• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ekologi ekonomi untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ekologi ekonomi untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN

PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN

DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN

YOGA CANDRA DITYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

YOGA CANDRA DITYA. Ecological Economics Analysis of Sustainable Aquaculture Development Planning in the Coastal Zone of Banten Province. Supervised by LUKY ADRIANTO as a Chairman, ROKHMIN DAHURI and SETYO BUDI SUSILO as Members.

In the planning of Banten coastal zone, aquaculture has important role due to its social and economic value especially related with export activities of the aquaculture products. However, aquaculture activities have also negative multiplier in terms of its effect on the coastal environment especially when there is no proper management of this activities.

The aims of this research are (1) to identify the structure and interaction among sectors in aquaculture activities; (2) to estimate the economic and ecological impact of the aquaculture activities; and (3) to estimate the carrying capacity of the coastal area which is appropriated for sustainable aquaculture development. To achieve these objectives, ecological input-output and ecological footprint model was developed.

From the results, it can ben revealed that from the index of linkages, backward linkages index (1,84) is higher than forward linkages (1,02). This means that aquaculture activities in Banten Province has more attractive in the upstream sectors rather pushing the downstream sectors. Furthermore, aquaculture development has also produced economic multiplier which is income multiplier (2,20) higher than employment multiplier (1,17). From the ecological multiplier point of view, mangrove area input has index as of 0,005, COD 0,001, and TDS 0,001. Using ecological footprint approach, the carrying capacity of appropriated coastal area is estimated at the level 29.332 ha with the demand target of IDR 298.699,43 million.

(3)

ABSTRACT

YOGA CANDRA DITYA. Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO, ROKHMIN DAHURI dan SETYO BUDI SUSILO.

Dalam perencanaan wilayah pesisir Provinsi Banten, perikanan budidaya memiliki peran penting terhadap nilai sosial dan ekonomi, terutama dalam hubungannya dengan aktivitas ekspor dari produk perikanan budidaya tersebut. Namun demikian, aktivitas perikanan budidaya juga memberikan multiplier negatif jika dipandang dari segi efek yang ditimbulkan ke lingkungan pesisir, terutama ketika tidak ada pengelolaan yang baik pada aktivitas tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Menelaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya; (2) Mengestimasi dampak ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya; dan (3) Mengestimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan model

ecological input-output dan ecological footprint.

Dari hasil diperoleh, indeks keterkaitan dapat dinyatakan bahwa, indeks keterkaitan ke belakang (1,84) lebih tinggi daripada keterkaitan ke depan (1,03). Ini berarti bahwa aktivitas perikanan budidaya di Provinsi Banten lebih memiliki kemampuan untuk menarik sektor hulu dibandingkan dengan sektor hilirnya. Lagi pula, pembangunan perikanan budidaya juga memberikan multiplier ekonomi yang memiliki income multiplier (2,18) lebih tinggi dibandingkan employment multipliernya (1,22). Dari segi ecological multiplier, area mangrove memberikan indeks sebesar 0,004, COD 0,001, dan TDS 0,001. Penggunaan pendekatan

ecological footprint, diestimasikan bahwa daya dukung dari areal pesisir yang disediakan pada level 29.332 ha dengan target permintaan Rp. 298.699,43 juta.

(4)

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN

PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN

DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN

YOGA CANDRA DITYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Tesis : Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten

Nama : Yoga Candra Ditya NIM : C251040201

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(6)

Dosen Penguji:

(7)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Yoga Candra Ditya

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dalam bentuk tesis ini dapat diselesaikan, dengan tema yang diambil Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Bapak Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan. Kepada Bapak Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji diucapkan terima kasih banyak atas saran dan kritiknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, le ‘mbang, dewi serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1981 dari pasangan Muhamad Suyudi dan Suparmi Ningsih. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1. 1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Rumusan Masalah ... 4

1. 3. Tujuan Penelitian ... 7

1. 4. Manfaat Penelitian ... 7

1. 5. Kerangka Pemikiran ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2. 1. Pembangunan Berkelanjutan ... 9

2. 2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan ... 10

2. 3. Pengelolaan Perikanan Budidaya ... 11

2. 4. Pendekatan Ekonomi-Ekologi ... 12

2. 5. Ecological Input-output ... 14

2. 6. Ecological Footprints ... 15

III. METODOLOGI ... 18

3. 1. Lokasi Penelitian ... 20

3. 2. Ruang Lingkup Penelitian ... 20

3. 3. Pengumpulan Data ... 22

3. 4. Analisis Data ... 22

3. 4. 1. Kekuatan Struktur dan Interaksi Antar Sektor ... 22

3. 4. 1. 1. Analisis Keterkaitan ... 22

3. 4. 1. 2. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan ... 24

3. 4. 2. Dampak Ekologi-Ekonomi ... 25

3. 4. 2. 1. Income Multiplier ... 25

3. 4. 2. 2. Employment Multiplier ... 26

3. 4. 2. 3. Ecological Multiplier ... 27

3. 4. 3. Carrying Capacity ... 30

IV. GAMBARAN UMUM ... 32

4. 1. Kondisi Geografis dan Iklim ... 32

4. 2. Pemerintahan ... 33

4. 3. Penduduk ... 33

4. 4. Tenaga Kerja ... 35

4. 5. Investasi Pembangunan ... 36

4. 6. Perikanan Budidaya ... 37

4. 7. Ekosistem Hutan Mangrove ... 40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

5. 1. Struktur Ekonomi Provinsi Banten ... 42

5. 1. 1. Struktur Permintaan dan Penawaran ... 42

5. 1. 2. Struktur Permintaan Akhir ... 44

5. 1. 3. Struktur Input Primer ... 44

5. 1. 4. Efisiensi Penciptaan Output ... 47

(11)

5. 2. Analisis Keterkaitan ... 48

5. 2. 1. Keterkaitan ke Belakang ... 48

5. 2. 2. Keterkaitan ke Depan ... 51

5. 2. 3. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan ... 54

5. 3. Analisis Multiplier ... 56

5. 3. 1. Analisis Income Multiplier ... 57

5. 3. 2. Analisis Employment Multiplier ... 58

5. 4. Aspek Ekologi ... 59

5. 4. 1. Input Lingkungan ... 59

5. 4. 2. Eksternalitas ... 60

5. 4. 3. Analisa Ecological Multiplier ... 61

5. 5. Ecological Footprint ... 63

5. 6. Keterkaitan Ecological Footprint dan Ecological Input-Output ... 65

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

6. 1. Kesimpulan ... 68

6. 2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Struktur Tabel Ecological Input-Output ... 15

2 Struktur Tabel Input-Output Fisik ... 27

3 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Land Use ... 31

4 Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Banten ... 33

5 Perkembangan Penduduk di Banten 1980-2005 ... 34

6 Laju Pertumbuhan Penduduk di Banten (%) ... 35

7 Realisasi Investasi Pembangunan di Propinsi Banten Tahun Anggaran 2002/2003 (Rp) ... 37

8 Luas Areal dan Tempat Pemeliharaan Ikan di Banten (dalam Ha) ... 38

9 Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Ton) ... 39

10 Nilai Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Juta Rupiah) ... 39

11 Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Kegiatan Provinsi Banten (Juta Rp) ... 43

