PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN
USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL, PATI,
JAWA TENGAH
Oleh:
CAHYA NAJMUDINROHMAN A14104094
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
CAHYA NAJMUDINROHMAN A14104094
SKRIPSI
Sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar SARJANA PERTANIAN
pada Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
Cahya Najmudinrohman. Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI)
Kemitraan antara petani tebu dan pabrik gula (PG) idealnya akan memberi manfaat bagi kedua pihak. Dengan kemitraan pabrik gula mendapatkan jaminan pasokan bahan baku. Dengan kemitraan petani juga lebih mudah mengakses pinjaman berbunga lunak untuk perluasan lahan sehingga meningkatkan produksi tebu petani. Peningkatan produksi akan memperbesar peluang petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
Berbeda dengan PG yang bersifat institusional, petani lebih bersifat individual sehingga posisi tawarnya relatif lebih lemah. Karena itu perlu diteliti bagaimana pengaruh kemitraan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Salah satu variabel kesejahteraan yang dapat diukur yaitu pendapatan, dengan asumsi semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula kesejahteraan petani tebu. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan mekanisme proses kemitraan antara petani tebu dengan PG Trangkil serta menganalisis pengaruh kemitraan tersebut terhadap pendapatan petani tebu.
Penelitian dilakukan pada petani yang menggilingkan tebu di PG Trangkil
milik PT Kebon Agung. Pabrik tersebut terletak di Pati, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PG Trangkil merupakan pabrik gula tertua yang berdiri sejak 1835 yang masih beroperasi. Penelitian dilakukan pada bulan November hingga Desember 2009.
disalurkan melalui bank, serta kredit akselerasi dari Disbun yang dikhususkan bagi penanaman tebu baru. Bunga kredit tersebut 7 persen per tahun. Pembayaran kredit dipotong dari pembayaran nota gula saat musim giling. Nota gula yaitu surat yang merangkum jumlah pembayaran oleh PG kepada petani.
Analisis usahatani menunjukkan bahwa R/C baik petani mitra maupun non mitra lebih bernilai lebih besar dari 1 sehingga keduanya layak diusahakan. Dari Tabel 1 juga dapat disimpulkan bahwa bermitra lebih menguntungkan karena nilai R/C yang lebih besar dari non-mitra. Penerimaan petani mitra lebih tinggi dan biaya lebih rendah. Penerimaan lebih tinggi karena produksi lebih tinggi. Produksi rata-rata petani mitra sebesar 780,55 kuintal per ha. Produksi rata-rata petani non-mitra 698,24 kuintal per ha. Biaya petani non-mitra lebih rendah karena pengalokasian input produksi lebih efisien, misalnya petani mitra memiliki tenga kerja tetap sehingga upah tenaga kerja lebih rendah karena adanya keberlangsungan pekerjaan bagi tenaga kerja tersebut. Karena itu berdasarkan nilai R/C, kemitraan lebih menguntungkan karena berpengaruh positif terhadap pendapatan.
Nama : Cahya Najmudinrohman NRP : A14104094
Menyetujui, Dosen Pembimbing
NIP. 19580908 198403 1 002 Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
NIP. 19571222 198203 1 002 Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
A14104094 Cahya Najmudinrohman
Thorikah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 5 Cacaban pada tahun 1998 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri 6 Magelang. Pendidikan menengah atas di SMU Negeri 1 Magelangpada tahun 2004.
KATA PENGANTAR
Segala puji kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi berjudul “Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah” dapat diselesaikan setelah melalui proses belajar, bimbingan, dan diskusi . Penyusunan skripsi ini merupakan sarana proses pembelajaran bidang usahatani dan non usahatani seperti pembelajaran mengenai statistika, analisis kualitatif, dan komunikasi.
Fokus kajian dalam skripsi ini adalah usahatani tebu di tingkat petani serta gambaran kemitraan. Di dalamnya dibahas mengenai usahatani tebu , faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk mendapatkan pendapatan tinggi, serta gambaran proses kemitraan antara petani dan pabrik gula. Selain data lapang, skripsi ini juga memuat teori, konsep, dan hasil penelitian dari para penulis sebelumnya. Penyebutan referensi yang dikutip dalam skripsi ini diharapkan mampu menambah nilai keilmiahannya, dan tak lupa ucapan terimakasih kepada pemilik karya yang dikutip dalam skripsi ini.
Skripsi ini telah diupayakan untuk ditulis dengan sebaik mungkin, namun tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan. Meskipun demikian, mudah-mudahan skripsi ini ada manfaatnya bagi kita dan bagi pengembangan usahatani tebu serta memberikan manfaat bagi peneliti dan penelitian usahatani selanjutnya.
Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi selama berlangsungnya penelitian.
Bogor, September 2010
1) Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS atas bimbingan dan motivasinya. 2) Ir. Dwi Rachmina, MSi. atas bimbingan dan motivasinya. 3) Ibu Rita Nurmalina atas bimbingan akademik.
4) Kedua orang tua tercinta, kakak, dan keluarga.
5) Bapak Dedo dan keluarga atas segala bantuan dan pengayoman selama kuliah.
6) Adisti atas persahabatan dan bantuan pemilihan tempat penelitian.
7) Fandy, Fakhry, Ramiaji, Yulita, Latifa, Narita, Wanti, dan rekan-rekan Manajmen Agribisnis Angkatan 41.
8) Wiyanto, Rangga, Dani atas bantuan ide dan tenaga dalam penulisan skripsi. 9) Indra, Rahma, Ivan, Prima, Galih, Rio atas kebersamaan dan
persahabatannya.
10) Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Maret 2010
i
3.1.5. Analisis Pendapatan Usahatani ... 19
3.1.6. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya ... 14
3.1.7. Konsep Kemitraan ... 21
4.4.2. Model Regresi Linear Berganda ... 27
4.4.3. Pengujian-pengujian Model Regresi ... 28
4.4.4. Analisis Pendapatan Usahatani ... 29
6.2. Penerimaan ... 54
6.3. Pendapatan ... 54
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL ... 59
7.1. Koefisien Dugaan Model Dugaan Regresi ... 59
7.2. Uji Signifikansi Model ... 60
7.3. Interpretasi ... 60
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
7.1. Kesimpulan ... 63
7.2. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 66
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Prasarana Jalan di Kecamatan Trangkil ... 32
2. Sebaran Responden Berdasarkan Usia ... 33
3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal ... 34
4. Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan yang Dikuasai .. 34
5. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Penguasaan Lahan ... 35
6. Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman ... 35
7. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga .. 35
8. Sebaran Responden Berdasarkan Persepsi Keanggotaan APTRI ... 37
9. Sebaran Responden Berdasarkan Keanggotaan Kelompok Tani ... 37
10. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi ... 38
11. Pemanfaatan Layanan oleh Responden mitra ... 48
12. Pendapatan Usahatani ... 49
13. Biaya Usahatani Tanaman Tebu Keprasan ... 50
14. Varian Nilai R/C Mitra dan Non-mitra ... 57
15. Imbalan kepada Seluruh Modal, Modal Petani, dan Tenaga Kerja Sendiri ... 57
Nomor Halaman
1. Konsumsi Gula di Tingkat Nasional Tahun 2003-2007 ... 1
2. Produksi dan Konsumsi Gula Nasional Tahun 1990-2007 ... 2
3. Data Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa, dan di Tingkat Nasional Tahun 1993-2007 ... 3
4. Kurva Fungsi Produksi ... 13
5. Kurva Biaya Produksi ... 16
6. Kurva Pendapatan ... 17
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Responden ... 66 2. Kualitas Imbangan Penerimaan dan Biaya ... 68 3. Imbalan kepada Seluruh Modal, Modal Petani,
dan Tenaga Kerja Sendiri ... 69 4. Output Minitab 14 dari Model Regressi Linear Berganda
Indonesia. Dilihat dari sisi konsumsi, gula merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan tingkat konsumsi nasional cenderung meningkat. Gambar 1 menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan konsumsi gula nasional dari tahun 2003 sampai dengan 2007 sebesar 4,2 persen per tahun.
