ii police officers who use guilt for violations committed by road users will certainly create fear in offenders, which is used by persons who are not responsible for the money to carry out a ticket through which the money will belong tilangnya private not remitted to the state. This of course makes the image of the police in the eyes of the public bad. Problems in this study was an attempt by the Police Traffic Unit Bandar Lampung in the image of the police in the implementation of countermeasures follow ticketed for traffic violations in the city of Bandar Lampung and factors that constrain Police Traffic Unit Bandar Lampung in building the image of the police in response to the implementation of a speeding ticket traffic offenses in the city of Bandar Lampung.
The approach used in this research is normative juridical approach conducted through the study of law and juridical empirical conducted through field research. The results showed that the efforts of Traffic Police in Bandar Lampung Police Image Building in Tilang Implementation for Prevention Act Violations Traffic in the city of Bandar Lampung via integrated prevention effort between citizens and police, law enforcement against persons who violate the Traffic Member. Factors hindering the Traffic Police Unit in Bandar Lampung Police Image Building on Implementation Tilang among others: a. The statute itself; b. Personality or mentality of law enforcement; c. Law enforcement support facilities. which includes software and hardware; d. Level of legal awareness and legal compliance of society; e. Legal culture embraced by the people concerned.
In the end, are suggested to the Member Bandar Lampung Police should uphold professionalism in performing their duties and to the Chief of Police in Bandar Lampung should give strict sanctions against members who do not carry out their duties, especially in terms of implementation pelanggararan ticketed for traffic offenders.
i
GUNA PENANGGULANGAN PELANGGARAN LALU LINTAS DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh Surono
Pelaksanaan tilang tidak jarang ditemui adanya oknum polantas yang memanfaatkan rasa bersalah atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna jalan tentunya akan membuat rasa takut dalam diri pelanggar, yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencari uang dengan melaksanakan tilang melalui dimana uang hasil tilangnya akan menjadi milik pribadi bukan disetorkan kepada negara. Hal ini tentunya membuat citra kepolisian di mata masyarakat buruk. Permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung dalam citra kepolisian pada pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung dan faktor yang menjadi penghambat Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung dalam membangun citra kepolisian pada pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap perundang-undangan dan yuridis empiris yang dilakukan melalui penelitian lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung Membangun Citra Kepolisian dalam Pelaksanaan Tilang guna Penanggulangan Tindak Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Bandar Lampung melalui integrated prevention effort antara warga masyarakat dan polisi, penegakan hukum terhadap oknum Anggota Satlantas yang melakukan pelanggaran. Faktor Penghambat Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung dalam Membangun Citra Kepolisian pada Pelaksanaan Tilang antara lain: a. Hukumnya sendiri; b. Kepribadian atau mentalitas penegak hukum; c. Fasilitas pendukung penegakan hukum. yang mencakup perangkat lunak dan keras; d. Taraf kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat; e. Kebudayaan hukum yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Pada akhirnya di sarankan kepada Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung hendaknya menjunjung tinggi sikap profesionalisme dalam menjalankan tugas dan kepada Pimpinan Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung hendaknya memberikan sanksi yang tegas terhadap Anggotanya yang tidak menjalankan tugasnya khususnya dalam hal pelaksanaan tilang terhadap pelaku pelanggararan lalu lintas.
(TESIS)
Oleh SURONO
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
MOTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
RIWAYAT HIDUP ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 11
C. Tujuan dan Kegunaan Peneliitian ... 12
D. Kerangka Pemikiran ... 13
E. Metode Penelitian ... 18
F. Sistematika Penulisan ... 22
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum tentang tugas dan kewenangan POLRI ... 24
B. Gambaran Umum mengenai Citra Polri ... 29
C. Tindak Pidana / Pelanggaran Lalu Lintas ... 34
D. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana ... 41
E. Penegakan Hukum Lalu Lintas ... 52
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Upaya Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung Membangun Citra Kepolisian dalam Pelaksanaan Tilang guna Penanggulangan Tindak Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Bandar Lampung ... 65
IV. PENUTUP
A. Simpulan ... 117
B. Saran ... 118
vii
Tesis ini saya persembahkan untuk:
Bapak dan Mamak serta Ibu Mertua yang ada di Yogya yang
se a tiasa e ba tuku dala do’a.
Cinta dan sayangku kepada Isteriku Retno Widiyastuti, S.Sos. yang
telah menjadi motivasi dan inspirasi serta tiada henti memberikan
duku ga do’a ya buatku.
Ketiga buah hatiku: Alifia Adinda Sekarsari, Zahra Widya Cakra
Wirawati, dan Rizky Jalu Pamungkas sebagai sumber motivatorku
selama ini.
vi
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab)
darihal hal yang dipimpinnya.
viii
Nama lengkap penulis adalah Surono, dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1972
di Wonosobo Kabupaten Tanggamus yang merupakan anak ke-2 dari 5
bersaudara buah hati pasangan Bapak Legiman dan Ibu Tumini.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri Kalirejo Kecamatan
Wonosobo Kabupaten Tanggamus, lulus tahun 1984. Sekolah Menengah
Pertama PGRI Wonosobo Kabupaten Tanggamus, lulus tahun 1987. Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Pringsewu Kabupaten Tanggamus, lulus tahun
1990. Penulis melanjutkan Pendidikan Secaba Polri di SPN Pontianak
Kalimantan Barat dan selesai pada tahun 1993. Pada tahun 2002 penulis
mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tanjung
Pura Pontianak Kalimantan Barat. Pada tahun 2013 penulis diterima sebagai
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum
Universitas Lampung.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kenyamanan berlalu lintas merupakan dambaan setiap pengguna jalan
dimanapun, baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil. Terhindar dari
kemacetan dan ulah pengguna jalan yang tidak tertib atau ugal-ugalan adalah
salah satu kenyamanan yang sampai saat ini belum dirasakan kebanyakan
pengguna jalan. Untuk itulah Kepolisian memiliki satu divisi/unit khusus yang
bertugas untuk mengatur dan mengamankan lalu lintas yang dikenal dengan nama
Polisi Lalu Lintas (Polantas). Tugas utama dari Polantas adalah mengatur dan
memastikan kondisi lalu lintas di jalan raya agar tetap aman dan kondusif.
