• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA IBU

YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

DENISE LAZZARONI

081301036

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

SKRIPSI

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA IBU

YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA

Dipersiapkan dan disusun oleh: DENISE LAZZARONI

081301036

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 08 November 2013

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Liza Marini, M.Psi Penguji I

NIP. 198105202005012003 Merangkap Pembimbing

2. Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog Penguji II NIP. 106405232000032001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

“Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita”

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 04 November 2013

(4)

Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita. Kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita adalah kondisi psikologis seorang ibu yang ditandai dengan keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna.

Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak tunagrahita yang berada di Kota Medan sebanyak 80 orang yang memiliki setidaknya satu anak tunagrahita yang berusia 3-13 tahun. Sampel diperoleh melalui teknik snowball sampling. Alat ukur berupa skala kesejahteraan psikologis yang disusun berdasarkan teori kesejahteraan psikologi Ryff (1989).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita berada pada kategori rendah sebesar 48.8 % yang artinya ibu yang memiliki anak tunagrahita kurang dapat menerima keadaan diri dan kondisi anaknya, kurang mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain, kurang mampu dalam mengelola lingkungan sekitarnya, belum menentukan arah dan tujuan hidup ke depan dan tidak bertumbuh secara pribadi, serta kurang membuka diri dan merasa tidak puas dengan kehidupan yang dimiliki.

(5)

Description of Psychological Well-Being on Mother with Mentally Retarded Children

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRACT

The aim of this study is to describe the psychological well-being on mother who have children with mental retardation. Psychological well-being on mother who have children with mental retardation is a maternal condition that characterized by an optimal functioning of life, satisfaction and acceptance of their situation, accepting positive and negative sides of themselves and their child, have a life satisfaction and self-potential realization inside of the mother with mentally retarded children until they gained their happiness and a meaningful life.

The subjects of this research were mothers of children with mental retardation residing in Medan as many as 80 people who have at least one mental retardation child aged 3-13 years. This research is using the snowball technique sampling. The measuring instruments is the psychological well-being scale developed based on psychological well-being theory of Ryff (1989).

The results of this study indicate that the description of psychological well-being on mother who have children with mental retardation are in the low category as much as 48.8 %, which means mothers of children with mental retardation can’t accept her life condition and her child, less able to build a positive relationships with others, depend on the others, less able to manage the environment, haven’t determine the direction and purpose of life forward yet and haven’t grow personally, as well as less open to the others and not satisfied with the life they have now.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia, kemudahan, dan ridho-Nya dalam penyelesaian skripsi ini dengan judul “Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita”. Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta, terbaik dan terhebat, Effi Andriani ibu yang sangat saya cintai yang selalu ada untuk saya dan memberikan dukungan terbesar serta selalu mendoakan saya dan dr.Sergio Lazzaroni ayah yang saya sayangi dan rindukan yang selalu memberikan dukungan dan doa meskipun jauh di Itali. Terima kasih atas doa yang tak henti dan dukungannya baik moril maupun materil. Semoga Allah selalu mencurahkan kebahagiaan kepada mereka di dunia dan akhirat. Tak lupa juga kepada dr.James Lazzaroni abang tersayang dan satu-satunya yang selalu memberikan semangat, motivasi dan doanya. Semoga kita berdua menjadi orang yang sukses dan membanggakan orang tua nantinya.

(7)

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2.

Kakak Liza Marini, M.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas segala masukan, arahan, saran, dan keluangan waktu yang telah kakak berikan sejak pengerjaan seminar hingga penyelesaian skirpsi ini. Terima kasih banyak atas motivasi dan bimbingan kakak.

3.

Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog, selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas kesabaran Ibu dalam menguji saya, serta atas waktu dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan revisi skripsi ini dengan lebih baik.

4.

Ibu Etty Rahmawati, M.Si, selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas kesabaran Ibu dalam menguji saya, serta atas waktu dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan revisi skripsi ini dengan lebih baik. 5. Ibu Meidriani Ayu, M.Kes, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu

peduli terhadap saya dan selalu bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya selama masa perkuliahan.

(8)

7. Seluruh jajaran staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara khususnya Pak As, Kak Ari, Kak Eli dan Kak Devi.

8. Keluarga besar, Nenek yang selalu mendoakan tiada henti, Tante Adhe, Tenda, Nena, Teta dan sepupu-sepupu saya.

9. Jimmy Rully Putra Chaniago, terima kasih karena selalu mendukung, membantu dan memberi semangat juga perhatian yang tiada henti dalam menyelesaikan skripsi ini serta memotivasi untuk bisa segera wisuda. Terima kasih Nyimy.

10.Demyutivid. Sahabat-sahabat terbaik kesayangan saya, Dita Ardhina S.Psi, Husna Astria Aritonang S.Psi, Kinanti Mayangsari S.Psi, Kharissa Pratiwi Akbar S.Psi dan Vindy Fadhilla Nst. Terima kasih untuk semua hal yang sudah kita lalui bersama selama masa kuliah, untuk semua kenangan dan kebahagiaan demyutivid, dan terima kasih karena telah membuat masa kuliah menjadi lebih seru dan lebih menyenangkan. Terima kasih juga khususnya buat Didit, Mayang dan Iwik yang memberikan bantuan ekstra dalam menyelesaikan skripsi ini. Buat Vindy ceka skripsi, ayo segera kita selesaikan perkuliahan dan menyandang gelar sarjana bersama-sama. Denise sayang kalian semuanya.

(9)

12.Chaidara Puspita Bangun, sahabat sejati sejak SMA yang tidak akan pernah terganti yang selalu memberikan kebahagiaan dan dukungan agar kita secepatnya bersama-sama menjadi sarjana, terima kasih banyak soulsister kesayanganku. Terima kasih juga untuk Geng Eleb yang paling seru, Dara, Ares, Gober, Dea, Biber, Cengir, Wirda, Andie dan Acong.

13.Seluruh teman-teman angkatan 2008 yang sangat kompak dan sangat saya sayangi yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Angkatan yang paling heboh dan membanggakan. Terima kasih untuk semua kenangan dan keseruan kita selama masa perkuliahan, semoga kita semua menjadi orang yang sukses. 14.Terima kasih kepada wiliam, cai, kaklili, dean, moyang, kemal, senior dan

para junior Fakultas Psikologi Universitas Sumatera atas masukan dan bantuannya dalam melakukan penelitian ini.

