DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT
ADHYAKSA DAULT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Peran Pemuda dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pergurua n tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2007
Adhyaksa Dault
Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Sukabumi. Di bawah bimbingan. RUDY C. TARUMINGKENG, MANUWOTO, VICTOR P.H. NIKIJULUW, TOMMY H. PURWAKA, dan JOHN HALUAN.
Pembangunan kelautan dan perikanan memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional, menyediakan dan menyerap lapangan kerja, menyumbangkan devisa, serta mempercepat dan mendorong pembangunan pulau-pulau terpencil. Secara politik, pembangunan kelautan dan perikanan merupakan wujud dari pembangunan Negara Indonesia dalam bingkai negara kesatuan. Kendala sumberdaya manusia merupakan masalah utama dalam pemanfaatan sumberadaya laut dan perikanan secara optimal.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rumusan kebijakan dimana peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan. Secara khusus, tujuan penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi dan mengkaji bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan; (2) Mengkaji dan mensintesa faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan; (3) Menentukan variabel kebijakan yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan; dan (4) Merumuskan kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan perikanan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi dan menggunakan model persamaan struktural.
Bentuk peran pemuda dalam pembangunan perikanan dan kelautan adalah
dalam hal perencanaan, produksi, monitoring dan evaluasi, dan lembaga
perikanan. Peran pemuda paling banyak dalam hal produksi perikanan terutama sebagai tenaga kerja karena kegiatan ini relatif paling mudah dibanding peran dalam bentuk lainnya. Walaupun demikia n peran pemuda dalam bentuk lainnya perlu terus ditingkatkan agar peran mereka secara keseluruhan bisa lebih optimal. Penyediaan lapangan kerja lebih luas memang merupakan prioritas, tetapi pemerintah juga perlu mendorong peran pemuda dalam hal perencanaan,
monitoring dan evaluasi, maupun kelembagaan perikanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan adalah kebijakan publik, kewirausahaan pemuda, pemilikan kapital sosial, dan penguasaan sumberdaya. Variabel dalam kebijakan publik yang relatif paling berpengaruh adalah intensitas penyuluhan dan pemberian kredit. Terdapat korelasi antar faktor yang mempengaruhi peran pemuda dan mengindikasikan bahwa kebijakan publik akan bisa efektif jika didukung kebijakan yang terkait dengan faktor- faktor lainnya secara simultan.
Development in Sukabumi Regency (Under the guidance of RUDY C. TARUMINGKENG, MANUWOTO, VICTOR P.H. NIKIJULUW, TOMMY H. PURWAKA, and JOHN HALUAN).
Fisheries and marine development contributes to the national income, employment, foreign exchange reserves, and acceleration of remote islands development acceleration. Politically, the development of fisheries and marine affair development is implementation of Indonesian development for the unity of the nation. Human resource is one of the main constraints in optimizing the role of marine and fisheries resources.
The study is aimed at formulating policies in which youth’s roles in fisheries and marine affair development could be improved. Specifically, the objectives of the study are: (1) to identify and to assess forms of youth’s roles in fisheries and marine affair development; (2) to assess and to synthesize factors affecting youth’s roles in fisheries and marine affair sector; (3) to determine policy variables affecting youth’s roles in fisheries and marine affair development; and (4) to formulate public policy aimed at improving youth’s roles in fisheries and marine affair development. This study was conducted in Sukabumi Regency and a structural equation modeling (SEM) was applied.
Types of youth’s roles in fisheries and marine affair are planning, fisheries production, monitoring and evaluation of use of fisheries and marine resources, and fisheries institutions. Youth plays their role most in fisheries production, especially as the labor because it is relatively the simplest type of role they can implement. Other youth’s roles, however, should be promoted continuously to optimize their overall roles. Expanding labor employment is the priority agenda of the government, but the government has to boost the other types of youth’s roles in terms of planning, monitoring and evaluation, and fisheries institutions.
Factors affecting youth’s roles in fisheries and marine affair development are public policy, youth entrepreneurship, social capital ownership, and resources possession. Among the most influencing variables of public policy are extension intensity and credit provision. The factors affecting youth’s roles in fisheries and marine affair development are correlated each other. It indicates that public policy will be effective if it is implemented simultaneously with other policies.
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT
ADHYAKSA DAULT
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Nama : Adhyaksa Dault
NRP : C561030254
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.F Ketua
Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc
Anggota Anggota
Dr. Tommy H. Purwaka, SH, LLM Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Penulis merupakan anak pertama dari 6 bersaudara, dari pasangan H. M.
Dault, SH (Alm.) dan Maryam Hadju. Penulis dilahirkan di Donggala pada
tanggal 7 Juni 1963, menikah dengan drg. Mirah Arismunandar, memiliki seorang
putra bernama Umar Adhi Putra dan seorang putri bernama Fakhira Putri
Adhyaksa. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas
Hukum Universitas Trisakti. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan
S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Pada tahun
2003 melanjutkan pendidikan S3 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini sesuai dengan yang diharapkan. Judul disertasi ini adalah Peningkatan Peran Pemuda dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan pengha rgaan kepada Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.F, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc., dan Dr. Tommy H. Purwaka, SH, LLM selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan masukan yang sangat berharga bagi disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc., Bapak Darsono selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Donwill Panggabean, S.Pi., Erina Nelly, S.Pi., MSi., Franky Rorimpandey, S.Si., seluruh staf Kementeria n Pemuda dan Olahraga, serta teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, istri tercinta dan kedua anak-anak tersayang serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, cinta dan dukungannya sehingga penulis tegar dalam menyelesaikan disertasi ini.
Penulis berharap disertasi ini bermanfaat dan dapat digunakan bagi segala keperluan yang sifatnya baik dan membangun.
Bogor, April 2007
DAFTAR ISI
3.4.1 Konstruksi peubah esksogen laten dan endogen pengamatan 48
3.4.2 Konstruksi peubah endogen pengamatan dan laten . . . 49
4.6 Perikanan Tangkap . . . 81
4.7 Perikanan Air Tawar . . . 85
4.8 Potensi Sumberdaya Alam . . . 88
5 HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 90
5.1 Karakteristik Responden Pemuda . . . 90
5.2 Deskripsi Peran Pemuda . . . 97
5.3 Pengujian Hipotesis . . . 99
5.3.1 Hasil empiris bentuk-bentuk peran pemuda . . . 102
5.3.2 Faktor penentu peran pemuda . . . 109
5.3.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda 110 5.4 Implikasi Kebijakan . . . 117
5.4.1 Kebijakan bentuk peran pemuda . . . 117
5.4.2 Kebijakan tentang faktor determinan peran pemuda . . . 121
5.4.3 Kebijakan komprehensif . . . 126
6 KESIMPULAN DAN SARAN . . . 128
6.1 Kesimpulan . . . 128
6.2 Saran . . . 130
DAFTAR PUSTAKA . . . 133
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah responden pemuda per kecamatan di Kabupaten Sukabumi . . . 41
2 Jenis tanah di Kabupaten Sukabumi . . . 60
3 Penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Kabupaten Sukabumi (2003) . . . 63
4 Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Cisolok . . . 64
5 Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Pelabuhan Ratu. . . 66
6 Jenis mata pencaharian penduduk di sektor perikanan Kecamatan Ciemas . . . 71
7 Jenis peralatan dan armada perikanan di Kecamatan Ciemas . . . 71
8 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 73
9 Jumlah penduduk menurut status perkawinan dan jenis kelamin di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 74
10 Luas areal, produksi dan jumlah RTP perikanan darat menurut jenis usaha di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 74
11 Jumlah RTP perikanan laut menurut jenis usaha di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 75
12 Perkembangan produksi dan nilai ikan yang dilelang di TPI di Kecamatan Ciracap (2002-2004) . . . . . . 75
13 Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Surade . . . 76
14 Produksi perikanan tangkap Kabupaten Sukabumi . . . 82
15 Jenis dan produksi ikan hasil tangkapan Kabupaten Sukabumi . . . 82
16 Produksi ikan segar di enam kecamatan pesisir Kabupaten Sukabumi 83
17 Jenis dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Sukabumi (2004). . . 84
19 Karakteristik responden pemuda nelayan di Kabupaten Sukabumi
(2006) . . . 92
20 Bentuk-bentuk peran pemuda nelayan di Kabupaten Sukabumi
(2006) . . . 98
21 Hasil analisis bentuk-bentuk peran pemuda di Kabupaten Sukabumi
(2006) . . . 104
22 Faktor-faktor penentu peran pemuda di Kabupaten Sukabumi (2006) . . . 110
23 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda
di Kabupaten Sukabumi (2006) . . . .. . . 111
24 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi peran pemuda
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pikir penelitian . . . 20
2 Model peran pemuda di Kabupaten Sukabumi . . . 44
3 Diagram proses analisis dan sintesis peran pemuda dari studi kasus ke
implikasi kebijakan nasional. . . 55
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta Kabupaten Sukabumi dan lokasi penelitian . . . 142
2 Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda . . . 148
3 Matriks template bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan
kelautan dan perikanan di Kabupaten Sukabumi, tahun 2006 . . . 149
4 Luas wilayah menurut kemampuan tanah (ketinggian) per kecamatan
di Kabupaten Sukabumi . . . 150
5 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per kecamatan di Kabupaten
Sukabumi, tahun 2004 . . . 151
6 Jumlah penduduk menurut kelompok umur per kecamatan di Kabupaten
Sukabumi, tahun 2004 . . . 152
7 Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya di Kabupaten Sukabumi, tahun 2005 . . . 154
8 Frekuensi faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda di Kabupaten
1.1Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508
pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, serta lautan seluas 5,8 juta km2
yang merupakan 70% dari seluruh wilayahnya. Sejak dulu, kekayaan sumberdaya
pesisir dan lautan khususnya ikan, telah menjadi sumber makanan serta protein
hewani utama bagi rakyat Indonesia.
