HUBUNGAN KADAR D DIMER PASIEN PNEUMONIA
KOMUNITAS TERHADAP DERAJAT SKOR CURB-65
PADA SAAT AWAL MASUK RUMAH SAKIT
TESIS
Oleh
HERLINA YANI
NIM : 097101003
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUBUNGAN KADAR D DIMER PASIEN PNEUMONIA
KOMUNITAS TERHADAP DERAJAT SKOR CURB-65
PADA SAAT AWAL MASUK RUMAH SAKIT
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Magister Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam
dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HERLINA YANI
NIM : 097101003
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR D DIMER
PADA PASIEN PNEUMONIA
KOMUNITAS TERHADAP DERAJAT
SKOR CURB-65 PADA SAAT AWAL
MASUK RUMAH SAKIT
Nama Mahasiswa
: Herlina Yani
NIM
: 097101003
Program Studi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Menyetujui,
Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II
(dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP) (dr. E. N. Keliat, Sp.PD-KP NIP. 195104011977111001 NIP. 195207131982031002
)
a/n. Ketua Program Studi Ketua Departemen Departemen Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam
Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP
NIP. 19680504 199903 1 001 NIP. 19540514 198110 1002 Dr. Salli R Nasution, SpPD-KGH
Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR D DIMER
PADA PASIEN PNEUMONIA
KOMUNITAS TERHADAP DERAJAT
SKOR CURB-65 PADA SAAT AWAL
MASUK RUMAH SAKIT
Nama Mahasiswa
: Herlina Yani
NIM
: 097101003
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik- Ilmu
Penyakit Dalam
Menyetujui,
Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II
(dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP) (dr. E. N. Keliat, Sp.PD-KP NIP. 195104011977111001 NIP. 195207131982031002
)
a/n. Ketua Program Studi Ketua TKP PPDS Ilmu Penyakit Dalam
Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP
NIP. 19680504 199903 1 001 NIP. 195406201980111001 Dr. Zainuddin Amir, SpP (K)
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah penulis nyatakan dengan benar.
Nama
: Herlina Yani
NIM
: 097101003
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda
tangan di bawah ini :
Nama : Herlina Yani
NIM : 097101003
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :
HUBUNGAN KADAR D DIMER PASIEN PNEUMONIA
KOMUNITAS TERHADAP DERAJAT SKOR CURB-65
PADA SAAT AWAL MASUK RUMAH SAKIT
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat, dan
mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada tanggal : 24 Juni 2013 Yang menyatakan
Telah diuji
Pada Tanggal : 20 Juni 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP (K)
Anggota : Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH
DR. Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH
Telah diuji
Pada Tanggal : 20 Juni 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP (K)
Anggota : Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH
DR. Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH
Abstrak
“ Hubungan Kadar D dimer Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Derajat Skor CURB-65 Pada Saat Awal Masuk Rumah Sakit”
Herlina Yani, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan
Latar Belakang
Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya. D dimer (DD) dikenal sebagai biomarker koagulasi yang berguna untuk menilai derajat keparahan PK pada saat awal masuk. DD dapat berperan dalam diagnosis dan prognosis penderita PK
Tujuan :
Untuk mengetahui hubungan kadar DD terhadap skor CURB-65 pada saat awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.
Bahan dan Cara :
Penelitian dilakukan dengan cara potong lintang (cross sectional study). Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65 (Confusion,Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), DD, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungan dengan DD dan parameter lainnya.
Hasil :
Dari total 57 subjek penelitian, terdapat 10 subjek (100%) dengan kadar DD < 500 μg/ L termasuk skor CURB-65 ringan-sedang, 12 subjek (100%) dengan kadar DD 500-999 μg/ L termasuk skor CURB-65 ringan-sedang, 11 subjek (100%) dengan kadar DD 500-999 μg/ L termasuk skor CURB-65 ringan-sedang, dan dari 24 subjek dengan kadar DD > 2000 μg/ L ada sebanyak 2 subjek (8,3%) termasuk
skor CURB-65 ringan-sedang dan 22 subjek (91,7%) termasuk skor skor CURB-65 berat. Setelah dilakukan uji korelasi pearson diperoleh hubungan signifikan antara derajat skor CURB-65 dengan peningkatan kadar DD (p= 0,000)
Kesimpulan :
D dimer merupakan biomarker koagulasi yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga D dimer dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien PK sejak awal masuk rumah sakit.
Abstract
The Correlation Between D dimer Levels in Community Acquired Pneumonia Patients on the degree of CURB-65 score at Early Admission in
Hospital
Herlina Yani, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Internal Medicine Department Division
Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan
Background
The assessment of level severity in patient with community acquired pneumonia (CAP) is very important to determine the next management of disease. D dimer (DD) is known as one of biomarker coagulation may be helpful in predicting the severity of CAP at the early admission in hospital. The application of DD is known to be used in diagnosis and to help clinician to make prognosis.
Objective :
To determine the correlation between D dimer and CURB-65 score in CAP patients at the early admission in hospital.
Materials and Methods :
This was an cross-sectional study. We had examined CAP subject with CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), DD, other laboratory assessment and sputum and blood culture at the early admission at emergency room (ER). We had correlate the DD levels with CURB-65 to determined prognostic utility of DD.
Result:
Total of CAP subject was 57, there were 10 subjects (100%) with DD <500 μg/ L
included in the mild-moderate CURB-65, 12 subjects (100%) with DD 500-999 μg/
L included in the mild-moderate CURB-65, 11 subjects (100%) with DD 500-999
μg/ L included in the mild-moderate CURB-65, and from 24 subjects with DDl > 2000 μg/ L consists of 2 subjects (8.3%) included in the mild-moderate CURB-65
and 22 subjects (91.7%) included severe CURB-65
Conclusion :
D dimer is a biomarker of coagulation that has correlation with clinical scoring system CURB-65. D dimer can be use to determine the prognosis in CAP at early admission.
Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, D dimer,
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa
bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh
karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa
hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar - besarnya penulis
sampaikan kepada:
1. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis
untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi
dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.
2. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH dan Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK USU
yang telah dengan sungguh-sungguh membantu, membimbing, memberi
dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam
yang siap mengabdi pada nusa dan bangsa.
3. Dr. H. Zainuddin Amir
4. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP dan Dr.
E.N.Keliat,Sp.PD-KP sebagai pembimbing tesis, yang telah memberikan , SpP (K) sebagai ketua TKP-PPDS FK USU ketika
saya diterima sebagai peserta pendidikan Spesialis Penyakit Dalam, serta
yang bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti
ujian masuk Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam.
Demikian juga kepada Dr. Adlin Hery, Sp.PD dan Dr. Ilhamd, SpPD yang
bersedia memberi rekomendasi dan motivasi untuk terus berjuang agar
penulis bisa mengikuti pendidikan ini. Semoga semua jasa dan budi baik ini
juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing
penulis sampai selesainya karya tulis ini. Kiranya Allah SWT memberikan
rahmat dan karunia kepada beliau beserta keluarga.
5. Para Guru Besar, Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum, SpPD-KPsi, Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP, Prof. Dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI, SpMK, Prof. Dr. OK. Moehadsyah, SpPD-KR, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH, Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH, Prof. Dr. Abdul Majid, SpPD-KKV, Prof. Dr. Azmi S. Kar, SpPD-KHOM, Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, Prof. Dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP, Prof. Dr. Harun Al Rasyid Damanik, SpPD-KGK, yang telah memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.
