RESILIENSI AKADEMIK PADA PROSES PEMBELAJARAN
MAHASISWA TUNA NETRA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
GRACIAS ANASTASIA GABRIELLA PURBA
081301082
FAKULTAS PSIKOLOGI
SKRIPSI
RESILIENSI AKADEMIK PADA PROSES PEMBELAJARAN
MAHASISWA TUNA NETRA
Dipersiapkan oleh:
GRACIAS ANASTASIA GABRIELLA PURBA 081301082
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 1 Agustus 2013
Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Ika Sari Dewi, S.Psi, psikolog Penguji I ____________ NIP. 197809102005012001 Merangkap Pembimbing
2. Ari Widyanta, M.Si., psikolog Penguji II ____________ NIP. 197410282000121001
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul :
Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil
karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma,
kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juli 2013
Gracias Anastasia Gabriella Purba
Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra
Gracias Anastasia Gabriella Purba dan Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kehidupan akademik seorang tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum, dan bagaimana mahasiswa tersebut menyikapi serta mengatasi segala permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Henderson (2003) menyatakan bahwa resiliensi akademik seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif internal dan eksternal orang tersebut. Usaha dan solusi atas setiap kesulitan (faktor-faktor resiko) mahasiswa tuna netra tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif yang dimilikinya. Penelitian ini juga ingin melihat apa saja yang menjadi faktor resiko dan faktor protektif mahasiswa tuna netra dan bagiamana outcome akademik mahasiswa tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum.
Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan intepretasi atau analisa terhadap data dari masing-masing responden penelitian.
Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa ketiga responden dalam penelitian ini telah berhasil mengembangkan kemampuan resiliensi akademiknya. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal dimiliki oleh masing-masing responden. Ketiga responden penelitian juga menunjukkan bahwa masing-masing memiliki faktor protektif internal yang lebih kuat dibandingkan faktor protektif eksternal. Dukungan teman sebaya merupakan faktor protektif yang paling besar pada setiap responden. Dari ketiga responden penelitian, responden I yang paling banyak mengembangkan kemampuan resiliensinya dan responden II memiliki hasil akademik yang paling memuaskan.
Academic Resilience in the Learning Process of University Students
with Visual Impairments
Gracias Anastasia Gabriella Purba and Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRACT
This research is a descriptive qualitative study aimed to determine the description of academic resilience in the learning process of University students with visual impairments. Specifically, this study aims to find out about the academic life of students with visual impairment that go to college at an ordinary University, and how they deal with and overcome every problem and hurdle they meet. Henderson (2003) states that one’s academic resilience is influened by their internal and external protective factors. Each student’s effort and sollution of their problems (risk factors) are influenced by their protective factors. This study also aims to see what risk and protective factors that the students with visual impairments posses, and how their academic outcome appear to be.
There are three respondents in this study. The sampling procedure is based on theory-based/operational construct sampling. Data was obtained by interview, while using an interview guide. Afterwards, the data were coded and categorized, and then each of the respondent’s data were analyzed and interpreted.
The result of this research show that all three respondents have managed to improve their academic resilence. Each respondents own the internal and external protective factors. All three respondents also show that they have stronger internal protective factors than their external factors. Peer suport appear to be each respondents strongest protective factor. From all of the three respondents, respondent I has the most recilience factor and responden II has the best academic outcome.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah
melimpahkan berkat dan karunia yang luar biasa kepada saya dan yang telah menjadi
pembimbing utama dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana jenjang strata
satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Skripsi yang berjudul “Resiliensi Akademik pada proses Pembelajaran
Mahasiswa Tuna Netra” ini dikerjakan dengan usaha keras dan dengan harapan dapat
memberikan kontribusi terutama dalam bidang ilmu Psikologi Pendidikan, para
mahasiswa tuna netra dan seluruh masyarakat secara umum. Saya sangat menyadari
bahwa hadirnya penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak.
Sebagai ungkapan rasa syukur, dan dengan segala kerendahan hati, saya ingin
mengucapkan terima kasih dan memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU,
2. Ibu Ika Sari Dewi, S. PSi., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi saya yang
telah meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing dan membantu
penyelesaian penelitian ini hingga selesai,
3. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing seminar
saya, yang telah berperan penting dalam pengerjaan awal skripsi ini. Terima
kasih atas segala ilmu, bimbingan, kesabaran dan pengertian ibu.
4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik,
5. Pak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia
6. Bang Tarmidi, M.Psi, psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing saya,
7. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai Fakultas Psikologi USU,
8. Kedua orangtua saya, Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D dan Dra. Tetty
Aritonang. Terima kasih yang tak terhingga untuk mami dan bapak, karena telah
menjadi orangtua terbaik, yang selalu mendoakan, mendukung, memotivasi,
membantu dan mencurahkan kasih sayang yang tak berkesudahan. Terima kasih
karena telah mengesampingkan rasa kekecewaan dan mengubahnya menjadi
support yang tak henti. I love you both, more than words can describe.
9. Kedua adik saya tercinta, Giovani Purba dan Frigga Purba, yang terus
mendukung, menyemangati dan siap sedia membantu saya,
10. Ompung saya tersayang, Ny. Prof. Aritonang dan Inanguda saya, DR. Evawany Aritonang. Terima kasih atas perhatian Opung dan Inanguda yang luar biasa,
yang secara intens mendorong dan membantu semaksimal mungkin agar skripsi
ini dapat sesegera mungkin terselesaikan,
11. Keluarga besar Purba dan Aritonang, yang secara langsung maupun tidak
langsung turut berperan membantu penyelesaian skripsi ini,
12. Ketiga orang responden saya. Terima kasih telah menjadi teman-teman yang
sangat baik dan ramah serta sudah meluangkan waktu berjam-jam dan berbagi
cerita dengan saya. Tanpa kalian penelitian ini tidak ada,
13. Sahabat-sahabat kampus yang paling saya sayangi, Elka Putri Tarigan, Puti
Nilam Suri, Regina Ophelia Manurun, Vivi Fransiska Panjaitan, Dinda Hasni dan
Sabethia Marissthella Sihombing. Terima kasih untuk persahabatan kalian, terima
kita bertahan selamanya. Special Thanks kepada Vivi dan Egi yang dengan tulus hati meluangkan waktu dan tenaga ekstra dalam membantu saya merampungkan
skripsi ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian berdua.
14. Githa Priscilia Sidauruk dan Anggie Caradina Aruan, kedua sahabat terbaikku
yang selalu bisa diandalkan. Terima kasih untuk pressure dan motivasinya Sahabat-sahabat SMA lainnya, Schilman Panggabean, Joel Tarigan, Juan Carson
Marbun, Michael Frans Hasibuan, Mikhael Yudha Purba, Julian Simatupang,
Kristina Sianipar, Yunita Sinurat, Romy Askaro Bangun, David Simanungkalit,
Theodore Manurung, Putra Siregar, Sealtiel Saragih, Aran Simarmata. Thanks for the amazing friendship. You guys are the best!