Gambar 1. Konsumsi Gula di Tingkat Nasional Tahun 2003-2007
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2008
Di Indonesia, gula dibuat dari tebu. Artinya gula juga merupakan komoditas penting karena menjadi sumber penghidupan petani tebu. Menurut Badan Litbang Departemen Pertanian (2007), industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang. Hal itu makin memperkuat posisi gula sebagai salah satu komoditas strategis bagi perekonomian Indonesia.
Meskipun konsumsi gula tebu memiliki tren positif, hal ini tidak diiringi peningkatan produksi gula nasional yang seimbang. Produksi gula nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi tersebut. Selisih tersebut dipenuhi oleh gula impor. Ketimpangan produksi mengimbangi konsumsi gula nasional tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.
2.100.000 2.200.000 2.300.000 2.400.000 2.500.000 2.600.000 2.700.000 2.800.000
2003 2004 2005 2006 2007
To
n
2
Gambar 2. Produksi dan Konsumsi Gula Nasional Tahun 1990-2007
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia,2008
Ketidakmampuan produksi mengimbangi laju peningkatan konsumsi disebabkan permasalahan yang kompleks pada industri gula. Jika dilihat melalui pendekatan sistem agribisnis, maka permasalahan tersebut akan ditemui pada
setiap sub-sistem, mulai dari sub-sistem hulu hingga hilir serta jasa pendukung.
Salah satu permasalahan utama pada sub-sistem agribisnis hulu yaitu kesulitan dalam usaha pembibitan tebu karena pembibitan tebu memerlukan lahan yang relatif luas. Badan Litbang Deptan (2007) menyebutkan bahwa satu hektar
kebun bibit datar (KBD) akan menghasilkan bibit yang hanya mencukupi untuk
7-8 hektar tanaman tebu. Hal ini menyebabkan bibit tebu menjadi mahal sehingga
petani lebih suka melakukan keprasan hingga berkali-kali sehingga mutu tebu
yang dihasilkan rendah.
Permasalahan pada sub-sistem usahatani tebu antara lain penurunan atau
minimal stagnasi luas lahan. Badan Litbang Deptan (2007) menyebutkan bahwa
lahan tebu di Indonesia secara keseluruhan mengalami stagnasi pada kisaran
sekitar 340 ribu hektar pada lima tahun terakhir. Menurut Dewan Gula Indonesia
(2007), lahan tebu di Pulau Jawa semakin menyempit karena shifting ke areal industri dan perumahan.
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
To
n
Tahun
Produksi
Gambar 3. Data Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa, dan di Tingkat Nasional Tahun 1993-2007
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia
Selain luas lahan, ada gejala permasalahan lain pada sub-sistem usahatani yaitu penurunan produktivitas. Penurunan produktivitas ini bisa dilihat dari produktivitas lahan (produksi tebu per hektar) dan rendemen (persentase dari hasil gula kristal per bobot tebu yang digiling). Menurut Badan Litbang Deptan (2007), pada tahun 1990-an produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76,9 ton/ha,
kemudian pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62,7 ton/ha. Rendemen
mengalami penurunan dengan laju sekitar 1,3 persen per tahun pada dekade
terakhir, khususnya periode 1994-2004. Pada tahun 1998, rendemen mencapai
titik terendah (5,49 persen). Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada
tahun 2004 rendemen mencapai 7,67 persen .
Produktivitas usahatani yang rendah tersebut antara lain disebabkan oleh
dua hal pokok, yaitu proporsi lahan kering yang semakin besar dan pola budidaya
yang tidak mengikuti baku teknis. Besarnya proporsi lahan kering membuat
produktivitas turun karena produktivitas lahan kering lebih rendah daripada
sawah. Pola budidaya yang tidak mengikuti baku teknis menyebabkan rendemen
rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola budidaya tersebut yaitu
ketidaktepatan waktu dan jumlah kredit yang diterima petani. Akibatnya pada
awal musim tanam petani tidak memiliki cukup dana sehingga pola budidaya
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
4
tidak lagi mempertimbangkan baku teknis tetapi atas dasar kesesuaian dana yang
tersedia (Tim Tolok Ukur Kegiatan Pengkajian Sistem Dinamis Manajemen
Industri Gula Nasional, 2004).
Pada agribisnis hilir, pabrik gula (PG) mengalami permasalahan efisiensi
proses produksi gula. Proses produksi gula pada prinsipnya adalah proses
pemisahan zat gula yang terkandung dalam batang tebu sampai dihasilkan produk
gula yang dapat dikonsumsi. Semakin banyak gula yang diekstrak menjadi kristal
gula maka semakin baik kinerja pabrik gula. Dengan demikian, kinerja pabrik
gula selain dipengaruhi minimal oleh dua faktor yaitu bahan baku dan efisiensi
teknis pabrik. Faktor bahan baku bisa disebabkan mutu tebu yang rendah, atau
kekurangan bahan baku sehingga pabrik beroperasi di bawah kapasitas normal.
Menurut Mirsawan et al (2007), inefisiensi di tingkat pengolahan disebabkan
karena kapasitas dan efisiensi teknis PG terutama di Jawa yang lebih rendah
dibandingkan dengan PG di luar negeri. Pada umumnya PG di luar negeri
berkapasitas lebih dari 5.000 Ton Tebu per Hari (TTH), sedangkan kapasitas PG
di Jawa umumnya kurang dari 5.000 TTH. Di samping itu, efisiensi teknis PG di
Jawa, yang dicerminkan oleh overall recovery (OR), hanya berkisar 59- 76 persen,
sedangkan OR untuk PG di luar negeri rata-rata di atas 80 persen.
Masalah inefisiensi serta masalah-masalah lain juga membuat banyak PG
tidak mampu bertahan. Tim Tolok Ukur Kegiatan Pengkajian Sistem Dinamis
Manajemen Industri Gula Nasional (2004) menyebutkan bahwa pada sekitar tahun
1930 terdapat 179 PG. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah PG yang beroperasi
tinggal 58 PG, terdiri dari 51 PG BUMN dan 7 PG swasta.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut serta menjaga iklim usaha
yang memungkinkan industri gula nasional bertahan hidup dan berkembang,
komoditas sesuai dengan prospek pasar, serta Kepermenindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang harga penyangga di tingkat petani .
Untuk melindungi industri dalam gula dalam negeri dari kompetisi dengan gula impor, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan pembatasan impor. Pembatasan impor dilakukan dengan pembebanan tarif impor gula (Kepermenindag No. 230/MPP/Kep/6/1999), bea masuk (Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002), pembatasan pelaku impor hanya pada importir gula produsen dan importir gula terdaftar (Kepermenindag No. 634/MPP/Kep/9/2002). Dengan demikian gula dari luar negeri yang masuk ke pasar domestik sedikit dan harganya mahal sehingga gula nasional mampu bersaing.
Kebijakan-kebijakan tersebut juga memiliki kendala. Menurut Susila dan Susmiadi (2000), kebijakan pemerintah yang bias ke usahatani padi, pencabutan subsidi pupuk, dan sering terjadi kesulitan dalam mengimplementasikan jaminan harga (harga provenue) berdampak negatif terhadap produktivitas tebu. Pencabutan subsidi pupuk membuat biaya produksi meningkat dan tidak adanya jaminan harga menyebabkan penerapan teknik budidaya tidak optimal sehingga produktivitas turun.
Berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang hanya bersifat top-down, kemitraan selain dilakukan karena dorongan pemerintah juga karena adanya hubungan saling membutuhkan antara pelaku usahatani tebu serta subsistem hilir yaitu pabrik gula. Petani membutuhkan pinjaman modal, bantuan teknis budidaya, peralatan dan mesin-mesin pertanian, dan pembeli tebu. PG membutuhkan kontinuitas pasokan bahan baku tebu dari petani serta berkepentingan untuk membina petani dan memberi bantuan teknis budidaya agar bahan baku tebu memenuhi standar kualitas tertentu.
6
perusahaan menjalankan kemitraan. Proporsi lahan tebu sendiri PT Kebon Agung hanya 5,5% terhadap seluruh lahan tebu yang digiling.
