• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN CITRA KEPOLISIAN DALAM PELAKSANAAN TILANG GUNA PENANGGULANGAN PELANGGARAN LALU LINTAS DI KOTA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEMBANGUN CITRA KEPOLISIAN DALAM PELAKSANAAN TILANG GUNA PENANGGULANGAN PELANGGARAN LALU LINTAS DI KOTA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ii police officers who use guilt for violations committed by road users will certainly create fear in offenders, which is used by persons who are not responsible for the money to carry out a ticket through which the money will belong tilangnya private not remitted to the state. This of course makes the image of the police in the eyes of the public bad. Problems in this study was an attempt by the Police Traffic Unit Bandar Lampung in the image of the police in the implementation of countermeasures follow ticketed for traffic violations in the city of Bandar Lampung and factors that constrain Police Traffic Unit Bandar Lampung in building the image of the police in response to the implementation of a speeding ticket traffic offenses in the city of Bandar Lampung.

The approach used in this research is normative juridical approach conducted through the study of law and juridical empirical conducted through field research. The results showed that the efforts of Traffic Police in Bandar Lampung Police Image Building in Tilang Implementation for Prevention Act Violations Traffic in the city of Bandar Lampung via integrated prevention effort between citizens and police, law enforcement against persons who violate the Traffic Member. Factors hindering the Traffic Police Unit in Bandar Lampung Police Image Building on Implementation Tilang among others: a. The statute itself; b. Personality or mentality of law enforcement; c. Law enforcement support facilities. which includes software and hardware; d. Level of legal awareness and legal compliance of society; e. Legal culture embraced by the people concerned.

In the end, are suggested to the Member Bandar Lampung Police should uphold professionalism in performing their duties and to the Chief of Police in Bandar Lampung should give strict sanctions against members who do not carry out their duties, especially in terms of implementation pelanggararan ticketed for traffic offenders.

(2)

i

GUNA PENANGGULANGAN PELANGGARAN LALU LINTAS DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh Surono

Pelaksanaan tilang tidak jarang ditemui adanya oknum polantas yang memanfaatkan rasa bersalah atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna jalan tentunya akan membuat rasa takut dalam diri pelanggar, yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencari uang dengan melaksanakan tilang melalui dimana uang hasil tilangnya akan menjadi milik pribadi bukan disetorkan kepada negara. Hal ini tentunya membuat citra kepolisian di mata masyarakat buruk. Permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung dalam citra kepolisian pada pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung dan faktor yang menjadi penghambat Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung dalam membangun citra kepolisian pada pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap perundang-undangan dan yuridis empiris yang dilakukan melalui penelitian lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung Membangun Citra Kepolisian dalam Pelaksanaan Tilang guna Penanggulangan Tindak Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Bandar Lampung melalui integrated prevention effort antara warga masyarakat dan polisi, penegakan hukum terhadap oknum Anggota Satlantas yang melakukan pelanggaran. Faktor Penghambat Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung dalam Membangun Citra Kepolisian pada Pelaksanaan Tilang antara lain: a. Hukumnya sendiri; b. Kepribadian atau mentalitas penegak hukum; c. Fasilitas pendukung penegakan hukum. yang mencakup perangkat lunak dan keras; d. Taraf kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat; e. Kebudayaan hukum yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

Pada akhirnya di sarankan kepada Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung hendaknya menjunjung tinggi sikap profesionalisme dalam menjalankan tugas dan kepada Pimpinan Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung hendaknya memberikan sanksi yang tegas terhadap Anggotanya yang tidak menjalankan tugasnya khususnya dalam hal pelaksanaan tilang terhadap pelaku pelanggararan lalu lintas.

(3)
(4)

(TESIS)

Oleh SURONO

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

MOTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 11

C. Tujuan dan Kegunaan Peneliitian ... 12

D. Kerangka Pemikiran ... 13

E. Metode Penelitian ... 18

F. Sistematika Penulisan ... 22

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum tentang tugas dan kewenangan POLRI ... 24

B. Gambaran Umum mengenai Citra Polri ... 29

C. Tindak Pidana / Pelanggaran Lalu Lintas ... 34

D. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana ... 41

E. Penegakan Hukum Lalu Lintas ... 52

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Upaya Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung Membangun Citra Kepolisian dalam Pelaksanaan Tilang guna Penanggulangan Tindak Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Bandar Lampung ... 65

(6)

IV. PENUTUP

A. Simpulan ... 117

B. Saran ... 118

(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)

vii

Tesis ini saya persembahkan untuk:

 Bapak dan Mamak serta Ibu Mertua yang ada di Yogya yang

se a tiasa e ba tuku dala do’a.

 Cinta dan sayangku kepada Isteriku Retno Widiyastuti, S.Sos. yang

telah menjadi motivasi dan inspirasi serta tiada henti memberikan

duku ga do’a ya buatku.

 Ketiga buah hatiku: Alifia Adinda Sekarsari, Zahra Widya Cakra

Wirawati, dan Rizky Jalu Pamungkas sebagai sumber motivatorku

selama ini.

(13)

vi

Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas

kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta

pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab)

darihal hal yang dipimpinnya.

(14)

viii

Nama lengkap penulis adalah Surono, dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1972

di Wonosobo Kabupaten Tanggamus yang merupakan anak ke-2 dari 5

bersaudara buah hati pasangan Bapak Legiman dan Ibu Tumini.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri Kalirejo Kecamatan

Wonosobo Kabupaten Tanggamus, lulus tahun 1984. Sekolah Menengah

Pertama PGRI Wonosobo Kabupaten Tanggamus, lulus tahun 1987. Sekolah

Menengah Atas Negeri 1 Pringsewu Kabupaten Tanggamus, lulus tahun

1990. Penulis melanjutkan Pendidikan Secaba Polri di SPN Pontianak

Kalimantan Barat dan selesai pada tahun 1993. Pada tahun 2002 penulis

mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tanjung

Pura Pontianak Kalimantan Barat. Pada tahun 2013 penulis diterima sebagai

Mahasiswa pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum

Universitas Lampung.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kenyamanan berlalu lintas merupakan dambaan setiap pengguna jalan

dimanapun, baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil. Terhindar dari

kemacetan dan ulah pengguna jalan yang tidak tertib atau ugal-ugalan adalah

salah satu kenyamanan yang sampai saat ini belum dirasakan kebanyakan

pengguna jalan. Untuk itulah Kepolisian memiliki satu divisi/unit khusus yang

bertugas untuk mengatur dan mengamankan lalu lintas yang dikenal dengan nama

Polisi Lalu Lintas (Polantas). Tugas utama dari Polantas adalah mengatur dan

memastikan kondisi lalu lintas di jalan raya agar tetap aman dan kondusif.

