ANALISIS PENETAPAN HARGA POKOK PRODUKSI BIBIT
TANAMAN RAMBUTAN (
Nephelium lappaceum,
L)
PADA KEBUN BIBIT RAGUNAN, JAKARTA SELATAN
Rifa Atul Maulidah
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
ANALISIS PENETAPAN HARGA POKOK PRODUKSI BIBIT TANAMAN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum, L) PADA KEBUN BIBIT RAGUNAN, JAKARTA SELATAN
Oleh :
RIFA ATUL MAULIDAH 106092003018
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Desember 2011
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Desember 2011
DATA DIRI
Nama : Rifa Atul Maulidah Jenis Kelamin : Perempuan
TTl : Jakarta, 4 November 1987
Alamat : Jl. H. Misan Rt.13 Rw.03 no.88, petukangan utara, Jakarta selatan
Telp :
Alaman email : Rif4_vy@yahoo.co.id
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
SDI Darul Muttaqien 1995 s/d 2000
SMP Darul Muttaqien 2000 s/d 2003
MA Darunnajah 2003 s/d 2006
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006 s/d 2011
PENGALAMAN PEKERJAAN
TK. AL-ADZKAR Larangan Pengajar 2010
BPR Ragasakti Asisten Dirut 2011
RINGKASAN
RIFA ATUL MAULIDAH 106092003018, Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan (Nephelium Lappaceum, L) Pada Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan. Di bawah bimbingan ELPAWATI dan HANDOJO KRISTYANTO.
Rambutan (Nephelium lappaceum, L) merupakan salah satu komoditas tropis eksotis yang digemari oleh masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tanaman rambutan merupakan tanaman buah asli Indonesia. Tanaman ini mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan karena ketersediaan lahan yang cukup, agroklimat yang cocok, dan sumber daya yang melimpah.
Kebun Bibit Ragunan Jakarta merupakan salah satu kebun yang dimiliki Balai Benih Induk Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta. Balai Benih Induk Ragunan Jakarta Selatan adalah salah satu balai penyedia bibit tanaman rambutan yang dengan keunikan produknya, karena sumber induk yang digunakan dari induk yang sudah tersertifikasi. Dengan jaminan kualitas bibit yang lebih bermutu diharapkan dapat mampu memenuhi permintaan pasar yang ada. Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan tidak memiliki metode harga pokok produksi yang tetap sehingga penentuan harga jualnya pun hanya mengikuti harga umum dari penjual lain.
Kebun Bibit Ragunan DKI Jakarta memiliki acuan harga bibit tanaman hortikultura pada tahun 2001, yang sesuai dengan surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3482/2001 dengan harga Rp 5.000 untuk bibit rambutan ukuran 50cm–100cm dan Rp 17.500 untuk ukuran 1m–2m. Setelah tahun berikutnya sampai sekarang Kebun Bibit Ragunan tidak dapat menggunakan acuan harga tersebut.
Tujuan Penelitian ini adalah: “Menetapkan metode perhitungan harga pokok produksi untuk bibit tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan”.
Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode harga pokok produksi full costing dan variable costing. Penggunaan kedua metode ini akan bertujuan untuk mendapatkan hasil perhitungan harga pokok produksi untuk bibit tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan. Hasil perhitungan kedua metode akan dibandingkan sehingga akan didapat suatu metode yang dapat digunakan untuk menghasilkan harga pokok produksi yang terbaik yang nantinya dapat digunakan sebagai acuan harga jual bagi perusahaan.
vii menghasilkan harga pokok sebesar Rp 36.576.317,-. Hal ini karena ada perbedaan dalam menganalisis biaya pada saat kenaikan produksi. Pada metode full costing menggolongkan biaya dalam biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya tidak langsung (BOP), sedangkan pada metode variable costing menggolongkan biaya menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
Harga pokok produksi yang tepat adalah harga pokok yang dilihat pada tinggi atau rendahnya hasil perhitungan. Kedua metode yang digunakan dalam perhitungan ini memiliki kelemahan dan keuntungan. Harga pokok produksi dengan menggunakan metode full costing pada saat kenaikan produksi menunjukkan nilai yang lebih besar dari nilai yang menggunakan metode variabel costing karena pada metode full costing, semua unsur biaya dimasukkan ke dalam perhitungan, baik biaya tetap maupun variable tanpa memperhatikan tingkat produksi yang dicapai perusahaan. Pada metode variabel costing, hanya memasukkan biaya variabel ke dalam perhitungan harga pokok produksi. Oleh karena itu, yang lebih tepat digunakan untuk perhitungan harga pokok produksi yaitu metode Metode Variable Costing, karena pada saat kenaikan produksi hanya menghitung biaya yang bersifat variable saja sedangkan untuk biaya tetapnya tidak diperhitungkan
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas seluruh rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul: Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan (Nephelium lappaceum. L) Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan. Shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menyampaikan ajaran islam sebagai penyejuk hati dan penyelamat umat manusia dari belenggu kebodohan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan moril dan materil yang diberikan oleh pihak-pihak yang telah mendukung terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih diberikan kepada:
1. Orang tua tercinta yang selama ini telah mencurahkan kasih sayang, perhatian, pengorbanan dan kesabaran dalam mendidik anak-anaknya. Diiringi dengan do’a-do’a yang tiada henti demi kebahagiaan anak-anaknya. Skripsi ini ananda persembahkan kepada kedua orang tua tercinta dan semoga menjadi kebanggaan dalam hatinya.
ix 3. Dr. Edmon Daris, MS dan Ir. Junaidi, M.Si selaku dosen penguji yang telah bersedia memberikan kritik dan saran yang bermanfaat demi kesempurnaan penulisan skripsi.
4. Drs. Acep Muhib, MM dan Riski Adi Puspitasari, MMA selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Agribisnis yang telah memberikan suatu komitmen, dorongan, dan program pendidikan sesuai kebutuhan mahasiswanya.
5. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi, yang telah mengesahkan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar, yang telah memberikan ilmu yang berharga, nasehat dan arahan selama dibangku perkuliahan.
7. Seluruh jajaran Fakultas Sains dan Teknologi yang telah membantu dan melayani hingga terselesaikannya skripsi ini.
8. Seluruh jajaran Program Studi Agribisnis atas dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 9. Kakak dan adikku tersayang dan seluruh anggota keluarga besarku yang
selalu mendoakan dan memberikan dukungan penuh kepadaku.
10. Ir. Widodo selaku Kepala Pusat Pengembangan Benih Tanaman Pangan Hortikultura dan Kehutanan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi pada Kebun Bibit Ragunan.
x 12. D’Princess yaitu Andhieka ”Rapunzel” Ulfa, Wiwin ”Mulan” Iswardani, Rinrin ”Snow White” Rindyani, Sri ”Belle” Ajeng, Yuniawati ”Cinderella”, Regina ”Ariel” Sari dan Fajar ”Jasmine” Khoirunnisa atas kebersamaan, kehangatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kuliah. kenangan bersama kalian semua merupakan kenangan yang menyenangkan dan terindah selama semoga dapat terus berlanjut.
13. Seluruh teman jurusan Agribisnis angkatan 2006 yang sama-sama berjuang dalam masa perkuliahan ini. Sukses selalu untuk kita semua.
14. Sahabatku tercinta dan orang terkasihku yang selalu member do’a dan dukungan penuh kepadaku dalam menghadapi segala kejadian yang kualami.