2.1. Perumusan Masalah
Petani tebu dan PG memiliki kelemahan dan kekuatan yang jika digabungkan akan saling menguatkan. Kelemahan petani antara lain modal yang terbatas, teknologi rendah, manajemen tidak teratur, skala usaha kecil, akses pasar terbatas, kelembagaan lemah serta produktivitas rendah. Kekuatan petani yaitu tenaga kerja, penguasaan lahan walaupun kecil namun jika disatukan hasil tebunya akan besar. Kelemahan PG yaitu sedikitnya lahan yang dikuasai, hasilnya jauh di bawah kapasitas produksi. Untuk membudidayakan tebu sendiri membutuhkan investasi yang besar, banyak tenaga kerja, rentan gejolak sosial dan rentan terhadap fluktuasi harga baik input maupun output. Dengan kemitraan yang sukses, akan ada transfer pengetahuan, teknologi serta modal dari PG ke petani sehingga produktivitas, bargaining position dan pendapatan petani meningkat. PG juga akan mendapat pasokan bahan baku sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan dengan memanfaatkan tenaga kerja dan hasil agregat dari lahan yang dikuasai petani sehingga resiko sosial berkurang.
PT Kebon Agung sebagai salah satu perusahaan gula yang menjalankan kemitraan memiliki dua unit kerja pabrik gula, PG Kebon Agung di Malang dan PG Trangkil di Pati. Bahan baku produksi PT Kebon Agung sebagian besar diperoleh dari tebu rakyat, sebesar 94,5 persen. Namun tidak semua petani tebu tersebut mengikuti program kemitraan. Petani yang mengkuti program kemitraan sebanyak persen. PG Trangkil merupakan pabrik gula tertua yang masih beroperasi dengan proporsi lahan tebu sendiri yang sangat kecil. Karena itu bahan baku tebu sebagian besar dipasok dari petani mitra.
1. Bagaimana mekanisme proses kemitraan antara PG Trangkil dengan
petani tebu di Kecamatan Trangkil?
2. Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap pendapatan petani tebu di
Kecamatan Trangkil?
3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut:
1. Menganalisis mekanisme proses kemitraan antara PG Trangkil dengan
petani tebu di Kecamatan Trangkil.
2. Mengidentifikasi pengaruh kemitraan terhadap pendapatan petani tebu di
Kecamatan Trangkil.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain:
1. Sebagai informasi bagi petani dalam menjalankan kemitraan sebagai suatu pilihan logis untuk dipertimbangkan apakah dilakukan atau tidak dilakukan.
2. Sarana menambah pengalaman bagi penulis dalam masalah usahatani dan kemitraan.
3. Bahan referensi penelitian lebih lanjut bagi akademisi.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemitraan
Definisi kemitraan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 yaitu kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatian prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Hafsah (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Harjanto (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai rangkaian kerjasama yang melibatkan perusahaan, universitas, dan badan-badan pemerintah dan laboratorium2 dalam berbagai kombinasi untuk menggabungkan sumber daya dalam rangka mencapai tujuan penelitian dan pengembangan (R&D) bersama.
Noorjaya (2001) mengemukakan kemitraan usaha sebagai hubungan kerjasama antar-pengusaha yang dalam pengertian umum mengacu pada hubungan antara usaha kecil (UK) dengan usaha besar (UB) ataupun usaha menengah (UM). Prinsip-prinsip kemitraan menjadi penting untuk dipahami bersama mengingat hal ini akan menjadi fondasi yang menentukan kekuatan bangunan kemitraan yang akan dijalankan. Fahrudda et al (2005) menyebutkan bahwa kemitraan dibangun atas dasar tiga prinsip yitu persamaan atau equality, keterbukaan atau transparancy, dan saling menguntungkan atau mutual benefit.
2.2. Tinjauan Empirik
menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan. Berdasarkan skala usahatani, secara umum peningkatan skala usaha pada lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan tegalan dan dapat meningkatan kelayakan finansial lebih dari 50 persen. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan beberapa gambaran yaitu petani diduga akan cenderung memitrakan lahan tegalan untuk menigkatakan keuntungannya yang kalah dari lahan sawah. Tanaman keprasan yang lebih menguntungkan diduga menghambat upaya peningkatan produktivitas melalui introduksi varietas baru. Dari penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa semakin luas lahan semakin menguntungkan sehingga diduga kemitraan akan menguntungkan petani karena memberi kesempatan untuk melakukan perluasan lahan, melalui kredit dan bantuan sarana produksi.
10
Penelitian tentang pengaruh kemitraan memberikan hasil yang beragam. Fitriani (2003) melakukan analisis kemitraan dan efisiensi ekonomi usaha tenak ayam broiler di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa R/C ratio atas biaya total mitra 1,21 sedangkan mandiri 1,02 sehingga usahatani mitra lebih efisien karena penerimaan relatif stabil dibanding mandiri yang tergantung harga pasar. Dengan demikian kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani.
Witasari (1996) meneliliti dampak pola kemitraan contract farming terhadap pendapatan petani dan eksportir kopi di kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat. Hasilnya petani mitra memperoleh pendapatan yang lebih besar. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani.
Deshinta (2006) melakukan penelitian tentang peranan kemitraan terhadap peningkatan pendapatan peternak broiler di Kabupaten Sukabumi. Hasilnya menunjukkan bahwa R/C ratio atas biaya total mitra 1,06 sedangkan non mitra 1,079 serta uji t terhadap total pendapatan bersih menunjukkan pendapatan tidak berbeda nyata (tidak signifikan). Kesimpulan hasil penelitian tersebut yaitu kemitraan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak
Iftauddin (2005) melakukan penelitian pada kemitraan antara PT Atina selaku perusahaan pengekspor udang dengan petani di Desa Banjar Panji, Sidoarjo. Hasilnya rasio R/C atas biaya total petani mitra sebesar 1,69 sedangkan petani non mitra sebesar 1,73. Artinya kegiatan usahatani non mitra lebih efisien sebab peningkatan biaya usahatani mitra jauh lebih besar daripada peningkatan penerimaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemitraan berpengaruh negatif terhadap peningkatan pendapatan petani.
III. KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Teori 3.1.1. Teori Produksi
Sesuai definisi usahatani yang disebutkan oleh Hernanto (1989), bahwa usahatani merupakan organisasi alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian, maka perlu diketahui konsep produksi. Soekartawi (1986) menyatakan bahwa fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis antara input-output dari proses produksi. Input-input seperti tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim dan sebagainya mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Jika misalnya Y adalah produk (output) dan xi adalah input ke-i, maka besar kecilnya Y juga tergantung dari besar kecilnya x1, x2, x3…xm
Y = f (x
yang digunakan. Hubungan x dan Y secara aljabar dapat ditulis sebagai berikut :
1, x2, x3…xm dimana :
)
Y = produk (output) x1, x2, x3…xm
Produk yang dihasilkan dapat diduga dengan mengetahui berapa jumlah input yang digunakan dalam proses produksi. Selanjutnya fungsi produksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi input yang terbaik dan bagaimana pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap penggunaan input dan terhadap produksi. Meskipun demikian, hal tersebut sulit untuk dilakukan mengingat informasi yang diperoleh dari analisis fungsi produksi tidak sempurna. Hal ini dikarenakan :
= masukan (input)
1. Adanya faktor ketidakpastian mengenai cuaca, hama dan penyakit tanaman.
2. Data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar.
4. Data harga dan biaya yang diluangkan (opportunity cost) mungkin tidak dapat diketahui secara pasti.
5. Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat yang khusus.
Persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik adalah : (1) terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan dan (2) parameter statistik dari parameter yang diduga memenuhi persyaratan untuk dapat disebut parameter yang mempunyai derajat ketelitian yang tinggi.