Penegakan hukum di bidang lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) adalah proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum di

bidang LLAJ secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu

lintas dan angkutan jalan. Norma-norma hukum dalam penyelenggaraan lalu lintas

dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Upaya mendorong masyarakat mengikuti

ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang LLAJ

tersebut, ketentuan-ketentuan sanksi pidana kepada masyarakat/pengguna jalan

(16)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang harus

dilakukan penegakan hukumnya adalah:

1. Pelanggaran pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan;

2. Pelanggaran muatan;

3. Pelanggaran perizinan;

4. Pelanggaran marka dan rambu lalu lintas.

Penegakan hukum merupakan upaya menegakan norma hukum terhadap

pelanggaran yang dilakukan. Penegakan hukum dijalankan untuk menjaga,

mengawal dan menghantar hukum agar tetap tegak, searah dengan tujuan hukum

dan tidak dilanggar oleh siapapun. Kegiatan penegakan hukum merupakan

kegiatan penerapan hukum terhadap pelanggaran norma hukum. Penegakan

hukum lalu lintas merupakan bagian dari fungsi lalu lintas yang mempunyai

peranan agar Undang-Undang Lalu Lintas ditaati oleh setiap pemakai jalan.

Berdasarkan funsinya kegiatan penegakan hukum lalu lintas dapat dikelompokkan

ke dalam 2 (dua) bagian yaitu:

1. Preventif

Meliputi kegiatan-kegiatan pengaturan lalu lintas, penjagaan lalu lintas,

pengawalan lalu lintas, patroli lalu lintas, dimana dalam pelaksanaannya

kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu sistem keamanan lalu lintas saling terkait dan

tidak dapat dipisahkan. Adapun dasar hukum dari penegakan lalu lintas di bidang

preventif antara lain, yaitu:

(17)

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan dan Peraturan Pelaksanaannya;

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

d. Keputusan Menteri Perhubungan;

e. Peraturan-peraturan daerah.

2. Represif

Meliputi penindakan pelanggaran dan penyidikan lalu lintas, dimana penindakan

pelanggaran lalu lintas meliputi penindakan secara edukatif yaitu melakukan

penindakan terhadap pelanggaran lalu-lintas secara simpatik dengan memberikan

teguran atau peringatan terhadap pelanggar lalu lintas. Sedangkan penindakan

secara yuridis dapat diartikan sebagai penindakan pelanggaran lalu lintas secara

hukum yang meliputi penindakan dengan menggunakan tindakan langsung

(tilang), serta penindakan terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas yang

menimbulkan korban jiwa dengan menggunakan ketentuan penyidikan

sebagaimana terdapat dalam KUHAP.

Penegakan hukum di bidang lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) meliputi

penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas. Dalam hal

penindakan pelanggaran, sebelumnya dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor

di jalan. Tindakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dan penindakan

pelanggaran merupakan rangkaian kegiatan penegakan hukum di bidang LLAJ.

(18)

ditemukan adanya pelanggaran, maka akan dilakukan tindakan penindakan

pelanggaran dengan pemeriksaan acara cepat dan dikenakan tindak pidana denda.

Tilang dapat dilakukan oleh Polantas dengan menyita barang bukti pelanggaran

berupa SIM (Surat Izin Mengemudi), STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan),

STCK (Surat Tanda Coba Kendaraan), dan kendaraan bermotor. Tujuan

diadakannya tilang ini adalah untuk memberikan efek jera kepada pengguna jalan

agar tidak mengulangi pelanggaran yang telah dilakukan. Untuk mengambil

barang bukti yang disita oleh polantas, pemilik dapat mengambilnya di pengadilan

setelah mengikuti proses sidang terlebih dahulu dan kemudian membayar denda

atas pelanggaran yang dilakukan. Namun demikian, apabila pengguna jalan yang

melanggar tidak punya waktu untuk datang ke Pengadilan dan mengikuti sidang,

pengguna jalan dapat menitipkan uang denda pelanggaran kepada Petugas yang

menilang untuk disampaikan ke pengadilan dan barang bukti yang disita akan

langsung dikembalikan saat itu juga.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, berikut adalah prosedur tilang pelanggaran

kendaraan bermotor: Penindakan pelanggaran LLAJ didasarkan atas hasil temuan

dalam proses pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, hasil laporan, dan hasil

rekaman peralatan elektronik. Penindakan pelanggaran LLAJ dilakukan dengan

menerbitkan Surat Tilang dengan pengisian dan penandatanganan Blanko Tilang.

Blanko Tilang sekurang-kurangnya berisi kolom tentang (a) identitas pelanggar

dan kendaraan bermotor yang digunakan; (b) ketentuan dan pasal yang dilanggar;

(19)

disita; (e) jumlah uang titipan denda; (f) tempat atau alamat dan/atau nomor telpon

pelanggar; (g) pemberian kuasa; (h) penandatangan oleh pelanggar dan petugas

pemeriksa; (i) berita acara singkat penyerahan surat tilang kepada pengadilan; (j)

hari, tanggal, jam dan tempat untuk menghadiri sidang pengadilan; dan (k) catatan

petugas penindak.

Surat Tilang harus ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa dan pelanggar. Dalam

hal pelanggar tidak bersedia menandatangani Surat Tilang, maka Petugas

Pemeriksa harus memberikan catatan. Surat Tilang ini akan digunakan untuk

kepentingan pelanggar sebagai dasar hadir di persidangan atau pembayaran uang

titipan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pengadilan Negeri setempat,

Kejaksaan Negeri setempat dan Instansi yang membawahi PPNS yang

bersangkutan.

