• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra"

Copied!
375
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI AKADEMIK PADA PROSES PEMBELAJARAN

MAHASISWA TUNA NETRA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

GRACIAS ANASTASIA GABRIELLA PURBA

081301082

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

SKRIPSI

RESILIENSI AKADEMIK PADA PROSES PEMBELAJARAN

MAHASISWA TUNA NETRA

Dipersiapkan oleh:

GRACIAS ANASTASIA GABRIELLA PURBA 081301082

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 1 Agustus 2013

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Ika Sari Dewi, S.Psi, psikolog Penguji I ____________ NIP. 197809102005012001 Merangkap Pembimbing

2. Ari Widyanta, M.Si., psikolog Penguji II ____________ NIP. 197410282000121001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul :

Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil

karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma,

kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2013

Gracias Anastasia Gabriella Purba

(4)

Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra

Gracias Anastasia Gabriella Purba dan Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kehidupan akademik seorang tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum, dan bagaimana mahasiswa tersebut menyikapi serta mengatasi segala permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Henderson (2003) menyatakan bahwa resiliensi akademik seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif internal dan eksternal orang tersebut. Usaha dan solusi atas setiap kesulitan (faktor-faktor resiko) mahasiswa tuna netra tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif yang dimilikinya. Penelitian ini juga ingin melihat apa saja yang menjadi faktor resiko dan faktor protektif mahasiswa tuna netra dan bagiamana outcome akademik mahasiswa tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan intepretasi atau analisa terhadap data dari masing-masing responden penelitian.

Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa ketiga responden dalam penelitian ini telah berhasil mengembangkan kemampuan resiliensi akademiknya. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal dimiliki oleh masing-masing responden. Ketiga responden penelitian juga menunjukkan bahwa masing-masing memiliki faktor protektif internal yang lebih kuat dibandingkan faktor protektif eksternal. Dukungan teman sebaya merupakan faktor protektif yang paling besar pada setiap responden. Dari ketiga responden penelitian, responden I yang paling banyak mengembangkan kemampuan resiliensinya dan responden II memiliki hasil akademik yang paling memuaskan.

(5)

Academic Resilience in the Learning Process of University Students

with Visual Impairments

Gracias Anastasia Gabriella Purba and Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog

ABSTRACT

This research is a descriptive qualitative study aimed to determine the description of academic resilience in the learning process of University students with visual impairments. Specifically, this study aims to find out about the academic life of students with visual impairment that go to college at an ordinary University, and how they deal with and overcome every problem and hurdle they meet. Henderson (2003) states that one’s academic resilience is influened by their internal and external protective factors. Each student’s effort and sollution of their problems (risk factors) are influenced by their protective factors. This study also aims to see what risk and protective factors that the students with visual impairments posses, and how their academic outcome appear to be.

There are three respondents in this study. The sampling procedure is based on theory-based/operational construct sampling. Data was obtained by interview, while using an interview guide. Afterwards, the data were coded and categorized, and then each of the respondent’s data were analyzed and interpreted.

The result of this research show that all three respondents have managed to improve their academic resilence. Each respondents own the internal and external protective factors. All three respondents also show that they have stronger internal protective factors than their external factors. Peer suport appear to be each respondents strongest protective factor. From all of the three respondents, respondent I has the most recilience factor and responden II has the best academic outcome.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah

melimpahkan berkat dan karunia yang luar biasa kepada saya dan yang telah menjadi

pembimbing utama dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana jenjang strata

satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Skripsi yang berjudul “Resiliensi Akademik pada proses Pembelajaran

Mahasiswa Tuna Netra” ini dikerjakan dengan usaha keras dan dengan harapan dapat

memberikan kontribusi terutama dalam bidang ilmu Psikologi Pendidikan, para

mahasiswa tuna netra dan seluruh masyarakat secara umum. Saya sangat menyadari

bahwa hadirnya penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak.

Sebagai ungkapan rasa syukur, dan dengan segala kerendahan hati, saya ingin

mengucapkan terima kasih dan memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU,

2. Ibu Ika Sari Dewi, S. PSi., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi saya yang

telah meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing dan membantu

penyelesaian penelitian ini hingga selesai,

3. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing seminar

saya, yang telah berperan penting dalam pengerjaan awal skripsi ini. Terima

kasih atas segala ilmu, bimbingan, kesabaran dan pengertian ibu.

4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik,

5. Pak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia

(7)

6. Bang Tarmidi, M.Psi, psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk membimbing saya,

7. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai Fakultas Psikologi USU,

8. Kedua orangtua saya, Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D dan Dra. Tetty

Aritonang. Terima kasih yang tak terhingga untuk mami dan bapak, karena telah

menjadi orangtua terbaik, yang selalu mendoakan, mendukung, memotivasi,

membantu dan mencurahkan kasih sayang yang tak berkesudahan. Terima kasih

karena telah mengesampingkan rasa kekecewaan dan mengubahnya menjadi

support yang tak henti. I love you both, more than words can describe.

9. Kedua adik saya tercinta, Giovani Purba dan Frigga Purba, yang terus

mendukung, menyemangati dan siap sedia membantu saya,

10. Ompung saya tersayang, Ny. Prof. Aritonang dan Inanguda saya, DR. Evawany Aritonang. Terima kasih atas perhatian Opung dan Inanguda yang luar biasa,

yang secara intens mendorong dan membantu semaksimal mungkin agar skripsi

ini dapat sesegera mungkin terselesaikan,

11. Keluarga besar Purba dan Aritonang, yang secara langsung maupun tidak

langsung turut berperan membantu penyelesaian skripsi ini,

12. Ketiga orang responden saya. Terima kasih telah menjadi teman-teman yang

sangat baik dan ramah serta sudah meluangkan waktu berjam-jam dan berbagi

cerita dengan saya. Tanpa kalian penelitian ini tidak ada,

13. Sahabat-sahabat kampus yang paling saya sayangi, Elka Putri Tarigan, Puti

Nilam Suri, Regina Ophelia Manurun, Vivi Fransiska Panjaitan, Dinda Hasni dan

Sabethia Marissthella Sihombing. Terima kasih untuk persahabatan kalian, terima

(8)

kita bertahan selamanya. Special Thanks kepada Vivi dan Egi yang dengan tulus hati meluangkan waktu dan tenaga ekstra dalam membantu saya merampungkan

skripsi ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian berdua.

14. Githa Priscilia Sidauruk dan Anggie Caradina Aruan, kedua sahabat terbaikku

yang selalu bisa diandalkan. Terima kasih untuk pressure dan motivasinya Sahabat-sahabat SMA lainnya, Schilman Panggabean, Joel Tarigan, Juan Carson

Marbun, Michael Frans Hasibuan, Mikhael Yudha Purba, Julian Simatupang,

Kristina Sianipar, Yunita Sinurat, Romy Askaro Bangun, David Simanungkalit,

Theodore Manurung, Putra Siregar, Sealtiel Saragih, Aran Simarmata. Thanks for the amazing friendship. You guys are the best!