Sekitar 5 juta orang menggantungkan kehidupan ekonomi keluarganya
dengan bekerja sebagai nelayan. Di daerah pesisir, selain sebagai nelayan, banyak
penduduk yang bekerja sebagai pembudidaya ikan. Demikian juga ada yang
bekerja sebagai pengolah dan pemasar ikan dan produk perikanan. Terutama di
pulau-pulau kecil, pekerjaan pada bidang perikanan cenderung sebagai
satu-satunya alternatif. Bila ukuran keluarga rata-rata 4 orang maka diperkirakan
sedikitnya 20 juta penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada
perikanan DKP (2003).
Namun pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak terbatas pada perikanan
(Dahuri 2003). Kegiatan lain yang mengandalkan sumberdaya kelautan adalah
pertambangan, industri jasa transportasi, perhubungan, komunikasi, pariwisata,
dan perdagangan. Akan tetapi tidak seperti sektor perikanan yang termasuk di
dalamnya kegiatan penangkapan ikan, budidaya, pengolahan, dan pemasaran hasil
perikanan, sektor-sektor selain perikanan ini tidak begitu banyak melibatkan
penduduk Indonesia, terutama yang ada di pesisir dan kepulauan. Di pulau-pulau
kecil di perbatasan negara, perikanan pada umumnya adalah satu-satunya mata
penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran menjadi tumpuan ekonomi
keluarga.
Hanya sejak dasawarsa terakhir, sumberdaya kelautan dan perikanan mulai
diperhatikan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, serta swasta sebagai salah
satu sumberdaya ekonomi. Hal ini mulai terjadi setelah sumberdaya alam lainnya
sudah berkurang karena eksploitasi dan kerusakan lingkungan.
Secara nasional memang kontribusi sumberdaya kelautan dan perikanan
sebagai satu sektor ekonomi tidak dilaporkan secara eksplisit. Untuk bidang
perikanan sendiri yang difokuskan hanya pada kegiatan produksi primer,
sumbangannya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar 2%. Pangsa
sumbangan bidang perikanan primer ini memang tidak beranjak selama 25 tahun
terakhir, meskipun secara absolut nilainya meningkat. Bila dipertimbangkan
dengan kegiatan industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan maka
sumbangan ini semakin besar.
Dahuri (2003) mengemukakan bahwa sumbangan sektor kelautan dan
perikanan secara keseluruhan mencakup bidang perikanan dan bidang-bidang lain
yaitu sekitar 20,06% PDB pada tahun 1998. Sedangkan khusus sub sektor
perikanan pada tahun 2004 menyumbang 15,0% terhadap PDB sektor pertanian
berdasarkan ha rga konstan tahun 2000 (BPS 2006). Dengan adanya perubahan
dan perkembangan pembangunan ekonomi di berbagai daerah yang
menitikberatkan pada bidang perikanan, maka mungkin saja presentasi
sumbangan ini sudah makin besar. Di China dan Korea, sumbangan sektor
kelautan dan perikanan terhadap PDB masing- masing negara yaitu 48,4% dan
maka bisa dikemukakan bahwa potensi sumberdaya alam kelautan dan perikanan
Indonesia yang lebih besar belum sebanding dengan kontribusi yang
disumbangkannya. Dengan kata lain, sumberdaya kelautan dan perikanan yang
tersedia dan telah diberikan Tuhan ini belum dimanfaatkan dengan baik bagi
pembangunan ekonomi bangsa dan negara.
Di beberapa daerah, utamanya provinsi dan kabupaten dengan basis
kepulauan, sektor kelautan dan perikanan memang memberikan sumbangan
pembangunan yang lebih besar dibandingkan secara nasional. Namun demikian,
aktivitas ekonomi di daerah masih juga terbatas pada industri perikanan primer
yaitu penangkapan ikan. Industri pengolahan dan pemasaran belum banyak
dikembangkan, apalagi bidang pembangunan kelautan lainnya. Sejak
diberlakukannya rezim otonomi daerah (desentralisasi), beberapa pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten telah memproklamirkan daerahnya sebagai
provinsi atau kabupaten kepulauan atau maritim. Itu berarti di daerah-daerah
tersebut, pembangunan kelautan dan perikanan khususnya pemanfaatan
sumberdaya alam hayati perairan menjadi tumpuan pembangunan ekonomi.
Secara ekonomi makro, pembangunan kelautan dan perikanan selain
memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional juga menyediakan dan
menyerap lapangan kerja, menyumbangkan devisa, serta memicu dan mendorong
pembangunan pulau-pulau terpencil. Secara politik, pembangunan kelautan dan
perikanan merupakan wujud dari pembangunan negara Indonesia dalam bingkai
negara kesatuan.
Tujuan pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah (1) menjadi
lain, (2) menyediakan ikan sebagai sumber pangan sehat bagi penduduk melalui
peningkatan konsumsi ikan per kapita, (3) menyediakan lapangan kerja dan
sebagai pendapatan penduduk dalam rangka pengentasan kemiskinan, (4) meraih
lebih banyak devisa melalui peningkatan ekspor dan pengendalian impor, serta (5)
mewujudkan laut sebagai alat pemersatu bangsa.
Dalam hal kelautan dan perikanan sebagai sektor basis yang menarik dan
mendorong sektor lain, hal tersebut hanya bisa diwujudkan melalui pembangunan
industri hulu dan hilir. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan memiliki
dampak ekonomi bagi sektor lain. Berdasarkan tabel Input-Output tahun 2000,
dari 172 sektor KLUI (Kelompok Lapangan Usaha Indonesia), paling sedikit
terdapat 57 dan 30 KLUI yang masing- masing dapat digolongkan ke dalam sektor
perikanan dan kelautan (Nikijuluw 2005). Dengan demikian pilihan pemerintah
untuk membangun sektor kelautan dan perikanan sama artinya dengan
menggerakkan sektor lain yang saling memiliki keterkaitan. Dengan sumberdaya
alam kelautan dan perikanan yang dimiliki dan dikelola oleh hampir seluruh
provinsi serta lebih dari 400 kabupaten/kota maka membangun sektor kelautan
dan perikanan bisa dipandang sebagai upaya membangun perekonomian daerah.
Sebagai sumber pangan, konsumsi ikan nasional adalah sekitar 20 kg per
kapita, meskipun beberapa daerah sudah mencapai lebih dari 40 kg per kapita.
Target konsumsi ikan rata-rata nasional adalah 32,3 kg. Dalam hal penyediaan
lapangan kerja, sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat menampung
sekitar 21 juta jiwa penduduk pesisir pada saat ini. Ekspor bersih hasil perikanan
diharapkan terus meningkat dari posisi $1,9 milyar pada tahun 2005 menjadi $4,0
Tujuan dan target ini memang hanya bisa dicapai melalui pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan, diikuti dengan pengembangan industri terkait
khususnya industri pengolahan dan pemasaran yang merubah bahan mentah
menjadi bahan jadi, siap konsumsi. Tujuan dan target ini juga akan dicapai bila
adanya sumberdaya manusia yang ahli dan terampil, pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pengembangan sistem manajemen pengelolaan, serta
yang terutama yaitu adanya iklim investasi yang memfasilitasi swasta nasional
dan asing untuk berusaha dengan sebaik-baiknya.