Surat Tilang dan alat bukti disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat

terjadinya pelanggaran dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak

terjadinya pelanggaran. Dalam hal pelanggar menitipkan uang denda melalui bank

yang ditunjuk oleh pemerintah, bukti penitipan uang denda dilampirkan dalam

Surat Tilang. Pelaksanaan persidangan pelanggaran LLAJ dilaksanakan sesuai

dengan hari sidang yang tersebut dalam Surat Tilang. Persidangan ini

dilaksanakan dengan atau tanpa kehadiran pelanggar atau kuasanya. Apabila

pelanggar tidak menitipkan uang denda titipan atau tidak memenuhi amar putusan

pengadilan dalam jangka waktu selama 14 (empat belas) hari sejak putusan

dijatuhkan, petugas mengajukan pemblokiran Surat Tanda Nomor Kendaraan

(20)

Berdasarkan data yang diperoleh pada Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota

Bandar Lampung bahwa:

Tabel 1. Data Jenis Pelanggaran Lalu Lintas Kendaraan Roda Dua (R2) Di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2012-2013

No. Jenis Pelanggaran 2012 2013

1. Kecepatan 0 0

2. Helm 5.880 13.182

3. Kelengkapan Kendaraan 6.053 7.415

4. Surat-surat 3.165 5.153

5. Boncengan Lebih dari 1 orang 2 79

6. Marka 1.051 2.643

7. Rambu-rambu 8.703 5.652

8. Melawan Arus 63 0

9. Lain-lain 3.876 2.390

J U M L A H 28.793 36.514

Sumber Data: Satlantas Polresta Bandar Lampung 2014

Berdasarkan tabel di atas telah terjadi beberapa jenis pelanggaran kendaraan roda

dua yang meningkat seperti helm yang mengalami kenaikan lebih dari 100%,

selanjutnya kelengkapan kendaraan meningkat sebesar 18,37%. Pelanggaran

surat-surat meningkat sebesar 38,58%, selanjutnya boncengan lebih dari 1 orang

sangat signifikan dari 2 kasus pada tahun 2012 menjadi 79 kasus pada 2013.

Pelanggaran marka jalan juga mengalami kenaikan dari 1.051 pelanggaran pada

tahun 2012 menjadi 2.643 pelanggaran pada tahun 2013 atau naik sebesar

60,23%. Namun tidak semua pelanggaran mengalami kenaikan, ada 3 jenis

pelanggaran yang mengalami penurunan pada tahun 2012 dan 2013, yaitu:

pelanggaran rambu-rambu lalu lintas, melawan arus dan lain-lain. Berikutnya

yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh kendaraan roda 4 sebagaimana tabel

(21)

Tabel 2. Data Jenis Pelanggaran Lalu Lintas Kendaraan Roda Empat (R4) Di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2012-2013

No. Jenis Pelanggaran 2012 2013

1. Kecepatan 0 0

2. Safety Belt 371 496

3. Kelengkapan Kendaraan 626 341

4. Surat-surat 363 498

5. Muatan 138 74

6. Marka 363 372

7. Rambu-rambu 1.162 629

8. Melawan Arus 0 0

9. Lain-lain 149 148

J U M L A H 3.172 2.558

Sumber Data: Satlantas Polresta Bandar Lampung 2014

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa pelanggaran

yang mengalami peningkatan maupun penurunan. Peningkatan pelanggaran

terjadi pada pelanggaran safety belt, surat-surat, marka jalan dan lain-lain. Sedangkan pelanggaran yang mengalami penurunan antara lain seperti

pelanggaran kelengkapan kendaraan, muatan, dan pelanggaran rambu-rambu lalu

lintas. Pada dasarnya program kegiatan penegakan hukum bukan berorientasi

mencari kesalahan dari pengguna jalan tetapi lebih berorientasi pada

perlindungan, pengayoman dan pelayanan pengguana jalan yang melanggar itu

sendiri (penindakan pelanggaran helm, sabuk pengaman dan kelengkapan

kendaraan bermotor), pengguna jalan lainnya (penindakan pelanggaran SIM,

kecepatan, rambu, marka dan lainnya) serta kepentingan pengungkapan kasus

pidana (penindakan pelanggaran STNK, nomor rangka, nomor mesin dan

(22)

Pelaksanaan tilang dengan prosedur seperti ini adalah sah. Namun demikian, tidak

jarang juga ada oknum polantas yang memanfaatkan kondisi ini untuk meraup

keuntungan bagi dirinya sendiri. Rasa bersalah atas pelanggaran yang dilakukan

oleh pengguna jalan tentunya akan membuat rasa takut dalam diri pelanggar dan

dengan begitu akan lebih mudah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk

mencari uang dengan melaksanakan tilang melalui “jalur belakang” dimana uang

hasil tilangnya akan menjadi milik pribadi bukan disetorkan kepada negara. Selain

merupakan kecurangan oknum petugas yang tidak bertanggung jawab, hal ini juga

didukung oleh perilaku pengguna jalan yang tidak mau ambil pusing atau tidak

mau repot untuk mengurus dan mengambil barang bukti ke pengadilan sehingga

kedua hal ini menjadi saling mendukung dalam terjadinya praktik suap di Jalanan.

Fenomena seperti ini tidak jarang kita temukan di beberapa tempat, atau bahkan

mungkin kita sendiri pernah mengalaminya. Tentunya tidak semua oknum

polantas bersikap demikian, namun pada realitanya sampai saat ini masih ada saja

oknum yang berbuat curang dengan memanfaatkan statusnya sebagai “penegak hukum” untuk mencari uang lebih. Seperti contoh yaitu pelaksanaan razia yang sejatinya digelar untuk menegakkan ketertiban berlalu lintas, malah tercoreng oleh

ulah seorang oknum polisi. Merry (28), pengendara sepeda motor yang terjaring

razia karena tidak menyalakan lampu utama, diduga dimintai 'uang damai' sebesar

Rp 70 ribu, oleh salah satu oknum anggota Satlantas Polresta Bandar Lampung, di

Jalan Sultan Agung, Dua Jalur, Kedaton, Kamis, (1/3/2012) sekitar pukul 16.00

WIB.1

1

(23)

Kemerosotan citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan penting

yang hingga saat ini masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas

dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,

melakukan penegakan hukum, dan melakukan pengayoman, perlindungan serta

menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dalam melayani

masyarakat. Fenomena ini tampaknya tetap akan menjadi siklus yang abadi dalam

tubuh Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), andaikata komitmen

profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas tidak diwujudnyatakan dalam

sikap dan tindakan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenang

sehari-hari.2

Sikap arogansi, kasar dan menakutkan, sudah terlanjur mendara daging bagi

masyarakat apabila mendengar kata polisi. Hal ini dikarenakan banyaknya oknum

polisi yang merusak citra lembaga negara yang sekarang dipimpin oleh Jendral

Sutarman. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian tujuan dibentuknya lembaga kepolisian ialah sebagai pengayom,

pelindung, pelayan dan penegak hukum. Karena ulah anggotanya yang tak

bertanggungjawab, polisi harus membayar dengan harga mahal yaitu hilangnya

kepercayaan masyarakat.3

Kepolisian sebenarnya sudah memiliki berbagai peraturan (khususnya internal)

yang tegas, guna mengantisipasi anggotanya agar tidak nakal seperti Perkap

Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen, Pengamanan dan Organisasi,

2

Jaya Suprana, “Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah Seminar Nasional Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian UNDIP, 1995, hlm. 1).