15. VG Ekklesia, teman-teman gereja yang menambah keceriaan setiap Minggu.

Semoga pelayanan kita semakin baik lagi,

16. Teman-teman angkatan 2008 yang kekompakannya tak tertandingi,

17. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu, yang telah

memberikan bantuan dan dukungan dalam bentuk apapun kepada saya selama

proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk segalanya.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, saya

sangat mengharapkan masukan, kritikan dan saran yang membangun untuk dapat

digunakan sebagai perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, penulis berharap Tuhan

berkenan membalas segala kebaikan saudara semua, dan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Juli 2013

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

1. Manfaat Teoritis ... 16

2. Manfaat Praktis ... 16

E. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II LANDASAN TEORI ... 19

A.Resiliensi Akademik ... 19

1. Resiliensi ... 19

2. Resiliensi Akademik ... 20

a. Definisi ... 20

b. Model Resiliensi ... 20

c. Karakteristik Individu yang Resilien ... 22

d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal ... 23

e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi ... 25

B. Tuna Netra ... 29

1.Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra ... 29

2.Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra ... 30

3.Jenis dan penyebab gangguan penglihatan(Visual Impairment) ... 35

4. Layanan Pendidikan untuk Tuna Netra ... 37

(10)

1. Definisi ... 39

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ... 40

D. Sistem Pendidikan Tinggi ... 45

E. Resiliensi Akademik terhadap Proses Pembelajaran Mahasiswa.... Tuna Netra ... 48

F. Paradigma Teoritis ... 53

BAB III METODE PENELITIAN ... 54

A. Pendekatan Kualitatif ... 54

B. Responden Penelitian ... 55

C. Metode Pengumpulan Data ... 57

D. Alat Bantu Pengambilan Data ... 58

1. Pedoman Wawancara ... 59

2. Pedoman Observasi ... 59

3. Alat Perekam (tape recorder)... 60

E. Kredibilitas Penelitian ... 60

F. Prosedur Penelitian ... 63

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 63

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 63

3. Tahap Pencatatan Data ... 64

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Responden I ... 66

1. Identitas Diri ... 66

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 66

3. Gambaran Umum Responden 1 ... 67

4. Data Observasi Selama Wawancara ... 69

5. Analisa Data Wawancara ... 77

B. Responden II ... 128

1. Identitas Diri ... 128

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 128

3. GambaranUmum Responden II ... 128

4. Data Observasi Selama Wawancara ... 131

5. Analisa Data Wawancara ... 136

C. Responden III ... 184

(11)

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 184

3. Gambaran Umum Responden III ... 184

4. Data Observasi Selama Wawancara ... 187

5. Analisa Data Wawancara ... 192

D. Pembahasan ... 235

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 260

A. Kesimpulan ... 260

B. Hasil Tambahan ... 265

C. Saran ... 266

DAFTAR PUSTAKA ... 269

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Deskripsi Umum Responden I ... 66

Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden I ... 66

Tabel 3 Deskripsi Umum Responden II ... 128

Tabel 4 Jadwal Wawancara Responden II... 128

Tabel 5 Deskripsi Umum Responden III ... 184

Tabel 6 Jadwal Wawancara Responden III ... 184

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Bagan 1 Model Resiliensi ... 22 Bagan 2 Profil Siswa dengan Karakteristik Resiliensi ... 28 Bagan 3 Paradigma Teoritis ... 53 Bagan 4 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran

Responden I ... 126

Bagan 5 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran

Responden II ... 182

Bagan 6 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran I (Pedoman Wawancara) ... 273

Lampiran II (Lembaran Observasi) ... 276

Lampiran III (Lembar Persetujuan) ... 278

Lampiran IV (Verbatim Wawancara) ... 280

(15)

Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra

Gracias Anastasia Gabriella Purba dan Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kehidupan akademik seorang tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum, dan bagaimana mahasiswa tersebut menyikapi serta mengatasi segala permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Henderson (2003) menyatakan bahwa resiliensi akademik seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif internal dan eksternal orang tersebut. Usaha dan solusi atas setiap kesulitan (faktor-faktor resiko) mahasiswa tuna netra tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif yang dimilikinya. Penelitian ini juga ingin melihat apa saja yang menjadi faktor resiko dan faktor protektif mahasiswa tuna netra dan bagiamana outcome akademik mahasiswa tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan intepretasi atau analisa terhadap data dari masing-masing responden penelitian.

Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa ketiga responden dalam penelitian ini telah berhasil mengembangkan kemampuan resiliensi akademiknya. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal dimiliki oleh masing-masing responden. Ketiga responden penelitian juga menunjukkan bahwa masing-masing memiliki faktor protektif internal yang lebih kuat dibandingkan faktor protektif eksternal. Dukungan teman sebaya merupakan faktor protektif yang paling besar pada setiap responden. Dari ketiga responden penelitian, responden I yang paling banyak mengembangkan kemampuan resiliensinya dan responden II memiliki hasil akademik yang paling memuaskan.

(16)

Academic Resilience in the Learning Process of University Students

with Visual Impairments

Gracias Anastasia Gabriella Purba and Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog

ABSTRACT

This research is a descriptive qualitative study aimed to determine the description of academic resilience in the learning process of University students with visual impairments. Specifically, this study aims to find out about the academic life of students with visual impairment that go to college at an ordinary University, and how they deal with and overcome every problem and hurdle they meet. Henderson (2003) states that one’s academic resilience is influened by their internal and external protective factors. Each student’s effort and sollution of their problems (risk factors) are influenced by their protective factors. This study also aims to see what risk and protective factors that the students with visual impairments posses, and how their academic outcome appear to be.

There are three respondents in this study. The sampling procedure is based on theory-based/operational construct sampling. Data was obtained by interview, while using an interview guide. Afterwards, the data were coded and categorized, and then each of the respondent’s data were analyzed and interpreted.

The result of this research show that all three respondents have managed to improve their academic resilence. Each respondents own the internal and external protective factors. All three respondents also show that they have stronger internal protective factors than their external factors. Peer suport appear to be each respondents strongest protective factor. From all of the three respondents, respondent I has the most recilience factor and responden II has the best academic outcome.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar merupakan suatu proses perubahan di dalam tingkah laku, sebagai

hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,

yang terjadi dalam kepribadian setiap manusia dan ditampakkan dalam bentuk

peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku manusia (Hemalik, 2004).

Ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan, berdasarkan modifikasi definisi

dari Gregory A. Kimble, maka belajar merupakan perubahan perilaku atau potensi

perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa

dinisbahkan ke temporary body states (keadaan tubuh temporer) seperti keadaan

yang disebabkan oleh sakit, keletihan, dan obat-obatan (Hergenhahn & Olson,

2008).

Secara umum, ada banyak hal yang dapat dijadikan contoh terkait belajar. Secara formal dan akademis, belajar dikenal dengan istilah “pembelajaran”.

Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan

sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan

yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses belajar yang baik bagi peserta

didik (Hergenhahn & Olson, 2008).

Setiap orang di dunia akan mengalami proses belajar maupun pembelajaran,

dimana setiap proses yang dilalui juga berbeda, tergantung pada masing-masing

(18)

Menengah dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat pada tahun 2000,

menunjukkan sekitar 9 % dari seluruh siswa tersebut diidentifikasi mengalami

hambatan perkembangan belajar. Di Indonesia sendiri, kasus ini jumlahnya lebih

banyak, yaitu sekitar 10 – 15 % dari seluruh siswa Sekolah Dasar dan Sekolah

Menengah Pertama (Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan

Pengembangan, 2003).