Membangun sektor kelautan dan perikanan adalah pilihan di antara
sektor-sektor ekonomi lainnya. Sumberdaya alam Indonesia yang bervariasi yang terdiri
dari laut dan daratan membuka peluang berusaha dan berbisnis di berbagai bidang
ekonomi. Sejak zaman penjajahan, pembangunan perkebunan menjadi perhatian
utama, ditandai dengan dibangunnya perkebunan negara. Pada zaman Orde Lama
dan Orde Baru, pembangunan pertanian tanaman pangan dalam rangka
menyediakan pangan bagi penduduk menjadi tumpuan. Pada zaman Orde Baru
pula, sumberdaya hutan, minyak, dan tambang dieksploitasi untuk dijual sebagai
sumber devisa negara. Proses pembangunan yang terjadi ini di satu sisi
mengakibatkan sumberdaya alam mengalami deplesi dan kerusakan. Di sisi lain,
hal ini mengakibatkan sumberdaya kelautan tidak diperhatikan, dan yang tinggal
saat ini yaitu sumberdaya alam di daratan yang sudah makin menipis, sementara
di laut masih terlambat atau belum dimanfaatkan dan dieksploitasi. Karena itu,
membangun sektor kelautan dan perikanan pada saat ini adalah momentum yang
Selain pertimbangan sumberdaya dan alasan-alasan internal, permintaan
dunia akan ikan juga merupakan alasan kuat yang menarik pembangunan kelautan
dan perikanan Indonesia. Sumberdaya ikan dunia yang cenderung deplesi di satu
sisi, sementara di sisi lain permintaan ikan yang meningkat membuat kelangkaan
akan ikan terjadi. Kelangkaan ini membuat industri perikanan dunia mencari
daerah baru, negara baru, dan peluang baru untuk berinvestasi dalam rangka
memenuhi kebutuhan jurang kelangkaan yang cenderung melebar. Karena
Indonesia merupakan salah satu sumber ikan dunia, disebut dengan serengetis
sumberdaya ikan dunia, maka menggerakkan pembangunan kelautan dan
perikanan untuk tujuan pemenuhan pasar internasional ini adalah salah satu
alternatif pembangunan (Nikijuluw 2005).
Berikut ini adalah justifikasi pembangunan kelautan dan perikanan pada
spektrum nasional maupun daerah:
1. Ketersediaan sumberdaya alam, baik sumberdaya hayati maupun non-hayati,
baik yang dapat maupun yang tidak dapat diperbaharui.
2. Banyak sektor pembangunan ekonomi yang dapat digolongkan sebagai
sektor kelautan dan perikanan, berdasarkan jenis usaha ekonomi masyarakat.
3. Keterkaitan antara sektor kelautan dan perikanan dengan sektor-sektor
lainnya yang erat atau tinggi yang berarti membangun sektor kelautan dan
perikanan akan memiliki dampak pada sektor lain.
4. Adanya kontribusi PDB perikanan yang cukup signifikan secara nasional
maupun daerah (provinsi, kabupaten, kota).
5. Adanya permintaan ikan secara nasional dan internasional yang tinggi yang
1.2 Perumusan Masalah
Meskipun sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia dan boleh
dikatakan masih dalam tahap (tingkat) pemanfaatan yang belum optimal, ternyata
kendala sumberdaya manusia menghalangi optimalisasi pembangunan sektor ini.
Sumberdaya manusia memang adalah faktor penting dalam pembangunan.
Aliran Cobb-Douglasian menempatkan sumberdaya manusia sebagai salah satu
faktor produksi yang sangat penting, di samping modal atau kapital (Cobb dan
Douglas 1928). Optimasi suatu sistem produksi, baik pada tingkat industri
maupun perusahaan, dicapai melalui pengelolaan atau manajemen sumberdaya
manusia sedemikian rupa sehingga efisiensi bisa dicapai. Meskipun pada akhirnya
aliran Cobb-Douglasian yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi ini
dikritisi, namun kenyataannya optimasi produksi melalui pengaturan (manajemen)
sumberdaya manusia tetap berlangsung. Aliran yang mengkritisi
Cobb-Douglasian menilai manusia lebih tinggi dari sekedar faktor produksi. Manusia
adalah objek bukan subjek pembangunan, bukan objek ekonomi tetapi subjek
ekonomi.
Karena pentingnya sumberdaya manusia, baik sebagai objek dan subjek
pembangunan, maka otomatis keberadaannya menentukan kinerja pembangunan
sektor kelautan dan perikanan. Sumberdaya manusia yang rendah kualitasnya
tentu saja mempengaruhi secara negatif kinerja pembangunan. Sebaliknya
sumberdaya manusia yang tinggi kualitasnya, bila juga ditunjang kuantitas, akan
secara positif menentukan kinerja pembangunan.
Gejala menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia pada
contoh tentang turunnya jumlah orang muda yang kuat dan berprestasi yang
menjadi nelayan di Jepang dan Korea. Karena bisnis menangkap ikan dinilai
sebagai bisnis yang memiliki sifat dangerous, dirty, dan desperate maka orang muda berhenti menjadi nelayan atau tidak mau masuk bekerja pada usaha ini.
Disebut dangerous karena memang menangkap ikan penuh bahaya yang
mengancam keselamatan. Disebut dirty karena usaha ini memang bernuansa dekil, bau amis, diterjang sinar matahari, dan tidak seperti pekerjaan di kantor. Disebut
desparate karena menjalankan bisnis ini mengandung makna nekat dan aneh karena hanya mereka yang demikianlah yang mau tinggal berhari- hari di laut.
Akibatnya, generasi muda Korea dan Jepang banyak yang tidak mau
menjadi nelayan, sehingga yang bekerja di sektor perikanan adalah nelayan usia
tua. Karena alasan kurang sumberdaya manusia usia muda maka Korea dan
Jepang merekrut nelayan dari negara lain, utamanya Indonesia, Vietnam,
Myanmar, dan Filipina, untuk mengoperasikan kapal-kapal perikanan laut dalam
(deep-sea fishing).
Di tingkat nasional, minat generasi muda untuk bekerja pada usaha
perikanan cenderung semakin berkurang, paling tidak dinilai dari kurangnya
minat pemuda yang masuk sekolah kedinasan (kejuruan) perikanan. Bila dilihat
dari alumni sekolah kejuruan perikanan, hanya sedikit yang ingin benar turun ke
laut sebagai nelayan. Menurut Satria (2002) urbanisasi serta tersedia peluang kerja
dan usaha di sektor lain adalah alasan kaum muda menurun minatnya pada
pekerjaan sebagai nelayan.
Disamping kecenderungan jumlah ge nerasi muda yang berkurang pada
adalah kualitas sumberdaya manusia yang rendah, setidaknya dilihat dari tingkat
pendidikan formal yang dijalani. Hanya tiga dari 10.000 orang nela yan yang
pernah duduk di perguruan tinggi. Sementara, 79,50% nelayan tidak tamat
Sekolah Dasar (SD), sekitar 17,39% tamat SD, 1,90% tamat Sekolah Lanjutan
Pertama (SLTP) dan 1,36% tamat Sekolah Lanjutan Atas atau SLTA (DELP 2000
dan DKP 2004). Dengan kondisi kualitas sumberdaya manusia nelayan seperti ini,
disertai dengan kecenderungan nelayan usia tua yang tinggal di dalam usaha
perikanan, maka adalah salah satu upaya yang tidak ringan untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas dan pada akhirnya kinerja sektor perikanan
Dalam skala lokal dan spektrum yang kecil, dampak kehadiran nelayan
terhadap produksi perikanan sangat variatif (Simbolon 2002). Misalnya, dalam
penelitian tentang pengembangan perikanan pole and line di perairan Sorong menyimpulkan bahwa jumlah nelayan di suatu unit kapal tidak lagi memberikan
pengaruh yang nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan. Hasil tangkapan lebih
ditentukan oleh ketersediaan umpan hidup dan musim penangkapan.
Namun untuk kasus yang lain, hasil empiris menunjuk kan bahwa nelayan
sangat mempengaruhi kinerja usaha perikanan dan mempengaruhi pembangunan
pesisir pada spektrum yang lebih luas. Hasil penelitian empiris tersebut adalah
sebagai berikut.