Akhir kata penulis mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam perjalanan perkuliahan, penulis pernah melakukan kekhilafan baik dalam tutur kata maupun tindakan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalam,
Jakarta, Desember 2011
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Batasan Penelitian ... 6
BAB II LANDASAN TEORI ... 8
2.1. Asal Tanaman Rambutan.... ... 8
2.2. Jenis dan Varietas Rambutan ... 9
2.2.1. Jenis Rambutan ... 9
2.2.1. Varietas Rambutan ... 9
2.3. Pengertian Bibit ... 11
2.4. Syarat Menghasilkan Bibit Bermutu ... 12
2.5. Pengertian Harga Pokok Produksi ... 13
2.6. Tujuan dan Manfaat Penentuan Harga Pokok Produksi ... 14
2.7. Pengertian Biaya dan Penggolongannya ... 15
2.8. Elemen Biaya Produksi dalam Penentuan Harga Pokok Produksi ... 22
2.8.1. Biaya Bahan Baku ... 22
2.8.2. Biaya Tenaga Kerja ... 24
xii
2.9. Metode Penentuan Harga Pokok Produksi... 28
2.9.1. Full Costing ... 29
2.9.2. Variabel Costing ... 30
2.10. Penelitian Terdahulu ... 33
2.11. Kerangka Pemikiran ... 36
3.4.2.1. Penetapan Harga Pokok Produksi dengan Metode Full Costing ... 41
3.4.2.2. Penetapan Harga Pokok Produksi dengan Metode Variable Costing ... 41
4.3. Sejarah Organisasi Dinas Pertanian DKI Jakarta ... 45
4.4. Sejarah Kebun Bibit Ragunan Jakarta ... 46
xiii
4.5.5. Tugas Sub Kelompok Jabatan Fungsional ... 51
4.6. Proses Produksi Bibit Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan ... 52
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
5 .1. Biaya-Biaya yang Dikeluarkan Dalam Produksi ... 56
5.1.1. Penggunaan Biaya Langsung ... 56
5.1.1.1. Biaya Bahan Baku ... 57
5.1.1.2. Tenaga Kerja Langsung ... 59
5.1.2. Penggunaan Biaya Tidak Langsung ... 61
5.1.2.1. Biaya Peralatan Produksi ... 62
5.1.2.2. Biaya Penyusutan Bangunan ... 65
5.1.2.3. Biaya Lainnya ... 65
5.2. Produksi dan Pendapatan ... 66
5.3. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan dengan Metode Full Costing ... 67
5.4. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan dengan Metode Variable Costing ... 69
5.5. Perbandingan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan antara Full Costing dan Variable Costingi ... 73
BAB VI KESIMPULAN ... 77
6.1. Kesimpulan ... 77
6.2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan Produksi rambutan Di Indonesia 2007-2009 (Ton)... 1 2. Varietas Unggul Rambutan dan Karakteristiknya ... 11 3. Bahan Baku Produksi 2.000 Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun
Bibit Ragunan ... 57 4. Biaya Bahan Baku Produksi Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun
Bibit Ragunan Tahun 2010 ... 58 5. Tenaga Kerja Produksi 2.000 Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun
Bibit Ragunan ... 60 6. Biaya Tenaga Kerja Langsung Produksi Bibit Tanaman Rambutan
Pada Kebun Bibit Ragunan Tahun 2010 ... 61 7. Alat Produksi 2.000 Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun
Bibit Ragunan ... 62 8. Biaya Peralatan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit
Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 63 9. Biaya Penyusutan Peralatan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada
Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan 2010 ... 64 10. Biaya Penyusutan Bangunan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada
Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 65 11. Biaya Lain Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit
Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 66 12. Pendapatan Hasil Usaha Bibit Tanaman rambutan
Pada Kebun Bibit Ragunan ... 67 13. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan
Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Pendekatan
Full Costing Tahun 2010 ... 68 14. Pendapatan Hasil Usaha Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit
xv 15. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan
Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Pendekatan
Variable Costing Tahun 2010 ... 70 16. Pendapatan Hasil Usaha Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit
Ragunan dengan Metode Variable Costing ... 72 17. Perbandingan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Per
Produksi 2.000 Bibit Tahun 2010 ... 74 18. Perbandingan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Per
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Grafik Data Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit
Ragunan 4 Tahun Terakhir ... 7 2. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk Metode
Full Costing ... 30 3. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk Metode
Variabel Costing ... 31 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ... 37 5. Proses Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Biaya Bahan Baku Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun
Bibit Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 81
2. Biaya Alat Produksi dan Penyusutan Peralatan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 82
3. Biaya Penyusutan Fasilitas Produksi Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 83
4. Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Metode Full Costing Tahun 2010 ... 84
5. Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Metode Variable Costing Tahun 2010 ... 85
6. Daftar Pertanyaan Wawancara ... 86
7. Varietas Unggul Rambutan dan Karakteristiknya ... 88
8. Deskripsi Rambutan Varietas Binjai ... 89
9. Deskripsi Rambutan Varietas Rapiah ... 90
10.Deskripsi Rambutan Varietas Lebak Bulus ... 91
11.Deskripsi Rambutan Varietas Antalagi` ... 92
12.Deskripsi Rambutan Varietas Sibongkok ... 93
13.Surat Permohonan Penelitian ... 94
14.Surat Persetujuan Penelitian... 95
15.Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 96
16.Keputusan Gubernur Tentang Penetapan Harga Penjualan Bibit/Benih Tanaman Hortikultura No.3482/2001 ... 97
xviii 18.Sebaran Kebun Bibit BBI DKI Jakarta ... 100 19.Denah UPT BBI Ragunan ... 101 20.Struktur Organisasi BBI Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta Sesuai dengan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan agribisnis hortikultura, khususnya buah-buahan telah diberi
prioritas oleh pemerintah Indonesia. Prioritas diberikan karena terus
meningkatnya permintaan atas komoditas dimaksud seiring dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999:5).
Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki banyak sekali jenis
tanaman buah dan salah satunya adalah rambutan dengan keragaman jenisnya
seperti rapiah, binjai, lebak bulus dan lainnya. Rambutan merupakan satu jenis
tanaman buah yang sudah umum dikenal oleh masyarakat.
Badan Pusat statistik (2009:1) mendata produksi rambutan Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 2007 – 2009 produksi rambutan
meningkat. Seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Produksi Rambutan di Indonesia 2007 – 2009 (Ton)
Tahun Rambutan
(Ton)
2007 705.823
2008 851.240
2009 986.841
Sumber: Badan Pusat Statistik (2009:1)
Produksi buah rambutan meningkat dari tahun 2007 dengan jumlah
705.823 ton menjadi 986.841 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi
rambutan tentu saja dipengaruhi dengan adanya peningkatan permintaan akan
2
setiap perusahaan. Baik perusahaan yang bergerak dibidang produksi buah
maupun perusahaan yang bergerak dalam bisnis penyedia bibit tanaman
rambutan.
Rambutan (Nephelium lappaceum, L) merupakan salah satu komoditas
tropis eksotis yang digemari oleh masyarakat, baik dalam negeri maupun luar
negeri. Tanaman rambutan merupakan tanaman buah asli Indonesia. Tanaman ini
mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan karena ketersediaan
lahan yang cukup, agroklimat yang cocok, dan sumber daya yang melimpah.
Sumber daya lahan yang tersedia saat ini banyak yang belum dimanfaatkan secara
optimal. (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999:9).
Banyaknya perusahaan yang memproduksi bibit tanaman rambutan,
berdampak pada tingginya persaingan diantara perusahaan-perusahaan tersebut.
Tingginya tingkat persaingan diantara perusahaan-perusahaan ini menjadikan
kemampuan bersaing sangat mutlak diperlukan.
