• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan Rencana Pengelolaan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak di Taman Nasional Alas Purwo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancangan Rencana Pengelolaan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak di Taman Nasional Alas Purwo."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANGAN RENCANA PENGELOLAAN ZONA TRADISIONAL

PERAIRAN SEGORO ANAK DI TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO

ALKORI NUGROHO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rancangan Rencana Pengelolaan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak di Taman Nasional Alas Purwo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

ABSTRAK

ALKORI NUGROHO. Rancangan Rencana Pengelolaan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak di Taman Nasional Alas Purwo. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan TUTUT SUNARMINTO.

Zona tradisional perairan Taman Nasional Alas Purwo berada di Resort Grajagan, yaitu di sepanjang Sungai Segoro anak sampai Teluk Grajagan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk merancang rencana pengelolaan zona tradisional TNAP yang berisi prinsip-prinsip pengelolaan dan aturan-aturan bagi masyarakat dalam pemanfaatan zona tradisional. Secara umum terdapat tiga bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat di zona tradisional perairan Segoro Anak yaitu pemanfaatan hasil perikanan, pemanfaatan budaya pethik laut, dan pemanfaatan jasa lingkungan ekowisata mangrove Bedul. Pemanfaatan yang memberikan tekanan terbesar dan memerlukan aturan khusus adalah pemungutan hasil perikanan di zona tradisional perairan Segoro Anak. Kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan sebagai acuan dalam penggunaan teknologi dan alat penangkapan ikan menjadi kunci pemanfaatan hasil berkelanjutan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari segi metode pengoperasian, bahan dan kontruksi alat, daerah penangkapan serta ketersedian sumberdaya ikan yang tetap menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya perikanan.

Kata kunci: pengelolaan, pemanfaatan berkelanjutan, zona tradisional, Segoro Anak, taman nasional Alas Purwo

ABSTRACT

ALKORI NUGROHO. Design of Segoro Anak Aquatic Traditional Zone Planning Management in Alas Purwo National Park. Supervised by SAMBAS BASUNI and TUTUT SUNARMINTO.

Alas Purwo National Park aquatic traditional zone placed in Resort Grajagan, it is along Segoro Anak river until Grajagan bay. The main purpose of this research is to design planning management of Alas Purwo National Park aquatic traditional zone that contains principal of management and the rules for the people to use traditional zone. In general there are three forms of the utilization such as uses of the fishery, the utilization of cultural for pethik laut tradition, and utilization of environmental services for Bedul mangrove ecotourism. The utilization that applies largest pressure and need a special rule is use of fisheries in Segoro Anak aquatic traditional zone. The activity of fishing with environmentally base as a reference in the use of technology and fishing instrument become a key for sustainable utilization. This condition can be seen in terms of operation method side of construction materials and instrument, fishing area and regional fish resources availability that are still preserve the environment and fisheries resources.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

RANCANGAN RENCANA PENGELOLAAN ZONA TRADISIONAL

PERAIRAN SEGORO ANAK DI TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO

ALKORI NUGROHO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah manajemen kawasan konservasi, dengan judul Rancangan Rencana Pengelolaan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak di Taman Nasional Alas Purwo.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS dan Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi sebagai pembimbing yang tidak pernah lelah menyemangati dan memberikan masukan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak Taman Nasional Alas Purwo yang telah membantu dalam pengambilan data penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, bapak, adik saya dan Alifah Meltriana, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Kemudian juga terima kasih kepada Keluarga KSHE 48, Keluarga Bagian Manajemen Kawasan Konservasi, Tim PKLP Taman Nasional Alas Purwo, Keluarga MEJ IPB 2014, Keluarga besar HIMAKOVA dan Keluarga Wisma Surya atas motivasi, bantuan, dukungan dan kebersamaan kita selama ini, serta seluruh staf pengajar, tata usaha, laboran, mamang bibi, juga keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu, memberikan dukungan, serta memberikan ilmu pengetahuan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

Kerangka Pemikiran 2

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Alat dan Obyek 5

Jenis Data 5

Metode Pengumpulan Data 5

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Sumberdaya yang Dimanfaatkan Masyarakat di Zona Tradisional Perairan Segoro Anak 7 Pola Pemanfaatan Zona Tradisional Perairan Segoro anak 12 Pengelolaan Perlindungan 21

Pengelolaan Pengawetan 22

Pengelolaan Pemanfaatan 23

Rancangan Rencana Pengelolaan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak 25 SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 29

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

1 Data potensi hasil perikanan zona tradisional perairan Segoro Anak 9 2 Jumlah dan persentase nelayan sesuai jenis sumberdaya yang

dimanfaatkan 10

3 Pola ruang pemungutan hasil perikanan zona tradisional perairan

Segoro anak 12

4 Frekuensi pemungutan hasil perikanan dalam satu bulan 15 5 Persentase jumlah dalam satu kali pengambilan 18 6 Macam-macam alat penangkapan hasil perikanan zona tradisional

perairan Segoro Anak beserta karakteristiknya 20 7 Persentase mata pencaraharian pemanfaat hasil perikanan zona

tradisional perairan Segoro Anak 25

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alur tahapan penelitian 3

2 Peta lokasi penelitian 4

3 Pemanfaatan ekowisata 8

4 Rajungan 11

5 Peta pola ruang pemanfaatan hasil perikanan 13

6 Penangkapan udang di zona peralihan 14

7 Pemasangan alat penangkapan udang di tengah badan sungai 14

8 Perahu nelayan 16

9 Pelitur 17

10 Sothok 17

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Interaksi masyarakat dengan taman nasional di Indonesia tidak dapat terlepaskan, khususnya yang berlokasi di Pulau Jawa. Kawasan konservasi diperkirakan telah dihuni masyarakat-masyarakat lokal tradisional sebelum pemeritah menetapkan wilayah tersebut menjadi kawasan pelestarian dan konservasi (Munggoro 1999). Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) merupakan kawasan pelestarian alam yang dikelilingi oleh masyarakat lokal yakni masyarakat tradisional Jawa. Masyarakat ini memiliki interaksi dengan hutan, gunung, dan pantai melalui aktivitas pemungutan biota laut, bambu, dan hasil hutan lainnya yang dikenal dengan sebutan Kayal (Pramusanti 2001). Zona pemanfaatan memiliki fungsi utama untuk pemanfaatan pariwisata alam dan jasa lingkungan bagi masyarakat sekitar kawasan dan masyarakat umum, selain itu untuk membatasi pemanfaatan dan perambahan berlebihan di kawasan TNAP oleh masyarakat tradisional maka dibentuk zona tradisional.

Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam (Permenhut nomor P. 56 /Menhut-II/2006). Pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Mekanisme pemanfaatan bersama pihak ketiga terlebih dahulu membangun kesepahaman dengan pengelola taman nasional dalam rangka pemanfaatan potensi kawasan (Permenhut nomor P19/Menhut/2004). Terhadap masyarakat di sekitar Taman Nasional dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di sekitar Taman Nasional dilakukan melalui:

1. Pengembangan desa konservasi;

2. Pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam;

3. Fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.

(14)

2

Rancangan ini berisi prinsip pengelolaan dan aturan-aturan untuk masyarakat agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada secara bijak dan berkelanjutan tanpa merusak ekosistem yang ada.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuat rancangan rencana pengelolaan zona tradisional perairan di TNAP. Secara rinci tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengidentifikasi sumberdaya alam apa saja yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan di zona tradisional perairan TNAP. 2. Mendeskripsikan pola pemanfaatan sumberdaya alam di zona tradisional

perairan TNAP oleh masyarakat sekitar kawasan.

3. Merancang rencana pengelolaan zona tradisional perairan TNAP yang berisi aturan-aturan bagi masyarakat dalam pemanfaatan zona tradisional.

Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak pengelola TNAP untuk menyusun rencana pengelolaan zona tradisional agar tercapai tujuan pemanfaatan berkelanjutan dalam upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Kerangka Pemikiran

Penyusunan rencana pengelolaan zona tradisional memerlukan data inventarisasi potensi sumberdaya yang sering dimanfaatkan masyarakat dan pola pemanfaatannya. Rencana kerja jangka pendek tahunan ini berisi program-program yang akan dilakukan pihak pengelola untuk mencapai tujuan pengelolaan Taman Nasional selama setahun kedepan sebagai implementasi dari rencana kerja jangka panjang. Salah satu program yang akan dijalankan pengelola TNAP adalah penataan batas dan penyusunan rencana pengelolaan zona tradisional. Pemanfaatan secara tradisional terus dilakukan masyarakat tanpa ada rencana pengelolaan yang pasti oleh pihak pengelola TNAP. Maka dari itu diperlukan aturan-aturan yang mengatur pemanfaatan zona tradisional oleh masyarakat, dalam hal ini dituangkan sebagai suatu rancangan rencana pengelolaan zona tradisional.

(15)

3

Gambar 1 Diagram alur tahapan penelitian Penyusunan Rencana

Pengelolaan Zona Tradisional Identifikasi Sumberdaya

Pola Pemanfaatan

Pola Cara Pola Waktu

Pola Ruang

Analisis Data Kelestarian ekologi Kelestarian ekonomi Kelestarian sosial

TNAP

Pemanfaatan Zona Tradisional Secara Berkelanjutan oleh

Masyarakat

(16)

4

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2015 di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur tepatnya di Zona Tradisional Perairan Segoro Anak di Resort Grajagan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(17)

5

Alat dan Obyek

Alat yang dibutuhkan yaitu perekam, kamera, panduan wawancara, dan alat tulis. Sedangkan obyeknya ialah masyarakat dan stakeholder terkait.

Jenis Data

Data primer

Data yang dikumpulkan meliputi:

1. Data sumberdaya atau spesies yang sering dimanfaatkan masyarakat serta perannya dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti makanan, perlindungan (rumah) dan pengobatan penyakit, serta pemanfaatan spesies dalam perdagangan.

2. Data pola pemanfaatan sumberdaya terkait dengan konservasi kawasan meliputi:

a. intensitas pemanfaatan b. tipe pemanfaatan

c. jumlah spesies dalam satu kali pemanfaatan d. keragaman pemanfaatan

e. lokasi pengambilan spesies

f. cara mengambil/ mendapatkan spesies

g. ketersediaan spesies terkait perubahan jumlah penyebabnya berdasarkan pengalaman masyarakat pemanfaat (misal karena perdagangan)

Data sekunder

Data yang terkait dengan pengelolaan kawasan, meliputi kondisi umum lokasi penelitian zona tradisional perairan Resort Grajagan TNAP, data pemanfaatan dan pengambilan sumberdaya dari dalam kawasan oleh masyarakat (jenis, yang diambil, pengaruhnya dalam kawasan dan upaya mengatasinya), tata batas dan pengelolaan zona tradisional yang sudah ada, data kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Sumberasri dan pelibatan aspek kebudayaan masyarakat tradisional setempat dalam pengelolaan kawasan.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Studi literatur

Studi literatur untuk menghimpun data sekunder tentang gambaran awal dari kondisi kawasan.

2. Penentuan informan kunci

(18)

6

3. Wawancara

Wawancara yang dilakukan berupa wawancara terbuka yakni peneliti menanyakan topik awal pada responden, lalu menggali secara mendalam informasi berdasarkan pertanyaan yang tidak terbatas (tidak terikat) jawabannya. Contohnya, wawancara dengan menggunakan pertanyaan yang menghendaki penjelasan atau pendapat seseorang. Beberapa pihak yang diwawancarai antara lain, pihak taman nasional, masyarakat Desa Sumberasri (tokoh adat/ tokoh masyarakat), dan pihak lain yang terkait dengan penelitian. 4. Observasi

Observasi atau pengamatan langsung meliputi pengumpulan data pokok dan pendokumentasian yang berhubungan dengan penelitian. Metode observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi partisipan yaitu suatu proses pengamatan yang dilakukan oleh observer dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan diobservasi. Beberapa hal yang akan diobservasi diantaranya:

a. Pemanfaatan spesies baik secara langsung seperti dikonsumsi, dibuat sebagai pakaian, digunakan sebagai bahan rumah dan sebagainya, maupun tidak langsung seperti dijual sebagai barang perdagangan.

b. Pengambilan atau pemungutan sumberdaya seperti cara pemanenan, perburuan, ataupun pengolahan hasil panenan.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan tabel dan diagram untuk menjelaskan hasil sumberdaya yang sering dimanfaatkan serta pola pemanfaatannya oleh masyarakat tradisional. Berdasarkan analisis data ini kemudian akan dirumuskan aturan-aturan bagi masyarakat maupun pedoman pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam di zona tradisional sebagai komponen rancangan rencana pengelolaan zona tradisional perairan TNAP.

Deskripsi hasil data yang di dapat melalui identifikasi potensi sumberdaya dan pola pemanfaatan akan dikaitkan dengan interaksi masyarakat dengan hutan. Analisis berupa keterkaitan antara pola ruang, pola waktu, dan pola cara dalam pemanfaatan sumberdaya dengan kondisi pengelolaan yang ada baik oleh masyarakat maupun pengelola. Pengelolaan meliputi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan. Dari hasil analisis yang dilakukan dapat dibentuk prinsip-prinsip pengelolaan dan aturan-aturan sebagai rancangan rencana pengelolaan yang akan menjadi pedoman bagi semua pihak dalam mengelola dan memanfaatkan zona tradisional.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

(19)

7 tradisional perairan berada di Resort Grajagan sepanjang sungai sampai Teluk Grajagan. Lokasi yang dipilih hanya satu kawasan zona tradisional yaitu di Blok Bedul dengan tujuan untuk memfokuskan penelitian. Blok Bedul berada di Resort Grajagan dan merupakan bagian dari Seksi Wilayah I Tegaldlimo TNAP. Formasi hutan mangrove di Kawasan TNAP hanya terdapat di pinggir Sungai Segoro Anak hingga muara di Teluk Grajagan dengan luas sekitar 1000 ha, sedangkan zona tradisional perairan Segoro Anak memiliki luas kurang lebih 375 ha. Berdasarkan data yang diperoleh dari Resot Grajagan, susunan hutan mangrove terdiri dari 8 marga/genus tumbuhan mangrove, yaitu api-api (Avicenia alba, Avicenia marina, Avicenia officinalis ), bakau (Rhizhopora apiculata dan Rhizhopora mucronata), dungun (Heritheria littoralis), kendal (Cordia oblique dan Cordia subcordata), nyiri (Xylocarpus granatum dan Xylocarpus moluccensis), perpat (Sonneratia alba), tanjang (Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera cylindrica dan Bruguiera sexagula) dan tingi (Ceriops tagal, Ceriops decandra).

Formasi vegetasi mangrove, walaupun luasnya relatif kecil namun keberadaannya dinilai penting, karena formasi ini merupakan habitat penting bagi satwa air seperti jenis-jenis tertentu seperti ikan dan udang, maupun bagi satwa darat. Fauna yang berasosiasi dengan hutan mangrove terbagi atas tiga kelompok besar yaitu mamalia darat, burung, reptil dan biota perairan. Jenis mamalia yang sering ditemukan adalah babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kucing hutan (Felis bengalensis), rusa yang terdapat di hutan pantai, akan berada pada hutan bakau hanya untuk mengasin saja. Jenis-jenis burung yang berasosiasi dengan hutan mangrove adalah pecuk ular (Anhinga melanogaster), raja udang (Alcedo caerulescens), bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus) dan kuntul (Egretta spp). Ikan yang terdapat di perairan Blok Bedul antara lain ikan petak, kakap, brunjung, blutak, tiri, belanak, bedhul, glomoh, bang-bangan. Jenis dalam kelas Crustacea juga memiliki potensi yang besar yaitu udang, kepiting, dan rajungan. Areal ini juga kaya akan molusca, namun belum ada penelitian apakah molusca-molusca yang ada di sepanjang Sungai Segoro Anak ada yang berstatus dilindungi atau tidak. Sungai yang dikelilingi hutan mangrove ini, menyimpan beragam potensi perikanan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, mulai dari mencari ikan, kerang, udang, kepiting, dan rajungan.

