• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-Sektor Perekonomian Di Kota Bekasi Pada Masa Otonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-Sektor Perekonomian Di Kota Bekasi Pada Masa Otonomi Daerah"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH PRITTA AMALIA

H14103119

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

PRITTA AMALIA. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI).

Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik, diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah, meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah. Sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi yang juga mengimplementasikan kedua Undang-Undang tersebut, ternyata ikut mengalami peningkatan. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000).

Bersamaan dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi, ternyata jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tentunya akan sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang. Seperti yang diketahui bahwa perkembangan ekonomi suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya.

(3)

dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2002-2005, hampir seluruh sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki nilai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata (LPER) yang positif dan Nilai Persentase Perubahan (NPP) total PDRB Kota Bekasi lebih besar dibandingkan dengan nilai NPP total PDRB Jawa Barat. Kemudian berdasarkan komponen pertumbuhan wilayah, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kota Bekasi, sektor kontruksi merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat dan sektor ini terdapat pada kuadran II karena sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan tidak mampu berdaya saing. Sedangkan sektor yang memiliki laju pertumbuhan terlambat adalah sektor pertanian dan sektor ini terdapat pada kuadran III karena selain memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sektor ini juga tidak mampu berdaya saing. Sementara itu, sektor yang paling mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor ini berada pada kuadran IV karena meskipun mampu berdaya saing, ternyata sektor ini memiliki pertumbuhan yang lambat, sedangkan sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor kontruksi, sektor ini berada di kuadran II karena walaupun tidak mampu berdaya saing, tetapi sektor ini memiliki pertumbuhan yang cepat.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Pritta Amalia lahir pada tanggal 14 April 1984 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Nur Effendi dan Tusi Gusniar. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis diawali dari Taman Kanak-Kanak di TK Yuli, lalu menamatkan sekolah dasarnya di SDN Bekasi Jaya Indah I, kemudian melanjutkan ke SLTPN 3 Bekasi dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMUN 2 Bekasi.

(5)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Pritta Amalia

(6)

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING

SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI

PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh

PRITTA AMALIA H14103119

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(7)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Pritta Amalia Nomor Registrasi Pokok : H14103119 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir.Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. NIP. 131 967 243

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

II. KERANGKA PEMIKIRAN... 10

2.1. Keterkaitan Antara Otonomi Daerah dengan Pertumbuhan Ekonomi... 10

2.2. Teori Pertumbuhan Wilayah... 12

2.3. Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian ... 14

2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share……….... 15

2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share…………... 15

2.4. Penelitian Terdahulu…... 17

2.5. Kerangka Pemikiran Operasional... 20

III. METODE PENELITIAN... 23

3.1. Lokasi Penelitian... 23

3.2. Jenis dan Sumber Data... 23

3.3. Metode Analisis... 24

(9)

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI ... 37

4.1. Keadaan Geografi dan Pemerintahan... 37

4.2. Demografi... 39

4.3. Sarana dan Prasarana... 41

4.3.1. Transportasi... 41

4.3.2. Penyediaan Air bersih... 41

4.3.3. Pengelolaan Sampah... 42

4.3.4. Sistem Drainase... 43

4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum... 43

4.4. Kondisi Perekonomian... 43

4.5. Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.1. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.2. Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 47

4.5.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 50

5.1. Analisis Laju Perumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi Tahun 2002-2005...………. 50

5.2. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2005... 52

5.3. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi Tahun 2002-2005. ………. 55

5.4. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomiaan di Kota Bekasi Tahun 2002-2005... 57

5.5. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian di Kota Bekasi Tahun2002-2005...………. 61

VI. KESIMPULAN DAN SARAN...………... 65

6.1. Kesimpulan ………. 65

6.2. Saran ………. 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001-2005 (Persen)... 3 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Menurut Provinsi,

Tahun 2001-2005 (Persen).………... 4 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005... 6 4.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan

Tahun 2005... 39 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor-sektor Perekonomian Kota

Bekasi, Tahun 2005 (Persen)... 44 5.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi,

Tahun 2002-2005 (Persen)...……… 51 5.2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 53 5.3. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 54 5.4. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi, Tahun 2002

(11)

OLEH PRITTA AMALIA

H14103119

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(12)

RINGKASAN

PRITTA AMALIA. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI).

Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik, diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah, meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah. Sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi yang juga mengimplementasikan kedua Undang-Undang tersebut, ternyata ikut mengalami peningkatan. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000).

Bersamaan dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi, ternyata jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tentunya akan sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang. Seperti yang diketahui bahwa perkembangan ekonomi suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya.

(13)

dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2002-2005, hampir seluruh sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki nilai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata (LPER) yang positif dan Nilai Persentase Perubahan (NPP) total PDRB Kota Bekasi lebih besar dibandingkan dengan nilai NPP total PDRB Jawa Barat. Kemudian berdasarkan komponen pertumbuhan wilayah, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kota Bekasi, sektor kontruksi merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat dan sektor ini terdapat pada kuadran II karena sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan tidak mampu berdaya saing. Sedangkan sektor yang memiliki laju pertumbuhan terlambat adalah sektor pertanian dan sektor ini terdapat pada kuadran III karena selain memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sektor ini juga tidak mampu berdaya saing. Sementara itu, sektor yang paling mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor ini berada pada kuadran IV karena meskipun mampu berdaya saing, ternyata sektor ini memiliki pertumbuhan yang lambat, sedangkan sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor kontruksi, sektor ini berada di kuadran II karena walaupun tidak mampu berdaya saing, tetapi sektor ini memiliki pertumbuhan yang cepat.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Pritta Amalia lahir pada tanggal 14 April 1984 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Nur Effendi dan Tusi Gusniar. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis diawali dari Taman Kanak-Kanak di TK Yuli, lalu menamatkan sekolah dasarnya di SDN Bekasi Jaya Indah I, kemudian melanjutkan ke SLTPN 3 Bekasi dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMUN 2 Bekasi.