15. VG Ekklesia, teman-teman gereja yang menambah keceriaan setiap Minggu.
Semoga pelayanan kita semakin baik lagi,
16. Teman-teman angkatan 2008 yang kekompakannya tak tertandingi,
17. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu, yang telah
memberikan bantuan dan dukungan dalam bentuk apapun kepada saya selama
proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk segalanya.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, saya
sangat mengharapkan masukan, kritikan dan saran yang membangun untuk dapat
digunakan sebagai perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, penulis berharap Tuhan
berkenan membalas segala kebaikan saudara semua, dan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Medan, Juli 2013
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
1. Manfaat Teoritis ... 16
2. Manfaat Praktis ... 16
E. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II LANDASAN TEORI ... 19
A.Resiliensi Akademik ... 19
1. Resiliensi ... 19
2. Resiliensi Akademik ... 20
a. Definisi ... 20
b. Model Resiliensi ... 20
c. Karakteristik Individu yang Resilien ... 22
d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal ... 23
e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi ... 25
B. Tuna Netra ... 29
1.Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra ... 29
2.Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra ... 30
3.Jenis dan penyebab gangguan penglihatan(Visual Impairment) ... 35
4. Layanan Pendidikan untuk Tuna Netra ... 37
1. Definisi ... 39
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ... 40
D. Sistem Pendidikan Tinggi ... 45
E. Resiliensi Akademik terhadap Proses Pembelajaran Mahasiswa.... Tuna Netra ... 48
F. Paradigma Teoritis ... 53
BAB III METODE PENELITIAN ... 54
A. Pendekatan Kualitatif ... 54
B. Responden Penelitian ... 55
C. Metode Pengumpulan Data ... 57
D. Alat Bantu Pengambilan Data ... 58
1. Pedoman Wawancara ... 59
2. Pedoman Observasi ... 59
3. Alat Perekam (tape recorder)... 60
E. Kredibilitas Penelitian ... 60
F. Prosedur Penelitian ... 63
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 63
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 63
3. Tahap Pencatatan Data ... 64
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Responden I ... 66
1. Identitas Diri ... 66
2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 66
3. Gambaran Umum Responden 1 ... 67
4. Data Observasi Selama Wawancara ... 69
5. Analisa Data Wawancara ... 77
B. Responden II ... 128
1. Identitas Diri ... 128
2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 128
3. GambaranUmum Responden II ... 128
4. Data Observasi Selama Wawancara ... 131
5. Analisa Data Wawancara ... 136
C. Responden III ... 184
2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 184
3. Gambaran Umum Responden III ... 184
4. Data Observasi Selama Wawancara ... 187
5. Analisa Data Wawancara ... 192
D. Pembahasan ... 235
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 260
A. Kesimpulan ... 260
B. Hasil Tambahan ... 265
C. Saran ... 266
DAFTAR PUSTAKA ... 269
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Deskripsi Umum Responden I ... 66
Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden I ... 66
Tabel 3 Deskripsi Umum Responden II ... 128
Tabel 4 Jadwal Wawancara Responden II... 128
Tabel 5 Deskripsi Umum Responden III ... 184
Tabel 6 Jadwal Wawancara Responden III ... 184
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Bagan 1 Model Resiliensi ... 22 Bagan 2 Profil Siswa dengan Karakteristik Resiliensi ... 28 Bagan 3 Paradigma Teoritis ... 53 Bagan 4 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran
Responden I ... 126
Bagan 5 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran
Responden II ... 182
Bagan 6 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran I (Pedoman Wawancara) ... 273
Lampiran II (Lembaran Observasi) ... 276
Lampiran III (Lembar Persetujuan) ... 278
Lampiran IV (Verbatim Wawancara) ... 280
Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra
Gracias Anastasia Gabriella Purba dan Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kehidupan akademik seorang tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum, dan bagaimana mahasiswa tersebut menyikapi serta mengatasi segala permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Henderson (2003) menyatakan bahwa resiliensi akademik seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif internal dan eksternal orang tersebut. Usaha dan solusi atas setiap kesulitan (faktor-faktor resiko) mahasiswa tuna netra tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif yang dimilikinya. Penelitian ini juga ingin melihat apa saja yang menjadi faktor resiko dan faktor protektif mahasiswa tuna netra dan bagiamana outcome akademik mahasiswa tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum.
Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan intepretasi atau analisa terhadap data dari masing-masing responden penelitian.
Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa ketiga responden dalam penelitian ini telah berhasil mengembangkan kemampuan resiliensi akademiknya. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal dimiliki oleh masing-masing responden. Ketiga responden penelitian juga menunjukkan bahwa masing-masing memiliki faktor protektif internal yang lebih kuat dibandingkan faktor protektif eksternal. Dukungan teman sebaya merupakan faktor protektif yang paling besar pada setiap responden. Dari ketiga responden penelitian, responden I yang paling banyak mengembangkan kemampuan resiliensinya dan responden II memiliki hasil akademik yang paling memuaskan.
Academic Resilience in the Learning Process of University Students
with Visual Impairments
Gracias Anastasia Gabriella Purba and Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRACT
This research is a descriptive qualitative study aimed to determine the description of academic resilience in the learning process of University students with visual impairments. Specifically, this study aims to find out about the academic life of students with visual impairment that go to college at an ordinary University, and how they deal with and overcome every problem and hurdle they meet. Henderson (2003) states that one’s academic resilience is influened by their internal and external protective factors. Each student’s effort and sollution of their problems (risk factors) are influenced by their protective factors. This study also aims to see what risk and protective factors that the students with visual impairments posses, and how their academic outcome appear to be.
There are three respondents in this study. The sampling procedure is based on theory-based/operational construct sampling. Data was obtained by interview, while using an interview guide. Afterwards, the data were coded and categorized, and then each of the respondent’s data were analyzed and interpreted.
The result of this research show that all three respondents have managed to improve their academic resilence. Each respondents own the internal and external protective factors. All three respondents also show that they have stronger internal protective factors than their external factors. Peer suport appear to be each respondents strongest protective factor. From all of the three respondents, respondent I has the most recilience factor and responden II has the best academic outcome.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses perubahan di dalam tingkah laku, sebagai
hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
yang terjadi dalam kepribadian setiap manusia dan ditampakkan dalam bentuk
peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku manusia (Hemalik, 2004).
Ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan, berdasarkan modifikasi definisi
dari Gregory A. Kimble, maka belajar merupakan perubahan perilaku atau potensi
perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa
dinisbahkan ke temporary body states (keadaan tubuh temporer) seperti keadaan
yang disebabkan oleh sakit, keletihan, dan obat-obatan (Hergenhahn & Olson,
2008).
Secara umum, ada banyak hal yang dapat dijadikan contoh terkait belajar. Secara formal dan akademis, belajar dikenal dengan istilah “pembelajaran”.
Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses belajar yang baik bagi peserta
didik (Hergenhahn & Olson, 2008).
Setiap orang di dunia akan mengalami proses belajar maupun pembelajaran,
dimana setiap proses yang dilalui juga berbeda, tergantung pada masing-masing
Menengah dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat pada tahun 2000,
menunjukkan sekitar 9 % dari seluruh siswa tersebut diidentifikasi mengalami
hambatan perkembangan belajar. Di Indonesia sendiri, kasus ini jumlahnya lebih
banyak, yaitu sekitar 10 – 15 % dari seluruh siswa Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama (Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan
Pengembangan, 2003).