Penegakan hukum di bidang lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum di
bidang LLAJ secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu
lintas dan angkutan jalan. Norma-norma hukum dalam penyelenggaraan lalu lintas
dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Upaya mendorong masyarakat mengikuti
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang LLAJ
tersebut, ketentuan-ketentuan sanksi pidana kepada masyarakat/pengguna jalan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang harus
dilakukan penegakan hukumnya adalah:
1. Pelanggaran pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan;
2. Pelanggaran muatan;
3. Pelanggaran perizinan;
4. Pelanggaran marka dan rambu lalu lintas.
Penegakan hukum merupakan upaya menegakan norma hukum terhadap
pelanggaran yang dilakukan. Penegakan hukum dijalankan untuk menjaga,
mengawal dan menghantar hukum agar tetap tegak, searah dengan tujuan hukum
dan tidak dilanggar oleh siapapun. Kegiatan penegakan hukum merupakan
kegiatan penerapan hukum terhadap pelanggaran norma hukum. Penegakan
hukum lalu lintas merupakan bagian dari fungsi lalu lintas yang mempunyai
peranan agar Undang-Undang Lalu Lintas ditaati oleh setiap pemakai jalan.
Berdasarkan funsinya kegiatan penegakan hukum lalu lintas dapat dikelompokkan
ke dalam 2 (dua) bagian yaitu:
1. Preventif
Meliputi kegiatan-kegiatan pengaturan lalu lintas, penjagaan lalu lintas,
pengawalan lalu lintas, patroli lalu lintas, dimana dalam pelaksanaannya
kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu sistem keamanan lalu lintas saling terkait dan
tidak dapat dipisahkan. Adapun dasar hukum dari penegakan lalu lintas di bidang
preventif antara lain, yaitu:
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya;
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
d. Keputusan Menteri Perhubungan;
e. Peraturan-peraturan daerah.
2. Represif
Meliputi penindakan pelanggaran dan penyidikan lalu lintas, dimana penindakan
pelanggaran lalu lintas meliputi penindakan secara edukatif yaitu melakukan
penindakan terhadap pelanggaran lalu-lintas secara simpatik dengan memberikan
teguran atau peringatan terhadap pelanggar lalu lintas. Sedangkan penindakan
secara yuridis dapat diartikan sebagai penindakan pelanggaran lalu lintas secara
hukum yang meliputi penindakan dengan menggunakan tindakan langsung
(tilang), serta penindakan terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas yang
menimbulkan korban jiwa dengan menggunakan ketentuan penyidikan
sebagaimana terdapat dalam KUHAP.
Penegakan hukum di bidang lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) meliputi
penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas. Dalam hal
penindakan pelanggaran, sebelumnya dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor
di jalan. Tindakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dan penindakan
pelanggaran merupakan rangkaian kegiatan penegakan hukum di bidang LLAJ.
ditemukan adanya pelanggaran, maka akan dilakukan tindakan penindakan
pelanggaran dengan pemeriksaan acara cepat dan dikenakan tindak pidana denda.
Tilang dapat dilakukan oleh Polantas dengan menyita barang bukti pelanggaran
berupa SIM (Surat Izin Mengemudi), STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan),
STCK (Surat Tanda Coba Kendaraan), dan kendaraan bermotor. Tujuan
diadakannya tilang ini adalah untuk memberikan efek jera kepada pengguna jalan
agar tidak mengulangi pelanggaran yang telah dilakukan. Untuk mengambil
barang bukti yang disita oleh polantas, pemilik dapat mengambilnya di pengadilan
setelah mengikuti proses sidang terlebih dahulu dan kemudian membayar denda
atas pelanggaran yang dilakukan. Namun demikian, apabila pengguna jalan yang
melanggar tidak punya waktu untuk datang ke Pengadilan dan mengikuti sidang,
pengguna jalan dapat menitipkan uang denda pelanggaran kepada Petugas yang
menilang untuk disampaikan ke pengadilan dan barang bukti yang disita akan
langsung dikembalikan saat itu juga.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, berikut adalah prosedur tilang pelanggaran
kendaraan bermotor: Penindakan pelanggaran LLAJ didasarkan atas hasil temuan
dalam proses pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, hasil laporan, dan hasil
rekaman peralatan elektronik. Penindakan pelanggaran LLAJ dilakukan dengan
menerbitkan Surat Tilang dengan pengisian dan penandatanganan Blanko Tilang.
Blanko Tilang sekurang-kurangnya berisi kolom tentang (a) identitas pelanggar
dan kendaraan bermotor yang digunakan; (b) ketentuan dan pasal yang dilanggar;
disita; (e) jumlah uang titipan denda; (f) tempat atau alamat dan/atau nomor telpon
pelanggar; (g) pemberian kuasa; (h) penandatangan oleh pelanggar dan petugas
pemeriksa; (i) berita acara singkat penyerahan surat tilang kepada pengadilan; (j)
hari, tanggal, jam dan tempat untuk menghadiri sidang pengadilan; dan (k) catatan
petugas penindak.
Surat Tilang harus ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa dan pelanggar. Dalam
hal pelanggar tidak bersedia menandatangani Surat Tilang, maka Petugas
Pemeriksa harus memberikan catatan. Surat Tilang ini akan digunakan untuk
kepentingan pelanggar sebagai dasar hadir di persidangan atau pembayaran uang
titipan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pengadilan Negeri setempat,
Kejaksaan Negeri setempat dan Instansi yang membawahi PPNS yang
bersangkutan.