(15)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Pritta Amalia

(16)

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING

SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI

PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh

PRITTA AMALIA H14103119

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(17)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Pritta Amalia Nomor Registrasi Pokok : H14103119 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir.Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. NIP. 131 967 243

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872

(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

II. KERANGKA PEMIKIRAN... 10

2.1. Keterkaitan Antara Otonomi Daerah dengan Pertumbuhan Ekonomi... 10

2.2. Teori Pertumbuhan Wilayah... 12

2.3. Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian ... 14

2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share……….... 15

2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share…………... 15

2.4. Penelitian Terdahulu…... 17

2.5. Kerangka Pemikiran Operasional... 20

III. METODE PENELITIAN... 23

3.1. Lokasi Penelitian... 23

3.2. Jenis dan Sumber Data... 23

3.3. Metode Analisis... 24

(19)

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI ... 37

4.1. Keadaan Geografi dan Pemerintahan... 37

4.2. Demografi... 39

4.3. Sarana dan Prasarana... 41

4.3.1. Transportasi... 41

4.3.2. Penyediaan Air bersih... 41

4.3.3. Pengelolaan Sampah... 42

4.3.4. Sistem Drainase... 43

4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum... 43

4.4. Kondisi Perekonomian... 43

4.5. Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.1. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 45

4.5.2. Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 47

4.5.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 50

5.1. Analisis Laju Perumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi Tahun 2002-2005...………. 50

5.2. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2005... 52

5.3. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi Tahun 2002-2005. ………. 55

5.4. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomiaan di Kota Bekasi Tahun 2002-2005... 57

5.5. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian di Kota Bekasi Tahun2002-2005...………. 61

VI. KESIMPULAN DAN SARAN...………... 65

6.1. Kesimpulan ………. 65

6.2. Saran ………. 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001-2005 (Persen)... 3 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Menurut Provinsi,

Tahun 2001-2005 (Persen).………... 4 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005... 6 4.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan

Tahun 2005... 39 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor-sektor Perekonomian Kota

Bekasi, Tahun 2005 (Persen)... 44 5.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi,

Tahun 2002-2005 (Persen)...……… 51 5.2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 53 5.3. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005... 54 5.4. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi, Tahun 2002

(21)
(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Menurut Provinsi, Tahun

2002-2005 (persen)………... 71 2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar

Harga Konstan 2000, Tahun 2002-2005 (Juta Rupiah)... 72 3. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar

(23)

kita semua. Tidak lupa salawat dan salam juga penulis curahkan kepada Rasullulah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang tetap istiqomah memegang teguh ajaran beliau hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan karunia yang diberikan Allah SWT, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah”. Otonomi daerah merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di daerah, khususnya di Kota Bekasi. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama kepada Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, kemudian kepada Sahara, SP, M.Si sebagai dosen penguji utama dan Widyastutik, SE, M.Si sebagai dosen penguji dari Komisi Pendidikan yang telah menguji hasil penelitian, memberikan masukan berupa saran dan kritik sekaligus perbaikan mengenai tata cara penulisan skripsi ini dengan baik dan benar. Selain itu, penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orang tua penulis atas segala dukungan dan semangat yang berupa material maupun spiritual. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebenarnya bagi Indonesia, otonomi daerah bukanlah suatu hal yang baru karena sejak zaman kemerdekaan sampai dengan tahun 1980 telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah, mulai dari Undang Nomor 01 Tahun 1945 sampai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (Elmi, 2004). Namun dalam pelaksanaannya dimasa lalu, otonomi daerah masih bersifat semu dan tidak sungguh-sungguh dalam penerapan maupun pelaksanaannya. Hal itu disebabkan karena masih mendominasinya campur tangan Pemerintah Pusat yang mengakibatkan kewenangan Pemerintah Pusat semakin hari bertambah besar terhadap pengaturan pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan di tingkat daerah.

(25)

yang berkaitan dengan redistribusi sumber-sumber daya supaya mereka bisa memperoleh bagian lebih besar daripada sebelumnya.

Sebagai wujud responsif dari tuntutan beberapa Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Pusat mengganti beberapa Undang lama dengan Undang-Undang baru yang dirasa memiliki kaitan erat dengan tuntutan-tuntutan tadi diantaranya: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Menurut Undang-Undang ini otonomi daerah dipahami sebagai suatu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan untuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 Pemerintah Pusat menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Adapun yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, mancangkup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi serta kebutuhan daerah.

(26)

3

merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat saja, tetapi kini akhirnya Pemerintah Pusat turut melibatkan Pemerintah Daerah agar ikut bertanggung jawab dalam memulihkan perekonomian di daerahnya masing-masing (Saragih, 2003).

Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1997-2005 (Persen)

Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi

1997 4,91 Sumber: BPS Pusat, 1997-2005.

Setelah diimplementasikannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik (lihat Tabel 1.1), diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah (lihat Tabel 1.2), meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah.

(27)

perekonomian disuatu wilayah secara relatif banyak yang mengalami peningkatan dalam laju pertumbuhannya, maka bisa dipastikan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di daerah tersebut juga akan mengalami peningkatan, begitu pula sebaliknya.

Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata, Menurut Provinsi, Tahun 2001- 2005 (Persen)

No Provinsi Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata

Tahun 2001-2005

1. Nanggroe Aceh Darussalam 11,88

2. Sumatera Utara 4,91

9. Kepulauan Bangka Belitung 6,19

10. Kepulauan Riau 6,52

19. Kalimantan Tengah 4,92

20. Kalimantan Selatan 4,54

21. Kalimantan Timur 2,57

22. Sulawesi Utara 3,56

23. Sulawesi Tengah 6,29

24. Sulawesi Selatan 4,42

25. Sulawesi Tenggara 6,81

26. Gorontalo 6,57

27. Sulawesi Barat -

28. Nusa Tenggara Barat 4,56

29. Nusa TenggaraTimur 4,41

30. Maluku 3,34

31. Maluku Utara 3,55

32. Irian Jaya Barat 7,43

33. Papua 14,49

(28)

5

Kota Bekasi sebagai salah satu kota besar yang relatif tidak memiliki sumber daya alam dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah ini mempunyai karakteristik tersendiri. Kota yang baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dan diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997 tersebut, sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bekasi.

Ketika baru didirikan, Kota Bekasi memiliki sektor unggulan yang sama dengan Kabupaten Bekasi yaitu pada sektor industri, tetapi pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000, Kota Bekasi mengalihkan sektor unggulannya dari sektor industri ke sektor jasa dan perdagangan. Adanya peralihan sektor unggulan di Kota Bekasi pada tahun 2000 telah mengindikasikan bahwa sejalan dengan perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang, tidak menutup kemungkinan jika Kota Bekasi akan mengalihkan lagi sektor unggulannya dari sektor jasa dan perdagangan ke sektor potensial lainnya.

(29)

1.2. Perumusan Masalah

Semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional (lihat Tabel 1.1) dan laju pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di Indonesia (lihat Tabel 1.2), laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi juga mengalami peningkatan (lihat Tabel 1.3). Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000).

Tabel 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005

Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (Persen)

Sumber: BPS Kota Bekasi, 2001-2005.

(30)

7

tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi.

Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya.

Oleh karenanya, maka diperlukan adanya suatu penelitian yang dapat memilih sektor unggulan dengan tepat. Dengan menggunakan alat analisis shift share, penelitian kali ini nantinya dimaksudkan akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat terutama dalam memberikan informasi secara lengkap mengenai sektor-sektor perekonomian mana saja yang tepat untuk dijadikan sektor unggulan. Adapun sektor unggulan yang dimaksud adalah sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing.

Berdasarkan uraian diatas, maka secara sistematis penelitian ini akan menjawab berbagai macam permasalahan, sebagai berikut:

(31)

2. Bagaimanakah daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005?

3. Bagaimanakah pergeseran bersih dan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.

2. Menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.

3. Mengidentifikasi pergeseran bersih dan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Sesuai dan sejalan dengan tujuan penilitian, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Pemerintah

(32)

9

pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya.

2. Masyarakat

Memotivasi masyarakat Kota Bekasi agar mau ikut berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi.

3. Mahasiswa

Bahan informasi bagi mahasiswa lainnya yang memiliki ketertarikan dan keinginan untuk mengadakan penelitian tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (2002-2005). Pada penelitian kali ini Shift Share digunakan sebagai alat analisis karena dengan menggunakan Shift Share pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi dapat diketahui dan dibandingkan dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000.

(33)

Menurut Suwandi (2002), pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain didalamnya yang bersifat negara, artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintah.

Sementara itu nilai dasar desentralisasi teritorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Berkaitan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan. Hal ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

(34)

11

a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal.

b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan.

c. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir diatas, terutama terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dalam persebaran pemerintahan otonomi daerah terdapat dua prinsip pokok yang harus diperhatikan yaitu: 1) Selalu terdapat urusan pemerintah yang secara absolut tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, dan 2) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Bagian-bagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah yang menyangkut kepentingan masyarakat setempat. Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kota/Kabupaten dan ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh provinsi dan ada juga bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

(35)

yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain sehingga sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas dasar sumberdaya-sumberdaya tersebut maupun atas dasar kegiatan perekonomian lainnya yang pada intinya kesemua itu memiliki tujuan untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah dan memperkuat NKRI.

Meskipun Keuangan menjadi salah satu urusan yang termasuk tidak dapat diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Namun dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, telah menyiratkan bahwa setiap daerah telah diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya masing-masing, termasuk aturan maupun urusan yang menyangkut perkembangan perekonomian di suatu wilayah., sehingga setiap daerah diharuskan memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan potensi sektor-sektor ekonomi (sektor unggulan) sebagai pendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah pada setiap tahunnya.

2.2. Teori Pertumbuhan Wilayah

(36)

13

paling sederhana. Teori ini dikembangkan berdasakan hipotesis Clark Fisher yang mengemukakan bahwa kenaikan pendapatan perkapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi sumberdaya yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam sektor industri manufaktur (sektor sekunder) lalu kemudian dalam sektor industri jasa (tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift), dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah.

Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan indusri jasa adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka pendapatan yang meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) sumberdaya tenaga kerja dan modal dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor sekunder dan tersier menikmati kemajuan yang lebih besar dalam tingkat produktivitas.

(37)

maka terdapat kausalitas ”produktivitas - harga rendah - permintaan bertambah luas”, bukan sebaliknya.Terjadinya perubahan atau pergeseran sektor dan evaluasi spesialisasi (pembagian kerja) dipandang sebagai sumber dinamika pertumbuhan wilayah.

2.3. Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian

Model Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et al pada tahun 1960. Menurut Budiharsono (2001), analisis shift share ini menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu disuatu wilayah.

2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share

Analisis shift share memiliki kegunaan dan kemampuan untuk menunjukkan:

a. Perkembangan sektor perekonomian disuatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas.

b. Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya.

c. Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.

(38)

15

Pada Gambar 2.1 analisis shift share menunjukan bahwa perubahan sektor i pada wilayah j dipengaruhi oleh tiga komponen pertumbuhan wilayah. Ketiga komponen yang dimaksud adalah komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proposional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).

Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah melalui pergeseran bersih.

Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share Sumber : Budiharsono, 2001

2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share

Analisis shift share memiliki kelebihan-kelebihan dalam proses pengumpulan data. Data yang dipergunakan dalam menganalisis pertumbuhan dengan metode analisis shift share dapat berupa data produksi, kesempatan kerja, PDB dan PDRB berdasarkan atas dasar harga konstan. Penelitian ini menggunakan nilai PDRB provinsi dan PDRB Kota yang menunjukan struktur perekonomian provinsi dan kota. Penggunaan data PDRB provinsi dan kota

Komponen Pertumbuhan Nasional (PN)

(39)

seharusnya dapat dengan mudah diperoleh dan relatif tersedia mulai dari tingkat kabupaten/ kota hingga provinsi. Hal ini juga berlaku pada data kesempatan kerja dan produksi.

Selain itu, kemampuan teknik analisis shift share tidak lepas dari kelemahan-kelemahan, antara lain:

a. Analisis shift share hanya merupakan suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan satu variabel wilayah menjadi komponen-komponen. Persamaan shift share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keprilakuan. Metode analisis shift share juga merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak analitik.

b. Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah ekuivalen dengan laju pertumbuhan nasional. Gagasan tersebut terlalu sederhana karena mengabaikan sebab-sebab pertumbuhan wilayah.

c. Arti ekonomi dari kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) tidak dikembangkan dengan baik. Kedua komponen pertumbuhan wilayah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.

(40)

17

dengan wilayah-wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.

e. Analisis shift share tidak mampu menganalisis keterkaitan kedepan dan kebelakang antar sektor yang disebabkan oleh adanya pergeseran pertumbuhan seperti yang dilakukan pada analisis input output.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah dengan menggunakan Shift Share sebagai alat analisis pernah dilakukan di Indonesia diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Putra (2004) mengenai analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi daerah menghasilkan kesimpulan bahwa pada saat sebelum otonomi daerah (1994-1996) sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat adalah sektor industri pengolahan, sedangkan sektor jasa-jasa merupakan sektor yang memiliki pertumbuahan paling lambat. Pada masa otonomi daerah, sektor pertambangan masih menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat, sementara sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki pertumbuhan paling lambat.

(41)

sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa menjadi sektor yang paling mampu berdaya saing.

Restuningsih (2004) dalam penelitiannya yang berjudul, ”Analisis Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta Pada Masa krisis Ekonomi Tahun 1997-2002” menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dan laju pertumbuhan nasional mengalami penurunan pada masa krisis ekonomi. Akan tetapi penurunan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta cukup besar yakni mencapai -7,6 persen dibandingkan dengan laju pertumbuhan nasional yang hanya mencapai -1,50 persen.

Jika ditinjau secara sektoral, sebagian besar sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan kontribusi terhadap pembentukan PDB secara nasional. Sektor bangunan merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terbesar dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terkecil.

Selain itu adanya krisis ekonomi berpengaruh pada pertumbuhan proposional sehingga menyebabkan PDRB Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan. Namun demikian, pengaruh daya saing antar sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta telah meningkatkan PDRB DKI Jakarta.

(42)

19

pendapatan. Sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan kontruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian serta sektor pertambangan dan penggalian tidak mampu menjadi sektor basis pada tahun 2000-2002.

Analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian 30 provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Rini (2006) dengan alat analisis shift share menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1998 dan 2003 mengalami pertumbuhan positif. Dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi 30 provinsi di Indonesia, maka terdapat 16 provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sedikitnya 14 provinsi mengalami pertumbuhan yang lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi nasional dimana dua provinsi diantaranya mempunyai pertumbuhan yang negatif.

(43)

Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang tidak mampu berdaya saing dengan baik.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa metode analisis shift share dapat digunakan untuk menganalisis sektor-sektor perekonomian dari bagian terkecil wilayah sampai tingkat nasional dengan melakukan perbandingan laju pertumbuhan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Restuningsih (2004) dan Rini (2006) dalam hal tempat dan tahun penelitian, sedangkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahri, berbeda dalam hal tahun dan metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini dilakukan di Kota Bekasi dengan menggunakan PDRB Jawa Barat dengan PDRB Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (tahun 2002 dan 2005).

2.5. Kerangka Pemikiran Operasional

(44)

21

Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi yang mengalami penurunan pada masa otonomi daerah, ternyata menjadi salah satu penyebab jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan pada masa itu. Berdasarkan pernyataan tersebut, Pemerintah Kota Bekasi melalui berbagai kebijakan pembangunan diharapkan dapat melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan perekonomian sekaligus kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi adalah upaya dalam penyediaan sarana dan prasarana publik yang harusnya selalu diprioritaskan pada sektor-sektor perekonomian yang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat maupun pada sektor unggulan.

(45)

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Shift Share

Pertumbuhan

Sektor-sektor Perekonomian

Daya Saing

Sektor-sektor Perekonomian Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi

Cepat Lambat

Rekomendasi bagi Pemerintah Kota Bekasi agar memprioritaskan sektor-sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan cepat

dan mampu berdaya saing (sektor unggulan) dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya.

pada Masa Otonomi Daerah (Tahun 2002-2005)

Tidak Mampu Mampu

Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Laju

(46)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi atau wilayah yang digunakan sebagai objek penelitian mengenai analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian adalah Kota Bekasi. Kota Bekasi dipilih menjadi lokasi atau wilayah penelitian karena beberapa alasan yaitu: 1) Kota Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota DKI Jakarta sehingga Kota Bekasi memiliki struktur perekonomian yang berbeda jika dibandingkan oleh Kota-kota lain yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, 2) Sebagai salah satu kota besar di Provinsi Jawa Barat, Kota Bekasi dapat memberi kontribusi yang berarti bagi PDRB Provinsi Jawa Barat, 3) Data-data yang berkenaan dengan Kota Bekasi dan diperlukan pada penelitian ini relatif tersedia dengan lengkap, 4) Belum adanya penelitian tentang analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (tahun 2002 dan 2005).