Kebun Bibit Ragunan merupakan perusahaan bibit tanaman rambutan yang
telah berdiri sejak 1975 sampai sekarang. Perusahaan yang telah berdiri tentunya
ingin berkembang dan terus menjaga kelangsungan hidupnya, untuk itu pihak
manajemen perusahaan perlu membuat kebijakan yang mengacu pada terciptanya
efisiensi dan efektivitas kerja. Kebijakan tersebut dapat berupa penetapan harga
pokok produksi yang efektif , dan tetap menjaga kualitas dari barang atau produk
yang dihasilkan, sehingga harga pokok produk satuan yang dihasilkan perusahaan
lebih rendah dari yang sebelumnya. Kebijakan ini sangat bermanfaat bagi
3
diperoleh perusahaan, sehingga perusahaan tersebut dapat bersaing dengan
perusahaan–perusahaan lain yang memproduksi produk sejenis. Hal ini tentunya
tidak terlepas dari tujuan didirikannya perusahaan yaitu agar modal yang
ditanamkan dalam perusahaan dapat terus berkembang atau dengan kata lain
mendapatkan laba semaksimal mungkin.
Tujuan utama suatu perusahaan didirikan, selain untuk memenuhi
kebutuhan manusia adalah untuk mendapatkan keuntungan yang layak. Dengan
adanya keuntungan yang layak maka dimungkinkan suatu perusahaan dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya bahkan dapat mengembangkan
usahanya untuk lebih maju dan berkembang. Untuk itu perusahaan harus selalu
berusaha menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi namun harganya
relatif rendah. Agar hal tersebut dapat tercapai maka perusahaan hendaknya
menggunakan biaya yang efektif. Perusahaan manufaktur menggolongkan biaya
ke dalam tiga biaya utama yaitu biaya produksi, biaya pemasaran, biaya
administrasi dan umum. Dari penggolongan biaya tersebut dapat diketahui bahwa
perhitungan biaya produksi merupakan salah satu hal yang penting dalam upaya
merealisasi tujuan perusahaan.
Kebun Bibit Ragunan Jakarta merupakan salah satu kebun yang dimiliki
Balai Benih Induk Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta yang bertanggung
jawab kepada Gubernur DKI Jakarta. Balai Benih Induk Ragunan Jakarta Selatan
adalah salah satu perusahaan penyedia bibit tanaman rambutan yang dengan
keunikan produknya, karena sumber induk yang digunakan dari induk yang sudah
4
mampu memenuhi permintaan pasar yang ada. Pada Kebun Bibit Ragunan tidak
memiliki metode harga pokok produksi yang tetap sehingga penentuan harga
jualnya pun tidak memiliki acuan.
Kesalahan dalam perhitungan harga pokok produksi dapat mengakibatkan
penentuan harga jual pada suatu perusahaan menjadi terlalu tinggi atau terlalu
rendah. Kedua kemungkinan tersebut dapat mengakibatkan keadaan yang tidak
menguntungkan bagi perusahaan, karena dengan harga jual yang terlalu tinggi
dapat mengakibatkan produk yang ditawarkan perusahaan akan sulit bersaing
dengan produk sejenis yang ada di pasar, sebaliknya jika harga jual produk terlalu
rendah akan mangakibatkan laba yang diperoleh perusahaan rendah pula. Kedua
hal tersebut dapat diatasi dengan penentuan harga pokok produksi yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
“Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan
(Nephelium lappaceum, L) pada Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat diperoleh gambaran bahwa
bibit merupakan input penentu dalam produksi tanaman.
Kebun Bibit Ragunan DKI Jakarta memiliki acuan harga bibit tanaman
hortikultura pada tahun 2001, yang sesuai dengan surat Keputusan Gubernur
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3482/2001 dengan harga Rp 5.000
untuk bibit rambutan ukuran 50cm–100cm dan Rp 17.500 untuk ukuran 1m–2m,
5
sampai sekarang Kebun Bibit Ragunan tidak dapat menggunakan acuan harga
tersebut.
Saat ini harga jual di Kebun Bibit Ragunan ditentukan langsung oleh
produsen atau pihak kebun bibit Ragunan sendiri yaitu Rp. 20.000 tidak
menggunakan metode khusus, tetapi seharusnya Kebun Bibit Ragunan memiliki
harga jual yang lebih rendah karena berapa dibawah naungan BBI. Beberapa
tahun terakhir Kebun Bibit Ragunan telah mengalami perubahan harga jual.
Terkait dengan tujuan sosial pemilik perusahaan yaitu mempertahankan
harga jual yang dapat dijangkau seluruh kalangan konsumen dan mendapat
keuntungan yang sesuai, maka perusahaan berupaya mempertahankan harga jual
yang nantinya dapat dijangkau konsumen. Namun tujuan tersebut terkendala
dengan tidak ada penetapan harga pokok produksi. Oleh karena itu, diperlukan
metode harga pokok produksi yang tepat guna membantu perusahaan dalam
memperkirakan harga jual per bibit. Harga pokok produksi yang tinggi akan
menyebabkan harga jual yang tinggi pula, sehingga dikhawatirkan tidak sesuai
dengan daya beli konsumen.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dianalisis
adalah : “Metode penetapan harga pokok produksi apa yang tepat untuk bibit
tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan?”
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
6
“Menetapkan metode perhitungan harga pokok produksi yang tepat untuk bibit
tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan”.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah dan menambah
pengalaman dan wawasan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang
harga pokok produksi.
2. Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan berguna bagi pemilik perusahaan dalam
penetapan kebijakan, strategi dan pengambilan keputusan untuk
menetapkan harga pokok produksi.
3. Bagi Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan
acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya.
4. Bagi Umum
Hasil Penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang ingin
menekuni usaha bibit rambutan.
1.5. Batasan Penelitian
Penelitian ini hanya membahas harga pokok produksi bibit tanaman
rambutan yang menggunakan media polybag karena bibit yang menggunakan
7
pot tidak diteliti dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini hanya menghitung
penetapan harga pokok produksi pada Kebun Bibit Ragunan, dengan tidak
melakukan perbandingan dengan tempat lain yang sejenis. Perhitungan dilakukan
dengan menggunakan volume kapasitas normal sebanyak 2000 bibit. Data yang
digunakan adalah data tahun 2010 karena mengacu pada produksi yang normal
dan terdapat peningkatan produksi dari tahun sebelumnya yang lebih rendah dari
tahun sebelumnya.
Data Produksi Bibit Rambutan Pada Kebun Bibit Rambutan 4 tahun terakhir
Gambar 1. Data Produksi Bibit Rambutan pada Kebun Bibit Rambutan Empat Tahun Terakhir (2007-2010)
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Asal Tanaman Rambutan
Rambutan merupakan tanaman buah-buahan tropis basah asli Indonesia.
Saat ini tanaman rambutan telah menyebar luas di daerah beriklim tropis seperti
Filiphina dan negara-negara Amerika latin. Penyebaran rambutan pada awalnya
sangat terbatas hanya di daerah tropis saja. Namun saat ini, rambutan sudah bisa
ditemui di daerah subtropis. Hal ini disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berhasil menciptakan “rumah kaca”. Dengan mengatur kondisi
mikro di dalam rumah kaca sesuai dengan alam tropis, rambutan dapat
dibudidayakan didalamnya (Mahisworo, Susanto, dan Anung, 2004:7).
Menurut Rukmana dan Oesman (2002:16), rambutan merupakan tanaman
tahunan (perennial). Secara alami, pohon rambutan dapat mencapai ketinggian
25m atau lebih, namun bila dibudidayakan pada umumnya hanya dapat mencapai
ketinggian 5m – 9m. Habitat tanaman berbentuk seperti payung, dengan tajuk
pohon antara 5m – 10m, dan memiliki sistem perakaran yang cukup dalam.
Batang rambutan berkayu keras, berbentuk gilig, tumbuh tegak (kokoh),
dan berwarna kecoklat-coklatan sampai putih kecoklatan. Percabangan tumbuh
secara horizontal, namun kadang-kadang sedikit miring ke arah atas. Daun
rambutan berbentuk bulat panjang dengan ujung tumpul atau meruncing, dan pada
9
2.2. Jenis dan Varietas Rambutan
Di Indonesia tanaman rambutan memiliki berbagai jenis dan macam
varietasnya, dengan keanekaragaman rasa dan daerah produksinya. Untuk jenis
rambutan sendiri terdapat dua jenis rambutan. Dan terdapat delapan varietas
rambutan yang telah diliris.