15.Terima kasih khususnya kepada Ibu Yus dan Ibu Sari yang telah banyak membantu dan mempermudah saya dalam pengambilan data.

16.Seluruh responden penelitian yang merupakan ibu-ibu yang memiliki anak tunagrahita dan anak berkebutuhan khusus. Terima kasih banyak atas kesediaan dan waktunya.

17.Segala pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian penelitian ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

(10)

Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran membangun sebagai masukan yang berguna bagi penelitian ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 04 November 2013

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B.

Perumusan Masalah ... 12

C.

Tujuan Penelitian ... 13

D.

Manfaat Penelitian ... 13

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 14

E.

Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

(12)

(Psychological Well-Being) ... 21

B. Ibu ... 24

1. Definisi Ibu ... 24

2. Perkembangan Wanita Dewasa sebagai Ibu ... 25

3. Peran Ibu ... 26

4. Kesejahteraan Psikologis Ibu ... 27

C. Anak Tunagrahita ... 28

1. Definisi Anak Tunagrahita ... 28

2. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunagrahita ... 30

3. Faktor-faktor Penyebab Ketunagrahitaan ... 32

4. Dampak Ketunagrahitaan Anak Terhadap Keluarga ... 34

D. Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 36

Kerangka Pemikiran ... 45

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

A. Identifikasi Variabel ... 47

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 47

C. Populasi,Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 48

1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 48

2. Metode Pengambilan Sampel ... 49

D. Metode Pengumpulan Data ... 50

E. Validitas, Reliabilitas Alat Ukur dan Uji Daya Beda Aitem .... 53

1. Validitas alat ukur ... 54

2. Reliabilitas alat ukur ... 55

3. Uji Daya Beda Aitem ... 56

(13)

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 60

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 64

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir 65 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Subjek Penelitian .. ... . 66

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Anak Subjek Penelitian .. ... . 66

B. Hasil Penelitian ... 67

1. Uji Normalitas ... 67

2. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 68

3. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita Berdasarkan Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 70

a. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Penerimaan Diri ... 71

b. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 72

(14)

Dimensi Penguasaan Terhadap Lingkungan ... 75

e. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Tujuan Hidup ... 77

f. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 79

C. Pembahasan ... 80

BAB V KESIMPULAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 92

1. Saran Metodologis ... 92

2. Saran Praktis ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis

(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 1. Cara Penilaian Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu

yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 51 Tabel 2. Blue Print Distribusi aitem Skala Gambaran

Kesejahteraan Psikologis ... 52 Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Skala Gambaran Kesejahteraan

Psikologis ... 58 Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Gambaran Kesejahteraan

Psikologis ... 59 Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 64 Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir 65 Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Anak

Subjek Penelitian... ... 66 Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Anak Subjek

Penelitian ... ... 67 Tabel 9. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian Dari Skala Gambaran

Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak

Tunagrahita ... 68 Tabel 10. Kategorisasi Norma Gambaran Kesejahteraan Psikologis

Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 69 Tabel 11. Gambaran Kategorisasi Skor Gambaran Kesejahteraan

Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 69 Tabel 12. Gambaran Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu

(17)

Tabel 13. Median dan Standar Deviasi Tiap Dimensi Kesejahteraan

Psikologis ... 71 Tabel 14. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Penerimaan Diri ... 71 Tabel 15. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Penerimaan Diri ... 72 Tabel 16. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 73 Tabel 17. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Hubungan Positif

dengan Orang Lain ... 73 Tabel 18. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Otonomi ... 74 Tabel 19. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Otonomi ... 75 Tabel 20. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Penguasaan Terhadap Lingkungan ... 76 Tabel 21. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Penguasaan Terhadap

Lingkungan ... 76 Tabel 22. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Tujuan Hidup ... 77 Tabel 23. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Tujuan Hidup ... 78 Tabel 24. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

(18)

DAFTAR GRAFIK

No. Judul Halaman

Grafik 1. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 70 Grafik 2. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Penerimaan Diri ... 72 Grafik 3. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 74 Grafik 4. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi Otonomi 75 Grafik 5. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Penguasaan Terhadap Lingkungan ... 77 Grafik 6. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Tujuan Hidup ... 78 Grafik 7. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

Lampiran 1 Data Mentah dan Hasil Uji Coba ... 100

Lampiran 2 Tabel Gambaran Umum Subjek ... 109

Lampiran 3 Data Hasil Penelitian ... 115

(20)

Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita. Kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita adalah kondisi psikologis seorang ibu yang ditandai dengan keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna.

Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak tunagrahita yang berada di Kota Medan sebanyak 80 orang yang memiliki setidaknya satu anak tunagrahita yang berusia 3-13 tahun. Sampel diperoleh melalui teknik snowball sampling. Alat ukur berupa skala kesejahteraan psikologis yang disusun berdasarkan teori kesejahteraan psikologi Ryff (1989).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita berada pada kategori rendah sebesar 48.8 % yang artinya ibu yang memiliki anak tunagrahita kurang dapat menerima keadaan diri dan kondisi anaknya, kurang mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain, kurang mampu dalam mengelola lingkungan sekitarnya, belum menentukan arah dan tujuan hidup ke depan dan tidak bertumbuh secara pribadi, serta kurang membuka diri dan merasa tidak puas dengan kehidupan yang dimiliki.

(21)

Description of Psychological Well-Being on Mother with Mentally Retarded Children

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRACT

The aim of this study is to describe the psychological well-being on mother who have children with mental retardation. Psychological well-being on mother who have children with mental retardation is a maternal condition that characterized by an optimal functioning of life, satisfaction and acceptance of their situation, accepting positive and negative sides of themselves and their child, have a life satisfaction and self-potential realization inside of the mother with mentally retarded children until they gained their happiness and a meaningful life.

The subjects of this research were mothers of children with mental retardation residing in Medan as many as 80 people who have at least one mental retardation child aged 3-13 years. This research is using the snowball technique sampling. The measuring instruments is the psychological well-being scale developed based on psychological well-being theory of Ryff (1989).