6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, para guru
Abidin, KP, Dr. E.N. Keliat, KP, Dr. Zuhrial Zubir, SpPD-KAI, Dr. Pirma Siburian, SpPD-KGer, DR. Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR, Dr. Calvin Damanik, SpPD, Dr. Masrul Lubis, SpPD-KGEH, Dr. Herryanto Tobing, SpPD-KGEH, Dr. Ilhamd, SpPD, Dr. Syafrizal Nasution, SpPD, Dr. Deske Muhadi, SpPD, Dr. Franciscus Ginting, SpPD, Dr. Endang Sembiring, SpPD, Dr. Saut Marpaung, SpPD, Dr. Imelda Rey, SpPD, Dr. Wika Hanida Lubis, SpPD, Dr. Anita Rosari Dalimunthe, SpPD, Dr. Radar Radius Tarigan, SpPD, Dr. Lenni Evalena Sihotang, SpPD, Dr. Henny Syahrini Lubis, SpPD, Dr. Riri Andri Muzasti, SpPD, Dr. Alwi Thamrin, SpPD, serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan
perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan.
Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga.
7. Direktur dan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas - luasnya kepada penulis dalam
menjalani pendidikan.
8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
9. DR. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes dan Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penyusunan tesis
ini.
10. Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti ujian masuk PPDS Ilmu
Penyakit Dalam dan yang telah membantu membuka jalan bagi penulis untuk
menjadi bagian dari keluarga besar Ilmu Penyakit Dalam.
Elisabet Sipayung, Dr. Budiman, Dr. M. Azhari, Dr. Ratna Karmila, Dr. Nelila Fitriani, Dr. Katherine, Dr. Agustina, Dr. Wirandi Dalimunthe, Dr. Doharjo Manullang, Dr. Ester Morina Silalahi dan Dr. Sari Harahap serta seluruh rekan seperjuangan peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah mengisi hari-hari penulis dengan persahabatan
dan kerja sama dalam menjalani kehidupan sebagai residen.
12. Seluruh perawat/paramedik di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang
baik selama ini.
13. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.
14. Bapak Syarifuddin Abdullah, Kakanda Lely Husna Nasution, Saudara Deni dan Erjan, Saudari Tanti, Maya, Anjani, Yanti, Wanti, Fitri dan Ita serta seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi penulis dalam
menyelesaikan tugas pendidikan.
Sembah sujud dan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada
kedua orangtua penulis tercinta, ayahanda Husni Sufi dan ibunda Mahyuni, atas segala jerih payah, pengorbanan, dan kasih sayang tulus telah melahirkan,
membesarkan, mendidik, mendoakan tanpa henti, memberikan dukungan moril
dan materil, serta mendorong penulis dalam berjuang menapaki hidup dan
mencapai cita-cita. Tak akan pernah bisa penulis membalas jasa - jasa Ayahanda
dan Ibunda. Semoga allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, rahmat dan
karuniaNya kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.
Terima kasih tak terhingga juga penulis haturkan kepada Bapak/Ibu mertua, Nasir Tarigan dan Hj. Nuriah Idris yang telah mendukung, mendoakan, serta memberikan semangat bagi penulis.
Teristimewa, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam- dalamnya
kepada suami tercinta, Teguh Imanda Tarigan, ST atas cinta kasih yang tulus, pengertian, perhatian, kesabaran, dukungan moril dan materil serta telah
pengorbanan luar biasa darinya yang menjadi kekuatan bagi penulis dalam
menjalani pendidikan.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada adik - adik kandung penulis,
Helvi Anggraini AmKeb beserta keluarga, Hari Syahputra, Haiyum Sidqi,
serta seluruh keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan bantuan
moril, semangat dan doa tanpa pamrih selama pendidikan, sehingga penulis dapat
sampai di titik ini, yang tak lain merupakan pencapaian keluarga besar yang dicita
- citakan bersama.
Terima kasih yang sebesar - besarnya juga kepada abang dan kakak ipar
penulis, Yoan Wahyudi, SE beserta keluarga, dr.Rehulina Br Tarigan yang juga merupakan sahabat sejati yang telah banyak memberikan perhatian, kasih
sayang, bantuan moril, semangat dan doa tanpa pamrih selama pendidikan,
sehingga penulis dapat sampai di titik ini, yang tak lain merupakan pencapaian
keluarga yang dicita - citakan bersama.
Terima kasih yang sebesar - besarnya juga kepada Prof.dr. Habibah Hanum Nst, Sp.PD-KPsi beserta keluarga, dr. Savita Handayani, Sp.PD
beserta keluarga yang telah banyak membantu memberi semangat, doa dan
dorongan selama pendidikan, yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
Akhirnya kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih yang
setulus-tulusnya. Izinkanlah penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua
pihak yang terkait atas segala kekurangan dan kesalahan selama penulis mengikuti
pendidikan Ilmu Penyakit Dalam dan dalam penulisan tesis ini.
Semoga Allah SWT. senantiasa memberikan rahmat dan karuniaNya
kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita dan
masyarakat.
Medan, Mei 2013
DAFTAR ISI
Halaman Abstrak... I
Abstract... ii
Kata Pengantar... iii
Daftar Isi... viii
Daftar Tabel... x
Daftar Gambar... xi
Daftar Singkatan dan Lambang... xii
Daftar Lampiran... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 3
1.3 Hipotesis... 3
1.4 Tujuan Penelitian... 4
1.5 Manfaat Penelitian... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomarker pada Pneumonia…... 5
2.2 D dimer... 6
2.3 Hubungan D dimer dengan Pneumonia... 8
2.4 Gangguan koagulasi dan fibrinolisis pada pneumonia.. 10
2.5 Skor Klinis Pneumonia... 12
2.6 Skor CURB-65... 13
2.7 Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas... 14
2.8 Gangguan Koagulasi pada Sepsis... 16
2.9 Kultur Sputum... 18
2.10 Kultur Darah... 19
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep... 21
3.2 Definisi Operasional…... 21
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian…... 23
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian …... 23
4.3 Subjek Penelitian………. 23
4.4 Kriteria Inklusi………. 23
4.5 Kriteria Eksklusi……….. 23
4.6 Besar Sampel………... 24
4.7 Cara Kerja……… 25
4.8 Analisa Data……… 27
4.8 Ethical Clearance dan informed concent……… 25
4.9 Kerangka Operasional………. 28
5.2 Pembahasan………. 33
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.6.1 Skor CURB-65... 13
5.1.1 Data karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas...
29
5.1.2 Korelasi antara D dimer dengan skor CURB-65... 30
5.1.3 Hubungan D dimer terhadap skor CURB-65... 31 5.1.4 Rerata kadar D dimer pada penderita PK yang sepsis dan non
sepsis...
32
5.1.5 Korelasi antara nadi, laju pernapasan, ureum, lekosit dengan D dimer...
32
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.2.1 Degradasi bekuan fibrin ... 8
2.3.1 Hubungan D dimer dengan PSI... 9
2.4.1 Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner... 11
2.8.1 Patofisiologi sepsis ... 17
3.1.1 Kerangka konseptual... 21
4.10.1 Kerangka operasional... 28
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN Nama
ACCP The American College of Chest Physician
ALI Acute lung injury
APACHE Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
APC Activated protein C
ARDS Acute Respiratory Distress Syndrome)
ATS American Thoracic Society
AUC Area Under Curve
BACTEC Best Patient Care Drug Neutralization Capabilities
BAL Broncoalveolar lavage
BTS British Thoracic Society
CURB-65 Confusion, Ureum, Respiratory rate, Blood pressure, Age 65.