3

(24)

Perusahaan dan atau Instansi/Lembaga Pemerintah. Protap Nomor 1 Tahun 2010

tentang Simulasi Penanganan Unjuk Rasa Anarkis dan yang paling penting,

Protap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia

Dalam Implementasi Tugas-tugas Polri. Serta yang pastinya kode etik dan sumpah

jabatan sebagai aturan main tak lagi dihiraukan.

Memang benar, dari sekian banyak anggota seragam coklat tesebut pasti lebih

banyak lagi jumlah polisi yang baik dan benar dibandingkan dengan yang nakal.

Kepolisian harus merasakan akibat buruk dari perbuatan oknum nakal tersebut

dan perlu ditegaskan di sini tugas polisi ialah untuk melindungi dan mengayomi

masyarakat, bukan sebaliknya.

Pencitraan polisi yang bersifat negatif itu bukan hanya dilontarkan oleh

masyarakat, melainkan juga oleh para pejabat teras di tubuh Polri sendiri. Mantan

Kapolri Sutanto sendiri secara transparan menegaskan, bahwa kepercayaan

masyarakat atas kinerja Polri belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini

disebabkan adanya kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa Polri lamban, tidak

tanggap, diskriminatif dan kurang profesional dalam menangani laporan

pengaduan masayrakat, ditambah lagi sikap perilaku anggota Polri yang belum

santun dalam memberikan pelayanan.4

Perilaku-perilaku menyimpang yang di lakukan oleh aparat kepolisian juga

merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran dalam

penanggulangan tindak pidana lalu lintas. Perilaku menyimpang tersebut yaitu

4

(25)

berupa pemanfaatan jabatan dan wewenangnya untuk menghasilkan sesuatu yang

diinginkan.

Hal tersebut di atas akan berdampak terhadap citra Lembaga Kepolisian karena

sikap dan prilaku aparatnya yang menjalankan aturan hukum sebagamana

mestinya. Selain itu masyarakat sebagai subjek hukum, akan mengalami

perubahan perilaku hukum dengan proses penegakan hukum yang tidak sesuai

dengan aturan yang berlaku. Perubahan pada perilaku masyarakat ini, dapat terjadi

pada perilaku kebiasaan sogok-menyogok (nepotisme), maupun krisis

kepercayaan kepada aparat penegak hukum (main hakim sendiri). Hal ini tentunya

sangat berdampak buruk terhadap penegakan hukum di negara ini.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung

membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan tilang guna penanggulangan

tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung?

b. Faktor apakah yang menjadi penghambat Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar

Lampung dalam membangun citra kepolisian pada pelaksanaan tilang guna

penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum

(26)

dalam pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di

Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Polresta

Bandar Lampung dalam kurun waktu tahun 2013-2014.

C. Tujuan dan Kegunaaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk memahami dan menganalisis upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas

Polresta Bandar Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan

tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar

Lampung.

b. Untuk memahami dan menganalisis hambatan Satuan Lalu Lintas Polresta

Bandar Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan tilang guna

penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaaan secara

praktis sebagai berikut:

a. Kegunaaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu

hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan upaya dan kendala Satuan Lalu

Lintas Polresta Bandar Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan

tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar

(27)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi

aparat penegak hukum untuk membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan

tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar

Lampung.

D. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoretis

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam pembahasan penelitian ini

adalah menggunakan:

a. Teori Penanggulangan Kejahatan

Untuk mewujudkan tercapainya tujuan negara yaitu negara yang makmur serta

adil dan sejahtera maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek

termasuk aspek hukum. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi

masyarakatnya tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial

(social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).5

Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau

kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah

5

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,

(28)

dan menanggulangi tindak pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah

kebijakan kriminal (criminal policy).6

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal

(hukum pidana) ialah masalah penentuan:7

1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Masalah menentukan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula

bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang

dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian

dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana

(penal policy).8 Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain

merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya

penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal

tindak pidana yang secara faktual terus meningkat.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari

ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah politik

kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kehidupan

6

Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 73 7

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 32

8

(29)

tata pemerintahan hal ini merupakan suatu kebijakan aparatur negara. Istilah

kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek

(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah‚ kebijakan hukum pidana’ dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah‚ politik hukum pidana ini sering dikenal dengan

berbagai istilah antara lain penal policy.

Menurut Barda Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanggulangan

kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal),

maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial

(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).9Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan.

Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi masalah sosial

(kejahatan) termasuk dalam bidang penegakan hukum (khususnya penegakan

hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan

hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).10 Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan sebagai berikut:

“Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan

9

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, 2001, hlm. 73-74. 10

(30)

masyarakat (social Defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dan oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup didalamnya “social welfare policy”dan “social defence policy”.

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana sebagai

salah satu sarana perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila

tidak ada atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah:11

1) Faktor hukumnya sendiri;

2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan

5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa sang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi makna kata “citra” sebagai,

“gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk”. dikaitkan dengan “politik”, maka “citra politik”

diartikan sebagai gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seorang tokoh

11

(31)

masyarakat.12 Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan, bahwa dalam teori

psikologi; citra yang merupakan bagian dari persepsi (hasil pengamatan),

mengandung banyak unsur subjektif.13

b. Berdasarkan Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012

tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan

Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa Bukti Pelanggaran yang

selanjutnya disebut dengan Tilang adalah alat bukti pelanggaran tertentu di

bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan format tertentu yang

ditetapkan.

c. Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari

upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan sosial (Social Welfare) oleh sebab itu maka tujuan utama dari politik kriminal yaitu perlindungan terhadap masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan.14

d. Pelanggaran hukum, yaitu perbuatan yang melanggar perundang-undangan

dan norma-norma dalam masyarakat, baik berupa kejahatan maupun

pelanggaran15. Pelanggaran hukum pidana maksudnya adalah apabila suatu

perbuatan itu bertentangan atau melanggar perundang-undangan yang termuat

dalam KUHP. Pelanggaran hukum perdata yaitu apabila perbuatan atau sikap

tindak itu merupakan penyelewengan atau bertentangan dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disingkat dengan KUHPdt.