Hambatan belajar yang dihadapi setiap individu juga berbeda, begitu pula
dengan kemampuan masing-masing individu dalam mengatasinya. Hambatan
belajar yang dihadapi individu normal pada umumnya akan dipengaruhi oleh
berbagai faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, misalnya lingkungan,
sistem pendidikan, orang tua, guru atau teman-teman, dan faktor internal, seperti
disfungsi sistem saraf pusat. Hambatan tersebut juga dapat terjadi bersamaan
dengan hambatan maupun gangguan lainnya, misalnya hambatan penginderaan
seperti tuna netra, tunarungu, keterbelakangan mental, hambatan sosial dan emosi – yang dikenal juga dengan istilah anak berkebutuhan khusus (Hidayat, 2009).
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang membutuhkan pendidikan
dan layanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh
akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Perbedaannya
meliputi ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromaskular, perilaku
sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, ataupun kombinasi dua atau
lebih dari berbagai hal tersebut. Anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan
menjadi tuna netra (gangguan penglihatan), tuna rungu (gangguan pendengaran),
(gangguan fisik), tuna laras (gangguan emosi dan perilaku) dan tuna ganda
(memiliki dua atau lebih gangguan) (Hallahan & Kauffman, 1991).
Semua jenis anak berkebutuhan khusus memiliki ciri-ciri dan
pengklasifikasiannya masing-masing. Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan
anak-anak normal yang tidak memiliki gangguan, baik itu dari segi fisik maupun
psikis. Setiap jenis anak berkebutuhan khusus juga memiliki masalah yang
berbeda-beda dan dampak yang berbeda pula bagi penyandangnya. Salah satu hal
yang cukup membedakan, diluar dari perbedaan dalam hal fisik adalah dalam
proses belajarnya. Pada dasarnya, setiap anak berpotensi untuk mengalami
gangguan dalam belajar, namun masalah tersebut ada yang ringan dan ada pula
yang berat. Beberapa gangguan belajar tidak begitu memerlukan perhatian khusus
dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan. Di lain
pihak ada juga yang masalah belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan
perhatian dan bantuan orang lain (Suryaningsih, 2011).
Individu berkebutuhan khusus tidak selalu memiliki gangguan atau
kesulitan yang sangat tinggi dalam belajar. Pada saat berintegrasi dalam sistem
belajar reguler bersama dengan anak sebaya lainnya yang tidak memiliki
gangguan fisik maupun psikis, maka ada hal-hal tertentu yang perlu mendapatkan
perhatian khusus dari guru, sekolah maupun orang terdekatnya. Oleh sebab itu
masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus memiliki strategi layanan
pembelajaran yang berbeda pula (Suryaningsih, 2011).
Proses belajar di sekolah maupun institusi lainnya menuntut adanya
mencecap dalam mendukung segala aktifitasnya. Menurut Sistem Pendidikan
Tinggi oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya, contoh kegiatan mahasiswa
antara lain adalah menyelesaikan 144 – 160 SKS, selama delapan sampai dua
belas semester, memperhatikan ceramah atau presentasi dosen, bergabung dalam
diskusi, mengerjakan tugas lisan atau tulisan, mengikuti ujian semester, mengikuti
praktik dan berbagai hal lainnya. Ada beberapa kegiatan yang membutuhkan
softskill mahasiswa dan yang melibatkan penggunaan media seperti proyektor,
papan tulis, radio, televisi, ataupun berbagai alat teknologi lainnya. Untuk hasil
yang maksimal, kelengkapan panca indera akan sangat penting, Namun dari
semua indera yang ada, kemampuan untuk melihat merupakan salah satu yang
paling penting.
Teori Persepsi menyatakan bahwa persepsi visual merupakan topik utama
dalam pembahasan persepsi secara umum, dan sekaligus merupakan persepsi yang
umumnya paling sering dibicarakan dalam konteks sehari-hari. Persepsi adalah
proses individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorisnya guna
memberikan arti bagi lingkungannya. Persepsi visual adalah kemampuan manusia
untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh mata. Hasil dari
persepsi ini yang disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau vision).
Perilaku individu sendiri sering didasarkan pada persepsi individu tersebut
terhadap kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri (Robbins, 2003).
Penyandang tuna netra merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus
yang memiliki masalah dalam penglihatan karena hilangnya fungsi indera visual
tuna netra menggunakan indera non-visual lainnya yang masih berfungsi seperti
indera pendengaran, perabaan, pembau dan perasa (pencecapan) (Blackhurt &
Berdine, 1981; Knededler, 1984).
Jumlah penderita anak berkebutuhan khusus di Indonesia oleh WHO (World
Health Centre) pada tahun 2007 diperkirakan berkisar 7%, yang berarti sekitar
enam juta dari seluruh penduduk Indonesia menderita cacat, dengan usia 0-18
tahun. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah
penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk, atau sekitar
1,5 juta jiwa, dan hanya 14.4% saja yang tercatat terdaftar di Sekolah Luar Biasa
(SLB). Menurut laporan dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2000,
populasi tunanetra di Indonesia mencapai 1,5% dari jumlah penduduk.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada
tahun 2000, tercatat jumlah anak tuna netra usia sekolah yang bersekolah hanya
sekitar 0,87%. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang
membuat tunanetra mengalami kesulitan atau tidak mampu untuk mengikuti
proses belajar, selayaknya anak-anak pada umumnya.
Lowenfeld (dalam Friend, 2005) menggambarkan dampak kebutaan (totally
blind) atau kurang lihat (low vision) terhadap perkembangan kognitif, dengan
mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar dalam tiga area yaitu berdasarkan
tingkat dan keragaman pengalaman, kemampuan untuk berpindah tempat, dan
penglihatan dalam interaksi dengan lingkungan. Ketiga area tersebut sangat
mempengaruhi perkembangan kognitif individu tuna netra. Disamping itu,
secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif anak tuna netra cenderung
terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu
dengan pengamatan visual. Contoh yang paling mudah misalnya dalam
memperlajari hal-hal seperti konsep menolong, membantu, bertoleransi, dan
berbagai konsep lainnya. Selain mempengaruhi perkembangan kognitif,
ketunanetraan juga berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan akademis
(Djahardja, 2008), atensi, dan mengurangi kemampuan fungsi anggota tubuh lain
seperti kaki dan tangan (Sternberg, 2006).
Ditinjau dari segi kecerdasan, sebagian besar tuna netra tidak dipengaruhi
oleh ketunaannya, kecuali bagi yang mengalami ketunaan ganda (double
handicapped), namun tuna netra mengalami kesulitan dalam pembentukan
ataupun penerimaan gagasan yang bersifat abstrak (Blackhurts & Berdine, 1981;
Knededler, 1984). Penelitian oleh Ishartiwi (1991) terkait dengan kesulitan
penerimaan konsep abstrak tersebut, menunjukkan bahwa pemberian layanan
pendidikan bagi tuna netra sangat tergantung dari kondisi berat atau ringannya
kelainan yang disandang. Di sisi lain, kondisi saat terjadinya ketunanetraan juga
perlu diperhatikan dalam memberikan layanan. Kebutaan yang disandang sejak
lahir akan lebih sedikit memperoleh pengalaman tentang konsep dibandingkan
dengan kebutaan pada masa anak, remaja dan setelah dewasa. Bagi tuna netra
yang mengalami kebutaan pada masa pasca lahir, sudah menyimpan pengalaman
dalam memorinya, sehingga sudah memiliki persepsi tentang berbagai konsep.