The results of this study indicate that the description of psychological well-being on mother who have children with mental retardation are in the low category as much as 48.8 %, which means mothers of children with mental retardation can’t accept her life condition and her child, less able to build a positive relationships with others, depend on the others, less able to manage the environment, haven’t determine the direction and purpose of life forward yet and haven’t grow personally, as well as less open to the others and not satisfied with the life they have now.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan khusus semakin meningkat di Indonesia dan bahkan di dunia. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal menyatakan saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapat perhatian serius mencapai 1,2 juta orang atau 2,5% dari populasi anak-anak usia sekolah (Pelita, 2012). Hal ini dapat terjadi karena adanya pola hidup orangtua yang salah, kecelakaan yang dialami ibu selama masa kehamilan, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol selama kehamilan dan lain sebagainya. Dibutuhkan penanganan sedini mungkin mulai dari penambahan pengetahuan kepada calon orang tua hingga cara penanganan pada masa tumbuh kembang anak.

(23)

Seperti yang juga dikemukakan oleh Satiadarma (2001), setiap orang tua menginginkan memiliki anak atau keturunan yang baik, sehat, berkualitas yang baik dan berpengetahuan baik, dalam artian orang tua memiliki harapan yang ideal bagi anak mereka tetapi apabila “berbeda” dengan kenyataan maka akan menimbulkan kekecewaan. Anak yang “berbeda” sering disebut dengan anak spesial (children with special needs) dimana anak memiliki perkembangan dan karakteristik fisik maupun mental yang berbeda dengan anak normal.

Anak-anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik ini disebut dengan anak berkebutuhan khusus (Heward, 1996). Salah satu yang termasuk dalam pembagian anak berkebutuhan khusus adalah tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial atau biasa sering disebut dengan retardasi mental (Somantri, 2007). Seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat dari IQ-nya tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana ia dapat menyesuaikan diri. Beberapa karakteristik umum tunagrahita yaitu keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya (Somantri, 2007).

(24)

dimana anak mereka mengalami gangguan dan keterlambatan dalam perkembangannya. Anak tunagrahita membutuhkan penanganan dini dan intensif untuk membantu kesehariannya.

Terdapat beberapa reaksi emosional awal yang biasanya dimunculkan orang tua ketika mengetahui anak mereka berbeda dibanding anak-anak lainnya. Orang tua hendaknya memahami dan menyadari emosi-emosi yang dialaminya, sehingga orang tua dapat mengelolanya secara efektif. Beberapa reaksi emosional tersebut antara lain shock, penyangkalan dan merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan marah, serta perasaan bersalah dan berdosa atas apa yang terjadi pada anak (Safaria, 2005).

Seperti kutipan wawancara dibawah ini :

“Semua orang juga pasti ngarepinnya punya anak normal kan, tapi ternyata saya dikaruniai anak yang ada gangguan gini. Ya sebenarnya saya masih gak percaya sampe sekarang tapi saya juga gak bisa buat apa-apa. Ya sekarang saya berusaha jaga anak saya sampe besar aja lah, walaupun berat.” (komunikasi interpersonal, 02 Maret 2013).

(25)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat dilihat bahwa ibu dari anak tunagrahita mengalami berbagai bentuk reaksi awal mengenai kondisi anak mereka. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Mangunsong (1998) yang mengemukakan bahwa tahap pertama yang biasanya muncul adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan kecacatan yang diderita anaknya.

Penolakan yang dimunculkan oleh ibu sebagai bentuk reaksi emosional awal, mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh ibu dari anak tunagrahita tersebut.

Seperti kutipan wawancara dengan seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita berusia 7 dan 10 tahun dibawah ini:

“Kalo malu sih ya gimana ya, saya malesnya sih kalo diejek-ejek tetangga ato orang-orang lain gitu. Kadang-kadang saya sedih juga rasanya, pernah juga sampe stress. Gatau saya harus buat apa lagi.” (komunikasi interpersonal, 04 Maret 2013).

“Kadang-kadang liat keadaannya itu saya suka gak kuat, kayaknya saya gak bisa, rasanya pengen lari aja. Apalagi kalo bantuin dia apa-apa, aduh gak taulah. Tapi saya selalu kuat-kuatin diri saya buat biasa aja karena anak saya juga harus tumbuh kan.” (komunikasi interpersonal, 03 Maret 2013).

(26)

terhadap perkembangan anak, yang juga berpengaruh pada kehidupan orang tua itu sendiri.

Terdapat beberapa tahapan penerimaan menurut Kubler-Ross (dalam Gargulio, 1985) dimana terdapat beberapa tahapan yang didalamnya terdapat shock (perasaan kaget dan shock dengan kondisi anak), denial (menolak kenyataan), grief and depression (perasaan berkabung dan depresi), ambivalent (ambivalensi atau kecenderungan untuk merawat anaknya sekaligus menolaknya), guilty feeling (perasaan bersalah karena kondisi anak), anger (perasaan marah), shame and embarrassment (perasaan malu terutama dalam lingkup sosial), bargaining (tawar-menawar demi membantu anak menjadi layaknya anak normal lainnya), adaptation and reorganization (adaptasi dan adanya rasa nyaman pada orang tua) dan acceptance and adjustment (penerimaan dan penyesuaian dengan kondisi diri dan anak). Tahapan-tahapan ini mungkin dapat terjadi satu demi satu pada beberapa orang, namun pada sebagian orang dalam mencapai tahap penerimaan tidak harus melalui keseluruhan tahap demi tahap diatas dan bisa hanya mengalami beberapa tahap saja serta tidak berurutan.

Dukungan dan penerimaan dari anggota keluarga khususnya ibu, akan

memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak tunagrahita untuk lebih

berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki. Terdapat dua

kemungkinan sikap yang akan dimunculkan oleh anggota keluarga terhadap anak

tunagrahita, yaitu menerima atau menolak. Secara normatif, sebagian besar orang

(27)

mereka telah ditakdirkan menjadi bagian dari keluarga (Hendriani, Handariyati &

Sakti, 2006).