12 Komposisi Permintaan Akhir Sektor Perikanan Budidaya Menurut Komponennya di Provinsi Banten ... 44

13 Nilai Input Primer Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 45

14 Komposisi Input Primer Menurut Komponennya Pada Sektor Perikanan Budidaya dan Sektor Basis di Provinsi Banten ... 46

15 Efisiensi Penciptaan Output Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 47

16 Struktur Input Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten ... 50

17 Alokasi Output Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten ... 53

18 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 54

19 Kebutuhan Area dan Mangrove Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 61

20 Dampak Eksternalitas Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 62

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran ... 8

2 Alur Kerangka Analisis ... 19

3 Peta Lokasi Penelitian ... 21

4 Metodologi Model Input Output Ekologi ... 29

5 Kerangka Analisis Untuk Model Ecological Footprint Perikanan Budidaya. 31

6 Keterkaitan ke Belakang Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 49

7 Keterkaitan ke Depan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 51

8 Pengelompokkan Sektor Ekonomi di Provinsi Banten berdasarkan Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan ... 55

9 Income Multiplier Tipe-I Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 57

10 Employment Multiplier Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ... 59

11 Ecological Footprint Budidaya Laut Provinsi Banten ... 63

12 Ecological Footprint Budidaya Tambak Provinsi Banten ... 64

13 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Areal untuk Perikanan Budidaya . 66

14 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Mangrove untuk Perikanan Budidaya ... 67

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel Input Output Provinsi Banten ... 73

2 Koefisien Input ... 74

3 Tabel Matrik Kebalikan Leontief Terbuka ... 74

4 Multiplier Resources ... 75

5 Multiplier Eksternalitas ... 76

6 Komponen Footprint Perikanan Budidaya ... 77

7 Analisis Footprint Perikanan Budidaya ... 78

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan wilayah peralihan atau daerah pertemuan (interface area) antara ekosistem darat dan laut. Secara biologis wilayah ini sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kawasan ini mendapat input nutrien dan bahan organik dari daratan melalui aliran sungai dan run-off.

Selain itu, wilayah pesisir memiliki ekosistem yang berfungsi sangat vital dalam mendukung kehidupan manusia, diantaranya sebagai : 1) Penyedia sumberdaya alam, seperti: sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (yaitu sumberdaya perikanan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut); dan sumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (yaitu sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas alam); 2) Penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, seperti: air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia; 3) Penyedia jasa-jasa kenyamanan, seperti: tempat rekreasi atau pariwisata; dan 4) Penerima/penampung limbah (Bengen 2004).

Potensi ini menimbulkan banyak sektor telah memanfaatkan wilayah pesisir dalam berbagai bentuk pemanfaatan antara lain pemanfaatan bahan baku kayu sebagai bahan bangunan, sebagai kayu bakar, perikanan, kesehatan, dan sebagainya. Hal ini berakibat wilayah ini menjadi tempat konsentrasi pemukiman penduduk beserta segenap kiprah pembangunannya. Dampak dari hal ini, laju pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir lebih besar dan lebih pesat ketimbang yang terjadi di daerah hulu (upland area) (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Oleh karena itu, berbagai dampak dan persoalan ekonomi muncul di wilayah pesisir sebagai refleksi dari banyaknya kegiatan manusia di tempat ini.

Salah satu kegiatan pembangunan ekonomi yang telah lama dan umumnya lebih dulu diusahakan oleh masyarakat wilayah pesisir adalah usaha perikanan, baik usaha perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Usaha-usaha perikanan ini memiliki space tertentu di wilayah pesisir, dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut.

(16)

2 Kegiatan perikanan budidaya termasuk salah satu kegiatan pembangunan ekonomi yang diusahakan oleh masyarakat wilayah pesisir. Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan budidaya perikanan wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang, bandeng ataupun campuran keduanya. Dalam kegiatan perikanan budidaya, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap lingkungan.

Namun demikian, kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kaidah pembangunan berkelanjutan dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap wilayah pesisir. Misalnya pada kerusakan fisik habitat hutan mangrove yang merupakan salah satu ekosistem spesifik hutan di sepanjang pantai daerah tropik yang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis sebagai sumber penghasilan masyarakat pesisir, pelindung pantai dari abrasi, tempat berkembangnya biota laut, flora dan fauna, serta dapat dikembangkan sebagai wanawisata (ekowisata).

Berkurangnya luasan hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 1,1% per tahun. Selama periode 1982 tercatat seluas 5.209.543,00 ha kemudian pada tahun 1999 luas tersebut menurun menjadi sekitar 3.716.735,82 ha (DKP 2006). Penyebab penurunan luasan hutan mangrove disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukkan lain seperti: pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kayu bakar, arang dan bahan bangunan, dimana diperkirakan 30 % dari kerusakan ini disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya.

Kawasan pesisir yang rentan (vulnerable) terhadap perubahan lingkungan akan menerima dampak negatif berupa pencemaran, sedimentasi, dan perubahan hidrologi serta penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) akibat aktivitas manusia dan pembangunan di daratan. Hal ini akan berakhir pada konflik penggunaan ruang karena sifat wilayah pesisir yang merupakan

common property resource dengan pola pemanfaatan menjadi open access

(17)

3 Perencanaan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan menjadi penting terkait dengan daya dukung wilayah pesisir. Karena secara teknis pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir didefinisikan sebagai suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia, terutama stakeholders, sedemikian rupa sehingga laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya.

Dahuri et al. (1996) menambahkan perencanaan sebagai suatu proses di dalam menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan datang (the process of charting future activities) ke arah keberlanjutan dalam teknisnya dapat dijadikan sebagai suatu bentuk perhatian untuk meminimalkan tekanan terhadap lingkungan, berangkat dari kemampuan lingkungan dalam menerima buangan atau input material yang dilepaskan dan tidak dimanfaatkan dari kegiatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang bisa diaplikasikan dalam perencanaan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan adalah dengan pendekatan ecological footprint dan pendekatan analisis ecological input-output. Menurut Anielski (2005) pendekatan ecological footprint merupakan alat perencanaan dengan kriteria ekologis untuk memonitor ke arah keberlanjutan. Pendekatan ini menggunakan konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat (Adrianto 2006).

(18)

4 1.2. Rumusan Masalah

Mempertahankan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu agenda pembangunan ekonomi setiap wilayah. Berbagai cara dan kebijakan dilakukan agar tetap berada pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Provinsi Banten yang sedang giat-giatnya dalam melaksanakan pembangunan, sebagai provinsi yang relatif masih muda dan kaya akan sumberdaya alam, baik yang bisa diperbaharui (renewable) meliputi pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan dan peternakan maupun yang tidak bisa diperbaharui (non renewable) meliputi pertambangan dan energi. Provinsi ini berupaya untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dengan cara memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam yang tersedia.