Hambatan belajar yang dihadapi setiap individu juga berbeda, begitu pula

dengan kemampuan masing-masing individu dalam mengatasinya. Hambatan

belajar yang dihadapi individu normal pada umumnya akan dipengaruhi oleh

berbagai faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, misalnya lingkungan,

sistem pendidikan, orang tua, guru atau teman-teman, dan faktor internal, seperti

disfungsi sistem saraf pusat. Hambatan tersebut juga dapat terjadi bersamaan

dengan hambatan maupun gangguan lainnya, misalnya hambatan penginderaan

seperti tuna netra, tunarungu, keterbelakangan mental, hambatan sosial dan emosi – yang dikenal juga dengan istilah anak berkebutuhan khusus (Hidayat, 2009).

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang membutuhkan pendidikan

dan layanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh

akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Perbedaannya

meliputi ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromaskular, perilaku

sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, ataupun kombinasi dua atau

lebih dari berbagai hal tersebut. Anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan

menjadi tuna netra (gangguan penglihatan), tuna rungu (gangguan pendengaran),

(19)

(gangguan fisik), tuna laras (gangguan emosi dan perilaku) dan tuna ganda

(memiliki dua atau lebih gangguan) (Hallahan & Kauffman, 1991).

Semua jenis anak berkebutuhan khusus memiliki ciri-ciri dan

pengklasifikasiannya masing-masing. Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan

anak-anak normal yang tidak memiliki gangguan, baik itu dari segi fisik maupun

psikis. Setiap jenis anak berkebutuhan khusus juga memiliki masalah yang

berbeda-beda dan dampak yang berbeda pula bagi penyandangnya. Salah satu hal

yang cukup membedakan, diluar dari perbedaan dalam hal fisik adalah dalam

proses belajarnya. Pada dasarnya, setiap anak berpotensi untuk mengalami

gangguan dalam belajar, namun masalah tersebut ada yang ringan dan ada pula

yang berat. Beberapa gangguan belajar tidak begitu memerlukan perhatian khusus

dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan. Di lain

pihak ada juga yang masalah belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan

perhatian dan bantuan orang lain (Suryaningsih, 2011).

Individu berkebutuhan khusus tidak selalu memiliki gangguan atau

kesulitan yang sangat tinggi dalam belajar. Pada saat berintegrasi dalam sistem

belajar reguler bersama dengan anak sebaya lainnya yang tidak memiliki

gangguan fisik maupun psikis, maka ada hal-hal tertentu yang perlu mendapatkan

perhatian khusus dari guru, sekolah maupun orang terdekatnya. Oleh sebab itu

masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus memiliki strategi layanan

pembelajaran yang berbeda pula (Suryaningsih, 2011).

Proses belajar di sekolah maupun institusi lainnya menuntut adanya

(20)

mencecap dalam mendukung segala aktifitasnya. Menurut Sistem Pendidikan

Tinggi oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya, contoh kegiatan mahasiswa

antara lain adalah menyelesaikan 144 – 160 SKS, selama delapan sampai dua

belas semester, memperhatikan ceramah atau presentasi dosen, bergabung dalam

diskusi, mengerjakan tugas lisan atau tulisan, mengikuti ujian semester, mengikuti

praktik dan berbagai hal lainnya. Ada beberapa kegiatan yang membutuhkan

softskill mahasiswa dan yang melibatkan penggunaan media seperti proyektor,

papan tulis, radio, televisi, ataupun berbagai alat teknologi lainnya. Untuk hasil

yang maksimal, kelengkapan panca indera akan sangat penting, Namun dari

semua indera yang ada, kemampuan untuk melihat merupakan salah satu yang

paling penting.

Teori Persepsi menyatakan bahwa persepsi visual merupakan topik utama

dalam pembahasan persepsi secara umum, dan sekaligus merupakan persepsi yang

umumnya paling sering dibicarakan dalam konteks sehari-hari. Persepsi adalah

proses individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorisnya guna

memberikan arti bagi lingkungannya. Persepsi visual adalah kemampuan manusia

untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh mata. Hasil dari

persepsi ini yang disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau vision).

Perilaku individu sendiri sering didasarkan pada persepsi individu tersebut

terhadap kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri (Robbins, 2003).

Penyandang tuna netra merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus

yang memiliki masalah dalam penglihatan karena hilangnya fungsi indera visual

(21)

tuna netra menggunakan indera non-visual lainnya yang masih berfungsi seperti

indera pendengaran, perabaan, pembau dan perasa (pencecapan) (Blackhurt &

Berdine, 1981; Knededler, 1984).

Jumlah penderita anak berkebutuhan khusus di Indonesia oleh WHO (World

Health Centre) pada tahun 2007 diperkirakan berkisar 7%, yang berarti sekitar

enam juta dari seluruh penduduk Indonesia menderita cacat, dengan usia 0-18

tahun. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah

penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk, atau sekitar

1,5 juta jiwa, dan hanya 14.4% saja yang tercatat terdaftar di Sekolah Luar Biasa

(SLB). Menurut laporan dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2000,

populasi tunanetra di Indonesia mencapai 1,5% dari jumlah penduduk.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada

tahun 2000, tercatat jumlah anak tuna netra usia sekolah yang bersekolah hanya

sekitar 0,87%. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang

membuat tunanetra mengalami kesulitan atau tidak mampu untuk mengikuti

proses belajar, selayaknya anak-anak pada umumnya.

Lowenfeld (dalam Friend, 2005) menggambarkan dampak kebutaan (totally

blind) atau kurang lihat (low vision) terhadap perkembangan kognitif, dengan

mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar dalam tiga area yaitu berdasarkan

tingkat dan keragaman pengalaman, kemampuan untuk berpindah tempat, dan

penglihatan dalam interaksi dengan lingkungan. Ketiga area tersebut sangat

mempengaruhi perkembangan kognitif individu tuna netra. Disamping itu,

(22)

secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif anak tuna netra cenderung

terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu

dengan pengamatan visual. Contoh yang paling mudah misalnya dalam

memperlajari hal-hal seperti konsep menolong, membantu, bertoleransi, dan

berbagai konsep lainnya. Selain mempengaruhi perkembangan kognitif,

ketunanetraan juga berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan akademis

(Djahardja, 2008), atensi, dan mengurangi kemampuan fungsi anggota tubuh lain

seperti kaki dan tangan (Sternberg, 2006).

Ditinjau dari segi kecerdasan, sebagian besar tuna netra tidak dipengaruhi

oleh ketunaannya, kecuali bagi yang mengalami ketunaan ganda (double

handicapped), namun tuna netra mengalami kesulitan dalam pembentukan

ataupun penerimaan gagasan yang bersifat abstrak (Blackhurts & Berdine, 1981;

Knededler, 1984). Penelitian oleh Ishartiwi (1991) terkait dengan kesulitan

penerimaan konsep abstrak tersebut, menunjukkan bahwa pemberian layanan

pendidikan bagi tuna netra sangat tergantung dari kondisi berat atau ringannya

kelainan yang disandang. Di sisi lain, kondisi saat terjadinya ketunanetraan juga

perlu diperhatikan dalam memberikan layanan. Kebutaan yang disandang sejak

lahir akan lebih sedikit memperoleh pengalaman tentang konsep dibandingkan

dengan kebutaan pada masa anak, remaja dan setelah dewasa. Bagi tuna netra

yang mengalami kebutaan pada masa pasca lahir, sudah menyimpan pengalaman

dalam memorinya, sehingga sudah memiliki persepsi tentang berbagai konsep.