Pada kenyataannya, respon “penerimaan” dari seorang ibu tidaklah selalu

sama pada setiap orang. Respon inilah yang akan menjelaskan apakah mereka

telah benar-benar menerima atau sebenarnya melakukan penolakan dengan

cara-cara dan perlakukan tertentu. Hal ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana

pola sebuah keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan keberadaan anak

yang “berbeda” tersebut.

Ibu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian dikarenakan mereka berperan langsung dalam kelahiran anak. Pandangan yang terbentuk pada ayah ataupun ibu juga sering menyebabkan kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian kehamilan dengan realitas keadaan anaknya. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita (Mangunsong, 1998).

(28)

tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya, seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya.

Bagi anak, tidak ada sumber kekuatan yang lebih penting selain orangtua. Ketika guru hanya bersifat sementara, orangtua merupakan figur utama dan tetap bagi kehidupan anak. Orangtua harus memberikan dukungan yang dibutuhkan anak secara konsisten, terus menerus dan sistematis (Smith, 2008). Bagi seorang anak tunagrahita tentunya lingkungan keluarga merupakan yang paling penting, khususnya orangtua, karena ketidakmampuan yang dirasakannya.

Walaupun berbeda dari anak normal lainnya, pada dasarnya anak tunagrahita tetap mempunyai hak-hak dasar sebagaimana anak normal. Anak-anak tunagrahita ini pun perlu memiliki waktu untuk bermain, belajar dan bersosialisasi dalam komunitas di lingkungannya. Mereka juga tidak luput dari kebutuhan untuk dicintai, dihargai serta diberikan kesempatan agar dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki (Payne dalam Hastuti & Zamralita, 2004). Dan terlebih bagi seorang ibu juga harus membantu anak tunagrahita dalam mengembangkan kemampuan pada berbagai aspek kehidupan seperti kognitif, komunikasi, bina-bantu diri, mobilitas, perkembangan panca indera, motorik halus dan kasar, dan sosial (Smith, 2008).

(29)

Ketika mengetahui anak mereka tidak akan melalui perkembangan layaknya orang normal akan menjadi stressor bagi ibu dari anak tunagrahita, dimana ibu merupakan figur yang lebih rentan terhadap stres dibandingkan ayah (Hallahan & Kauffman, 2006).

Beberapa studi menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita sering kali mengalami stres tingkat tinggi (Hendriks, DeMoor, Oud, & Savelberg; McKinney & Peterson; Rodrigue, Morgan, & Geffken; Smith, Oliver, & Innocenti dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Sebuah penelitian mengenai level stres orang tua dari anak yang memiliki gangguan dalam perkembangan (termasuk anak-anak tunagrahita), melaporkan bahwa ibu menunjukkan level stres yang sangat tinggi serta bereaksi negatif terhadap gangguan atau ketunaan si anak (McKinney & Peterson dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Hal ini berkaitan dengan ibu yang biasanya memegang peran utama, sedangkan ayah hanya memiliki peran sekunder dalam mengasuh anak. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa ayah menghabiskan waktu lebih sedikit dengan anak daripada ibu (Blairr, Wenk, & Hardesty, 1994).

(30)

berhubungan dengan jenis ketunaan anak , tingkat kognitif anak atau jenis kelamin anak.

Dari penelitian yang dilakukan Mitchell dan Hauser-Cram (2006) didapatkan bahwa penyedia layanan kesehatan mengantisipasi bahwa anak dengan tingkat kognitif rendah atau gangguan motorik tertentu akan menyebabkan stres tinggi pada ibunya. Tidak mengherankan, kesehatan anak secara keseluruhan ditemukan sebagai prediktif stres pada ibu, karena kekhawatiran tentang kesehatan fisik dan mental anak telah ditemukan dalam penelitian lain untuk menjadi sumber stres ibu dalam mengasuh anaknya (Turner, Sloper, Cunningham & Knussen, 1990).

Stres yang dialami oleh ibu yang memiliki anak tunagrahita berpengaruh pada cara ibu mengasuh anak yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada perkembangan kemampuan anak, baik dalam intelegensi, sosial dan fungsi mental lainnya. Oleh karena itu, agar dapat menjalankan peran efektif sebagai orang tua bagi si anak yang memiliki banyak keterbatasan, ibu harus bisa mengatasi stres yang dihadapi terlebih dahulu. Bila stres yang dialami dapat diatasi maka perlahan-lahan ibu juga akan mampu menerima kondisi anak mereka tersebut. Penerimaan diri si ibu sebagai orang tua dari anak tunagrahita serta penerimaan terhadap kondisi anak mereka akan memberikan energi positif bagi si ibu untuk mengembangkan kemampuan anak yang juga berdampak pada kesejahteraan ibu secara psikologis (Heward & Orlansky, 1992).

(31)

yang berdampak pada sikap dan pengasuhan terhadap sang anak, pengembangan dan pengaktualisasian potensi diri sebagai manusia, orang tua, istri dan bahkan anggota masyarakat dalam mencapai tujuan hidup yang semula sudah ditetapkan (Hastuti & Zamralita, 2004).

Bukan berarti seorang ibu, tidak mampu untuk menerima keadaan yang dimiliki oleh anaknya yang memiliki keterbatasan dan kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak lainnya, namun penerimaan mereka tersebut dapat muncul dan berkembang ketika seseorang memiliki kesejahteraan psikologis dalam keadaan yang baik, dimana penerimaan itu sendiri merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989). Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, memiliki tujuan hidup, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989).

(32)

bahagia, tentram dan dapat melakukan sesuatu hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada keluarga terutama orang tua. Salah satu faktor utamanya adalah keadaan emosional dan kesehatan fisik orang tua. Orang tua khususnya ibu merupakan jantung dari sebuah keluarga. Ibu dari anak-anak tunagrahita adalah orang-orang yang berurusan dengan isu yang terkait dengan kecacatan mental anak mereka dan di sisi lain mereka juga diperlukan untuk dapat mempertahankan rumah tangga. Sikap masyarakat terhadap anak tunagrahita atau anak yang memiliki gangguan mempengaruhi reaksi ibu terhadap kehadiran anak tersebut di dalam keluarganya (Maramis, 1994). Mengasuh anak-anak tunagrahita juga bukan merupakan hal yang mudah. Dalam mengasuh anak tunagrahita yang memiliki keterbelakangan mental, orang tua akan merasa terusik secara psikologis. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha dan strategi dari orang tua yang melibatkan kognitif dan perilaku secara aktif dalam mencari cara untuk mengatasi suatu peristiwa yang penuh dengan tekanan.

