahwa determinasi gene jantan Macrobrachtum
rosetlbergii tidak berfungsi dengan baik selarna periode larva ke pasca larva, tetapi
akan muncul kemudian pada awal perkembangan juvenil. Interval waktu
perkembangan gonad menurut Hunter dan Donaldson (1983) sangat berpenganth
terhadap keberhasilan pemberian hormon, terutama pada saat gonad dalarn keadaan
labil. Hal ini berhubungan dengan hngsi hormon steroid yang bekerja sebagai
perangsang diferensiasi.
~ o e i i l i a reticulata j
j
Dicentrarchus lab&;-;
Oryzias litipes
j
Bena splendensj
Oncor)zYnchus kisulch ;
-
;\
Embryogenesis b e
T
Post-larvae JuvenilePembual~an Penetasan Penyerapan kuning telur
dan makan penama
[image:98.533.43.460.29.608.2]PERKEMBANGAN STADIA IKAN
Gambar 1. Periode labil untuk efektivitas perlakuan hormon steroid pada berbagai stadia perkembangan ikan teleosts m e r , 2001).
Menurut Malecha et al. (1992), perubahan hngsi seks pada udang galah
betina dengan morfologi seks sekunder yang mendekati lengkap tejadi pada panjang
Selajutnya dikatakan, bahwa implantasi jaringan kelenjar androgenik di bawah
ukuran panjang karapas 7,5 mm pada juvenil udang galah betina telah menyebabkan
perkembangan testis dengan menekan secara keseluruhan sifat-sifat betina dan
menunjukkan perkembangan yang lengkap dengan karakteristik seks sekunder jantan
yang normal. Sedangkan pada implantasi jaringan androgenik di atas ukuran ini
secara fenotipe tidak tejadi perubahan kelamin walaupun tingkah laku dan seks sekundernya jantan dengan sifat yang kelihatan normal, tetapi pada saluran
reproduksi internalnya rusak dan infertil.
Menurut Motoh (1981), perkembangan morfologi seks sekunder pada udang
windu mendekati lengkap tejadi pada panjang carapase 10.8 mm untuk yang jantan,
dan panjang carapase 11,3 mm untuk yang betina. Panjang tersebut diperkirakan
terjadi pada panjang total antara 24,8
mm
- 25.9 mm. Secara umum perkembanganalat kelamin menurut Motoh (1981) adalah seperti gambar berikut :
Keterangan :
A : Appendix rnasculina pada kaki jalan ke 4 dan ke 5 untuk fase megalopa jantan (panjang karapas 10,8 mm).
B : Thelycum pada
fase
megalopa betina [image:99.530.60.461.373.717.2]@anjang karapas 1 l,? mm).
Keterangan :
A : Panjang karapas 11,2 mm B : Panjang karapas 21,6 mm C : Panjang karapas 23,5 mm D : Panjang karapas 26,9 mm E : Panjang karapas 34,2 mm F : Panjang karapas 46,8 mm
Gambar 3. Perkembangan petasma (alat kelamin jantan) udanng windu (Penaeus nloiiodoii Fab.) pada berbagai stadia dan ukuran.
Keterangan
A : Panjang karapas 11,7 mm B : Panjang karapas 15,2 mm C : Panjang karapas 22,4 mm
D : Panjang karapas 3 1,4 mm
E : Panjang karapas 36,5 mm F : Panjang karapas 46,8 mrn G : Panjang karapas 62,6 mm
[image:100.524.62.462.55.701.2]Peranan Hormon Steroid
Menurut Sumantadinata dan Carman (1995), secara sederhana pemberian
hormon bertujuan untuk mempengmhi keseimbangan homon dalam darah yang
pada saat diferensiasi kelamin sangat menentukan individu tertentu akan berstatus
jantan atau betina dengan cara memasukkannya dari luar tubuh.
Berdasarkan bahan pembentukannya secara kimiawi hormon dapat
digolongkan ke dalarn tiga kelompok, yaitu hormon protein, hormon asam lemak, dan
hormon steroid. Menurut Donaldson dan Benfey (1987) hormon steroid yang
digunakan untuk merangsang perubahan kelamin dapat dikelompokkan menjadi dua
golongan, yaitu :
(1) Horrnon androgen, seperti androstenedion, etiniltestosteron, metiltestosteron, dan
testosteronpropionat yang dapat digunakan atau memberi efek pengarahan
diferensiasi kelamin menjadi jantan (maskulinisasi), dan
(2) Hormon estrogen, seperti estron, estriol, estradiol, dan etinilestradiol yang dapat
digunakan atau memberikan efek pengarahan diferensiasi kelamin menjadi betina
(feminisasi).
Menurut Piferrer (2001), sensivitas hormon steroid eksogencs (exogenous
steroids) terhadap diferensiasi seks sangat tergantung pada perkembangan gonad
yang tejadi. Pada saat belum terbentuk gonad, sensitivitasnya masih belum
tampak, tetapi begitu terbentuk formasi gonad, sensitivitas hormon mulai ada dan
meningkat terus hingga mencapai puncak pa& fase diferensiasi seks secara fisiologis
Perkembangan stmktur jaringan gonad
-
Gambar 5. Sensitivitas tahapan diferensiasi seks terhadap hormon steroid pada Teleost (Piferrer, 2001).