Dalam kesehariannya, tuna netra banyak mendapatkan rintangan dan
dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan perilaku dan kehidupannya. Bukan hanya aspek kognitif, namun
aspek motorik, emosi dan sosialnya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ini
(Somantri, 2006).
Hambatan lainnya dalam belajar sosial biasanya berkaitan dengan
ketidakmampuan individu untuk memahami perasaan orang lain dan hambatan
dalam melakukan imitasi dan identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai
masyarakat. Tantangan demi tantangan yang dihadapi sedikit banyak
mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan. Ishartiwi (1991) menyatakan
bahwa pendekatan pembelajaran yang tepat bagi tuna netra menerapkan prinsip
verbal maupun lisan, pengalaman konkrit maupun kontak langsung, dan stimulasi.
Langkah dalam intervensi meliputi pemeriksaan penglihatan, assesmen kesiapan
fisik, emosi, dan intelektual, dan assesmen kemampuan aktivitas sehari-hari,
pelatihan orientasi mobilitas, dan latihan indera non-visual serta latihan
pra-membaca dan pra-membaca Braille.
Terlepas dari berat atau ringannya masalah dan hambatan yang dihadapi
dalam proses belajar, hal-hal inilah yang dapat menjadi stressor bagi seseorang
dalam menjalani proses belajarnya, dan berpotensi menimbulkan stress bagi
mereka. Menurut Weiten (dalam Sulistyaningsih, 2009), reaksi orang
berbeda-beda terhadap stressor. Stress yang dialami dapat memberi pengaruh dalam tiga
tingkatan yaitu respon fisiologis seperti arousal otonomik, fluktuasi hormonal,
perubahan neurokimia; respon emosional, seperti jengkel, marah, cemas, takut,
menyalahkan diri sendiri, mencari bantuan, memecahkan masalah dan melepaskan
emosi (Sulistyaningsih, 2009).
Berdasarkan ketiga respon tersebut, maka stressor dapat memberikan
outcome yang berbeda-beda bagi setiap individu. Bagi kebanyakan orang, stressor
dapat menjadikan seseorang stress, depresi atau bahkan menimbulkan penderitaan
atau trauma yang patologis, namun sebenarnya ada juga orang yang justru dapat
bangkit dan memperjuagkan kesejahteraan (well-being) hidupnya. Para ahli telah
melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa ada kekuatan-kekuatan pada diri
setiap manusia yang dapat membantu dirinya melewati badai kehidupan, yang
mana salah satunya disebut dengan istilah resilence (resiliensi). (Weiten, 2004)
Berkaitan dengan hambatan-hambatan proses belajar yang dihadapi para
anak berkebutuhan khusus, resiliensi ini sangat dibutuhkan. Resiliensi merupakan
kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun
mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang
pasti akan pernah mengalami kesulitan maupun sebuah masalah dan tidak ada
seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg,
1995). Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi
adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi
kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup
sehari-hari. Kualitas inilah yang dibutuhkan oleh setiap individu berkebutuhan
khusus dalam menghadapi berbagai situasi sulit di dalam hidupnya.
Berdasarkan Grotberg (1995) ada tiga kemampuan atau tiga faktor resiliensi
digunakan istilah “I have”.Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi
digunakan istilah “I am”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan
istilah “I can”. Masing-masing dimensi ini memiliki sumber kekuatannya
masing-masing.
Reivich dan Shatte (2002) juga mengemukakan adanya beberapa
kemampuan yang bisa mengungkap kemampuan resiliensi pada individu yaitu
regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis dan penyebab
masalah, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Kemampuan-kemampuan ini
yang membantu seorang individu untuk mempertahankan hidupnya ketika
menghadapi kesulitan, demikian pula mahasiswa yang berjuang di kampus.
Pada era globalisasi ini, institusi pendidikan berupa sekolah atau perguruan
tinggi banyak mendapatkan tantangan dalam hal memastikan bahwa setiap peserta
didiknya mendapatkan kesuksesan dan prestasi belajar yang baik dalam masa
belajarnya (Henderson, 2003). Hal ini juga berdampak pada banyaknya tuntutan
yang diterima seorang siswa untuk menunjang prestasi akademiknya, sehingga
stressor, hambatan dan masalah juga terlibat dalam proses belajar seseorang. Oleh
sebab itu resiliensi juga diperlukan dalam bidang ini, yang disebut dengan
resiliensi akademik.
Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dan dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali, beradaptasi dengan sangat
baik melawan kesulitan (adversity), dan mampu mengembangkan kompetensi
stress ringan yang dihadapi. Dari definisi ini jelas terlihat bahwa setiap peserta
didik, muda maupun tua perlu mengembangkan resiliensi (Henderson, 2003).
Dalam resiliensi akademik, ada yang dikenal dengan istilah faktor resiko
dan faktor protektif. Faktor resiko merupakan hal-hal yang mempengaruhi respon
individu ke arah menurunnya kondisi kesehatan fisik dan mental. Faktor protektif
adalah hal-hal yang dapat memperkecil dampak stres pada kesehatan fisik dan
mental atau yang melindungi individu dari kemungkinan menurunnya kondisi
kesehatan mental akibat stres (Sulistyaningsih, 2009). Semua faktor-faktor inilah
yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi terpuruk atau malah bangkit
dan menjadi lebih baik.
Tuna netra yang tidak mendapatkan pendekatan pembelajaran yang tepat,
memiliki kemungkinan besar menghadapi banyak kesulitan. Berbeda dengan
individu yang berkesempatan bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), individu
yang hanya bersekolah di sekolah umum tidak mendapatkan fasilitas dan sistem
pembelajaran yang selayaknya mereka terima. Hal serupa terjadi pula pada
individu tuna netra yang beranjak remaja dan memasuki jenjang perkuliahan, dan
menjadi mahasiswa.
Ada banyak anggapan mengenai arti “maha” pada “mahasiswa”, namun
secara umum menyiratkan bahwa seorang mahasiswa sudah berada pada tingkat
yang paling tinggi, serta mengalami proses belajar yang tak henti dan terus
berulang. Menurut Tarsidi (2006), agar inidividu tuna netra dapat berhasil dalam
mencapai kemandirian, mereka memerlukan pendidikan yang tepat. Pembentukan
berbagai teknik alternatif, memungkinkannya untuk melakukan kegiatan
kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, mampu mengatasi
masalah-masalah sosial, serta mampu menampilkan diri secara wajar dalam pergaulan.
Berkuliah sebagai seorang tuna netra merupakan sebuah tantangan berat.