Sumberdaya yang Dimanfaatkan Masyarakat di Zona Tradisional Perairan Segoro Anak

(20)

8

Bedhul dan bersama-sama mengucap syukur atas karunia Tuhan yang diturunkan melalui hasil laut di Segoro Anak. Acara adat ini dilaksanakan dengan partisipasi semua nelayan yang menyisihkan iuran Rp 15.000 per bulan untuk membeli dan menyiapkan sesaji serta acara perayaan tahunan ini. Dengan adanya ritual ini masyarakat berharap agar hasil laut tetap melimpah dan memberikan kemakmuran bagi masyarakat sekitar kawasan Segoro Anak.

Pemanfaatan lain yang dilakukan dan menjadi salah satu solusi pemanfaatan berkelanjutan adalah pemanfaatan jasa lingkungan untuk ekowisata (Gambar 3). Sebagai komitmen TNAP dalam membantu mengembangkan perekonomian masyarakat sekitar hutan, pengembangan Ekowisata Mangrove Bedul menjadi salah satu strategi menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Tumbuh dan berkembangnya Ekowisata Mangrove Bedul telah memberikan peluang warga Sumberasri untuk mendirikan warung-warung makanan, penjualan suvenir dan pedagang asongan. Kunjungan rata- rata 1.000 pengunjung setiap minggu telah memberikan tambahan penghasilan yang cukup banyak bagi para warga yang berjualan di lokasi wisata sekaligus para pejual yang berada di sepanjang jalan menuju lokasi wisata.

Gambar 3 Pemanfaatan ekowisata

(21)

9 Kesadaran masyarakat dan pengunjung akan kelestarian alam perlu diperhatikan karena hal tersebut merupakan salah satu tujuan utama ekowisata. Sebagai salah satu kader konservasi, pengelola harus punya perencanaan yang pasti mengenai pengembangan potensi keindahan alam ekosistem mangrove bedul. Hal tersebut harus didukung oleh pihak TNAP dan perhatian pemerintah daerah. Lebih lanjut perlu dilakukan kajian mengenai peluang pasar dan strategi pemasaran Ekowisata Bedul.

Pemanfaatan yang memberikan tekanan terbesar terhadap ekosistem Segoro Anak adalah pengambilan langsung hasil-hasil perikanan. TNAP memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi yang berasal dari berbagai macam tipe ekosistem. Salah satu tipe ekosistem yang memiliki keunikan dan keanekaragaman hayati yang tinggi adalah ekositem Sungai Segoro Anak dan hutan mangrove. Hutan mangrove yang berada di Resort Grajagan ini merupakan hutan mangrove terutuh yang ada di Pulau Jawa. Kondisi hutan mangrove yang masih sangat bagus dan perairan yang belum tercemar membuat potensi keanekaragaman biota air menjadi sangat melimpah. Mangrove merupakan tanaman yang tahan terhadap kandungan kadar garam di media atau tempat hidupnya. Produktivitas primer yang dihasilkan hutan mangrove cukup tinggi, sehingga menjadikan daerah mangrove tempat tumbuh suburnya hewan-hewan pemakannya, yaitu dari jenis ikan, Crustacea maupun hewan-hewan lainnya (Supriharyono 2009). Hal tersebut yang membuat masyarakat memanfaatkan hasil perikanan zona tradisional perairan Segoro Anak sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi. Masyarakat pemanfaat hasil perikanan di zona tradisional perairan ini melakukan penangkapan terhadap biota-biota perairan yang terdapat di areal hutan mangrove dan sepanjang Sungai Segoro Anak. Tidak semua potensi biota perairan yang ada di zona tradisional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena banyak jenis yang memang tidak dapat dikonsumsi maupun tidak memiliki nilai ekonomi untuk diperdagangkan seperti ikan bedul dan berbagai jenis siput. Data potensi hasil perikanan Segoro Anak yang sering dimanfaatkan masyarakat menurut hasil wawancara dengan para nelayan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data potensi perikanan zona tradisional perairan Segoro Anak

No. Kelas Spesies

1 Pisces Ikan pari, glomoh, tanding pacul, sliper, belanak, kerapu, kakap, kacangan, brunjung, bekuku, bedhul, kerongan, dan bandeng.

2 Crustacea Udang windu, udang manis, udang peyek, udang dragu, kepiting, dan rajungan.

3 Mollusca Kerang dara, tiram, sampir, pelok, capar, kukon, batik, cemethi, dan miren.

(22)

10

sesuai keahlian serta alat penangkapan yang dimiliki. Beberapa nelayan ada juga yang memanfaatkan lebih dari satu jenis sumberdaya karena memiliki beberapa jenis alat maupun memiliki alat yang mampu menangkap beberapa jenis hasil sumberdaya. Hasil sumberdaya yang dimanfaatkan nelayan dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu ikan, udang, kerang, kepiting, dan rajungan. Berdasarkan data 65 nelayan yang memanfaatkan zona tradisional perairan Segoro Anak yang terhimpun dari hasil wawancara dan data sekunder, persentase kelompok nelayan berdasarkan hasil yang dimanfaatkan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah dan persentase nelayan sesuai jenis sumberdaya yang dimanfaatkan

No. Jenis Sumberdaya Jumlah Nelayan Persentase (%)

1 Ikan 17 23

2 Udang 15 26

3 Kepiting 6 9

4 Rajungan 13 20

5 Kerang 13 20

6 Semua jenis 1 2

Jumlah 65 100 Dilihat dari Tabel 2, ikan dan udang menjadi hasil yang paling banyak dimanfaatkan karena keberadaannya yang masih melimpah. Hal tersebut dikarenakan tumbuhan mangrove merupakan penghasil detritus organik yang merupakan sumber pakan alami potensial bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukan tumbuhan mangrove sendiri tetapi serasah yang berasal dari dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, bunga, buah). Serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi nutrien yang terlarut dan dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove sendiri dalam proses fotosintesis dan sebagian dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2002). Selain itu dalam memungut hasil ikan dan udang hanya diperlukan peralatan yang relatif sederhana yaitu jaring dan perahu. Sedangkan untuk mencari kepiting dan rajungan nelayan perlu menggunakan alat berupa perangkap dan harus masuk kedalam hutan mangrove. Maka dari itu pencari kepiting sangat mengandalkan pasang surut air yang masuk hutan mangrove. Salah satu hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah rajungan. Rajungan atau kepiting bakau (Scylla serrata) seperti pada Gambar 4 merupakan jenis yang dominan di Indonesia. Spesies ini merupakan salah satu diantara komoditas perikanan yang banyak diminati oleh masyarakat baik dari kalangan pembudidaya tambak, pengusaha maupun konsumen. Daging kepiting tersebut mengandung protein 65,72%, lemak 0,83%, abu 7,5% dan kadar air 9,9% (Rosmaniar 2008).

(23)

11

Gambar 4 Rajungan

Jumlah pengepul mempunyai persentase paling kecil karena pengepul hanya sebagai penadah dan distributor hasil yang didapat para nelayan. Di lokasi sekitar dermaga Bedul hanya ditemui satu pengepul yang mendatangi dan menunggu para nelayan yang pulang melaut. Hal itu dilakukan agar mendapat hasil laut yang masih segar. Sebenarnya masih ada pengepul lain di desa-desa sekitar Desa Sumberasri, namun mereka hanya bertindak sebagai pengepul yang menunggu nelayan mendatangi rumah mereka untuk menyetor hasil yang didapat.