Dalam kesehariannya, tuna netra banyak mendapatkan rintangan dan

(23)

dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan perilaku dan kehidupannya. Bukan hanya aspek kognitif, namun

aspek motorik, emosi dan sosialnya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ini

(Somantri, 2006).

Hambatan lainnya dalam belajar sosial biasanya berkaitan dengan

ketidakmampuan individu untuk memahami perasaan orang lain dan hambatan

dalam melakukan imitasi dan identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai

masyarakat. Tantangan demi tantangan yang dihadapi sedikit banyak

mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan. Ishartiwi (1991) menyatakan

bahwa pendekatan pembelajaran yang tepat bagi tuna netra menerapkan prinsip

verbal maupun lisan, pengalaman konkrit maupun kontak langsung, dan stimulasi.

Langkah dalam intervensi meliputi pemeriksaan penglihatan, assesmen kesiapan

fisik, emosi, dan intelektual, dan assesmen kemampuan aktivitas sehari-hari,

pelatihan orientasi mobilitas, dan latihan indera non-visual serta latihan

pra-membaca dan pra-membaca Braille.

Terlepas dari berat atau ringannya masalah dan hambatan yang dihadapi

dalam proses belajar, hal-hal inilah yang dapat menjadi stressor bagi seseorang

dalam menjalani proses belajarnya, dan berpotensi menimbulkan stress bagi

mereka. Menurut Weiten (dalam Sulistyaningsih, 2009), reaksi orang

berbeda-beda terhadap stressor. Stress yang dialami dapat memberi pengaruh dalam tiga

tingkatan yaitu respon fisiologis seperti arousal otonomik, fluktuasi hormonal,

perubahan neurokimia; respon emosional, seperti jengkel, marah, cemas, takut,

(24)

menyalahkan diri sendiri, mencari bantuan, memecahkan masalah dan melepaskan

emosi (Sulistyaningsih, 2009).

Berdasarkan ketiga respon tersebut, maka stressor dapat memberikan

outcome yang berbeda-beda bagi setiap individu. Bagi kebanyakan orang, stressor

dapat menjadikan seseorang stress, depresi atau bahkan menimbulkan penderitaan

atau trauma yang patologis, namun sebenarnya ada juga orang yang justru dapat

bangkit dan memperjuagkan kesejahteraan (well-being) hidupnya. Para ahli telah

melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa ada kekuatan-kekuatan pada diri

setiap manusia yang dapat membantu dirinya melewati badai kehidupan, yang

mana salah satunya disebut dengan istilah resilence (resiliensi). (Weiten, 2004)

Berkaitan dengan hambatan-hambatan proses belajar yang dihadapi para

anak berkebutuhan khusus, resiliensi ini sangat dibutuhkan. Resiliensi merupakan

kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun

mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang

pasti akan pernah mengalami kesulitan maupun sebuah masalah dan tidak ada

seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg,

1995). Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi

adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi

kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup

sehari-hari. Kualitas inilah yang dibutuhkan oleh setiap individu berkebutuhan

khusus dalam menghadapi berbagai situasi sulit di dalam hidupnya.

Berdasarkan Grotberg (1995) ada tiga kemampuan atau tiga faktor resiliensi

(25)

digunakan istilah “I have”.Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi

digunakan istilah “I am”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan

istilah “I can”. Masing-masing dimensi ini memiliki sumber kekuatannya

masing-masing.

Reivich dan Shatte (2002) juga mengemukakan adanya beberapa

kemampuan yang bisa mengungkap kemampuan resiliensi pada individu yaitu

regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis dan penyebab

masalah, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Kemampuan-kemampuan ini

yang membantu seorang individu untuk mempertahankan hidupnya ketika

menghadapi kesulitan, demikian pula mahasiswa yang berjuang di kampus.

Pada era globalisasi ini, institusi pendidikan berupa sekolah atau perguruan

tinggi banyak mendapatkan tantangan dalam hal memastikan bahwa setiap peserta

didiknya mendapatkan kesuksesan dan prestasi belajar yang baik dalam masa

belajarnya (Henderson, 2003). Hal ini juga berdampak pada banyaknya tuntutan

yang diterima seorang siswa untuk menunjang prestasi akademiknya, sehingga

stressor, hambatan dan masalah juga terlibat dalam proses belajar seseorang. Oleh

sebab itu resiliensi juga diperlukan dalam bidang ini, yang disebut dengan

resiliensi akademik.

Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dan dapat

diartikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali, beradaptasi dengan sangat

baik melawan kesulitan (adversity), dan mampu mengembangkan kompetensi

(26)

stress ringan yang dihadapi. Dari definisi ini jelas terlihat bahwa setiap peserta

didik, muda maupun tua perlu mengembangkan resiliensi (Henderson, 2003).

Dalam resiliensi akademik, ada yang dikenal dengan istilah faktor resiko

dan faktor protektif. Faktor resiko merupakan hal-hal yang mempengaruhi respon

individu ke arah menurunnya kondisi kesehatan fisik dan mental. Faktor protektif

adalah hal-hal yang dapat memperkecil dampak stres pada kesehatan fisik dan

mental atau yang melindungi individu dari kemungkinan menurunnya kondisi

kesehatan mental akibat stres (Sulistyaningsih, 2009). Semua faktor-faktor inilah

yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi terpuruk atau malah bangkit

dan menjadi lebih baik.

Tuna netra yang tidak mendapatkan pendekatan pembelajaran yang tepat,

memiliki kemungkinan besar menghadapi banyak kesulitan. Berbeda dengan

individu yang berkesempatan bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), individu

yang hanya bersekolah di sekolah umum tidak mendapatkan fasilitas dan sistem

pembelajaran yang selayaknya mereka terima. Hal serupa terjadi pula pada

individu tuna netra yang beranjak remaja dan memasuki jenjang perkuliahan, dan

menjadi mahasiswa.

Ada banyak anggapan mengenai arti “maha” pada “mahasiswa”, namun

secara umum menyiratkan bahwa seorang mahasiswa sudah berada pada tingkat

yang paling tinggi, serta mengalami proses belajar yang tak henti dan terus

berulang. Menurut Tarsidi (2006), agar inidividu tuna netra dapat berhasil dalam

mencapai kemandirian, mereka memerlukan pendidikan yang tepat. Pembentukan

(27)

berbagai teknik alternatif, memungkinkannya untuk melakukan kegiatan

kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, mampu mengatasi

masalah-masalah sosial, serta mampu menampilkan diri secara wajar dalam pergaulan.

Berkuliah sebagai seorang tuna netra merupakan sebuah tantangan berat.