Dilihat dari potensi perikanannya, Provinsi Banten ternyata memiliki garis pantai sepanjang 501 km dengan tiga muka pantai yaitu sebelah utara yang berhadapan dengan Laut Jawa, sebelah barat dengan Selat Sunda dan sebelah selatan dengan Samudera Hindia (BAPEDA 2002). Dari kondisi ini Banten memiliki sumberdaya laut yang besar yang masih belum tergali potensinya secara maksimal.

Selain itu, kemampuan Provinsi Banten dalam melakukan pengelolaan perikanan budidaya di wilayah pesisirnya telah memberikan kapasitas total produksi sebesar 16.810,70 ton di tahun 2005 dari budidaya tambak seluas 8.010,55 Ha dan budidaya laut seluas 11.882,00 Ha (BPS Banten 2006), atau meningkat 26,94% dari tahun sebelumnya. Perikanan budidaya yang dikembangkan antara lain budidaya rumput laut, kerapu, mutiara dan udang. Pada kawasan yang cukup potensial seperti Teluk Banten (Kabupaten Serang), Kepulauan Kabupaten Tangerang dan Perairan laut Kecamatan Sumur (Kabupaten Pandeglang). Keseriusan pengelolaan perikanan budidaya di Provinsi Banten juga terlihat dengan dilaksanakannya Program Intensifikasi Budidaya Perikanan (Inbudkan) yang kegiatannya meliputi kegiatan percontohan dan penguatan modal untuk memberdayakan masyarakat nelayan pembudidaya.

(19)

5 Perikanan budidaya juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat bahwa perikanan budidaya dapat dilakukan di setiap lapisan masyarakat mulai dari pedesaan sampai perkotaan sehingga dapat mengatasi kemiskinan penduduk; mempunyai karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir seperti: pabrik pakan, pembenihan (hatchery), industri jaring, industri pengolahan, pabrik es (cold storage). Dengan kata lain, perikanan budidaya memiliki potensi kekuatan struktur dan interaksi dengan sektor kegiatan lainnya.

Namun demikian, ternyata sisi lain yang terjadi adalah berkurangnya areal hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak mengakibatkan menurunnya potensi sumberdaya alam hayati. Kerusakan dan konversi hutan mangrove ini terjadi di pantai utara, selatan dan barat Provinsi Banten, yang meliputi wilayah pesisir Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Panimpang Kabupaten Pandeglang. Selama periode 2004 tercatat luas hutan mangrove di Provinsi Banten 2.374,11 ha kemudian pada tahun 2005 luas tersebut menurun menjadi 2.214,45 ha (DKP 2006). Dengan kata lain, terjadi penurunan luasan 6,73% per tahun, angka ini lebih besar dari rata-rata penurunan luasan mangrove secara nasional 1,10% per tahun.

Pertumbuhan ekonomi, baik melalui pemanfaatan sumberdaya alam, intensifikasi penggunaan lahan maupun industrialisasi memang memungkinkan timbulnya dampak terhadap lingkungan, atau sering dikatakan adanya trade off

antara sisi ekonomi dan ekologi. Namun demikian, dampak negatif dari kegiatan pembangunan ekonomi tidak berarti harus menghentikan atau mengurangi kegiatan pembangunan ekonomi, karena penghentian kegiatan pembangunan berarti akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan menurunkan pendapatan masyarakat dan pada sisi lain akan meningkatkan pengangguran atau kemiskinan.

(20)

6 berkelanjutan jika basis ketersediaan sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil dan pembuangan limbah tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungannya.

Dahuri et al. (1996) menambahkan persyaratan ekologi dalam pembangunan suatu wilayah antara lain: (1) perlu adanya keharmonisan ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan; (2) laju pemanfaatan sumberdaya pulih (sumberdaya perikanan dan hutan mengrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu; (3) limbah yang dibuang tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan; dan (4) merancang dan membangun kawasan pesisir sesuai dengan kaidah-kaidah alam (karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir).

Selain itu, belum adanya studi tentang daya dukung lingkungan dilihat dari segi pemanfaatan areal pesisir yang optimal untuk keberlanjutan menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan ilmu yang ada, karena ke depan selain inventarisasi informasi juga dapat memberikan kontribusi dalam perencanaan pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir.

Bertolak dari uraian di atas timbul permasalahan pokok yang perlu dijawab yaitu :

1. Apakah pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten mampu meningkatkan kekuatan struktur dan interaksi antar sektor;

2. Apakah dengan pembangunan perikanan budidaya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Provinsi Banten;

3. Bagaimana dampak yang terjadi atas adanya pembangunan perikanan budidaya terhadap sumberdaya pesisir (areal dan mangrove) di Provinsi Banten;

4. Berapa besar daya dukung dari areal pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya.

(21)

7 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat ditentukan beberapa tujuan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Menelaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya.

2. Mengestimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir.

3. Mengestimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan perumusan dalam perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan ecological footprint dalam hal daya dukung dari areal pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya yang optimal dan berkelanjutan di Provinsi Banten.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan atau literatur tentang pengembangan aplikasi model input-output di Indonesia dan di Provinsi Banten khususnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Perikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan yang telah lama dan umumnya lebih dulu diusahakan oleh masyarakat pesisir. Dalam aktivitas kegiatannya, perikanan budidaya memiliki orientasi ekonomi untuk memenuhi permintaan dan penawaran, konsumsi domestik, target ekspor dan adanya dukungan investasi serta kebutuhan impor untuk produksi.

(22)

8 Terkait dengan aktivitas dan konsekuensi yang timbul, perhatian terhadap pemanfaatan areal pesisir yang optimal untuk perikanan budidaya menjadi penting terkait dengan kemampuan lingkungan dalam memperbaiki diri (self purification) bila mengalami gangguan dan bila terlampaui akan terjadi degradasi serta ke depan tuntutan terhadap sumberdaya ini untuk menopang dalam segala hal kegiatan ekonomi tidak dapat dihindari.

Oleh karena itu, pemanfaatan areal pesisir yang optimal dengan pendekatan ecological footprint menjadi alternatif penyelesaian, yaitu dengan mengestimasi daya dukung lingkungan dan diharapkan output yang dihasilkan bisa menjadi pertimbangan oleh pengambil kebijakan untuk perencanaan pembangunan berkelanjutan dari perikanan budidaya (sustainable aquaculture development) di wilayah pesisir Provinsi Banten. Alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Ekonomi Ekologi

Permintaan Penawaran

Konsumsi Domestik

Investasi Target Ekspor

Kebutuhan Impor

Kebutuhan Areal

Kebutuhan Mangrove

Eksternalitas

Keterkaitan Antar sektor

Peningkatan Pendapatan

Ketersediaan Kesempatan Kerja

Sustainable Aquaculture Development Pemanfaatan Areal Pesisir Untuk Perikanan Budidaya yang Optimal

Dampak Lingkungan Perikanan Budidaya

(23)

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial dan lingkungan.