Mangga Barani (2005) dalam penelitian tentang perikanan di wilayah
padat tangkap Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kehadiran nelayan dalam
suatu unit penangkapan sangat mempengaruhi kinerja ekonomi usaha. Hasil yang
sama juga diperoleh Bintoro (2005) pada saat melakukan penelitian tentang
Sementara itu, untuk pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan
dan terpadu, Lewaherilla (2006) menyimpulkan bahwa tersedianya sumberdaya
manusia yang berkualitas adalah penentu utama kesenjangan implementasi
kebijakan di lapangan. Akibat sumberdaya manusia yang tidak berkualitas,
kebijakan pemerintah pusat dalam hal pembangunan pesisir diinterpretasikan dan
diimplementasikan secara berbeda di tingkat daerah.
Berdasarkan hasil penelitian empiris yang dirujuk ini, dapat dikatakan
bahwa kehadiran nelayan masih memiliki arti penting dalam menentukan kinerja
produksi perikanan. Pada spektrum lebih luas tentu saja kehadiran nelayan ikut
mempengaruhi atau menentukan pembangunan perikanan serta pembangunan
pesisir di suatu daerah.
Dengan adanya kecenderungan turunnya kualitas nelayan, berkurangnya
kuantitas nelayan usia muda, sementara di sisi lain, hasil penelitian empiris yang
menunjukkan bahwa kehadiran nelayan masih sangat diperlukan maka hal
tersebut merupakan suatu persoalan yang perlu dijawab. Bila trend penurunan jumlah nelayan usia muda terus berlanjut, padahal kehadiran mereka sangat
diperlukan, maka hal tersebut akan sangat menentukan pembangunan kelautan
dan perikanan di masa datang. Bukan tidak mungkin bahwa situasi ini akan
membuat sumberdaya kelautan dan perikanan bukan dimanfaatkan oleh rakyat
dan Bangsa Indonesia tetapi sebaliknya oleh negara asing melalui infiltrasi secara
tidak legal. Dari sisi konstelasi politik, itu berarti bahwa persatuan dan kesatuan
Indonesia sebagai suatu negara kepulauan akan terganggu.
Merupakan suatu hasil simplifikasi jika dikatakan bahwa pembangunan
sumberdaya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas. Karakter atau sifat
intrinsik sumberdaya manusia tentu saja memiliki peranan yang besar dalam
pembangunan. Secara komunal, sifat tersebut diwujudkan bersama dalam
interaksi antar sesama manusia yang bisa dinilai sebagai cara pandang kolektif
terhadap sumberdaya laut.
Memang harus diakui bahwa kesadaran bangsa Indonesia terhadap
sumberdaya laut masih sangat rendah. Bahkan, pemahaman dan pengetahuan
bahwa Indonesia adalah suatu negara kepulauan juga masih sangat rendah.
Umpamanya, Bachtiar (2002) mengatakan bahwa nama “Indonesia” sendiri pun
bukan diberi oleh orang Indonesia, tetapi seorang Eropa yang bernama James
Richardson. Mengikuti nama- nama yang diberikan pada rumpun-rumpun pulau di
Lautan Pasifik, seperti Polynesia (banyak pulau), Mikronesia (pulau-pulau kecil),
dan Melanesia (pulau-pulau hitam), ia pun mengusulkan nama kepulauan
Indonesia.
Sebagai Indonesia, yaitu kepulauan yang berada di antara Asia dan
Australia serta Lautan Hindia dan Lautan Pasifik maka sepantasnya oritentasi
kehidupan manusianya bertumpu ke laut. Akan tetapi, meskipun sejarah
kerajaan-kerajaan tua di Indonesia menunjukkan keperkasaan mereka di laut (Ricklefs
2005), dalam kenyataannya keperkasaan dan kejayaan itu tidak dapat bertahan dan
relatif mati pada masa setelah Indonesia merdeka. Atje et al. (2002) misalnya, menguraikan tentang kebijakan pembangunan masa setelah kemerdekaan yang
bertumpu pada dua sumberdaya alam utama yaitu hutan dan minyak dan gas
(migas). Sumberdaya kelautan yang merupakan porsi terbesar negara ini, boleh
Tetapi desentralisasi pembangunan di era otonomi daerah saat ini
memungkinkan beberapa daerah (provinsi dan kabupaten/kota) melihat laut
sebagai sumberdaya yang menjanjikan bagi ekonomi daerahnya. Tujuh dari 33
propinsi saat ini telah mendeklerasikan daerahnya sebagai provinsi kepulauan
yang mengandalkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai basis
pembangunan ekonomi. Sementara itu, lebih dari 200 kabupaten-kota di Indonesia
yang secara geografis memang berada di pesisir.
Tampaknya dengan trend seperti ini, dimana sumberdaya hutan dan
minyak yang sudah makin berkurang (Atje et al. 2002) maka ke depan
pembangunan kelautan dan perikanan akan lebih diperhatikan oleh bangsa ini.
Bila ada kebijakan makro yang mendorong terbangun perspektif positif
masyarakat terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan maka ke depan generasi
muda bisa beralih memandang ke laut sebagai sumber kehidupan ekonomi
mereka. Bila saja nilai- nilai kebaharian serta cinta laut yang ada pada suku-suku
di Indonesia (Pramono 2005) kembali digali dan diremajakan maka sumberdaya
kelautan dan perikanan yang begitu luas dan besar ini dimanfaatkan dengan
bijaksana bagi kemakmuran.
Atas dasar adanya persoalan yang diuraikan ini maka penelitian ini
dilakukan. Tentu saja suatu penelitian yang mencakup keseluruhan daerah (secara
nasional) membutuhkan upaya yang sangat besar. Karena itu penelitian ini
dilakukan pada kawasan dimana pembangunan kelautan dan perikanan memiliki
arti penting serta sumberdaya alam ya ng tersedia dapat menjamin pengembangan
Penelitian ini mengambil daerah pesisir Kabupaten Sukabumi sebagai
daerah contoh atau kasus. Berdasarkan hasil penelitian empiris dari Kabupaten
Sukabumi ini dilakukan proses induksi untuk menarik kesimpulan dan
merumuskan implikasi kebijakan secara nasional. Alasan-alasan pengambilan
Kabupaten Sukabumi sebagai contoh adalah sebagai berikut :
1. Sukabumi merupakan kabupaten pesisir yang memiliki potensi sumberdaya
alam yang relatif tinggi karena berhadapan langsung dengan Samudera
Hindia sebagai salah satu dari sembilan daerah penangkapan ikan Indonesia.
Selain Samudera Hindia, daerah penangkapan ikan lainnya yang dimiliki
Sukabumi namun umumnya dimanfaatkan oleh perikanan rakyat (skala
kecil) adalah Teluk Pelabuhan Ratu.
2. Sukabumi memiliki sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang cukup
lengkap, yaitu sumberdaya ikan laut untuk tujuan penangkapan dan
sumberdaya budidaya laut. Benih ikan dan udang dihasilkan pula di daerah
ini. Sampai tahun 2000, beberapa panti benih udang (hatchery) berlokasi di Sukabumi. Panti benih tutup sejalan dengan gugurnya industri budidaya
udang windu. Di Kecamatan Cisolok masih beroperasi industri budidaya
dan pembesaran sidat secara terpadu.
3. Sukabumi juga merupakan daerah yang banyak memiliki industri
pengolahan, khususnya olahan tradisional. Produk pindang dan abon ikan
adalah produk yang umum dihasilkan oleh pengusaha kecil Sukabumi. Dari
Sukabumi, produk olahan ini dipasarkan ke daerah Jawa Barat lainnya,
tinggi dihasilkan oleh beberapa perusahaan yang terletak di Sukabumi.
Produk tersebut umumnya diekspor ke Korea Selatan.
4. Selain kegiatan sumberdaya perikanan yang menjadi basis industri
perikanan, Sukabumi juga merupakan kawasan wisata bahari. Pantai,
gelombang, dan berbagai olahraga bahari adalah kegiatan yang menarik
wisatawan. Dengan adanya industri pariwisata, penduduk khususnya
pemuda dapat ikut serta langsung atau tidak langsung dalam industri ini.
5. Sukabumi adalah lokasi bagi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Pelabuhan Ratu dan Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok. PPN Pelabuhan
Ratu merupakan salah satu sentra produksi perikanan yang tersebar di pantai
selatan Jawa yang juga dijadikan pangkalan bagi nelayan yang berasal dari
Sibolga-Sumatera Utara, Cilacap-Jawa Tengah, Muara Baru-Jakarta, hingga
Banyuwangi-Jawa Timur.