Namun fakta menunjukkan bahwa ada banyak tuna netra yang justru memiliki

kemampuan lebih dalam bidang yang mereka ambil. Tak sedikit pula yang bahkan

sampai dikenal bangsa bahkan dunia. Sebut saja para musisi hebat, seperti Stevie

Wonders, Ray Charles, dan Andrea Bocelli. Anak bangsa juga sudah banyak yang mengukir prestasi. Dalam acara televisi “Kick Andy”, pernah ditampilkan

sejumlah orang tuna netra yang berhasil mencapai cita-citanya dan sukses. Mimi

Mariani Lusli, kehilangan penglihatan sejak kelas 4 SD, telah menyelesaikan

pendidikan S2 di Universitas Indonesia, melanjutkannya di University of Leads di

Inggris, dan sekarang sedang melanjutkan kuliah kedokterannya di Faculty of

Earth and Life Sciences Universities of Amsterdam di Belanda. Tak hanya itu

Mimi juga aktif dalam berbagai lembaga sosial yang membantu penyandang

cacat. Kisah sukses jika dimiliki Tolhas Damanik, penyandang tuna netra sejak

lahir. Tolhas telah menyelesaikan gelar masternya di Universitas Ohio, Amerika

Serikat dan sekarang telah kembali ke tanah air menjadi konsultan pendidikan di

lembaga non-profit. Saharudin Daming, seorang yang mengalami kebutaan sejak

berumur 10 tahun, menjadi penyandang tuna netra pertama yang menjadi Doktor

di bidang hukum. Ramaditya Adikara, seorang blogger tuna netra yang pertama

(28)

menjadi salah satu tempat mengukir prestasi bagi dua orang penyandang tuna

netra yang masih sangat muda, bernama Michael Anthony (7 tahun) dan Ade

Irawan (15 tahun). Michael adalah pianis termuda tuna netra dan autis yang

mampu menguasai lebih dari seratus lagu, mulai dari aliran klasik hungga pop.

Sementara Ade sudah malang melintang di dunia jazz dan blues hingga ke

Chicago Amerika, Serikat. Mereka ini merupakan segelintir orang yang

membuktikan bahwa keterbatasan panca indera, khususnya mata, beserta dengan

segala kesulitan-kesulitan hidupnya tidak lantas menjadi penghalang bagi

seseorang untuk berkarya, jika mereka memiliki resiliensi yang kuat dalam

menjalankan kehidupannya.

Dewasa ini, sistem belajar di dunia perkuliahan sudah semakin

berkembang dan dipenuhi dengan teknologi. Untuk mahasiswa pada umumnya hal

ini sangat membantu, namun tidak selalu demikian dengan mahasiswa tuna netra.

Pada dasarnya saja, mahasiswa tuna netra sudah memiliki kekurangan yaitu

penglihatan. Media, sarana dan prasarana, serta sistem belajar yang digunakan

dalam perkuliahan juga dapat semakin menambah kendala dalam proses

belajarnya. Misalnya saja dalam bidang musik. Berdasarkan penjabaran

mengenai kompetensi dasar untuk mata pelajaran musik dari Depdiknas (2003:9),

sebenarnya kepekaan inderawi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran

musik. Tidak hanya penglihatan, namun juga pendengaran, perabaan, serta

kemampuan untuk berbicara dan mengolah vokal juga sangat penting. Dalam hal

ini, tuna netra memiliki keterbatasan dalam memenuhi kompetensi dasar tersebut,

(29)

secara tidak langsung juga tidak leluasa dan maksimal dalam menggunakan

anggota tubuh lainnya dan dalam mempraktekkan penggunaan alat musik. Selain

itu proses pembelajaran musik yang bersifat teoritis serta proses mengenal dan

mempelajari not balok dan pembacaan partitur juga sulit. Hal ini juga sejalan

dengan yang dikatakan oleh FL, mahasiswa di bidang musik (pria, 25 tahun):

“Saya di kampus kan main biola. Nah kalau teman-teman saya biasanya langsung dikasih partitur, trus langsung latihan disitu. Kalau saya kan gak bisa. Jadi biasanya saya harus rekam dulu, lalu saya dengar dirumah baru pelajarin melodinya sendiri. Pas dikampus barulah belajar harmonisasinya”

(Komunikasi personal, 10 November 2012)

Di sisi lain, keterbatasan tuna netra dalam penglihatan, secara tidak

langsung mengasah kepekaan indera lainnya yang berfungsi dengan baik, seperti

pendengaran dan perabaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya unsur

pendengaran dan perabaan juga berperan penting dalam proses pembelajaran. Hal

ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh SA, seorang mahasiswa di Fakultas

Sastra Inggris (wanita, 19 tahun):

“...yaa kalau mengikuti pelajaran bisa-bisa aja, karena aku suka merekam kak. Jadi ngandalin kupinglah. Aku kan kalau ngeliat gak bisa, jadi lebih banyak mendengar. Pas pakai laptop juga gitu, uda di program jadinya bunyi”.

(Komunikasi personal, 15 September 2012)

Perguruan Tinggi pada umumnya tidak menyediakan secara spesifik

fasilitas yang dapat mendukung proses belajar tuna netra, dimana hal ini dapat

menjadi suatu rintangan untuk mereka. Bertolak dari Undang-undang 1945 pasal

31, disusun undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

(30)

bahwa “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental berhak

memperoleh pendidikan”, dan pada ayat (2) dinyatakan “Pemerintah

mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang

diatur dalam undang-undang. Namun kondisi yang justru terjadi di lapangan

adalah mahasiswa tuna netra mengalami kesulitan karena mereka harus mengikuti

kurikulum dan peraturan yang berlaku tanpa adanya bantuan atau pembimbing

khusus. Hal-hal lain seperti pengerjaan tugas, ujian semester, praktik, dan

sebagainya juga turut menambah kendala dalam proses belajar mereka.

Mahasiswa tuna netra yang berkuliah di tempat tersebut mau tidak mau harus

berhadapan dengan tekanan-tekanan tersebut, dan dapat mempengaruhi mereka

secara negatif. Di lain sisi, pada kenyataannya, ada juga mahasiswa-mahasiswa

tuna netra yang mampu untuk menjadi orang yang berprestasi, yang memiliki

mobilitas tinggi, yang memiliki pergaulan luas, dan tidak sedikit yang memiliki

segudang talenta.

Seorang mahasiswa yang mampu untuk bangkit dan termotivasi menjadi

lebih baik akan mampu untuk mematahkan rintangan-rintangan yang dihadapinya.

Ketunanetraan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa tuna netra tidaklah sama,

sehingga proses untuk bertahan juga pasti berbeda-beda, karena kualitas resiliensi

setiap orang juga berbeda (Grotberg, 1995).

Resiliensi yang terbentuk pada setiap individu dipengaruhi oleh

faktor-faktor eksternal dan internal yang dimiliki individu tersebut. Beberapa faktor-faktor

utama yang dapat mempengaruhi resiliensi seseorang antara lain adalah keluarga

(31)

budaya yang ada di lingkungannya dan juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu

dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putera-puterinya (Monks,

Knoers dan Haditono, 1994). Hal ini juga tergambar dari pernyataan AS (pria, 25

tahun):

“..emm kalau ditanya siapa yang paling berperan dalam membuat aku jadi kuat kek gini, yang pasti orang tuaku sama para suster dan pastur dulu waktu di asrama. Mereka semua ga memanjakan aku, atau terus-terusan membantu semua-semua, tapi aku dibantu untuk bisa mandiri dan mengerjakan apa-apa sebisa mungkin sendiri. Pada akhirnya, yang tadinya ga bisa makan sendiri, mandi sendiri ya kan jadinya bisa”

(Komunikasi personal, 10 November 2012)

Bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya, terkhusus

dalam hal ini, individu tuna netra, sudah pasti sangat mempengaruhi kemampuan

resiliensi dirinya. Seiring waktu, resiliensi juga dapat semakin terbentuk

berdasarkan tahapan resiliensi, yaitu overcome, steer through, bouncing back dan

reach out (Revich dan Shatte, 2002). Terkait dengan usaha mahasiswa tuna netra

untuk bertahan, berkenaan dengan proses belajarnya di kampus dan juga di

kehidupannya sehari-hari, mereka juga memiliki resiliensi. Resiliensi yang

dimilikinya bukan hanya dipengaruhi oleh keluarga dan pola asuh orang tua,

namun juga dapat dibentuk oleh faktor resiko, protektif, faktor internal maupun

eksternal lainnya. Disini peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika

(32)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra,

yang mencakup:

1. Apa saja yang menjadi faktor-faktor resiko yang dimiliki oleh

mahasiswa tuna netra?