Namun fakta menunjukkan bahwa ada banyak tuna netra yang justru memiliki
kemampuan lebih dalam bidang yang mereka ambil. Tak sedikit pula yang bahkan
sampai dikenal bangsa bahkan dunia. Sebut saja para musisi hebat, seperti Stevie
Wonders, Ray Charles, dan Andrea Bocelli. Anak bangsa juga sudah banyak yang mengukir prestasi. Dalam acara televisi “Kick Andy”, pernah ditampilkan
sejumlah orang tuna netra yang berhasil mencapai cita-citanya dan sukses. Mimi
Mariani Lusli, kehilangan penglihatan sejak kelas 4 SD, telah menyelesaikan
pendidikan S2 di Universitas Indonesia, melanjutkannya di University of Leads di
Inggris, dan sekarang sedang melanjutkan kuliah kedokterannya di Faculty of
Earth and Life Sciences Universities of Amsterdam di Belanda. Tak hanya itu
Mimi juga aktif dalam berbagai lembaga sosial yang membantu penyandang
cacat. Kisah sukses jika dimiliki Tolhas Damanik, penyandang tuna netra sejak
lahir. Tolhas telah menyelesaikan gelar masternya di Universitas Ohio, Amerika
Serikat dan sekarang telah kembali ke tanah air menjadi konsultan pendidikan di
lembaga non-profit. Saharudin Daming, seorang yang mengalami kebutaan sejak
berumur 10 tahun, menjadi penyandang tuna netra pertama yang menjadi Doktor
di bidang hukum. Ramaditya Adikara, seorang blogger tuna netra yang pertama
menjadi salah satu tempat mengukir prestasi bagi dua orang penyandang tuna
netra yang masih sangat muda, bernama Michael Anthony (7 tahun) dan Ade
Irawan (15 tahun). Michael adalah pianis termuda tuna netra dan autis yang
mampu menguasai lebih dari seratus lagu, mulai dari aliran klasik hungga pop.
Sementara Ade sudah malang melintang di dunia jazz dan blues hingga ke
Chicago Amerika, Serikat. Mereka ini merupakan segelintir orang yang
membuktikan bahwa keterbatasan panca indera, khususnya mata, beserta dengan
segala kesulitan-kesulitan hidupnya tidak lantas menjadi penghalang bagi
seseorang untuk berkarya, jika mereka memiliki resiliensi yang kuat dalam
menjalankan kehidupannya.
Dewasa ini, sistem belajar di dunia perkuliahan sudah semakin
berkembang dan dipenuhi dengan teknologi. Untuk mahasiswa pada umumnya hal
ini sangat membantu, namun tidak selalu demikian dengan mahasiswa tuna netra.
Pada dasarnya saja, mahasiswa tuna netra sudah memiliki kekurangan yaitu
penglihatan. Media, sarana dan prasarana, serta sistem belajar yang digunakan
dalam perkuliahan juga dapat semakin menambah kendala dalam proses
belajarnya. Misalnya saja dalam bidang musik. Berdasarkan penjabaran
mengenai kompetensi dasar untuk mata pelajaran musik dari Depdiknas (2003:9),
sebenarnya kepekaan inderawi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran
musik. Tidak hanya penglihatan, namun juga pendengaran, perabaan, serta
kemampuan untuk berbicara dan mengolah vokal juga sangat penting. Dalam hal
ini, tuna netra memiliki keterbatasan dalam memenuhi kompetensi dasar tersebut,
secara tidak langsung juga tidak leluasa dan maksimal dalam menggunakan
anggota tubuh lainnya dan dalam mempraktekkan penggunaan alat musik. Selain
itu proses pembelajaran musik yang bersifat teoritis serta proses mengenal dan
mempelajari not balok dan pembacaan partitur juga sulit. Hal ini juga sejalan
dengan yang dikatakan oleh FL, mahasiswa di bidang musik (pria, 25 tahun):
“Saya di kampus kan main biola. Nah kalau teman-teman saya biasanya langsung dikasih partitur, trus langsung latihan disitu. Kalau saya kan gak bisa. Jadi biasanya saya harus rekam dulu, lalu saya dengar dirumah baru pelajarin melodinya sendiri. Pas dikampus barulah belajar harmonisasinya”
(Komunikasi personal, 10 November 2012)
Di sisi lain, keterbatasan tuna netra dalam penglihatan, secara tidak
langsung mengasah kepekaan indera lainnya yang berfungsi dengan baik, seperti
pendengaran dan perabaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya unsur
pendengaran dan perabaan juga berperan penting dalam proses pembelajaran. Hal
ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh SA, seorang mahasiswa di Fakultas
Sastra Inggris (wanita, 19 tahun):
“...yaa kalau mengikuti pelajaran bisa-bisa aja, karena aku suka merekam kak. Jadi ngandalin kupinglah. Aku kan kalau ngeliat gak bisa, jadi lebih banyak mendengar. Pas pakai laptop juga gitu, uda di program jadinya bunyi”.
(Komunikasi personal, 15 September 2012)
Perguruan Tinggi pada umumnya tidak menyediakan secara spesifik
fasilitas yang dapat mendukung proses belajar tuna netra, dimana hal ini dapat
menjadi suatu rintangan untuk mereka. Bertolak dari Undang-undang 1945 pasal
31, disusun undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
bahwa “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental berhak
memperoleh pendidikan”, dan pada ayat (2) dinyatakan “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang
diatur dalam undang-undang. Namun kondisi yang justru terjadi di lapangan
adalah mahasiswa tuna netra mengalami kesulitan karena mereka harus mengikuti
kurikulum dan peraturan yang berlaku tanpa adanya bantuan atau pembimbing
khusus. Hal-hal lain seperti pengerjaan tugas, ujian semester, praktik, dan
sebagainya juga turut menambah kendala dalam proses belajar mereka.
Mahasiswa tuna netra yang berkuliah di tempat tersebut mau tidak mau harus
berhadapan dengan tekanan-tekanan tersebut, dan dapat mempengaruhi mereka
secara negatif. Di lain sisi, pada kenyataannya, ada juga mahasiswa-mahasiswa
tuna netra yang mampu untuk menjadi orang yang berprestasi, yang memiliki
mobilitas tinggi, yang memiliki pergaulan luas, dan tidak sedikit yang memiliki
segudang talenta.
Seorang mahasiswa yang mampu untuk bangkit dan termotivasi menjadi
lebih baik akan mampu untuk mematahkan rintangan-rintangan yang dihadapinya.
Ketunanetraan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa tuna netra tidaklah sama,
sehingga proses untuk bertahan juga pasti berbeda-beda, karena kualitas resiliensi
setiap orang juga berbeda (Grotberg, 1995).