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hlm. 169.

13

Sarlito Wirawan Sarwono, Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial dalam Merenungi Kritik Terhadap Polri oleh Kunarto, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995, hlm. 288.

14

Barda Nawawi Arief. Op cit. 2001, hlm. 2 15

(32)

Pelanggaran administrasi, yaitu jika perbuatan itu melanggar atau

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan administrasi negara16.

Pelanggaran adalah penyimpangan terhadap ketentuan undang-undang yang

berlaku. Pelanggaran lalu lintas adalah pelanggaran terhadap persyaratan

administrasi dan/atau pelanggaran terhadap persyaratan teknis oleh pemakai

kendaraan bermotor sesuai ketentuan peraturan perundangan lalu lintas yang

berlaku. Penindakan pelanggaran lalu lintas adalah tindakan hukum yang

ditujukan kepada pelanggar peraturan lalu lintas yang dilakukan oleh petugas

Kepolisian Republik Indonesia secara edukatif maupun secara yuridis.

e. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu

lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu

lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta

pengelolaannya.

f. Lalu Lintas menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan

yuridis empiris guna memperoleh hasil penelitian yang benar dan obyektif.

Pendekatan yuridis normatif dalam rangka norma yang berkaitan dengan masalah

penelitian yaitu hal-hal yang menyangkut ketentuan baik masalah perundangan,

16

(33)

teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan.

Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mengadakan

penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada terkait dengan upaya dan

kendala Polresta Bandar Lampung dalam membangun citra kepolisian pada

pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas di Kota

Bandar Lampung.

2. Sumber dan Jenis Data

Sesuai dengan obyek yang akan diteliti, maka data digunakan berasal dari dua

sumber yaitu data lapangan dan data kepustakaan. Subyek jenis data meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu :

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI;

2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Raya;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu

Lintas Jalan;

4) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan

Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan;

6) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran

(34)

7) Surat Keputusan Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku

Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang;

8) Kepala Kepolisian Negara RI Nomor B/2098/VII/2009 tentang

Penggunaan Blangko Tilang Lama Sebagai Alat Penindakan Perkara

Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tertentu Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan langsung dengan

masalah yang diteliti, berupa hasil penelitian terdahulu, literatur, jurnal dan

buletin ilmiah.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti majalah, surat

kabar, kamus dan ensiklopedia.

3. Responden

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh unit yang akan

diteliti.17 Dalam penelitian ini tidak semua populasi yang dijadikan responden

melainkan sebagian saja, yaitu yang berkaitan dengan pokok penelitian. Di dalam

menentukan responden yang akan diteliti digunakan pengambilan responden

berupa purposive sampling, yang berarti dalam menentukan responden disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili

populasi terhadap masalah yang hendak dicapai. Adapun yang dijadikan

responden dalam penelitian ini adalah M. Reza Chairul A.S.selaku Kepala Satuan

Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung, dan Ilham Satria selaku Kanit Satlantas

17

(35)

Polresta Bandar Lampung dan Herwan Ali selaku anggota Satlantas Polresta

Bandar Lampung, pelaku pelanggar lalu lintas serta tokoh masyarakat.

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Dalam pengumpulan data, penulis melakukan serangkaian kegiatan yang meliputi

a. Studi pustaka, yaitu pengumpulan terhadap data sekunder dengan mencatat,

mengutip serta menelaah buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan

materi penelitian kemudian menyusunnya sebagai kajian data.

b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data primer yang dilakukan secara

lisan kepada responden dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara

terbuka dan terarah dengan sebelumnya mempersiapkan pertanyaan terlebih

dahulu.

c. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dengan jalan mencatat

atau merekam data-data yang ada pada lokasi penelitian yang berkaitan

dengan pokok materi yang dibutuhkan.

Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan sebagai

berikut :

a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh

mengenai kelengkapan dan kejelasan dari data.

b. Mengevaluasi semua data yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

c. Meng-sistemasikan, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh satu

(36)

5. Analisis Data

Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data

sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan pekerjaan seorang

peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal,

dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.18 Hasil analisis ini

diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan

dalam tesis ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan

serta memberikan saran seperlunya. Adapun analisis data dilakukan dengan

menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara

lengkap kualitas dan karateristik dari data yang sudah terkumpul dan sudah

dilakukan pengolahan, kemudian dibuat kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan tesis ini sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan dan

ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran,

metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan kajian-kaji an teori mengenai kajian tentang tinjauan umum

tentang tugas dan kewenangan POLRI, tindak pidana/pelanggaran lalu

18

(37)

lintas, kebijakan penanggulangan tindak pidana, dan Penegakan Hukum

Lalu Lintas.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan mengenai pembahasan terhadap permasalahan yaitu

mengenai upaya yang dilakukan Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar

Lampung membangun citra kepolisian dalam pelaksanaan tilang guna

penanggulangan tindak pelanggaran lalu lintas dan kendala Satuan

Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung membangun citra kepolisian

dalam pelaksanaan tilang guna penanggulangan tindak pelanggaran lalu

lintas di Kota Bandar Lampung.

BAB IV PENUTUP

(38)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum tentang tugas dan kewenangan POLRI

1. Pengertian Polisi

Kata Polisi berasal dari kata Yunani yaitu Politea. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut orang yang menjadi warga negara dari kota

Athena, kemudian pengertian itu berkembang menjadi kota dan dipakai untuk

menyebut semua usaha kota. Oleh karena pada jaman itu kota-kota merupakan

negara yang berdiri sendiri, yang disebut juga Polis, maka Politea atau Polis

diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan

keagamaan.19 Di dalam perkembangannya, sesudah pertengahan Masehi, agama

Kristus mendapat kemajuan dan berkembang sangat luas. Maka semakin lama

urusan dan kegiatan agama menjadi semakin banyak, sehingga mempunyai urusan

khusus dan perlu diselenggarakan secara khusus pula, akhirnya urusan agama

dikeluarkan dari usaha Politea (Polis Negara/kota).20

Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian,

“Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

19

Andi Munwarman, Sejarah Singkat POLRI .http:/ /www.HukumOnline.com / hg/narasi/ 2004/04/21/nrs,20040421-01, id. html. (diakses 16 Agustus 2014)

(39)

Para cendekiawan di bidang Kepolisian menyatakan bahwa dalam kata Polisi

“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanankepada masyarakat”.