2. Apa saja yang menjadi faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh

mahasiswa tuna netra?

3. Bagaimana outcome akademik mahasiswa tuna netra?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui bagaimana resiliensi akademik pada proses pembelajaran

mahasiswa tuna netra.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu

pengetahuan di bidang Psikologi, terutama bidang Pendidikan, begitu pula

dengan institusi pendidikan, terkait dengan proses pembelajaran mahasiswa

tuna netra.

2. Manfaat Praktis

(33)

a. Secara umum memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh

masyarakat perihal resiliensi terhadap proses pembelajaran yang meliputi

kegiatan akademik, pergaulan sosial, serta emosi mahasiswa tuna netra.

b. Secara khusus memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh

mahasiswa tuna netra perihal dinamika resiliensi akademik terhadap

proses pembelajaran di Perguruan Tinggi.

c. Menambah wawasan baru bagi para orang tua yang memiliki anak

dengan keterbatasan penglihatan, untuk kemudian dapat semakin

mendorong dan meningkatkan kemampuan belajar sang anak.

d. Memberi pengetahuan bagi institusi pendidikan, dalam memfasilitasi

kebutuhan para tuna netra. Misalnya dengan menyediakan alat-alat bantu

seperti Braille, alat perekam, dosen pembimbing khusus, ataupun

alternatif-alternatif lain yang dapat lebih membantu ketertinggalan para

mahasiswa tunanetra.

e. Menjadi kontribusi bagi subjek penelitian dalam mendorong dan

meningkatkan kemampuan resiliensi akademik para mahasiswa tuna

netra dalam proses belajar di Perguruan Tinggi.

E. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian

(34)

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan dan teori-teori yang

menjelaskan dan mendukung data penelitian. Teori yang

akan diuraikan pada bab ini adalah teori resiliensi.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini memberi penjelasan tentang alasan penggunaan

pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode

pengambilan data, alat bantu pengumpulan data,

kredibilitas penelitian serta prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi deskripsi data dari hasil wawancara yang

dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut

dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan

penelitian.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang bersisi hasil dari penelitian

yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran

praaktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan

mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh,

(35)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Resiliensi Akademik 1. Resiliensi

Shatte dan Revich (2002) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan

untuk berespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi rintangan atau

trauma. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2003) resiliensi adalah sikap ulet

dan tahan banting yang dimiliki seseorang ketika dihadapkan dengan keadaan

yang sulit.

Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk

menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika menghadapi rintangan dan

hambatan. Resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan

pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber

yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilience

(resilien) dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan

dan hambatan dalam hidupnya.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi

adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi rintangan dan

(36)

2. Resiliensi Akademik a. Definisi

Secara umum, resiliensi dapat dimanfaatkan oleh setiap individu dalam

melawan berbagai problematika hidup. Namun jika berbicara dalam ruang lingkup

akademis, resiliensi dapat lebih dispesifikkan menjadi resiliensi akademik.

Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dimana

banyak ditemukan di institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi.

Resiliensi ini merupakan sebuah karakteristik yang memiliki

perbedaan-perbedaan pada setiap orang dan dapat semakin meningkat ataupun menurun

seiring berjalannya waktu (Henderson, 2003).

Menurut Rirkin dan Hoopman (dalam Henderson, 2003), berkaitan dengan

pengembangan resiliensi dalam lingkungan belajar, resiliensi akademik

didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk bangkit, pulih, dan berhasil

beradaptasi dalam kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik

dan keterampilan, terlepas dari tingkat stress yang dihadapinya.

b. Model Resiliensi

Richardson, Neiger, Jensen & Kumpfer (dalam Henderson, 2003)

membentuk sebuah model resiliensi yang menunjukkan bahwa ketika seorang

individu mengalami kesulitan, pada umumnya individu tersebut akan memiliki

karaktersitik internal dan eksternal berupa faktor-faktor protektif, yang akan dapat

mengurangi faktor resiko (kesulitan-kesulitan) yang dihadapi. Dengan “proteksi” yang cukup, individu tersebut akan mampu beradaptasi terhadap kesulitan itu

(37)

dapat beralih ke zona nyaman atau yang disebut homeostatis, atau bahkan dapat

lebih meningkat pada level resiliensi yang lebih tinggi karena adanya

pembentukan kekuatan emosional dan mekanisme coping yang sehat selama

proses mengatasi faktor-faktor resiko tersebut. Di lain pihak, tanpa adanya

proteksi yang cukup, seorang individu dapat langsung terjerumus dalam gangguan

psikologis, dan kemudian seiring waktu keluar dari gangguan tersebut. Namun

perlu dicatat, ketersediaan faktor-faktor protektif individulah yang akan

mengarahkan individu tersebut pada tipe reintegrasi yang mereka alami.

Reintergrasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyalahgunaan

alkohol, narkoba, percobaan bunuh diri, ataupun karakteristik-karakteristik negatif

lainnya, dan pada akhirnya dapat berujung pada reintegrasi yang buruk atau baik.

Model resilliensi pada gambar 1 menunjukkan bahwa adversitas tidak secara otomatis mengarahkan individu pada disfungsi, namun juga dapat menuju

sejumlah outcome lainnya, dan bahkan seiring waktu dapat meningkatkan

kemampuan resiliensi seseorang, seiring berjalannya waktu. Richardson (dalam

Henderson, 2003) mengatakan bahwa resiliensi ini dapat diterapkan dalam setiap

orang, dan bahwa ini merupakan sebuah proses dalam hidup.

Lingkungan juga sangat penting terhadap resiliensi individu dalam dua hal.

Pertama, faktor-faktor protektif internal yang membantu individu menjadi resilien

dihadapan stressor dan tantangan, sering kala merupakan dampak dari kondisi lingkungan yang mengembangkan karakteristik ini. Kedua, selain stressor dan

tantangan yang dihadapi individu, lingkungan juga berkontribusi dalam reaksi

(38)

Bagan 1 Model resiliensi

(Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson & Milstein, 2003)

c. Karakteristik Individu yang Resilien

Anak yang resilien dan orang dewasa yang resilien pada umumnya

tampaknya sama. Bernard (1991) menyatakan karakter anak yang resilien adalah

memiliki kompetensi sosial, memiliki life skills seperti mampu memecahkan

masalah, mampu berpikir kritis, dan mampu untuk mengambil inisiatif. Lebih

Stressors Adversity

Risks

Individual and Environmental Protective Factors

Disruption Reintegration

(39)

jauh lagi dikatakan bahwa anak yang resilien memiliki sense of purpose dan dapat

melihat masa depan yang cerah pada dirinya. Mereka memiliki ketertarikan

khusus, tujuan hidup, dan motivasi untuk meraih yang terbaik dalam sekolah.