2.2.1. Jenis Rambutan
Menurut Rukmana dan Oesman (2002:18) terdapat dua jenis rambutan
yang biasa di budidayakan di Indonesia, yakni sebagai berikut.
1. Rambutan biasa atau yang dikenal dengan nama rambutan (Nephellium
lappaceum L), yang memiliki ciri khas sebagai berikut: buah berbulu atau
berambut; daging tebal dan mudah terkelupas (ngelotok); dan rasa daging
buah manis.
2. Kepulasan atau babat (Nephellium mutabile BI.) yang memiliki ciri khas
sebagai berikut: buah tidak berambut (hanya berupa tonjolan); daging
buah tebal, mudah terkelupas, dan agak asam; dan kulit berwarna merah
tua atau merah kehijauan atau hijau keputihan.
2.2.2. Varietas Rambutan
Indonesia mempunyai banyak varietas rambutan, baik varietas lokal
maupun varietas unggul. Rambutan varietas lokal antara lain: Aceh Gundul, Aceh
Gula Batu, Aceh Gendut, Simacan, Sitangkue, Aceh Kuning, Aceh Padang Bulan,
Aceh Garing, Aceh Pao Pao, Silengkeng, Aceh Kering Manis, Sinyonya, Hape
10
keunggulannya berpotensi menjadi varietas unggul, dan dapat diusulkan melalui
prosedur pelepasan varietas unggul baru (Rukmana dan Oesman, 2002:19).
Rambutan dapat dikategorikan sebagai varietas unggul bila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Daya hasil (produksi) tinggi
b. Kualitas hasil (buah) prima dan disukai konsumen, yaitu: daging buah tebal,
rasa manis, ngelotok dan kering, memiliki kandungan vitamin C antara
sedang sampai tinggi, dan tampilan warna buah menarik.
c. Daya adaptasi tanaman terhadap lingkungan di dataran rendah yang memiliki
rentang bulan kering antara 1 – 3 bulan dan terhadap berbagai lingkungan
tumbuh cukup luas.
d. Daya toleransi terhadap serangan hama dan penyakit utama cukup tinggi.
e. Umur mulai berbunga atau berbuah pendek (genjah).
Rukmana dan Oesman (2002:21) menjelaskan bahwa saat ini, paling tidak
terdapat 8 varietas unggul rambutan yang telah dilepas (diliris) melalui Surat
Keputusan Menteri Pertanian. Krakteristik utama varietas unggul rambutan
11
Tabel 2. Varietas Unggul Rambutan dan Karakteristiknya
No Nama
Varietas
Karateristik
1. Binjai Produksi 40kg-68kg/pohon/tahun; buah berwarna merah tua; rambut berwarna merah dengan ujung hijau; daging buah manis, agak kering, dan ngelotok.
2. Rapiah Produksi 18kg-30kg/pohon/tahun; buah berwarna hijau kekuningan; rambut hijau dengan ujung kemerahan; daging buah manis, ngelotok, dan kulit biji melekat.
3. Lebak Bulus
Produksi 50kg – 100kg/pohopn/tahun; daging buah berwarna merah dengan ujung kekuningan; daging buah manis, ngelotok, dan kulit biji agak melekat.
4. Antalagi Produksi 160kg – 210kg/pohon/tahun; buah berwarna kuning kehijauan; rambut hijau kekuningan ujung merah; daging manis, kering, agak harum, ngelotok, dan kulit biji melekat. 5. Sibongkok Produksi 175kg – 225kg/pohon/tahun; buah berwarna merah
tua; daging buah manis, agak kering, ngelotok, dan kulit biji agak melekat.
6. Sibatuk Ganal
Produksi 240kg – 280kg/pohon/tahun; buah berwarna merah; rambut merah degan ujung agak kekuningan; daging buah manis, agak berair, ngelotok, dan kulit biji agak melekat. 7. Garuda Produksi 200kg-270kg/pohon/tahun; buah berwarna merah;
rambut merah dengan ujung agak kekuningan; daging buah manis dan ngelotok.
8. Nona Produksi 20kg – 22,5kg/pohon/tahun; buah berwarna kekuningan; rambut merah degan ujung kekuningan; daging buah manis, ngelotok, dan kulit biji melekat.
Sumber: Rukmana dan Oesman (2002:21).
2.3. Pengertian Bibit
Biji, benih, dan bibit merupakan istilah hampir sama sehingga sering rancu
dalam penggunaannya. Menurut Undang-undang Sistem Budi Daya (1992), benih
dan bibit mempunyai pengertian yang sama, yakni tanaman atau bagian tanaman
yang dipergunakan untuk tujuan pertanaman (Wirawan dan Wahyuni, 2004:1).
Bibit unggul oleh penyuluh-penyuluh, sesungguhnya adalah varietas
unggul. Unggul disini maksudnya memiliki sifat-sifat agronomi yang unggul
12
(misal rasa atau ketahanan terhadap salah satu penyakit), sehingga pada keadaan
umum hasil produksinya tinggi (Harjadi, 1996:161).
Menurut Undang-undang No.2 tahun 1961 tentang Pegeluaran dan
Pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman, Pasal 1 dalam Sunarjono (1990;37),
yang dimaksud dengan bibit ialah “Tanaman atau bagian-bagiannya termasuk
benih-benih, buah-buahan, bunga-bunga, dan serbuk-serbuk yang dengan cara
apapun dapat dipergunakan untuk memperbanyak atau mengembangbiakkan
tanaman”.
2.4. Syarat Menghasilkan Bibit Bermutu
Untuk dapat menghasilkan bibit bermutu, terlebih dahulu harus mengenai
bagian-bagian tanaman yang dapat digunakan untuk perbanyakan yang disebut
alat perbanyakan dan prosedur kerjanya atau cara perbanyakan serta tersedianya
bahan tanaman yang memenuhi syarat varietas unggul yang disebut pohon induk
(Sunarjono, 1986:15).
Sunarjono (1990:38) menjelaskan bahwa ada beberapa kaidah yang harus
diperhatikan untuk menghasilkan bibit bermutu diantaranya ialah:
1. Lokasi (tempat) yang akan digunakan untuk menghasilkan benih
(bibit)harus bebas hama dan penyakit berbahaya atau nonendemik.
2. Tanaman yang akan dibibitkan harus mendapat isolasi dari tanaman
sejenis (khusus biji) atau tanaman inang (khusus penyakit) yanga ada di
13
3. Tanaman yang akan dibibitkan harus diseleksi secara berulang-ulang
untuk mencegah kelolosan dari salah pandang, terutama untuk penyakit
virus pada jeruk.
4. Benih (bibit) setelah dipilih harus dirawat dengan baik.
2.5. Pengertian Harga Pokok Produksi
Muhadi dan Siswanto (2001:10) menjelaskan bahwa harga pokok (biaya)
produksi adalah biaya yang terjadi dalam rangka untuk menghasilkan barang jadi
(produk) dalam perusahaan manufaktur. Biaya produksi dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu (1) biaya bahan baku, (2) biaya tenaga kerja langsung dan, (3)
biaya overhead pabrik.
Harga pokok produksi menurut Mulyadi (2000:10) merupakan
pengorbanan sumber ekonomi dalam pengolahan bahan baku menjadi produk.
Sedangkan menurut Kohler dalam Mulyani (2003:24), harga pokok produksi
adalah biaya-biaya yang termasuk didalamnya dan dialokasikan untuk operasional
pabrik yaitu bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead dalam
kegiatan saat pemrosesan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa harga pokok produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan
perusahaan untuk memproduksi suatu produk.