6. Dari sisi keikutsertaan pemuda dalam organisasi resmi kepemudaan,
Sukabumi termasuk unik dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa
Barat, yaitu relatif sedikitnya pemuda yang menjadi anggota organisasi
kepemudaan yang dimaksud. Apakah ini berarti bahwa mereka juga tidak
ikut berperan dalam bekerja memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut
yang di sekitarnya untuk kebutuhan individu dan keluarga mereka, hal ini
merupakan pertanyaan yang perlu dicari jawabannya.
Secara spesifik, dan dengan menggunakan istilah pemuda untuk
menggantikan usia muda, persoalan yang dirumuskan di atas dirinci dengan
1. Adakah pemuda berperan dalam pembangunan kelautan dan perikanan saat
ini?
2. Faktor-faktor apa yang menentukan peranan atau ketiadaan peranan
tersebut?
3. Mungkinkah faktor- faktor tersebut digunakan sebagai peubah kebijakan
dalam rangka meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan
dan perikanan?
4. Bila mungkin, apa bentuk kebijakan yang perlu dirumuskan dan
diimplementasikan sehingga pemuda akan semakin berperan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah diperolehnya suatu rumusan kebijakan
yang melaluinya peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan dapat
ditingkatkan. Dengan demikian, sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki
Indonesia dapat digunakan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa dan negara.
Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi dan mengkaji bentuk-bentuk peran pemuda dalam
pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
2. Mengkaji dan mensintesa faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda
dalam pembanguna n sektor kelautan dan perikanan.
3. Menentukan peubah kebijakan yang mempengaruhi peran pemuda dalam
pembangunan kelautan dan perikanan.
4. Merumuskan kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan peran
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam upaya pemberdayaan
pemuda dan pembangunan daerah melalui peningkatan peran pemuda dalam
pembangunan kelautan dan perikanan, baik oleh pemerintah daerah,
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) maupun oleh Kement erian
Pemuda dan Ola hraga sebagai acuan dasar yang dapat diterapkan pada
daerah lain di Indonesia.
2. Di bidang ilmu kebijakan publik, sebagai salah satu masukan ilmiah dan
bahan rujukan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang ini.
1.5Ruang Lingkup Pe nelitian
Penelitian peran pemuda dalam pembangunan adalah suatu tema yang
cukup luas dimensinya. Agar kegiatan penelitian dapat dilakukan dengan baik dan
dalam rangka mencapai tujuan pene litian seperti dikemukakan sebelumnya maka
ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa aspek berikut ini.
1. Pemuda dalam penelitian ini diartikan sebagai mereka berkelamin laki- laki
atau perempuan, berusia 18-35 tahun, merupakan penduduk di daerah
penelitian, serta bekerja dalam bidang kelautan dan perikanan
2. Peran pemuda dalam penelitian ini diartikan sebagai keikutsertaan seorang
pemuda dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai
salah satu atau satu-satunya mata pencaharian. Peran tersebut terwujud
bukan karena ada proyek pembangunan pemerintah yang mensyaratkan
pada keputusan pemuda secara independen untuk menekuni usaha pada
bidang kelautan dan perikanan sebagai mata pencaharian. Dengan demikian
peran pemuda yang dimaksudkan berbeda dengan partisipasi pemuda dalam
proyek atau program pemerintah.
3. Sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
sumberdaya hayati perairan. Dengan demikian fokus penelitian ini adalah
usaha ekonomi yang dijalankan pemuda dalam memanfaatkan sumberdaya
hayati perairan. Sumberdaya kelautan lainnya berupa tambang, mineral,
minyak, dan gas, termasuk kegiatan jasa perhubungan laut, tidak diikutkan
dalam penelitian ini. Karena itu pula maka definisi sektor atau bidang
kelautan dan perikanan dalam penelitian ini adalah usaha ekonomi dalam
memanfaatkan sumberdaya ikan serta usaha penyediaan barang dan jasa
bagi pelaksanaan usaha kelautan dan perikanan.
4. Lingkup kawasan penelitian adalah kawasan pesisir Teluk Pelabuhan Ratu,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan lingkup kawasan
penelitian ini dilakukan proses deduksi dalam rangka perumusan implikasi
peran pemuda pada spektrum kawasan yang lebih luas.
1.6Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini menganalisis peningkatan peran pemuda
dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Kegiatan penelitian beranjak dari
kondisi sekarang di lokasi penelitian yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu:
2. Masih tersedia nya sumberdaya kelautan dan perikanan yang digunakan
untuk pengembangan selanjutnya sebagai mata pencaharian masyarakat
serta sumber pendapatan keluarga dan daerah.
3. Peluang berusaha dan bekerja pada sektor kelautan dan perikanan relatif
rendah.
Dengan adanya kondisi seperti ini dan apabila hal tersebut berlanjut maka
beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi adalah:
1. Insidensi kemiskinan yang dapat menyebar di kalangan masyarakat secara
umum, khususnya di kalangan generasi muda.
2. Sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia akan tidak
termanfaatkan dan bila sudah mencapai batas usianya dapat lenyap secara
natural.
3. Kemungkinan lain yaitu sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan
oleh nelayan asing secara ilegal dengan menggunakan teknologi destruktif
yang pada akhirnya merusak eksistensi sumberdaya tersebut.
4. Karena sumberdaya tidak dimanfaatkan maka kegiatan ekonomi menjadi
rendah yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan secara umum untuk
ekono mi daerah dan secara khusus pada sektor kelautan dan perikanan.
5. Bila semua dampak sebelumnya terjadi maka tidak tertutup kemungkinan
akan muncul frustasi sosial di kalangan pemuda. Bisa saja frustasi sosial
tersebut tampil dalam bentuk aksi masa yang tidak diinginkan.
Kemungkinan dampak negatif ini dapat ditiadakan apabila peran pemuda
dihidupkan dan ditingkatkan. Karena itu harus dipahami dan diketahui
pembangunan. Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa empat faktor yang mungkin
menentukan peran pemuda adalah:
1. Kebijakan publik tentang kepemudaan atau alokasi sumberdaya ekonomi
yang dapat diakses pemuda.
2. Sumberdaya alam yang tersedia yang dapat menarik pemuda untuk terjun
ke dalam industri pemanfaatan sumberdaya alam tersebut.
3. Kapital sosial (social capital) yang dimiliki pemuda yang memungkinkan yang bersangkutan dapat mendayagunakan modal tersebut untuk
mengaktualisasikan peranannya.
4. Kemampuan kewirausahaan serta karakteristik individu yang
Kondisi Sekarang
pemuda Pengembangan potensi sumberdaya ekonomi
Kondisi yang Diharapkan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Keempat faktor tersebut tentu saja terdiri dari elemen (peubah) yang dapat
dijadikan peubah intervensi kebijakan (policy intervention variable) yang bila dikelola (dimanipulasi) dengan baik dan terarah dapat menghasilkan kebijakan
publik yang mendorong dan meningkatkan peran pemuda. Apabila kebijakan
publik, dukungan modal sosial, serta pengembangan potensi sumberdaya ekonomi
yang dimiliki pemuda dapat dipadukan dan dikelola secara cerdas maka
diharapkan peran pemuda dapat ditingkatkan. Hasil akhir atau kondisi yang
diharapkan dari peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan
perikanan, seperti dikemukakan pada Gambar 1 adalah:
1. Tingginya peran pemuda dalam pembangunan.
2. Dimanfaatkannya sumberdaya alam yang diberikan Tuhan.
3. Kesejahteraan masyarakat makin baik.
4. Berlangsungnya pembangunan daerah dengan kelautan dan perikanan
sebagai sektor utama.
5. Tidak adanya frustasi sosial di kalangan pemuda sehingga bentuk-bentuk
aspirasi pemuda yang disalurkan secara tidak benar dapat dihindari serta
ditiadakan.
1.7Hipotesis Penelitian
Berdasarkan atas persoalan yang dihadapi seperti diuraikan dalam latar
belakang dan perumusan masalah penelitian ini, tujuan dan sasaran penelitian,
serta kerangka pikir penelitian maka disusunlah hipotesis yang merupakan arahan
bagi pengembangan metode penelitian dan analisis data. Hipotesis yang dimaksud
1. Kebijakan publik bagi pemuda, dapat meningkatkan peran pemuda dalam
pembangunan kelautan dan perikanan.
2. Jiwa kewirausahaan seorang pemuda, menentukan peran pemuda tersebut
dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
3. Kapital sosial yang dimiliki seorang pemuda, menentukan perannya dalam
pembangunan kelautan dan perikanan.