Menurut Zubair dan Yasin (2011) nelayan adalah orang- orang yang aktif dalam melakukan kegiatan pada sub sektor perikanan dan ini dilakukan dalam usaha ekonomi, oleh karena itu indikator yang digunakan untuk menentukan bahwa seseorang termasuk nelayan apabila seluruh atau sebagian besar penghasilan pendapatan rumah tangganya merupakan konstribusi dari pendapatan yang diperoleh dari sub sektor perikanan. Hasil yang diperoleh nelayan dari Segoro Anak biasanya dimanfaatkan sebagai barang ekonomi. Hasil tersebut langsung dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hanya sedikit yang memanfaatkan hasil untuk dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari. Sedangkan untuk pemanfaatan lain seperti sebagai obat tradisional maupun untuk kerajinan sendiri memang belum ada. Persentase nelayan yang memanfaatkan hasil untuk dijual adalah sebesar 92%, sedangkan yang memanfaatkan hasil untuk konsumsi sendiri sebanyak 8%. Nelayan yang memiliki persentase terbesar merupakan nelayan komersial yaitu nelayan yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar lokal maupun pasar ekspor (Charles 2001). Nelayan yang memanfaatkan hasil untuk konsumsi sendiri sebagian besar merupakan pencari kerang dan pemancing ikan yang memang bukan bermatapencaharian sebagai nelayan.

(24)

12

prinsip melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya sekedar untuk kesenangan atau berolahraga (Charles 2001). Tidak jarang apabila mereka mendapat hasil yang banyak, mereka juga menyisihkan hasilnya untuk dijual. Begitu pula sebaiknya, apabila para nelayan yang biasa menjual hasilnya kepada pengepul mendapat hasil sedikit, mereka lebih memilih untuk mengkonsumsi sendiri hasil yang didapat.

Pola Pemanfaatan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak

Pola ruang

Masyarakat nelayan melakukan pemungutan hasil perikanan Segoro Anak hampir di seluruh area Segoro Anak. Tabel 3 berikut menggambarkan pola ruang pemanfaatan atau pemungutan yang dilakukan nelayan di zona tradisional perairan Segoro Anak.

Tabel 3 Pola ruang pemungutan hasil perikanan di zona tradisional perairan Segoro Anak

No. Pola Ruang Jenis Sumberdaya Persentase

(%)

1 Badan sungai Ikan dan udang 70

2 Peralihan Ikan dan Udang 3

3 Perairan pasang surut mangrove Kepiting dan Rajungan 9

4 Dangkalan/delta sungai Kerang 18

Jumlah 100

Berdasarkan Tabel 3 terdapat kelompok ruang atau daerah-daerah di dalam zona tradisional yang sering dimanfaatkan oleh nelayan yaitu badan sungai, zona peralihan, perairan pasang surut hutan mangrove, dan daerah dangkalan/delta sungai. Menurut hasil wawancara, tempat pemungutan ditentukan berdasarkan jenis yang dipungut dan alat yang digunakan. Direktorat Produksi Ditjen Perikanan (2000), kriteria penentuan fishing ground yang ramah lingkungan adalah penentuan daerah penangkapan ikan yang sesuai dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang dioperasikan dan perlunya pengaturan operasi penangkapan ikan di lapangan. Peta pola ruang pemungutan hasil perikanan di zona tradisional Segoro Anak dapat dilihat pada Gambar 5.

(25)

13

G

am

ba

r 5 Pe

ta

pol

a r

u

ang

pem

anf

aat

an ha

si

l

pe

ri

k

ana

(26)

14

Gambar 6 Penangkapan udang di zona peralihan

Pemungutan udang di zona peralihan ini memiliki persentase paling sedikit dikarenakan sebenarnya terdapat himbauan dari pengelola agar nelayan tidak lagi menggunakan kempeng untuk menangkap udang di daerah zona peralihan antara mangrove dan sungai karena daerah ini merupakan tempat memijahnya biota-biota Segoro Anak. Apabila masih terus dilakukan maka akan mengganggu keberlangsungan ekosistem karena biota-biota yang masih kecil akan ikut tertangkap. Daerah penangkapan selanjutnya adalah area perairan mangrove atau biasa disebut perairan pasang surut. Perairan pasang surut mangrove biasanya dimanfaatkan saat air pasang karena air akan masuk menggenangi vegetasi mangrove. Hal ini dimanfaatkan nelayan untuk memasang perangkap untuk kepiting dengan alat bubu dan pelitur (Gambar 9).

Mangrove yang ada di perairan zona tradisional ini merupakan jenis mangrove sepanjang sungai dan muara sungai. Persentase terbesar adalah pemanfaatan di badan sungai dengan nelayan yang masuk dalam kelompok ini adalah para penjaring ikan, udang, dan rajungan. Para nelayan ini menjaring dengan perahu dan berpindah-pindah hampir ke seluruh zona tradisional perairan Segoro Anak. Badan sungai juga menjadi tempat pemasangan jaring tancap berupa tander yang dtempatkan di tengah badan sungai dapat dilihat pada Gambar 7. Tander digunakan untuk memerangkap ikan dan udang. Pencarian kerang biasa dilakukan di daerah dangkalan sungai. Dangkalan sungai merupakan daerah pada Segoro Anak yang ketika air surut akan nampak seperti daratan di tengah sungai atau apabila berada di daerah muara biasa disebut delta sungai. Daratan ini berlumpur dan berpotensi terdapat banyak kerang.

(27)

15

Pola waktu

Rata-rata nelayan melakukan pemungutan sebanyak 20 hari dalam waktu satu bulan. Banyaknya hari kerja nelayan dalam satu bulan tergantung pasang surut air laut dan kekuatan masing-masing nelayan. Intensitas tertinggi pemungutan adalah pada saat bulan mati biasanya pada akhir bulan tanggal 21-29. Jenis alat juga akan mempengaruhi frekuensi pengambilan seperti nelayan tander, mereka hanya memasang tander dan mengambil hasilnya 2 kali dalam seminggu. Frekuensi nelayan dalam memanfaatkan hasil perikanan di zona tradisional perairan Segoro Anak dalam satu bulan adalah seperti pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Frekuensi pemungutan hasil perikanan zona tradisional perairan Segoro

Anak dalam satu bulan

No. Pola Frekuensi Persentase (%)

1 ≤ 10 hari 17

2 11-15 hari 14

3 16-20 hari 54

4 >20 hari 15

Jumlah 100

Setiap hari nelayan hanya pergi satu kali untuk melaut dan sebagian besar berangkat pada sore atau malam hari dan pulang pada pagi hari karena pasang surut pada malam hari berpihak pada nelayan. Jam kerja dalam satu hari berbeda-beda tergantung kekuatan masing-masing nelayan dan hasil yang didapat. Apabila hasil yang didapat banyak, nelayan bisa pulang lebih cepat. Usia nelayan juga akan mempengaruhi kekuatan nelayan untuk bekerja. Nelayan dengan usia diatas 50 tahun biasanya pulang melaut pada dini hari karena kondisi fisik yang sudah tidak mendukung.

Persentase terbesar merupakan nelayan dengan hari kerja 16-20 hari dalam sebulan yang didominasi oleh nelayan udang, ikan, dan rajungan. Hal ini disebabkan keberadaan udang, ikan, dan rajungan yang melimpah hampir di sepanjang bulan. Selain itu sebagian besar nelayan ikan dan udang merupakan masyarakat yang memang menjadikan profesi nelayan sebagai mata pencaharian utama bukan sampingan. Berbeda dengan nelayan lainnya yang kebanyakan bermatapencaharian utama sebagai buruh tani dan melaut hanya sebagai sampingan. Ketika nelayan tidak melaut mereka beristirahat dirumah sambil melakukan perbaikan pada alat. Hari-hari diluar melaut biasanya digunakan untuk mengurus ternak dan mengerjakan pekerjaan lain sebagai buruh tani.

Pola cara

(28)

16

kayu bakar, bambu, manon, pupus atau daun muda dari pohon gebang, dan buah-buahan seperti kemiri, melinjo, dan kedawung. Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan kepariwisataan di taman nasional, khususnya dengan pihak swasta yang sudah mendapatkan ijin pengelolaan wisata alam masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat yang langsung melakukan kegiatan pemungutan hasil hutan. Interaksi yang terjadi di zona tradisional perairan Segoro Anak ini termasuk kelompok yang kedua.