Hansen dan Mowen (2009:60) menjelaskan mengenai harga pokok
14
2.6. Tujuan dan Manfaat Penentuan Harga Pokok Produksi
Tujuan utama dari penentuan harga pokok berdasarkan Adikoesoemah
(1982:30) yaitu : sebagai dasar untuk menetapkan harga di pasar penjualan, untuk
menetapkan pendapatan yang diperoleh pada penukaran, serta sebagai alat untuk
menilai efisiensi dari proses produksi. Sedangkan Menurut Horngren (1992:90)
tujuan penetapan harga pokok produksi yaitu selain untuk memenuhi keperluan
pelaporan ekstern dalam hal penilaian persediaan dan penentuan laba, manajer
membutuhkan data harga pokok produksi untuk pedoman pengambilan keputusan
mengenai harga dan strategi produk.
Mulyadi (2000:7) menyebutkan informasi harga pokok produksi yang
dihitung untuk jangka waktu tertentu bermanfaat bagi manajemen untuk :
a. Menentukan harga jual produk;
b. Memantau realisasi biaya produksi;
c. Menghitung laba atau rugi periodik;
d. Menentukan harga pokok persediaan produk jadi dan produk dalam proses
yang disajikan dalam neraca.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan dan manfaat dalam penentuan harga
pokok produksi yaitu :
a. Sebagai dasar dalam penetapan harga jual.
b. Sebagai alat untuk menilai efisiensi proses produksi.
c. Sebagai alat untuk memantau realisasi biaya produksi.
d. Untuk menentukan laba atau rugi periodik.
15
f. Sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan bisnis.
2.7. Pengertian Biaya dan Penggolongannya
Horngren (1992:21) mendefinisikan biaya sebagai sumber daya yang
dikorbankan untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan tertentu. Senada dengan
Horngren, Daljono (2004:13) juga mendefinisikan biaya sebagai suatu
pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang, untuk
mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan akan memberikan keuntungan
atau manfaat pada saat ini atau masa yang akan datang.
Biaya sebagai suatu nilai tukar, pengeluaran atau pengorbanan yang
dilakukan untuk menjamin perolehan manfaat (Carter, 2009:30). Sedangkan
menurut Krismiadji (2002: 18), biaya atau cost adalah kas atau ekuivalen kas yang
dikorbankan untuk membeli barang atau jasa yang diharapkan akan memberikan
manfaat bagi perusahaan saat sekarang atau untuk periode mendatang.
Sedangkan Mulyadi (2000:8), mendefinisikan biaya sebagai suatu
pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satu satuan uang yang terjadi
atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Dari
pendapat-pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa biaya merupakan suatu
pengorbanan sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan tertentu yang
bermanfaat pada saat ini atau masa yang akan datang. Biaya-biaya dari suatu
pengorbanan dibentuk oleh nilai dari banyaknya kapasitas produksi yang
diperlukan untuk memproduksi barang-barang. Untuk itu dalam menentukan
16
kapasitas produksi dari bermacam-macam alat produksi yang diperlukan untuk
memproduksi barang-barang, nilai dari kapasitas ini, besarnya dan lamanya
pemakaian kekayaan yang diperlukan untuk memproduksi barangbarang, serta
harga dari kekayaan (Adikoesoemah, 1982:33).
Muhadi dan Siswanto (2001:3) menjelaskan biaya (expense) dalam arti
sempit didefinisikan sebagai bagian dari harga pokok yang dikorbankan di dalam
usaha untuk memperoleh penghasilan. Sedangkan dalam arti luas biaya
didefinisikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan
mata uang yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi untuk mencapai tujuan
tetentu.
Menurut Bustami dan Nurlela (2009:5), biaya adalah pengorbanan sumber
ekonomis yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan
terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Prawironegoro dan
Durwanti (2009: 19) biaya adalah kas dan setara kas yang dikorbankan untuk
memproduksi atau memperoleh barang atau jasa yang diharapkan akan
memperoleh manfaat atau keuntungan dimasa mendatang.
Penggolongan adalah proses pengelompokkan secara sistematis atas
keseluruhan elemen yang ada ke dalam golongan-golongan tertentu yang lebih
ringkas untuk dapat memberikan informasi yang lebih penting (Supriyono,
1999:35).
Informasi biaya yang lengkap diperlukan oleh manajemen untuk
tujuan-tujuan tertentu antara lain: perencanaan, pengukuran, pengawasan, dan penilaian
17
diadakan penggolongan sesuai dengan kebutuhan manajemen. Ada beberapa cara
penggolongan biaya dimana masing-masing cara penggolongannya biaya
dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang berbeda (Muhadi dan
Siswanto, 2001:3).
Beberapa penggolongan biaya menurut Muhadi dan Siswanto (2001:4)
antara lain:
1. Atas dasar objek pengeluaran,
2. Atas dasar fungsi di dalam perusahaan,
3. Atas dasar hubungan biaya-biaya dengan produk yang dibiayai,
4. Atas dasar tingkah laku biaya dalam hubungannya dengan volume kegiatan,
5. Atas dasar hubungan biaya dengan pusat biaya,
6. Atas dasar hubungan biaya dengan periode pembukuan.
Mulyadi (2000:14), menggolongkan biaya menurut: obyek pengeluaran,
fungsi pokok perusahaan, hubungan biaya dengan sesuatu yang dibiayai, perilaku
dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan, serta atas dasar jangka
waktu manfaatnya.
Biaya yang digolongkan menurut obyek pengeluaran, nama obyek
pengeluaran merupakan dasar dalam penggolongan biaya ini. Biaya menurut
fungsi pokok dalam perusahaan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu : 1)
Biaya produksi, merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku
menjadi produk jadi yang siap untuk dijual.
Biaya ini dibagi menjadi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya
18
melaksanakan kegiatan pemasaran produk; 3) Biaya administrasi dan umum,
merupakan biaya-biaya untuk mengkoordinasi kegiatan produksi dan pemasaran
produk.
Dalam hubungannya dengan sesuatu yang dibiayai, biaya dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu : 1) Biaya langsung (direct cost),
adalah biaya yang terjadi yang penyebab satu-satunya adalah karena adanya
sesuatu yang dibiayai. Biaya produksi langsung terdiri dari biaya bahan baku dan
biaya tenaga kerja langsung; 2) Biaya tidak langsung (indirect cost), adalah biaya
yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiayai. Biaya tidak
langsung dalam hubungannya dengan produk disebut dengan istilah biaya pabrik
tidak langsung atau biaya overhead pabrik (factory overhead costs).
Daljono (2004:15), mengklasifikasikan biaya berdasarkan hubungannya
dengan produk, waktu pengakuan, volume produksi dan sebagainya. Klasifikasi
biaya menurut hubungannya dengan produk, dapat dibedakan menjadi dua yaitu
biaya pabrikasi (product cost) dan biaya komersial.
Biaya pabrikasi (product cost) sering disebut sebagai biaya produksi atau
biaya pabrik, terdiri dari :
1. Biaya bahan
Biaya bahan adalah nilai atau besarnya upah yang terkandung dalam bahan
yang digunakan untuk proses produksi. Biaya bahan dibedakan menjadi :
a. Biaya bahan baku (direct material) Bahan baku adalah bahan
mentah yang digunakan untuk memproduksi barang jadi, yang
19
b. Biaya bahan penolong (indirect material) Yang termasuk dalam
bahan penolong adalah bahan-bahan yang digunakan untuk
menyelesaikan suatu produk, tetapi pemakaiannya relatif kecil atau
pemakaiannya sangat rumit untuk dikenali di produk jadi.
2. Biaya tenaga kerja
Biaya tenaga kerja merupakan gaji atau upah karyawan bagian produksi.