4. Sumberdaya yang dimiliki oleh pemuda, dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan
perikanan.
Hipotesis yang dikemukakan ini pada hakekatnya adalah dikonstruksi
untuk empat kelompok peubah bebas (independen) yang diduga mempengaruhi
peran pemuda. Keempat kelompok peubah bebas tersebut adalah (1) jiwa
kewirausahaan, (2) kebijakan publik, (3) kepemilikan sumberdaya, dan (4) kapital
sosial. Pada uraian tentang metode penelitian di bab selanjutnya keempat
kelompok peubah bebas akan didekomposisi menjadi peubah-peubah yang lebih
Tinjauan pustaka adalah proses sintesis hasil penelitian, kajian, regulasi,
serta pengetahuan yang berkaitan dengan peran pemuda serta faktor- faktor yang
diduga menentukan peran itu yaitu kebijakan publik, kewirausahaan, modal sosial,
dan kepemilikan sumberdaya. Dengan adanya tinjauan pustaka maka akan ada
pemahaman yang lebih komprehensif tentang aspek yang diteliti yang berguna
dalam pengembangan metode penelitian serta pembahasan hasil penelitian. Bab
Tinjauan Pustaka ini terdiri dari lima sub-bab, masing- masing tentang aspek
(1) definisi dan peran pemuda, (2) kebijakan publik, khususnya yang berkaitan
dengan peran pemuda, (3) kewirausahaan, (4) pengaruh dan kekuatan kapital
sosial, serta (5) kepemilikan sumberdaya yang memungkinkan pemuda dapat
berperan.
Pemuda, sebagai bagian dari masyarakat, bisa berperan optimal jika bisa
berperan serta dalam meningkatkan kapasitasnya dimana kesejahteraannya
menjadi lebih baik berdasarkan aset yang ada, yaitu sumberdaya manusia, sosial,
fisik, dan lingkungan. Dalam hal ini pemuda harus bisa meningkatkan
kemampuannya dan secara kreatif mengkombinasikan sumberdaya dari luar
dengan sumberdaya yang ada di sekitarnya untuk membangun visi bersama.
Dalam pengembangan kapasitas agar pemuda lebih berperan secara optimal perlu
adanya agen perubahan. Dalam hal ini agen perubahan adalah fasilitator dan
pendidik. Proses serta fasilitasi tugas dalam suatu masyarakat perlu diperhatikan.
Pemuda diharapkan mampu mengenali dan memecahkan masalah secara kolektif.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Flora dan Luther (2000) adalah
(kebijakan publik), (2) meningkatkan basis kepemimpinan (kapital sosial),
(3) memperkuat kemampuan individual (kewirausahaan), (4) pemahaman visi
secara bersama (kapital sosial), (5) agenda masyarakat yang strategis dalam
menghadapi perubahan (kewirausahaan), (6) kemajuan yang konsisten dan terukur
menuju tujuan (kewirausahaan), (7) organisasi masyarakat dan lembaga yang
efektif (kapital sosial), dan (8) pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik oleh
masyarakat (sumberdaya).
2.1 Definisi dan Peranan Pemuda
Peran atau peranan bisa diartikan sebagai tindakan atau kegiatan atau
fungsi yang diberikan atau diharapkan dari seseorang atau kelompok. Peran juga
bisa diartikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh seseorang dalam
lingkungan sosial tertentu (The Free Dictionary 2006).
Strieter dan Blalock (2006) mengungkapkan, supaya seseorang bisa
menjalankan perannya secara lebih baik maka perlu melakukan kolaborasi.
Kolaborasi adalah upaya organisasi atau manusia mencapai tujuan bersama yang
tidak dapat dicapai secara efisien melalui upaya individu. Pemuda harus
diyakinkan bahwa mereka masing- masing memiliki hak untuk berperan, oleh
karena itu pemuda dalam kelompok yang sama harus memiliki visi yang sama dan
mengembangkan rasa kepemilikan bersama.
Dengan berperan serta, seseorang bisa ikut mengambil keputusan yang
mempengaruhi kehidupan seseorang dan masyarakat di sekitarnya. Ini adalah hak
warga negara yang sangat fundamendal (mendasar) dan biasanya digunakan
sebagai variabel untuk mengukur apakah ada demokrasi dalam suatu kelompok
Bentuk peran serta pemuda berbeda menurut lingkungan tempat tinggal dan
antar kelas sosial. Misalnya, pemuda kelas atas dan menengah di Filipina berperan
dalam protes kebijakan pemerintah melalui demonstrasi damai dengan cara saling
tukar informasi melalui telekomunikasi modern. Sementara pemuda miskin di
pedesaan menyampaikan informasi dari mulut ke mulut. Secara umum sulit untuk
meningkatkan peran kelompok berusia 15 – 24 tahun yang tidak memiliki akses
ke pendidikan, informasi, dan teknologi. Juga sulit meningkatkan peran pemuda
jika ada prasangka buruk di kalangan generasi tua. Meningkatkan peran pemuda
juga sulit dalam sistem pemerintahan otokratik dan gaya manajemen tradisional
jika mereka tidak diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat (Tayo
2002).
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Menpora 2005) menetapkan usia
pemuda adalah 18-35 tahun. Sanit (1985) diacu dalam Rohmad (1998)
memandang pemuda sebagai masa yang sentral. Ia memandang pemuda dari teori
lingkaran hidup (life cycle theory) yang membagi suatu generasi menjadi lima masa, yakni (1) anak-anak; (2) remaja; (3) pemuda; (4) dewasa; dan (5) tua.
Pemuda dapat berperan seperti orang dewasa dan mungkin juga dapat berperan
seperti seorang remaja. Pemuda adalah kehidupan pada masa transisi, tetapi
penting untuk memastikan bahwa pemuda mengembangkan kompetensi dan
kapabilitas mereka selama masa transisi ini (McCabe dan Garry 2002). Generasi
tua berpendapat bahwa generasi muda umumnya: (1) kurang komitmen, (2)
memuaskan diri sendiri, (3) tidak disiplin, (4) tidak tertarik dengan perencanaan
jangka panjang, (5) temperamental, (6) tidak berpengalaman, dan (7) hanya ingin
adalah: (1) terlalu banyak meminta, (2) tidak memberikan wilayah pribadinya,
(3) kokoh pada prinsip yang dimilikinya, (4) tidak memahami tentang realita saat
ini, (5) tidak terlalu tertarik akan aspek-aspek emosi atau perasaan, (6) tidak rela
memberi kesempatan kepada yang lain, dan (7) membosankan (Iyer 2002).
Selanjutnya Rohmad (1998) menyimpulkan bahwa secara garis besar,
pengertian pemuda adalah: (1) memiliki identitas ego yang stabil; (2) dapat
berpikir secara sistematis; (3) memiliki minat tertentu; (4) mampu menyesuaikan
diri dengan nilai, norma dan harapan masyarakat; (5) perkembangan moralnya
mencapai tahap konvensional; (6) terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan di
daerahnya; dan (7) secara umum diakui keberadaan dan eksistensinya dalam
program pembangunan masyarakat. Selain itu, pemuda dicirikan dengan
kebiasaannya yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang merupakan
manifestasi dari sifat yang energik, original, spontan dan ideal.
Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran
maupun dari lingkungan yang memberi peran kepadanya (Pareek dan Udai 1985
diacu dalam Rohmad 1998). Peran adalah sekumpulan fungsi yang dilakukan oleh
seseorang sebagai tanggapan terhadap harapan dari para anggota dalam sistem
sosial yang bersangkutan dan harapan sendiri dari jabatan (posisi) yang ia duduki
dalam sistem sosial itu. Dengan demikian peran adalah perilaku yang diharapkan
sesuai dengan fungsi atau kedudukannya (Rohmad 1998).
Pada awalnya teori peran hanya berfungsi sebagai sistem yang
memberikan gambaran-gambaran alternatif tentang gejala sosial yang dikaji oleh
para pakar sosial yang bersifat teori. Pada dekade terakhir ini, sosiologi dan
munculnya teori-teori tersebut. Seiring dengan munculnya minat pada
model-model struktur sosial, maka teori peran juga turut berkembang, teori pengambilan
hati (ingratitation theory) pertama kali diajukan oleh Jones (1990 diacu dalam Rohmad 1998). Teori ini untuk mempelajari strategi interpersonal yang digunakan
individu untuk memberikan kesan positif bagi orang lain, teori ini menggunakan
strategi dan taktik dengan memberi imbalan (insentif) agar orang berperilaku
seperti yang diharapkan.