DD D dimer
DIC Disseminated Intravascular Coagulation Dkk Dan kawan-kawan
DVT Deep Vein Thrombosis
FDP Fibrin degradation product
g/dl Gram per desiliter
HCAP Health-Care Associated Pneumonia
ICU Intensive care unit
IDSA Infectious Disease Society of American
IL Interleukin
m-ATS Modified ATS
mmHg Millimeter air raksa
MSOF Multy system organ failure
n Jumlah subjek penelitian
ng/ml Nanogram/ milliliter
p Tingkat kemaknaan
PAI Plasminogen activator inhibitor PF.1.2 Prothrombin fragment 1.2
PK Pneumonia Komunitas
PORT Patients Outcomes Research Team Score
PSI Pneumonia Severity Index
PT Prothrombine time
ROC Receiving Operating Curve
SCCM The Society for Critical Care Medicine
SD Standar Deviasi
SE Standar Error
SIRS Systemic Inflammatory Response Syndrome
SLE Sistemik Lupus Eritematosus
ST Sensitivity test
TF Tissue factor
TFPI Tissue factor pathway inhibitor
TNF-α Tumor necrosis factor
TREM-1 Triggering receptor expressed on myeloid cell-1
Z α Deviat baku untuk α
Z β Deviat baku untuk β
μg/L Mikrogram per Liter
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Surat Persetujuan Komite Etik... 41 2 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian... 42 3 Surat Persetujuan Setelah Penjelasan... 43 4 Kertas Kerja Profil Peserta Penelitian... 44 5
6
Daftar Riwayat Hidup... Hasil Statistik………...
Abstrak
“ Hubungan Kadar D dimer Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Derajat Skor CURB-65 Pada Saat Awal Masuk Rumah Sakit”
Herlina Yani, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan
Latar Belakang
Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya. D dimer (DD) dikenal sebagai biomarker koagulasi yang berguna untuk menilai derajat keparahan PK pada saat awal masuk. DD dapat berperan dalam diagnosis dan prognosis penderita PK
Tujuan :
Untuk mengetahui hubungan kadar DD terhadap skor CURB-65 pada saat awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.
Bahan dan Cara :
Penelitian dilakukan dengan cara potong lintang (cross sectional study). Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65 (Confusion,Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), DD, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungan dengan DD dan parameter lainnya.
Hasil :
Dari total 57 subjek penelitian, terdapat 10 subjek (100%) dengan kadar DD < 500 μg/ L termasuk skor CURB-65 ringan-sedang, 12 subjek (100%) dengan kadar DD 500-999 μg/ L termasuk skor CURB-65 ringan-sedang, 11 subjek (100%) dengan kadar DD 500-999 μg/ L termasuk skor CURB-65 ringan-sedang, dan dari 24 subjek dengan kadar DD > 2000 μg/ L ada sebanyak 2 subjek (8,3%) termasuk
skor CURB-65 ringan-sedang dan 22 subjek (91,7%) termasuk skor skor CURB-65 berat. Setelah dilakukan uji korelasi pearson diperoleh hubungan signifikan antara derajat skor CURB-65 dengan peningkatan kadar DD (p= 0,000)
Kesimpulan :
D dimer merupakan biomarker koagulasi yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga D dimer dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien PK sejak awal masuk rumah sakit.
Abstract
The Correlation Between D dimer Levels in Community Acquired Pneumonia Patients on the degree of CURB-65 score at Early Admission in
Hospital
Herlina Yani, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Internal Medicine Department Division
Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan
Background
The assessment of level severity in patient with community acquired pneumonia (CAP) is very important to determine the next management of disease. D dimer (DD) is known as one of biomarker coagulation may be helpful in predicting the severity of CAP at the early admission in hospital. The application of DD is known to be used in diagnosis and to help clinician to make prognosis.
Objective :
To determine the correlation between D dimer and CURB-65 score in CAP patients at the early admission in hospital.
Materials and Methods :
This was an cross-sectional study. We had examined CAP subject with CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), DD, other laboratory assessment and sputum and blood culture at the early admission at emergency room (ER). We had correlate the DD levels with CURB-65 to determined prognostic utility of DD.
Result:
Total of CAP subject was 57, there were 10 subjects (100%) with DD <500 μg/ L
included in the mild-moderate CURB-65, 12 subjects (100%) with DD 500-999 μg/
L included in the mild-moderate CURB-65, 11 subjects (100%) with DD 500-999
μg/ L included in the mild-moderate CURB-65, and from 24 subjects with DDl > 2000 μg/ L consists of 2 subjects (8.3%) included in the mild-moderate CURB-65
and 22 subjects (91.7%) included severe CURB-65
Conclusion :
D dimer is a biomarker of coagulation that has correlation with clinical scoring system CURB-65. D dimer can be use to determine the prognosis in CAP at early admission.
Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, D dimer,
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pneumonia memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di
seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan data studi mortalitas dari Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat kematian akibat
pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34/100.000 penduduk (pada pria)
dan 28/100.000 penduduk (pada wanita) (SKRT, 2001). Hardiyanto, dkk
melaporkan dari 235 pasien yang dirawat di R.S. Hasan Sadikin Bandung,
sebanyak 75,3% menderita pneumonia komunitas (PK) (Dahlan Z, 2000). Di
negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3 juta
orang per tahun(De Frances CJ dkk, 2008; Mikaeilli H dkk, 2009; Mira JP dkk,
2008) dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak
akibat infeksi. Tingginya angka kejadian dan dampak mortalitas diikuti oleh
tingginya biaya kesehatan terutama pada penderita PK berat (Mikaeilli H dkk,
2009; Mira JP dkk, 2008).
Pneumonia secara umum adalah radang dari parenkim paru, dengan
karakteristik adanya konsolidasi dari bagian yang terkena dan alveolar terisi oleh
eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia yang berkembang diluar rumah sakit
atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit disebut dengan pneumonia komunitas
(PK) dan tidak memenuhi kriteria Health-Care Associated Pneumonia (HCAP) (Abidin A, 2010).
Berbagai sistem untuk memeriksa keparahan penyakit dan resiko kematian
pada PK telah ada dan dipakai secara luas, antara lain PSI (Pneumonia Severity index), PORT (Patients Outcomes Research Team Score), sistem CURB65
(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age ≥ 65 years) serta pentingnya peran biomarker dalam diagnosis, penatalaksanaan, maupun sebagai
faktor prediktor untuk menilai prognosis pada PK. Ada beberapa biomarker
koagulasi yang potensial yang dapat digunakan yaitu Protein C, D dimer (DD),
thromboplastin time waveform analysis (Mira JP dkk, 2008; Abidin A, 2010; Crain MC dkk, 2010).
Mikaelli dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada pasien yang
memiliki derajat keparahan PK yang berat dengan nilai (p <0,001) (Mikaeilli H
dkk, 2009).
D dimer dikenal sebagai produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik
(Mikaeilli H dkk, 2009; Shorr AF dkk, 2002).