Hampir setiap nelayan memiliki perahu pribadi (Gambar 8) yang digunakan sebagai transportasi dalam melakukan aktivitas pemungutan hasil Segoro Anak. Berdasarkan ukuran perahu, nelayan yang berada di Segoro Anak termasuk jenis nelayan kecil yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT) (UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan). Terdapat beberapa nelayan yang menggunakan perahu ojek dan gondang-gandung sebagai transportasi. Nelayan ini merupakan para pencari kerang yang sebagian besar adalah wanita. Berbagai macam cara digunakan untuk mengambil berbagai macam jenis potensi hasil Segoro Anak yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Beberapa alat beserta karakteristik dan penggunaanya yang menggambarkan pola cara dan waktu nelayan dalam pemungutan hasil perikanan dapat dilihat pada Tabel 6. Alat-alat pada tabel tersebut digunakan nelayan setiap hari pada saat memungut hasil Segoro Anak. Seorang nelayan biasanya maksimal hanya memiliki dua jenis alat. Alat-alat tersebut dibeli dari toko alat-alat penangkapan ikan dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Harga dan cara perawatannya pun berbeda-berbeda-beda. Alat-alat yang berbentuk jaring panjang dan besar seperti kempeng, jaring ikan, jaring rajungan, tander, sothok (Gambar 10), dan jala dapat digunakan 5-10 tahun. Setiap ada kerusakan sobek atau lubang nelayan langsung memperbaiki sendiri. Penggunaan alat-alat berukuran kecil seperti bubu, pelitur, pancing, dan cangkul hanya memerlukan perawatan yang sederhana.

(29)

17 Nelayan yang terdapat di Sungai Segoro Anak ini merupakan nelayan tradisional. Nelayan tradisional mengunakan teknologi penangkapan yang sederhana, umumnya peralatan penangkapan ikan dioperasikan secara manual dengan tenaga manusia. Kemampuan jelajah operasional terbatas pada perairan pantai dan sungai. Semua alat yang digunakan masyarakat nelayan Segoro Anak memang masih tergolong tradisional karena belum menggunakan tekhnologi sehingga tidak terlalu mengganggu ekosistem. Terdapat satu alat yang penggunaannya dapat menganggu perkembangbiakan biota perairan Segoro Anak. Alat tersebut merupakan jaring kempeng yang dipasang sepanjang pinggiran Sungai Segoro Anak. Alat tersebut berbahaya karena ukuran jaring yang digunakan sangat kecil yaitu dengan ukuran lubang jaring sebesar 0,5-1 cm. Padahal (berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.607/KPB/UM/1976 butir 3) yang menyatakan bahwa mata jarring dibawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan dimana-mana perairan. Ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) (Departemen Kelautan dan Perikanan 2009). Ukuran jaring yang kecil membuat ikan-ikan dan udang-udang kecil akan ikut tertangkap dan siklus perkembangbiakan akan terganggu.

Gambar 9 Pelitur Gambar 10 Sothok

(30)

18

penurunan kualitas lingkungan akibat pemanfaatan yang dilakukan masyarakat. Selanjutnya, jumlah rata-rata hasil yang diperoleh nelayan dalam satu kali penangkapan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Persentase jumlah dalam satu kali pengambilan No. Hasil Satu Kali Pemungutan (kg) Persentase (%)

1 1-2 11

2 3-4 49

3 5-6 32

4 7-8 8

Jumlah 100

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase jumlah hasil tangkapan tertinggi adalah 3-4 kg. Hasil tangkapan ini sebagian besar merupakan ikan, udang, dan rajungan yang ditangkap menggunakan jaring. Hasil 7-8 kg biasanya dari kelompok pencari kerang. Satu kali pengambilan yang dimaksud dalam Tabel 5 adalah satu kali nelayan turun melaut. Setiap nelayan turun melaut satu kali, memiliki intensitas penangkapan yang berbeda-beda tergantung jenis alat dan cara penggunaan. Intensitas pengambilan ini dapat dilihat pada Tabel 4. Selain itu pengetahuan dan keterampilan sangat menentukan produktivitas nelayan seperti yang dikemukakan oleh Sukirno (1999) dalam Zubair dan Yasin (2011) bahwa kekurangan pengetahuan merupakan faktor lain yang menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas dan yang lebih penting adalah faktor ini yang menjadi penyebab tingkat produktivitas sejak berabad-abad yang lalu tidak mencapai perubahan yang berarti. Berbicara mengenai produktivitas, hasil perikanan yang didapat nelayan dari perairan Segoro Anak dalam beberapa tahun terakhir menurut beberapa nelayan tidak mengalami penurunan yang berarti. Penurunan yang dirasakan disebabkan semakin banyaknya nelayan yang memanfaatkan hasil perikanan Segoro Anak. Hal ini membuat pembagian sumberdaya dan ruang penangkapan semakin kompleks. Contoh hasil tangkapan udang yang didapat menggunakan tander dapat dilihat pada Gambar 11.

(31)

19

No. Nama Alat

Kegunaan Bentuk Ukuran Waktu

pemakaian

Cara pemakaian Lokasi Hasil/hari (Kg) Tabel 6 Macam-macam alat penangkapan hasil perairan Segoro Anak beserta karakteristiknya

(32)

20

No. Nama Alat

Kegunaan Bentuk Ukuran Waktu pemakaian Cara pemakaian Lokasi Hasil/hari (Kg)

Air surut Ketika air surut ada daratan ditengah segoro Tabel 6 Macam-macam alat penangkapan hasil perairan Segoro Anak beserta karakteristiknya (lanjutan)

(33)

21

Pengelolaan Perlindungan

Pengelolaan yang dilakukan pengelola TNAP terhadap zona tradisional dilakukan sejalan dengan fungsi resort dalam menjaga dan melindungi kawasan sesuai sistem Pengelolaan Berbasis Resort (Resort Based Management). Zona tradisional perairan Segoro Anak termasuk dalam Resort Grajagan, yang berarti kegiatan perlindungan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan menjadi tanggung jawab resort tersebut. Obyek yang dilindungi dan diamankan di kawasan TNAP tidak memiliki fokus tertentu, artinya dilakukan pada semua potensi di seluruh kawasan secara merata dan bergiliran sesuai dengan blok-blok patroli yang telah direncanakan Balai TNAP. Keseluruhan kawasan dibagi menjadi blok-blok patroli berdasarkan wilayah administrasi tertentu. Namun ketika ada kasus yang sedang marak terjadi di blok tertentu, maka patroli dilakukan di blok sesuai perencanaan dan blok yang sedang terjadi kasus. Kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan hutan yang dibuat oleh Balai TNAP sesuai dengan keadaan serta alat penunjangnya antara lain meliputi: patroli harian, penyuluhan, patroli gabungan, penyelesaian kasus pelanggaran/ kejahatan kehutanan.

Patroli harian adalah patroli ke daerah-daerah rawan pelanggaran dan melakukan pencatatan (perekaman) data di sepanjang perjalanan, meliputi bekas pelanggaran, pasokan (jalur pelanggaran), potensi unggulan baik biodiversity maupun obyek wisata, dan perjumpaan satwa. Salah satu kasus yang sudah lama terjadi dan masih dalam penanganan adalah perambahan kawasan hutan oleh masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian. Daerah konflik ini berada di Blok Pathuk yang berbatasan langsung dengan zona tradisional perairan dan masih termasuk dalam wilayah pengelolaan Resort Grajagan. Akses yang dapat dilalui petugas untuk mengawasi dan memantau daerah konflik ini adalah melalui jalur air karena jalan darat menjadi akses utama masyarakat pelanggar dan rawan untuk dilalui. Personil yang melakukan patroli dilengkapi dengan beberapa peralatan penunjang untuk melakukan perekaman data dilapangan yang meliputi; blanko register, GPS, HT, perlengkapan personil, dan peta kerja. Peralatan penunjang lain bagi Resort Pengelolaan yang wilayah jangkauannya melalui perairan seperti di Resort Grajagan dilengkapi dengan speed boat. Patroli menggunakan transportasi darat dilakukan petugas setiap hari sesuai dengan blok perencanaan, sedangkan patroli menggunakan transportasi air dilakukan minimal satu bulan sekali. Keterbatasan dana untuk bahan bakar speed boat menjadi salah satu kendala bagi pengelola resort. Padahal patroli perairan lebih efektif dilakukan minimal satu minggu sekali untuk mengamankan sumberdaya yang ada dari pelanggaran ataupun kerusakan yang terjadi.