Dalam menjalankan fungsi sebagai aparat penegakan hukum, polisi wajib

memahami asas-asas hukum yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

pelaksanaan tugas, yaitu sebagai berikut:22

a. Asas legalitas, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum wajib tunduk pada hukum.

b. Asas kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani permasalahan masyarakat yang bersifat diskresi, karena belum diatur dalam hukum.

c. Asas partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat polisi mengkoordinasikan pengamanan Swakarsa untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat.

d. Asas preventif, selalu mengedepankan tindakan pencegahan daripada penindakan (represif) kepada masyarakat.

e. Asas subsidiaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani oleh instansi yang membidangi.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia diatur juga tentang tujuan dari POLRI yaitu:

21

Andi Munwarman, Log.cit, hlm. 3 22

(40)

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan

keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban

masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya

ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Kedudukan POLRI sekarang berada di bawah Presiden menurut Pasal 8

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan:

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh KaPOLRI yang

dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini mengenai tugas dan wewenang POLRI di atur dalam Bab III mulai

Pasal 13 sampai 14, yang mengatur:

Pasal 13:

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b) menegakkan hukum; dan

c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Pasal 14 :

1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

(41)

c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelumditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannyadalam lingkup tugas kepolisian; serta

l) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Menurut semboyan Tribrata, tugas dan wewenang POLRI adalah:

Kami Polisi Indonesia:

a) Berbhakti kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh Ketaqwaan TerhadapTuhan Yang Maha Esa.

b) Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

c) Senantiasa Melindungi, mengayomi dan Melayani masyarakat dengan Keikhlasan utuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

2. Tugas dan Fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Polisi lalu lintas adalah bagian dari kepolisian yang diberi tangan khusus di

bidang lalu lintas dan karenanya merupakan pengkhususan (spesifikasi) dari

tangan polisi pada umumnya. Karena kepada polisi lalu lintas diberikan tugas

yang khusus ini, maka diperlukan kecakapan teknis yang khusus pula. Akan

(42)

pokok yang dibebankan kepada setiap anggota POLRI, karena itu berhadapan

dengan keadaan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban pada

umumnyapolisi lalu lintas pun harus bertindak.

3. Tugas Polisi Lalu Lintas

Polisi Lalu Lintas adalah bagian dari polisi kota dan mewujudkan susunan

pegawai-pegawai lalu lintas di jalan-jalan. Tugas polisi lalu lintas dapat dibagi

dalam dua golongan besar, yaitu:23

a. Operatif:

2) mengeluarkan Surat Tanda Kendaraan Bermotor

3) Membuat statistik/grafik dan pengumpulan semua data yang berhubungan dengan lalu lintas.

4. Fungsi Polisi dibidang Lalu Lintas

Fungsi Kepolisian Bidang Lalu Lintas (fungsi LANTASPOL) dilaksanakan

dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang “meliputi:24

a. Penegakan hukum lalu lintas (Police Traffic Law Enforcement ),yang dapat bersifat preventif yaitu pengaturan, penjagaan, dan patroli lalu lintas dan represif yaitu penindakan hukum terhadap para pelanggar lalu lintas dan penyidikan kecelakaan lalu lintas;

b. Pendidikan masyarakat tentang lalu lintas (Police Traffic Education); c. Enjinering lalu lintas (Police Traffic Enginering);

d. Registrasi dan identifikasi pengemudi serta kendaraan bermotor.

Dalam rangka penyelenggaraan fungsi LANTASPOL, tersebut polisi lalu lintas

berperan sebagai:25

23

http://ml.scribd.com/doc/58869746/8/Tugas-polisi-Lalu-lintas (diakses pada tanggal 16 Agustus 2014).

24

(43)

a. Aparat penegak hukum perundang-undangan lalu lintas dan peraturan pelaksananya;

b. Aparat yang mempunyai wewenang Kepolisisan Umum; c. Aparat penyidik kecelakaan lalu lintas;

d. Aparat pendidikan lalu lintas terhadap masyarakat;

e. Penyelenggaran registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor;

f. Pengumpul dan pengelola data tentang lalu lintas; Unsur bantuan pengelola data bantuan teknis melalui unit-unit patroli jalan raya (PJR).

B. Gambaran Umum mengenai Citra Polri

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi makna kata “citra” sebagai, “gambaran

yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau

produk”. dikaitkan dengan “politik”, maka “citra politik” diartikan sebagai

gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seorang tokoh masyarakat.26 Psikolog

Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan, bahwa dalam teori psikologi; citra

yang merupakan bagian dari persepsi (hasil pengamatan), mengandung banyak

unsur subjektif.27 Unsur subjektif merupakan unsur lain di samping unsur sarana

dan prasarana yang mempengaruhi kualitas citra Polri. Gambaran diri seorang

tokoh masyarakat sebagai essensi dari citra, dapat berwujud; kinerja, keteladanan,

kedisiplinan, kejujuran, ketegasan dan bahkan tersangkut kualitas ketaqwaannya.

Essensi inilah yang menjadi pijakan membangun Citra Polri dari kondisinya saat

ini.

Tugas Polri menyatu dengan masyarakat. Adalah hal yang wajar bila kinerja Polri

dievaluasi oleh masyarakat. Secara ilmu pengetahuan, menilai sesuatu memiliki

25

Naning Ramadahan, Menggairahkan kesadaran Hukum Masyarakat Dan Disiplin Penegak Hukum Dalam Lalu Lintas, Bina ilmu, Surabaya, 1983, hlm. 26

26

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hlm. 169.

27

(44)

ukuran penilaian atau standar penilaian. Ukuran penilaian inilah yang belum tentu

dimiliki oleh masyarakat dalam kuantitas dan kualitas majemuk. Padahal

ketetapan evaluasi ini amat mempengaruhi kualitas Citra Polri. Oleh karena itu

sikap keteladanan, disiplin, jujur, tegas dilandasi kualitas ketaqwaan menjadi

syarat utama bagi Polri dalam membangun Citranya.