Konsep pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan tiga pilar kehidupan yaitu ekonomi, sosial dan ekologis dalam suatu hubungan yang sinergis. Oleh karena itu, makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sistem sosial dan keberlanjutan ekologis. Konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula.

Clark dan Dickson (2003) berpendapat bahwa walaupun isu-isu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang terkait dengan ilmu dan teknologi yang sesuai telah muncul sejak lama, namun kenyataan empiris membuktikan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan terutama pentingnya integrasi keilmuan dan riset guna mewujudkan konsep operasional pembangunan berkelanjutan.

(24)

10 2.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan

Wilayah pesisir menggambarkan dan umumnya selalu dihubungkan dengan daerah antarmuka (interface) atau ruang transisi antara darat dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Wilayah ini didefinisikan sebagai bagian dari darat yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh laut, dan bagian dari laut yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh daratan (USCMSER 1969, diacu dalam United Nation 1995). Dengan demikian, proses-proses interaksi antara darat dan laut di wilayah ini terjadi sangat kuat.

Sedangkan menurut World Bank (1993) pengertian wilayah pesisir adalah “suatu daerah antarmuka (interface), dimana darat bertemu laut, meliputi baik lingkungan garis pantai maupun perairan pesisir yang berbatasan. Komponennya dapat termasuk delta sungai, dataran pesisir, lahan-lahan basah (wetland), pantai dan gundukan pasir (dune), laguna, karang dan hutan mangrove”. Untuk tujuan perencanaan, wilayah pesisir merupakan suatu daerah spesial yang memiliki ciri-ciri khusus, antara lain : a). Merupakan suatu daerah dinamis, yang seringkali mengalami perubahan sifat biologis, kimiawi dan geologis; b). Daerah produktifitas tinggi dengan adanya bermacam-macam ekosistem biologis, yang memberikan habitat penting bagi beberapa spesies laut; c). Memiliki keistimewaan wilayah seperti sistem-sistem terumbu karang, hutan mangrove, pantai dan gundukan pasirnya, yang memberikan pertahanan alami khusus guna mengatasi badai, banjir dan erosi; d). Ekosistem-ekosistem pesisir dapat berperan menetralisir dampak polusi yang datang dari darat, seperti lahan basah yang dapat menampung kelebihan nutrien, sedimen dan kotoran manusia; e). Wilayah pantai memunculkan sangat banyak perkampungan dan pemukiman manusia yang memanfaatkan sumberdaya hayati dan non-hayati di lautan, transportasi laut dan rekreasi wisata.

(25)

11 sumberdaya darat dan laut tanpa mempertimbangkan kondisi ekologis dan kelangsungannya (KMNLH dan Bapedalwil I 1999). Padahal sumberdaya pesisir dan lautan merupakan aset pembangunan yang penting dan terbesar bagi Indonesia di masa depan, karena sumberdaya darat seperti hutan dan lahan lainnya sendiri semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan dan lain-lain. Di samping itu, tekanan pertambahan penduduk terhadap wilayah pesisir dengan berbagai dampaknya semakin besar. Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir dan 80% dari pembangunan industri mengambil tempat di wilayah pesisir ini (Hinrichson 1997, diacu dalam Bengen dan Rizal 2000).

Oleh karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka perlindungan terhadap wilayah pesisir, merupakan langkah terbaik yang perlu dilakukan sebagai bentuk tatacara pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir ini bagi sebesar-besarnya kesejahteraan hidup manusia. Pemikiran pembangunan berwawasan lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan ini dilakukan dengan menekan kerusakan sekecil mungkin yang dapat ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri et al. 1996).

2.3. Pengelolaan Perikanan Budidaya

Kawasan perikanan pesisir merupakan tempat dilakukannya berbagai aktivitas yang berorientasi pada usaha-usaha perikanan, baik usaha perikanan budidaya air payau/pertambakan (brakish water aquaculture), budidaya laut (mariculture), maupun usaha penangkapan ikan (capture fisheries). Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir merupakan bagian dari usaha perikanan darat (inland fisheries). Selain itu, Indonesia memiliki peluang pengembangan usaha perikanan yang sangat besar, namun sayangnya perikanan budidaya khususnya budidaya air payau dan budidaya laut masih diibaratkan sebagai “raksasa ekonomi yang masih tidur” (the sleeping giant of economy).

(26)

12 budidaya ikan dalam keramba (net impondment). Karena air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, maka pengelolaan terhadap sumber-sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam dll) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam kegiatan budidaya perikanan, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap lingkungan.

Kamaluddin (2002) menambahkan bahwa perikanan budidaya juga dapat ditata sebaik mungkin sehingga dapat dijadikan objek wisata, untuk itu budidaya harus dibangun dengan nuansa ekonomi dan wisata yang berwawasan lingkungan. Melalui cara ini terbuka peluang usaha bagi masyarakat dalam kerangka agrowisata.

Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu mendaya- gunakan potensi yang ada. Dengan demikian, subsektor ini dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan Indonesia secara keseluruhan (Dahuri 2002).

Bertolak dari hal di atas, maka menurut Dahuri (2002) kegiatan budidaya perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dalam rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan berkeadilan.

2.4. Pendekatan Ekonomi-Ekologi

(27)

13 lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proporsional (Ristianto 2003).

Adrianto (2004) mengemukakan pertumbuhan ekonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik dimana ekonomi menuju kondisi stabil ( steady-state economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability corridors).

Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan di atas, Adrianto (2004) berargumen perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan ekonomi dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain.

Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersama-sama. Para ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika ekonomi.

Oleh karena itu, pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh mainstream Ecological Economics yang memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan time-frame yang lebih panjang antara sistem ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstream ini adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004).

(28)

14 2.5. Ecological Input-Output

Menurut Rustiadi et al. (2004) model Input-Output telah dikenal semenjak jaman Phsyokrat pada pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Quesnay di tahun 1758 dengan Tableu de’economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi input-output khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah (land owners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Kemudian, oleh Walras di tahun 1877 dengan General Equilibrium -nya dibuatlah model tersebut menjadi lebih terinci dengan pemisahan sektor yang lebih baik dan jelas.

Puncak perkembangan Tabel Input-Output yang mencapai bentuk yang mendasari tabel-tabel input-output modern adalah tabel input-output yang dikembangkan oleh Leontief (1966). Tujuan Leontief mengembangkan tabel input-output adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat ini Analisis Input-Output telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian (Rustiadi et al. 2004).