Higgins (dalam Henderson 2003) memberi karakter yang hampir serupa

pada orang dewasa yang resilien, dengan menekankan pada hubungan positif

mereka, kemampuan baik dalam memecahkan masalah, dan motivasi untuk

peningkatan diri. Motivasi pendidikan juga sangat jelas terlihat pada orang

dewasa, yang dibuktikan dengan pencapaian pendidikannya. Orang dewasa sering

dengan sengaja melibatkan diri dalam perubahan dan aktivitas sosial dan secara

umum memiliki keyakinan serta kehidupan spiritual dan keagamaan. Kebanyakan

dari orang dewasa yang resilien mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam

mengambil hikmah dan kebaikan dari segala stres, trauma dan tragedi yang

pernah dialami. Walau demikian, Higgins juga menggarisbawahi bahwa banyak

orang dewasa yang merasa dirinya resilien mengatakan bahwa ketika mereka

masih anak-anak, kurang menyadari adanya resiliensi dalam diri mereka ataupun

orang lain, pada masa kanak-kanaknya (Henderson, 2003).

d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal

Berdasarkan yang dikemukakan oleh Richardson (dalam Henderson, 2003),

Faktor Protektif Internal adalah karakteristik individu yang membentuk resiliensi:

1. Bersedia melayani orang lain

2. Menggunakan life skills, termasuk pengambilan keputusan yang

(40)

3. Sosialibilitas; kemampuan untuk menjadi teman; kemampuan untuk

membetuk hubungan yang postitf

4. Memiliki selera humor

5. Internal locus of control

6. Otonomi; kemandirian

7. Memiliki sudut pandang positif tentang masa depan

8. Fleksibilitas

9. Memiliki kapasitas untuk belajar

10. Motivasi diri

11. Memiliki keahlian; kompetensi personal

12. Memiliki perasaan self-worth dan kepercayaan diri

Faktor Protektif Eksternal adalah karakteristik keluarga, sekolah, komunitas dan

kelompok teman sebaya yang mengembangkan resiliensi:

1. Memiliki ikatan yang kuat

2. Menjunjung tinggi pendidikan

3. Menggunakan gaya interaksi yang penuh kehangatan dan tidak

menghakimi

4. Membuat batasan-batasan yang jelas (peraturan, norma dan hukum)

5. Mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain

6. Melestarikan tanggung jawab, saling melayani, “required helpfullness”

7. Menyediakan akses akan kebutuhan dasar rumah tangga, pekerjaan,

(41)

8. Menunjukkan harapan kesuksesan yang tinggi dan realistis

9. Mendorong pembuatan tujuan dan mastery

10. Mendorong perkembangan prososial akan nilai-nilai (misalnya

altruisme) dan life skills (misalnya kerja sama)

11. Menyediakan kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan

kesempatan-kesempatan lain untuk partisipasi yang berarti.

12. Menghargai talenta unik dari masing-masing individu

e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi

Teori resiliensi dan faktor resiko menekankan bahwa sekolah merupakan

lingkungan yang penting dalam mengembangkan kemampuan individu untuk

bangkit dari kesulitan, beradaptasi terhadap tekanan dan masalah-masalah yang

dihadapi, dan juga mengembanagkan kompetensi-kompetensi sosial, akademik

dan keterampilan, yang sangat diperlukan dalam hidup. Penelitian para ahli telah

menunjukkan bahwa sekolah, keluarga dan juga komunitas dapat menyediakan

faktor-faktor protektif lingkungan dan kondisi-kondisi yang mengembangkan

faktor protektif individual. Hal ini membentuk sebuah strategi berupa 6 tahapan

dalam mengembangkan resiliensi di sekolah (dapat dilihat pada gambar 2).

1. Meningkatkan bonding. Hal ini melibatkan peningkatan hubungan

diantara individu dengan orang atau kegiatan yang bersifat prosocial

dan juga didasarkan pada bukti bahwa siswa dengan ikatan positif

yang kuat lebih kecil kemungkinannya melakukan perilaku beresiko

(42)

pada ikatan siswa terhadap sekolah dan pencapaian akademik

dengan menyesuaikan gaya belajar yang disukai siswa.

2. Menetapkan batasan-batasan yang jelas dan konsisten. Ini

melibatkan pengembangan dan implementasi yang konsisten dari

peraturan sekolah dan prosedur-prosedur serta menegaskan

pentingnya ekspektasi perilaku. Ekspektasi ini termasuk

menjelaskan tentang perilaku beresiko bagi siswa dan harus

dikomunikasikan secara jelas beserta dengan konsekuensinya.

3. Mengajarkan life skills. Ini termasuk kerjasama, resolusi konflik

yang sehat, ketahanan dan kemampuan asertivitas, kemampuan

komunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan

keputusan, serta manajemen stress yang sehat. Jika

kemampuan-kemampuan ini diajarkan dengan benar kepada siswa, akan dapat

menolong siswa untuk jauh dari permasalahan remaja khususnya

rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang. Kemampuan-kemampuan

ini juga dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses

pembelajaran siswa di sekolah.

4. Menyediakan kepedulian dan dukungan. Hal ini termasuk

memberikan penghargaan dan dorongan yang positif dan ikhlas.

Pada gambar 2, bagian ini diarsir, untuk menunjukkan bahwa elemen

ini merupakan yang terpenting dalam membangun resiliensi. Bahkan, hampir mustahil untuk mampu “mengatasi” kesulitan tanpa

(43)

Guru, tetangga dan pekerja-pekerja muda juga sering

menunjukkannya, begitu pula dengan elemen-elemen lain dari

mengembangkan resiliensi. Teman sebaya dan hewan peliharaan

juga dapat berperan sebagai pembangun resiliensi bagi orang dewasa

dan anak-anak.

5. Menetapkan ekspektasi yang tinggi. Ekspektasi individu harus tinggi

dan realistis agar dapat menjadi motivator yang efektif. Walaupun

demikian, banyak anak-anak di sekolah, terutama mereka yang

diberikan banyak label di sekolah, mengalami ekspektasi yang

rendah dan juga memiliki ekspektasi yang rendah untuk dirinya.

Pihak sekolah juga mengatakan bahwa hal ini juga berlaku bagi

orang dewasa di sekolah, yang memiliki kemampuan dan potensial

yang kurang dianggap.

6. Menyediakan peluang untuk keterlibatan yang berguna. Strategi ini

berarti memberikan banyak tanggung jawab kepada siswa, keluarga

mereka, dan staff untuk hal-hal yang terjadi di sekolah, memberikan

peluang bagi mereka untuk memecahkan masalah, mengambil

keputusan, merencanakan, menetapkan tujuan dan membantu

(44)

Bagan 2

Profil Siswa dengan karakteristik Resiliensi (Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk

dalam Henderson & Milstein, 2003) Provide

after-, and in school activities. Is engaged in cooperative peer-to-peer

interactions through teaching strategies and/or school programs.

 Is positively connected to learning through cooperative learning,

service learning, peer helping, or other avenues.

 Exhibits a sense of self-efficacy in taking on new challenges

Understands and

Recieves ongoing instruction in life skills appropriate to developmental level. Has integrated the skills so

assertiveness, refusal skills, healthy conflict resolution, good decision making and problem solving, and healthy stress management are practced most of the time.