Surat Tilang dan alat bukti disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat
terjadinya pelanggaran dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
terjadinya pelanggaran. Dalam hal pelanggar menitipkan uang denda melalui bank
yang ditunjuk oleh pemerintah, bukti penitipan uang denda dilampirkan dalam
Surat Tilang. Pelaksanaan persidangan pelanggaran LLAJ dilaksanakan sesuai
dengan hari sidang yang tersebut dalam Surat Tilang. Persidangan ini
dilaksanakan dengan atau tanpa kehadiran pelanggar atau kuasanya. Apabila
pelanggar tidak menitipkan uang denda titipan atau tidak memenuhi amar putusan
pengadilan dalam jangka waktu selama 14 (empat belas) hari sejak putusan
dijatuhkan, petugas mengajukan pemblokiran Surat Tanda Nomor Kendaraan
Berdasarkan data yang diperoleh pada Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota
Bandar Lampung bahwa:
Tabel 1. Data Jenis Pelanggaran Lalu Lintas Kendaraan Roda Dua (R2) Di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2012-2013
No. Jenis Pelanggaran 2012 2013
1. Kecepatan 0 0
2. Helm 5.880 13.182
3. Kelengkapan Kendaraan 6.053 7.415
4. Surat-surat 3.165 5.153
5. Boncengan Lebih dari 1 orang 2 79
6. Marka 1.051 2.643
7. Rambu-rambu 8.703 5.652
8. Melawan Arus 63 0
9. Lain-lain 3.876 2.390
J U M L A H 28.793 36.514
Sumber Data: Satlantas Polresta Bandar Lampung 2014
Berdasarkan tabel di atas telah terjadi beberapa jenis pelanggaran kendaraan roda
dua yang meningkat seperti helm yang mengalami kenaikan lebih dari 100%,
selanjutnya kelengkapan kendaraan meningkat sebesar 18,37%. Pelanggaran
surat-surat meningkat sebesar 38,58%, selanjutnya boncengan lebih dari 1 orang
sangat signifikan dari 2 kasus pada tahun 2012 menjadi 79 kasus pada 2013.
Pelanggaran marka jalan juga mengalami kenaikan dari 1.051 pelanggaran pada
tahun 2012 menjadi 2.643 pelanggaran pada tahun 2013 atau naik sebesar
60,23%. Namun tidak semua pelanggaran mengalami kenaikan, ada 3 jenis
pelanggaran yang mengalami penurunan pada tahun 2012 dan 2013, yaitu:
pelanggaran rambu-rambu lalu lintas, melawan arus dan lain-lain. Berikutnya
yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh kendaraan roda 4 sebagaimana tabel
Tabel 2. Data Jenis Pelanggaran Lalu Lintas Kendaraan Roda Empat (R4) Di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2012-2013
No. Jenis Pelanggaran 2012 2013
1. Kecepatan 0 0
2. Safety Belt 371 496
3. Kelengkapan Kendaraan 626 341
4. Surat-surat 363 498
5. Muatan 138 74
6. Marka 363 372
7. Rambu-rambu 1.162 629
8. Melawan Arus 0 0
9. Lain-lain 149 148
J U M L A H 3.172 2.558
Sumber Data: Satlantas Polresta Bandar Lampung 2014
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa pelanggaran
yang mengalami peningkatan maupun penurunan. Peningkatan pelanggaran
terjadi pada pelanggaran safety belt, surat-surat, marka jalan dan lain-lain. Sedangkan pelanggaran yang mengalami penurunan antara lain seperti
pelanggaran kelengkapan kendaraan, muatan, dan pelanggaran rambu-rambu lalu
lintas. Pada dasarnya program kegiatan penegakan hukum bukan berorientasi
mencari kesalahan dari pengguna jalan tetapi lebih berorientasi pada
perlindungan, pengayoman dan pelayanan pengguana jalan yang melanggar itu
sendiri (penindakan pelanggaran helm, sabuk pengaman dan kelengkapan
kendaraan bermotor), pengguna jalan lainnya (penindakan pelanggaran SIM,
kecepatan, rambu, marka dan lainnya) serta kepentingan pengungkapan kasus
pidana (penindakan pelanggaran STNK, nomor rangka, nomor mesin dan
Pelaksanaan tilang dengan prosedur seperti ini adalah sah. Namun demikian, tidak
jarang juga ada oknum polantas yang memanfaatkan kondisi ini untuk meraup
keuntungan bagi dirinya sendiri. Rasa bersalah atas pelanggaran yang dilakukan
oleh pengguna jalan tentunya akan membuat rasa takut dalam diri pelanggar dan
dengan begitu akan lebih mudah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk
mencari uang dengan melaksanakan tilang melalui “jalur belakang” dimana uang
hasil tilangnya akan menjadi milik pribadi bukan disetorkan kepada negara. Selain
merupakan kecurangan oknum petugas yang tidak bertanggung jawab, hal ini juga
didukung oleh perilaku pengguna jalan yang tidak mau ambil pusing atau tidak
mau repot untuk mengurus dan mengambil barang bukti ke pengadilan sehingga
kedua hal ini menjadi saling mendukung dalam terjadinya praktik suap di Jalanan.
Fenomena seperti ini tidak jarang kita temukan di beberapa tempat, atau bahkan
mungkin kita sendiri pernah mengalaminya. Tentunya tidak semua oknum
polantas bersikap demikian, namun pada realitanya sampai saat ini masih ada saja
oknum yang berbuat curang dengan memanfaatkan statusnya sebagai “penegak hukum” untuk mencari uang lebih. Seperti contoh yaitu pelaksanaan razia yang sejatinya digelar untuk menegakkan ketertiban berlalu lintas, malah tercoreng oleh
ulah seorang oknum polisi. Merry (28), pengendara sepeda motor yang terjaring
razia karena tidak menyalakan lampu utama, diduga dimintai 'uang damai' sebesar
Rp 70 ribu, oleh salah satu oknum anggota Satlantas Polresta Bandar Lampung, di
Jalan Sultan Agung, Dua Jalur, Kedaton, Kamis, (1/3/2012) sekitar pukul 16.00
WIB.1
1
Kemerosotan citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan penting
yang hingga saat ini masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
melakukan penegakan hukum, dan melakukan pengayoman, perlindungan serta
menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dalam melayani
masyarakat. Fenomena ini tampaknya tetap akan menjadi siklus yang abadi dalam
tubuh Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), andaikata komitmen
profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas tidak diwujudnyatakan dalam
sikap dan tindakan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenang
sehari-hari.2
Sikap arogansi, kasar dan menakutkan, sudah terlanjur mendara daging bagi
masyarakat apabila mendengar kata polisi. Hal ini dikarenakan banyaknya oknum
polisi yang merusak citra lembaga negara yang sekarang dipimpin oleh Jendral
Sutarman. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian tujuan dibentuknya lembaga kepolisian ialah sebagai pengayom,
pelindung, pelayan dan penegak hukum. Karena ulah anggotanya yang tak
bertanggungjawab, polisi harus membayar dengan harga mahal yaitu hilangnya
kepercayaan masyarakat.3
Kepolisian sebenarnya sudah memiliki berbagai peraturan (khususnya internal)
yang tegas, guna mengantisipasi anggotanya agar tidak nakal seperti Perkap
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen, Pengamanan dan Organisasi,
2
Jaya Suprana, “Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah Seminar Nasional Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian UNDIP, 1995, hlm. 1).