3.2. Jenis dan Sumber Data

(47)

lainnya yang diperoleh dari internet dan perpustakaan-perpustakaan di lingkungan IPB maupun yang diluar lingkungan IPB.

3.3. Metode Analisis

Alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah tertentu adalah analisis shift share. Analisis shift share juga merupakan suatu alat analisis mengenai perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu (tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis) disuatu wilayah. Hasil yang dapat ditunjukan oleh analisis shift share antara lain: (1)

Perkembangan suatu sektor disuatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, (2) Perkembangan suatu wilayah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih luas.

3.3.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata Kota Bekasi LPER = LPEt

n

t

=1

n Dimana:

LPER = Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata

LPEt = Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun tertentu.

t = Tahun

(48)

25

3.3.2. Analisis Shift Share

3.3.2.1. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Jawa Barat

Menurut Budiharsono (2001), jika dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/propinsi (j = 1, 2, 3…, m) dan n sektor ekonomi (i = 1, 2, 3…, n), maka PDRB provinsi dan PDRB kota dari sektor i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun dasar analisis (2002).

Yi. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002.

Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.. b. PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun akhir analisis (2005).

Y’i. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005.

Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. Sedangkan total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis, dirumuskan sebagai berikut:

c. Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun dasar analisis (2002).

(49)

Dimana:

Y.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002. Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. d. Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis (2005).

∑∑

Y’.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005. Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. Perubahan PDRB Kota Bekasi/Provinsi Jawa Barat sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

ΔYij = Y’ij –Yij

Dimana:

ΔYij = Perubahan PDRB dari sektor i pada wilayah j.

Yij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. Y’ij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005.

Persentase perubahan PDRB provinsi/kota sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

%ΔYij = Y’ij –Yij X 100 Yij

(50)

27

Menghitung nilai ri, Ri dan Ra menggunakan nilai PDRB yang terjadi pada dua titik waktu.

a. ri

Nilai ri adalah selisih antara PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis dengan PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut:

ri = Y’ij -Yij Yij

Dimana:

Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. b. Ri

Nilai Ri adalah selisih antara PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis dengan PDRB provinsi sektor i pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB provinsi sektor i pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut:

Ri = Y’i.- Yi. Yi. Dimana:

(51)

c. Ra

Nilai Ra adalah selisih antara total PDRB provinsi pada tahun akhir analisis dengan total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis dibagi dengan total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut:

Ra = Y’..- Y.. Y.. Dimana:

Y.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002. Y’..= Total PDRB Provinsi Jaba Barat pada tahun 2005.

3.3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah

Komponen pertumbuhan wilayah terdiri atas komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proposional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa pasar wilayah (PPW). Nilai PN, PP dan PPW diperoleh dari perhitungan nilai ri, Ri dan Ra, dengan rumus sebagai berikut:

a. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN)

(52)

29

lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya. Komponen PN dapat dirumuskan sebagai berikut:

PNij = (Ra) Yij………... (1) Dimana:

PNij = Komponen pertumbuhan nasional dari sektor i pada wilayah j. Yij = PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. (Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional.

Apabila:

PRij < (Ra) Yij, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah tersebut (kota) lebih besar daripada pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah diatasnya (provinsi).

PRij > (Ra) Yij, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi suatu wilayah (kota) lebih kecil daripada pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah di atasnya (provinsi).

b. Komponen Pertumbuhan Proposional (PP)

Komponen pertumbuhan proposional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen PP dapat dirumuskan sebagai berikut:

PPij = (Ri – Ra) Yij... (2) Dimana:

(53)

Yij = PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.. (Ri-Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan proposional.

Apabila:

PPij < 0: Menunjukan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya lambat.

PPij > 0: Menunjukan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya cepat.

c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

Komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan produksi/kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Komponen PPW dapat dirumuskan sebagai berikut:

PPWij = (ri – Ri) Yij ………. (3) Dimana:

PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j. Yij = PDRB Kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.

(54)

31

Apabila:

PPWij < 0: Berarti sektor i pada wilayah j tidak mempunyai daya saing yang baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk sektor i.

PPWij > 0: Berarti sektor i pada wilayah j mempunyai daya saing yang baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk sektor i.

Adapun perubahan dalam PDRB sektor i pada wilayah j dirumuskan sebagai berikut:

ΔYij = PRij + PPij + PPWij... (4)

ΔYij = Y’ij – Yij...(5)

Apabila persamaan (1), (2), (3) dan (5) disubtitusikan kepersamaan (4), maka didapatkan rumus sebagai berikut:

ΔYij = PRij + PPij + PPWij

Y’ij – Yij = Y’ij – Yij + Yij (Ri-Ra) + Yij (ri – Ri)

Dimana:

ΔYij = Perubahan PDRB sektor i pada wilayah j.

Yij = PDRB sektor i pada wilayah j pada tahun 2002..

Y’ij = PDRB sektor i pada wilayah j pada tahun 2005.

(55)

% PNij = (PNij)/Yij X 100%

% PPij = (PPij)/Yij X 100%

% PPWij = (PPWij)/Yij X 100%

3.3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih

Analisis profil pertumbuhan PDRB suatu wilayah dapat dilihat berdasarkan penjumlahan komponen pertumbuhan proposional dan pangsa wilayah. Pergeseran bersih yang diperoleh dari penjumlahan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

PBij = PPij + PPWij Dimana:

PBij = Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j.

PPij = Komponen pertumbuhan proposional sektor i pada wilayah j. PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j. Apabila:

PBij > 0: Berarti pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju).

(56)

33

Persentase pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:

%PBij = PBij/Yij X 100%

3.3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan

Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu yang ditentukan dengan cara mengekspresikan persentase perubahan komponen pertumbuhan proposional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Pada sumbu horizontal terdapat PP sebagai absis, sedangkan pada sumbu vertikal terdapat PPW sebagai ordinat.