(33)

bantuan dari orang lain untuk meringankan beban yang dirasakan dan membantu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis ibu.

Ibu yang merasa stress dan memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah, akan merasa terganggu dalam membantu memenuhi kebutuhan anak tunagrahita sehari-hari dan memilih untuk lari dari keadaan (escape) dan menelantarkan anak mereka. Bagi ibu yang merasa bahagia dan sejahtera secara psikologis (psychologically-well) atau memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, tekanan dalam mengasuh dan memiliki anak tunagrahita akan dimaknai secara positif dan lebih baik. Keadaan tersebut tidak lagi dimaknai sebagai sebuah penderitaan yang menimbulkan keputus asaan, tetapi justru ibu akan berusaha melakukan upaya dan pengobatan yang terbaik bagi anak dengan mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi diri yang mereka miliki. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.

B. Perumusan Masalah

Penelitian ini akan mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita, dimana pertanyaan-pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut :

1. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita?

(34)

3. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi hubungan positif dengan orang lain?

4. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi otonomi?

5. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi penguasaan terhadap lingkungan?

6. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi tujuan hidup?

7. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi pertumbuhan pribadi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase dan memperoleh gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Menambah pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi, terutama di bidang psikologi perkembangan dan psikologi klinis

(35)

khususnya ibu yang memiliki anak tunagrahita atau keterbelakangan mental

2. Manfaat praktis

Memberikan informasi mengenai gambaran kesejahteraan psikologis pada orang tua khususnya ibu yang memiliki anak tunagrahita atau keterbelakangan mental.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah :

BABI : Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

(36)

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, instrument dan alat ukur penelitian, validitas dan reabilitas alat ukur, uji daya beda aitem, presedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

BAB IV : Hasil Analisa Data

Bab ini berisi analisa data dan pembahasan. Pada bagian ini berisi uraian yang akan membahas mengenai analisa data hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan mengenai hasil berkenaan dengan Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(37)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being ditemukan oleh Ryff (1989) yang menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Ryff (dalam Halim & Wahyu, 2005) juga menyatakan kesejahteraan psikologis sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya.

(38)

dan optimisme termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki (Bartram & Boniwell, 2007).

Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ryff menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (happiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

(39)

yang positif dalam diri yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

2. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis atau psychological well-being, yaitu:

a. Penerimaan diri (Self acceptance)

Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif, yang ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini. (Ryff dalam Keyes, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri. b. Hubungan yang positif dengan orang lain (Positive relation with others)

(40)

dengan baik. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Seseorang juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa seseorang kurang baik dalam dimensi ini.

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), kemandirian, bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis. d. Penguasaan terhadap lingkungan (Environmental mastery)

(41)

dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar. e. Tujuan hidup (Purpose of life)

Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental.

f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

(42)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada diri seseorang, yaitu:

a. Faktor Demografis 1. Usia

Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam Snyder & Lopez, 2002).

2. Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Snyder & Lopez, 2002) menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki individu. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik juga.

3. Jenis Kelamin

(43)

mandiri, sementara perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan pria.

4. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologisyang lebih tinggi.

b. Faktor Dukungan Sosial

(44)

c. Faktor Kompetensi pribadi

Kompetensi pribadi yaitu kemampuan atau skill pribadi yang dapat digunakan sehari-hari, didalamnya mengandung kompetensi kognitif.

d. Faktor Religiusitas

Hal ini berkaitan dengan transendensi segala pesoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).

e. Faktor Kepribadian

(45)

B. IBU

1. Defenisi Ibu

Ibu adalah wanita yang telah melahirkan seseorang (Depdiknas, 2001). Peranan ibu adalah sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anak. Menjadi ibu adalah dambaan bagi semua wanita karena ibu adalah seorang yang menentukan awal mula perkembangan anak dimana kodratnya sebagai wanita adalah melahirkan, menyusui dan merawat anak. Cinta kasih ibu terhadap anaknya merupakan jalinan emosi yang kuat (Kartono ,1992). Ibu mempunyai peranan penting untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota dalam keluarga (Effendy, 1998)

2. Perkembangan Wanita Dewasa sebagai Ibu

(46)

jawab untuk keluarga, memerlukan keterampilan dan kesiapan mental yang harus matang (Suryani & Hesti, 2008).

Seorang wanita menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya. Menjaga kehamilan hingga lahirnya anak merupakan hal yang seharusnya dilakukan setiap ibu. Menyeimbangkan peran sebagai seorang istri dan ibu bukanlah hal yang sepele.

Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga memberikan pengaruh besar bagi keluarga terutama bagi kehidupan seorang wanita karena mereka memiliki peran baru sebagai seorang ibu. Kondisi anak yang terlahir pun tentunya berpengaruh bagi kehidupan ibu secara keseluruhan. Membesarkan dan mengasuh anak tentunya juga merupakan tantangan yang lebih besar bagi seorang ibu.

3. Peran Ibu

Menjadi seorang ibu sangat sulit, karena beban seorang ibu adalah pemimpin untuk anak-anaknya. Dimana mereka menanggung beban yang berhubungan dengan anaknya, dan ibu merupakan orang pertama yang disalahkan ketika ada masalah atau anak berbuat kesalahan (Suryani & Hesti, 2008).

(47)

mengerjakannya. Norma sosial yang ditanamkan pada wanita adalah untuk tampil feminin, yaitu patuh, mengabdi, pasif, mengurus rumah tangga, dan bergantung pada orang lain. Mereka sadar, mereka harus bisa menjadi ibu yang sabar dan bijaksana untuk anak-anak serta menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu ruman tangga yang bertanggung jawab atas keperluan dan urusan rumah tangga. Sementara itu, dari dalam diri mereka pun sudah ada keinginan ideal untuk berhasil melaksanakan peran tersebut secara proporsional dan seimbang.