Biaya ini dibedakan menjadi :
a. Biaya tenaga kerja langsung
Biaya tenaga kerja langsung adalah gaji atau upah tenaga kerja
yang dipekerjakan untuk memproses bahan menjadi barang jadi.
b. Biaya tenaga kerja tidak langsung
Biaya tenaga kerja tidak langsung merupakan gaji atau upah tenaga
kerja bagian produksi yang tidak terlibat secara langsung dalam
proses pengerjaan bahan menjadi produk jadi.
3. Biaya overhead pabrik
Biaya overhead pabrik (factory overhead cost) adalah biaya yang timbul
dalam proses produksi selain yang termasuk dalam biaya bahan baku dan biaya
tenaga kerja langsung. Yang termasuk dalam biaya overhead pabrik adalah : biaya
pemakaian supplies pabrik, biaya pemakaian minyak pelumas, biaya penyusutan
bagian produksi, biaya pemeliharaan atau perawatan bagian produksi, biaya listrik
bagian produksi, biaya asuransi bagian produksi, biaya pengawasan, dan
20
Gabungan antara biaya bahan dengan biaya tenaga kerja, disebut biaya
utama (prime cost), sedangkan gabungan antara biaya tenaga kerja dengan biaya
overhead pabrik disebut biaya konversi (conversion cost).
Sedangkan yang termasuk dalam biaya komersial yaitu biaya pemasaran
dan biaya administrasi dan umum. Biaya pemasaran merupakan biaya-biaya yang
terjadi dengan tujuan untuk memasarkan produk. Biaya pemasaran terjadi sejak
produk selesai diproses hingga produk tersebut terjual. Biaya administrasi dan
umum merupakan beban yang dikeluarkan dalam rangka mengatur dan
mengendalikan organisasi.
Daljono (2004:16) juga mengklasifikasikan biaya menurut waktu
pengakuan (timing of recogition) dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Product
cost (biaya produk), adalah biaya yang terjadi dalam rangka membuat produk.
Biaya ini sifatnya melekat pada produk, karena melekat pada produk maka
product cost disebut juga inventorial cost; 2) Period cost (biaya periode), adalah
biaya yang terjadi dalam satu periode yang tidak ada kaitannya dengan pembuatan
produk. Biaya periode sifatnya tidak melekat pada produk dan akan dipertemukan
dengan pendapatan untuk menghitung laba rugi pada periode yang bersangkutan.
Klasifikasi biaya dikaitkan dengan volume produksi dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu :
a. Biaya variabel (variabel cost), adalah biaya yang bila dikaitkan dengan
volume (pemacu timbulnya biaya) secara per unit akan selalu tetap (tidak
berubah jumlahnya), meskipun volume produksi berubah-ubah, akan tetapi
21
perubahan aktivitas. Total biaya variabel akan bertambah apabila volume
produksi bertambah;
b. Biaya tetap (fixed cost), adalah biaya yang secara total, biaya tersebut tidak
berubah jumlahnya meskipun aktivitas atau jumlah produksi berubah.
Jumlah biaya tiap unit akan menurun jika aktivitasnya meningkat;
c. Biaya semi variabel, merupakan campuran antara biaya variabel dengan
biaya tetap. Biaya semi variabel memiliki sifat meskipun tidak ada
aktivitas, biaya ini tetap ada dan totalnya akan berubah jika aktivitas juga
berubah.
Untuk membantu perencanaan dan pengambilan keputusan manajemen,
Blocher dkk (2000:92) mengelompokkan biaya menjadi :
1. Biaya relevan
Konsep biaya relevan muncul dalam situasi dimana pengambilan
keputusan harus memilih diantara dua atau lebih pilihan.
2. Biaya diferensial
Biaya diferensial merupakan biaya yang berbeda untuk setiap pilihan
keputusan dan oleh karena itu merupakan biaya yang relevan untuk
pengambilan kepuitusan, jika biaya tersebut merupakan biaya yang belum
terjadi.
3. Opportunity cost
Opportunity cost merupakan manfaat yang hilang karena suatu alternatif
atau pilihan yang dipilih mendapat manfaat dari pilihan atau alternatif
22
4. Sunk cost
Sunk cost merupakan biaya yang telah terjadi atau telah ditetapkan pada
waktu yang lalu, dan oleh karena itu merupakan biaya yang tidak relevan.
2.8. Elemen Biaya Produksi dalam Penentuan Harga Pokok Produksi
Dalam penentuan harga pokok produksi, biaya-biaya yang berpengaruh
dalam proses produksi perlu diklasifikasikan dengan benar dan jelas (Muhadi dan
Siswanto, 2001:10). Dalam penelitian ini menggunakan penggolongan biaya
berdasarkan fungsi pokoknya dalam perusahaan, yang meliputi :
2.8.1. Biaya bahan baku
Biaya bahan baku menurut Muhadi dan Siswanto (2001:10) adalah bahan
yang digunakan untuk menghasilkan barang jadi dan secara fisik menjadi bagian
dari barang jadi tersebut. Misalnya, pemakaian bahan berupa kulit, benang, paku,
lem, dan cat perusahaan sepatu.
Bahan baku merupakan bahan yang membentuk bagian menyeluruh
produk jadi. Biaya bahan baku adalah harga perolehan dari bahan baku yang
dipakai di dalam pengolahan produk (Supriyono, 1999:20). Bahan baku yang
diolah dalam perusahaan manufaktur dapat diperoleh dari pembelian lokal, impor
atau dari pengolahan sendiri. Sebelum perusahaan melakukan proses produksi
pada umumnya terlebih dahulu menetapkan jumlah kebutuhan bahan baku yang
akan digunakan.
Supriyono (1999:419) menyebutkan tujuan dalam penentuan harga pokok
23
persediaan bahan dengan lebih adil dan teliti, serta sebagai pengendalian atau
pengawasan atas bahan.
Menurut Mulyadi (2000:309), metode yang digunakan untuk menentukan
harga bahan baku yang dipakai dalam produksi yaitu :
1) Metode Identifikasi Khusus (Specific Identification Method).
2) Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (FIFO).
3) Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama (LIFO).
4) Metode Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method
5) Metode Biaya Standar.
6) Metode Rata-rata harga pokok bahan baku pada akhir bulan.
Supriyono (1999:419) menyebutkan bahwa faktor yang menentukan harga
pokok bahan yang dipakai adalah dengan metode akuntansi persediaan dan
metode aliran harga pokok bahan. Dalam metode akuntansi persediaan,
menyelenggarakan pencatatan persediaan bahan menggunakan metode akuntansi
persediaan yaitu : 1) Metode persediaan phisik. Metode ini hanya dapat digunakan
oleh perusahaan yang relatif kecil dan mengumpulkan harga pokok produk
berdasar proses, dimana phisik persediaan bahan masih memungkinkan diawasi
secara langsung oleh manajemen perusahaan; 2) Metode persediaan abadi atau
terus-menerus. Metode ini umumnya dipakai oleh perusahaan yang relatif besar,
baik yang menggunakan metode harga pokok pesanan maupun proses, sehingga
manajemen tidak dapat secara langsung mengadakan pengawasan terhadap
persediaan bahan, oleh karena itu diperlukan adanya sistem pengawasan internal
24
Menurut Supriyono (1999:520), dalam metode aliran harga pokok bahan,
aliran harga pokok bahan yang dipakai dibedakan menjadi beberapa metode yaitu:
1) Metode identifikasi khusus;
2) Metode pertama masuk, pertama keluar (FIFO);
3) Metode rata-rata. Metode;
4) Metode terakhir masuk, pertama keluar (LIFO);
5) Metode harga pokok standar;
6) Metode persediaan dasar (base stock method);
7) Metode harga beli terakhir (HBT);
8) Metode masuk kemudian, pertama keluar (MKPK).