Agapakis dkk, melaporkan bahwa DD sebagai biomarker koagulasi
pada PK memiliki sensitivitas 90% dan spesifitas 78% untuk menentukan
perlunya perawatan di rumah sakit, dengan nilai cut-off point DD 600 ng/ml,
sedangkan AT-III memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 75% (Agapakis DI
dkk, 2010).
Peningkatan kadar DD pada pneumonia komunitas (PK) disebabkan oleh
aktivasi dari sistem fibrinolitik dan dari proses katabolisasi fibrin di alveoli. Selain
itu, peningkatan DD juga terjadi akibat aktivasi sistem koagulasi darah yang
disebabkan oleh endotoxin yang di hasilkan oleh bakteri Gram-negatif penyebab
pneumonia
D dimer (DD) menandakan adanya
aktivasi sistem koagulasi. Kadar DD akan meningkat pada kelainan yang dapat
memicu pembentukan fibrin dan katabolisasinya, kelainan ini antara lain adalah
emboli paru, deep vein thrombosis (DVT), tumor solid, leukemia, infeksi berat, trauma atau post-operatif, disseminated intravascular coagulation (DIC),
kehamilan, stroke akut, sickle-cell anemia, gagal jantung kongestif (Shorr AF dkk, 2002; Arslan S, 2010; Castro DJ, 2001).
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan hubungan antara nilai
DD dengan perluasan kerusakan paru yang terjadi pada penderita PK. Pada
penelitian Levi dkk melaporkan hubungan antara perluasan kerusakan paru,
gambaran radiologi, dan peningkatan DD pada penderita pneumonia berat (Levi
M dkk, 2003). Ribelles dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada
penderita dengan pneumonia lobar atau multilobar dibandingkan dengan
pneumonia segmental. Selain itu penelitian tersebut juga menemukan hubungan (Arslan S dkk,2010) dan juga oleh nekrosis yang disebabkan oleh
kerusakan pembuluh darah pada pneumonia berat (Karalezli A dkk, 2009;
yang erat antara angka mortalitas dan nilai DD pada penderita PK. Nilai mean DD
3,786 ± 2,646 ng/ml pada pasien yang meninggal, dan 1,609 ± 1,808 ng/ml pada
pasien yang hidup. Mereka juga berhasil menemukan bahwa pasien PK dengan
PSI kategori IV dan V yang memiliki nilai DD yang tinggi lebih dari 2000 ng/ml
memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sedangkan nilai DD yang rendah
pada pasien PK (< 500 ng/ml) pada saat awal masuk ke rumah sakit ternyata
menurunkan resiko untuk mengalami kematian lebih awal atau morbiditas yang
berat (Ribelles JMQ dkk, 2004) Chalmer dkk, juga melaporkan bahwa nilai DD <
500 ng/ml pada pasien PK yang diperiksa pada saat awal masuk rumah sakit
memiliki nilai duga negatif (negative predictive value) yang tinggi untuk menyingkirkan terjadinya PK yang berat (Ribelles JMQ dkk, 2004). Meskipun
sistem untuk memeriksa keparahan penyakit dan resiko kematian pada PK telah
ada dan dipakai secara luas seperti PSI, PORT sistem CURB 65, namun sistem
tersebut terlalu rumit untuk digunakan dalam praktek sehari-hari sehingga
diperlukan biomarker yang potensial dapat memberikan informasi mengenai
prognosis yang setara dengan sistem skoring yang telah ada (Mikaeilli H dkk,
2009; Crain MC dkk, 2010). Oleh sebab itu, peneliti berminat melakukan suatu
melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan antara kadar D dimer
terhadap skor prognostik, dalam hal ini CURB-65 pada awal pasien PK datang ke
rumah sakit. Selain itu, hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah dilakukan
di Medan.
1.2. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan kadar D dimer terhadap skor CURB-65 pada saat
awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.
1.3. Hipotesis
Semakin tinggi kadar D-dimer pada saat awal penderita pneumonia komunitas
1.4. Tujuan Penelitian
Diketahuinya hubungan kadar D dimer terhadap skor CURB-65 pada saat
awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi hubungan derajat
keparahan pneumonia dengan petanda koagulasi sehingga dapat
menentukan tatalaksana pasien pneumonia komunitas sejak dini.
1.5.2. Membantu meyakinkan klinisi dalam mengambil keputusan untuk
pemberian antibiotika sejak awal.
1.5.3 Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya, memberi pemahaman akan
penggunaan petanda koagulasi dan menambah pengetahuan mengenai
karakteristik PK di Medan sehingga bermanfaat dalam prediktor dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomarker pada Pneumonia
Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak
nafas) dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat
mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS, 2009). Sebagai penyakit
infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin
proinflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem
hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).
Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali
pneumonia tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan
diagnosis yang akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui A
dkk,2006). Dalam suatu analisis receiving operating characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai akurasi diagnostik dari PK, didapatkan kelemahan
gambaran klinik (demam, batuk, produksi sputum, temuan auskultasi yang
abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan area under curve (AUC) sebesar 0,79 (Mira JP dkk, 2008).
Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan
tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu
proses fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker
yang tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non
inflamasi dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan
mengalami penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk,2006).
Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker
dikatakan memiliki potensi dalam menilai risiko kematian penderita PK. Salah
satu biomarker koagulasi yang paling banyak diteliti adalah D-dimer (Rabello
dkk, 2011).
Aktifasi sistem koagulasi dan aktifitas fibrinolisis merupakan gambaran
yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Crain MC dkk, 2010; Milbrandt EB
dkk, 2009). Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Kollef dkk yang
melaporkan bahwa adanya DD yang beredar dalam sirkulasi tidak hanya berkaitan
dengan mortalitas tetapi juga insiden sepsis, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), MSOF (Multy system organ failure) dan trombosis vaskular (Shorr AF, 2002).
2.2. D dimer
D dimer dikenal sebagai produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik
(Mikaeilli H, 2009; Shorr AF dkk, 2010).
Dalam proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk
sebagai langkah akhir dari proses koagulasi yaitu dari hasil katalisis oleh trombin
yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan melepaskan
fibrinopeptida A dan fibrinopeptida B (FPA dan FPB). Fibrin monomer akan
mengalami polimerisasi membentuk fibrin polimer yang selanjutnya oleh
pengaruh faktor XIII akan terjadi ikatan silang, sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin yang akan menghasilkan D Dimer. Dikenal 3 langkah perubahan fibrinogen menjadi fibrin
yaitu langkah enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi (Birhasani, 2010), yaitu : D dimer (DD) menandakan adanya
aktivasi sistem koagulasi. Kadar DD akan meningkat pada kelainan yang dapat
memicu pembentukan fibrin dan katabolisasinya; kelainan ini antara lain adalah
1. Langkah enzimatik, melalui peranan trombin yang merubah fibrinogen
menjadi fibrin yang larut, selanjutnya dipecah menjadi 2 fibrinopeptida A
dan 2 fibrinopeptida B.
2. Langkah polimerisasi yang pertama terjadi pelepasan fibrinopeptida A
yang akan menyebabkan agregasi side to side kemudian dilepaskan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer
dengan lebih kuat sehingga menghasilkan bekuan yang tidak stabil.