Resiliensi yang terbentuk pada setiap individu dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal dan internal yang dimiliki individu tersebut. Beberapa faktor-faktor
utama yang dapat mempengaruhi resiliensi seseorang antara lain adalah keluarga
budaya yang ada di lingkungannya dan juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu
dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putera-puterinya (Monks,
Knoers dan Haditono, 1994). Hal ini juga tergambar dari pernyataan AS (pria, 25
tahun):
“..emm kalau ditanya siapa yang paling berperan dalam membuat aku jadi kuat kek gini, yang pasti orang tuaku sama para suster dan pastur dulu waktu di asrama. Mereka semua ga memanjakan aku, atau terus-terusan membantu semua-semua, tapi aku dibantu untuk bisa mandiri dan mengerjakan apa-apa sebisa mungkin sendiri. Pada akhirnya, yang tadinya ga bisa makan sendiri, mandi sendiri ya kan jadinya bisa”
(Komunikasi personal, 10 November 2012)
Bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya, terkhusus
dalam hal ini, individu tuna netra, sudah pasti sangat mempengaruhi kemampuan
resiliensi dirinya. Seiring waktu, resiliensi juga dapat semakin terbentuk
berdasarkan tahapan resiliensi, yaitu overcome, steer through, bouncing back dan
reach out (Revich dan Shatte, 2002). Terkait dengan usaha mahasiswa tuna netra
untuk bertahan, berkenaan dengan proses belajarnya di kampus dan juga di
kehidupannya sehari-hari, mereka juga memiliki resiliensi. Resiliensi yang
dimilikinya bukan hanya dipengaruhi oleh keluarga dan pola asuh orang tua,
namun juga dapat dibentuk oleh faktor resiko, protektif, faktor internal maupun
eksternal lainnya. Disini peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra,
yang mencakup:
1. Apa saja yang menjadi faktor-faktor resiko yang dimiliki oleh
mahasiswa tuna netra?
2. Apa saja yang menjadi faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh
mahasiswa tuna netra?
3. Bagaimana outcome akademik mahasiswa tuna netra?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana resiliensi akademik pada proses pembelajaran
mahasiswa tuna netra.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu
pengetahuan di bidang Psikologi, terutama bidang Pendidikan, begitu pula
dengan institusi pendidikan, terkait dengan proses pembelajaran mahasiswa
tuna netra.
2. Manfaat Praktis
a. Secara umum memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh
masyarakat perihal resiliensi terhadap proses pembelajaran yang meliputi
kegiatan akademik, pergaulan sosial, serta emosi mahasiswa tuna netra.
b. Secara khusus memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh
mahasiswa tuna netra perihal dinamika resiliensi akademik terhadap
proses pembelajaran di Perguruan Tinggi.
c. Menambah wawasan baru bagi para orang tua yang memiliki anak
dengan keterbatasan penglihatan, untuk kemudian dapat semakin
mendorong dan meningkatkan kemampuan belajar sang anak.
d. Memberi pengetahuan bagi institusi pendidikan, dalam memfasilitasi
kebutuhan para tuna netra. Misalnya dengan menyediakan alat-alat bantu
seperti Braille, alat perekam, dosen pembimbing khusus, ataupun
alternatif-alternatif lain yang dapat lebih membantu ketertinggalan para
mahasiswa tunanetra.
e. Menjadi kontribusi bagi subjek penelitian dalam mendorong dan
meningkatkan kemampuan resiliensi akademik para mahasiswa tuna
netra dalam proses belajar di Perguruan Tinggi.
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjauan dan teori-teori yang
menjelaskan dan mendukung data penelitian. Teori yang
akan diuraikan pada bab ini adalah teori resiliensi.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini memberi penjelasan tentang alasan penggunaan
pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode
pengambilan data, alat bantu pengumpulan data,
kredibilitas penelitian serta prosedur penelitian.
BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi deskripsi data dari hasil wawancara yang
dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut
dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan
penelitian.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang bersisi hasil dari penelitian
yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran
praaktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan
mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh,
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Resiliensi Akademik 1. Resiliensi
Shatte dan Revich (2002) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan
untuk berespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi rintangan atau
trauma. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2003) resiliensi adalah sikap ulet
dan tahan banting yang dimiliki seseorang ketika dihadapkan dengan keadaan
yang sulit.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk
menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika menghadapi rintangan dan
hambatan. Resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan
pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber
yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilience
(resilien) dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan
dan hambatan dalam hidupnya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi
adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi rintangan dan
2. Resiliensi Akademik a. Definisi
Secara umum, resiliensi dapat dimanfaatkan oleh setiap individu dalam
melawan berbagai problematika hidup. Namun jika berbicara dalam ruang lingkup
akademis, resiliensi dapat lebih dispesifikkan menjadi resiliensi akademik.
Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dimana
banyak ditemukan di institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi.
Resiliensi ini merupakan sebuah karakteristik yang memiliki
perbedaan-perbedaan pada setiap orang dan dapat semakin meningkat ataupun menurun
seiring berjalannya waktu (Henderson, 2003).
Menurut Rirkin dan Hoopman (dalam Henderson, 2003), berkaitan dengan
pengembangan resiliensi dalam lingkungan belajar, resiliensi akademik
didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk bangkit, pulih, dan berhasil
beradaptasi dalam kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik
dan keterampilan, terlepas dari tingkat stress yang dihadapinya.
b. Model Resiliensi
Richardson, Neiger, Jensen & Kumpfer (dalam Henderson, 2003)
membentuk sebuah model resiliensi yang menunjukkan bahwa ketika seorang
individu mengalami kesulitan, pada umumnya individu tersebut akan memiliki
karaktersitik internal dan eksternal berupa faktor-faktor protektif, yang akan dapat
mengurangi faktor resiko (kesulitan-kesulitan) yang dihadapi. Dengan “proteksi” yang cukup, individu tersebut akan mampu beradaptasi terhadap kesulitan itu
dapat beralih ke zona nyaman atau yang disebut homeostatis, atau bahkan dapat
lebih meningkat pada level resiliensi yang lebih tinggi karena adanya
pembentukan kekuatan emosional dan mekanisme coping yang sehat selama
proses mengatasi faktor-faktor resiko tersebut. Di lain pihak, tanpa adanya
proteksi yang cukup, seorang individu dapat langsung terjerumus dalam gangguan
psikologis, dan kemudian seiring waktu keluar dari gangguan tersebut. Namun
perlu dicatat, ketersediaan faktor-faktor protektif individulah yang akan
mengarahkan individu tersebut pada tipe reintegrasi yang mereka alami.
Reintergrasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyalahgunaan
alkohol, narkoba, percobaan bunuh diri, ataupun karakteristik-karakteristik negatif
lainnya, dan pada akhirnya dapat berujung pada reintegrasi yang buruk atau baik.
Model resilliensi pada gambar 1 menunjukkan bahwa adversitas tidak secara otomatis mengarahkan individu pada disfungsi, namun juga dapat menuju
sejumlah outcome lainnya, dan bahkan seiring waktu dapat meningkatkan
kemampuan resiliensi seseorang, seiring berjalannya waktu. Richardson (dalam
Henderson, 2003) mengatakan bahwa resiliensi ini dapat diterapkan dalam setiap
orang, dan bahwa ini merupakan sebuah proses dalam hidup.
Lingkungan juga sangat penting terhadap resiliensi individu dalam dua hal.