PPW

Kuadran IV Kuadran I

PP

Kuadran III Kuadran II

Gambar 3.1. Profil Pertumbuhan PDRB Sumber : Budiharsono, 2001

Keterangan:

(57)

Hal ini menunjukan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah maju.

b. Kuadran II menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada diwilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik.

c. Kuadran III menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini menunjukan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah yang lambat.

d. Kuadran IV menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.

e. Pada kuadran II dan kuadran IV terdapat garis miring yang membentuk sudut 450 dan memotong kedua kuadran tersebut. Garis ini merupakan nilai PB=0. Bagian yang tepat atau di atas garis menunjukkan PB>0 yang mengindikasikan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan sektor/wilayah yang maju (progresif), sedangkan di bawah garis berarti sektor/wilayah yang bersangkutan menunjukkan sektor/ wilayah yang tidak maju (tidak progresif).

(58)

35

merumuskan secara deskripsi pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.

3.4. Definisi Operasional Data

3.4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu wilayah dalam satu tahun tertentu sehingga PDRB mempunyai lingkup lebih kecil dibandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Terdapat dua macam perhitungan PDRB yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2002).

3.4.2. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis

(59)

3.4.3. Sektor-Sektor Perekonomian

(60)

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI

4.1. Keadaan Geografi dan Pemerintahan

Kota Bekasi terletak di bagian Utara Propinsi Jawa Barat antara 106o48’28’’ – 107o27’29’’ Bujur Timur dan 6o10’6’’ – 6o30’6’’ Lintang Selatan. Wilayah Kota Bekasi memiliki luas sebesar 21.049 Ha dan berdasarkan Peraturan Daerah No 04 Tahun 2004 tentang Pemekaran Kecamatan dan Kelurahan, terdiri dari 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan yang terdiri dari 12 Kecamatan yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Pondokgede, Jatiasih, Bantargebang, Jatisampurna, Medan Satria, Rawa Lumbu, Mustikajaya dan Pondok Melati. Dengan batas wilayah Kota Bekasi adalah:

- Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi

- Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok - Sebelah Barat : Propinsi DKI Jakarta

- Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi

(61)

permukiman perkotaan. Pada sisi lain kondisi topografis yang relatif datar ini menciptakan permasalahan pada pengelolaan drainase.

Posisi wilayah Kota Bekasi yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta membawa konsekwensi pada arah kebijakan pembangunan Kota Bekasi yang berorientasi pada kepentingan nasional, hal ini terlihat pada kedudukan Kota Bekasi dalam kebijakan tata ruang makro baik dalam RTRWN, RTRWP Jawa Barat, maupun RTRW Kawasan tertentu Jabodetabek, yang mengarahkan pembangunan Kota Bekasi sebagai Pusat Kegiatan Nasionall (PKN) bersama-sama dengan Bogor dan Depok sekaligus menjadi bagian dari kawasan pengimbang DKI Jakarta.

Di samping potensi dan permasalahan kewilayahan di atas, hal yang juga harus menjadi perhatian adalah wilayah Kota Bekasi dilintasi oleh tiga infrastruktur penting bagi skala nasional yaitu, lintasan kereta api Jakarta – Cikampek, Jalan Tol Cawang – Cikampek dan aliran pasokan air bersih otorita Jatiluhur untuk DKI Jakarta. Kondisi ini disamping merupakan potensi yang perlu didayagunakan secara efektif juga menciptakan permasalahan pada penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana penunjang di sekitar tiga infrastruktur skala nasional tersebut, misalnya penyediaan jalan akses, frontage road dan penanganan perlintasan kereta.

(62)

39

dalam menciptakan permasalahan banjir apabila penanganannya tidak dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir.

4.2. Demografi

Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mengalami sedikit penurunan dibandingkan periode tahun 1990-an. Pada awal tahun 1990-an laju penduduk Kota Bekasi masih sekitar 6,29 persen. Pada awal tahun 2001 menurun menjadi 4,93 persen kemudian pada tahun 2005 sebesar 4,10 persen. Sementara persebaran penduduk di Kota Bekasi belum merata. Jumlah penduduk Kota Bekasi pada tahun 2005 mencapai 2.005.899 jiwa yang terdiri dari 997.622 jiwa penduduk laki-laki dan 1.004.277 jiwa penduduk perempuan.

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Bekasi Menurut Kecamatan Tahun 2005

Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa)

Kepadatan Penduduk (Jiwa /Km2)

Pondok Gede 196.318 12.051

Jati Sampurna 101.456 7.002

Pondok Melati 69.759 3.759

Jati Asih 168.210 7.648

Bantar Gebang 72.114 4.230

Mustika Jaya 97.768 3.952

Bekasi Timur 243.552 18.068

Rawa Lumbu 185.640 11.847

Bekasi Selatan 185.776 12.410

Bekasi Barat 250.308 13.727

Medan Satria 147.030 10.002

Bekasi Utara 274.968 13.993

Sumber: BPS Kota Bekasi, 2005.

(63)

9.095 jiwa/km2. Kecamatan Bekasi Timur merupakan wilayah Kecamatan yang terpadat penduduknya, dimana kepadatan penduduk di Kecamatan ini mencapai 18.068 jiwa/km2 pada tahun 2005. Sementara Kecamatan yang penduduknya tidak padat yaitu Kecamatan Pondok Melati, angka kepadatan penduduknya sekitar 3.759 jiwa/km2.

Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu modal bagi pembangunan jika sebagian besar memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu meningkatkan rasio jumlah penduduk bekerja dengan jumlah penduduk usia kerja merupakan salah satu tujuan/sasaran dalam rencana strategis Kota Bekasi.