Menurut Pandian dan Sheela (1995), diantara golongan hormon estrogen,
17P-estradiol adalah hormon yang paling baik dan telah digunakan untuk perlakuan
lebih dari lima spesies pada golongan Salmonidae, Czchlidae, Cypriniidae,
Anabantidae. Poecilidae, dan Ictaluridae. Hal ini sesuai dengan pendapat Carman et al. (1998), bahwa tingginya efektivitas hormon 17P-estradiol dibandingkan dengan
estron dan estriol diiungkinkan, karena stmktur bangun dari hormon 17P-estradiol lebih sesuai dengan reseptor dari sel-sel spesifik yang mengontrol diferensiasi
Berdasarkan penelitian Feist dan Schreck (1996), pada ikan rainbow trout
ditemukan adanya perbedaan tingkat hormon steroid pada fase embrionik dan larva.
Kadar steroid relatif tinggi pada hari pertama setelah pembuahan dan menurun tems
hingga hari ke-25. Pada hari ke-30 dan ke-48, kadar steroid meningkat secara jelas
hingga hari ke-78 clan setelah itu relatif konstan. Fluktuasi kadar hormon steroid selama proses perkembangan embrio dan larva diduga berperan penting sebagai
pengarah pada diferensiasi kelamin pada ikan rainbow trout.
Metode Pemberian Hormon Steroid
Keberhasilan penggunaan hormon steroid untuk mengubah jenis kelamin ikan
bergantung kepada beberapa faktor yaitu jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama
dan waktu pemberian hormon serta cara pemberian hormon (Nagy et al. 1981; Hunter
dan Donaldson 1983). Selanjutnya Hunter dan Donaldson (1983) menyatakan bahwa
faktor yang mempengamhi dosis optimum hormon steroid diantaranya adalah
aktivitas biologis hormon itu sendiri, cara pemberian, spesies ikan dan lama pelakuan.
Menurut Carman et al. (1998); Hunter dan Donaldson (1983); Yamazaki
(1983), penggunaan hormon dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain secara
oral dan dengan perendaman. Sedangkan untuk memperoleh perendaman yang efektif
perlu diperhatikan konsentrasi dan lama perendaman. Umumnya perendaman dengan
dosis yang sangat tinggi membutuhkan waktu perendaman yang lebih singkat (Hunter
dan Donaldson, 1983). Menumt Sower at al. (1984), dosis hormon yang digunakan
efek paradoksial dan tingginya mortalitas. Selain itu perlakuan hormon dapat
menyebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan ikan.
Untuk mengefektifkan pengaruh hormon steroid, waktu penggunaannya harus
dilakukan ketika gonad belum berdiferensiasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa
periode penggunaan hormon yang lebih singkat temyata lebii efektif. Diduga ada
hubungan terbalik antara dosis dan lama waktu perlakuan, sehingga untuk dosis yang
lebih tinggi membutuhkan waktu yang lebih singkat (Yamazaki, 1983).
Berdasarkan Piferrer (2001), perlakuan hormon steroid selain berpengaruh
terhadap diferensiasi seks juga dapat menimbukan efek terhadap pertumbuhan. Pada
kasus tertentu perlakuan hormon dapat meningkatkan pertumbuhan, sedangkan pada
kasus lain (Gambar 6) justru dapat menurunkan pertumbuhan
Tidak Peningkatan Penurunan
Berpengaruh Pertumbuhan Peltumbuhan
4 .A .A L
+
- -
-
Tidak Penunman
[image:104.527.33.473.16.697.2]Berpengatuh Perhunbuhan
Penelitian Carman et al. (1998) pada ikan nila merah menunjukkan bahwa
perendaman hormon 170-estradiol pada stadia larva dengan dosis 200 pgA dan lama
perendaman 12 jam, memberikan persentase betina yang lebih besar dibandingkan
dengan perlakuan lain dan kontrol.
Sedangkan
Durant et al. (1985) pada ikan danstadia yang sama, perendaman hormon 170-estradiol selama 18 hari dengan dosis 150
pgll memberikan hasil 86,6 % betina. Pada ikan coho salmon (Peferrer dan Donaldson, 1989) perendaman selama dua jam dengan dosis 400 pg~l pada larva umur satu hari setelah rnenetas dengan honnon 17p-estradiol memberikan hasil 84 %
betina. Menurut Yamazaki (1983) dosis 170-estradiol yang efektifuntuk merangsang
perubahan kelamin dari genotipe jantan ke fenotipe betina dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Konsentrasi efektif dan perlakuan 170-estradiol dalam merangsang perubahan kelamin ikan
Konsentrasi
Perendaman Betina
Spesies
(%)
Salmo gairdneri
I I I I
Sumber : Yamazaki (1983) 250'
Oncorhynchus
1
50-400b1
10kisutch
Oncorhynchus masou
70
1
97,7- 100 200,5 - 5
30
-
100
[image:105.527.37.473.28.714.2]Penelitian mengenai pengaruh hormon steroid terhadap perubahan jenis
kelamin pada udang windu masih sangat terbatas. Namun dari beberapa penelitian
yang ada menunjukkan bahwa pemberian hormon estrogen secara oral telah mampu
mengarahkan individu udang windu dari genotipe jantan ke fenotipe betina.
Tabel 2. Pengaruh hormon estrogen dalam merangsang perubahan kelamin udang windu (Penaeus monodon Fab.)