Pertama, faktor-faktor protektif internal yang membantu individu menjadi resilien
dihadapan stressor dan tantangan, sering kala merupakan dampak dari kondisi lingkungan yang mengembangkan karakteristik ini. Kedua, selain stressor dan
tantangan yang dihadapi individu, lingkungan juga berkontribusi dalam reaksi
Bagan 1 Model resiliensi
(Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson & Milstein, 2003)
c. Karakteristik Individu yang Resilien
Anak yang resilien dan orang dewasa yang resilien pada umumnya
tampaknya sama. Bernard (1991) menyatakan karakter anak yang resilien adalah
memiliki kompetensi sosial, memiliki life skills seperti mampu memecahkan
masalah, mampu berpikir kritis, dan mampu untuk mengambil inisiatif. Lebih
Stressors Adversity
Risks
Individual and Environmental Protective Factors
Disruption Reintegration
jauh lagi dikatakan bahwa anak yang resilien memiliki sense of purpose dan dapat
melihat masa depan yang cerah pada dirinya. Mereka memiliki ketertarikan
khusus, tujuan hidup, dan motivasi untuk meraih yang terbaik dalam sekolah.
Higgins (dalam Henderson 2003) memberi karakter yang hampir serupa
pada orang dewasa yang resilien, dengan menekankan pada hubungan positif
mereka, kemampuan baik dalam memecahkan masalah, dan motivasi untuk
peningkatan diri. Motivasi pendidikan juga sangat jelas terlihat pada orang
dewasa, yang dibuktikan dengan pencapaian pendidikannya. Orang dewasa sering
dengan sengaja melibatkan diri dalam perubahan dan aktivitas sosial dan secara
umum memiliki keyakinan serta kehidupan spiritual dan keagamaan. Kebanyakan
dari orang dewasa yang resilien mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam
mengambil hikmah dan kebaikan dari segala stres, trauma dan tragedi yang
pernah dialami. Walau demikian, Higgins juga menggarisbawahi bahwa banyak
orang dewasa yang merasa dirinya resilien mengatakan bahwa ketika mereka
masih anak-anak, kurang menyadari adanya resiliensi dalam diri mereka ataupun
orang lain, pada masa kanak-kanaknya (Henderson, 2003).
d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Richardson (dalam Henderson, 2003),
Faktor Protektif Internal adalah karakteristik individu yang membentuk resiliensi:
1. Bersedia melayani orang lain
2. Menggunakan life skills, termasuk pengambilan keputusan yang
3. Sosialibilitas; kemampuan untuk menjadi teman; kemampuan untuk
membetuk hubungan yang postitf
4. Memiliki selera humor
5. Internal locus of control
6. Otonomi; kemandirian
7. Memiliki sudut pandang positif tentang masa depan
8. Fleksibilitas
9. Memiliki kapasitas untuk belajar
10. Motivasi diri
11. Memiliki keahlian; kompetensi personal
12. Memiliki perasaan self-worth dan kepercayaan diri
Faktor Protektif Eksternal adalah karakteristik keluarga, sekolah, komunitas dan
kelompok teman sebaya yang mengembangkan resiliensi:
1. Memiliki ikatan yang kuat
2. Menjunjung tinggi pendidikan
3. Menggunakan gaya interaksi yang penuh kehangatan dan tidak
menghakimi
4. Membuat batasan-batasan yang jelas (peraturan, norma dan hukum)
5. Mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain
6. Melestarikan tanggung jawab, saling melayani, “required helpfullness”
7. Menyediakan akses akan kebutuhan dasar rumah tangga, pekerjaan,
8. Menunjukkan harapan kesuksesan yang tinggi dan realistis
9. Mendorong pembuatan tujuan dan mastery
10. Mendorong perkembangan prososial akan nilai-nilai (misalnya
altruisme) dan life skills (misalnya kerja sama)
11. Menyediakan kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan
kesempatan-kesempatan lain untuk partisipasi yang berarti.
12. Menghargai talenta unik dari masing-masing individu
e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi
Teori resiliensi dan faktor resiko menekankan bahwa sekolah merupakan
lingkungan yang penting dalam mengembangkan kemampuan individu untuk
bangkit dari kesulitan, beradaptasi terhadap tekanan dan masalah-masalah yang
dihadapi, dan juga mengembanagkan kompetensi-kompetensi sosial, akademik
dan keterampilan, yang sangat diperlukan dalam hidup. Penelitian para ahli telah
menunjukkan bahwa sekolah, keluarga dan juga komunitas dapat menyediakan
faktor-faktor protektif lingkungan dan kondisi-kondisi yang mengembangkan
faktor protektif individual. Hal ini membentuk sebuah strategi berupa 6 tahapan
dalam mengembangkan resiliensi di sekolah (dapat dilihat pada gambar 2).
1. Meningkatkan bonding. Hal ini melibatkan peningkatan hubungan
diantara individu dengan orang atau kegiatan yang bersifat prosocial
dan juga didasarkan pada bukti bahwa siswa dengan ikatan positif
yang kuat lebih kecil kemungkinannya melakukan perilaku beresiko
pada ikatan siswa terhadap sekolah dan pencapaian akademik
dengan menyesuaikan gaya belajar yang disukai siswa.
2. Menetapkan batasan-batasan yang jelas dan konsisten. Ini
melibatkan pengembangan dan implementasi yang konsisten dari
peraturan sekolah dan prosedur-prosedur serta menegaskan
pentingnya ekspektasi perilaku. Ekspektasi ini termasuk
menjelaskan tentang perilaku beresiko bagi siswa dan harus
dikomunikasikan secara jelas beserta dengan konsekuensinya.
3. Mengajarkan life skills. Ini termasuk kerjasama, resolusi konflik
yang sehat, ketahanan dan kemampuan asertivitas, kemampuan
komunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan
keputusan, serta manajemen stress yang sehat. Jika
kemampuan-kemampuan ini diajarkan dengan benar kepada siswa, akan dapat
menolong siswa untuk jauh dari permasalahan remaja khususnya
rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang. Kemampuan-kemampuan
ini juga dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses
pembelajaran siswa di sekolah.
4. Menyediakan kepedulian dan dukungan. Hal ini termasuk
memberikan penghargaan dan dorongan yang positif dan ikhlas.
Pada gambar 2, bagian ini diarsir, untuk menunjukkan bahwa elemen
ini merupakan yang terpenting dalam membangun resiliensi. Bahkan, hampir mustahil untuk mampu “mengatasi” kesulitan tanpa
Guru, tetangga dan pekerja-pekerja muda juga sering
menunjukkannya, begitu pula dengan elemen-elemen lain dari
mengembangkan resiliensi. Teman sebaya dan hewan peliharaan
juga dapat berperan sebagai pembangun resiliensi bagi orang dewasa
dan anak-anak.
5. Menetapkan ekspektasi yang tinggi. Ekspektasi individu harus tinggi
dan realistis agar dapat menjadi motivator yang efektif. Walaupun
demikian, banyak anak-anak di sekolah, terutama mereka yang
diberikan banyak label di sekolah, mengalami ekspektasi yang
rendah dan juga memiliki ekspektasi yang rendah untuk dirinya.
Pihak sekolah juga mengatakan bahwa hal ini juga berlaku bagi
orang dewasa di sekolah, yang memiliki kemampuan dan potensial
yang kurang dianggap.