Pada tahun 2005, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas berjumlah 1.432.449 jiwa dimana 794.208 jiwa termasuk kedalam kelompok angkatan kerja dan 638.241 jiwa bukan angkatan kerja. Dari 794.208 jiwa, penduduk yang bekerja sekitar 692.189 jiwa dan penduduk yang mancari pekerjaan sekitar 102.019 jiwa. Jumlah penduduk yang termasuk kedalam angkatan kerja pada tahun 2005 lebih kecil dibandingkan pada tahun 2004. Sebagian penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang bertempat tinggal di Kecamatan Bekasi Timur dan Bekasi Barat.

(64)

41

jumlah pencari kerja terdaftar pada tahun 2005 sebanyak 51.608 orang, sedangkan tahun 2004 sebanyak 64.890 orang (BPS,2005).

4.3. Sarana dan Prasarana

4.3.1. Transportasi

Sampai dengan tahun 2005 panjang jalan di Kota Bekasi mencapai 322,09 km, yang terdiri dari 18,3 km jalan negara, 23,3 km jalan provinsi, dan 280,19 km jalan kota. Dari total panjang jalan tersebut, kondisi yang rusak sekitar 27,87% dan sisanya 72,13% berada dalam kondisi baik. Kemudian bila dilihat dari kelas jalan, terbagi dalam kelas I 12,93%, kelas II 34,96% dan kelas III/A 52,11%.

Sarana angkutan darat di Kota Bekasi pada tahun 2005 jumlah angkutan kota sebanyak 11.495 unit, sedangkan mikrobus dari 603 unit menurun manjadi 483 unit dan taksi sebanyak 1.746 unit. Sementara itu, angkutan kereta api merupakan sarana transportasi masal yang cukup banyak digunakan masyarakat Kota Bekasi. Jumlah pengguna sarana kereta api mengalami penurunan dari 8,0 juta orang selama tahun 2004 menjadi 3,0 juta orang selama tahun 2005.

4.3.2. Penyediaan Air bersih

(65)

rumah atau sekitar 424.848 jiwa. Permasalahan dalam pengembangan air bersih ini disamping investasinya sangat mahal, juga masalah kepemilikan PDAM belum ada penyelesaiannya. Padahal Pemerintah Kota Bekasi telah menyampaikan kesepakatan pembagian aset yang sesuai dengan Pemerintah Kabupaten.

4.3.3. Pengelolaan Sampah

Cakupan pelayanan persampahan di Kota Bekasi relatif masih rendah baru mencapai 26 persen dari jumlah penduduk. Sesuai dengan standar pelayanan persampahan, maka dengan jumlah penduduk yang ada pemerintah Kota Bekasi memerlukan 180 truk sampah (dengan asumsi 1 truk sampah melayani 10.000 penduduk).

4.3.4. Sistem Drainase

Di Kota Bekasi terdapat 27 lokasi genangan banjir yang tersebar di 12 kecamatan. Pada umumnya lokasi banjir ini berada di daerah permukiman karena masalah sebagai berikut :

1. Lokasi permukiman berada di bawah peil banjir.

2. Pelaksanaan pengurugan tanah permukiman tidak sesuai dengan ketentuan peil banjir yang telah ditetapkan.

3. Tidak terintegrasinya perencanaan drainase antar lokasi permukiman karena izinnya/site plannya diberikan secara partial tidak skala kawasan. 4. Pembangunan drainase biayanya mahal dan harus tuntas mulai dari daerah

(66)

43

dilakukan antara lain pembangunan dan normalisasi saluran yang dibiayai APBD maupun dalam paket MBUDSP melalui Loan ADB 1511-INO masih belum terselesaikan seluruhnya dan masih perlu dilanjutkan.

4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum

Penyediaan Penerangan Jalan Umum (PJU) sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keindahan kota pada malam hari dan juga meningkatkan keselamatan pengguna jalan serta mengurangi kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Pada saat ini ketersediaan PJU di Kota Bekasi masih sangat terbatas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pada tahun 2001 jumlah PJU baru mencapai 6.084 titik, kemudian tahun 2002 meningkat sebesar 22,4% menjadi 7.448 titik dan meningkat lagi pada tahun 2003 menjadi 7.979 titik. Dalam APBD Kota Bekasi tahun 2005 telah dialokasikan anggaran untuk pembangunan PJU sebanyak 350 titik.

4.4. Kondisi Perekonomian

(67)

menyumbang pertumbuhan sebesar 8,55 persen, sedangkan subsektor komunikasi mengalami pertumbuhan sebesar 7,93 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga dirasakan oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 6,13 persen. Sub sektor listrik memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi (6,24 persen) jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada sub sektor air bersih.(4,56 persen). Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 5,87 persen. Angka ini disumbang dari sub sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 5,79 persen, sub sektor hotel sebesar 5,30 persen dan subsektor restoran sebesar 6,38 persen.

Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor-sektor Perekonomian Kota Bekasi, Tahun 2005 (Persen)

No Sektor Perekonomian/ Lapangan Usaha Laju Pertumbuhan Ekonomi, Tahun 2005

1 Pertanian 0,22

2 Pertambangan dan Penggalian -

3 Industri Pegolahan 5,25

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 6,13

5 Konstruksi 4,98

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5,87 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8,48 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan

4,85

9 Jasa-jasa 5,15

Laju Pertumbuha Ekonomi Keseluruhan 5,60 Sumber: BPS Kota Bekasi, 2005.

(68)

45

persen), diikuti oleh sub sektor bank yang tumbuh sebesar 5,90 persen, sewa bangunan 4,72 persen dan lembaga keuangan lainnya sebesar 2,91 persen.