Ecological input-output merupakan pengembangan dari model input-output (I-O) konvensional yang telah digunakan sebagai alat analisis perencanaan pembangunan selama ini (KMNLH dan BPS 2000). Satu kekurangan dari model I-O konvensional adalah tidak diikutsertakannya transaksi komoditi ekologi dan output eksternal dari setiap sektor pembangunan. Padahal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengembangan model ecological input-output

ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Model ecological input-output dilakukan dengan cara memasukkan beberapa jenis komoditas ekologi, seperti air dan tanah ke dalam deretan sektor produksi dan menambahkan pada kolom-kolom terakhir beberapa output yang berupa limbah atau permasalahan lingkungan/ekologi seperti pencemaran CO, CO2, SOx dan sebagainya yang merupakan produk kegiatan ekonomi.

(29)

15 bisa diprediksi. Karena model ini mencakup komoditi ekologi seperti air dan tanah yang dimasukkan sebagai input, maka dapat diprediksi dampak perubahan permintaan akhir pada besarnya kebutuhan input setiap sektor, sehingga dampaknya pada degradasi lingkungan dapat diperkirakan (KMNLH dan BPS 2000).

Bentuk umum tabel ecological input-output yang memperhitungkan dampak lingkungan adalah dengan menambahkan beberapa kolom pada sisi kanan tabel input-output standar yang mencerminkan output berupa produk sampingan ekonomi yang dalam hal ini eksternalitas dan degradasi yang terjadi terhadap lingkungan. Di samping itu dengan menambahkan baris pada sisi bawah yang menggambarkan input berupa variabel sumberdaya (lingkungan) yang dapat memberikan masukan bagi kegiatan ekonomi.

Format tabel input-output terdiri dari suatu kerangka matrik berukuran “n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lengkap, maka Tabel 1 menyajikan format tabel ecological input-output.

Tabel 1 Struktur Tabel Ecological Input-Output

Permintaan Antara Permintaan Akhir

Sektor Produksi Alokasi Output

Susunan Input

1 … j … n

Konsumsi

Rumah Ta

ngga

Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap

Stok Ekspor Total Output Ecological Commodity Outputs Input Antara Sektor Produksi 1 . . . i . . . n X11 … … … Xi1 … … … Xn1 … … … … … … … … … X1j … … … Xij … … … Xnj … … … … … … … … … X1n … … … Xin … … … Xnn RT1 … … … RTi … … … RTn KP1 … … … KPi … … … KPn PM1 … … … PMi … … … PMn S1 … … … Si … … … Sn E1 … … … Ei … … … En O1 … … … Oi … … … On N1 … … … Ni … … … Nn

Upah dan gaji

Rumah Tangga L1 … Lj … Ln

Nilai Tambah Lain V1 … Vj … Vn

Impor M1 … Mj … Mn

Total Input I1 … Ij … In

Ecological

Commodity Inputs R1 … Ri … Rn

2.6. Ecological Footprint

(30)

16 dan ‘kanan’ tetapi oleh mereka yang menerima adanya keterbatasan ekologis dan mereka yang tidak”). Oleh karena itu, perhatian terhadap keberlanjutan ekologi menjadi kewajiban bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain diperlukan suatu pendekatan. Salah satu konsep pendekatan yang coba ditawarkan adalah ecological footprint sebagai panduan kebijakan dan alat perencanaan untuk keberlanjutan pembangunan.

Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat (Adrianto 2006). Selain itu menurut Anielski (2005) ecological footprint adalah suatu alat untuk memonitor kemajuan ke arah keberlanjutan. Ini merupakan salah satu langkah penyampaian mengenai perbandingan konsumsi manusia yang secara langsung dengan batasan produktivitas sumberdaya alam. Ini merupakan suatu alat menarik untuk berkomunikasi, mengajar, dan perencanaan dengan menggunakan kriteria ekologis minimum untuk keberlanjutan.

Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan areal untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, TPA dan lain-lain (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy

footprint). Jumlah footprint tersebut merupakan apa yang disebut ecological footprint diri kita.

Venetoulis et al. (2004) menambahkan ecological footprint merupakan suatu alat untuk mengukur dan meneliti konsumsi sumberdaya alam oleh manusia dan output buangan di dalam konteks sumberdaya alam dapat diperbaharui dan memiliki kapasitas regenerasi (biocapacity). Pendekatan ini memberikan penilaian yang bersifat kuantitatif mengenai produktifitas area secara biologi yang diperlukan untuk menghasilkan sumberdaya baik makanan, energi dan material serta untuk menyerap buangan dari individu, kota, wilayah, atau negara.

(31)

17 khusus diperuntukkan untuk keperluan kita. Demikian pula areal untuk rumah, perkantoran, kawasan perkotaan, jalan dan lain-lain, merupakan areal yang harus tersedia untuk kita sebagai areal yang secara ekologis telah ”terdegradasi” karena secara biologis tidak produktif lagi. Mengingat areal di permukaan bumi yang terbatas, ekspansi seseorang terhadap komponen-komponen kebutuhan tersebut pasti akan mengurangi atau berakibat kerugian pada orang lain. Analisis

ecological footprint dari kebutuhan nyata tersebut dapat memberikan gambaran pada tingkat mana permukaan bumi dapat mendukung pola konsumsi manusia ketika populasi bertambah dan standar hidup di negara berkembang juga meningkat (Palmer 1999).

Secara konseptual ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity.

Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) mendefinisikan biocapacity sebagai ukuran ketersediaan areal produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut, yang didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological footprint.

Menurut Rees (1996) yang dikutip dalam Wackernagel dan Yount (1998), analisis ecological footprint adalah suatu indikator area-based yang digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas menghasilkan limbah di suatu area khusus dalam hubungan dengan kapasitas area untuk menyediakan aktivitas tersebut.

Wackernagel dan Yount (1998) menjelaskan bahwa analisis ecological footprint didasarkan pada dua fakta sederhana. Pertama, kita dapat menelusuri banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan kebanyakan populasi tersebut menghasilkan buangan. Kedua, bahwa sumberdaya dan aliran buangan tersebut dapat dikonversi ke suatu area yang produktif untuk keperluan menyediakan sumberdaya dan asimilasi buangan.

(32)

III. METODOLOGI

Studi ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan areal pesisir untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan dengan suatu pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis ecological input-output di wilayah pesisir Provinsi Banten. Untuk keterkaitan pertumbuhan ekonomi dengan sektor perikanan budidaya maka studi ini dianalisis melalui Model Input-Output karena dalam tabel input-output dijabarkan bagaimana output suatu sektor ekonomi tergantung pada output sektor lainnya. Selanjutnya, untuk keperluan analisis model ini disederhanakan ke dalam ukuran matrik 10X10 sektor. Model ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor fisik berupa input sumberdaya alam yang digunakan oleh sektor ekonomi dan eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan tersebut.