3. Langkah stabilisasi terjadi pembentukan fibrin tidak larut yang stabil yang
membutuhkan trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+).
Trombin mengaktifkan faktor XIII yang kemudian berfungsi sebagai
transaminidase sehingga ikatan silang (cross-linked) monomer fibrin yang berdekatan melalui pembentukanikatan kovalen yang stabil (fibrin Mesh). Kedua rantai α dan γ terlibat dalam pembentukan bekuan fibrin yang stabil atau fibrin tidak larut. Fibrin cenderung menyerap plasminogen yang normal di jumpai
dalam plasma. Sekali berada dalam fibrin, plasminogen berubah menjadiplasmin
oleh adanya aktivator. Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang mampu
memecah baik fibrinogen maupun fibrin untuk menghasilkan bermacam macam
produk degenerasi fibrinogen / fibrin FDP. Bila plasmin melisis fibrin yang tidak
larut, maka akan terbentuk produk fibrin stabil yang spesifik yaitu D dimer.
Dengan kata lain adanya D dimer ini karena ikatan cross link tidak dapat dipecah oleh plasmin. Jadi kalau terbentuk D dimer berarti yang di pecah oleh plasmin
adalah cross linked fibrin yang merupakan hasil kerja thrombin (Gambar 2.2.1)
Sumber: N Engl J Med, 2003
Gambar 2.2.1 Degradasi bekuan fibrin (Bockenstedt P, 2003).
Hasil pemeriksaan kadar D dimer secara kuantitatif dinyatakan dalam
satuan μg/L. Nilai cut off D dimer dengan metode latex agglutination adalah 500 μg/L. Kadar D-dimer yang lebih dari nilai normal rujukan menunjukkan adanya produk degradasi fibrin dalam kadar yang tinggi; mempunyai arti adanya
pembentukan dan pemecahan trombus dalam tubuh (Widjaja AC, 2010).
2.3. Hubungan D dimer (DD) dengan Pneumonia
Peningkatan kadar DD pada pneumonia komunitas (PK) disebabkan oleh
aktivasi dari sistem fibrinolitik dan dari proses katabolisasi fibrin di alveoli. Selain
itu, peningkatan DD juga terjadi akibat aktivasi sistem koagulasi darah yang
disebabkan oleh endotoxin yang di hasilkan oleh bakteri Gram-negatif penyebab
pneumonia (Arslan S dkk, 2010) dan juga oleh nekrosis yang disebabkan oleh
kerusakan pembuluh darah pada pneumonia berat (Karalezli A dkk, 2009),
(Guneysel dkk, 2004).
Shilon dkk, melaporkan bahwa pemeriksaan DD kuantitatif pada saat awal
pasien masuk merupakan suatu marker derajat keparahan dan prognostik pada
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan (r=0,44, p=0002), skor Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) dengan (r=0,36, p=002), lamanya perawatan di rumah sakit dengan (r=0,24, p=0,046), hal
ini menunjukkan bahwa kadar DD berhubungan dengan derajat keparahan dan
outcome klinis pada penderita PK (Shilon Y dkk, 2003; Rabello dkk, 2011).
Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D dimer terhadap
mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi
pada pasien dengan D dimer yang tinggi (3.786 vs 1.609 ng/ml dengan p <
0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linier antara D dimer dengan skor
PSI (Gambar 2.3.1) (Ribelles JMQ, 2004). Hasil ini membuka peluang untuk penelitian terhadap petanda koagulasi lainnya seperti prothrombin fragment 1.2
[image:33.595.170.453.410.597.2](PF1.2), thrombin-antithrombin complex dan fibrinogen dalam hubungannya terhadap PK (Mira JP dkk, 2008; Crain MC, dkk, 2010)
Gambar 2.3.1. Hubungan D dimer dengan PSI (Ribelles JMQ, 2004)
Sumber: Chest, 2004
Mikaelli dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada pasien yang
memiliki derajat keparahan PK yang berat dengan nilai (p <0,001) (Mikaeilli H
dkk, 2009).
Agapakis dkk, melaporkan bahwa DD sebagai biomarker koagulasi pada
perawatan di rumah sakit, dengan nilai cut-off point DD 600 ng/ml, sedangkan
AT-III memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 75% (Agapakis DI dkk, 2010).
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan hubungan antara nilai
DD dengan perluasan kerusakan paru yang terjadi pada penderita PK. Pada
penelitian Levi dkk melaporkan hubungan antara perluasan kerusakan paru,
gambaran radiologi, dan peningkatan DD pada penderita pneumonia berat
(Karalezli A dkk, 2009). Ribelles dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi
pada penderita dengan pneumonia lobar atau multilobar dibandingkan dengan
pneumonia segmental. Selain itu penelitian tersebut juga menemukan hubungan
yang erat antara angka mortalitas dan nilai DD pada penderita PK. Nilai mean DD
3,786 ± 2,646 ng/ml pada pasien yang meninggal, dan 1,609 ± 1,808 ng/ml pada
pasien yang hidup. Mereka juga berhasil menemukan bahwa pasien PK dengan
PSI kategori IV dan V yang memiliki nilai DD yang tinggi lebih dari 2000 ng/ml
memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sedangkan nilai DD yang rendah
pada pasien PK (< 500 ng/ml) pada saat awal masuk ke rumah sakit ternyata
menurunkan resiko untuk mengalami kematian lebih awal atau morbiditas yang
berat (Levi M dkk, 2003). Chalmer dkk, juga melaporkan bahwa nilai DD <500
ng/ml pada pasien PK yang diperiksa pada saat awal masuk rumah sakit memiliki
nilai duga negatif (negative predictive value) yang tinggi untuk menyingkirkan terjadinya PK yang berat (Ribelles JMQ dkk, 2004).
2.4. Gangguan koagulasi dan fibrinolisis pada pneumonia
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi telah mencoba meneliti
dalam respon host terhadap bakteri terutama terhadap aktivasi koagulasi. Respon
terhadap infeksi yang memberikan dampak terhadap sistem koagulasi yang
mungkin berperan dalam patogenesis disfungsi organ (Kaplan dkk, 2003).
Pneumonia yang awalnya infeksi lokal, mengakibatkan aktivasi koagulasi
sistemik, ini disebabkan aktivasi lokal dari sistem koagulasi yang terjadi pada
pneumonia dengan deposisi fibrin dalam kompartemen alveolar yang terinfeksi,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, merangsang sitokin proinflamasi
dan meningkatkan akumulasi neutrofil (Milbrandt dkk, 2009). Aktivasi koagulasi
keluar dari sirkulasi darah namun alveolar makrofag, neutrofil, dan sel endotel
dapat mengeluarkan TF pada permukaan dimana membentuk thrombogenic tissue factor yang selanjutnya berkembang menjadi gangguan koagulasi sistemik selama infeksi paru (Abraham E dkk, 2000).
Aktivasi koagulasi yang dimediasi oleh TF-kompleks faktor VIIa yang
berperan dalam pembentukan fibrin, serta perubahan fibronogen menjadi fibrin.
Secara bersamaan juga terjadi gangguan jalur antikoagulan alamiah (misalnya
antithrombin dan protein C. Penumpukan fibrin akan mensupresi aktivitas
fibrinolitik yang disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor
(PAI)-1 (Levi M, dkk 2003).