3
Perusahaan dan atau Instansi/Lembaga Pemerintah. Protap Nomor 1 Tahun 2010
tentang Simulasi Penanganan Unjuk Rasa Anarkis dan yang paling penting,
Protap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia
Dalam Implementasi Tugas-tugas Polri. Serta yang pastinya kode etik dan sumpah
jabatan sebagai aturan main tak lagi dihiraukan.
Memang benar, dari sekian banyak anggota seragam coklat tesebut pasti lebih
banyak lagi jumlah polisi yang baik dan benar dibandingkan dengan yang nakal.
Kepolisian harus merasakan akibat buruk dari perbuatan oknum nakal tersebut
dan perlu ditegaskan di sini tugas polisi ialah untuk melindungi dan mengayomi
masyarakat, bukan sebaliknya.
Pencitraan polisi yang bersifat negatif itu bukan hanya dilontarkan oleh
masyarakat, melainkan juga oleh para pejabat teras di tubuh Polri sendiri. Mantan
Kapolri Sutanto sendiri secara transparan menegaskan, bahwa kepercayaan
masyarakat atas kinerja Polri belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini
disebabkan adanya kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa Polri lamban, tidak
tanggap, diskriminatif dan kurang profesional dalam menangani laporan
pengaduan masayrakat, ditambah lagi sikap perilaku anggota Polri yang belum
santun dalam memberikan pelayanan.4
Perilaku-perilaku menyimpang yang di lakukan oleh aparat kepolisian juga
merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran dalam
penanggulangan tindak pidana lalu lintas. Perilaku menyimpang tersebut yaitu
4
berupa pemanfaatan jabatan dan wewenangnya untuk menghasilkan sesuatu yang
diinginkan.
Hal tersebut di atas akan berdampak terhadap citra Lembaga Kepolisian karena
sikap dan prilaku aparatnya yang menjalankan aturan hukum sebagamana
mestinya. Selain itu masyarakat sebagai subjek hukum, akan mengalami
perubahan perilaku hukum dengan proses penegakan hukum yang tidak sesuai
dengan aturan yang berlaku. Perubahan pada perilaku masyarakat ini, dapat terjadi
pada perilaku kebiasaan sogok-menyogok (nepotisme), maupun krisis
kepercayaan kepada aparat penegak hukum (main hakim sendiri). Hal ini tentunya
sangat berdampak buruk terhadap penegakan hukum di negara ini.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung
membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan tilang guna penanggulangan
tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung?
b. Faktor apakah yang menjadi penghambat Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar
Lampung dalam membangun citra kepolisian pada pelaksanaan tilang guna
penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum
dalam pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di
Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Polresta
Bandar Lampung dalam kurun waktu tahun 2013-2014.
C. Tujuan dan Kegunaaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk memahami dan menganalisis upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas
Polresta Bandar Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan
tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar
Lampung.
b. Untuk memahami dan menganalisis hambatan Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan tilang guna
penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaaan secara
praktis sebagai berikut:
a. Kegunaaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu
hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan upaya dan kendala Satuan Lalu
Lintas Polresta Bandar Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan
tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi
aparat penegak hukum untuk membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan
tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar
Lampung.
D. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoretis
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam pembahasan penelitian ini
adalah menggunakan:
a. Teori Penanggulangan Kejahatan
Untuk mewujudkan tercapainya tujuan negara yaitu negara yang makmur serta
adil dan sejahtera maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek
termasuk aspek hukum. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi
masyarakatnya tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial
(social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).5
Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau
kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah
5
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
dan menanggulangi tindak pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah
kebijakan kriminal (criminal policy).6
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal
(hukum pidana) ialah masalah penentuan:7
1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Masalah menentukan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula
bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang
dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian
dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana
(penal policy).8 Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain
merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya
penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal
tindak pidana yang secara faktual terus meningkat.
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari
ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah politik
kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kehidupan
6
Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 73 7
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 32
8
tata pemerintahan hal ini merupakan suatu kebijakan aparatur negara. Istilah
kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah‚ kebijakan hukum pidana’ dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah‚ politik hukum pidana ini sering dikenal dengan
berbagai istilah antara lain penal policy.
Menurut Barda Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanggulangan
kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal),
maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial
(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).9Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan.
Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi masalah sosial
(kejahatan) termasuk dalam bidang penegakan hukum (khususnya penegakan
hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).10 Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial.
Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan sebagai berikut:
“Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)
pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
9
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, 2001, hlm. 73-74. 10
masyarakat (social Defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dan oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup didalamnya “social welfare policy”dan “social defence policy”.
b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana sebagai
salah satu sarana perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila
tidak ada atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah:11
1) Faktor hukumnya sendiri;
2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan
5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa sang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
2. Konseptual
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi makna kata “citra” sebagai,
“gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk”. dikaitkan dengan “politik”, maka “citra politik”
diartikan sebagai gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seorang tokoh
11
masyarakat.12 Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan, bahwa dalam teori
psikologi; citra yang merupakan bagian dari persepsi (hasil pengamatan),
mengandung banyak unsur subjektif.13
b. Berdasarkan Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012
tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan
Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa Bukti Pelanggaran yang
selanjutnya disebut dengan Tilang adalah alat bukti pelanggaran tertentu di
bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan format tertentu yang
ditetapkan.
c. Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan sosial (Social Welfare) oleh sebab itu maka tujuan utama dari politik kriminal yaitu perlindungan terhadap masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan.14
d. Pelanggaran hukum, yaitu perbuatan yang melanggar perundang-undangan
dan norma-norma dalam masyarakat, baik berupa kejahatan maupun
pelanggaran15. Pelanggaran hukum pidana maksudnya adalah apabila suatu
perbuatan itu bertentangan atau melanggar perundang-undangan yang termuat
dalam KUHP. Pelanggaran hukum perdata yaitu apabila perbuatan atau sikap
tindak itu merupakan penyelewengan atau bertentangan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disingkat dengan KUHPdt.
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hlm. 169.
13
Sarlito Wirawan Sarwono, Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial dalam Merenungi Kritik Terhadap Polri oleh Kunarto, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995, hlm. 288.
14
Barda Nawawi Arief. Op cit. 2001, hlm. 2 15
Pelanggaran administrasi, yaitu jika perbuatan itu melanggar atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan administrasi negara16.
Pelanggaran adalah penyimpangan terhadap ketentuan undang-undang yang
berlaku. Pelanggaran lalu lintas adalah pelanggaran terhadap persyaratan
administrasi dan/atau pelanggaran terhadap persyaratan teknis oleh pemakai
kendaraan bermotor sesuai ketentuan peraturan perundangan lalu lintas yang
berlaku. Penindakan pelanggaran lalu lintas adalah tindakan hukum yang
ditujukan kepada pelanggar peraturan lalu lintas yang dilakukan oleh petugas
Kepolisian Republik Indonesia secara edukatif maupun secara yuridis.
e. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu
lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu
lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta
pengelolaannya.
f. Lalu Lintas menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan
yuridis empiris guna memperoleh hasil penelitian yang benar dan obyektif.
Pendekatan yuridis normatif dalam rangka norma yang berkaitan dengan masalah
penelitian yaitu hal-hal yang menyangkut ketentuan baik masalah perundangan,
16
teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan.
Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mengadakan
penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada terkait dengan upaya dan
kendala Polresta Bandar Lampung dalam membangun citra kepolisian pada
pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota
Bandar Lampung.
2. Sumber dan Jenis Data
Sesuai dengan obyek yang akan diteliti, maka data digunakan berasal dari dua
sumber yaitu data lapangan dan data kepustakaan. Subyek jenis data meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI;
2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Raya;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu
Lintas Jalan;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan
Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran
7) Surat Keputusan Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku
Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang;
8) Kepala Kepolisian Negara RI Nomor B/2098/VII/2009 tentang
Penggunaan Blangko Tilang Lama Sebagai Alat Penindakan Perkara
Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tertentu Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan langsung dengan
masalah yang diteliti, berupa hasil penelitian terdahulu, literatur, jurnal dan
buletin ilmiah.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti majalah, surat
kabar, kamus dan ensiklopedia.
3. Responden
Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh unit yang akan
diteliti.17 Dalam penelitian ini tidak semua populasi yang dijadikan responden
melainkan sebagian saja, yaitu yang berkaitan dengan pokok penelitian. Di dalam
menentukan responden yang akan diteliti digunakan pengambilan responden
berupa purposive sampling, yang berarti dalam menentukan responden disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili
populasi terhadap masalah yang hendak dicapai. Adapun yang dijadikan
responden dalam penelitian ini adalah M. Reza Chairul A.S.selaku Kepala Satuan
Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung, dan Ilham Satria selaku Kanit Satlantas
17
Polresta Bandar Lampung dan Herwan Ali selaku anggota Satlantas Polresta
Bandar Lampung, pelaku pelanggar lalu lintas serta tokoh masyarakat.
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Dalam pengumpulan data, penulis melakukan serangkaian kegiatan yang meliputi
a. Studi pustaka, yaitu pengumpulan terhadap data sekunder dengan mencatat,
mengutip serta menelaah buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan
materi penelitian kemudian menyusunnya sebagai kajian data.
b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data primer yang dilakukan secara
lisan kepada responden dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara
terbuka dan terarah dengan sebelumnya mempersiapkan pertanyaan terlebih
dahulu.
c. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dengan jalan mencatat
atau merekam data-data yang ada pada lokasi penelitian yang berkaitan
dengan pokok materi yang dibutuhkan.
Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan sebagai
berikut :
a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh
mengenai kelengkapan dan kejelasan dari data.
b. Mengevaluasi semua data yang mempunyai relevansi dengan penelitian.
c. Meng-sistemasikan, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh satu
5. Analisis Data
Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data
sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan pekerjaan seorang
peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal,
dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.18 Hasil analisis ini
diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan
dalam tesis ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan
serta memberikan saran seperlunya. Adapun analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara
lengkap kualitas dan karateristik dari data yang sudah terkumpul dan sudah
dilakukan pengolahan, kemudian dibuat kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan tesis ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan dan
ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan kajian-kaji an teori mengenai kajian tentang tinjauan umum
tentang tugas dan kewenangan POLRI, tindak pidana/pelanggaran lalu
18
lintas, kebijakan penanggulangan tindak pidana, dan Penegakan Hukum
Lalu Lintas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan mengenai pembahasan terhadap permasalahan yaitu
mengenai upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar
Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan tilang guna
penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas dan kendala Satuan
Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung membangun citra kepolisian
dalam pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu
lintas di Kota Bandar Lampung.