Beattie dan Taylor (1985) menyatakan bahwa kurva fungi produksi adalah kurva yang melukiskan hubungan antara konsep average physical product (APP) dengan margina physical productivity (MPP) yang disebut kurva total physical product (TPP). Average physical product menunjukkan kuantitas output produk yang dihasilkan. Marginal physical productivity (MPP) mengukur banyaknya penambahan atau pengurangan total output dari penambahan input. Keduanya dirumuskan sebagai berikut (Gambar 4):
���= � �
dimana:
APP = Average Physical Product Y = output
x = input
���= �� ��
dimana:
MPP = Marginal Physical Productivity Dy = perubahan output
13
Gambar 4. Kurva Fungsi Produksi
Sumber: Beattie & Taylor, 1985
ketika MPP lebih besar dari APP. Daerah I ini disebut juga sebagai daerah irasional atau inefisien. Daerah II terletak antara X2 dan X3
• Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost)
dengan nilai elastisitas produksi yang berkisar antara nol dan satu (0 < ε < 1). Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan input sebesar satu satuan akan memberikan tambahan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Daerah ini merupakan daerah rasional atau efisien. Daerah III merupakan daerah yang dengan nilai elastisitas lebih kecil dari nol (ε < 0) yang terjadi ketika MPP bernilai negatif yang berarti bahwa setiap penambahan satu satuan input akan menyebabkan penurunan produksi tambahan. Daerah ini disebut daerah irasional. Hal itu disebut The Law of Deminishing Return, yaitu apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif dan ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya mencapai tingkat yang maksimum kemudian menurun.
3.1.3. Teori Biaya Produksi
Murtiasih (2008) menyatakan bahwa biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang digunakan untuk memperoleh faktor produksi dan bahan baku yang akan digunakan untuk produksi. Perioda analisis dimana input2 produksi dapat dirubah dengan mudah disebut perioda analisis jangka pendek. Perioda analisis dimana input2 produksi hanya dapat dirubah dgn biaya tinggi dan waktu lama disebut perioda analisis jangka panjang. Beberapa pengertian biaya produksi jangka pendek sebagai berikut:
Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang tidak dapat diubah jumlahnya.
15
• Biaya Variabel Total (Total Variable Cost)
Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya.
TVC = f(output), atau TVC = f(Q) Dimana Q = output
• Biaya Total (Total Cost)
Keseluruahan biaya produksi yang dikeluarkan. TC = TFC + TVC
• Biaya Tetap rata-rata
AFC = TFC/Q
• Biaya Variabel rata-rata
AVC = TVC/Q • Biaya Total rata-rata
AC = TC /Q • Biaya Marginal
MC = ∆TC/ ∆Q
Perilaku biaya produksi dalam jangka pendek jika biaya ditambah maka akan memberikan tambahan output yang meningkat, tetap, dan menurun. Penambahan biaya yang menyebabkan perubahan output yang meningkat (increasing return to input variable) terjadi pada saat:
fungsi output; Q = bX + cX2 fungsi biaya; TC = a +bQ – cQ2
TVC = bQ – CQ2 ; TFC = a AC > AVC > MC.
Penambahan biaya yang menyebabkan perubahan output tetap (constant return to input variable) terjadi pada saat:
fungsi output; Q = bX fungsi biaya; TC = a + bQ
Penambahan biaya yang menyebabkan perubahan output menurun (decreasing return to input variable) terjadi pada saat:
fungsi output; Q = bX – cX2 fungsi biaya; TC = a + bQ +cQ2
TVC = bQ + cQ2
Gambar 5. Kurva Biaya Produksi
Sumber: Murtiasih, 2008
; TFC = a
17
3.1.3. Konsep Pendapatan
Yunanto (2006) menyatakan bahwa pendapatan atau keuntungan produsen selisih penerimaan terhadap pengeluaran (biaya). Penerimaan merupakan hasil perkalian antara output dengan harga. Sedangkan biaya merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel.
∏ = TR – TC
TR = P x Q Dimana:
P = harga produk Q = output
Karena itu pendapatan menjadi laba jika penerimaan total lebih besar dari biaya total. Dan menjadi rugi jika penerimaan total lebih kecil dari biaya total. Titik impas atau break even point (BEP) merupakan perpotongan antara penerimaan total dan biaya total (Gambar 6).
3.1.2. Konsep Usahatani
Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa ilmu usahatani ialah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Menurut Hernanto (1989), usahatani merupakan organisasi alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian, organisasi itu ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat secara geologis, politik, maupun teritorial sebagai pengelolaannya.
Hernanto (1989) menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor produksi dalam usahatai yaitu pertama lahan. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah, dan sebagainya. Lahan yang digunakan dalam usahatani dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dengan membeli, menyewa, menyakap, negara, warisan, wakaf, atau membuka lahan sendiri.
Faktor kedua adalah tenaga kerja. Tenaga kerja menjadi pelaku dalam usahatani menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tiga jenis tenaga kerja antara lain tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, tenaga kerja makanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti ilkim, dan kondisi lahan usahatani. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja, petani memperkerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi balas jasa atau upah. Sehingga, sumber tenaga kerja dalam usahatani dapat berasal dari dalam dan luar keluarga.
19
berlangsung. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atu kredit (kredit bank, kerabat, dan lain-lain), warisan, usaha lain, atau kontrak sewa.
Faktor keempat adalah pengelolaan atau manajemen. Manajemen adalah keampuan untuk mencukupi keinginan manusia di dunia yang rentan akan risiko dan ketidakpastian. Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Pemahaman prinsip teknik dan ekonomis menjadi syarat bagi pengelola. Pengenalan prinsip teknik dan ekonomis menjadi syarat bagi pengelola. Pengenalan dan pemahaman prinsip teknik meliputi: (1) perilaku cabang usaha yang diputuskan, (2) perkembangan teknologi, (3) tingkat teknologi yang dikuasai, (4) cara budidaya atu alternatif lain berdasarkan pengalaman lain. Sedangkan prinsip ekonomis terdiri dari: (1) penentuan perkembangan harga, (2) kombinasi cabang usaha, (3) pemasaran hasil, (4) pembiayaan usahatani, (5) penggolongan modal dan pendapatan, (6) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim. Panduan penerapan kedua prinsip tersebut tercermin dari keputusan yang diambil agar tidak menjadi tanggungan pengelola. Kesediaan risiko tergntung kepada: (1) tersedianya modal, (2) status petani, (3) umur, (4) lingkungan usaha, (5) perubahan posisi, (6) pendidikan, (7) pengalaman petani.
3.1.4. Analisis Pendapatan Usahatani
Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut (Hernanto 1986). Penerimaan usahatani dibagi menjadi :
1. Penerimaan Tunai Usahatani
Penerimaan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani.
2. Penerimaan Total Usahatani
Penerimaan total usahatani adalah penerimaan dalam jangka waktu (biasanya satu tahun atau satu musim), baik yang dijual (tunai) maupun yang tidak dijual (tidak tunai seperti konsumsi keluarga, bibit, pakan ternak).
Pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produksi dalam melakukan proses produksi usahatani. Pengeluaran usahatani dibagi menjadi:
1. Biaya Tunai Usahatani
Biaya tunai merupakan sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa yang menjadi masukan produksi. Biaya tunai dalam usahatani dibagi dua macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya untuk sarana produksi yang diperlukan dalam berproduksi dan tidak langsung mempengaruhi jumlah produksi. Sedangkan biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi yang dipakai dalam proses produksi yang secara langsung mempengaruhi jumlah produksi dan penggunaanya habis terpakai dalam satu kali proses produksi.
2. Biaya yang Diperhitungkan
21
3.1.7. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya
Ukuran efisiensi pendapatan usahatani dapat diukur dengan menggunakan analisis penerimaan dan biaya yang didasarkan pada perhitungan secara finansial. Analisis ini menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C rasio maka akan semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah yang dikeluarkan.
Kegiatan usahatani dikategorikan efisien jika nilai R/C ratio > 1, artinya setiap tambahan biaya yang akan dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya sehingga kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya kegiatan usahatani dikategorikan tidak efisien jika memiliki nilai R/C ratio < 1, yang berarti untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang memiliki R/C ratio = 1, berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal.