Tabel transaksi Provinsi Banten yang diterbitkan BPS, menunjukkan hubungan saling berkaitan antara sektor yang satu dengan sektor yang lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai analisis tabel input-ouput terlebih dahulu harus ditentukan koefisien input, karena koefisien input merupakan nilai yang sangat fundamental untuk merumuskan berbagai formulasi analisis yang merupakan manfaat dari tabel input-output. Model ini dikembangkan dengan memasukkan faktor fisik (PIOT) berupa input sumberdaya alam yang digunakan oleh sektor ekonomi dan eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan tersebut, maka koefisien yang diperoleh meliputi koefisien input ekonomi dan ekologi.

Nilai dari koefisien input ekonomi digunakan untuk menganalisis besarnya nilai keterkaitan langsung (direct linkages) ke belakang dan ke depan. Selanjutnya, nilai matrik kebalikan Leontief terbuka selain digunakan untuk menentukan besarnya nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung (direct and indirect linkages) ke belakang dan ke depan, dapat juga dimanfaatkan untuk menganalisis besarnya indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan serta

income multiplier dan employment multiplier.

(33)

19 dampak dari peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah terhadap pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja sebagai cerminan pembangunan suatu sektor kegiatan dengan menggunakan analisis income multiplier dan

employment multiplier.

Dari aspek ekologi analisis lebih lanjut dari koefisien ekologi akan diperoleh nilai ecological multiplier baik dari sisi input maupun output. Analisis ecological multiplier akan memberikan estimasi dampak ekologi dari pembangunan suatu sektor kegiatan akibat peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah, baik dari input ekologi maupun dari output yang dihasilkan ke ekologi.

Selanjutnya untuk mengestimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan ecological footprint, yaitu dengan membandingkan nilai biocapacity dari budidaya laut dan tambak dengan nilai ecological footprint dari budidaya tersebut. Hasil yang diperoleh berupa besaran parameter ha/kapita, yang berarti kemampuan lingkungan dan sumberdaya alam secara total dapat menghidupi kapita tersebut secara berkelanjutan jika potensi yang ada dimanfaatkan secara optimal. Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar 2.

Ecological Multiplier Daya Penyebaran

Derajat Kepekaan

Employment Multiplier

Pemanfaatan Areal Pesisir Perikanan Budidaya Koefisien

Ekonomi

Tabel Transaksi (I-O) Banten

MIOT PIOT

Input Ecological

Output Ecological Ecological

Footprint

Biocapacity

Carrying Capacity Income

Multiplier

Koefisien Ekologi

Analisis Keterkaitan

Matriks Leontief

(34)

20 Selain itu, lebih lanjut dapat dilihat hubungan ecological footprint dengan

ecological input-output untuk menentukan batasan optimal dalam pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya. Diharapkan hasil ini bisa menjadi rekomendasi dan pertimbangan pengambil kebijakan dalam merencanakan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir Provinsi Banten terkait dengan pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya.

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian didasarkan pada pasal 18 UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir Provinsi Banten meliputi wilayah laut sejauh 12 mil, yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Secara geografis meliputi wilayah pesisir dari Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

3.2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian yang dilakukan dalam analisis ekologi-ekonomi untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir Provinsi Banten meliputi budidaya laut dan budidaya tambak menggunakan pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis

ecological input-output dengan aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi meliputi input sumberdaya alam untuk kegiatan perikanan budidaya pesisir dalam hal ini berupa input areal dan mangrove serta dampak yang terjadi terhadap lingkungan akibat kegiatan tersebut yang berupa pencemaran bahan organik. Sedangkan aspek ekonomi mencakup dampak dari kegiatan perikanan budidaya pesisir terhadap pendapatan dan ketersediaan lapangan kerja.

Cakupan lingkup analisis, terdiri dari :

1. Telaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya. 2. Estimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan

perikanan budidaya di wilayah pesisir.

(35)
(36)

22 3.3. Pengumpulan Data

Data dan informasi diperoleh melalui dua cara, yaitu pengumpulan data dan wawancara. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer melalui wawancara untuk konfirmasi penggunaan areal. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka dan laporan dari berbagai instansi, yang meliputi: data fisik, sosial dan ekonomi, antara lain: Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten dan Tabel Input-Output Provinsi Banten.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Kekuatan Struktur dan Interaksi Antar Sektor

Analisis deksriptif digunakan untuk menelaah kekuatan struktur dari perikanan budidaya terhadap struktur permintaan dan penawaran, struktur permintaan akhir dan struktur input primer, dengan cara mendeskripsikan angka-angka pada tabel dasar, yaitu tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen. Interaksi antar sektor dianalisis dengan menggunakan analisis keterkaitan; dan indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan.

3.4.1.1. Analisis Keterkaitan

Keterkaitan sektor perikanan budidaya dengan sektor kegiatan lainnya dianalisis, baik sektor penyedia input maupun sektor yang menggunakan output dari sektor perikanan budidaya dengan menggunakan analisis keterkaitan (linkages), baik secara langsung (direct) ke belakang dan ke depan, maupun secara tidak langsung (indirect) ke belakang dan ke depan.

a. Keterkaitan Langsung ke Belakang (Direct backward linkages)

Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan keterkaitan suatu sektor tertentu terhadap sektor kegiatan yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung ke belakang suatu sektor j merupakan penjumlahan suatu kolom ke-j dalam matrik koefisien teknis. Persamaan untuk mencari keterkaitan langsung ke belakang adalah :

= = =

= n

i ij j

n

i ij

j a

X X KB

1 1

(37)

23 Keterangan :

KB

j = Keterkaitan langsung ke belakang

X

ij = Banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j

X

j = Total input sektor j

a

ij = Unsur matrik koefisien teknis

b. Keterkaitan Langsung ke Depan (Direct forward linkages)

Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan keterkaitan suatu sektor tertentu terhadap sektor kegiatan yang menggunakan sebagian output sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung ke depan suatu sektor ke-i merupakan penjumlahan suatu baris ke-i dalam matriks koefisien teknis. Keterkaitan tipe ini dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut :

= =

=

=

n j ij i n i ij i

a

X

X

KD

1 1 (2) Keterangan : KD

i = Keterkaitan langsung ke depan

X

ij = Banyak output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j

X

i = Total output sektor i

a

ij = Unsur matrik koefisien teknis

c. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang (Direct and indirect backward linkages)

Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang merupakan alat untuk mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor ke-j merupakan penjumlahan unsur-unsur kolom ke-j dari matrik kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang digunakan persamaan sebagai berikut :

= = n i ij j C KBLT 1 (3) Keterangan : KBLT

j = Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang

C

(38)

24 d. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan (Direct and indirect

forward linkages)

Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya yang menggunakan output dari sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor ke-i merupakan penjumlahan unsur-unsur baris ke-i dari matriks kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan digunakan persamaan sebagai berikut :

=

=

n j ij i

C

KDLT

1 (4) Keterangan : KDLT

i = Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan

C

ij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka

3.4.1.2. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan a. Daya Penyebaran

Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan kemampuan industri hulunya. Sektor ini dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi jika daya penyebarannya (Pd

j) mempunyai nilai lebih besar

dari satu atau di atas rata-rata sektor secara keseluruhan. Secara matematis analisis ini dapat dinyatakan sebagai berikut :

∑∑

= = =

=

n i n j ij n i ij j

C

C

n

Pd

1 1 1 (5) Keterangan :

Pdj = Daya penyebaran

Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka

n = Total sektor

b. Derajat Kepekaan

Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor lain yang memakai input dari sektor ini. Sektor yang dikatakan mempunyai kepekaan penyebaran yang tinggi apabila nilai derajat kepekaannya (Sd

i) lebih besar dari satu atau di atas rata-rata sektor

(39)

25

∑∑

= = = = n i n j ij n j ij i C C n Sd 1 1 1 (6) Keterangan :

Sdj = Derajat kepekaan

Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka

n = Total sektor

3.4.2. Dampak Ekologi-Ekonomi

Analisis yang digunakan untuk mengestimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir antara lain: dampak ekonomi dengan menggunakan analisis income multiplier dan

employment multiplier. Dampak ekologi dengan menggunakan analisis ecological multiplier.