(34)

22

tingkat Muspika dan Muspida baik secara pertemuan resmi disuatu tempat maupun dengan metode persambangan atau kunjungan. Masyarakat menerima penyuluhan dalam berbagai bentuk terutama tentang menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Pelatihan juga dilakukan oleh pengelola resort dengan dibantu LSM maupun pemerintah daerah mengenai pengelolaan ekowisata. Dampaknya masyarakatnya menjadi lebih terampil, sehingga potensi ekowisata yang ada dapat seimbang dengan pelayanan ekowisata yang memuaskan. Sebagai penyebarluasan informasi pengelolaan kawasan, sosialisasi juga dilakukan melalui media cetak yang bekerjasama dengan surat kabar setempat. Patroli gabungan adalah operasi pengamanan hutan dan hasil hutan yang dilakukan secara terpadu dengan melibatkan instansi lain (Polsek, Airut, dan TNI AL), waktu, personel, sasaran, target tertentu.

Bentuk lain untuk melindungi sumberdaya di TNAP yaitu dilakukan pencatatan pengunjung ekowisata dan pencari kremis. Selain pencatatan juga dilakukan sosialisasi oleh polisi hutan dengan cara mengumpulkan bersama dan memberikan materi mengenai kelestarian hutan serta menjaga dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan demi kepentingan bersama, juga disampaikan mengenai tata tertib, hukum, hak jika berada di kawasan TNAP. Bentuk perlindungan dan pengamanan pengunjung yaitu dengan melakukan pencatatan pengunjung yang datang, pelayanan wisata dengan baik, memberikan peringatan tentang segala sesuatu yang berbahaya atau tidak boleh dilakukan. Partisipasi masyarakat dalam melakukan perlindungan kawasan selain tergabung dalam Masyarakat Mitra Polhut adalah ikut mengawasi dan melaporkan pelanggaran yang terjadi di dalam kawasan zona tradisional dan sekitarnya. Sebagian besar pelanggar berasal dari masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan sumberdaya tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor kesengajaan maupun ketidaktahuan. Dalam hal ini fungsi masyarakat adalah sebagai kader konservasi untuk sama-sama mengingatkan dan melawan pelanggaran yang terjadi selain pemberian sanksi hukum oleh pihak berwenang. Hingga saat ini gangguan tersebut mulai menurun karena adanya sosialisasi dan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk menunjang kesejahteraan masyarakat agar tidak bergantung pada sumberdaya di TNAP.

Pengelolaan Pengawetan

Pengawetan (preservasi) adalah upaya untuk menjaga dan memelihara keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya agar keberadaannya tidak punah, tetap seimbang dan dinamis dalam perkembangannya. Pengawetan sebagaimana dimaksud diatas meliputi pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya, penetapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem, dan penutupan kawasan. Upaya pengelolaan pengawetan yang dilakukan pengelola TNAP terhadap keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan secara umum yaitu:

a. identifikasi jenis tumbuhan dan satwa; b. inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa; c. pemantauan;

(35)

23 f. penelitian dan pengembangan.

Identifikasi dan inventarisasi jenis tumbuhan dilakukan terhadap semua jenis keanekaragaman hayati termasuk biota perairan sejalan dengan pendataan saat patroli aktif dan ditambah dari data penelitian dan pengembangan yang dilakukan di zona tradisional perairan Segoro Anak. Data tersebut dijadikan acuan oleh pengelola resort untuk melakukan pemantauan terhadap kelestarian jenis tumbuhan dan satwa. Jenis yang masih melimpah adalah biota perairan, mamalia, dan burung, sedangkan untuk herpetofauna belum banyak yang terinventarisasi. Pemantauan dan pembinaan habitat dan populasi menjadi aspek penting yang menjadi perhatian utama petugas resort dalam upaya pengawetan sumberdaya hayati. Pemantauan rutin dilakukan setiap tahun terhadap populasi burung migran yang terdapat di Blok Cungur yang bekerja sama dengan masyarakat, para penggemar burung migran, dan LSM. Hasil yang konstan terlihat dari monitoring yang dilakukan dua tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan kondisi habitat atau ekosistem mangrove dan Sungai Segoro Anak di Blok Cungur masih terjaga dengan baik sehingga burung migran masih aktif bermigrasi dan singgah di kawasan zona tradisional. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pengawetan ini masih belum ada. Hal ini terlihat dari belum adanya upaya penyelamatan jenis yang dilakukan di zona tradisional perairan ini karena belum ada spesies yang terancam, selain itu para nelayan juga belum ada yang melakukan budidaya perikanan.

Jenis tumbuhan yang ada di sekitar zona tradisional didominasi oleh jenis Rizhopora spp khas ekosistem mangrove. Beberapa tempat yang sudah mulai terdegradasi adalah daerah sekitar dermaga, akses tambatan perahu nelayan, dan daerah bekas akses pelanggaran. Perahu nelayan yang semakin banyak dan aktivitas nelayan yang semakin tinggi menjadi salah satu faktor penyebab degradasi hutan. Ditambah lagi dengan tingginya aktivitas ekowisata. Banyak bangkai perahu yang sudah rusak dan menjadi sampah di kawasan hutan mangrove. Satwa yang berasosiasi dengan hutan mangrove pun menjadi terancam karena habitat hidupnya mulai terdegradasi. Gangguan langsung terhadap satwa juga terjadi seperti pada monyet ekor panjang dan satwa lainnya. Upaya pemulihan ekositem oleh pengelola dilakukan dengan membuat petak persemaian mangrove untuk restorasi dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi dan melakukan pendataan terhadap masyarakat pemanfaat Segoro Anak, serta penertiban lokasi tambatan perahu serta gubuk-gubuk nelayan. Persemaian mangrove yang ada di dekat dermaga belum dimaksimalkan dengan baik karena belum adanya penanaman yang dilakukan di daerah-daerah yang terdregadasi, padahal bibit mangrove sudah melebihi waktu layak tanam. Upaya pengawetan yang dilakukan masyarakat yaitu dengan tidak menangkap hasil perikanan dengan bahan kimia maupun bahan peledak serta ikut menjaga ekosistem hutan mangrove dan perairan Segoro Anak. Sejauh ini belum ada penetapan koridor hidupan liar dan penutupan kawasan zona tradisional yang dilakukan oleh pengelola Resort Grajagan.

Pengelolaan Pemanfaatan

(36)

24

menjaga kelestarian sesuai dengan Undang-undang Kehutanan dan Konservasi yang berlaku. Selanjutnya, tugas pengelola TNAP adalah memberikan pengertian-pengertian terhadap masyarakat mengenai pentingnya menjaga hutan dan apa yang ada didalamnya. Sosialisasi terhadap masyarakat sering dilakukan oleh pihak TNAP, terutama setelah adanya ekowisata mangrove yang dikelola masyarakat yang bekerja sama dengan TNAP. Sosialisasi terpenting adalah tentang pemanfaatan berwawasan lingkungan yang dapat diartikan sebagai cara pandang terhadap lingkungan hidup, kemampuan untuk memahami cara-cara penyesuaian diri atau penempatan diri dalam lingkungan hidupnya. Pemantauan rutin terhadap daya dukung kawasan mengiringi pemanfaatan yang dilakukan masyarakat untuk menjaga kelestarian biota air yang ada di dalamnya.