3.1.1. Konsep Kemitraan
3.2. Kerangka Konseptual
Kemitraan dicirikan dengan adanya aliran sumber daya antara kedua pihak. Usahatani adalah organisasi sumber daya yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Suatu produksi akan membutuhkan input, melalui suatu proses dan menghasilkan output. Karena itu kemitraan dapat meningkatkan pendapatan usahatani melalui pengaruh aliran sumberdaya baik pada input produksi petani, proses, dan outputnya.
23
Gambar 7. Kerangka Konseptual ● Pinjaman modal
● Akses pupuk bersubsidi
KEMITRAAN USAHATANI
● Pinjaman bibit
● Bimbingan teknis
● Manajemen tebang angkut output
input
Proses produksi
Tengah. Di Kecamatan Trangkil terdapat sebuah pabrik gula yaitu PG Trangkil milik PT Kebon Agung. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PG Trangkil merupakan pabrik gula tertua yang berdiri sejak 1835 yang masih beroperasi. Dalam pemenuhan bahan baku produksi PG Trangkil mendapatkannya dari petani tebu sekitar serta dari lahan sendiri. Sumbangan tebu dari lahan sendiri tersebut relatif kecil karena tidak mencapai 25 persen dari total tebu yang digiling. Karena itu keberlangsungan hidup PG Trangkil salah satunya ditentukan oleh keberadaan petani tebu di Kecamatan Trangkil. Petani tebu akan bersedia menjadi mitra jikan kemitraan tersebut menguntungkan. Penelitian dilakukan pada bulan November hingga Desember 2009.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari petani tebu. Data primer yang diambil meliputi karakteristik petani responden dan karakteristik usahatani. Data karakteristik petani responden meliputi usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan, pengalaman dalam bertani tebu, dan pendapatan rumah tangga. Sedangkan data karakteristik usahatani meliputi jenis bibit, pemupukan, luas lahan, komponen biaya usahatani dan komponen pendapatan.
Alat yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu kuesioner, perekam elektronik, alat pencatat dan penyimpan elektronik. Data yang hendak digali untuk keperluan penelitian ini antara lain karakteristik usahatani tebu yang dilakukan responden, karakteristik pribadi dan keluarganya, serta pelaksanaan usahatani terkait dengan kemitraan petani dan PG Trangkil. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data cross section.
25
administrasi desa, kecamatan, dan kabupaten, buku, laporan penelitian, data petani mitra dari PG Trangkil dan internet.
4.3. Metode Penarikan Sampel
Metode penentuan sample digunakan untuk memperoleh data primer. Data primer diusahakan dapat mewakili populasi yang ada, karena tidak semua petani tebu (anggota populasi) dijadikan sumber data primer. Hanya petani sample yang akan dijadikan sumber data primer.
Metode yang akan digunakan dalam penentuan sample pada rencana awal pengambilan data primer adalah cluster sampling. Petani tebu di wilayah kerja PG Trangkil di kluster berdasarkan ikut atau tidaknya dalam program kemitraan PG Trangkil. Karena letak wilayah kerja PG Trangkil yang luas, metode penarikan sampel disesuaikan dengan cara membatasi berdasarkan wilayah administrasi yaitu kecamatan Trangkil. Hal tersebut karena luas lahan tebu total di kecamatan Trangkil adalah yang terluas dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di wilayah kerja PG Trangkil.
Data yang diperoleh dari wawancara dengan petani ditranformasi ke dalam bentuk tabel. Hal ini perlu dilakukan agar data yang diperoleh lebih mudah dibaca dan dipahami. Data yang telah mengalami tranformasi, digunakan sebagai masukan untuk analisis selanjutnya. Analisis yang dilakukan antara lain analisis pendapatan usahatani tebu dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani.
4.4.1. Transformasi Data
Transformasi data dilakukan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan statistik deskriptif berupa mean dan persentase. Dalam tabel frekuensi, data didajikan dengan besar interval kelasnya yang belum tentu sama. Hal ini karena terdapat beberapa data yang rentang nilainya terlalu besar. Sehingga jika menggunakan rumus interval kelas dicari setelah jumlah kelas ditentukan atan sangat memungkinkan terdapat kelas yang kosong.
Nazir (2005) menyebutkan persamaan untuk mencari mean dengan menggunakan rumus:
���� = ��� �
Xi = data ke-i
n = jumlah data
Persentase ditentukan dengan menggunakan persamaan:
���������� = �����ℎ����������
�����ℎ���� x 100 ������
27
4.4.2 Model Regresi Linear Berganda
Analisis regresi adalah teknik statistika yang berguna untuk memeriksa dan memodelkan hubungan diantara variabel-variabel. Model Regresi Linear Berganda adalah model regresi yang melibatkan dua atau lebih variabel bebas. Model ini digunakan untuk menganalisa factor-faktor yang mempengaruahi pendapatan petani tebu.
Faktor yang berpengaruh yaitu karakteristik responden, karakteristik usahatani responden, dan faktor eksternal. Karakteristik responden terdiri dari usia, pendidikan, dan pekerjaan utama. Karaktreristik usahatani responden terdiri dari produktivitas lahan, biaya usahatani, pengalaman bertani tebu, dan penguasaan lahan. Faktor eksternal meliputi kemitraan dan penyuluhan. Dari faktor-faktor yang teridentifikasi tersebut dapat disusun persamaan regresi sebagai berikut:
�(�) = �0+�1�1+�2�2+�3�3+�4�4+�5�5+�6�6+�7�7+ �8�8 +�9�9+�10�10+�11�11+�12�12+�13�13
Dimana:
f(x) = pendapatan usahatani tebu per hektar (rupiah) x1
x
= produktivitas lahan (kuintal)
2
x
= biaya usahatani per hektar (rupiah)
3
x
= kemitraan ( bernilai 1 jika mitra, 0 jika non-mitra)
4
x
= usia responden (tahun)
5
x
= pendidikan responden (tahun)
6
x
= pekerjaan utama (bernilai 1 jika petani tebu, 0 jika selainnya)
7
x
= jumlah penyuluhan yang diikuti responden selama musim tanam (kali)
8
lahan milik)
= penguasaan lahan (bernilai 1 jika lahan sewa atau campuran, 0 jika
x9 β
= pengalaman bertani tebu (tahun)
0 β
= konstanta
nlai koefisien determinan (R ), bertujuan untuk mengukur proporsi keragaman (variasi) total dalam variabel tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh bariabel-variabel bebas secara bersama-sama dan menunjukkan besarnya sumbangan variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Sedangkan koefisien korelasi berganda (R) akar dari R2
�2 = ���
���
, mengukur keeratan hubungan linear diantara variabel tidak bebas dan semua variabel bebas dalam model tersebut.
Dimana: R2
JKR = Jumlah kuadrat regresi = Koefisien determinan
JKL = Jumlah kuadrat total
4.4.3. Pengujian-pengujian Model Regresi
Pengujian-pengujian yang dilakukan dalam hal ini adalah pengujian model penduga dan terhadap parameter regresi. Pengujian terhadap model penduga, tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter dalam fungsi regresi.
Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel yang dimasukkan dalam model (xi
H
) berpengaruh nyata dalam menjelaskan karagaman total dari variabel tidak bebas (f(x)). Hipotesis yang digunakan adalah:
0 : Semua variabel bebas (xi
H
) secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebas (f(x))
i : Semua variabel bebas (xi
Dengan kriteria Uji F : Ho ditolak jika F hitung ≤ F tabel, Ho diterima jika F hitung > F tabel.
) secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas (f(x)) atau paling tidak terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel tidak bebas (f(x)).
Uji t ditujukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel bebas (xi
Ho : β
) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (f(x)). Hipotesis yang digunakan adalah:
29
Hi : βi
Dengan kriteria uji t adalah Ho ditolak jika t hitung ≤ t tabel, dan Ho diterima jika t hitung > t tabel.
≠ 0
4.4.4. Analisis Pendapatan Usahatani
Usahatani merupakan kegiatan ekonomi untuk menghasilkan penerimaan dengan menggunakan masukan berupa tenaga kerja dan modal. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan total dan pengeluaran total. Penerimaan total merupakan nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total adalah nilai semua korbanan yang dikeluarkan selama proses produksi. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total.