BAB IV PENUTUP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum tentang tugas dan kewenangan POLRI
1. Pengertian Polisi
Kata Polisi berasal dari kata Yunani yaitu Politea. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut orang yang menjadi warga negara dari kota
Athena, kemudian pengertian itu berkembang menjadi kota dan dipakai untuk
menyebut semua usaha kota. Oleh karena pada jaman itu kota-kota merupakan
negara yang berdiri sendiri, yang disebut juga Polis, maka Politea atau Polis
diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan
keagamaan.19 Di dalam perkembangannya, sesudah pertengahan Masehi, agama
Kristus mendapat kemajuan dan berkembang sangat luas. Maka semakin lama
urusan dan kegiatan agama menjadi semakin banyak, sehingga mempunyai urusan
khusus dan perlu diselenggarakan secara khusus pula, akhirnya urusan agama
dikeluarkan dari usaha Politea (Polis Negara/kota).20
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian,
“Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
19
Andi Munwarman, Sejarah Singkat POLRI .http:/ /www.HukumOnline.com / hg/narasi/ 2004/04/21/nrs,20040421-01, id. html. (diakses 16 Agustus 2014)
Para cendekiawan di bidang Kepolisian menyatakan bahwa dalam kata Polisi
“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanankepada masyarakat”.
Dalam menjalankan fungsi sebagai aparat penegakan hukum, polisi wajib
memahami asas-asas hukum yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pelaksanaan tugas, yaitu sebagai berikut:22
a. Asas legalitas, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum wajib tunduk pada hukum.
b. Asas kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani permasalahan masyarakat yang bersifat diskresi, karena belum diatur dalam hukum.
c. Asas partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat polisi mengkoordinasikan pengamanan Swakarsa untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat.
d. Asas preventif, selalu mengedepankan tindakan pencegahan daripada penindakan (represif) kepada masyarakat.
e. Asas subsidiaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani oleh instansi yang membidangi.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia diatur juga tentang tujuan dari POLRI yaitu:
21
Andi Munwarman, Log.cit, hlm. 3 22
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Kedudukan POLRI sekarang berada di bawah Presiden menurut Pasal 8
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan:
a. Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh KaPOLRI yang
dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini mengenai tugas dan wewenang POLRI di atur dalam Bab III mulai
Pasal 13 sampai 14, yang mengatur:
Pasal 13:
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b) menegakkan hukum; dan
c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Pasal 14 :
1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelumditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannyadalam lingkup tugas kepolisian; serta
l) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Menurut semboyan Tribrata, tugas dan wewenang POLRI adalah:
Kami Polisi Indonesia:
a) Berbhakti kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh Ketaqwaan TerhadapTuhan Yang Maha Esa.
b) Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
c) Senantiasa Melindungi, mengayomi dan Melayani masyarakat dengan Keikhlasan utuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
2. Tugas dan Fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Polisi lalu lintas adalah bagian dari kepolisian yang diberi tangan khusus di
bidang lalu lintas dan karenanya merupakan pengkhususan (spesifikasi) dari
tangan polisi pada umumnya. Karena kepada polisi lalu lintas diberikan tugas
yang khusus ini, maka diperlukan kecakapan teknis yang khusus pula. Akan
pokok yang dibebankan kepada setiap anggota POLRI, karena itu berhadapan
dengan keadaan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban pada
umumnyapolisi lalu lintas pun harus bertindak.
3. Tugas Polisi Lalu Lintas
Polisi Lalu Lintas adalah bagian dari polisi kota dan mewujudkan susunan
pegawai-pegawai lalu lintas di jalan-jalan. Tugas polisi lalu lintas dapat dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu:23
a. Operatif:
2) mengeluarkan Surat Tanda Kendaraan Bermotor
3) Membuat statistik/grafik dan pengumpulan semua data yang berhubungan dengan lalu lintas.
4. Fungsi Polisi dibidang Lalu Lintas
Fungsi Kepolisian Bidang Lalu Lintas (fungsi LANTASPOL) dilaksanakan
dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang “meliputi:24
a. Penegakan hukum lalu lintas (Police Traffic Law Enforcement ),yang dapat bersifat preventif yaitu pengaturan, penjagaan, dan patroli lalu lintas dan represif yaitu penindakan hukum terhadap para pelanggar lalu lintas dan penyidikan kecelakaan lalu lintas;
b. Pendidikan masyarakat tentang lalu lintas (Police Traffic Education); c. Enjinering lalu lintas (Police Traffic Enginering);
d. Registrasi dan identifikasi pengemudi serta kendaraan bermotor.
Dalam rangka penyelenggaraan fungsi LANTASPOL, tersebut polisi lalu lintas
berperan sebagai:25
23
http://ml.scribd.com/doc/58869746/8/Tugas-polisi-Lalu-lintas (diakses pada tanggal 16 Agustus 2014).
24
a. Aparat penegak hukum perundang-undangan lalu lintas dan peraturan pelaksananya;
b. Aparat yang mempunyai wewenang Kepolisisan Umum; c. Aparat penyidik kecelakaan lalu lintas;
d. Aparat pendidikan lalu lintas terhadap masyarakat;
e. Penyelenggaran registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor;
f. Pengumpul dan pengelola data tentang lalu lintas; Unsur bantuan pengelola data bantuan teknis melalui unit-unit patroli jalan raya (PJR).
B. Gambaran Umum mengenai Citra Polri
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi makna kata “citra” sebagai, “gambaran
yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau
produk”. dikaitkan dengan “politik”, maka “citra politik” diartikan sebagai
gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seorang tokoh masyarakat.26 Psikolog
Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan, bahwa dalam teori psikologi; citra
yang merupakan bagian dari persepsi (hasil pengamatan), mengandung banyak
unsur subjektif.27 Unsur subjektif merupakan unsur lain di samping unsur sarana
dan prasarana yang mempengaruhi kualitas citra Polri. Gambaran diri seorang
tokoh masyarakat sebagai essensi dari citra, dapat berwujud; kinerja, keteladanan,
kedisiplinan, kejujuran, ketegasan dan bahkan tersangkut kualitas ketaqwaannya.
Essensi inilah yang menjadi pijakan membangun Citra Polri dari kondisinya saat
ini.
Tugas Polri menyatu dengan masyarakat. Adalah hal yang wajar bila kinerja Polri
dievaluasi oleh masyarakat. Secara ilmu pengetahuan, menilai sesuatu memiliki
25
Naning Ramadahan, Menggairahkan kesadaran Hukum Masyarakat Dan Disiplin Penegak Hukum Dalam Lalu Lintas, Bina ilmu, Surabaya, 1983, hlm. 26
26
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hlm. 169.