Sektor jasa-jasa juga mengalami pertumbuhan positif yaitu sebesar 5,15 persen. Sub sektor pemerintahan umum memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi pada sektor ini yaitu sebesar 5,34 persen sedangkan sektor swasta mengalami pertumbuhan sebesar 4,95 persen. Selanjutnya sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Bekasi juga mengalami pertumbuhan sebesar 5,25 persen. Angka tersebut merupakan sumbangan dari sub sektor satu-satunya yang dimiliki sektor ini yaitu sub sektor industri tanpa migas.

Tingkat pertumbuhan terendah dari semua sektor perekonomian di Kota Bekasi adalah sektor pertanian yang hanya memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 0,02 persen. Adapun sub sektor yang meliputi sektor ini antara lain: sub sektor pangan sebesar 0,02 persen, sub sektor tanaman perkebunan sebesar 0,11 persen dan sub sektor perternakan dan hasil-hasilnya sebesar 0,01 persen.

4.5. Kebijakan Pembangunan Ekonomi

4.5.1. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi

(69)

1. Meningkatkan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Untuk mengembangkan UKM dan Koperasi Pemerintah Daerah perlu meningkatkan kemitraan usaha dalam memajukan Perekonomian Daerah. UKM yang ada di Kota Bekasi hingga saat ini belum terkelola dengan baik, hal ini secara umum diakibatkan oleh masih rendahnya kemampuan permodalan dan manajerial sehingga menyebabkan rendahnya produktifitas UKM. Melalui analisis terhadap permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan UKM dan Koperasi di Kota Bekasi saat ini, didapatkan program prioritas; peningkatan kemampuan usaha kecil untuk memasok input industri /jasa/ dan perdagangan berskala besar dan pendataan profil. 2. Memberdayakan potensi agribisnis dan industri rumah tangga.

Kota Bekasi mempunyai prospek agribisnis dan industri rumah tangga yang baik apabila pengelolaannya dilaksanakan secara terpadu dan optimal dengan memberdayakan kemampuan masyarakat. Sebagai upaya untuk meningkatkan kontribusi aktivitas agribisnis dan industri rumah tangga tersebut maka pada tahun 2006 untuk menunjang hal tersebut ditentukan program berikut:

a. Pemberdayaan agribisnis.

b. Pengembangan industri rumah tangga.

3. Membentuk dan mengembangkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

(70)

47

didasarkan pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dalam hal ini adalah nilai-nilai Islam. Oleh karena itu Pemerintah Kota Bekasi sebagaiman tertera dalam Renstra Kota Bekasi tahun 2003-2008 memiliki komitmen untuk memberdayakan lembaga keuangan syariah. Adapun program tahun 2006 untuk menunjang komitmen tersebut adalah; Pembentukan LKS/BUMD yang meliputi pembuatan jaringan antar LKS yang kelembagaannya sudah berkembang, penyediaan data base, peningkatan kinerja, sosialisasi dan penguatan permodalan.

4. Meningkatkan penanaman modal (Investasi).

Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dibutuhkan biaya yang sangat besar oleh karena itu diperlukan peran serta swasta dan dunia luar dalam penyediaan modal melalui investasi. Untuk menunjang tujuan tersebut program yang akan dilakukan pada tahun 2006 adalah :

a. Penyelenggaraan promosi investasi diberbagai kesempatan event-even baik dalam negeri maupun luar negeri.

b. Peningkatan kualitas pelayanan Pemerintah Daerah terhadap Investor baru.

4.5.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi

(71)

1. Memobilisasi segenap potensi sumberdaya yang ada bagi upaya peningkatan pemenuhan dan akses terhadap kebutuhan dasar masyarakat, pangsa relatif sektor jasa dan perdagangan, peningkatan pendapatan per kapita, pengembangan usaha serta penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi masuknya investasi.

2. Membuka dan memperluas jalur dan simpul-simpul ekonomi antar kecamatan dan antar kelurahan yang ada melalui kerjasama fungsional dan penguatan kelembagaan usaha jasa dan perdagangan di sektor dunia usaha dan masyarakat.

3. Membangun kompetensi BUMD sebagai profit center dan transformasi struktur keuangan daerah secara akseleratif melalui pencarian sumber-sumber alternatif pembiayaan pembangunan daerah.

4. Memperkuat fondasi ekonomi daerah melalui pemaduan pengembangan ekonomi lokal yang diarahkan pada mekanisme pasar secara terintegratif. 5. Meningkatkan kemitraan usaha untuk memajukan perekonomian daerah. 6. Memberdayakan potensi agribisnis dan industri rumah tangga.

7. Membentuk dan mengembangkan lembaga keuangan syariah dan BUMD. 8. Meningkatkan penanaman modal (investasi).

Gambar

Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan       2000, Tahun 1997-2005 (Persen)
Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata, Menurut Provinsi, Tahun 2001-      2005 (Persen)
Tabel 1.3.  Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat       Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005
Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share Sumber : Budiharsono, 2001
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada periode 1995-1999 (sebelum otonomi daerah), semua penyusun PDRB Kabupaten Asahan memiliki nilai pergeseran bersih yang lebih besar dari nol (PBij &gt; 0) dan merupakan

Untuk itu, Pemerintah Daerah Kota Tangerang seyogyanya dapat meningkatkan sektor industri tersebut dengan cara: meningkatkan subsektor-subsektor yang terkait dengan sektor ini,

Kabupaten Tasikmalaya belum memiliki sektor unggulan (pertumbuhan cepat dan punya daya saing)yang dapat meningkatkan perekonomian dengan mengecualikan sektor listrik Oleh karena

Penelitian ini menganalisis pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, serta upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang dari tahun 1995- 2009 yaitu pada masa

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Analisis Sektor Basis dan Potensi Daya Saing Wilayah Pada Kabupaten Lumajang Pasca Otonomi Daerah ” adalah

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Analisis Sektor Basis dan Potensi Daya Saing Wilayah Pada Kabupaten Lumajang Pasca Otonomi Daerah ” adalah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara sebelum dan pada masa otonomi daerah, mengidentifikasi