Selain masalah internal, masalah eksternal seperti pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh para ibu yang mempunyai anak kecil (balita). Semakin kecil usia anak, maka semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Hal ini dapat diringankan dengan adanya dukungan dari suami, sehingga tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan dan membahagiakan. Sebaliknya, jika suami istri dalam sebuah perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari dan mempengaruhi si istri dalam menjalankan perannya dalam kehidupan rumah tangga dengan optimal, khususnya berhubungan dengan anaknya.

4. Kesejahteraan Psikologis Ibu

(48)

kemungkinan bahwa mereka memperhatikan dan sebagai penerima reaksi emosi dari anggota keluarga lainnya (Larson dan Richards 1994). Kesejahteraan psikologis ibu bagaimanapun lebih cenderung dipengaruhi oleh rutinitas kegiatan pengasuhan sehari-hari. Ibu melaporkan kepuasan yang lebih besar mengenai pengasuhan dibandingkan ayah dan mereka lebih mendukung anak-anak mereka dibandingkan seorang ayah (Starrels, 1994). Dibandingkan dengan ayah, ibu lebih terlibat tanggung jawab untuk perawatan anak sehari-hari, yang menghadapkan mereka ke beberapa jenis perbedaan pendapat dan ketegangan dengan anak-anak mereka (Hochschild 1989). Jumlah anak-anak dalam rumah tangga juga menjadi prediktor penting ketegangan keluarga bagi ibu. Hal-hal ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada ibu dimana ibu berusaha untuk menyeimbangkan perannya sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, sebagai seorang istri yang mengurus rumah tangga dengan baik sekaligus memenuhi potensi-potensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai kepuasan hidupnya sendiri.

C. ANAK TUNAGRAHITA

1. Definisi Anak Tunagrahita

(49)

istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sulit untuk mengikuti program pendidikan biasa dan membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut.

(50)

Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata anak seusianya, memiliki hambatan dalam perilaku adaptif, ketidakcakapan dalam interaksi sosial dan hal ini terjadi dalam periode perkembangan anak.

2. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunagrahita

Pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya didasarkan pada tingkat kecerdasan atau taraf inteligensinya. Seseorang dapat dikatakan memiliki kecerdasan dibawah rata-rata biasanya dapat dilihat ketika adanya ketidaksesuaian antara Chronological Age (CA) dan Mental Age (MA). Chronological Age adalah usia kronologis si anak atau usia anak sebenarnya, sedangkan Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki seorang anak pada usia tertentu. Jika MA seorang anak lebih rendah daripada CA nya, maka anak tersebut memiliki kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah daripada CA secara signifikan (jelas). Klasifikasi menurut AAMD (American Assotiation on Mental Deficiency) dalam Amin (1995) adalah sebagai berikut:

a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)

(51)

lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyaraakat, mampu melakukan pekerjaan semi trampil dan pekerjaan sederhana.

b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)

Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30–50 dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri (self-help), mampu mengadakan adaptasi sosial dilingkungan terdekat, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan.

c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)

Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas.

(52)

d. Atensi. Perhatian sangat diperlukan dalam proses belajar. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar karena adanya masalah dalam memusatkan perhatian.

e. Daya ingat. Kebanyakan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam mengingat suatu informasi terutama yang rumit dan teoritis.

f. Self-regulation. Anak tunagrahita sering mengalami kesulitan dalam self-regulation-nya yaitu kemampuan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. g. Perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa yang terlambat atau menyimpang merupakan gejala yang dialami oleh anak-anak tunagrahita. Masalah dalam berbicara yang muncul misalnya kesalahan dalam artikulasi. h. Prestasi akademis. Hubungan antara inteligensi dengan prestasi seseorang sangatlah erat, maka anak-anak tunagrahita akan terhambat dalam semua prestasi akademisnya dibandingkan mereka yang normal. Mereka juga cenderung menjadi ‘underachiever’ dalam kaitan dengan harapan-harapan yang didasarkan pada tingkat kecerdasannya.

i. Perkembangan sosial. Anak-anak tunagrahita sering dikatakan memiliki konsep diri yang buruk, sulit mendapatkan teman dan kurang memahami bagaimana cara berinteraksi secara sosial dengan orang lain atau kemungkinan tidak mendapat kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain.

(53)

3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunagrahitaan

Beberapa di bawah ini akan dijelaskan faktor penyebab tunagrahita atau retardasi mental (Luckasson et al dalam Heward, 1996):

a. Penyebab Genetik dan Kromosom

Terdapat sejumlah bentuk-bentuk retardasi mental yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik dan kromosom.

1. Kerusakan Kromosom misalnya Trisomy 21 (Down Syndrome)

Down Syndrome adalah bentuk retardasi mental yang dikenal kebanyakan orang. Down Syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Keadaan yang paling sering terjadi adalah terbentuknya kromosom 21. kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.

2. Gangguan Metabolisme seperti Phenylketonuria (PKU)

Adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh keturunan dari dua gen yang terpendam dari orang tua yang membawa kondisi tersebut.

b. Penyebab Pra Kelahiran

Penyebab pada masa pra-kelahiran kadang-kadang terjadi setelah pembuahan sebelum kelahiran. Diantaranya:

1. Rubella (Cacar Air)

(54)

4. Pengaruh lingkungan seperti malnutrisi

5. Racun yang berasal dari obat-obatan dan alkohol

c. Penyebab Pada Saat Kelahiran

Masalah utama pada saat kelahiran yang mungkin menyebabkan retardasi mental adalah prematur. Bayi yang baru lahir sangat prematur berada pada resiko mengalami berbagai kesulitan fisik yang mungkin dapat dihubungkan dengan kerusakan otak. Namun banyak juga bayi yang lahir prematur akhirnya tumbuh dengan baik dan tidak menderita kerusakan. Semakin besar tingkat kelahiran prematur, maka semakin besar pula risikonya.

d. Penyebab Pada Masa Perkembangan Anak

1. Radang selaput otak (meningitis) 2. Kecelakaan yang menyebabkan cedera 3. Gangguan epilepsy atau kejang-kejang 4. Malnutrisi

4. Dampak Ketunagrahitaan Anak Terhadap Keluarga

Menurut Somantri (2007), orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat emosional.