Teori lainnya adalah teori cermin (looking glasses theory) yang
dikembangkan oleh Dewey, Mead dan Goffman (1929, 1934 dan 1959 diacu
dalam Rohmad 1998). Inti teori cermin adalah individu dan lingkungan
merupakan satu kesatuan yang harmonis. Bagaikan seseorang bercermin di depan
kaca, maka ia tampak seperti apa yang dilihatnya di dalam kaca. Berdasarkan hal
tersebut, kedirian pemuda dapat terlihat dari respon atau tanggapan yang diterima
dari lingkungannya.
Pareek dan Udai (1985 diacu dalam Rohmad 1998) menyatakan bahwa
peran tidak dapat ditentukan tanpa harapan- harapan dari para pengirim peran.
Pengirim peran adalah orang-orang penting di dalam sistem terlibatnya pemegang
peran. Setiap peran mempunyai sistem, terdiri dari pemegang peran dan mereka
yang mempunyai hubungan langsung dengan pemegang peran dan sejumlah
harapan dari peran itu.
Para pengirim peran bukan hanya keluarga, tetapi juga masyarakat, maka
tidak cukup hanya berbekal sosialisasi di dalam keluarga saja. Tendensi pemuda
meleburkan diri pada kelompok pemuda dalam semua masyarakat sebenarnya
untuk pengembangan kematangan sosial dan pembentukan identitas diri secara
penuh. Dengan kata lain, peran yang dipelajari dalam keluarga kurang membentuk
dasar yang cukup untuk pengembangan identitas dan partisipasi pemuda dalam
bermasyarakat. Di masyarakat, kelo mpok pemuda mencari kerangka untuk
pengembangan dan kristalisasi dari identitasnya untuk mencapai otonomi pribadi
dan untuk transisinya yang efektif ke dalam dunia dewasa (Rogers dan Dorothy
1977 diacu dalam Rohmad 1998).
2.2 Pemuda dan Kebijakan Publik
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kebijakan (policy) diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa sangat sederhana atau
kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar
atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan
juga bisa merupakan suatu deklarasi mengenai dasar pedoman bertindak, suatu
arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau
suatu rencana (Wahab 2004). Anderson (1979) merumuskan kebijakan sebagai
tindakan yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau sejumlah aktor (pejabat,
kelompok, instansi pemerintah) berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan
tertentu yang dihadapi.
Dye (1978) diacu dalam Islamy (2004) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai segala sesuatu yang dipilih atau tidak dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan. Jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada
tujuannya dan kebijakan tersebut harus meliputi semua tindakan, bukan
semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.
publik juga. Hal ini karena pilihan untuk tidak melakukan sesuatu oleh pemerintah
juga akan berpengaruh atau memiliki dampak yang sama besarnya dengan sesuatu
yang dilakukanoleh pemerintah.
Kebijakan publik yang ideal ada dua, yaitu: (1) Kewirausahaan bukan
merupakan sumberdaya, tetapi merupakan generasi yang mempunyai ide yang
produktif secara sosial, kewirausahaan merupakan generasi ide dan bukan
eksistensi sumberdaya yang menentukan kemakmuran; (2) Proses memahami
kewirausahaan menetukan alokasi sumberdaya. Esensinya adalah bahwa alokasi
sumberdaya merupakan dampak dari aktivitas wirausaha. Kebijakan publik bisa
mempengaruhi hal ini dalam berbagai cara. Kebijakan publik yang bersifat
regulasi bisa merusak kewirausahaan masyarakat (Kirzner dan Sautet 2006).
Penyusunan kebijakan publik yang baik harus didasarkan pada
prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. Keterbukaan (transparansi) atas berbagai
proses pengambilan keputusan akan mendorong partisipasi masyarakat dan
membuat para penyusun kebijakan publik menjadi bertanggung jawab
(accountable) kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) denga n proses maupun kegiatan dalam sektor publik. Transparansi adalah sebuah kondisi
minimum bagi partisipasi masyarakat dan merupakan awal dari terwujudnya
akuntabilitas. Prinsip partisipatif menunjukan bahwa masyarakat yang akan
memperoleh manfaat dari suatu kebijakan publik harus turut serta di dalam proses
pengambilan keputusan. Dengan kata lain, masyarakat menikmati faedah
kebijakan publik tersebut bukan semata-mata dari hasil (produk) kebijakan
tersebut tetapi dari keikutsertaan dalam prosesnya. Prinsip partisipatif dalam
kebijakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan, dan memudahkan penentuan
prioritas (transparansi). Prinsip akuntabilitas publik menuntut kapasitas para
aparat publik untuk dapat membuktikan bahwa setiap tindakan yang mereka ambil
ditujukan untuk kepentingan publik, dapat dipertanggungjawabkan kepada
stakeholders dengan indikator kinerja dan target yang jelas.
Adalah penting untuk meningkatkan kesadaran di kalangan pengambil
keputusan politik tentang kebutuhan mendesak, yaitu partisipasi yang lebih luas
spektrumnya dan secara menyeluruh terutama interaksi dan komunikasi antar
generasi(Busch 2002). Upaya mempersiapkan, membangun dan memberdayakan
pemuda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif dalam
pembangunan Bangsa Indonesia, dihadapkan pada berbagai permasalahan dan
tantangan: (1) Ketahanan budaya dan kepribadian nasional di kalangan pemuda
yang semakin luntur, yang disebabkan cepatnya perkembangan dan kemajuan
teknologi komunikasi, akibat dari derasnya arus informasi global yang berdampak
pada penetrasi budaya asing. Hal tersebut mempengaruhi pola pikir, sikap, serta
perilaku pemuda, ini dapat dilihat dari kurang berkembangnya kemandirian,
kreativitas serta produktivitas di kalangan pemuda, sehingga pemuda kurang dapat
berpartisipasi dalam proses pembangunan karakter bangsa; (2) Permasalahan yang
tidak kalah pentingnya adalah era globalisasi yang terjadi di berbagai aspek
kehidupan ternyata sangat mempengaruhi daya saing pemuda, sehingga pemuda
baik langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mempunyai keterampilan
baik bersifat keterampilan praktis maupun keterampilan yang menggunakan
teknologi tinggi untuk mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja dan
Selanjutnya, tantangan yang dihadapi adalah: (1) Derasnya arus mobilisasi
pemuda baik yang berpendidikan maupun yang putus sekolah dari desa ke kota
dan dari lapangan pekerjaan di bidang pertanian, perikanan dan kelautan yang
membutuhkan waktu lebih lama untuk menghasilkan, kepada pekerjaan/jasa yang
dapat menghasilkan dalam jangka pendek, sehingga terjadi penumpukan pemuda
pada satu jenis pekerjaan tertentu yang berada di perkotaan. Hal ini dapat dilihat
dari bertambahnya jumlah orang yang melakukan arus balik ke kota-kota besar
setelah hari besar/libur; (2) Munculnya gerakan demokratisasi yang dapat
memunculkan masalah- masalah baru di bidang kepemudaan. Ini dapat dilihat
dengan menj amurnya LSM yang banyak melibatkan pemuda. Disertai dengan laju
globalisasi, akan memberikan dampak pada persoalan identitas dan integritas
bangsa serta pembentukan moral dan agama yang kuat di kalangan pemuda dan
juga kepedulian terhadap lingkungan; (3) Belum terumuskannya kebijakan
pembangunan di bidang kepemudaan secara serasi, menyeluruh, terintegrasi dan
terkoordinasi antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat
daerah (Depdiknas 2004).
Dengan adanya permasalahan tersebut, maka tantangan pembangunan
bidang pemuda ke depan dapat memunculkan masalah-masalah baru di bidang
kepemudaan, terlebih lagi bila disertai laju globalisasi, maka akan memberikan
dampak pada persoalan identitas dan integritas bangsa di kalangan pemuda.
Menurut Gakunzi (2005) ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
(1) Desentralisasi adalah salah satu cara untuk memperbesar, memperdalam, dan
(2) Representasi politik kaum minoritas yang merupakan cara untuk me ndorong
partisipasi.
Pemerintah juga harus mendukung proyek skala kecil dan pengembangan
kewiraswastaan. Demikian juga pemerintah perlu memperhatikan pengangguran
di kalangan pemuda. Kebijakan ketenagakerjaan harus jelas mengarah menuju
kesempatan kerja kepada pemuda (NSC 2006).