Keteladanan menurut Djunaidi Maskat H merupakan sikap utama yang perlu

ditonjolkan untuk melaksanakan tugas, mengembangkan individu dan

membangun kelompok.28 Keteladanan Polri dalam kinerjanya mencakup:

keteladanan dalam melakasanakan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

keteladanan dalam memberikan semangat dalam melaksanakan sistem keamanan

swakarsa, keteladanan dalam memberikan dorongan kerja, keteladanan dalam

kewaspadaan terhadap lingkungan, keteladanan dalam “Ambeg Parama Arta”, keteladanan dalam kesetiaan pada negara, pimpinan dan tugas, keteladanan dalam

berhemat, keteladanan dalam keterus-terangan dan keteladanan dalam

meregenerasi dan menyiapkan anggota maju.29

Upaya pengembangan individu Djunaidi Maskat H menempuh jalan: memberikan

pemahaman mengenai pentingnya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan

tugas, menjelaskan sasaran yang hendak dicapai serta harapan atau peran serta

Polri dalam mensukseskan sasaran yang hendak dicapai, memahamkan arti

penting nilai keadilan, melaksanakan pengawasan, berperan serta dalam

28

Djunaidi Maskat H, Kepemimpinan Efektif di lingkungan Polri pada tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, Sanyata Sumanasa Wira Sespin Polri, Bandung, 1993, hlm. 251. 29

(45)

memecahkan masalah.30 Dalam membangun kelompok hal-hal yang dikemukakan

Djunaidi Maskat H mencakup: peran serta Polri mengatasi perpecahan kelompok,

perhatian pada kesejahteraan anggota, perhatian pada kelakuan anggota,

memperhatikan sarana membangun.31 Akhirnya Djunaidi Maskat H

mengemukakan secara garis besar pelaksanaan tugas mencakup: bertanggung

jawab pada pelaksanaan tugasnya, menetapkan sasaran secara jelas, memastikan

tugas yang diberikan dan akhirnya mengevaluasi hasil kinerja Polri.32

Pelaksanaan tugas atau kinerja Polri dinilai oleh masyarakat sebagai komponen

pengamat tertuju pada wajah polisi di jalan. Meskipun penilaian ini tolok ukurnya

amat bersifat subjektif, tetapi mengabaikan penilaian masyarakat seperti itu, juga

kurang bijaksana sebab bagaimanapun kinerja polisi di jalan-jalan adalah

semacam etalase Polri yang ada akhirnya membangun yang disebut “Citra Polri”

itu.33 Penilaian seperti di atas memberikan makna yang sebenarnya tentang apa

yang secara faktual telah dilakukan Polisi, tidak sekedar mengerti landasan

normatif tugas mereka. Dengan demikian kualitas citra Polri amat ditentukan oleh

evaluasi masyarakat terhadap kinerja Polri di lapangan. Kualitas citra Polri

sebagaimana diuraikan di atas sangat dipengaruhi terjadinya

penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan wewenang sehari-hari. Sebuah

analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Sutherland, dalam

bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan tahun 1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku

(46)

menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Menurut

Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul

dengan dunia kejahatan dan pejahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi

sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan. Dampak negatif yang sering tak

mengerti adalah polisi telah berada dalam lintasan kritis, seakan-akan ia tengah

berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara tugasnya sebagai

penegak hukum dan terhadap kejahatan yang tengah ditanganinya.34

Perilaku menyimpang yang demikian itu secara tidak langsung menggambarkan

bahwa administrasi peradilan pidana serta perilaku para penyelenggaranya belum

menunjukkan hasil yang maksimal yang diharapkan. Bahkan, sebaliknya

penyelenggaraan peradilan pidana secara potensila menampakkan aspek-aspek

yang bersifat kriminogen. Steven Box dalam tulisannya yang berjudul Power, Crime and Mystication mengidentifikasi bermacam-macam bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara pidana antara lain: (1)

membunuh atau menyiksa tersangka; (2) mengancam, menahan, mengintimidasi

dan membuat “catatan hitam” bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain dengan cara menrima suap supaya tidak

melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau fakta atau

keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung

atau tidak langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan.35

34

Sekurang-kurangnya ada empat hal menurut Suttherland yang mempengaruhi mengapa oknum penegak hukum seperti polisi berperilaku menyimpang, yakni: (1) adanya tekanan mental yang tidak seimbang pada dirinya; (2) kurangnya perasaan bersalah; (3) keberanian mengambil resiko; dan (4) sulitnya untuk mendapatkan keteladanan dari lingkungannya (kf. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia; Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 151-153). 35

(47)

Senada dengan Steven Box, dalam buku pedoman pelatihan untuk anggota Polri

disebutkan pula, bahwa tindakan menutup-nutupi kejahatan dan melakukan

korupsi dan menerima suap, tidak saja merupakan pelanggaran hak asasi manusia

yang sangat serius, tetapi juga berarti melakukan tindakan melanggar hukum.

Dengan demikian, ketika warga masyarakat mengetahui tindakan polisi yang

melanggar hukum tersebut akan melihat polisi sebagai pelanggar hukum dan

bukan sebagai penegak hukum.36

Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam menjalankan

tugasnya itu setidak-tidaknya merupakan tindakan pengebrian etika jabatan.

Menurut Abdul Wahid, tindakan yang demikian itu sebagai akibat dari kondisi

psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi Machiavelis

yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”. Prinsip ini

mengandung pengertian bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan sebagai

manifestasi kewajiban untuk ditegakkan, direkayasa dan dianggap sebagai

penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan dan kejahatan dianggap

sebagai terobosan logis untuk memperkaya diri, membangun kejayaan atau

menarik kedudukan yang terhormat di mata publik.37

Orientasi penegakan hukum yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo, dapat

saja didorong masuk jalur lambat, dan dalam keadaan yang serba lambat seperti

itu memberikan ruang yang luas untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan

kelompok dan sekaligus menjadi lahan bisnis yang subur bagi kalangan tertentu.

Keadaan seperti itu tak mustahil memunculkan pertanyaan dari masyarakat,

36

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota Polri, Jakarta: 2006, hlm. 71.

37

(48)

bahwa apakah hukum kita ini memang diarahkan untuk menghasilkan keadilan

ataukah sedang bekerja untuk menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?.38

Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh

pekerjaan yang dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar

mengingatkan bahwa praktik- praktik “kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi. Oleh sebab itu, adalah suatu kebohongan belaka bila

Polri kemudian menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu

berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak terlalu benar

apabila kita menilai bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan oleh

Polri, karena seakan-akan Polri selama ini hanya berdiam diri saja.39 Jend. Pol.