Pendapatan atas biaya tunai dirumuskan sebagai berikut: ∏tunai = TR – B
Keterangan : t
∏tunai
TR = penerimaan total usahatani
= pendapatan tunai atau keuntungan tunai usahatani
Bt
Pendapatan atas biaya total dirumuskan sebagai berikut: = biaya tunai
∏total
Keterangan : = TR – BT
∏total
BT = biaya total (biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan) = pendapatan total atau keuntungan total usahatani
Ukuran pendapatan dan keuntungan dirumuskan sebagai berikut:
A. Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) atau penerimaan kotor (gross return), yakni nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik dijual atau tidak, dan peningkatan nilai inventaris.
B. Pengeluaran total usahatani (total farm expence), yakni nilai semua masukan yang habis dipakai (tanpa tenaga kerja keluarga), tunai dan tidak tunai, serta penurunan inventaris
kepada sumber daya milik keluarga yang dipakai dalam usahatani. D = C – Bunga Modal Pinjaman
E. Imbalan kepada seluruh modal (return to capital), bisa dinyatakan dalam persen terhadap total modal. E = C – Nilai tenaga kerja keluarga.
F. Imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital), dinyatakan dalam persen terhadap total modal. F = D – Nilai tenaga kerja keluarga. G. Imbalan terhadap tenaga kerja keluarga (return to family labor), bisa
dinyatakan per tenaga kerja, per tenaga kerja orang keluarga, dibandingkan dengan upah buruh di luar usahatani. G = D – bunga modal petani
4.5. Batasan Operasional dan Satuan Pengukuran
Batasan-batasan dari istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Petani tebu adalah petani yang berusaha dalam bidang tebu tebu.
2. Produksi tebu adalah seluruh hasil tebu yang dihasilkan dari luas lahan tertentu yang diukur dengan satuan kuintal.
3. Harga produk adalah harga jual gula tebu yang diukur dengan satuan rupiah per kuintal.
4. Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian antara produksi tebu dan harga produk, dalam satuan rupiah.
5. Biaya tunai adalah pengeluaran yang dibayar dengan uang dalam satuan rupiah.
6. Pendapatan tunai adalah penerimaan usahatani dikurangi biaya tunai, dinyatakan dalam satuan rupiah.
7. Biaya diperhitungkan adalah pengeluaran untuk pemakaian input milik sendiri dan tenaga kerja keluarga berdasarkan tingkat upah yang berlaku. Dalam analisis model regresi linear berganda , faktor yang diduga berpengaruh dijelaskan sebagai berikut:
1. Usia
Angka yang menunjukkan usia responden sejak dilahirkan hingga tahun dilakukan penelitian, satuan tahun.
31
Angka yang menunjukkan rentang waktu petani menjalani pendidikan formal, satuan tahun.
3. Produktivitas
Angka yang menunjukkan hasil produksi tebu per hektar lahan, satuan kuintal per hektar.
4. Pengalaman usahatani
Angka yang menunjukkan rentang waktu responden menggeluti usahatani tebu hingga tahun dilakukan penelitian, satuan tahun.
5. Kemitraan
Nilai dummy yang menunjukkan keikutsertaan petani dalam kemitraan, bernilai 1 untuk petani mitra dan 0 untuk non-mitra.
6. Penguasaan lahan
Nilai dummy yang menunjukkan penguasaan lahan, bernilai 1 untuk lahan sewa dan campuran (milik dan sewa) dan 0 untuk lahan milik.
7. Biaya
Biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan produksi tebu per hektar, satuan rupiah.
8. Pekerjaan
Nilai dummy yang menunjukkan pekerjaan utama, bernilai 1 petani tebu dan 0 untuk selainnya.
9. Penyuluhan
Angka yang menunjukkan berapa kali responden mengikuti penyuluhan pertanian dalam tahun penelitian, satuan kali per tahun.
4.6. Hipotesis Penelitian
menggambarkan hubungan variabel respon keikutsertaan petani dalam program kemitraan dengan variabel-variabel penjelasnya, hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1. Variabel bebas yang berhubungan positif dengan variabel tak bebas
a. Variabel usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman responden. Peningkatan usia, tingkat pendidikan, dan tingkat pengalaman akan meningkatkan pengetahuan sehingga peningkatan nilai ketiga faktor tersebut akan meningkatkan pendapatan.
b. Variabel kemitraan. Dengan bermitra input produksi menjadi lebih baik sehingga produksi meningkat dan pendapatan meningkat.
c. Variabel frekuensi penyuluhan. Semakin sering petani mengikuti penyuluhan pertanian akan menambah pengetahuan sehingga meningkatkan pendapatan.
d. Variabel penguasaan lahan. Penguasaan lahan sewa atau campuran membuat petani lebih cermat mengelola usahatani karena telah memperhitungkan biaya sewa, sehingga pendapatan makin tingi.
e. Variabel pekerjaan utama. Petani tebu sebagai pekerjaan utama diduga memperbesa pendapatan usahatani karena lebih fokus dalam pengelolaannya.
2. Variabel bebas yang berhubungan negatif dengan variabel tak bebas
V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan data monografi Kecamatan Trangkil, letak kecamatan ini 11 km ke arah utara Kotamadya Pati. Jarak Kecamatan Trangkil dengan Ibukota Propinsi Jawa Tengah, yaitu Semarang, sejauh 86 km. Curah hujan di kecamatan ini 315,8 mm per tahun. Bentuk wilayah datar sampai berombak. Luas wilayah Kecamatan Trangkil sebesar 4.180,4 ha yang tediri dari 22,4 persen lahan sawah dan 77,6 persen lahan kering.
Prasarana jalan terdiri dari jalan aspal, jalan diperkeras, jalan tanah. Masing-masing dikelompokkan ke dalam kategori baik, sedang, dan rusak. Sebagian besar jalan dalam kondisi baik dengan persentase sebesar 94,4 persen. Perincian panjang jalan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Prasarana Jalan di Kecamatan Trangkil
No Kategori Jalan Panjang (km) Persentase (persen)
Sumber: Kecamatan Trangkil (2009)
5.2.1. Usia
Mengacu pada pendapat Hurlock (2004), petani responden dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok usia dewasa yaitu usia dewasa awal (usia 18-40 tahun), usia dewasa madya (usia 18-40-60 tahun), dan usia dewasa lanjut (diatas 60 tahun). Jika usia tepat 40 tahun maka tergolong dewasa madya berdasarkan pendapat Siegler et al. (2003), demikian pula usia tepat 60 tahun dimasukkan dalam kelompok dewasa lanjut. Pengelompokan usia petani responden berdasarkan pendapat Hurlock tersebut disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Usia
No Kelompok usia Mitra
(orang)
Non-Mitra (orang)
Total (orang)
1 Dewasa Awal (18-40 tahun) 9 4 13
2 Dewasa Madya (40-60 tahun) 9 3 12
3 Dewasa Lanjut (diatas 60 tahun) 4 5 9
Jumlah 22 12 34
Komposisi usia petani responden terdiri dari 38,2 persen dewasa awal, 35,3 persen dewasa madya, dan 37,5 persen dewasa lanjut. Petani mitra responden terdiri dari dewasa awal 40,9 persen, dewasa madya 40,9 persen, dewasa lanjut 18,2 persen. Petani non-mitra terdiri dari dewasa awal 33,4 persen, dewasa madya 25 persen, dewasa lanjut 41,6 persen.
5.2.2. Pendidikan
34
Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal
Rata-rata pendidikan petani mitra responden 10,2 tahun sedangkan petani non-mitra responden 11,7 tahun. Pendidikan terbanyak SMA, masing-masing 36,4 persen untuk petani mitra responden dan 66,7 persen untuk petani non-mitra responden. Rentang nilai pendidikan petani mitra responden 1 hingga 19, sedangkan petani non-mitra responden 6 hingga 16 tahun.