Soemita (1982:71), mengemukakan bahwa dalam penetapan pemakaian
bahan baku terdapat dua metode yaitu penetapan langsung dan penetapan tidak
langsung. Penetapan langsung dilakukan dengan jalan : mencatat terus-menerus
banyaknya bahan-bahan yang masuk dalam proses produksi kemudian
menghitung secara berkala persediaan bahan-bahan, sehingga dengan
memperhatikan bahan-bahan yang diterima selama periode itu dapat ditetapkan
pemakaian bahan-bahan untuk tiap periode. Sedangkan dalam penetapan tidak
langsung didasarkan pada barang-barang yang sudah selesai.
2.8.2. Biaya tenaga kerja
Biaya tenaga kerja langsung (upah langsung) menurut Muhadi dan
Siswanto (2001:10) adalah biaya yang dibayarkan kepada tenaga kerja langsung.
Istilah tenaga kerja langsung digunakan untuk menunjuk tenaga kerja (karyawan)
25
menjadi barang jadi. Misalnya, upah yang dibayarkan kepada karyawan bagian
pemotongan atau bagian perakitan atau bagian pencatatan pada perrusahaan
mebel.
Tenaga kerja merupakan usaha fisik atau mental yang dikeluarkan
karyawan untuk mengolah produk. Biaya tenaga kerja adalah harga yang
dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja manusia tersebut.
Menurut Horngren (1992:29), biaya tenaga kerja untuk fungsi produksi
dibagi kedalam dua bagian yaitu :
1. Biaya tenaga kerja langsung
Biaya tenaga kerja langsung yaitu upah semua tenaga kerja yang dapat
diidentifikasi secara ekonomis terhadap produksi barang jadi.
2. Biaya tenaga kerja tidak langsung
Biaya produksi tidak langsung adalah mencakup semua upah tenaga kerja
pabrik yang tidak langsung berhubungan dengan pengerjaan produk.
Adikoesoemah (1982:178), menetapkan besarnya upah untuk pekerjaan
yang telah dilakukan dalam memproduksi barang berdasarkan sistem upah yang
dibagi menjadi dua yaitu upah menurut waktu dan upah menurut prestasi. Upah
menurut waktu, yaitu cara penetapan upah dimana waktu kerja dari buruh
merupakan ukuran untuk menetapkan besarnya upah, jadi tidak tergantung dari
banyaknya prestasi yang telah dihasilkan oleh buruh selama waktu kerjanya.
Sedangkan upah menurut prestasi, yaitu cara penetapan upah dimana hasil prestasi
kerja dari buruh merupakan ukuran untuk menetapkan besarnya upah, jadi tidak
26
2.8.3. Biaya produksi tidak langsung
Biaya overhead pabrik atau biaya produksi tidak langsung menurut
Muhadi dan Siswanto (2001:10) merupakan biayaa produksi selain biaya bahan
baku dan biaya tenaga kerja langsung. Contoh biaya overhead pabrik antara lain:
bahan tak langsung (misalnya: minyak pelumas, bahan bakar, dan bahan
pembersih), reparasi dan pemeliharaan mesin, pemeliharaan gedung, biaya listrik,
biaya penyusutan mesin, dan lain-lain.
Biaya produksi tidak langsung atau dikenal dengan istilah biaya overhead
pabrik adalah biaya-biaya yang timbul dalam proses pengolahan, yang tidak dapat
digolongkan dalam biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung (Sugiri,
2002:265).
Daljono (2004:41), membebankan biaya overhead pabrik ke harga pokok
produksi dilakukan dengan cara :
1. Actual costing
Pembebanan biaya overhead pabrik menurut actual costing yaitu
membebankan seluruh biaya overhead pabrik yang terjadi pada suatu
periode, ke seluruh produk yang diproduksi pada periode tersebut. biaya
overhead pabrik yang dibebankan ke produk sebesar biaya yang
sesungguhnya terjadi. Penggunaan actual costing pada metode harga
pokok pesanan mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan tidak semua
27
2. Normal costing
Pembebanan biaya overhead pabrik menurut normal costing yaitu
membebankan biaya overhead pabrik yang ditentukan dengan cara
taksiran, yaitu dengan membuat tarip yang ditentukan dimuka. Penentuan
besarnya tarip dilakukan dengan memperhitungkan taksiran biaya
overhead pabrik untuk satu periode dibagi dengan taksiran atau target
produksi untuk periode tersebut.
Apabila pembebanan biaya overhead pabrik ke produk berdasarkan biaya
overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi, maka akan mengakibatkan harga
pokok per unit dari periode ke periode akan berubah-ubah. Perubahan tersebut
dapat diakibatkan dari: perubahan tingkat produksi tiap periode, perubahan tingkat
efisiensi produksi, biaya overhead pabrik yang terjadi secara sporadik, menyebar
tidak merata selama satu tahun, serta biaya overhead pabrik yang terjadi pada
waktu-waktu tertentu (Daljono,2004:154).
Menurut Mulyadi (2000:206), biaya produksi yang termasuk dalam biaya
overhead pabrik dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu : 1) Biaya
bahan penolong, adalah biaya bahan yang tidak menjadi bagian produk jadi,
meskipun menjadi bagian produk jadi tetapi nilainya relatif kecil bila
dibandingkan dengan harga pokok produksi tersebut; 2) Biaya reparasi dan
pemeliharaan, berupa biaya suku cadang (sparepart), biaya bahan habis pakai dan
harga perolehan jasa dari pihak luar perusahaan untuk keperluan perbaikan dan
pemeliharaan emplasemen, perumahan, bangunan pabrik, mesin-mesin dan
28
untuk keperluan pabrik; 3) Biaya tenaga kerja tidak langsung, yaitu biaya tenaga
kerja pabrik yang upahnya tidak dapat diperhitungkan secara langsung kepada
produk atau pesanan tertentu; 4) Biaya yang timbul sebagai akibat penilaian
terhadap aktiva tetap, antara lain biaya-biaya depresiasi emplasemen pabrik,
bangunan pabrik, mesin dan equipmen, perkakas laboratorium, alat kerja dan
aktiva tetap lain yang digunakan di pabrik; 5) Biaya yang timbul sebagai akibat
berlalunya waktu, antara lain adalah biaya-biaya asuransi gedung dan
emplasemen, asuransi mesin dan equipmen, asuransi kendaraan, asuransi
kecelakaan karyawan dan biaya amortisasi kerugian trial-run; 6) Biaya overhead
pabrik lain yang secara langsung memerlukan pengeluaran yang tunai, seperti
biaya reparasi yang diserahkan kepada pihak luar perusahaan, biaya listrik PLN
dan sebagainya.
2.9. Metode Penentuan Harga Pokok Produksi
Menurut Mulyadi (2002:18) metode penentuan harga pokok produksi
adalah cara memperhitungkan unsur-unsur biaya ke dalam harga pokok produksi.
Dalam memperhitungkan unsur biaya ini, terdapat dua pendekatan yaitu Full
Costing dan Variable Costing.
Daljono (2011:363) mengatakan bahwa perhitungan atau penentuan Harga
Pokok Produksi, dapat dilakukan dengan full costing maupun variable costing.
Full Costing sering disebut dengan absorption costing atau conventional costing,
sedangkan variable costing sering disebut dengan direct costing atau marginal
29
2.9.1. Full costing
Mulyadi (2002:18) menjelaskan bahwa Full costing merupakan metode
penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya
produksi ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku,
biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik baik yang berperilaku
variabel maupun tetap.