Keberlanjutan pemanfaatan terhadap pengelolaan zona tradisional menjadi aspek penting yang harus diperhatikan dan menjadi tujuan utama pengelolaan. Dimensi-dimensi dalam tujuan pemanfaatan berkelanjutan tersebut adalah dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial. Mengkaji keberlanjutan berbagai dimensi dapat dinilai dari pola pemanfaatan yang dilakukan masyarakat dan pengaruhnya terhadap zona tradisional. Pola pemanfaatan masyarakat nelayan di Segoro Anak sudah cukup baik karena sudah tidak ada lagi yang menggunakan bahan peledak maupun racun untuk menangkap hasil Segoro Anak. Masyarakat pun sebagian besar sudah mengerti pentingnya menjaga ekosistem agar hasil perikanan tetap lestari. Berdasarkan pola ruang yang telah dibahas pada bab sebelumnya, terlihat bahwa belum ada pengaturan yang baik antar para nelayan karena pembagian ruang penangkapan belum jelas. Sejauh ini dinilai belum ada daerah yang overfishing karena sumberdaya masih ada di semua ruang. Kelestarian hasil tangkapan juga masih cukup terjaga, hanya saja bertambahnya jumlah nelayan membuat hasil yang didapat nelayan sedikit berkurang karena secara tidak langsung terjadi persaingan sehat mengenai pembagian pola ruang dan hasil.

(37)

25 Tabel 7 Persentase mata pencaraharian masyarakat pemanfaat hasil perikanan

zona tradisional perairan Segoro Anak

No. Mata Pencaharian Persentase (%)

1 Nelayan 62

2 Petani 8

3 Buruh Tani 27

4 Wiraswasta 3

Jumlah 100

Melihat persentase pada Tabel 7, menurut statistik perikanan KKP para pemanfaat dapat digolongkan menurut mata pencaharian. Pemanfaat yang berpamatapencaharian sebagai nelayan tergolong nelayan penuh yaitu nelayan yang hanya memiliki satu mata pencaharian sebagai nelayan saja. Mereka hanya menggantungkan hidupnya dengan profesi kerjanya sebagai nelayan dan tidak memiliki pekerjaan dan keaahlian lain. Mata pencaharian petani dan buruh tani tergolong nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang menjadikan nelayan sebagai profesi utama tetapi memiliki pekerjaan lainnya untuk tambahan penghasilan. Pemanfaat yang bermatapencaharian wiraswasta tergolong nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang biasanya memiliki pekerjaan lain sebagai sumber penghasilan, sedangkan pekerjaan sebagai nelayan hanya untuk tambahan penghasilan. Seperti yang sudah dikatakan di awal bahwa masyarakat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap zona tradisional karena memang tingkat pendidikan yang rendah membuat masyarakat membutuhkan pekerjaan dengan modal sedikit dan mendapat hasil tiap hari yaitu memungut hasil perairan Segoro Anak. Maka dari itu untuk mengurangi tekanan terhadap zona tradisional, selain aturan-aturan pemanfaatan diperlukan juga pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan agar kondisi sosial ekonomi masyarakat lebih baik. Seperti tujuan pengelolaan kawasan konservasi yaitu hutan lestari masyarakat sejahtera.

Rancangan Rencana Pengelolaan Zona Tradisional Perairan Segoro Anak

Rancangan rencana pengelolaan zona tradisional ini berisi rumusan prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar berpikir dan bertindak dalam pengelolaan serta pengaturan pemanfaatan dan kegiatan di zona tradisional perairan Segoro Anak. Rancangan rencana pengelolaan ini meliputi rancangan ruang/ spasial, rancangan pengelolaan perlindungan, rancangan pengelolaan pengawetan, dan rancangan pengelolaan pemanfaatan.

Rancangan ruang

(38)

26

perikanan seperti ikan, udang, kerang, rajungan, dan kepiting. Selain itu, kawasan ini juga kaya akan jenis molusca dan merupakan habitat burung migran. Pengambilan berbagai jenis hasil perikanan dilakukan oleh masyarakat sekitar secara tradisional.

Zona ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati perikanan yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya;

b. Merupakan kawasan perairan Sungai Segoro Anak dan perairan pasang surut dalam hutan mangrove.

Aktivitas masyarakat di zona tradisional sudah ada sejak dahulu dan ketergantungan masyarakat terhadap Segoro Anak sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari sangat tinggi. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang melatar belakangi terbentuknya zona tradisional. Masyarakat boleh memanfaatkan sumberdaya yang ada di air Segoro Anak, karena batasan zona tradisional adalah badan air bukan termasuk mangrove dan daratan atau sempadan sekitar sungai. Masyarakat yang diizinkan untuk memanfaatkan zona tradisional ini adalah masyarakat yang berasal dari kecamatan penyangga TNAP dan harus masuk pendataan pengelola resort. Masyarakat umum yang melakukan pemanfaatan ekowisata atau tujuan lain harus mengurus SIMAKSI dan membayar tiket masuk. Masyarakat nelayan harus memperhatikan daerah tambatan perahu dan menjaga kelestarian hutan mangrove dengan memanfaatkan dermaga yang ada sebaik mungkin dan tidak melakukan pembangunan di daerah pinggiran hutan mangrove dan Segoro Anak. Pemanfaatan ruang ekowisata harus direncanakan dan ditata dengan baik agar infrastruktur dan aktivitas yang ada tidak mengganggu kelestarian ekosistem.

Rancangan pengelolaan perlindungan

Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Kegiatan perlindungan yang harus dilakukan pengelola Resort Grajagan untuk menjaga zona tradisional tersebut antara lain:

a. Patroli perairan dan monitoring rutin dengan menggunakan speedboat; b. Pendataan dan pengawasan terhadap pemanfaat hasil Segoro Anak; dan c. Pengawasan pengunjung ekowisata mangrove Bedul.

(39)

27 sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan Segoro Anak menjadi salah satu akses utama bagi pelanggar yang akan memasuki kawasan selain melalui akses darat.

Rancangan pengelolaan pengawetan

Berdasarkan tujuan penetapannya kegiatan pengawetan keanekaragaman hayati yang dapat dilakukan oleh pengelola TNAP dan masyarakat umum adalah sebagai berikut:

a. Perlindungan dan pengamanan Burung Migran;

b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat;

c. Inventarisasi dan monitoring Burung Migran; d. Pembinaan habitat dan populasi satwaliar; e. Penelitian dan pengembangan;

Sedangkan kegiatan pemanfaatan yang boleh dilakukan oleh masyarakat yaitu: a. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumber daya alam sesuai dengan

kesepakatan dan ketentuan yang berlaku; b. Pemanfaatan jasa lingkungan untuk ekowisata; c. Budidaya perikanan.

Upaya pengawetan sumberdaya hayati pada zona tradisional lebih ditekankan kepada masyarakat pemanfaat zona tradisional perairan Segoro Anak. Pengawetan dilakukan dengan tidak memanfaatkan hasil perikanan secara berlebihan dan boleh dilakukan budidaya perikanan. Sedangkan untuk pengawetan keanekaragaman burung migran masyarakat diharuskan ikut menjaga habitat dan populasi yang ada. Degradasi hutan mangrove yang terjadi harus dikurangi dengan upaya pemantauan rutin dan restorasi kawasan hutan.

Rancangan pengelolaan pemanfaatan

Pengelolaan pemanfaatan yang dilakukan harus menggunakan prinsip pengelolaan sumberdaya berwawasan lingkungan yang berarti pengelolaan sumberdaya tanpa mengorbankan aspek lingkungan dalam prosesnya, atau dengan kata lain bersifat ramah lingkungan (Purnamawati dan Dewantoro 2007). Pengelolaan berwawasan lingkungan bertujuan untuk mempertahankan fungsi-fungsi lingkungan seiring dengan pemanfaatan yang dilakukan. Pengelolaan sumberdaya berwawasan lingkungan pada umumnya dilakukan dengan mempertahankan sumber daya hayati seperti hutan mangrove pada wilayah pesisir ataupun muara sungai dan biota perikanan.Pengaturan pemanfaatan menjadi salah satu kunci utama dalam pengelolaan berkelanjutan. Beberapa kegiatan yang tidak boleh dilakukan karena dapat merusak ekosistem yaitu:

a. Pemanfaatan hasil perairan berlebihan yang bisa merubah struktur dan fungsi ekosistem;

b. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam yang tidak sesuai dengan aturan yang disepakati;

c. Memasukkan spesies asing dan atau bersifat invasive ke dalam kawasan; d. Melakukan aktivitas yang menyebabkan perubahan perilaku alami satwa atau

mengganggu pola pergerakan harian satwa;

e. Memanfaatkan hasil hutan kayu di kawasan hutan mangrove.