Respon prokoagulan bronchoalveolar selama infeksi berat dan inflamasi
sistemik ini memiliki mekanisme yang sangat mirip, meskipun tidak identik.
Dalam bronchoalveolar kompartemen, TF tampaknya memiliki penting peran
dalam inisiasi koagulasi; disfungsi antikoagulan alamiah; serta penghambatan
fibrinolisis selama sepsis atau endotoksemia (Gambar 2.4.1) (Levi M, dkk 2003).
[image:35.595.116.513.404.590.2]Sumber : Crit Care Med.2003
Gambar 2.4.1. Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner
Pembentukan thrombin broncoalveolar dapat terdeteksi melalui
pemeriksaan prothrombin activation peptide fragment 1+2 atau
thrombin-antithrombin complexes, kedua marker tersebut kadarnya dapat meningkat tiga
Cairan bronchoalveolar mengandung faktor antikoagulan fisiologis yang
mirip dengan yang hadir di sistem antikoagulan darah. Konsentrasi antitrombin
yang rendah pada paru-paru ini dapat dengan cepat digunakan bahkan pada kasus
prohemostatik ringan, misalnya, endotoksemia dosis rendah. Tidak jelas apakah
elastase neutrofil yang teraktivasi mampu mendegradasi antithrombin, sehingga
menyebabkan tidak terdeteksinya antitrombin pada acute lung injury (ALI). Pentingnya antitrombin dalam patogenesis endotoksin diinduksi cedera paru telah
dibuktikan studi eksperimental. Hasil studi pada tikus endotoksemik,
menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi antitrombin konsentrat dapat
mencegah penumpukan fibrin di paru-paru (Levi M, dkk 2003).
Sistem Protein C adalah regulator penting pada pembentukan trombin.
Paru-paru hanya memiliki kapasitas terbatas untuk memproduksi protein C,
namun activated protein C (APC) terdapat dalam cairan bronchoalveolar. Aktivasi protein C terdeteksi dalam paru-paru manusia dan mengalami penurunan selama
inflamasi. Gangguan aktivasi protein C kemungkinan disebabkan oleh
downregulation dari thrombomodulin, karena pada pemberian rekombinan
thrombomodulin dapat mencegah cedera pembuluh darah paru pada tikus
endotoksemik. APC mencegah cedera paru-paru pada studi eksperimental dan
bakteremia endotoksemia pada berbagai hewan (Levi M, dkk 2003).
Sitokin berperan penting dalam menghubungkan inflamasi dan perubahan
yang terjadi pada sistem koagulasi dan fibrinolisis bronkoalveolar. Sitokin yang
dilepaskan sebagai respon terhadap adanya endotoksin memberikan efek yang
berbeda. Interleukin (IL)-6 berperan dalam aktivasi koagulasi; tumor necrosis
factor (TNF)-α berperan menghambat aktivitas fibrinolisis. Makrofag alveolar
adalah sumber sitokin proinflamasi di paru-paru. Aktivasi makrofag alveolar
dapat secara langsung menstimulasi terbentuknya TF (Levi M, dkk 2003).
2.5. Skor Klinis Pneumonia
Meskipun sistem untuk memeriksa keparahan penyakit dan resiko
kematian pada PK telah ada dan dipakai secara luas seperti PSI, PORT sistem
CURB 65, namun sistem tersebut terlalu rumit untuk digunakan dalam praktek
informasi mengenai prognosis yang setara dengan sistem skoring yang telah ada
(Mikaeilli H dkk, 2009), (Crain MC dkk, 2010).
Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting
dalam tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI,
CURB-65, modified ATS (m-ATS) dsb. Beberapa studi di Amerika Serikat dan
Inggris telah mengeksplorasi berbagai faktor yang dapat memprediksi kematian
pada pasien rawat inap dengan PK, skor CURB-65 dan PSI adalah sistem
penilaian yang paling umum digunakan untuk memprediksi mortalitas (Mandell
LA dkk, 2007).
2.6. Skor CURB-65
CURB-65, juga dikenal sebagai CURB kriteria, merupakan aturan prediksi
klinis yang telah divalidasi untuk memprediksi kematian pada pneumonia
komunitas (Lim WS dkk,2009). Skor CURB-65 (Tabel 2.6.1.) diperkenal oleh
British Thoracic Society (BTS) pada tahun 2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan risiko
kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori skor kematian rendah
dimana skor 0= 0,7% dan skor 1= 3,2%. Skor 2= 13% masuk kategori risiko
kematian sedang dan skor >3 masuk dalam skor kematian tinggi (3= 17%, 4=
41,5% dan 5= 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan PSI
yaitu dengan AUC: 0,73 -0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang
digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan
[image:37.595.122.508.625.741.2]CURB-65 (Singanayagam A dkk, 2009), (Mandell LA dkk, 2007).
Tabel 2.6.1. Skor CURB-65
Clinical Factor Points
C Confusion 1
U Blood urea nitrogen > or = 20 mg/dl 1
R Respiratory rate > or = 30 breaths/ min 1
Total
Score
Mortality
%
Risk Level Suggested Site-of-Care
0 0,6% Low Outpatient
1 2,7% Low Outpatient
2 6,8% Moderate Short inpatient / supervised outpatient
3 14,0% Moderate to High Inpatient
4 or 5 27,8% High Inpatient / ICU
Dikutip dari : QJ Med, 2009; 102:379-388.
Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang
sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini
melahirkan skor CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor
CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer.
Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65
dengan AUC: 0,69 – 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan
jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu
diuji (Singanayagam A dkk, 2009), (Bont J dkk, 2008).
2.7. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas
Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan
10% dari penderita harus dirawat di ICU (intensive care unit). Pada PK yang dirawat jalan mortalitas sebesar diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap
maka mortalitas meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi
22% jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK
menjadi sepsis berat (PK berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ
(Nayak SB dkk, 2010).
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana
lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi
aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan
jumlah leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ.
(Purba DB, 2010).
Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan
keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsisdibawah ini:
- Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah positif.
- SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih keadaan berikut :
1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC
2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)
3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Lekosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau netrofil
batang > 10%
- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.
- Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.
- Syok sepsis : Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.
- Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tekanan darah normal pasien.
- Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih, memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis (Purba, 2010;
Carol dkk, 2003).
Dremsizov, dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam
memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil
yang didapat antara lain bahwa 50 % dari penderita PK yang dirawat akan jatuh
ke sepsis. Selain itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik
dalam memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini
adalah dapat digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga
2.8. Gangguan koagulasi pada Sepsis
Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sistem koagulasi berperan
penting dalam patofisiologi sepsis (Suharto, 2011). Gangguan koagulasi pada
sepsis terjadi melalui tiga mekanisme (Gambar 2.8.1) (Faranita T dkk, 2011). 1. Pembentukan trombin yang diperantarai Tissue Factor (TF)
Tranfer factor diekspresikan pada permukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin, sitokin atau mediator lain.
Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosisfactor (TNF)-α dan interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang paling berhubungan
dengan klinis sepsis dan komplikasi. Pembentukan trombin yang
diperantarai oleh TF merupakan tahap penting dari patogenesis sepsis.
Secara fisiologis pembentukan ini segera dihambat oleh antitrombin,
namun dengan pembentukan trombin yang sangat cepat jalur inhibisi ini
bisa fatigue sehingga terjadi trombinemia. Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi sehingga terbentuk bekuan fibrin dan terdeposisi
di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat menyebabkan disfungsi organ.