(55)

gejala-gejala kelainan fisik (misalnya mongolisme) maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan.

Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu. Reaksi orang tua berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya atau terlambat diketahuinya. Faktor lain yang juga yang sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya kecacatan tersebut terlihat orang lain (Somantri, 2007).

Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi :

1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan, yang bisa dibagi dalam wujud: a. Proteksi biologis

b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, yang dapat mendorong untuk menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin.

c. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan 2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan

3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal. 4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri.

(56)

6. Merasa bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dan lebih suka menyendiri.

Orang tua dari anak tunagrahita dapat terganggu ketika menghadapi peristiwa-peristiwa kritis. Adapun saat-saat kritis itu terjadi pada saat berikut : 1. Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat.

2. Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk sekolah biasa, sebagai tanda bahwa anak tersebut normal.

3. Meninggalkan sekolah.

4. Orang tua bertambah tua, sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya yang cacat.

Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang tunagrahita. Mereka tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat. Dilihat dari sudut tertentu, baik juga seandainya anak tunagrahita dipisahkan di tempat-tempat penampungan. Tetapi bila dilihat dari sudut lain pemisahan seperti ini dapat pula mengakibatkan ketegangan orang tua, terlebih-lebih bagi ibu-ibu yang selama ini menyayangi orang tersebut (Somantri, 2007).

D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU YANG MEMILIKI ANAK

TUNAGRAHITA

(57)

lingkungan yang menjadi penyebab asli dari timbulnya berbagai bentuk kecacatan dan kelumpuhan anak. Ketidaknormalan yang terjadi pada seorang anak dapat disebabkan benih yang baik namun berada pada lingkungan yang buruk atau benih yang buruk yang berada pada lingkungan yang baik. Banyak sekali fenomena cacat fisik yang terjadi pada anak yang dahulu dianggap sebagai akibat turunan, namun kini diketahui bahwa penyebabnya adalah faktor lingkungan terutama karena kekurangan oksigen pada masa kehamilan. Perlu diketahui bahwa lingkungan pada masa perkembangan awal janin memberikan pengaruh kepada janin yang pengaruhnya lebih besar dari pengaruh lingkungan luar.

(58)

Sebagian besar orang tua dengan anak tunagrahita, menghadapi dua krisis utama (Kirk & Gallagher, 1989). Pertama, orang tua tentunya memiliki harapan-harapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti harapan-harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa anaknya berbeda dari anak normal, akan kehilangan mimpi dan harapan mereka. Bahkan beberapa dari orang tua mengalami depresi berat ketika mengetahui kenyataan tersebut (Farber dalam Kirk & Gallagher, 1989). Kedua, krisis yang dialami berhubungan dengan masalah untuk memberikan pelayanan sehari-hari bagi anak mereka yang tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya, seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Keberadaan anak berkelainan juga akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keluarga dan dalam interaksi satu sama lain.

Terdapat beberapa reaksi awal ibu terhadap anak tunagrahita hingga pada akhirnya mereka perlahan dapat menerima kondisi dirinya sebagai orang tua dari anak tunagrahita dan kondisi anak mereka. Kubler–Ross (dalam Garguilo,1985) membagi penerimaan menjadi tiga tahapan besar. Tahapan-tahapan itu adalah:

a. Primary Phase

1. Shock

Orangtua merasa terguncang, tidak mencapai apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tidak rasional di tandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya.

(59)

Orangtua menolak keadaan keluarganya dengan cara merasionalisasi kekurangan yang ada atau mencari penegasan dari para ahli bahwa tidak ada kekurangan.

3. Grief and Depression

Merupakan reaksi yang wajar dan tidak perlu dihindari. Dengan adanya perasaan ini orangtua mengalami masa transisi, dimana harapan masa lalu mengenai ‘anak yang seumpama’ tidak sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini.

b. Secondary Phase

1. Ambivalence

‘Kecacatan’ yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat meningkatkan intensitas kasih sayang sekaligus perasaan bencinya. Dalam hal ini seseorang dapat mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk anak atau justru menolak memberikan kasih sayang kepada anak dan menganggap anaknya tidak berguna.

2. Guilty Feeling

Perasaan bersalah karena menganggap dirinyalah yang menyebabkan anaknya mengalami cacat, dan dirinya akan dihukum karena dosanya di masa lalu.

3. Anger

Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama, timbulnya pertanyaan: mengapa saya? Kedua, displacement dimana rasa marah ditunjukkan kepada orang lain, sepertidokter, terapis atau anggota keluarga yang lain.

4. Shame and embarrasment

Perasaan ini timbul saat menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek ‘kecacatan’ anak.

(60)

Suatu strategi dimana orangtua membuat perjanjian dengan Tuhan, ilmu pengetahuan atau pihak manapun yang mampu membuat anaknya menjadi kembali normal.

2. Adaptation dan reorganization

Adaptation merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas dan reaksi emosional lainnya., sedangkan reorganization adalah kondisi dimana orangtua merasa nyaman dengan situasi yang ada dan terdapat rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk merawat dan mengasuh.

3. Acceptance dan Adjustment

Pada fase ini seseorang tidak hanya menerima kondisi penderita tetapi juga menerima kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri.. Adjustment atau penyesuaian diri adalah

tambahan untuk menjelaskan konsep acceptance, dimana terdapat suatu tindakan positif yang bergerak maju.

Tahapan-tahapan ini mungkin dapat terjadi satu demi satu pada beberapa orang, namun pada sebagian orang dalam mencapai tahap penerimaan tidak harus melalui keseluruhan tahap demi tahap diatas dan bisa hanya mengalami beberapa tahap saja serta tidak berurutan.

(61)

ibu dalam pengasuhan anak sangat penting dan membutuhkan dukungan penuh agar anak itu sendiri dapat hidup mandiri. Hubungan anak tunagrahita dengan ibunya sangatlah penting dibandingkan dengan hubungan anak yang inteligensinya normal dengan ibunya. Kepribadiannya, termasuk kestabilan atau ketidakstabilan emosinya, sampai pada batas tertentu mencerminkan kepribadian dan kestabilan atau ketidakstabilan emosional ibunya (Semiun, 2006).