3.4.2.1. Income Multiplier

Dampak ekonomi berupa pendapatan dari pembangunan perikanan budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis income multiplier. Untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda pendapatan sederhana (Simple Income Multiplier) digunakan rumus :

= + = n i ij i n

j a C

MS 1

,

1 (7)

Keterangan :

MSj = Pengganda pendapatan sederhana sektor j

Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka

an+1,i = Koefisien input gaji/upah rumah tangga

Selanjutnya untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda pendapatan I (Income Multiplier I) yang merupakan perbandingan antara pengganda pendapatan sederhana dengan koefisien teknis upah dan gaji rumah tangga digunakan persamaan :

j n n i ij i n j a C a MI , 1 1 , 1 + = +

= (8) Keterangan :

MIj = Pengganda pendapatan tipe I

Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka

(40)

26 Persamaan ini menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit, yang artinya apabila permintaan akhir terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar satu juta rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja pada sektor tersebut sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan.

3.4.2.2. Employment Multiplier

Dampak ekonomi berupa kesempatan kerja dari pembangunan perikanan budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis employment multiplier. Sebelum mendapatkan informasi besaran parameter pengganda tenaga kerja, terlebih dahulu harus diperoleh informasi besaran parameter koefisien tenaga kerja (employment coefficient) yang merupakan suatu bilangan yang menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit keluaran (output). Sesuai dengan pengertian ini maka koefisien tenaga kerja dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

i i

X

L

W

=

(9)

Keterangan :

W = Koefisien tenaga kerja Li = Jumlah tenaga kerja sektor i

Xi = output sektor i

Koefisien tenaga kerja sektoral merupakan indikator untuk melihat daya serap tenaga kerja di masing-masing sektor. Semakin tinggi koefisien tenaga kerja di suatu sektor menunjukkan semakin tinggi pula daya serap tenaga kerja di sektor bersangkutan, karena semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Sebaliknya sektor yang semakin rendah koefisien tenaga kerjanya menunjukkan semakin rendah pula daya serap tenaga kerjanya. Koefisien tenaga kerja yang tinggi pada umumnya terjadi di sektor-sektor padat karya, sedangkan koefisien tenaga kerja yang rendah umumnya terjadi di sektor padat modal yang proses produksinya dilakukan dengan teknologi tinggi. Informasi tentang koefisien tenaga kerja sektoral antara lain dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam menyusun berbagai kebijakan dan perencanaan di bidang ketenagakerjaan.

(41)

27

j n n

i

ij i n

j

W C W MLI

, 1 1

, 1

+ = +

= (10)

Keterangan :

MLIj = Pengganda tenaga kerja tipe I

Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka

Wn+1,j = Koefisien tenaga kerja sektor j

Persamaan ini akan memperlihatkan bahwa permintaan akhir terhadap output suatu sektor memiliki pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi permintaan akhir terhadap satu unit output diperlukan tenaga kerja sebanyak hasil yang diperoleh.

3.4.2.3. Ecological Multiplier

Proses analisis untuk memperkirakan dampak perubahan besarnya permintaan akhir dari adanya faktor ekologi dengan cara menggabungkan aspek ekologi dalam aspek ekonomi menggunakan model Tabel Input-Output Fisik (Hubacek dan Giljum 2002). Adapun model Tabel Input-Output Fisik yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Struktur Tabel Input-Output Fisik

Permintaan Antara Permintaan Akhir Total Output Into Nature

Input Antara Xij Yi X N

Input Primer Vj

Total Input X’

From Nature M

Sumber: Diadopsi dari Maenpaa dan Muukkonen (2001) dan Budiharsono (2005)

Keterangan :

Xij = Parameter permintaan input antara sektor ij.

Vj = Parameter permintaan input primer sektor j

X’ = Total input sektor i

M = Variabel input sumberdaya yang dipergunakan oleh sektor j Yi = Permintaan akhir (Final Demand) sektor i

X = Total output sektor j

N = Variabel Eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j

(42)

28 matrik M. Jadi koefisien matriks ini (mkj) menunjukkan besarnya volume komoditi

k yang dibutuhkan dalam memproduksi output sektor j.

Bila sejumlah k eksternalitas (limbah) yang akan diperhitungkan dalam analisis, maka tabel input-output ditambah k kolom (setelah permintaan akhir) untuk mengakomodir produksi limbah oleh masing-masing sektor produksi. Matriks yang menunjukkan arus eksternalitas oleh masing-masing sektor j dinotasikan sebagai matriks N. Jadi koefisien matriks ini (njk) menunjukkan

besarnya eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j (mulai dari sektor 1 sampai dengan sektor n).

Kalau tabel input-output dasar sudah menyediakan data tentang besarnya nilai output setiap sektor yang digunakan dalam produksi sektor j, maka dalam analisis ekologi ini diperlukan data mengenai penggunaan areal, air dan komoditas ekologi lainnya yang dilibatkan dalam setiap kegiatan ekonomi serta besarnya buangan yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi di masing-masing sektor tersebut. Untuk komponen input ekologi, koefisien yang menunjukkan rasio input ekologi (k) terhadap output sektor pengguna (sektor j) dinotasikan sebagai rkj, yang dihitung sebagai :

j kj kj

X m

r = , dalam bentuk matrik ditulis

R

=

M

(

X

)

−1 (11)

Koefisien tersebut disebut koefisien input ekologi (ecological input coefficient) atau merupakan matriks koefisien input yang digunakan dari ekologi, dimana R menunjukkan besarnya kebutuhan input ekologi k untuk memproduksi output sektor j.

Komponen output eksternalitas, juga dapat diperlakukan sama. Di sini dapat dihitung besarnya output eksternalitas dari masing-masing sektor penghasil produksi. Jadi koefisiennya menunjukkan besarnya eksternalitas per unit nilai output sektor j.

j kj kj

X n

q = , dalam bentuk matrik ditulis

Q

=

N

'

(

X

)

−1 (12)

Koefisien tersebut disebut koefisien output ekologi (ecological output cofficient) atau merupakan matriks koefisien eksternalitas yang dikeluarkan ke ekologi, dimana Q menunjukkan besarnya output eksternalitas k yang dikeluarkan untuk memproduksi output sektor j.