6. Menyediakan peluang untuk keterlibatan yang berguna. Strategi ini
berarti memberikan banyak tanggung jawab kepada siswa, keluarga
mereka, dan staff untuk hal-hal yang terjadi di sekolah, memberikan
peluang bagi mereka untuk memecahkan masalah, mengambil
keputusan, merencanakan, menetapkan tujuan dan membantu
Bagan 2
Profil Siswa dengan karakteristik Resiliensi (Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk
dalam Henderson & Milstein, 2003) Provide
after-, and in school activities. Is engaged in cooperative peer-to-peer
interactions through teaching strategies and/or school programs.
Is positively connected to learning through cooperative learning,
service learning, peer helping, or other avenues.
Exhibits a sense of self-efficacy in taking on new challenges
Understands and
Recieves ongoing instruction in life skills appropriate to developmental level. Has integrated the skills so
assertiveness, refusal skills, healthy conflict resolution, good decision making and problem solving, and healthy stress management are practced most of the time.
Feels that school is a caring place Has a sense of belonging
Experiences school as a community
Sees many ways to be recognized and rewarded.
Believes that any positive goal/ aspiration can be accomplished. Shows confidence in
self and others. Encourages self and
others to do “the best
possible.” Provide
B. Tuna Netra
1. Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra
Tuna netra atau seseorang dengan keterbatasan penglihatan (visual
impairment) adalah seseorang yang hanya memiliki ketajaman penglihatan 20/200
atau lebih kecil pada mata yang telah dikoreksi (misalnya dengan kacamata), atau
ketajaman penglihatannya lebih baik dari 20/200, namun jangkauan pandangnya
menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak lebih besar
dari 20 derajat. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti dimana seseorang tersebut
dapat melihat sejauh 20 kaki sedangkan orang berpenglihatan normal dapat
melihat sejauh 200 kaki. (Hallahan & Kauffman, 1991)
Somantri (2006) mengungkapkan bahwa pengertian tuna netra adalah
individu yang kedua indera penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana halnya
individu berpenglihatan normal memilikinya sebagai penerima informasi.
Individu dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang
berpenglihatan normal
b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak
d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan
Hallahan & Kauffman (1991) menggolongkan tuna netra menjadi dua
macam, yaitu:
a. Blind (Buta)
Seseorang dikatakan buta jika ia sama sekali tidak mampu menerima
rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)
b. Low vision (Penglihatan rendah)
Seseorang dikatakan memilki low vision ketika masih mampu menerima
rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih kecil dari 20/200.
Misalnya saja, ia hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
Dengan demikian, pengertian tuna netra adalah individu yang indera
penglihatannya baik sebagian atau tidak berfungsi secara menyeluruh, sebagai
saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari layaknya orang
berpenglihatan normal atau dengan kata lain orang yang memiliki ketajaman
penglihatan kurang dari 20/200 dan setelah diberikan pertolongan khusus masih
memerlukan layanan khusus.
2. Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra
Individu yang memiliki gangguan penglihatan tentu memiliki ciri-ciri.
Irham Hosni (dalam Ishartiwi, 1998) menyebutkan ciri-ciri untuk mengenali tuna
netra yaitu:
a. Seseorang yang hanya mengenal bentuk dan objek (sedikit sisa
penglihatan)
c. Tidak dapat melihat tangan yang digerakkan
d. Seseorang yang hanya dapat menunjuk sumber cahaya
e. Seseorang yang tidak memiliki persepsi cahaya (buta total)
Somantri (2006) mengemukakan karakteristik tuna netra yang sangat
bervariasi dalam empat aspek, yang ditinjau sejak kapan individu mengalami
ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya dan
bagaimana tingkat pendidikannya.
a. Aspek kognitif
Indera penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam
menerima informasi yang datang dari luar. Melalui indera penglihatan,
seseorang mampu melakukan pengamatan pada dunia sekitarnya sehingga
menimbulkan kesan atau persepsi pada rangsang tersebut. Melalui berbagai
pengamatan, individu akan semakin kaya pengetahuannya, tidak terbatas pada
penjelasan verbal melainkan penghayatan lebih dengan mengamati berbagai
aspek dari objek secara langsung.
Pada tuna netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya
tidak dapat diperoleh secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif tuna
netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak
karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Individu tuna netra
cenderung mengandalkan indera pendengaran sebagai sumber penerima
informasi, oleh karena itu pengertian yang diperoleh pun terbatas pada
merupakan konsep yang dipahami secara verbal saja oleh individu tuna netra
(Somantri, 2006).
Pada individu tuna netra, umumnya mereka berpegang teguh pada
pendapatnya karena secara visual mereka tidak mampu menggunakan teknik
akomodasi dan asimilasi dalam mengubah struktur kognitifnya yang sudah
terbentuk sebelumnya. Selain itu, tanpa kemampuan pengamatan yang baik,
individu dapat mengalami kesulitan dalam melakukan pengklasifikasian
objek terutama jika mengacu pada bentuk, warna, ruang dan lainnya.
Lowenfeld (dalam Somantri, 2006) mengemukakan banyak hal tentang
bagaimana pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti
persepsi ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas,
inteligensi, prestasi akademik, kemampuan bicara dan kemampuan membaca.
Taraf kecerdasan tuna netra pada dasarnya tidak berbeda dengan
individu berpenglihatan normal, yaitu bagaimana individ tuna netra mengolah
dan menganalisa informasi dari lingkungan. Yang berbeda adalah
hambatannya dalam menerima informasi, persepsi dan konsepnya.
b. Aspek Motorik
Perkembangan motorik tuna netra cenderung lambat dibandingkan
dengan individu berpenglihatan normal pada umumnya. Keterlambatan ini
terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya
koordinasi fungsional antara neuromascular system, fungsi psiks (kognitif,
Keterbatasan mereka dalam melakukan pengamatan secara visual
biasanya membuat individu tuna netra memiliki hambatan dalam penyesuaian
terhadap lingkungan yang baru dan menghindari untuk melakukan eksplorasi
atau mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing. Selain itu, biasanya mereka
mengalami hambatan dalam motorik kasar seperti melompat maupun motorik
halus seperti menggengan benda, terutama dalam ukuran kecil.
c. Aspek Emosi
Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam
mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun tidak. Terdapat
beberapa variabel yang berperan dalam perkembangan emosi yaitu
oragnisme yang mencakup perubahan-perubahana fisiologis ketika
seseorang mengalami emosi, stimulus atau rangsangan yang menimbulkan
emosi dan respon terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungan.
Pengaruh belajar dari lingkungan memiliki peranan yang besar dalam
perkembangan emosi ini karena melalui proses pengamatan dan imitasi
seorang individu belajar bagaimana emosi dan pengekspresian.
Pada individu tuna netra, yang memiliki keterbatasan dalam
pengamatan, cenderung mengalami hambatan dalam mengeksprsikan emosi
secara tepat karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan secara
optimal terhadap rangsang emosi dan pengekspresian di lingkungan
sehingga proses belajar melalui imitasi jadi terhambat. Karena hal tersebut,
sering sekali ekspresi seorang tuna netra dinyatakan secara verbal. Hal ini