2. Gangguan mekanisme antikoagulan
Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis, yakni:
a. Sistem antitrombin
Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan
koagulasi pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada
sepsis. Jumlah antitrombin berkurang disebabkan karena antitrombin
digunakan untuk menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase
yang dilepaskan sel neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat
gagal hati pada sepsis.
b. Sistem protein C
Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein (APC) yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi
depresi sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang
berlebihan, gangguan hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-α.
Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVIIa. Penurunan TFPI
dapat dijumpai pada sepsis.
3. Penghentian sistem fibrinolisis
Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas
fibrinolisis yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen activator oleh sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis secara cepat oleh PAI-1. Jumlah PAI-1 yang tinggi
dipertahankan sehingga menghentikan kemampuan fibrinolisis yang
mengakibatkan penumpukan bekuan fibrin pada mikrosirkulasi.
[image:41.595.113.513.289.607.2]Sumber : Thrombosis Journal, 2006
Gambar 2.8.1. Patofisiologi sepsis
Gambaran klinis koagulopati pada sepsis ialah (Faranita T dkk, 2011):
1. Aktivasi koagulasi sistemik fisiologis
Pada kondisi awal tidak tampak klinis koagulopati, namun proses
molekular yang sensitif seperti D-dimer, protrombin fragmen 1+2, atau
kompleks trombin-antitrombin.
2. Non-overt disseminated intravascular coagulation
Sedangkan tahap selanjutnya ditandai dengan pembentukan fibrin
intravaskular yang menyebabkan gangguan pada mikrosirkulasi. Hasil
laboratorium menunjukkan peningkatan marker aktivasi namun
pemeriksaan lain masih normal.
3. Transient consumption coagulopathy
Jika rangsangan prokoagulasi tetap terjadi maka akan terjadi
ketidakseimbangan antara penggunaan plasma protein koagulasi dan
sintesis di hati. Apabila rangsangan dihentikan dengan menghilangkan
penyebabnya maka gangguan tersebut dapat teratasi dalam beberapa jam
hingga beberapa hari. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan
prothrombine time (PT), trombosit menurun, jumlah protein C menurun, fibrinogen dapat normal maupun menurun.
4. Overt DIC
Proses berkelanjutan sampai koagulopati konsumtif berat jarang dijumpai.
Gangguan tersebut ditandai dengan penghentian mekanisme inhibisi
sehingga hemostasis tidak terkontrol dan menyebabkan perdarahan berat.
Manifestasi klinis DIC yang paling sering adalah perdarahan, trombosis
atau keduanya yang dapat menyebabkan disfungsi organ. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai peningkatan waktu pembekuan
darah, peningkatan fibrin degradation product (FDP), D-dimer, penurunan trombosit dan kadar fibrinogen, penurunan kadar faktor koagulasi (seperti
faktor V dan VIII), dan penurunan penghambat koagulasi (antitrombin dan
protein C). Pemeriksaan koagulasi serial akan lebih baik dalam
mendiagnosis DIC.
2.9. Kultur Sputum
pneumoniae. Sedangkan kuman patogen penyebab PK lainnya mencakup
Hemophilus influenza, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Neisseria meningitides, Moraxella catarrhalis, Klebsiella pneumoniae, Legionella sp dan batang gram negatif lainnya.
Menurut British Thoracic Society Guidlines (BTS, 2009) menyatakan bahwa kuman patogen penyebab PK yang banyak ditemukan, yaitu Streptococcus pneumoniae dan diikuti kuman patogen lainnya Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia Pneumoniae dan kuman gram negatif lainnya. Di Asia Tenggara,
Streptococcus Pneumonia juga paling sering ditemukan kemudian diikuti
Chlamydia Pneumoniae dan bakteri gram negatif (Wattanathum dkk, 2003).
Di Cina kuman patogen Streptococcus pneumoniae paling banyak ditemukan lalu kuman-kuman lainnya seperti Mycoplasma pneumoniae dan H Influenza (Huang HH dkk, 2006). Begitu juga di Jepang, Streptococcus pneumoniae paling umum ditemukan dan diikuti oleh H Influenza (Saito A dkk, 2006). Penelitian PK rawat inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia
mendapatkan patogen yang bukan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab tersering PK, antara lain Klebsiella pneumoniae (Dahlan Z, 2009).
2.10 Kultur Darah
Kultur darah dianjurkan untuk semua pasien pada PK sedang dan berat,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum pemberian terapi antibiotik dimulai.
Jika diagnosis PK telah pasti dikonfirmasi dan pasien dengan keparahan PK
ringan tanpa komorbiditas penyakit, kultur darah boleh tidak dianjurkan. Kultur
darah dapat membantu untuk mengidentifikasi bakteremia dan patogen resisten,
dimana kuman Streptococcus pneumoniae menjadi patogen yang paling umum yang diidentifikasi (BTS, 2009).
ATS dan IDSA merekomendasikan indikasi kuat untuk kultur darah pada
PK berat. Pasien dengan PK berat lebih mungkin terinfeksi dengan kuman
pada pneumonia hanya pada 5-16% kasus. Dimana kuman patogen yang paling
umum ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae (ATS, 2007).
Christ-Crain M dkk (2006) mendapatkan bahwa adanya bakteri patogen di
dalam darah (bloodstream infection/ BSI) erat kaitannya terhadap tingginya mortalitas pasien sepsis. Keadaan ini disebabkan terlambatnya pemberian
antibiotik yang seharusnya sudah dapat dimulai saat awal pasien masuk.
Umumnya antibiotik diberikan pada pasien dengan gejala infeksi yang nyata
(demam dan leukositosis), yang sensitifitas dan spesifisitasnya rendah dan jika
harus menunggu hasil kultur akan memperpanjang masa penundaan pemberian
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
[image:45.595.99.563.186.388.2]3.1. Kerangka Konsep
Gambar 3.1.1 Kerangka Konseptual
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang
berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai
adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan
auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau
ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak
berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum
timbulnya gejala ataupun dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam (Muller B
dkk, 2007).
3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk
membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi
intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di
Derajat Keparahan Pneumonia Pada Awal Masuk Rumah Sakit
Kadar D-dimer
Penderita Pneumonia Komunitas
Skor CURB-65
3.2.3. D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik (< 500 μg/ L) (Milbrandt EB dkk,
3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor CURB- 65
menurut acuan BTS (British Thoracic Society) 2009, seperti yang terlihat pada uraian di bawah ini (Crain MC dkk, 2010) :
2009, Widjaja AC, 2010)
1. Konfusio/Confusion : gangguan kesadaran yang baru terjadi atau adanya abnormalitas skor mental.
2. Urea : > 7 mmol/l ; > 20 mg/dl.
3. Laju pernapasan/Respiratory rate : ≥ 30x/menit.
4. Tekanan darah/Blood Pressure: adanya tekanan darah rendah (sistolik < 90 mmHg dan atau diastolik ≤ 60 mmHg)
5. Umur/Age≥ 65 tahun.
Rentang nilai pada skor di atas adalah 0- 5 dimana setiap kriteria
bernilai satu.
Untuk penilaian konfusio dapat dibantu dengan skor mental yang
telah disesuaikan dengan pengetahuan di Indonesia.