Dengan demikian harga pokok produksi menurut metode full costing
sebagai berikut :
Biaya bahan baku xxx
Biaya tenaga kerja langsung xxx
Biaya overhead pabrik variabel xxx
Biaya overhead pabrik tetap xxx +
Harga pokok produksi xxx
Dengan demikian harga pokok produk yang dihitung dengan pendekatan
full costing terdiri dari unsur harga pokok produksi (biaya bahan baku, biaya
tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik variabel dan biaya overhead pabrik
tetap) ditambah dengan biaya non produksi (biaya pemasaran, biaya administrasi
dan umum). Perhitungan harga pokok produksi dan harga pokok produk dapat
30
Gambar 2. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk
Sumber: (Mulyadi, 2002:19)
2.9.2. Variabel costing
Mulyadi (2002:20) menjelaskan bahwa Variabel costing merupakan
metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya
produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri
dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik
variabel. Dengan demikian harga pokok produksi menurut metode variabel
costing terdiri dari unsur biaya produksi berikut ini :
Biaya bahan baku xxx
Biaya tenaga kerja langsung xxx
Biaya overhead pabrik variabel xxx +
31
Harga pokok produk yang dihitung dengan pendekatan variable costing
terdiri dari unsur harga pokok produksi variabel (biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja langsung, dan biaya overhead pabrik variabel) ditambah dengan biaya
nonproduksi variabel (biaya pemasaran variabel dan biaya administrasi dean
umum variabel) dan biaya tetap (biaya overhead pabrik tetap, biaya pemasaran
tetap, biaya administrasi dan umum tetap). Harga pokok produksi dan harga
pokok produk dengan pendekatan variabel costing dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk
32
Variable Costing memisahkan biaya menjadi biaya produksi variable dan
tetap, dan juga memisahkan biaya non produksi menjadi variable dan tetap. Agar
memudahkan dalam pengelompokkan, maka perlu dibuat rekening biaya yang
sesuai dengan pola perilakunya, yaitu menjadi biaya variable dan biaya tetap.
Sedangkan untuk biaya yang termasuk semi variable, pada akhir periode harus
dibuat analisis untuk membedakan berapa yang termasuk variable dan berapa
yang termasuk biaya tetap (Daljono, 2011:378).
Kelebihan dari kedua metode ini adalah mudah diterapkan, mudah diaudit
dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum. Sistem ini tidak
banyak menggunakan cost drivers (pemicu biaya) dalam mengalokasikan biaya
overhead, sehingga hal ini memudahkan bagi manajemen perusahaan dan auditor
untuk malakukan perhitungan dan proses audit. Selain itu sistem ini telah lama
diterapkan sehingga tidak terlalu sulit untuk mengadakan penyesuaian terhadap
sistem ini.
Kelemahan dari kedua metode ini adalah secara potensial mendistorsi
biaya produk. Hal ini terjadi karena biaya dialokasikan secara tidak langsung
kepada produk dengan menggunakan suatu dasar yang tidak sempurna dengan
konsumsi sumberdaya sesungguhnya. Total komponen biaya overhead dalam
suatu biaya produk senantiasa terus meningkat, dimana pada saat persentase biaya
overhead semakin besar maka distorsi biaya juga semakin besar (Mulyadi,
33
2.10. Penelitian Terdahulu
Subagyo (2006), yang meneliti tentang Penentuan Harga Pokok Produksi
Teh di PT. Perkebunan Tambi Kabupaten Wonosobo, menyimpulkan bahwa PT
Tambi dalam menentukan harga pokok produksi dengan cara semua biaya yang
dikeluarkan diperlakukan sebagai biaya produksi, baik biaya kebun, biaya pabrik
maupun biaya kantor. Penggolongan biaya produksinya telah sesuai dengan teori
yang ada yaitu terdiri dari biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead
produksi. PT Tambi menggunakan metode full costing di dalam penentuan harga
pokok produksinya. Hal ini sesuai dengan teori, dimana harga pokok produksi
dihitung dengan menjumlahkan seluruh biaya produksi yang terjadi dalam periode
tertentu.
Harga pokok produksi yang dihitung PT Tambi dimana biaya non produksi
dimasukkan ke dalam perhitungan dengan harga pokok produksi yang tidak
memasukkan unsur biaya non produksi, menghasilkan selisih biaya yang cukup
signifikan yang akan berpengaruh terhadap penetapan harga jual. Hal tersebut
merupakan suatu kebijakan perusahaan dengan tujuan untuk menutupi biaya yang
dikeluarkan dan sebagai cadangan jika perusahaan mengalami kerugian.
Yulianti (2007) yang berjudul Penetapan Harga Pokok dan Zona
Fleksibilitas Harga Meises Cokelat, studi kasus pada PT G di Bandung, Jawa
Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengenalisis penetapan harga pokok
produksi meises pada perusahaan dan menganlisis kisaran harga berapa yang
dapat diterima konsumen, serta menganlisis rentang harga optimum dari sisi PT G
34
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perhitungan harga pokok
produk meises cokelat 818 Biru dengan menggunakan metode full costing periode
tahun 2006 lebih tinggi dari pada harga pokok produk dengan metode PT G
disebabkan karena metode full costing mengakumulasikan seluruh biaya tetap dan
biaya variabel. Analisis sensitivitas harga terhadap harga meises cokelat grade G
atau meises cokelat 818 Biru yang dilakukan terhadap pelanggan dengan jumlah
pembelian kurang dari 60 dus per pesanan yaitu harga ideal meises cokelat 818
Biru per dus (12,5 kg) sebesar Rp 83.000 sampai dengan Rp 84.000. zona
flesibilitas terhadap pelanggan dengan jumlah pembelian kurang dari 60 dus per
pesanan berkisar Rp 81.671 sampai dengan Rp 86.000.
Kusumawardhani (2008), dengan judul Analisis Penetapan Harga Pokok
Produksi Bibit Krisan pada PT. Inggu Laut Abadi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
yang bertujuan untuk mengindentifikasi kebijakan perusahaan dalam penetapan
harga pokok produksi, menganalisis metode penetapan harga pokok produksi,
serta merumuskan alternatif metode penetapan harga pokok produksi bagi
perusahaan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa PT. Inggu laut Abadi Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat hanya didasarkan pada biaya aktual yang dikeluarkan
perusahaan dalam periode berjalan (satu bulan), mulai dari kegiatan pembuatan
media ½ Murashige and Skoog (MS) sebagai bahan baku dalam kultur jaringan
sampai pemanenan bibit krisan yang sudah terbakar. Berdasarkan hasil
perhitungan yang dilakukan, memperlihatkan adanya perbedaan harga pokok
35
maupun variable costing, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga bahan
kimia makro dan mikro. Metode variable costing dapat menghemat sebesar Rp
62.297 per bibitnya, sedangkan metode full costing justru menghasilkan harga
pokok yang lebih besar dibanding metode perusahaan, yaitu sebesar Rp 10.878
per bibitnya. Metode penetapan yang tepat adalah metode variable costing karena
akan menyebabkan harga jual yang rendah pula sehingga diharapkan sesuai
dengan daya beli petani yang umumnya rendah.
Roslinawati (2007), dengan judul Analisi Penetapan Harga Pokok
Produksi Benih Padi Pada PT.Sang Hyang Seri RM 1 Sukamandi, Subang, Jawa
Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode harga pokok produksi
yang diterapkan oleh PT. Sang Hyang Seri RM 1 Sukamandi Subang, menetapkan
metode perhitungan harga pokok produksi benih padi yang tepat pada PT. sang
Hyang Seri RM 1 Sukamandi, Subang.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa perhitungan harga pokok produksi
dengan menggunakan metode full costing menghasilkan harga pokok produksi
yang berada dibawah harga pokok produksi metode perusahaan dan di atas harga
pokok produksi dengan menggunkan metode variable costing, sehingga dianggap
paling tepat karena berada di tengah-tengah, artinya tidak terlalu tinggi dan juga
tidak terlalu rendah. Oleh karena itu metode yang dapat direkomendasikan kepada
perusahaan yaitu metode full costing.