2.3 Kewirausahaan Pemuda
Kewirausahaan atau entrepreneurship adalah kemampuan seseorang untuk untuk mengenali produk baru, menemukan cara produksi baru, menyusun operasi
untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan
operasinya. Dalam hal ini seorang wirausaha juga mampu mengorganisir dan
berani mengambil resiko dari suatu kegiatan bisnis atau usaha yang dijalankannya
(Depdiknas 2003 dan Merriam Webster 2001).
Kewirausahaan merupakan kemampuan manusia untuk mengatasi
ketidakpastian, karena setiap tindakan yang diputuskan selalu menghadapi
ketidakpastian, maka setiap tindakan memiliki sifat kewirausahaan dalam skala
kecil maupun besar. Bagi mereka yang ingin melakukan interaksi sosial baik
secara sukarela maupun berdasarkan klasifikasi pekerjaan akan menghadapi
berbagai hal lebih sulit yang terkait dengan kewirausahaan, yaitu menemukan dan
memperkirakan nilai subyektif dari orang lain (Herbener 1992).
Meningkatkan kewirausahaan bisa merupakan alat kebijakan yang
signifikan untuk pertumbuhan ekonomi regional maupun dalam hal menciptakan
arah peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal melalui kewirausahaan dan bukan
berpijak pada investasi yang datang dari luar daerah (Campbell dan Rogers 2007).
Kewirusahaan sangat penting dalam mendorong dinamika ekonomi
moderen dan penciptaan kerja. Pembuat kebijakan perlu mengetahui bagaimana
perusahaan baru memulai usaha nya dan kelembagaan keuangan seperti apa yang
diperlukan untuk mendorong kewirausahaan. Data time series antar negara menunjukkan terdapat korelasi antara kewirausahaan dengan kualitas peraturan,
akses terhadap modal, dan adanya informalitas (Klapper 2006).
Untuk melakukan wirausaha, pemuda perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas.
Kebutuhan fasilitas tergantung dari keterampilan pemuda, jenis usaha yang
dilakukan, serta ketersediaan dana. Hasil studi Brasier et al. (2006) di Pennsylvania, misalnya, menunjukkan keterampilan komputer sangat penting dan
signifikan dalam melakukan tugas manajamen usaha tani. Karena itu perlu
ditingkatkan dan dikembangkan kemampuan komputer untuk keberhasilan usaha
tani dan pembangunan pedesaan pada masa yang akan datang.
Pembukaan lapangan kerja baru melalui kewirausahaan dipandang perlu
untuk dapat meningkatkan daya dukung pertumbuhan ekonomi. Departemen
KUMKM (2005) mentargetkan pembukaan usaha baru. Untuk periode 2005-2009
diupayakan penumbuhan usaha baru berskala mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) sebanyak 6 juta unit termasuk pengembangan koperasi. Dalam hal ini
pemuda juga merupakan kelompok sasaran. Para tamatan sekolah kejuruan akan
diberi beasiswa untuk melanjutkan ke program diploma atau sarjana agar
Jiwa kewirausahaan harus ditumbuhkan sejak usia dini. Di Eropa,
khususnya di Norwegia, jiwa wirausaha sudah ditanamkan sejak usia sekolah.
Anak-anak harus diberi pengarahan agar sadar bahwa wirausaha merupakan
pilihan mata pencaharian pada masa depan. Disamping itu anak-anak sekolah
perlu diberi dorongan agar lebih percaya diri dan kreatif tentang setiap keputusan
yang mereka ambil. Sedangkan cara terbaik untuk belajar kewirausahaan adalah
melalui pengalaman dan praktek langsung. Misalnya, di sekolah para murid diberi
kesempatan praktek untuk menjalankan bisnis skala mini (Europe Union 2006).
Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktur Jenderal Pendidikan
Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP), misalnya, memberi kesempatan kepada para
pemuda untuk mengikuti kecakapan hidup terhadap pemuda yang bersedia
berusaha mandiri. Proram ini dirasa lebih bermanfaat untuk mendorong
kewirausahaan pemuda dalam menghadapi tantangan kemajuan jaman dimana
tuntutan hidup semakin tinggi sementara di pihak lain kesempatan kerja semakin
sempit (Kompas 2004). Program semacam ini dipraktekkan di Jawa Timur pada
tahun 2005, yaitu dengan memberi pelatihan wirausaha dari Forum Pemuda Jawa
Timur bagi para siswa SMA dan SMK se-Jawa Timur. Pelatihan ini bertujuan
menanamkan jiwa wirausaha sejak dini sehinga setelah lulus sekolah diharapkan
bisa bekerja secara mandiri dan tidak tergantung kepada kesempatan kerja yang
diberikan oleh orang lain (Jawa Pos 2005).
Silalahi (2005) menyatakan dari seluruh lulusan perguruan tinggi yang
memperoleh pekerjaan sebanyak 82% bekerja pada instansi pemerintah atau
swasta. Hanya 18% dari kelompok yang bekerja tersebut bekerja secara mandiri
yang mendorong pemuda agar lebih berminat bekerja secara mandiri seperti
halnya yang dilakukan negara- negara maju karena kewirausahaan berperan
menyumbang kemajuan ekonomi suatu bangsa.
2.4 Kapital Sosial Pemuda
Kapital sosial merupakan sumberdaya yang tersedia di dalam dan melalui
perorangan atau jaringan bisnis. Sumberdaya tersebut bisa berupa informasi, ide,
pimpinan, kesempatan bisnis, kekuatan dan pengaruh, dukungan emosional,
kemauan baik, kepercayaan, dan kerjasama. Kapital sosial tumbuh dari interaksi
kita dengan orang lain dan bisa disebut sinergi sosial. Dalam hal ini kapital sosial
bisa berkontribusi terhadap produktivitas bisnis ataupun kesuksesan perorangan.
Untuk bisnis, kegiatan sosial bisa meningkatkan pangsa pasar, menarik minat
investasi, memperbaiki citra perusahaan, memperbaiki efisiensi, dan
meningkatkan moral pegawai. Bagi perorangan, kapital sosial bisa meningkatkan
kesempatan kerja, pendapatan, kesehatan, kebahagiaan dan semua kualitas hidup
(Baker 2000).
Van Staveren (2003) memberikan definisi kapital sosial dalam berbagai
sudut pandang. Dari dimensi fungsionalis, kapital sosial merupakan tindakan
kolektif, dari sudut pandang sosiologi merupakan kohesi sosial, secara ekonomi
adalah kesejahteraan atau pertumbuhan ekonomi. Kapital sosial merupakan
komitmen terhadap nilai sosial yang bisa diekspresikan secara kuantitaif dan
kualitatif.
Kapital sosial terkait dengan nilai-nilai tertentu melalui jaringan kerja atau
dengan norma yang bersifat timbal balik (Dekker dan Uslaner 2001 diacu dalam
Aribowo 2007). Walaupun demikian, dengan perkembangan jaman terjadi
perubahan, misalnya ikatan antar kelompok dalam hal gotong royong atau
tolong-menolong semakin pudar. Kapital sosial bisa ditumbuhkan kembali tetapi
memerlukan waktu yang lama dan terus menerus.
Masyarakat Ao’ gading di Tana Toraja misalnya, kapital sosial yang
mereka miliki untuk membangun daerahnya dengan alam sekitar yang sejuk
mereka berusaha menarik wisatawan. Kapital sosial yang mereka miliki
diharapkan mendukung kegiatan mereka, yaitu kebersamaan, kepedulian,
keikhlasan, dan kerelawanan (Fina dan Jemang 2006). Walaupun demikian
mereka juga harus bersiap-siap bahwa adat yang mereka miliki bisa berubah
dengan berjalannya waktu. Mereka tetap harus mempertahankan daya tarik wisata
walaupun terjadi perubahan kapital sosial.
Generasi muda (suatu kelompok) tertentu harus menghormati kelompok
yang lain. Alasannya adalah karena pemuda berasal dari latar belakang yang
berbeda, hal ini harus merupakan kontribusi untuk membangun suatu masyarakat.
Pemuda patut mengembangkan kesetiakawanan melampaui batas-batas
lingkungannya karena nilai- nilai yang berasal dari cinta kasih dan kesetiakawanan
dapat menyela matkan pemuda di tengah konflik sosial politik yang begitu banyak.
Keragaman di antara pemuda mena mbahkan kekayaan terhadap semua proses,
meskipun sulit mencapai konsensus (Benjumea 2002).
Sayogyo (1985) menggambarkan melalui dua alternatif masyarakat
sebagai sistem sosial, pertama; masyarakat dipandang sebagai jaring- jaring