5.2.3. Luas Lahan
Petani responden menguasai lahan tebu rata-rata 17,943 ha dengan rentang nilai 0,260 hingga 130,249 ha. Petani mitra responden menguasai rata-rata 25,343 ha dengan rentang nilai 1,5 hingga 130,249 ha. Rata-rata penguasaan lahan petani non- mitra 2,903 ha dengan rentang nilai 0,260 hingga 12 ha. Sebaran responden berdasarkan luas penguasaan lahan tebu disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan yang Dikuasai. No Luah Lahan (ha) Mitra (Orang) Non-Mitra
(Orang) Total (orang)
hingga 20 ha, sehingga dapat dipastikan bahwa petani responden yang menguasai lebih dari 20 ha pasti menyewa lahan. Berikut sebaran responden berdasarkan jenis penguasaan lahan tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Penguasaan Lahan No Luah Lahan (ha) Mitra (Orang) Non-Mitra
(Orang) Total (orang)
1 Milik Saja 4 6 12
2 Sewa Saja 2 3 5
3 Milik dan Sewa 16 3 19
Jumlah 22 12 34
5.2.4. Pengalaman
Pengalaman petani tebu responden rata-rata 12,9 tahun dengan rentang nilai 2 hingga 34 tahun. Pengalaman responden petani mitra rata-rata 16,2 tahun dengan rentang nilai 4 hingga 34 tahun. Pengalaman responden petani non-mitra 6,8 tahun dengan rentang nilai 2 hingga 22 tahun.
Tabel 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman
No Pengalaman (tahun) Mitra (orang) Non-Mitra
(orang) Total (orang)
1 0-8 5 9 14
2 9-17 7 2 9
3 18-26 6 1 7
4 27-35 4 0 4
Jumlah 22 12 34
5.2.5 Jumlah Anggota Keluarga
36
32,4 persen. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga No Jumlah Anggota
Keluarga Mitra (Orang)
Non-Mitra
(Orang) Total (orang)
1 Satu orang 0 2 2
5.2.6 Kelembagaan Petani
Kelembagaan petani tebu di wilayah penelitian yaitu APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), kelompok tani, dan KUD (Koperasi Unit Desa). APTRI berperan penting dalam meningkatkan posisi tawar petani pada lelang gula. APTRI juga berperan sebagai penyalur pupuk bersubsidi bagi petani tebu.
No Persepsi Keanggotaan APTRI
(Orang) (Orang) (orang)
1 Merasa sebagai anggota 14 2 16
2 Tidak merasa sebagai anggota 8 4 12
Jumlah 22 6 28
Proporsi responden petani mitra yang merasa sebagai anggota APTRI 63,6 persen, sedangkan responden non-mitra 33,4 persen. Perbandingan tersebut menggambarkan arus informasi dan komunikasi antara APTRI dengan responden petani mitra lebih besar daripada responden petani non-mitra. Pada Tabel hanya terdapat 6 orang responden petani non mitra karena sisanya tidak menggilingkan tebu melalui PG melainkan langsung menjual dalam bentuk tebu atau menjual tebu dengan sistem tebas sehingga tidak menjadi anggota APTRI.
Sebagian petani responden juga tergabung dalam kelompok-kelompok tani agar memudahkan manajemen tebang angkut. Untuk menyetorkan tebu ke PG petani harus mendapatkan Surat Perintah Tebang Angkut (SPTA). Dengan bergabung dalam kelompok tani petani bisa memenuhi kuota jumlah minimal tebu yang harus ditebang per hari sesuai SPTA dengan mudah. Kelompok tani juga menjadi wadah bagi petani responden untuk bersosialisasi dan saling bertukar informasi antar anggota. Sebaran petani berdasarkan keanggotaan kelompok tani disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Sebaran Responden Berdasarkan Keanggotaan Kelompok Tani
No Keanggotaan Mitra
38
harus memenuhi kuota SPTA, sedangkan 50 persen responden petani non-mitra menjual tebu dengan tebasan sehingga tidak memikirkan untuk memenuhi kuota SPTA.
Dari 22 orang responden petani mitra, sebanyak 20 orang atau 90,9 persen terdaftar sebagai anggota KUD. Akan tetapi berdasarkan keterangan responden, KUD sama sekali tidak memiliki kegiatan. Mereka terdaftar sebagai anggota KUD hanya formalitas sebagai syarat mengajukan kredit.
5.2.7 Sumber Informasi
Sumber informasi yang digumnakan oleh petani tebu responden untuk mengakses informasi tentang tebu yaitu pihak PG, petani lain, APTRI, lembaga penelitian, serta dengan melakukan percobaan sendiri. Informasi dari PG dapat diakses melalui petugas penyuluh lapang tebu rakyat atau langsung bertanya ke kantor PG. Lembaga penelitian yang menjadi sumber informasi responden yaitu Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Percobaan sendiri yaitu petani membuat demplot sendiri untuk mencoba perlakuan tertentu misalnya mencoba varietas baru. Sebaran responden berdasarkan sumber informasi utama dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi No Sumber Informasi Mitra (orang) Non-Mitra
(orang) Total (orang)
1 PG 9 0 9
2 Petani lain 11 11 22
3 APTRI 1 0 1
4 Lembaga Penelitian 0 0 0
5 Percobaan Sendiri 1 1 2
6 Buku 0 0 0
Jumlah 22 12 34
hubungan antar petani sebagai sumber informasi utama sebesar 91,7 persen. Petani responden tidak hanya mengandalkan satu sumber informasi utama namun juga mengakses lebih dari satu sumber informasi.
5.3. Penyelenggaraan Usahatani Tebu
Dalam pelaksanaan usahatani tebu terdapat karakteristik unik yaitu kemampuan tebu untuk tumbuh kembali dan mengulang siklus hidupnya. Artinya setelah ditebang tebu mampu berproduksi kembali tanpa harus menanam bibit baru. Karena itu dalam budidaya tebu dikenal istilah tebu keprasan (ratoon) yang menandakan bahwa tebu tersebut bukan tanaman baru melainkan tebu yang tumbuh kembali setelah ditebang. Pada penelitian ini ada 32 orang responden yang menyelenggarakan tebu kepras (94,1 persen), yang terdiri dari 21 orang petani mitra dan 11 petani non-mitra.
Adapun tanaman tebu yang ditumbuhkan dari bibit baru biasanya disebut PC (Plant Cane). Kedua jenis tanaman ini membutuhkan beberapa aktivitas perlakuan yang berbeda. Pada penelitian ini ada 19 orang responden yang menanam tanaman baru (55,9 persen), selanjutnya disebut responden PC, yang terdiri dari 18 orang mitra dan 1 orang non-mitra.
5.3.1. Tanaman Baru
Yang dimaksud dengan tanaman baru yaitu tebu yang ditumbuhkan dari bibit baru. Bibit yang digunakan responden yaitu potongan batang tebu sepanjang dua atau tiga ruas dan mata tunasnya belum tumbuh. Perawatan tanaman baru melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Pengolahan Lahan
40
Alat yang digunakan untuk cemplong disebut lempak atau lencok. Dari 19 responden yang menanam tebu baru (PC), 89,5 persen mengolah lahan dengan traktor dan 10,5 persen dengan cemplongan.
Pengolahan lahan dengan menggunakan traktor umumnya lahan dibajak tiga kali yaitu bajak satu, kemudian bajak dua dengan arah menyilang dari arah bajak satu, dan kair (pembuatan juring atau leng). Berdasarkan wawancara dengan petani, jika tanah gembur atau sisa tanaman singkong bisa dibajak satu kali saja kemudian langsung dibuat alur tanaman tebu (kair). Setelah itu dibuat got yang memotong kair tersebut menjadi juring dengan panjang 8 atau 10 meter. Got diperlukan untuk merangsang pertumbuhan akar menuju air tanah. Got yang dangkal dapat membuat penyebaran akar tebu juga dangkal karena mudah mencapai air tanah. Jika air di lahan bisa menggenang maka dibuat got keliling (kiter), got malang (baon), dan got mujur (sudet) agar drainase lebih lancar. Jika lahan kering maka cukup dibuat beberapa got yang langsung memotong kair menjadi juring.