Ibu dengan anak tunagrahita akan mengalami beragam bentuk pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan reaksi emosional negatif yang mengakibatkan penyesuaiannya kehidupan mereka (Findler & Proquest, 2000). Kondisi ini mempengaruhi kondisi ibu secara mental psikologis. Dalam kaitannya dengan kondisi psikologis, maka permasalahan penerimaan diri tidak lepas dalam kondisi ini.

(62)

malu yang kemudian menarik diri dari kehidupan sosial, dan ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis ibu secara keseluruhan.

Ibu dari anak tunagrahita harus menerima dan membantu anak dalam menyesuaikan diri. Jika anak merasa aman dalam hubungan dengan keluarganya dan mengetahui bahwa orang tuanya benar-benar memperhatikannya maka ini akan banyak membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan dunia luar. Ibu dari anak tunagrahita yang bisa menerima kondisi anaknya lebih banyak memberikan rasa kasih sayang serta perhatiannya yang lebih terhadap anaknya. Namun ibu yang tidak bisa menerima kondisi anaknya, memilih untuk menjauhi serta berusaha untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan anaknya yang tunagrahita. Biasanya ibu dari anak tunagrahita merasa sangat terbebani secara fisik maupun mental saat harus merawat anaknya sehingga banyak menutup diri dari pekerjaan maupun kegiatan di luar rumah. Ibu dengan anak tunagrahita juga harus mampu memenuhi kebutuhan psikologisnya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan agar dapat mengasuh anaknya dengan baik. Konsultasi ibu sangat penting untuk mengatasi stres serta bisa membantu mengidentifikasi rasa marah dan bersalah yang mungkin timbul pada ibu dalam situasi ini (Yulius dalam Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012).

(63)
(64)

Kerangka pemikiran

Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Reaksi ibu

Semua orang tua ingin mempunyai anak normal

Faktanya, banyak anak yang terlahir tidak normal.

Salah satunya  Tunagrahita

Menerima kondisi anak dengan lapang dada

Shocked, menolak Tidak dapat menerima kondisi anaknya

Kesejahteraan Psikologis Ibu

Menurut Ryff (1989), ada 6 dimensi Kesejahteraan Psikologis :

1. Penerimaan diri

2. Hubungan yang positif dengan orang lain 3. Otonomi

4. Penguasaan terhadap lingkungan 5. Tujuan hidup

(65)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian mengenai gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita adalah metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif yaitu metode dalam meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu gejala pada masa sekarang. Tujuan dengan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Azwar, 2004).

Data yang dikumpulkan dalam penelitian deskriptif ini semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi (Hadi, 2002). Menurut Azwar (2007), penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerik (angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistik.

(66)

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel, dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Pengolahan dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Hasan, 2003).

A. Identifikasi Variabel

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita adalah kondisi psikologis seorang ibu yang ditandai dengan keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yang memiliki enam dimensi kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan terhadap lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

(67)

rendah pada skala kesejahteraan psikologismenunjukkan kesejahteraan psikologis yang rendah pada individu. Semakin tinggi skor yang dimiliki oleh seseorang maka semakin baik kesejahteraan psikologisnya. Sebaliknya semakin rendah skor yang dimiliki oleh seseorang maka semakin rendah pula kesejahteraan psikologisnya.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Sugiyono (2012) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan menurut Hadi (2000), populasi diartikan sebagai sejumlah individu yang setidaknya mempunyai satu ciri-ciri atau sifat yang sama. Populasi adalah keseluruhan unit dimana hasil penelitian akan digeneralisasikan. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

(68)

dengan pasti. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 101 orang untuk uji coba dan 80 orang uji sebenarnya. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka karakteristik sampel atau subjek dalam penelitian ini adalah :

a. Ibu yang memiliki minimal satu anak tunagrahita. Seperti yang dinyatakan oleh Mangunsong (1998) dan Hallahan & Kauffman (2006), ibu merupakan sosok yang berperan langsung dalam mengandung, melahirkan, dan merawat anak maka ibu lebih rentan dalam kondisi psikologisnya.

b. Ibu memiliki anak tunagrahita dengan rentang usia 3-13 tahun sesuai dengan usia prasekolah hingga usia sekolah dasar pada anak normal menurut Hurlock (2004). Memasuki saat usia akan masuk sekolah, orang tua seringkali mengalami saat-saat ‘kritis’ dalam menangani anak dengan keterbelakangan mental (Somantri, 2007).

2. Metode Pengambilan Sampel

Gambar

Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang
Tabel 1. Cara Penilaian Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang
Tabel 2. Blue Print Distribusi aitem Skala Gambaran Kesejahteraan Psikologis
Tabel. 3 Distribusi Aitem-Aitem Skala Gambaran Kesejahteraan Psikologis
+7

Referensi

Dokumen terkait

3.1.2.2 Peserta didik dapat menjelaskan paham kolonialisme dan perkembanganya di negara Eropa. 3.1.3.1 Peserta didik dapat menjelaskan sebab munculnya Revolusi Industri, makna

Situs pemesanan tiket kereta ini dibuat melihat kondisi sekarang dimana keterbatasan.jumlah petugas di loket loket penjualan tiket juga menyebabkan kesulitan dalam melayani

Berdasarkan aturan dalam pelelangan umum dengan pascakualifikasi, maka panitia pengadaan diharuskan melakukan pembuktian kualifikasi terhadap data-data kualifikasi perusahaan,

Penulis sekiranya dapat memberikan alternatif pilihan dalam pengaturan lampu lalu lintas tersebut sehingga dapat mengurangi kemacetan pada suatu

Namun, metrologi legal hanya merambah dari segi keabsahan dan kebenaran alat-alat ukur, takar dan timbangan yang dipakai para pedagang, tidak merambah pada prilaku dan cara

Pada proses ini bahan baku yang digunakan adalah ethyl alcohol

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Islam 1 Durenan sebagai tempat untuk penelitian dengan kaitannya tentang implementasi kegiatan keagamaan dalam membentuk perilaku siswa

Studi Penggunaan Obat Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Nefropati... ADLN Perpustakaan