(43)

29 produksi pada sektor analisis, tetapi juga semua kebutuhan tidak langsung yang dihasilkan dari produk antara dari sektor lain, sehingga untuk mencukupi permintaan akhir dapat ditentukan kebutuhan total input baik langsung maupun tidak langsung (Miller dan Blair 1985).

Dengan perubahan output (X) akibat perubahan permintaan akhir, maka kebutuhan input termasuk input komoditi ekologi juga berubah. Matriks koefisien R* berikut menunjukkan besarnya komoditi ekologi k yang dibutuhkan oleh sektor produksi j dalam memenuhi setiap permintaan akhir atas produksi sektor j. Analog dengan matriks R*, dapat pula dihitung matriks Q*, yang menggambarkan eksternalitas ke ekosistem sebagai akibat kegiatan sektor j dalam memenuhi setiap permintaan akhir atas produksi sektor j tersebut.

(

)

1

*= R IA

R , dan

(

)

1

*=Q IA

Q (13)

Unsur matriks R* menunjukkan jumlah input dari ekologi yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Sedangkan unsur matriks Q* menunjukkan jumlah eksternalitas ke ekologi baik langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Sementara itu, (I-A)-1 merupakan matriks kebalikan Leontief terbuka. Dalam bentuk visual metodologi model input-output ekologi dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel I-O

Matriks Invers

(I-A)-1 Output Ekologi, N Input Ekologi, M

Koefisien Input Ekologi R = M(X)-1

Koefisien Output Ekologi Q = N’(X)-1

Q* = Q(I-A)-1 R* = R(I-A)-1

Gambar 4 Metodologi Model Input-Output Ekologi (KMNLH dan BPS 2000).

(44)

30 3.4.3. Carrying Capacity

Pendekatan ecological footprint digunakan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan. Pengaruh fisik pada perhitungan metodologi difokuskan pada ketersediaan areal yang diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dan secara umum direferensikan untuk ecological footprint (Hubacek dan Giljum 2002). Oleh Wackernagel dan Rees (1996), ecological footprint didefinisikan sebagai total lahan dan perairan yang dibutuhkan untuk mendukung suatu populasi dengan spesifik lifestyle dan pemberian teknologi terhadap kebutuhan sumberdaya alam dan mengabsorbsi semua buangan dan emisi dalam kurun waktu tertentu.

Lebih lanjut Adrianto (2006), menambahkan ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat, sehingga perbandingan ketersediaan areal untuk populasi di suatu wilayah dengan ketersediaan ecological capacity, defisit atau surplus keberlanjutan dapat dikuantitatifkan.

Analisis carrying capacity di sini menggunakan pendekatan ecological footprint, dimana menurut Hubacek dan Giljum (2002) perhitungan ecological footprint adalah bagian dari kategori areal built-up dan kesesuaian areal langsung untuk infrastruktur, bukan pada dasar penggunaan areal aktual atau data tutupan areal, tetapi diawali dengan konsumsi sumberdaya oleh suatu populasi yang spesifik dalam unit massa.

Penggunaan ecological footprint dapat dilihat sebagai hal yang bermanfaat dengan suatu jalan yang berbeda untuk membuat kebijakan (Moffat et al. 2000). Yang fundamental dari metode ecological footprint adalah ide untuk menunjukkan areal dalam beberapa tipe areal yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi suatu wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint (Haberl et al. 2001), yaitu sebagai berikut :

i

Y

EX

i

Y

IM

i

Y

DE

EF

lok i

reg i

lok i

i

=

+

, dimana

EF

lok

=

EF

i (14)

Keterangan :

EFi = Ecological Footprint produk ke-i (Ha/kapita)

EFlok = Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita)

DEi = Domestic Extraction produk ke-i (Ton/kapita)

IMi = Impor produk ke-i (Ton/ha)

EXi = Ekspor produk ke-i (Ton/ha)

Ylok i = Yield (produktivitas) lokal produk ke-i (Ton/ha)

(45)

31 Pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga elemen atau sektor perhitungan ecological footprint, yaitu: populasi, yield keduanya baik lokal maupun regional, dan ecological footprint itu sendiri (Haberl et al. 2001). Secara visual dapat dilihat kerangka analisis untuk model ecological footprint perikanan budidaya pada Gambar 5.

Yield Productivity System

Population System

Apparent Consumption System

Aquaculture Ecological Footprint

Gambar 5 Kerangka Analisis untuk Model Ecological Footprint Perikanan Budidaya (diadopsi dari Adrianto dan Matsuda 2004).

Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Lenzen dan Murray 2001):

YF

A

BC

k

=

k , dimana

BC

lok

=

A

k

YF

(15)

Keterangan :

Ak = Luas land cover kategori ke-k (Ha)

YF = Yield factor land cover kategori ke-k

Untuk yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity

pada pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada tipe land use dan faktor pembobotan dari riset yang diperkenalkan oleh Lenzen dan Murray (2001) dan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Land Use

Tipe Land Use Faktor Pembobotan

- Built 1,00

- Degraded pasture or crop land Mined land 0,80

- Cleared pasture and crop land Non-native plantations 0,60 - Thinned pasture Parks and gardens Native plantations 0,40

- Partially disturbed pasture (mostly arid) 0,20 Sumber: Lenzen dan Murray (2001)

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran.
Tabel 1  Struktur Tabel Ecological Input-Output
Tabel Transaksi (I-O)  Banten  MIOT  PIOT  Input  Ecological  Output  Ecological Ecological Footprint  Biocapacity Carrying CapacityIncome Multiplier  Koefisien Ekologi Analisis Keterkaitan Matriks Leontief
Tabel 2  Struktur Tabel Input-Output Fisik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi ini dimaksudkan agar berbagai kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang dihasilkan baik yang ditujukan khusus kepada usaha kecil baik langsung dan atau tidak

Analisis Komparasi Stabilitas Perbankan Syariah dan Konvensional (Bank Umum Devisa Non Go Public di Indonesia).. Jurnal

Apakah ada manfaat yang diperoleh dengan adanya kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan dan pembinaan

Metode rasio ragam merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pola penyebaran suatu jenis. Metode tersebut menggunakan nilai rataan dan nilai

Diskusi kelompok adalah suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka yang informal dengan berbagai pengalaman atau

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan sawit muda dan pertumbuhan serta produksi jagung sebagai tanaman sela diantara tanaman sawit pada

Pembangunan Nasional merupakan pencerminan kehendak rakyat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan

Liabilitas jangka panjang setelah dikurangi bagian yang jatuh tempo dalam satu tahun Long-term liabilities net of current maturities Liabilitas jangka panjang atas liabilitas