2. Tanam
Persiapan sebelum tanam meliputi pembuatan kasuran, seleksi bibit, dan mengupas bibit yang masih terbungkus pelepah daun. Pembuatan kasuran yaitu mengeruk sedikit tanah di sisi dasar juring membentuk alur kecil untuk mempermudah meletakkan dan menutup bibit dengan tanah. Responden PC yang membuat kasuran 63,2 persen. Seleksi dan mengupas bibit langsung dilakukan pekerja di lahan pada saat tanam. Bibit yang digunakan responden adalah bibit bagal, yaitu potongan batang tebu sepanjang dua atau tiga ruas dan mata tunasnya belum tumbuh. Penanaman bibit dilakukan dengan meletakkan bibit secara horizontal searah kasuran/juring dengan mata tunas disamping kemudian ditutup sedikit tanah.
Waktu penanaman terkait dengan ketersediaan air. Umumnya petani di wilayah penelitian menunggu datangnya musim penghujan (Oktober-November) karena jika mengandalkan pemompaan sumur bor membutuhkan biaya yang besar. Jika sudah turun hujan maka pengairan dengan pompa air akan lebih ringan.
3. Pengairan
Tebu membutuhkan air yang cukup namun tidak tahan genangan air. Pengairan ini sangat diperlukan terutama saat tanam agar akar pada bagal dan tunas bisa tumbuh serta agar tunas tersebut setelah tumbuh tidak mati kekeringan. Pengairan yang dilakukan oleh responden umumnya mengandalkan air hujan didukung dengan penggunaan pompa air dari sumur bor. Kebanyakan lahan tebu di wilayah penelitian memiliki satu sampai dua sumur bor per ha. Demikian pula lahan tebu yang disewakan biasanya sudah ada sumur bor pada lahan tersebut. Responden PC yang menggunakan pompa air sebesar 78,9 persen.
4. Sulam
Penyulaman terkait dengan adanya bibit yang tidak tumbuh. Jika banyak jumlahnya sedikit maka tidak perlu disulam, namun jika diperkirakan akan menurunkan produksi tebu maka disulam. Penyulaman PC di wilayah penelitian menggunakan cara sulam glondong yaitu sulam dengan menggunakan bibit bagal baru pada saat pertumbuhan tunas tebu di lahan masih awal, sekitar satu bulan setelah tanam, sehingga perbedaan pertumbuhan minimal. Responden PC yang melakukan sulam sebanyak 52,6 persen.
5. Penyiangan
42
manual saja 36,9 persen, herbisida saja 10,5 persen, dan 15,8 persen menggunakan kedua cara itu bersamaan.
6. Pemupukan dan Pembumbunan
Pupuk yang digunakan responden PC yaitu pupuk alami dan pupuk sintetis. Pupuk alami yang digunakan yaitu pupuk kandang, kompos, dan blotong (sisa kotoran nira tebu berupa abu hitam). Pupuk sintetis yang digunakan yaitu ZA dan Phonska. Aplikasi ZA dan Phonska dicampur dengan rasio 1:1 hingga 4:1 karena harga ZA lebih murah. Seluruh responden PC (100 persen) menggunakan campuran ZA dan Phonska. Responden PC yang menggunakan campuran pupuk alami, ZA dan Phonska sebanyak 47 persen. Hal ini karena pupuk alami dampaknya tidak terlihat secara langsung namun dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah sehingga petani responden menggunakannya untuk lahan milik dan lahan sewa yang durasinya lebih dari dua tahun.
Pemupukan umumnya dua kali, setiap pemupukan diikuti pembubunan. Pembumbunan berguna untuk menutup pupuk sekaligus merangsang pertumbuhan akar dan menguatkan berdirinya batang agar tidak mudah roboh. Pemupukan pertama dilakukan saat daun tebu telah berjumlah sekitar lima helai atau sekitar 2 bulan setelah tanam. Pemupukan pertama menggunakan campuran ZA dan Phonska sekitar 3-7 ku per ha atau ditambahkan pupuk alami sekitar 30 ku per ha bagi responden yang menggunakannya. Seluruh responden melakukan pupuk pertama. Pemupukan pertama diikuti pembumbunan pertama atau sewar. Responden PC yang tidak melakukan sewar 21 persen, responden menanggap pupuk yang menguap tidak seberapa dan tebu masih kecil sehingga belum perlu dibumbun.
khusus diaplikasikan pada tebu yang pertumbuhannya tertinggal tersebut. Pupuk yang digunakan yaiti campuran ZA dan Phonska yang jumlahnya disesuaikan kebutuhan masing-masing tebu. Hanya 5,3 persen responden PC yang melakukan pemupukan colok.
7. Perbaikan Got
Pertumbuhan rumput dan erosi hujan menyebabkan got-got menjadi dangkal sehingga perlu diperbaiki. Perbaikan got ini disebut songkel. Songkel dilakukan agar drainase lancar sehingga jika curah hujan tinggi air tidak menggenang. Karena itu bersifat opsional serta waktu pelaksanaan songkel tidak pasti tergantung kondisi kerusakan got dan curah hujan. Jika got sudah rusak namun curah hujan rendah sehingga air tidak menggenang maka songkel belum perlu dilakukan. Responden PC yang melakukan songkel sebanyak 89,5 persen.
8. Pengendalian Hama
Berdasarkan wawancara dengan petani, hama yang menyerang tebu relatif sedikit yaitu penggerek pucuk. Hama ini biasanya hanya menyerang sebagian tebu. Ciri-ciri serangan hama ini yaitu pucuk tebu bundel. Upaya pengendalian dilakukan dengan memotong pucuk yang terserang atau dengan disemprot pestisida. Aktivitas pemotongan pucuk tebu tersebut dinamakan roges atau nguler. Meskipun demikian sebagian petani membiarkan tebu yang terserang hama tersebut karena penyebarannya relatif lambat dan tidak meluas. Proporsi responden PC yang melakukan upaya pengendalian penggerek pucuk sebesar 26,3 persen.
9. Gendel
44
pengangkutan di truk tidak efisien karena boros tempat. Cara mengatasinya dengan menegakkan kembali batang yang roboh kemudian diikat secara berkelompok, cara ini disebut gendel. Hanya 5,3 persen responden PC yang melakukan gendel karena tanaman baru relatif lebih kokoh dan jarang roboh.
10. Kletek
Kletek adalah pengupasan daun-daun kering dan yang telah menguning yang membungkus ruas-ruas batang tebu. Kletek bertujuan agar hasil fotosintesis daun langsung digunakan untuk pertumbuhan batang, juga agar batang tebu terkena sinar matahari untuk mengoptimalkan pembentukan zat gula dalam batang tebu. Responden PC 94,7 persen diantaranya melakukan kletek dua kali dan 5,3 persen melakukan kletek 3 kali. Kletek pertama dilakukan saat umur tebu 5-6 bulan. Kletek kedua dilakukan saat menjelang tebang bagi yang dua kali kletek, sedangkan yang tiga kali kletek kedua dilakukan saat umur tebu 9-10 bulan dan kletek ketiga saat umur tebu 11-12 bulan.
11. Panen dan Pascapanen
Petani yang menggilingkan tebu di PG Trangkil akan dicek oleh petugas PG apakah tebu sudah siap tebang. Jika dilihat sudah siap tebang akan diambil sampel tebu dari lahan. PG memiliki perangkat giling khusus berkapasitas kecil untuk mengiling sampel tebu tersebut dan melakukan analisa sampel. Jika hasil analisa sampel menunjukkan tebu telah siap tebang maka PG akan memberikan ijin tebang.
Tebang dilakukan oleh tenaga manusia kemudian dimuat dalam truk dan diangkut ke PG. Jika lokasi lahan tebu jauh dari jalan maka tenaga tebang akan meminta tambahan upah untuk mengangkut tebu ke truk. Tebang angkut dapat dilakukan sendiri atau PG. Jika dilakukan PG maka biayanya akan dipotong dari hasil gula.