27
ukuran penilaian atau standar penilaian. Ukuran penilaian inilah yang belum tentu
dimiliki oleh masyarakat dalam kuantitas dan kualitas majemuk. Padahal
ketetapan evaluasi ini amat mempengaruhi kualitas Citra Polri. Oleh karena itu
sikap keteladanan, disiplin, jujur, tegas dilandasi kualitas ketaqwaan menjadi
syarat utama bagi Polri dalam membangun Citranya.
Keteladanan menurut Djunaidi Maskat H merupakan sikap utama yang perlu
ditonjolkan untuk melaksanakan tugas, mengembangkan individu dan
membangun kelompok.28 Keteladanan Polri dalam kinerjanya mencakup:
keteladanan dalam melakasanakan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
keteladanan dalam memberikan semangat dalam melaksanakan sistem keamanan
swakarsa, keteladanan dalam memberikan dorongan kerja, keteladanan dalam
kewaspadaan terhadap lingkungan, keteladanan dalam “Ambeg Parama Arta”, keteladanan dalam kesetiaan pada negara, pimpinan dan tugas, keteladanan dalam
berhemat, keteladanan dalam keterus-terangan dan keteladanan dalam
meregenerasi dan menyiapkan anggota maju.29
Upaya pengembangan individu Djunaidi Maskat H menempuh jalan: memberikan
pemahaman mengenai pentingnya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan
tugas, menjelaskan sasaran yang hendak dicapai serta harapan atau peran serta
Polri dalam mensukseskan sasaran yang hendak dicapai, memahamkan arti
penting nilai keadilan, melaksanakan pengawasan, berperan serta dalam
28
Djunaidi Maskat H, Kepemimpinan Efektif di lingkungan Polri pada tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, Sanyata Sumanasa Wira Sespin Polri, Bandung, 1993, hlm. 251. 29
memecahkan masalah.30 Dalam membangun kelompok hal-hal yang dikemukakan
Djunaidi Maskat H mencakup: peran serta Polri mengatasi perpecahan kelompok,
perhatian pada kesejahteraan anggota, perhatian pada kelakuan anggota,
memperhatikan sarana membangun.31 Akhirnya Djunaidi Maskat H
mengemukakan secara garis besar pelaksanaan tugas mencakup: bertanggung
jawab pada pelaksanaan tugasnya, menetapkan sasaran secara jelas, memastikan
tugas yang diberikan dan akhirnya mengevaluasi hasil kinerja Polri.32
Pelaksanaan tugas atau kinerja Polri dinilai oleh masyarakat sebagai komponen
pengamat tertuju pada wajah polisi di jalan. Meskipun penilaian ini tolok ukurnya
amat bersifat subjektif, tetapi mengabaikan penilaian masyarakat seperti itu, juga
kurang bijaksana sebab bagaimanapun kinerja polisi di jalan-jalan adalah
semacam etalase Polri yang ada akhirnya membangun yang disebut “Citra Polri”
itu.33 Penilaian seperti di atas memberikan makna yang sebenarnya tentang apa
yang secara faktual telah dilakukan Polisi, tidak sekedar mengerti landasan
normatif tugas mereka. Dengan demikian kualitas citra Polri amat ditentukan oleh
evaluasi masyarakat terhadap kinerja Polri di lapangan. Kualitas citra Polri
sebagaimana diuraikan di atas sangat dipengaruhi terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan wewenang sehari-hari. Sebuah
analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Sutherland, dalam
bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan tahun 1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Menurut
Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul
dengan dunia kejahatan dan pejahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi
sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan. Dampak negatif yang sering tak
mengerti adalah polisi telah berada dalam lintasan kritis, seakan-akan ia tengah
berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara tugasnya sebagai
penegak hukum dan terhadap kejahatan yang tengah ditanganinya.34
Perilaku menyimpang yang demikian itu secara tidak langsung menggambarkan
bahwa administrasi peradilan pidana serta perilaku para penyelenggaranya belum
menunjukkan hasil yang maksimal yang diharapkan. Bahkan, sebaliknya
penyelenggaraan peradilan pidana secara potensila menampakkan aspek-aspek
yang bersifat kriminogen. Steven Box dalam tulisannya yang berjudul Power, Crime and Mystication mengidentifikasi bermacam-macam bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara pidana antara lain: (1)
membunuh atau menyiksa tersangka; (2) mengancam, menahan, mengintimidasi
dan membuat “catatan hitam” bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain dengan cara menrima suap supaya tidak
melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau fakta atau
keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung
atau tidak langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan.35
34
Sekurang-kurangnya ada empat hal menurut Suttherland yang mempengaruhi mengapa oknum penegak hukum seperti polisi berperilaku menyimpang, yakni: (1) adanya tekanan mental yang tidak seimbang pada dirinya; (2) kurangnya perasaan bersalah; (3) keberanian mengambil resiko; dan (4) sulitnya untuk mendapatkan keteladanan dari lingkungannya (kf. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia; Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 151-153). 35
Senada dengan Steven Box, dalam buku pedoman pelatihan untuk anggota Polri
disebutkan pula, bahwa tindakan menutup-nutupi kejahatan dan melakukan
korupsi dan menerima suap, tidak saja merupakan pelanggaran hak asasi manusia
yang sangat serius, tetapi juga berarti melakukan tindakan melanggar hukum.
Dengan demikian, ketika warga masyarakat mengetahui tindakan polisi yang
melanggar hukum tersebut akan melihat polisi sebagai pelanggar hukum dan
bukan sebagai penegak hukum.36
Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam menjalankan
tugasnya itu setidak-tidaknya merupakan tindakan pengebrian etika jabatan.