Jenis hormon 170-Estradiol ,170-Estradiol Estrogen cair Ethynilestradiol Estron Ethynilestradiol Populasi alami betina
(YO)
41,O 59,O 46,O 58,4 62,O 56,3 Sumber Acuan Setyawan (2000) Adriyanto (2000) Suwardi (1 993) Maryadi (1991) Hadisusanto (1987) Hadisusanto (1987)Berdasarkan penelitian Carman et al. (1998) dari ketiga jenis estrogen yang
digunakan, temyata hormon 17P-estradiol adalah yang paling efektif untuk
mengarahkan diferensiasi kelamin ikan nila merah menjadi betina terutama pada
metode perendaman. Sedangkan pada penggunaan hormon estron dan estriol
dibutuhkan dosis hormon lebih tinggi atau
waktu
penggunaan yang lebih lama. Selanjutnya dikatakan tingginya efektivitas hormon 170-estradiol dibandingkandengan dua hormon laimya, karena S t ~ k t ~ r bangun dari hormon ini lebih sesuai
dengan reseptor dari sel-sel spesilik yang mengontrol diferensiasi kelamin. Hunter
BAHAN DAN METODE PERCOBAAN
Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan ini dilakukan di pembenihan udang windu milik KGB w a s Gita Bakti) -- Demangharjo Kecamatan Suradadi Tegal pada bulan Oktober 2000 sampai
Juli 2001. Sedangkan pengamatan seks sekunder dan pemeriksaan jaringan gonad
untuk mengetahui jenis kelamin secara histologis dilalcukan di Laboratorium
Histologi dan Embriologi Hewan Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Materi Percobaan
Udang Uji.
lJdang uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah larva udang windu
(Petmeus ntonodot~ Fab.) pada fase nauplius yang diperoleh dari pembenihan skala
mmah tangga di Tegal.
Wadah dan Padat Penebaran.
Wadah yang digunakan dalam percobaan terdiri dari dua jenis yang pemakaiannya disesuaikan dengan perkembangan larva :
(1) Wadah perlakuan pada stadia nauplius, menggunakan stoples volume 2 liter
dengan padat penebaran 400 ekor dan akuarium ukuran 30 cm
x
30 cmx
30 cm dengan padat penebaran 25.000 ekor nauplius udang windu.(2) Stadia nauplius pasca perlakuan sampai pasca larva (PL 13) menggunakan
fiberglass yang berkapasitas 1000 liter dengan padat penebaran 25.000 ekor
nauplius udang windu.
(3) PL 15 sampai juvenil (100 hari p e m e l i a a n ) menggunakan paso kapasitas f 75 liter dengan padat penebaran 25 ekor danfiberglass kapasitas 1000 liter dengan
padat penebaran 200 ekor (PL 15).
Wadah percobaan tersebut dilengkapi dengan sistem aerasi dan sebelum
digunakan selumh wadah dan perlengkapannya disucihamakan terlebih dahulu
dengan kaporit 25 ppm. Media percobaan adalah air laut yang telah diendapkan
selama 24 jam dan disaring terlebih dahulu dengan kapas dan kain halus. Sementara
salinitas air laut antara 30
-
34 permil. Sejalan dengan perkembangan umur larva,salinitas media secara bertahap ditumnkan menjadi 12 O h pada akhir percobaan.
Hormon Uji.
Hormon yang digunakan adalah 170-estradiol yang diproduksi oleh Argent
Chemical Lab., Redmond WA. U.S.A. Sebelum digunakan, hormon yang berbentuk
serbuk tersebut dilarutkan dengan alkohol absolut (96 %), untuk memudahkan dalam
pembaglan per perlakuan.
Metode Percobaan
Rancangan Percobaan.
Kancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 10 perlakuan dan empat (4) kali ulangan, yaitu :
A = Kombinasi dosis 0,2 mgA dengan waktu perendaman 4 jam.
B = Kombinasi dosis 0,2 mgA dengan waktu perendaman 8 jam.
C = Kombinasi dosis 0,2 mgA dengan waktu perendaman 12 jam.
D = Kombinasi dosis 0,4 mg/l dengan waktu perendaman 4 jam.
E = Kombinasi dosis 0,4 mgA dengan waktu perendaman 8 jam.
F = Kombinasi dosis 0,4 mgil dengan waktu perendaman 12 jam.
G = Kombinasi dosis 0,6 mgA dengan waktu perendaman 4 jam.
H = Kombinasi dosis 0,6 mgA dengan waktu perendaman 8 jam.
I = Kombinasi dosis 0,6 mgA dengan waktu perendaman 12 jam.
Model linier aditif percobaan RAL yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = p + Ti
+
EijDimana :
Yij = Nilai pengamatan akibat pengaruh perlakuan ke i dan ulangan ke j.
= Nilai tengah pengamatan.
Ti = Pengaruh perlakuan ke i.
Gj
= Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j.Prosedur Percobaan.
IJji Pendahuluan. Untuk mengetahui ketahanan nauplius terhadap hormon 170-estradiol maka dilakukan uji pendahuluan dengan perendaman, sehingga
6 jam, 12 jam, 18 jam, 24 jam dan 30 jam, serta kontrol yang dilakukan pada stadia
nauplius (Lampiran 1).
Percobaan Utama. Nauplius hasil penetasan telur dipelihara pada wadah
percobaan yang telah dipersiapkan. Setiap wadah percobaan yang berukuran 2 liter
ditebari
*
400 ekor nauplius selama perlakuan, sedangkan wadah akuarium volume 22.5 h e r ditebari 25.000 ekor nauplius. Untuk membuat larutan berhormon,ditimbang sebanyak 600 mg hormon 17$estradiol yang dilarutkan ke dalam 300 ml
alkohol96 % (Lampiran 2). Larutan tersebut dibagi sesuai dengan dosis hormon yang
diperlukan (sesuai perlakuan) ke dalam setiap wadah perendaman yang telah
dipersiapkan. Konsentrasi hormon perlakuan perendarnan adalah 0.2 mg/l; 0,4 mgll
dan 0,h mgll (didasarkan kepada hasil uji pendahuluan) dengan lama waktu 4 jam, 8
jam dan 12 jam.