Feels that school is a caring place Has a sense of belonging

Experiences school as a community

Sees many ways to be recognized and rewarded.

Believes that any positive goal/ aspiration can be accomplished. Shows confidence in

self and others. Encourages self and

others to do “the best

possible.” Provide

(45)

B. Tuna Netra

1. Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra

Tuna netra atau seseorang dengan keterbatasan penglihatan (visual

impairment) adalah seseorang yang hanya memiliki ketajaman penglihatan 20/200

atau lebih kecil pada mata yang telah dikoreksi (misalnya dengan kacamata), atau

ketajaman penglihatannya lebih baik dari 20/200, namun jangkauan pandangnya

menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak lebih besar

dari 20 derajat. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti dimana seseorang tersebut

dapat melihat sejauh 20 kaki sedangkan orang berpenglihatan normal dapat

melihat sejauh 200 kaki. (Hallahan & Kauffman, 1991)

Somantri (2006) mengungkapkan bahwa pengertian tuna netra adalah

individu yang kedua indera penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana halnya

individu berpenglihatan normal memilikinya sebagai penerima informasi.

Individu dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:

a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang

berpenglihatan normal

b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu

c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak

d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan

(46)

Hallahan & Kauffman (1991) menggolongkan tuna netra menjadi dua

macam, yaitu:

a. Blind (Buta)

Seseorang dikatakan buta jika ia sama sekali tidak mampu menerima

rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)

b. Low vision (Penglihatan rendah)

Seseorang dikatakan memilki low vision ketika masih mampu menerima

rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih kecil dari 20/200.

Misalnya saja, ia hanya mampu membaca headline pada surat kabar.

Dengan demikian, pengertian tuna netra adalah individu yang indera

penglihatannya baik sebagian atau tidak berfungsi secara menyeluruh, sebagai

saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari layaknya orang

berpenglihatan normal atau dengan kata lain orang yang memiliki ketajaman

penglihatan kurang dari 20/200 dan setelah diberikan pertolongan khusus masih

memerlukan layanan khusus.

2. Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra

Individu yang memiliki gangguan penglihatan tentu memiliki ciri-ciri.

Irham Hosni (dalam Ishartiwi, 1998) menyebutkan ciri-ciri untuk mengenali tuna

netra yaitu:

a. Seseorang yang hanya mengenal bentuk dan objek (sedikit sisa

penglihatan)

(47)

c. Tidak dapat melihat tangan yang digerakkan

d. Seseorang yang hanya dapat menunjuk sumber cahaya

e. Seseorang yang tidak memiliki persepsi cahaya (buta total)

Somantri (2006) mengemukakan karakteristik tuna netra yang sangat

bervariasi dalam empat aspek, yang ditinjau sejak kapan individu mengalami

ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya dan

bagaimana tingkat pendidikannya.

a. Aspek kognitif

Indera penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam

menerima informasi yang datang dari luar. Melalui indera penglihatan,

seseorang mampu melakukan pengamatan pada dunia sekitarnya sehingga

menimbulkan kesan atau persepsi pada rangsang tersebut. Melalui berbagai

pengamatan, individu akan semakin kaya pengetahuannya, tidak terbatas pada

penjelasan verbal melainkan penghayatan lebih dengan mengamati berbagai

aspek dari objek secara langsung.

Pada tuna netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya

tidak dapat diperoleh secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif tuna

netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak

karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Individu tuna netra

cenderung mengandalkan indera pendengaran sebagai sumber penerima

informasi, oleh karena itu pengertian yang diperoleh pun terbatas pada

(48)

merupakan konsep yang dipahami secara verbal saja oleh individu tuna netra

(Somantri, 2006).

Pada individu tuna netra, umumnya mereka berpegang teguh pada

pendapatnya karena secara visual mereka tidak mampu menggunakan teknik

akomodasi dan asimilasi dalam mengubah struktur kognitifnya yang sudah

terbentuk sebelumnya. Selain itu, tanpa kemampuan pengamatan yang baik,

individu dapat mengalami kesulitan dalam melakukan pengklasifikasian

objek terutama jika mengacu pada bentuk, warna, ruang dan lainnya.

Lowenfeld (dalam Somantri, 2006) mengemukakan banyak hal tentang

bagaimana pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti

persepsi ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas,

inteligensi, prestasi akademik, kemampuan bicara dan kemampuan membaca.

Taraf kecerdasan tuna netra pada dasarnya tidak berbeda dengan

individu berpenglihatan normal, yaitu bagaimana individ tuna netra mengolah

dan menganalisa informasi dari lingkungan. Yang berbeda adalah

hambatannya dalam menerima informasi, persepsi dan konsepnya.

b. Aspek Motorik

Perkembangan motorik tuna netra cenderung lambat dibandingkan

dengan individu berpenglihatan normal pada umumnya. Keterlambatan ini

terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya

koordinasi fungsional antara neuromascular system, fungsi psiks (kognitif,

(49)

Keterbatasan mereka dalam melakukan pengamatan secara visual

biasanya membuat individu tuna netra memiliki hambatan dalam penyesuaian

terhadap lingkungan yang baru dan menghindari untuk melakukan eksplorasi

atau mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing. Selain itu, biasanya mereka

mengalami hambatan dalam motorik kasar seperti melompat maupun motorik

halus seperti menggengan benda, terutama dalam ukuran kecil.

c. Aspek Emosi

Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam

mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun tidak. Terdapat

beberapa variabel yang berperan dalam perkembangan emosi yaitu

oragnisme yang mencakup perubahan-perubahana fisiologis ketika

seseorang mengalami emosi, stimulus atau rangsangan yang menimbulkan

emosi dan respon terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungan.

Pengaruh belajar dari lingkungan memiliki peranan yang besar dalam

perkembangan emosi ini karena melalui proses pengamatan dan imitasi

seorang individu belajar bagaimana emosi dan pengekspresian.

Pada individu tuna netra, yang memiliki keterbatasan dalam

pengamatan, cenderung mengalami hambatan dalam mengeksprsikan emosi

secara tepat karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan secara

optimal terhadap rangsang emosi dan pengekspresian di lingkungan

sehingga proses belajar melalui imitasi jadi terhambat. Karena hal tersebut,

sering sekali ekspresi seorang tuna netra dinyatakan secara verbal. Hal ini

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Umum Responden I
tabel dan penggunaan internet
Tabel 4. Jadwal Wawancara Responden II
Tabel 6. Jadwal Wawancara Responden III
+2

Referensi

Dokumen terkait

stres akademik dengan resiliensi pada mahasiswa program pendidikan studi. kedokteran Fakultas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai hubungan antara prokrastinasi akademik dengan prestasi akademik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran semester II

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan konseling kelompok teknik restrukturing kognitif dan teknik tought stoping untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang lebih menekankan kepada proses daripada hasil dan bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil keterampilan proses sains mahasiswa dan persepsi mahasiswa pada pembelajaran berbasis kerja ilmiah pada praktikum

Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual ditinjau dari proses belajar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar kognitif ditinjau dari kemampuan akademik

Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi self-regulated learning memiliki pengaruh yang signifikan terhadap resiliensi akademik mahasiswa pascasarjana, namun