Menurut Abdul Wahid, tindakan yang demikian itu sebagai akibat dari kondisi
psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi Machiavelis
yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”. Prinsip ini
mengandung pengertian bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan sebagai
manifestasi kewajiban untuk ditegakkan, direkayasa dan dianggap sebagai
penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan dan kejahatan dianggap
sebagai terobosan logis untuk memperkaya diri, membangun kejayaan atau
menarik kedudukan yang terhormat di mata publik.37
Orientasi penegakan hukum yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo, dapat
saja didorong masuk jalur lambat, dan dalam keadaan yang serba lambat seperti
itu memberikan ruang yang luas untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
kelompok dan sekaligus menjadi lahan bisnis yang subur bagi kalangan tertentu.
Keadaan seperti itu tak mustahil memunculkan pertanyaan dari masyarakat,
36
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota Polri, Jakarta: 2006, hlm. 71.
37
bahwa apakah hukum kita ini memang diarahkan untuk menghasilkan keadilan
ataukah sedang bekerja untuk menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?.38
Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh
pekerjaan yang dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar
mengingatkan bahwa praktik- praktik “kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi. Oleh sebab itu, adalah suatu kebohongan belaka bila
Polri kemudian menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu
berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak terlalu benar
apabila kita menilai bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan oleh
Polri, karena seakan-akan Polri selama ini hanya berdiam diri saja.39 Jend. Pol.
(Purn) Kunarto mengingatkan pula, bahwa tindakan, perbuatan, karya, hasil kerja
polisi yang baik itu masih sangat besar ketimbang yang bernilai negatif. Bukti dari
pernyataan itu adalah bahwa pembangunan yang berhasil dijalankan dewasa ini
mustahil dapat dicapai tanpa kondisi aman, dan yang menjadi pilar utama dari
kondisi aman tersebut adalah Polri.40
C. Tindak Pidana / Pelanggaran Lalu Lintas
1. Tindak Pidana
Dari berbagai literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya
merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa
38
Satjipto Rahardjo dalam Karolus Medan dan Frans J. Rengka (Ed), Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 173-177 & 168-172.
39
Pandangan yang demikian sebagaimana diungkapkan pula oleh Kamil Razak, dalam artikelnya berjudul “Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru Polri”, Harian Pikiran Rakyat, 3 Juli 2006.
40
Jend. Pol. (Purn) Kunarto, “Peran Serta Masyarakat dalam Menjaga Agar Tugas dan
Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang digunakan untuk menerjemahkan kata
strafbaarfeit oleh sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana.41 Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi tindak
pidana yaitu:42
a. Definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah, tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan merupakan bagian suatu peristiwa.
Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak pidana tersebut
mempunyai 5 (lima) unsur yaitu:43
a. Subjek; b. Kesalahan;
c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
2. Pengertian Pelanggaran
Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana, tindak pidana dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu kejahatan dan pelanggaran.44 Kedua istilah tersebut
pada hakekatnya tidak ada perbedaan yang tegas karena keduanya sama- sama
delik atau perbuatan yang boleh dihukum. Pembagian tindak pidana tersebut
dilakukan karena menurut Memorie van Toelichting (pada WVS di negeri
41
A. Zainal Abidin Farid. 1995. Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 27. 42
Ibid, hlm. 225. 43
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana daan Penerapanya. Averroes Press. Jakarta, 2002, hlm. 211.
44
Belanda) merupakan pembagian asasi (prinsipiil), bahwa pembagian tindak pidana
dalam kejahatan dan pelanggaran itu berdasarkan perbedaan apa yang disebut
delik hukum dan apa yang disebut delik undang-undang.45 Perbedaan kedua istilah
tersebut mempunyai perbedaan ciri- ciri atau sifat. Suatu perbuatan merupakan
delik hukum apabila perbuatan itu bertententangan dengan asas-asas hukum yang
ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas daripada hal apakah asas-asas
tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang- undang pidana.
Delik undang-undang ialah perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara
tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana, terlepas dari apakah perbuatan
tersebut bertentangan atau tidak dengan kesadaran hukum dari rakyat. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia melakukan pembedaan antara
kejahatan dan pelanggaran. Segala bentuk kejahatan dimuat dalam buku II KUHP
sedangkan pelanggaran dimuat dalam buku III KUHP yang dibedakan secara
prinsip yaitu:
a. Kejahatan sanksi hukumannya lebih berat dari pelanggaran, yaitu berupa
hukuman badan (penjara) yang waktunya lebih lama.
b. Percobaan melakukan kejahatan dihukum, sedangkan pada pelanggaran
percobaan melakukan pelanggaran tidak dihukum.
c. Tenggang waktu daluarsa bagi kejahatan lebih lama dari pada pelanggaran.
Perumusan mengenai pelanggaran lalu lintas tidak dapat ditemukan dalam buku
ketiga KUHP sebab pelanggaran lalu lintas diatur dalam suatu
perundang-undangan tersendiri yaitu dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
45
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, lalu lintas
mempunyai definisi yaitu bolak balik, hilir mudik perihal perjalanan di jalan,
perhubungan antara suatu tempat dengan tempat lain.46Sedangkan dalam Pasal 1
butir 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Lalu Lintas adalah gerak
Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengatur mengenai semua
pengaturan-pengaturan yang terkait dengan lalu lintas. Tujuan dari dibentuknya
undang-undang tersebut adalah:
a. Mempertinggi mutu kelancaran, keamanan dan ketertiban lalu lintas dan
angkutan jalan raya;
b. Mengatur dan menyalurkan secara tertib segala pengangkutan barang-barang
dan penumpang terutama dengan kendaraan bermotor umum;
c. Melindungi semua jalan dan jembatan agar jangan dihancurkan atau dirusak
dan pula jangan sampai susut melewati batas dikarenakan
kendaraan-kendaraan yang sangat berat.
3. Pelanggaran Lalu Lintas
Pelanggaran merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada,
baik dalam norma masyarakat atau hukum yang berlaku. Dalam konteks ini
pelanggaran lalu lintas adalah suatu tindakan baik sengaja ataupun tidak sengaja
melakukan perbuatan untuk tidak mematuhi aturan-aturan lalu lintas yang berlaku.
Pada umumnya pelanggaran lalu lintas merupakan awal terjadinya kecelakaan lalu
lintas.
46