Skor Mental (disesuaikan) 1. Berapa usia anda?
2. Kapan tanggal lahir anda?
3. Jam berapa saat ini?( tidak perlu menitnya)
4. Tahun berapa saat ini?
5. Apa nama Rumah Sakit yang anda datangi ini ?
6. Mengenal 2 orang (contoh: dokter, perawat, anggota
keluarga)
7. Alamat rumah saudara?
8. Menghitung mundur angka 20 sampai 1
9. Siapa nama Presiden Indonesia saat ini?
10.Tahun berapa Indonesia merdeka?
Setiap pertanyaan bernilai 1 dan jika nilai yang didapat ≤ 8, maka dapat
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian adalah observasional dengan metode pengukuran
cross-sectional.
4.2. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus 2011 s/d Maret 2013 di
Instalasi Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap dan Poliklinik Pulmonologi &
Alergi Immunologi RS H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan.
4.3. Subjek Penelitian
Penderita Pneumonia Komunitas yang dirawat inap maupun rawat
jalan di Rumah Sakit H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan.
4.4. Kriteria Inklusi
1. Usia di atas 18 tahun
2. Gambaran klinis dan radiologik sesuai dengan diagnosis
pneumonia.
3. Bersedia mengikuti penelitian.
4.5. Kriteria Eksklusi
1. Dugaan emboli paru.
2. Wanita Hamil.
3. Pada saat 6 bulan post partum.
4. Riwayat trauma.
5. Stroke thrombosis.
6. Riwayat infark miokard dalam 1 bulan terakhir.
9. Penyakit ginjal kronis tahap akhir yang menjalani hemodialisis.
10.Mendapat terapi antibiotik selama 48 jam terakhir.
11.Malignansi.
12.HIV
4.6. Besar Sampel
Studi ini menggunakan sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi suatu
populasi.
Dan perkiraan besar sampel :
(Zα√P0Q0 + Zβ√PaQa)2 =
( Po – Pa)
1,96√0,198 x 0,802 + 1,036√0,398x 0,602
2
(0,2)
= 51,4≈ 52 orang.
2
Dimana: Zα: deviat baku untuk α = 0,05 : 1,96 Zβ : deviat baku untuk β= 0,10: 1,036
Pa: Proporsi sekarang : 0,398
Qa= 1 – Pa= 1- 0,398= 0,602
Po: Proposi terdahulu : 0,198 *
Qo= 1- Po = 1- 0,198= 0,802
Keterangan: *Mikaeilli dkk, 2009
4.7. Cara Kerja
a. Seluruh pasien yang didiagnosis menderita pneumonia komunitas
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi. Setelah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, ureum, creatinin,
D dimer , kultur sputum/ ST (sensitivity test) dan kultur darah/ST
(sensitivity test) pada pasien sepsis akibat pneumonia.
b. Dilakukan penilaian derajat keparahan pneumonia dengan skor
c. Kadar D dimer diukur menggunakan reagen dari Coagulometer
Dimex Jr dengan metode Latex enhance turbidimetric test.
4.7.1. Pengambilan sampel darah
• Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering.
Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan dengan menggunakan
dispossible syringe 10 cc yang dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah
lengkap. Bagian kedua sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil
serumnya untuk pemeriksaan D-dimer. Pengambilan sampel darah
dilakukan tanpa memperdulikan hari keberapa pasien dirawat, dimana
apabila ditemukan pasien sepsis maka diambil sampel darahnya dalam
waktu 24 jam. Pada saat pengambilan sampel darah, pasien dalam posisi
berbaring.
• Pemeriksaan darah lengkap dilakukan dengan alat Cell Dyne 3700 dan
morfologi darah tepi diidentifikasi dari blood film dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan Laju Endap Darah dilakukan dengan cara
Westergren.
4.7.2. Kultur Darah dan GAL dengan BACTEC 9050
Prinsip Pemeriksaan: Membiakkan dan menginokulasikan bakteri yang terdapat pada sampel darah pada media agar. Jika terdapat pertumbuhan
koloni bakteri, dilakukan identifikasi dan selanjutnya dilakukan uji
kepekaan.
Metode: Kultur
Sampel
Jenis : Darah
Volum : 8-10 ml (untuk pasien dewasa), 1-3 ml (untuk pasien
anak)
• Persiapan • Prosedur Kerja Penanganan Sampel
- Disinfeksi penutup botol dengan kapas alkohol 70%
- Dengan menggunakan spuilt, masukkan 8-10 ml (untuk pasien
dewasa) darah ke dalam botol Bactec Plus Aerobic atau 1-3 ml (untuk pasien anak) darah ke dalam botol Bactec Peds Plus.
- Masukkan botol ke alat Bactec 9050
- Inkubasi botol fan aerobic selama 5 hari
- Keluarkan botol dari alat Bactec 9050
Inokulasi Sampel
- Dengan menggunakan spuit, ambil 1 ml sampel dari botol yang menunjukan hasil positif kemudian ratakan dengan ose (dilakukan
secara aseptis) pada permukaan media agar.
- Inkubasi pada suhu 37o
- Lakukan pewarnaan Gram, identifikasi dan atau uji kepekaan terhadap
koloni tersangka
C selama 18-24 jam.
Catatan : untuk kultur Gal, lakukan konfirmasi dengan test serologi anti sera terhadap salmonela.
4.7.3. Teknik Pemeriksaan D dimer
Tidak ada persiapan khusus untuk pemeriksaan D dimer
Spesimen yang digunakan adalah plasma darah dengan antikoagulan
natrium citras 3,2 %
Siapkan seluruh reagen, standar kerja dan specimen.
Darah dihomogenkan, disentrifugasi 3000 rpm selama 5 menit.
Diambil supernatannya dan disimpan di suhu < -200
Kadar D-dimer diperiksa menggunakan alat dan reagen dari Coagulometer
Dimex Jr dengan metode Latex enhance turbidimetric test.
C. Stabilitas sampel
pada suhu ini dapat mencapai 1 bulan
Hasil akan tercetak secara otomatis
Berdasarkan kadar D dimer subjek penelitian akan dibagi menjadi 4 kelas
yaitu:
Klas I : < 500 μg/ L.
Klas II : 500-999 μg/ L.
Klas III: 1000-1999 μg/ L.
Klas IV: > 2000 μg/ L.
4.7.4. Kultur sputum
o Satu ose bahan sputum ditanam ke media padat blood agar dan Mc Conkey, masukkan ke inkubator 37 C selama 24 jam.
o Dibaca dan dilihat pertumbuhan bakterinya, jika tumbuh dibuat direct smear dan dilakukan pengecatan gram.
o Bahan yang tumbuh di Mc Conkey agar, dilanjutkan ke reaksi biokimia untuk dimasukkan lagi ke inkubator selama 24 jam dan
dibaca serta ditentukan jenis kumannya.
o Kalau hanya tumbuh pada blood agar, langsung dibaca dan ditentukan jenis kumannya.
4.8. Analisa Data
Untuk melihat gambaran karasteristik dan kadar D dimer pada
subjek PK disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.
Untuk melihat hubungan kadar D dimer berdasarkan tingkatannya
terhadap derajat keparahan PK dengan skor CURB-65 digunakan
uji Chi square, jika tidak memenuhi syarat maka digunakan
Kolmogorov smirnov <