(40)

28

Anak. Kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan sebagai acuan dalam penggunaan teknologi dan alat penangkapan ikan ramah lingkungan menjadi kunci pemanfaatan hasil berkelanjutan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari segi metode pengoperasian, bahan dan kontruksi alat, daerah penangkapan serta ketersedian sumberdaya ikan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya perikanan. Harapannya adalah nelayan dan semua pihak yang bergerak dibidang perikanan diseluruh perairan Indonesia dapat mematuhi peraturan dalam mengoperasikan alat tangkap dengan tetap menjaga lingkungan dan kelestarian sumber daya ikan (Dahuri, 1993).

Maka dari itu beberapa hal penting yang harus diperhatikan nelayan, agar dapat memenuhi kriteria penangkapan ikan yang ramah lingkungan, antara lain sebagai berikut:

1. Melakukan seleksi terhadap ikan yang akan dijadikan target penangkapan atau layak tangkap baik dari segi jenis dan ukurannya dengan membuat desain dan kontruksi alat tangkap yang sesuai dengan jenis dan ukuran dari habitat perairan yang akan dijadikan target tangkapan. Dengan demikian diharapkan bisa memininumkan hasil tangkapan sampingan yang tidak diharapkan dari spesies perairan yang dilindungi.

2. Tidak memakai ukuran mati jaring yang dilarang (berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.607/KPB/UM/1976 butir 3) yang menyatakan bahwa mata jaring dibawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan dimana-mana perairan.

3. Tidak melakukan kegiatan usaha penangkapan di daerah penangkapan ikan yang sudah dinyatakan over fishing, di daerah konservasi yang dilarang, dan di daerah penangkapan yang dinyatakan tercemar.

4. Tidak melakukan pencemaran yang akan mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh tidak membuang jaring bekas atau potongan- potongan jaring serta benda-benda lain yang berupa bahan bakar bekas pakai seperti pelumas mesin, bensin, dan bahan kimia lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Sumberdaya yang dimanfaatkan masyarakat di zona tradisional adalah jenis sumberdaya perairan yang berupa hasil perikanan seperti udang, ikan, kerang, kepiting dan rajungan. Hasil yang dimanfaatkan sebagian besar dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ada juga yang dikonsumsi sendiri. 2. Secara umum terdapat tiga bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat di

(41)

29 Bedul. Intensitas pemungutan hasil oleh masyarakat cukup tinggi yaitu rata-rata 20 hari dalam satu bulan. Masyarakat memanfaatkan hasil hampir diseluruh kawasan zona tradisional dan hutan mangrove.

3. Rancangan rencana pengelolaan berupa kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di zona tradisional dan yang tidak boleh dilakukan di zona tradisional. Tujuan rancangan ini adalah untuk memudahkan petugas untuk melakukan pengelolaan serta sebagai pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan hasil zona tradisional. Lebih lanjut rancangan dapat direalisasikan sebagai sebuah rencana pengelolaan.

Saran

1. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai dampak ekologi akibat pemanfaatan zona tradisional oleh masyarakat. Kajian berupa analisis daya dukung dan keberlanjutan ekosistem.

2. Penelitian selanjutnya mengenai optimalisasi pengembangan dan pemasaran ekowisata perlu dilakukan untuk memecahkan masalah yang ada agar dapat menopang perekonomian masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen GB. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

Dahuri R. 2000. Pembungan kawasan pesisir dan lautan: tinjauan aspek ekologis dan ekonomi. Jurnal Ekonomi Lingkungan. 2(1): 10-12.

Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. London (UK): Blackwell Science Ltd.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Daerah Perkembangbiakan Hasil Perikanan Mangrove. Jakarta (ID): DKP.

Direktorat Produksi Ditjen Perikanan. 2000. Peraturan Kriteria Penentuan Fishing Ground Yang Ramah Lingkungan. Jakarta (ID): Direktorat Produksi Ditjen Perikanan DKP.

Endraswara S. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta (ID): Pustaka Widyatama.

Imron. 2003. Kemiskinan Dalam Masyarakat Nelayan. Jakarta (ID): Penerbit PMB.

Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Munggoro DW. 1999. Manajemen Kemitraan: Meretas Kemelut Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Prosiding Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat Melalui Strategi Kemitraan Di Kabupaten Jember. Bogor (ID): Pustaka LATIN.

(42)

30

Nybakken JW. 1993. Dasar-dasar Ekologi Mangrove. Jakarta (ID): PT. Gramedia.

Pramusanti E. 2001. Interaksi masyarakat sekitar dengan Taman Nasional Alas Purwo (studi kasus di Desa Kendalrejo Kecamatan Tegaldimo Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Purnamawati dan E Dewantoro. 2007. Pemilihan dan pembangunan tambak berwawasan lingkungan. Media Akuakultur. 2(2): 107-112.

Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor fisika kimia di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Sukirno MS. 1999. Mekanisasi Pertanian. Pokok Bahasan Alat Mesin Pertanian dan Pengelolaannya. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.

Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Yogyakarta (ID): Penerbit Pustaka Pelajar.

(43)

31 Lampiran 1 Data keanekaragaman biota perairan Segoro Anak

No. Kelas Jenis

2 Crustaceae - Udang Mondoroko

- Udang Manis 3 Mollusca - Cassidula angilufera

- C. Mustilina

(44)

32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 2 Agustus 1993. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak Sugiyo dan Ibu Utami. Pendidikan formal yang ditempuh penulis diantaranya TK Popongan, SDN 1 Popongan, SMPN 2 Purworejo, dan SMA Negeri 7 Purworejo. Pada tahun 2011, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa IPB yaitu paduan suara „Agria Suara‟ dan sepak bola, Keluarga Mahasiswa Purworejo IPB (GAMAPURI), dan organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai ketua biro kekeluargaan serta sebagai anggota Kelompok Pemerhati Gua „Hira‟ dan Kelompok Pemerhati Kupu-kupu „Sarpedon‟. Prestasi yang pernah penulis dapatkan dalam masa studi memenangkan lomba pembuatan jingle MPKMB 49 dan juara vokal grup forester cup.

Gambar

Gambar 1  Diagram alur tahapan penelitian
Gambar 2  Peta lokasi penelitian
Gambar 3  Pemanfaatan ekowisata
Gambar 4  Rajungan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsep Servqual disini digunakan untuk melakukan penelitian terhadap tingkat fleksibilitas Supply Chain dari perusahaan yang diteliti, kemampuan dari Supply Chain

Hasil penelitian tersebut menunjukkan angka signifikansi jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen, atau

Karena itu, saya harap Anda bersedia memberikan jawaban Anda sendiri, sejujur-jujurnya tanpa mendiskusikan dengan orang lain. Semua jawaban akan dijaga kerahasiaannya

Ilmu telah mampu membuka diri dan keluar dari cirinya yang eksklusif menjadi lebih inklusif, merespons keragaman, dan terintegrasi (terpadu) dengan berbagai aspek kehidupan

Pada aplikasi Interactive whiteboard terdapat keterbatasan yakni belum dapat meng- load gambar baik itu dari sisi server maupun client.. Diharapkan dalam

Karasteristik responden di peroleh sebagian besar ibu berusia 20-35 tahun sebanyak 40 (83,30%) responden, berpendidikan menengah atau SLTA sebanyak 32 (66,70%)

ANDI EKO ARIANTO, C100080079, 2014, WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG DENGAN JAMINAN TANAH DAN BANGUNAN ( STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA ), Fakultas

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara empiris pengaruh karakteristik perusahaan yang terdiri dari Ukuran Perusahaan (SIZE), Profitabilitas (PROFIT),