Setelah selesai perlakuan, nauplius dipindahkan ke dalam akuarium yang
berukuran 30 x 30 x 30 cm danfiberglass yang berkapasitas 1000 liter sesuai dengan
perlakuan masing-masing. Pemeliharaan dalam wadah ini dilakukan sampai dengan
PL- 13. Selama percobaan berlangsung, pemeliharaan larva dilakukan pada kisaran
suhu 26,5 - 31,7
'c,
salinitas 28,7 - 31,7 %o dan pH 7,5 - 8,7 dengan pemberianpakan disesuaikan dengan perkembangan stadia larva (tabel 3).
Pemeliharaan Udang. Pemeliharaan udang yang dilakukan dalam percobaan
ini meliputi dua tahap. Tahap pertama p e m e l i a a n larva dari nauplius hingga PL 13
dan tahap kedua adalah pembesaran udang dari PL 15 sampai 100 hari pemeliharaan.
yang nkeliputi penyediaan dan pemeliharaan air media, serta pemberian pakan yang
sesuai dengan perkembangan larva.
Penyediaan dan pemeliharaan air media dimaksudkan agar kualitas air
memenuhi persyaratan untuk kehidupan larva, seperti : tersedianya stok air media
yang sama kualitasnya dengan air pemeliharaan, yaitu : telah dilakukan penyaringan dengan salinitas 31
-
32 %o. Selain itu, selama pemeliharaan larva, kadar oksigenselalu dijaga dengan penyediaan aerasi yang cukup. Setelah larva menginjak PL 5,
penyimponan dilakukan setiap hari sampai PL 13.
Pemberian pakan pada stadia larva, baik jumlah maupun jenisnya disesuaikan
dengan perkembangan stadia larva. Selama masa perlakuan, larva tidak diberi pakan
karena pada stadia nauplius larva masih belum memerlukan pakan dari luar. Setelah
mencapai stadia Zoea, baru diberi pakan plankton jenis Skeletonema sebanyak 3
(tiga) kali, yaitu jam 07.00, jam 13.00 dan jam 19.00 dan tambahan mikroalga
Sp~riilnrn (SP), pakan tambahan jenis Flack dengan kadar protein kasar 48 % - 50 %. Sedangkan pada stadia Mysis, selain diberi plankton juga diberi pakan jenis lain
seperti mikroalga Spimlina, pakan tambahan jenis Richen (M.B.) dengan kadar
protein kasar 48 % dan pakan tambahan Flack dengan kadar protein kasar 50 %. Khusus setelah stadia Mysis 111 ditambahkan naupli Artemia. Pakan plankton mulai
dikurangi setelah larva mulai menginjak stadia
Post
Larva. Dalamha1
ini pakan yangdiberikan yaitu : pakan tambahan Flack dengan kadar protein kasar 48 %
-
50 % dan naupli Artenlia. Secara rinci jadwal pemberian pakan berdasarkan perkembanganAgar udang uji dapat berkembang secara normal, maka setelah PL 15
dipindahkan ke dalam jibergfuss kapasitas 1000 liter dan paso besar volume
+
75liter. Ini dimaksudkan agar pertumbuhan bobot maupun perkembangan gonad bisa
lebih maksimal. Pemeliharaan padafiberghs dan paso ini diiakukan hingga udang bemmur 100 hari.
Persiapan bak dilakukan sebelum udang uji dipindah ke bak-bak percobaan.
Persiapan tersebut meliputi persiapan air media, pembersihan wadah dan pengisian
air. Air yang digunakan untuk pemeliharaan sebelum dimasukkan ke dalam bak telah
dilakukan filterisasi dan pengendapan yang memadai.
Kualitas air selama pemeliharan diupayakan sebaik mungkin dengan
mengurangi fluktuasi suhu, salinitas, pH,
DO,
NH3 dan faktor lainnya, serta dilakukanpenyiponan dan penggantian air yang seimbang. Pakan yang digunakan merek
"Bintang", khusus pakan udang windu yang memiliki kandungan protein antara 37 -
45 %. Pakan diberikan 4 kali sehari dengan jumlah pemberian berkisar antara 3 - 10 % dari biomass
Pengamatan Udang Uji. Setelah udang uji berumur 100 hari, maka dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin. Pengamatan dilakukan dengan melihat
seks sekunder udang seperti telikum pada jenis betina dan petasma pada yang jantan.
Sedangkan untuk membedakan jenis kelamin jantan dan betina dapat dilakukan
Tabel 3. Jadwal pemberian pakan berdasarkan perkembangan stadia larva udang windu (Penaeus ntonodon Fab.)
PL-I sld Pane11
Keterangan :
Artemia
d
= Plankton SkeletorieniaSP = Mikroalga Spirulina
Richen (M.B) : Pakan tiu~lbalian dengan kadar protein kasar 48 % Flack : Pakan tambahan dengan kadar protein kasar 50 %
SP Richeil(M.B)
Flack Naupli
!
Pemeriksaan gonad dilakukan u n ~ k melihat perkembangan dan perubahan
jaringan gonad secara miskrokopis. Untuk keperluan tersebut sampel pada akhir 2,O
4,O
percobaan diambil secara acak dengan mengambii masing-masing perlakuan 6 ekor,
yaitu 3 ekor jantan dan 3 ekor betina.
Untuk membuat preparat jaingan gonad dilakukan prosedur sesuai Bell dan
I
Lightner (1988) dan Motoh (1981) yang meliputi fixasi dan proses jaringan sebagai 2,O
4,O
-
2,O 2,O 2,O
4,O
-
4,O ,
-
-
25 [image:114.527.17.474.72.416.2]A Fixasi
I). lJdang hasil penelitian yang masih hidup diijeksi dengan fixative Davidson's
(Bell and Lightner, 1988) sebanyak 0,l ml sampai dengan 10 ml sesuai
dengan uluran udang.
2).' Hagian yang diinjeksi adalah proper hepatopancreas, anterior hepatopancreas
dan bagian anterior abdominal.
3). I'otong bagian cephalothorax yang telah diijeksi dan ambil bagian yang akan
diamati, kemudian diawetkan dalam larutan Davidson atau Bouin selama
T 24 - 72 jam.
B Proses preparat jaringan
1). Ambil bagian spesimen yang telah d f i a s i untuk dilakukan penelitian dan
dehidrasi sebagai berikut :
a Cuci dengan alkohol70 %, dengan cara direndam 1 jam.
h. Ulangi lagi 2 kali dengan merendam spesimen pada alkohol 70 % masing- masing selama 1 jam.
c. Selanjutnya dehidrasi dilakukan dengan merendam secara bertahap pada
alkohol 80 %, 90 % dan 96 %, masing-masing selama 1 jam kemudian terakhir direndam kembali (2 - 3 kali) pada alkohol 100 % selama
masing-masing 1 jam.
2). (:learing, dilakukan dengan merendam spesimen yang telah didehidrasi
3). InJltrasi dilakukan dengan memanaskan parafin ke dalam inkubator pada
temperatur 55 OC - 60 OC.
4). Embedding : memasukan parafin ke dalam preparat yang telah ditempatkan
pada kotak-kotak kecil untuk memudahkan pengirisan.
5). Seetiorling : pengirisan preparat yang dilakukan dengan mikrotom pada
ketebalan 6 - 8 mikron
6).
Affixing
: penempelan cuupes (irisan tipis jaringan) pada obyek glass yangbebas lemak dengan Mayer's albumin secara merata. Selanjutnya obyek glass
tersebut ditetesi aquadest untuk menempelkan cuupes dan dipanaskan pada
alat pemanas dengan suhu antara 40' - 45' C.
7). Staining : deparafinisasi dengan mencelupkan obyek glass yang mengandung
calipes ke dalam Xylol I, 11, I1 masing-masing 5 menit sehingga caupes benar- benar bebas parafin.
8). Pawarnaan dengan Elrlich 's Henlatoxyli~i - Eosin
a. Setelah parafin dihilangkan, xylol dalam caupes diisap dengan kertas
filter, dan berturut-turut dicelupkan beberapa kali ke dalam alkohol 96 %,
90 %, 80 %, 70 %, 60 %, 50 %, 30 %, aquadest selanjutnya dicelupkan ke dalam Elrlich 's Hematoxylin 3 - 7 detik.
b. Cuci dengan air mengaiir selama 10 menit.
c. Celup kembali ke dalam aquadest, alkohol 30 %, 50 %, 60 %, 70 % beberapa celupan lalu masukkan kedalam larutan :
d Celup ke dalam alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 96 % beberapa celupan, lalu keringkan diantara kertas filter, kemudian dimasukkan ke dalam larutan
cylol, tunggu sampai paling sediit 10 menit
e. Setelah selesai, caupes / slide siap ditutup dengan kanada balsem, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan psmbesaran secara bertahap
10 x 4, kemudian 10 x 10 dan 10 x 40.
Sebagai data pendukung dilakukan pengukuran bobot biomass udang pada
awal percobaan, dan pada setiap penggantian wadah pemeliharaan. Sedangkan pada
akhir percobaan dilakukan pengukuran bobot biomass dari setiap wadah percobaan
dengan mengambil seluruh udang uji yang masih hidup untuk dihitung bobot rata-rata
individunya, termasuk tingkat kelangsungan hidup dari masing-masing perlakuan
Peubah. Peubah yang diamati adalah perbandingan antara persentase udang
uji berjenis kelamin betina, jantan. Sebagai data pendukung juga dihitung
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.
Perbandingan antara persentase udang uji bejenis kelamin betina dan jantan
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
X = Persentase udang uji (betina, jantan) daiam satuan %
n = Jurnlah udang uji (betina, jantan) dalam satuan ekor
Pertunibuhan dihitung menurut Zonneveld et a/. (1991) sebagai berikut :
Keterangan :
w = Pertumbuhan bobot individu
wt = Bobot individu pada akhir percobaan
wo = Bobot individu pada awal percobaan
Tingkat kelangsungan hidup udang uji dihitung dengan rumus sebagai berikut
Keterangan :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah udang uji pada akhir percobaan (ekor)
No = Jumlah udang uji pada awal percobaan (ekor)
Analisis Data. Data yang didapat dari hasil percobaan dilakukan analisis ragam (Steel dan Torri, 1995). Analisis ragam tersebut diterapkan dengan asumsi
galat percobaan menyebar normal dengan ragam homogen. Uji normalitas ragam
dilakukan dengan menggunakan uji Lilliefors (Nasoetion dan Barizi, 1986),
sedangkan uji homogenitas menggunakan uji Bartlett (Sudjana, 1982). Untuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari hasil percobaan mengenai pengaruh dosis dan lama waktu perendaman
larva udang windu pada stadia nauplius dalam larutan hormon 170-estradiol terhadap
nisbah kelamin dan pertumbuhannya, diperoleh data persentase udang windu betina,
pertumbuhan (bobot individu), tingkat kelangsungan hidup dan kualitas air media
sebagai data penunjang.
Persentase Udang Windu Betina.
Hasil penelitian dengan perendaman pada stadia nauplius dalam larutan
hormon 170-estradiol menunjukkan bahwa persentase udang windu betina dari
seluruh perlakuan yang ada lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
Tabel 4. Persentase (%) udang windu (Pe~~aerrs monodon Fab.) berkelamin betina padaaberbagai perlakuan dan kontrol
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa perendaman nauplius dalam hormon 178-
estradiol memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap kontrol.
Sedangkan pada masing-masing kombiasi perlakuan ternyata relatif tidak berbeda
nyata kecuali perlakuan B dengan perlakuan C, D, E, F, G, H, I dan pelakuan A
dengan perlakuan D, E,
F,
G,H,
I. Perlakuan yang terbaik untuk mendapatkanpersentase udang windu betina yang tinggi pada percobaan ini adalah perlakuan B,
yaitu kombinasi dosis 0,2 mgA dengan lama waktu prendaman 8 jam; disusul dengan
perlakuan A, yaitu kombinasi dosis 0,2 mgA dengan lama waktu perendaman 4 jam.
Sedangkan hasil yang terendah, adalah kombinasi dosis 0,6 mgA dengan lama
perendaman 12 jam sebesar 65,7 %.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap sampel jaringan gonad ternyata tidak
ditemukan adanya jaringan gonad yang hemaprodit maupun steril. Secara
keseluruhan jaringan gonad betina (ovarium) pada Gambar 7 menunjukkan jaringan
gonad yang lengkap. Demikian pula pada jaringan gonad jantan (testis) seperti pada
Gambar 8, juga menunjukkan jaringan gonad yang lengkap.
Bobot Udang Windu.
Analisis data yang dilakukan terhadap bobot akhir rata-rata individu udang
windu menunjukkan adanya perbedaan bobot antar perlakuan (P<0,01) seperti terlihat
Gambar 8. Jarin testis udang windu (Penaerrs monodon Fab.) jantan
pane%kan 100 hari
K e t m g a n :
a : Posisi testis pads pembesm 40 x c:Jaringantestispadapembesaren400x
b : J a i i q m testis pada pembesaran 200 x d : Posisi testis pada pdmwaa 40 x
Tabel 5. Bobot individu (gram) udang windu (Penaeus monodon Fab.) pada akhir penelitian dari berbagai perlakuan dan kontrol
Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P < 0,Ol) menurut Uji
BNJ
(Lampiran 4)Dari Tabel 5 terlihat bahwa perendaman nauplius dalam hormon 17P-estradiol
memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot akhir individu
udang windu. Pengaruh tersebut terutama terlihat dari adanya perbedaan bobot pada
beberapa perlakuan, seperti perlakuan B dan D dengan perlakuan A, C, E, F, G, H, I
dan Kontrol. Sementara perlakuan F, G dan Kontrol termasuk H dan I tidak berbeda
nyata. Ini menunjukkan bahwa perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh adanya
perbedaan pertumbuhan antara jantan d m betina.
Kelangsungan Hidup.
Data dan pengujian statistik mengenai
tingkat
kelangsungan hidup udangwindu dari setiap tahap pemeliharaan dan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6
Tabel 6. Kelangsungan hidup (%) udang windu (Penaeus monodon Fab.) tahap perlakuan (nauplius sampai dengan PL 13) pada berbagai perlakuan dan kontrol
Keterangan : Antar perlakuan tidak berbeda nyata (P<0,05) menurut Uji BNJ (Lampiran 5)
Tabel 7. Kelangsungan hidup (%) udang windu (Penaeus monodon Fab.) tahap pembesaran pada berbagai perlakuan dan kontrol
Keterangan : Antar perlakuan tidak berbeda nyata (P<0,05) menurut Uji BNJ (Lampiran 6)
Tabel 6 dan 7menunjukkan bahwa semua perlakuan (kombinasi dosis dan
lama waktu perendaman) mempunyai pengaruh yang sama terhadap tingkat
kelangsungan hidup, baik pada tahap pemeIiharaan antara nauplius hingga PL 13
[image:124.524.50.475.27.735.2]Kualitas Air.
Pengukuran parameter kualitas air selama penelitian berlangsung (Lampiran
8), menunjukkan bahwa kualitas air antar perlakuan relatif sama, baik saat perlakuan
(nauplius sampai PL 13) maupun pembesaran dari PL 15 sampai 100 hari
pemeliharaan.
Pembahasan
Perubahan Jenis Kelamin Jantan Menjadi Betina.
Pengamatan udang uji berjenis kelamin betina dan jantan dilakukan setelah
udang mencapai bobot rata-rata antara 3 gram sampai 6 gram. Bobot ini dicapai setelah melakukan pemeliharaan dalam paso dan tangki selama 100 hari dari PL 15. Pertimbangan bobot ini juga dimaksudkan agar ciri seksual sekunder berkembang
secara sempurna dan jaringan gonad pun relah tumbuh dengan baik, sehingga
kesalahan identifikasi dapat dihindari. Berdasarkan Bell dan Lightner (1988), pengamatan jaringan gonad sudah mulai dapat dilakukan pada fase juvenil, yaitu pada
bobot 2.0 gram untuk udang betina dan 1 gram untuk udang jantan. Namun pada
prakteknya, pengamatan jaringan gonad dibawah ukuran 3 gram masih susah dilakukan, walaupun dengan metode parafin. Oleh karena itu identifikasi ciri seksual
sekunder maupun jaringan gonad baru d i l a k u h setelah udang uji mencapai bobot
lebih dari 3 gram. Identifikasi
ini
dilakukan pada bobot dan umur pemeliharaan yangMaryadi 1991; Andriyanto 2000; Setyawan 2000) yang hanya mencapai bobot
kurang dari satu gram dengan masa pemeliharaan kurang dari 2 bulan.
Berdasarkan Piferrer (2001), untuk mengetahui diferensiasi seks pada
beberapa spesies ikan pertama kali yang hams diuji adalah jaringan gonadnya
dibandingkan dengan perubahan seks sekundernya. Tanda awal terjadinya
diferensiasi seks untuk jenis betina adalah adanya pembelahan sel oogonia atau
banyaknya sel somatik yang membentuk rongga ovarian. Sedangkan untuk yang
jantan ditandai dengan munculnya spermatogo~i~a, tersusunnya sel nutfah dan sel
somatik pada lobula dan terbentuknya sistem vaskular pada testis, seperti pembuluh
testis dan saluran sperma. Selanjutnya Piferrer (2001) menyatakan bahwa diferensiasi
seks meliputi seluruh aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan gonad,
mencakup perpindahan awal sel nutfah, munculnya bagian tepi gonad dan diferensiasi
gonad menjadi testis atau ovari
Hasil pengamatan ciri seksual sekunder terhadap udang uji pada berbagai
kombinasi dosis dan lama waktu perendaman menunjukkan bahwa jumlah udang
betina lebih banyak daripada udang jantan. Ini menunjukkan bahwa pemberian
hormon 17P-estradiol yang diiakukan dengan cara perendaman pada stadia nauplius telah mampu mempengaruhi sistem hormonal dalam tubuh udang.
Hal
ini sesuaidengan pendapat Strussman,
Takashima
danToda
(1995), Pandian dan Shella (1995),Yamasaki (1983), serta Hunter dan Donaldson (1983), bahwa perlakuan hormonal pada periode labil, yaitu sebelum gonad terdiferensiasi dapat mengarahkan individu
(1998) juga mendukung hasil penelitian ini. Sedangkan Sumantadinata dan Carman
(1995) menyatakan bahwa pemberian hormon bertujuan untuk mengganggu
keseimbangan hormonal dalam darah yang pada saat diferensiasi kelamin sangat
menentukan individu tertentu akan berstatus jantan atau betina.
Dari Gambar 7 dan 8 dapat dilihat bahwa aplikasi hormon 17P-estradiol yang dilakukan dengan cara perendaman pada stadia nauplius telah mampu mengarahkan
terbentuknya seks betina secara permanen. Hasil yang sama juga diperoleh
Hadisusanto (1987); Maryadi (1991); Suwardi at al. (1993); Adriyanto (2000) dan
Setyawan (2000) yang tidak menemukan adanya individu-individu hennaprodit pada
udang windu.
Diduga pada stadia
larva,
level honnon dalam tubuh belum stabil, sehinggapemberisn hormon pada stadia ini telah mampu merangsang dan mempengaruhi
konsentrasi homon dalam tubuh larva. Dugaan ini didukung dengan hasil penelitian
Feist and Schreck (1996) yang menemukan perbedaan level hormon steroid pada fase
embrionik dan larva. Level steroid relatif tinggi pada hari pertama setelah
pembuahan dan menurun terus hingga hari ke-25 Pada kondisi ini, adanya
penambahan hormon steroid eksogenus diduga dapat meningkatkan kadar hormon
darah terutama pada stadia nauplius hingga post larva. Quackenbush (1991)
menyatakan bahwa pemberian hormon eksogenus (progesteron dan estradiol) pada
crustacea menghasilkan pengaruh yang konsisten dalam merangsang perkembangan
Mengenai masuknya hormon ke dalam tubuh larva dalam proses perendaman
diduga melalui sistem osmotik. Menurut Anggoro (1992), cairan tubuh udang windu
bersifat hipoosmotik terhadap media hidupnya. Oleh karena itu air dari cairan tubuh
udang cenderung bergerak ke luar secara osmosis. Untuk mempertahankm
osmolaritas cairan tubuh maka udang mengambid Hz0 dari medianya dengan cara
minum air atau memasukkan air lewat insang dan kulit (pada saat ganti kulit).
Dengan kondisi osmolaritas yang sama, maka masuknya hormon dalam tubuh larva
diduga melalui proses minum air atau lewat kulit.
G f a ~ e r et
al.
(1997) menegaskan bahwa untuk perkembangan sel benihdiperlukan konsentrasi lokal hormon seks yang tinggi. Oleh karena itu dengan adanya
penambahan hormon 17P-estradiol pada stadia labil, diduga telah mampu
mengarahkan individu menjadi betina. Menurut Piferrer (2001), pada ikan batas
periode labil untuk perlakuan hormon steroid yang efektif pada beberapa spesies ikan
sangat bervariasi, ada yang sudah dimulai pada fase embrio genesis (Poecilia
reticulata, Oncorhynchus kisutch), fase larva (Oiyzim latipes, Oncorhynchus kisutch
dan Cypritnts carpio), post larva (Betta splendens, Oncorhynchus mykiss)dan juvenil
(Dicentrarchus labrm, Mugil cephalus, Anguilla anguilla).
Pada udang windu (Penaeus monodon), Fairs et al., dalam Benzie (1997)
menemukan adanya hormon steroid seperti 17p-estradiol dan estron ymg kadamya
meningkat pada tahap awal pertumbuhan ovari. Sehingga adanya penambahan
hormon 170-estradiol pada stadia nauplius (periode labil) telah mengarahkan
Dalam penelitian ini persentase udang windu betina yang diperoleh masih
belum 100 %, iN menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan yang ada masih belum efektif dalam merangsang terbentuknya jeNs kelamin betina secara sempurna. Hal iN
diduga bahwa respon nauplius dalam menenma masukan hormon 17p-estradiol dari
media lingkungan belum seluruhnya terakomodasi dengan baik. Karena menurut
Piferrer (2001), sensitivitas hormon steroid (eksogenus steroids) terhadap diferensiasi
seks sangat tergantung pada perkembangan gonad (gonadogenesis) yang tejadi.
Dalam ha1 ini pada saat gonad belum terbentuk, sensitivitasnya sangat rendah. Dan
mulai meningkat pada saat terbentuk fonnasi gonad serta pertumbuhan gonad melalui
perkembangan sel. Puncak sensitivitas tejadi pada saat secara fisiologi seks telah
terdiferensiasi yang selanjutnya mulai menurun kembali pada saat jaringan seks
berdiferensiasi. Sensitivitas hormon terus menurun ketika tejadi diferensiasi seks
secara lengkap hingga gonad terdiferensiasi secara penuh.
Hasil yang diperoleh dari penelitian iN ternyata masih lebih rendah
dibandingkan dengan Hadisusanto (1987) yang menggunakan PL 12 (91,79 %), Maryadi (1990) menggunakan PL 15 (92,6 %, Setyawan (2000) dan Adriyanto (2000) yang menggunakan PL 13, masing-masing didapatkan betina udang windu
sebesar 94,2 % dan 94,3 %. Diduga perbedaan hasil ini lebih disebabkan oleh
perlakuan pada stadia yang berbeda. Secara mum aplikasi hormon estradiol pada stadia Post Larva (diatas PL 12) m e n g h a s i i udang windu bejenis kelamin
pada pendapat Piferrer (2001), maka diduga pada stadia nauplius masih belum
sensitif terhadap exogenous steroid dibandingkan dengan stadia Post Larva.
Pada perlakuan dengan kombinasi dosis yang tinggi dan waktu perendaman
yang lama temyata persentase betinanya lebih rendah dibandingkan perlakuan lain.
Ini menunjukkan gejala efek paradoksial, seperti yang dikemukakan Hunter dan
Donaldson (1983), bahwa pada dosis tinggi untuk spesies tertentu akan menimbulkan
efek berlawanan dengan yang diharapkan. Hal senada disampaikan oleh Sower et al.
(1984), bahwa pemberian dosis hormon yang berlebihan dapat menimbulkan tekanan
pada pembentukan gonad, efek paradoksial dan tingginya mortalitas.
Pertumbuhan Udang.
Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa terdapat perbedaan dalam
pertuml~uhan bobot yang sangat nyata (P<0,01) antara udang kontrol dengan udang
hasil knmbinasi perlakuan dosis dan lama waktu perendaman nauplius dalam larutan
hormon 17P-estradiol. Perbedaan bobot ini diduga karena adanya perbedaan
kecepatan pertumbuhan antara jantan dengan betina (Carman et al, 1998). Sesuai
dengan Piferrer (2001), bahwa penambahan hormon sintetik berdosis rendah dapat
merangsang pertumbuhan. Namun demikian, penambahan dosis hormon ymg
berlebihan dapat menkbulkan efek paradoksial dan tekanan pada pembuluh gonad
yang menyebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan (Hunter dan Donaldson, 1983).
Berdasarkan hasil yang diperoleh temyata bahwa kombinasi dosis tin& dan
waktu perendaman yang lama, menghasilkan bobot yang rendah. Hasil yang sama
dan Cichlidae, yaitu pada dosis sub-optimum pertumbuhan meningkat tajam dan
mencapai puncaknya pada dosis yang optimum. Namun pertumbuhan tersebut
menjad~ turun drastis ketika dosis hormon melebii optimum (super-optimum).
Tingkat Kelangsungan Hidup.
Pada tahap perlakuan (pemeliharaan nauplius hingga PL 13) tingkat
kelangsungan hidup udang uji masih tergolong rendah dibandingkan dengan rata-rata
yang dicapai oleh pengusaha pembenihan yang mencapai kisaran 15 % hingga 25 %.
Rendahnya tingkat kehidupan ini lebih disebabkan oleh fluktuasi suhu pemeliharaan
yang relatif besar antara 26,5 OC
-
31,7 OC. Sementara pada skala pembenihan,fluktuasi tersebut relatif dapat diperkecil hingga berada pada kisaran 29,5 OC
-
32,sOC. Selain itu adanya penambahan hormon pada dosis tinggi dalam media perlakuan
juga dapat mempengaruhi tingkat kehidupan larva, walaupun tidak nyata. Seperti
yang disampaikan Sower et al. (1984) bahwa pemberian dosis hormon yang
berlebihan dapat menimbulkan tekanan pada pembentukan gonad, efek paradoksial
dan tingginya mortalitas.
Perlakuan hormon 17P-estradiol dengan cara perendaman selama 2 jam pada
dosis 800 pgll atau lebih, ternyata dapat menimbulkan kematian pada coho saimon
(Hunter et al., 1986). Sementara Piferrer (2001) menyatakan bahwa dosis steroid
yang tinggi dapat menurunkan persentase tingkat kehidupan, bahkan pada dosis yang
berlebihan dapat mematikan seluruh ikan uji. Pendapat ini tentu mendukung hasil penelitian ini terutama pada perlakuan (pemeliharaan nauplius hingga PL 13), yang
ternyata