(Purn) Kunarto mengingatkan pula, bahwa tindakan, perbuatan, karya, hasil kerja

polisi yang baik itu masih sangat besar ketimbang yang bernilai negatif. Bukti dari

pernyataan itu adalah bahwa pembangunan yang berhasil dijalankan dewasa ini

mustahil dapat dicapai tanpa kondisi aman, dan yang menjadi pilar utama dari

kondisi aman tersebut adalah Polri.40

C. Tindak Pidana / Pelanggaran Lalu Lintas

1. Tindak Pidana

Dari berbagai literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya

merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa

38

Satjipto Rahardjo dalam Karolus Medan dan Frans J. Rengka (Ed), Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 173-177 & 168-172.

39

Pandangan yang demikian sebagaimana diungkapkan pula oleh Kamil Razak, dalam artikelnya berjudul “Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru Polri”, Harian Pikiran Rakyat, 3 Juli 2006.

40

Jend. Pol. (Purn) Kunarto, “Peran Serta Masyarakat dalam Menjaga Agar Tugas dan

(49)

Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang digunakan untuk menerjemahkan kata

strafbaarfeit oleh sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana.41 Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi tindak

pidana yaitu:42

a. Definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah, tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan merupakan bagian suatu peristiwa.

Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak pidana tersebut

mempunyai 5 (lima) unsur yaitu:43

a. Subjek; b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

2. Pengertian Pelanggaran

Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana, tindak pidana dapat dibagi

menjadi dua golongan yaitu kejahatan dan pelanggaran.44 Kedua istilah tersebut

pada hakekatnya tidak ada perbedaan yang tegas karena keduanya sama- sama

delik atau perbuatan yang boleh dihukum. Pembagian tindak pidana tersebut

dilakukan karena menurut Memorie van Toelichting (pada WVS di negeri

41

A. Zainal Abidin Farid. 1995. Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 27. 42

Ibid, hlm. 225. 43

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana daan Penerapanya. Averroes Press. Jakarta, 2002, hlm. 211.

44

(50)

Belanda) merupakan pembagian asasi (prinsipiil), bahwa pembagian tindak pidana

dalam kejahatan dan pelanggaran itu berdasarkan perbedaan apa yang disebut

delik hukum dan apa yang disebut delik undang-undang.45 Perbedaan kedua istilah

tersebut mempunyai perbedaan ciri- ciri atau sifat. Suatu perbuatan merupakan

delik hukum apabila perbuatan itu bertententangan dengan asas-asas hukum yang

ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas daripada hal apakah asas-asas

tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang- undang pidana.

Delik undang-undang ialah perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara

tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana, terlepas dari apakah perbuatan

tersebut bertentangan atau tidak dengan kesadaran hukum dari rakyat. Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia melakukan pembedaan antara

kejahatan dan pelanggaran. Segala bentuk kejahatan dimuat dalam buku II KUHP

sedangkan pelanggaran dimuat dalam buku III KUHP yang dibedakan secara

prinsip yaitu:

a. Kejahatan sanksi hukumannya lebih berat dari pelanggaran, yaitu berupa

hukuman badan (penjara) yang waktunya lebih lama.

b. Percobaan melakukan kejahatan dihukum, sedangkan pada pelanggaran

percobaan melakukan pelanggaran tidak dihukum.

c. Tenggang waktu daluarsa bagi kejahatan lebih lama dari pada pelanggaran.

Perumusan mengenai pelanggaran lalu lintas tidak dapat ditemukan dalam buku

ketiga KUHP sebab pelanggaran lalu lintas diatur dalam suatu

perundang-undangan tersendiri yaitu dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

45

(51)

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, lalu lintas

mempunyai definisi yaitu bolak balik, hilir mudik perihal perjalanan di jalan,

perhubungan antara suatu tempat dengan tempat lain.46Sedangkan dalam Pasal 1

butir 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Lalu Lintas adalah gerak

Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengatur mengenai semua

pengaturan-pengaturan yang terkait dengan lalu lintas. Tujuan dari dibentuknya

undang-undang tersebut adalah:

a. Mempertinggi mutu kelancaran, keamanan dan ketertiban lalu lintas dan

angkutan jalan raya;

b. Mengatur dan menyalurkan secara tertib segala pengangkutan barang-barang

dan penumpang terutama dengan kendaraan bermotor umum;

c. Melindungi semua jalan dan jembatan agar jangan dihancurkan atau dirusak

dan pula jangan sampai susut melewati batas dikarenakan

kendaraan-kendaraan yang sangat berat.

3. Pelanggaran Lalu Lintas

Pelanggaran merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada,

baik dalam norma masyarakat atau hukum yang berlaku. Dalam konteks ini

pelanggaran lalu lintas adalah suatu tindakan baik sengaja ataupun tidak sengaja

melakukan perbuatan untuk tidak mematuhi aturan-aturan lalu lintas yang berlaku.

Pada umumnya pelanggaran lalu lintas merupakan awal terjadinya kecelakaan lalu

lintas.

46

Gambar

Tabel 1. Data Jenis Pelanggaran Lalu Lintas Kendaraan Roda Dua (R2) Di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2012-2013
Tabel 2. Data Jenis Pelanggaran Lalu Lintas Kendaraan Roda Empat (R4) Di Kota Bandar Lampung pada Tahun 2012-2013

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Exposure Modes AUTO, AUTO Advanced (AUTO+), Program AE, Aperture priority, Shutter priority, Manual, Sweep Panorama (2D/3D), Tele-zoom Continuous Advance Priority AE. Scene

Namun, interaksi antara natrium sitrat dan asam fumarat tidak berpengaruh terhadap kekerasan, kerapuhan dan waktu larut tablet effervesen ekstrak rimpang jahe

• Fasilitas Pembayaran Premi Otomatis hanya berlaku selama 7 Tahun Polis pertama dengan ketentuan apabila Premi Dasar pada Tanggal Jatuh Tempo belum dibayar lunas setelah melewati

45 Under the EPA 1990, s 39 licence holders must provide sufficient information to the waste regulation authority so that it can determine whether: ‘…it is likely or unlikely mat

Untuk melihat hubungan antara tokoh Dini sebagai seorang perempuan dan tokoh suaminya sebagai seorang laki-laki, analisis ini membahas opresi dalam bentuk kekerasan verbal

Di dalam Keppres ini gerakan pramuka oleh pemerintah ditetapkan sebagai satu-satunya badan di wilayah Indonesia yang diperkenankan menyelenggarakan pendidikan

kepala daerah untuk menghindari besarnya biaya penyelenggaraan pilkada Berapapun biaya yang akan di keluarkan, sangat penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin