PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN HUKUM
PERSEROAN YANG DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS
(DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KITAB
UNDANG-UNDANGHUKUM PERDATA)
TESIS
Oleh
VERONICA TAMPUBOLON
087011127/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN HUKUM
PERSEROAN YANG DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS
(DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
VERONICA TAMPUBOLON
087011127/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Ekonomi global menuntut kepastian hukum dalam pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Dengan demikian, diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi dunia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), dalam penjelasan umumnya menjawab tantangan global diatas oleh karena UUPT mengakomodir kepastian hukum melalui pengaturan mengenai salah satu bentuk badan usaha ”Perseroan Terbatas”.
UUPT secara jelas mengatur bahwa peran notaris mutlak diperlukan dalam keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Secara sederhana, UUPT mengatur bahwa perbuatan hukum Perseroan ada yang secara tegas wajib dimuat dalam Akta Notaris dan ada juga perbuatan hukum yang ke-akta-annya diserahkan pada pilihan para pihak. UUPT menetapkan bahwa perbuatan hukum berikut ini harus dituangkan dalam akta notaris: Akta Pendirian; perubahan Anggaran Dasar; dan perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan dan Pengambilalihan Saham. UUPT secara sengaja mensyaratkan Akta Notaris untuk pembuktian tertulis yang mempunyai sifat otentik terhadap para pihak sehingga diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang memerlukan kepastian hukum. Ketiadaan Akta Notaris dapat mempengaruhi eksistensi serta validitas dari perbuatan hukum Perseroan diatas.
Secara umum dapat dipahami bahwa Direksi adalah nahkoda bagi Perseroan, yaitu pemegang amanah yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan, yaitu Direksi wajib secara hukum melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan standar kewajiban (standard of
duty) yang paling tinggi, yaitu peraturan perundangan yang berlaku dan anggaran dasar.
Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam Akta Notaris.
Dalam hal Direksi lalai melaksanakan tanggung jawab atas pengurusan Perseroan sehingga Perseroan dirugikan, Direksi dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara jabatan Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Dewan Komisaris. Lebih dari itu, Direksi juga dapat diberikan sanksi tanggung jawab perdata oleh karena Direksi wanprestasi untuk tidak melakukan pengurusan Perseroan sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasar, yang diantaranya mengatur secara tegas bahwa perbuatan hukum korporasi tertentu harus dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Wanprestasi tersebut merupakan “Perbuatan Melawan Hukum” sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata. Mekanisme meminta pertanggungjawaban perdata dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
ABSTRACT
Global economy requires legal certainty in business development that in accordance with good corporate governance principal. Accordingly, required national ruling product that compatible with the world economy movement. Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company (“UUPT), in its general elucidation response to the global challenge due to UUPT accommodate legal certainty through the detailed ruling of one of business vehicle ”Limited Liability Company”.
UUPT clearly stipulates that notary role is mandatorily required in the existence of the Company as legal entity. Simply, UUPT stipulates that there are corporate actions that must be made in a Notarial Deed, and there are corporate actions that the form of deed is at the options of the parties. UUPT determined that the following corporate actions must be in a notarial deed: Deed of Establishment; amendment to the Articles of Association; and corporate actions of Merger, Amalgamation, Acquisition, Dissolution and Shares Acquisition. UUPT intentionally requires Notarial Deed for written evidence that has otenticity character against the parties so that expected to fulfill the public needs of the legal certainty. Nonexistence of Notarial Deed may affect the existence as well as the validity of the said corporate actions.
Generally it is understood that Directors are the captain of the Company, which is the trustee who must act as the authorizee. Directors hold fiducia position in the management
of the Company, namely Directors legaly oblige to implement the company’s management in
accordance with the highest standard of duty, ie the prevailing regulations and Articles of Association. One of the Directors’ obligation and responsibility in obeying the regulation is attentiveness and complying to the formal requirement of certain corporate actions that must be made in Notarial Deed.
In the event the Directors fail to implement their responsibility for the Company’s management until the Company is loss, Directors may be imposed an administrative sanctioned by temporarily discharged from the Directors position by General Meeting of Shareholders or Board of Commissioners. More than that, Directors may also be imposed civil responsibility sanction for Directors have commit a breach for not managing the Company in accordance with UUPT and Articles of Association, which clearly stipulates that
certain corporate actions must be made in a Notarial Deed. The breach is ”Act That Breaks
The Law” (commonly interpret as ”tort”) as mentioned by Article 1365 of Civil Code. The mechanism to enforce civil sanctioned can be implemented by submitting a civil claim with the indemnity claim based on Article 1365 of Civil Code.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia
yang tercurah sehingga tesis “Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan yang
dimuat dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)” dapat
diselesaikan dengan baik. Judul tersebut diatas sengaja dipilih karena penulis tertarik
untuk mendalami tentang Perseroan Terbatas, terutama mengenai perbuatan hukum
dalam lingkup Perseroan Terbatas. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas
Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, arahan, masukan, bantuan dan
dorongan semangat dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat diselesaikan dengan
baik. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya
dengan tulus ikhlas kepada:
1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI, selaku Ketua Komisi Pembimbing.
Ditengah aktivitas yang padat, beliau berkenan membimbing, mengarahkan
penulis dengan kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa, serta meminjamkan
banyak buku/literatur yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis dan tesis ini;
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing,
masukan dan dorongan kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis
ini;
3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, CD, selaku Anggota Komisi Pembimbing,
yang telah membantu dan memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan
demi perbaikan tesis ini;
4. Prof. Dr. Moh. Yamin Lubis, SH, CN, M.Hum dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar,
SH, CN, M.Hum, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister
Kenotariatan sekaligus juga selaku dosen penguji tesis ini, yang telah mengajar
dan mengarahkan sejak awal pendidikan hingga selesainya tesis ini;
5. Bapak-bapak dan ibu-ibu para pengajar serta staf pada Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan
bantuan selama saya menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan,
Universitas Sumatera Utara; dan
6. Seluruh teman-teman mahasiswa, khususnya Kelas Reguler Grup A, yang tidak
bisa saya sebutkan satu per satu, atas kebersamaan dan suka duka selama
menempuh pendidikan di Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan juga kepada suami terkasih,
Okto Mardohartua Siburian, yang telah mendampingi penulis dengan penuh
perhatian, pengertian, dorongan dan kasih sayang selama mengikuti pendidikan
hingga akhirnya bisa menyelesaikan tesis ini. Akhirnya, ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya disampaikan kepada orang tua; (Alm) Mulatua Tampubolon dan
dukungan moril dan do’a turut membantu penulis dalam menyelesaikan studi di
Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.
Harapan penulis adalah tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama :Veronica Tampubolon
Tempat/Tanggal Lahir :Jakarta, 2 Oktober 1974
Status :Menikah
Agama :Kristen Protestan
Alamat :Jalan Sei Mencirim No. 49, Medan Baru,
Medan
II. Pendidikan
1. SD Negeri 03 Kebon Baru, Jakarta Selatan
2. SMP Negeri 3, Manggarai, Jakarta Selatan
3. SMA Negeri 8, Bukit Duri, Jakarta Selatan
4. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (S-1)
5. Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas
DAFTAR ISI
1. Jenis dan Sifat Penelitian ...
2. Sumber Bahan Hukum ...
3. Teknik Pengumpulan Data ...
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...
46
46
48
49
BAB II: PERBUATAN HUKUM PERSEROAN YANG WAJIB DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS ...
51
A. Hakikat Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum ...
1. Ketentuan dan Tata Cara Pendirian Perseroan Terbatas ..
2. Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum ...
3. Organ Perseroan Terbatas ...
4. Prinsip-prinsip Hukum Perseroan Terbatas ...
51 Persyaratan Formal untuk Dimuat dalam Akta Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas ... 80
BAB III: SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS PEMENUHAN PERSYARATAN FORMAL UNTUK MEMUAT PERBUATAN HUKUM TERTENTU DALAM
AKTA NOTARIS ... 89
A. Peran dan Kedudukan Direksi Pada Perseroan Terbatas ...
1. Kepengurusan Perseroan oleh Direksi ...
2. Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Pada Umumnya ………...
3. Perwakilan Perseroan oleh Direksi dan Penerapan Prinsip Fiduciary Duty oleh Direksi Berdasarkan UUPT Terkait dengan Kewajiban Memenuhi Persyaratan Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Dimuat dalam Akta Notaris ...
89
91
96
B. Pertanggungjawaban Direksi atas Pemenuhan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam
Akta Notaris ... 113
1. Tanggung Jawab Perdata (Civil Liability) Direksi Sehubungan dengan Pemenuhan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam Akta Notaris ... 119
2. Tanggung Jawab Pidana (Criminal Liability) Direksi Sehubungan dengan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam Akta Notaris ... 126
BAB IV: FUNGSIONAL AKTA NOTARIS DALAM PERSEROAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS, UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ... 130
A. Notaris dan Akta-Aktanya ... 1. Tugas dan Wewenang Notaris ... 2. Otentisitas Akta Notaris, Minuta, In Originali, Salinan, Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ... 150
C. Pertanggungjawaban Notaris atas Cacat atau Kebatalan Akta yang Memuat Perbuatan Hukum Perseroan ... 160
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 168
A. Kesimpulan ... 168
B. Saran ... 170
DAFTAR GAMBAR/BAGAN
No Judul Halaman
A. Permohonan Pendirian Perseroan……….………..… 59
B. Pengesahan, Pendaftaran dan Pengumuman Pendirian Perseroan…. 64
C. Perbuatan Hukum Perseroan dalam Kaitannya dengan Akta
Notaris……….... 81
ABSTRAK
Ekonomi global menuntut kepastian hukum dalam pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Dengan demikian, diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi dunia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), dalam penjelasan umumnya menjawab tantangan global diatas oleh karena UUPT mengakomodir kepastian hukum melalui pengaturan mengenai salah satu bentuk badan usaha ”Perseroan Terbatas”.
UUPT secara jelas mengatur bahwa peran notaris mutlak diperlukan dalam keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Secara sederhana, UUPT mengatur bahwa perbuatan hukum Perseroan ada yang secara tegas wajib dimuat dalam Akta Notaris dan ada juga perbuatan hukum yang ke-akta-annya diserahkan pada pilihan para pihak. UUPT menetapkan bahwa perbuatan hukum berikut ini harus dituangkan dalam akta notaris: Akta Pendirian; perubahan Anggaran Dasar; dan perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan dan Pengambilalihan Saham. UUPT secara sengaja mensyaratkan Akta Notaris untuk pembuktian tertulis yang mempunyai sifat otentik terhadap para pihak sehingga diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang memerlukan kepastian hukum. Ketiadaan Akta Notaris dapat mempengaruhi eksistensi serta validitas dari perbuatan hukum Perseroan diatas.
Secara umum dapat dipahami bahwa Direksi adalah nahkoda bagi Perseroan, yaitu pemegang amanah yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan, yaitu Direksi wajib secara hukum melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan standar kewajiban (standard of
duty) yang paling tinggi, yaitu peraturan perundangan yang berlaku dan anggaran dasar.
Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam Akta Notaris.
Dalam hal Direksi lalai melaksanakan tanggung jawab atas pengurusan Perseroan sehingga Perseroan dirugikan, Direksi dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara jabatan Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Dewan Komisaris. Lebih dari itu, Direksi juga dapat diberikan sanksi tanggung jawab perdata oleh karena Direksi wanprestasi untuk tidak melakukan pengurusan Perseroan sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasar, yang diantaranya mengatur secara tegas bahwa perbuatan hukum korporasi tertentu harus dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Wanprestasi tersebut merupakan “Perbuatan Melawan Hukum” sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata. Mekanisme meminta pertanggungjawaban perdata dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
ABSTRACT
Global economy requires legal certainty in business development that in accordance with good corporate governance principal. Accordingly, required national ruling product that compatible with the world economy movement. Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company (“UUPT), in its general elucidation response to the global challenge due to UUPT accommodate legal certainty through the detailed ruling of one of business vehicle ”Limited Liability Company”.
UUPT clearly stipulates that notary role is mandatorily required in the existence of the Company as legal entity. Simply, UUPT stipulates that there are corporate actions that must be made in a Notarial Deed, and there are corporate actions that the form of deed is at the options of the parties. UUPT determined that the following corporate actions must be in a notarial deed: Deed of Establishment; amendment to the Articles of Association; and corporate actions of Merger, Amalgamation, Acquisition, Dissolution and Shares Acquisition. UUPT intentionally requires Notarial Deed for written evidence that has otenticity character against the parties so that expected to fulfill the public needs of the legal certainty. Nonexistence of Notarial Deed may affect the existence as well as the validity of the said corporate actions.
Generally it is understood that Directors are the captain of the Company, which is the trustee who must act as the authorizee. Directors hold fiducia position in the management
of the Company, namely Directors legaly oblige to implement the company’s management in
accordance with the highest standard of duty, ie the prevailing regulations and Articles of Association. One of the Directors’ obligation and responsibility in obeying the regulation is attentiveness and complying to the formal requirement of certain corporate actions that must be made in Notarial Deed.
In the event the Directors fail to implement their responsibility for the Company’s management until the Company is loss, Directors may be imposed an administrative sanctioned by temporarily discharged from the Directors position by General Meeting of Shareholders or Board of Commissioners. More than that, Directors may also be imposed civil responsibility sanction for Directors have commit a breach for not managing the Company in accordance with UUPT and Articles of Association, which clearly stipulates that
certain corporate actions must be made in a Notarial Deed. The breach is ”Act That Breaks
The Law” (commonly interpret as ”tort”) as mentioned by Article 1365 of Civil Code. The mechanism to enforce civil sanctioned can be implemented by submitting a civil claim with the indemnity claim based on Article 1365 of Civil Code.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi dunia serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi
sudah berkembang dengan begitu pesat, sehingga globalisasi telah menjadi fenomena
yang akrab dengan aktivitas ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Era globalisasi yang
telah melanda dunia mengandung kompleksitas akan faktor-faktor kompetitif yang
mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Terlebih lagi, pada bulan September 2009 lalu, Indonesia telah resmi menjadi
bagian dari Grup 20 (selanjutnya disebut ”G-20”), yaitu kelompok non-formal
negara-negara industri yang mendominasi perekonomian internasional. Sebagai
anggota G-20 yang nantinya memiliki hak suara, Indonesia menjadi lebih mampu
menyuarakan kepentingan nasional dan regional Asia Tenggara, misalnya terkait
dengan masalah investasi. Elevasi peran G-20 ini menjadikan Indonesia akan selalu
berada dalam ”radar” pelaku ekonomi global dan keadaan itu membuat keberadaan
Indonesia diakui dunia231. Terkait dengan pengakuan dunia atas eksistensi Indonesia,
jika Indonesia sebagai bagian dari dunia ingin mampu bersaing dengan negara-negara
lain, maka perekonomian Indonesia perlu didukung oleh kepastian hukum yang dapat
memberikan daya saing hukum atau kelebihan hukum. Pengaruh dari perkembangan
231 Kompas. Indonesia dan G-20. 29 September 2009. Diunduh dari website
ekonomi global tersebut lebih tampak dari sisi produk hukum, yaitu meningkatnya
tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan
pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang
baik (good corporate governance, selanjutnya disebut ”GCG”)232. Dengan demikian,
diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi
dunia. Dalam rangka pemulihan ekonomi Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia
bersama dengan International Monetary Fund (IMF) lebih menggiatkan perkenalan
dan pelaksanaan prinsip GCG sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat. Konsep
ini pada mulanya diharapkan dapat melindungi kepentingan pemegang saham dan
kreditur agar dapat kembali memperoleh investasinya. Pelaksanaan GCG dilakukan
dengan cara meningkatkan pengawasan Dewan Komisaris, dengan bantuan Komite
Audit (audit committee), terhadap kegiatan anggota Direksi. Tujuannya adalah agar
Perseroan dapat berusaha dengan efektif dan profesional. Penerapan konsep GCG di
Indonesia diharapkan dapat meningkatan profesionalisme para pengurus Perseroan
serta meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham, tanpa mengabaikan
kepentingan pihak lain yang terkait dengan perusahaan itu sendiri (stakeholders).
Pasca pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade
Organisation (WTO)233, Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 7 Maret 1995, yang juga mencabut
232 Penjelasan Umum, Paragrap 2, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (selanjutnya disebut ”UUPT”)
233 Pendirian WTO ditetapkan dalam Final Act Embodying The Result of the Uruguay Round
dualisme peraturan perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 36 sampai
dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut
”KUHD”). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan ekonomi serta dunia usaha yang semakin pesat, baik secara nasional
maupun internasional, sehingga diganti dengan undang-undang yang baru, yaitu
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang berlaku
efektif pada tanggal 16 Agustus 2007 (selanjutnya disebut ”UUPT”).
Sebelum berlakunya UUPT, roda perekonomian Indonesia ditopang oleh
beberapa bentuk badan usaha, seperti koperasi, persekutuan komanditer
(commanditaire vennootschap - CV), firma, usaha dagang (UD) dan bentuk
persekutan perdata lainnya; namun Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut
”Perseroan”), sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional,
merupakan pranata hukum utama yang paling banyak dipakai sebagai wahana untuk
melakukan kegiatan bisnis dan ekonomi. Hal ini karena Perseroan dianggap lebih
dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.
1. Perseroan Terbatas
Perseroan sebagai salah satu bentuk organisasi usaha merupakan pilihan yang
paling tepat bagi setiap pelaku atau aktor ekonomi dalam menghadapi persaingan
global, mengingat Perseroan sebagai badan hukum234 telah menggariskan secara tegas
pemisahan harta kekayaan pribadi pemilik modal (pemegang saham) dengan
234
kekayaan Perseroan. Kelahiran Perseroan sebagai badan hukum (legal entity) karena
dicipta atau diwujudkan melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Itu sebabnya, untuk dapat diakui keberadaannya sebagai badan
hukum, Perseroan harus memenuhi formalitas dari suatu peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Tahapan proses pendirian Perseroan sebagai badan
hukum, termasuk perizinan dasar yang diperlukan suatu Perseroan dapat dijelaskan
secara mendetil dibawah ini. Tahap pertama, pendiri Perseroan, yang minimal terdiri
dari 2 (dua) orang235, menentukan ruang lingkup Perseroan dan hal-hal lain yang akan
dimuat dalam akta pendirian Perseroan, yang sekaligus juga merupakan Anggaran
Dasar dari Perseroan tersebut. Para pendiri akan berkonsultasi dengan Notaris
mengenai isi akta tersebut. Hal ini karena pendirian Perseroan harus dibuat dengan
akta otentik dan dilakukan oleh Notaris yang berwenang di wilayah Republik
Indonesia. Tahap kedua, Notaris akan melakukan pengecekan nama Perseroan236.
Pengecekan dilakukan untuk mengetahui apakah nama Perseroan yang dipilih sudah
dimiliki perusahaan lain atau belum. Jika belum, nama tersebut langsung bisa
didaftarkan oleh Notaris melalui Sistem Administrasi Badan Hukum atau disingkat
SABH, yang dahulu bernama sistem administrasi badan hukum atau disingkat
SISMINBAKUM. Sebaliknya, jika nama Perseroan sudah dimiliki, maka para pendiri
harus mengganti dengan nama yang lain. Proses pendaftaran dilakukan oleh Notaris
untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
235 Pasal 7 ayat (1) UUPT 236
Republik Indonesia (”Menteri Hukum dan HAM”) sesuai dengan UUPT juncto
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan
Terbatas. Tahap ketiga, pembuatan draft/notulen Anggaran Dasar. Draf/notulen
Anggaran Dasar dibuat berdasarkan informasi yang diberikan oleh para pendiri
didalam formulir pendirian Perseroan dan Surat Kuasa. Tahap keempat, pembuatan
akta pendirian Perseroan oleh Notaris yang berwenang. Proses pembuatan akta
pendirian dilakukan setelah nama Perseroan disetujui. Akta pendirian akan dibuat dan
ditandatangani oleh Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
UUPT237. Tahap kelima, permohonan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Bagi
Perseroan yang telah terdaftar akan diberikan sertifikat TDP sebagai bukti bahwa
perusahaan telah melakukan Wajib Daftar Perusahaan sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1998, dan aturan pelaksana yang diatur dalam Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/MPP/Kep/1/1998
tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Wajib Daftar Perusahaan238 serta Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang
Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan. Tahap terakhir, pengumuman dalam Berita
Acara Negara Republik Indonesia. Setelah Perseroan melakukan wajib daftar
perusahaan dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, maka
237
Pasal 7 ayat (1) UUPT
238 Perseroan wajib mendaftarkan perusahaan yang terdiri atas: (a) Akta Pendirian sesuai
akta pendirian harus diumumkan dalam Berita Negara/Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia (”BNRI”) dan perusahaan yang telah diumumkan dalam BNRI
telah sempurna proses pendiriannya.
Dengan status Perseroan sebagai badan hukum, yaitu sejak tanggal
diterbitkannya keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai pengesahan badan
hukum Perseroan, maka sejak saat itu hukum memperlakukan pemilik atau pemegang
saham, dan pengurus atau Direksi dan Komisaris, terpisah dari Perseroan itu sendiri.
Hal ini berarti bahwa Perseroan mempunyai personalitas atau kepribadian berbeda
dari orang-orang yang menciptakannya. Maksudnya, meskipun bila para pengurus
atau Direksi terus berganti, Perseroan tetap memiliki identitas sendiri terlepas dari
adanya pergantian anggota Direksi atau pemegang sahamnya. Perseroan, sebagai
badan hukum yang berwujud artificial, diciptakan negara melalui serangkaian proses
hukum untuk proses kelahirannya, yaitu harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan peraturan perundang-undangan. Apabila persyaratan tersebut tidak
terpenuhi, kepada Perseroan yang bersangkutan tidak diberikan keputusan
pengesahan untuk berstatus sebagai badan hukum oleh Pemerintah Republik
Indonesia, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM239. Meskipun Perseroan adalah
badan hukum artificial, namun Perseroan tidak fiktif. Sebaliknya, Perseroan
nyata-nyata ada serta melakukan kegiatan bisnis atau kegiatan usaha ditengah-tengah
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Perseroan tidak hanya sebagai badan
239 M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. Juni 2009. Hlm.
hukum melainkan juga sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban
seperti layaknya subyek hukum lain, yaitu manusia.
Sebagaimana layaknya manusia, Perseroan juga memiliki organ yang terdiri
atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris240.
RUPS adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
undang-undang dan/atau Anggaran Dasar241. RUPS terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS
lainnya242 yang sering juga disebut dengan RUPS Luar Biasa. RUPS tahunan wajib
dilaksanakan tiap tahun yaitu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku,
sedangkan RUPS lainnya dapat diadakan dalah hal-hal tertentu dengan kepentingan
tertentu243. Selanjutnya, penjabaran dari definisi tersebut diatas diatur dalam Pasal 75
UUPT:
(1) RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
(2) Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.
Direksi merupakan dewan direktur (board of directors) yang dapat terdiri atas
satu atau beberapa orang direktur244. Sekaligus juga, Direksi adalah organ Perseroan
yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan
tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar245. Dewan Komisaris adalah organ
Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta
memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan246. Dewan
Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota harus bertindak secara
kolegalial atau majelis dan tidak dapat bertindak sendiri-sendiri247. Dalam hal atau
keadaan tertentu Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan, dan
bagi Komisaris berlaku semua hak, wewenang dan kewajiban Direksi248.
Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa UUPT tetap
mempertahankan pola organ Perseroan yang diatur terdahulu pada KUHD, yaitu
Pasal 44 (Direksi atau Pengurus), Pasal 52 (Dewan Komisaris) dan Pasal 55 (RUPS).
Pola organ Perseroan yang diatur dalam KUHD tersebut diatas dilanjutkan oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang ditegaskan
pada Pasal 1 angka 2 yang mengatur bahwa organ Perseroan terdiri dari RUPS,
Direksi dan Komisaris. Ketentuan tentang organ Perseroan berlanjut terus pada
UUPT.
244
Pasal 92 ayat (3) UUPT
245 Pasal 1 angka 5 UUPT 246 Pasal 1 angka 6 UUPT 247 Pasal 108 ayat (4) UUPT 248
2. Kewenangan dan Pertanggungjawaban Direksi dalam Kaitannya dengan Teori Fiduciary Duty
Meskipun RUPS memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi
atau Dewan Komisaris, namun sangat nyata terlihat bahwa untuk alasan praktis maka
RUPS mengangkat249 satu atau beberapa orang menjadi anggota Direksi250 untuk
menyelenggarakan kegiatan usaha sehari-hari dari Perseroan tersebut. Tidak
sembarangan orang bisa duduk di jajaran Direksi. Agar bisa diangkat ke jajaran elite
Perseroan, tentu ada banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang. UUPT
menegaskan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah seseorang
yang cakap melakukan perbuatan hukum251. Selain itu, UUPT mensyaratkan bahwa
dalam lima tahun terakhir, calon Direksi tidak sedang dinyatakan pailit252, menjadi
anggota Perseroan yang dinyatakan pailit253 atau dihukum karena merugikan
keuangan negara254. Instansi teknis pun dapat menentukan syarat tambahan bagi
jabatan Direksi berdasarkan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku255.
Jelaslah bahwa menjadi Direksi pada suatu Perseroan tidak mudah.
Hal ini penting mengingat Direksi menjadi nahkoda bagi perusahaan, orang
yang akan membawa kapal perusahaan ke arah yang dituju. Dalam keadaan normal,
Direksi perlu mengambil kebijakan agar kinerja perusahaan terus membaik. Dalam
paling tidak mempertahankan perusahaan dari terpaan krisis. Upaya-upaya tersebut
dituangkan dalam bentuk kebijakan Direksi. Direksi adalah organ Perseroan yang
langsung bertanggung jawab penuh atas kepengurusan kegiatan sehari-hari ataupun
rutin dari Perseroan. Pasal 1 angka 5 UUPT mengatur bahwa Direksi adalah organ
Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta
mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar.
Pengertian pelaksanaan pengurusan oleh Direksi meliputi pengelolaan dan
memimpin tugas sehari-hari yakni membimbing dan membina kegiatan atau aktivitas
Perseroan kearah pencapaian maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam Anggaran
Dasar256. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 92 ayat (1) dan (2)
UUPT yang mengatur bahwa penugasan Direksi adalah untuk mengurus Perseroan
sehari-hari dengan “kebijakan yang dipandang tepat“, yaitu kebijakan yang antara
lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia
usaha yang sejenis. UUPT dan formulir Anggaran Dasar standar perusahaan secara
implisit memberi hak kepada Direksi untuk:
(a) menetapkan kebijakan dalam memimpin pengurusan perusahaan;
(b) mengatur ketentuan-ketentuan tentang kepegawaian perusahaan, termasuk
penetapan gaji, pensiun atau jaminan hari tua dan penghasilan lain untuk
256
para pegawai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan keputusan RUPS;
(c) mengangkat dan memberhentikan pegawai berdasarkan peraturan
kepegawaian perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
(d) mengatur penyerahan kekuasaan Direksi untuk mewakili perusahaan
didalam dan diluar Pengadilan kepada seorang atau beberapa orang
anggota Direksi yang khusus ditunjuk untuk itu atau kepada seorang atau
beberapa orang pegawai baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau
kepada orang lain; dan
(e) menjalankan tindakan-tindakan lainnya, baik mengenai pengurusan
maupun mengenai pemilikan kekayan perusahaan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan yang
ditetapkan oleh RUPS berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Disisi lain, undang-undang yang sama juga memberikan kewajiban
kepada Direksi untuk:
(a) membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan
risalah rapat Direksi257;
(b) membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan258;
257
(c) memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan
sebagaimana dimaksud diatas dan dokumen Perseroan lainnya259;
(d) menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Anggaran Dasar dan yang ditetapkan oleh RUPS berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari uraian tersebut diatas, dapat dilihat bahwa fungsi penugasan Direksi
adalah untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari
dari Perseroan. Dengan perkataan lain, Direksi melaksanakan pengelolaan atau
menangani bisnis Perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan
usaha Perseroan dalam batas-batas kekuasaan atau kapasitas yang diberikan
undang-undang dan Anggaran Dasar. Selain mempunyai kedudukan dan kewenangan
mengurus Perseroan, Direksi juga diberi wewenang untuk mewakili Perseroan baik
didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Perseroan260. Kewenangan
mewakili itu adalah Direksi dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
(for and on behalf) Perseroan. Perlu ditegaskan bahwa perbuatan hukum tersebut
bukan atas nama Direksi, tetapi dalam kapasitas Direksi mewakili (representative)
Perseroan. Para anggota Direksi dan Dewan Komisaris, sebagai salah satu organ vital
dalam badan hukum berbentuk Perseroan, merupakan pemegang amanah (fiduciary)
yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi
258 Pasal 100 ayat (1) huruf b UUPT
259 Pasal 100 ayat (1) huruf c UUPT 260
memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan dan mekanisme hubungannya
harus secara fair261.
Sehubungan dengan teori fiduciary duty, Black’s Law Dictionary262
mengartikannya sebagai a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty
toward another person and in the best interest of the other person (such as the duty
that one partner owes to another). Teori tersebut diartikan bahwa fiduciary duty
adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang
memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus
oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang
yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar
dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan
oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peranan
sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang
berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan
kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian
(scrupulous), itikad baik (good faith) dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini
termasuk hubungan seperti pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan
261
Bismar Nasution. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya. Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa Medan, 27 April 2006. Hlm. 16.
262 Bryan A Garner. Black
pelindung (guardian). Termasuk juga didalamnya seorang lawyer yang mempunyai
hubungan fiduciary dengan client-nya263.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas, Munir Fuady menuliskan bahwa:
”Doktrin fiduciary duty yang merupakan salah satu areal terpenting (ring satu) dalam hukum Perseroan, berasal dan mempunyai akar-akarnya dalam hukum Romawi, tetapi banyak dikembangkan oleh sistem hukum Anglo Saxon, ini menyelusup ke dalam berbagai bidang hukum, termasuk ke dalam hukum perusahaan dengan mengintrodusirnya sebagai tugas fiduciary dari direksi. Dalam prakteknya teori fiduciary duty ini berkembang secara unik terhadap direksi dalam hubungan amanah (hubungan fiduciary) dengan perseroan bahkan sampai batas-batas tertentu dalam hubungan dari direksi perseroan dengan pemegang saham dan para pekerja dalam perusahaan. Disamping itu, ternyata aplikasi teori fiduciary duty ini terhadap direksi perseroan juga akan berdampingan dengan berbagai teori atau hubungan hukum yang lain yang juga secara historis berlaku terhadap direksi, seperti hubungan keagenan. Atau berhadapan dengan tugas direksi yang lain yang berkenaan dengan tugas kepedulian (duty
of care) yang juga dituntut dari seorang direksi264.”
Berdasarkan landasan teori fiduciary duty tersebut diatas, dapat disimpulkan
bahwa seseorang mempunyai fiduciary duty manakala ia mempunyai kapasitas
fiducia. Seseorang mempunyai kapasitas fiducia jika ia bertindak sebagai pemegang
kuasa atau amanah, dan pihak yang memberikan kuasa atau amanah tersebut
mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Fiduciary duty juga
merupakan tugas yang wajib dijalankan dengan penuh tanggung jawab untuk
kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (Perseroan). Direksi, sebagai penerima
kepercayaan serta amanah dari pemegang saham untuk menjalankan tugasnya dalam
263 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary. Hlm. 625
264 Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam
mengelola Perseroan, wajib melaksanakan fiduciary duty tersebut berdasarkan standar
dari kewajiban yang paling tinggi (standard of duties), yaitu265:
(a) duty of care atau standard of care merupakan suatu standar yang
mewajibkan seseorang dalam bertindak untuk tetap memperhatikan segala
risiko, bahaya dan perangkap yang ada dan berupaya untuk
meminimalisasi munculnya risiko-risiko tersebut. Sehingga dalam
bertindak seorang Direksi harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan
ketelitian, supaya dapat menghindari segala kemungkinan-kemungkinan
yang tidak diinginkan;
(b) duty of loyalty merupakan sikap setia yang harus ditunjukan Direksi dalam
perusahaan yang didasarkan pada pertimbangan rasional dan profesional.
Direksi harus mampu bersikap tegas sesuai dengan visi dan misi serta
Anggaran Dasar. Direksi harus selalu berpihak pada kepentingan
Perseroan yang dipimpinnya sekaligus juga bertindak untuk kepentingan
pemegang saham dan stakeholders;
(c) duty of skill yaitu Direksi harus mempunyai keahlian dan pengetahuan
untuk mengelola Perseroan; dan
(d) duty to act lawfully dimana Direksi berkewajiban untuk memimpin
Perseroan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku, terutama
UUPT, hukum perdata, hukum perburuhan/ketenagakerjaan, hukum pajak
265 Ridwan Khairandy. Perseroan Terbatas. Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan dan
dan lain sebagainya. Apabila Direksi mengetahui perbuatan yang akan
dilakukannya bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku,
maka pengurus Perseroan tersebut sudah seharusnya tidak melakukannya.
Doktrin atau teori fiduciary duty diatas juga diatur dalam UUPT, yaitu Pasal
97 ayat (1) yang mengatur bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Lebih lanjut, Pasal 98 ayat
(1) UUPT menentukan bahwa Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di
luar pengadilan. Sedangkan Pasal 97 ayat (2) UUPT menetapkan bahwa pengurusan
Perseroan wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab, yaitu dengan memperhatikan Perseroan secara seksama dan tekun.
Perbuatan hukum Perseroan yang dilakukan oleh Direksi menuntut Direksi
untuk mempertanggungjawabkannya (akuntabilitas). Tanggung jawab merupakan
konsekuensi logis dari pemberian fiducia tersebut. Menghindari penyalahgunaan
kepercayaan (trust), menjadikan profesionalitas dan etika bisnis dijunjung tinggi,
sekaligus juga menciptakan lingkungan usaha yang sehat. Kelalaian terhadap
pengurusan Perseroan yang menyebabkan perusahaan merugi atau pailit, dapat
menyebabkan Direksi bertanggung jawab secara pribadi untuk membayar kerugian
tersebut dari kekayaan pribadinya266. Kekayaan pribadi Direksi dapat disita dan
dilelang untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Sebaliknya, apabila Direksi telah
menjalankan fiduciary duty dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, namun
Perseroan tetap merugi, maka kerugian tersebut dapat dipertanggungjawabkan
266
sebagai resiko usaha yang harus ditanggung oleh Perseroan. Hal ini dipertegas dalam
Pasal 97 ayat (5) UUPT bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas kerugian Perseroan apabila Direksi dapat membuktikan:
(a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
(b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
(c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
(d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Khusus terhadap butir (d) diatas, UUPT menerangkan lebih lanjut bahwa
yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi
mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain
melalui forum rapat Direksi267. Jelas terlihat bahwa UUPT telah mempunyai standar
yang jelas untuk menentukan apakah Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban
dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada teori fiduciary duty.
Pelanggaran terhadap prinsip duty of care, duty of loyalty, duty of skill dan duty to act
lawfully dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk
dimintai pertanggungjawaban hukum secara pribadi terhadap perbuatan yang
dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.
267
Selain itu, UUPT juga mengakui bahwa walaupun biasanya dalam praktik posisi
Direksi sangat ditentukan oleh RUPS, namun dalam kegiatan bisnis praktis Direksi
tak melulu harus menjadi penanggung jawab tunggal atas suatu kebijakan atau
tindakan korporasi Perseroan. Hal ini karena dalam melakukan kegiatan usaha atau
bisnis, Direksi dituntut untuk dapat mengambil keputusan dalam waktu cepat dan
tepat mengingat kondisi bisnis cenderung dapat berubah dengan cepat. Hal ini
menyebabkan Direksi acapkali juga harus dapat mengambil keputusan dengan
pertimbangan yang menurutnya cermat. Namun dilain pihak, apabila dalam
menjalankan tugasnya Direksi selalu dibayangi ketakutan akan dituntut secara pribadi
seandainya Perseroan yang ia pimpin merugi akibat keputusan yang salah, atau harus
meminta persetujuan RUPS atau Dewan Komisaris atas setiap tindakan korporasi
Perseroan sehingga Perseroan berjalan lambat dan kehilangan peluang usaha (proyek)
oleh pesaingnya, maka Direksi juga dapat dipersalahkan karena tidak dapat
meningkatkan nilai ekonomis perusahaan. Apabila Direksi pada saat mengambil
keputusan telah melakukannya dengan pertimbangan matang, maka mengingat
suasana bisnis yang penuh ketidakpastian, seandainya keputusan tersebut salah,
seharusnya Direksi tidak dituntut secara pribadi. Sebab Perseroan juga harus ikut
menanggung kerugian tersebut.
3. Pelaksanaan Fiduciary Duty dengan Cara Memenuhi Persyaratan Formal atas Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Dimuat dalam Akta
Dalam konteks pertanggungjawaban perbuatan hukum Direksi, sangat penting
dalam mengelola Perseroan, termasuk menentukan standar perilaku untuk melindungi
pihak-pihak yang akan dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan
kekuasaan atau kewenangan yang diberikan undang-undang dan Anggaran Dasar.
Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi adalah wajib patuh mentaati
peraturan perundang-undangan (statutory duty), yaitu Direksi wajib patuh dan taat
(obedience) terhadap hukum dalam arti luas dan terhadap peraturan perundangan
serta Anggaran Dasar dalam arti sempit268. Ketaatan mematuhi peraturan
perundang-undangan dalam rangka mengurus Perseroan wajib dilakukan dengan itikad baik. Jika
Direksi mengetahui bahwa tindakannya melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku, atau tidak hati-hati atau sembrono (carelessly) dalam melaksanakan
kewajiban mengurus Perseroan, yang mengakibatkan pengurusan itu melanggar
peraturan perundang-undangan, maka tindakan pengurusan itu melawan hukum
(unlawfull).
Pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan
perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan
formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam akta. Menurut Prof.
R. Subekti, yang dimaksud dengan “akta” adalah tulisan yang memang dengan
sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani269.
Akta dapat berupa Akta Notaris270 atau dokumen dibawah tangan. Dari muatan
268 M. Yahya Harahap. Op.Cit. Hlm. 375
269 Subekti. Hukum Pembuktian, Cetakan 15. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2005. Hlm. 25 270 Pasal 1 angka 7 UUJN mengatur bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh
ketentuan UUPT, sangat jelas terlihat bahwa peran Notaris mutlak diperlukan sebagai
rantai keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Kelalaian Direksi dalam
memenuhi persyaratan formal diatas dapat menyebabkan perbuatan hukum Perseroan
tersebut menjadi cacat demi hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak
ketiga. UUPT mensyaratkan bahwa untuk pendirian dan perubahan Anggaran Dasar
harus dibuat dengan Akta Notaris, sehingga cacatnya akta pendirian Perseroan dapat
menjadi alasan bagi pihak yang berkepentingan untuk meminta pembubaran
Perseroan melalui pengadilan negeri271.
Selain perbuatan hukum diatas, UUPT juga mengatur bahwa
transaksi-transaksi dibawah ini juga wajib dimuat dalam suatu Akta Notaris:
(a) akta Penggabungan272;
(b) akta Peleburan273;
(c) akta Pengambilalihan274;
(d) akta Pemisahan275; dan
271 UUPT telah menempatkan peranan penting notaris dalam Perseroan sebagaimana termuat
dalam beberapa pasal di UUPT, diantaranya Pasal 7 ayat (1) UUPT juncto Pasal 21 ayat (4) UUPT juncto Pasal 146 ayat (1) huruf b UUPT
272
Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 9 UUPT, yang menjelaskan bahwa Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum
273 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 10 UUPT, yang menjelaskan bahwa Peleburan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum
274 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 11 UUPT, yang menjelaskan bahwa
(e) akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang
saham276
Tentunya, jika ada peraturan yang mensyaratkan bahwa perbuatan hukum
Perseroan tertentu wajib dimuat dalam Akta Notaris sebagaimana diatur dalam
UUPT, maka ada juga perbuatan hukum Perseroan lainnya yang cukup dibuat dalam
dokumen dibawah tangan. Perbuatan hukum tersebut seyogyanya merupakan
perjanjian diantara para pihak, baik antar pemegang saham atau dengan pihak ketiga.
Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disebut ”KUHPerdata”). Menurut Pasal 1313 KUHPerdata,
perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata “perjanjian” adalah
terjemahan dari overeenkomst yang merupakan salah satu sumber dari perikatan
(verbintenis)277.
Buku III KUHPerdata, dimulai dari Bab V sampai dengan Bab XVIII,
mengatur mengenai 15 (lima belas) jenis perjanjian khusus, yang kesemuanya
merupakan perjanjian bernama278. Sebagai contoh dari perjanjian-perjanjian yang
275 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 12 UUPT, yang menjelaskan bahwa Pemisahan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih
276 Pasal 128 ayat (2) UUPT
277 Tan Kamello. Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi PerbankanMelalui Hubungan
Antara Bank Dengan Nasabah. Disampaikan pada Rapat Terbuka Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum, Fakultas Hukum USU, 2 September 2006. Hlm. 4
278 Oky Deviany Burhamzah. Hukum Perikatan. Bentuk-bentuk Perjanjian Khusus Yang Ada
tidak wajib dibuat dalam Akta Notaris, maka akan dipaparkan perjanjian-perjanjian
khusus yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu:
(a) Jual Beli (Koop en Verkoop)279. Perjanjian jual beli mengatur mengenai
rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak penjual dan pihak
pembeli mengenai pihak yang satu menyerahkan barang, sedangkan pihak
yang lain membayar harga yang dijanjikan.
(b) Tukar Menukar (Van Ruilling)280. Perjanjian ini berisi persetujuan dimana
kedua belah pihak telah setuju untuk saling memberikan barang secara
timbal balik. Saling memberikan barang sebagai ganti dari barang yang
lain.
(c) Sewa Menyewa (Huur en Venhuur)281. Perjanjian dimana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada
pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga
yang disanggupi oleh pihak yang lain. Dalam hal ini, pemilik barang
hanya menyerahkan pemakaian atau pemungutan hasil dari barang yang
disewakan.
(d) Perjanjian Kerja (Arbeids-Overeenkomst)282. Perjanjian dimana pihak
yang satu menyatakan sanggup bekerja bagi pihak lainnya, dengan
menerima upah dan dengan waktu tertentu. Jadi, hubungan kerja yang
279 Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata 280 Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata 281 Pasal 1547 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata 282
dimaksud adalah berdasarkan asas bahwa pekerjaan untuk majikan dapat
dibayar dengan upah.
(e) Persekutuan Perdata (Maatschap)283. Persekutuan perdata adalah
perjanjian antara dua orang atau lebih yang berjanji untuk memasukan
sesuatu kedalam Perseroan dengan maksud supaya keuntungan yang
diperoleh dari Perseroan itu dibagi diantara mereka.
(f) Perkumpulan (Zedelijk Lichaam)284. Perjanjian dari para pihak dengan
titik berat perkumpulan adalah tujuan sosial atau tujuan dilapangan lain
daripada keuntungan semata.
(g) Hibah (Schenking)285. Perjanjian dimana seorang penghibah menyerahkan
suatu barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk
kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.
(h) Penitipan Barang286. Perjanjian dimana seorang menitipkan barang kepada
orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian
mengembalikannya dalam keadaan yang sama.
(i) Pinjam Pakai (Bruiklening)287. Perjanjian dalam mana pihak yang satu
menyerahkan suatu barang untuk dipakai secara cuma-cuma kepada pihak
lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu, setelah
283
Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUHPerdata
284 Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUHPerdata 285 Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata 286 Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUHPerdata 287
memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan
mengembalikan barang itu.
(j) Pinjam Pakai mengenai Uang dan sebagainya (Verbruiklening)288. Pinjam
pakai habis adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama
menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak
kedua, dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang
sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan dalam keadaan yang
sama.
(k) Bunga Abadi (Altijd-Durende Rente)289. Perjanjian bunga abadi adalah
suatu persetujuan bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang akan
menerima pembayaran bunga atas sejumlah uang pokok yang tidak akan
dimintanya kembali.
(l) Perjanjian Untung-Untungan (Kans-Overeenkomsten)290. Perjanjian yang
hasilnya, yaitu mengenai untung rugi, baik bagi semua pihak maupun bagi
sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.
(m)Pemberian Kuasa (Lastgeving)291. Perjanjian yang berisikan pemberian
kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan
sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
288 Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata 289 Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUHPerdata 290 Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUHPerdata 291
(n) Penanggungan Utang oleh Seseorang (Borgtocht)292. Perjanjian dimana
pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi
perikatannya.
(o) Perjanjian Perdamaian (Dading)293. Perjanjian yang berisi bahwa dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak
mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun
mencegah timbulnya suatu perkaran.
Perjanjian-perjanjian tersebut diatas merupakan perjanjian konsensual, sebab
perjanjian-perjanjian tersebut tidak memerlukan suatu cara yang tertentu melainkan
bisa juga dengan pemufakatan secara lisan saja. Dengan lain perkataan, perjanjian
konsensual dapat dituangkan dalam Akta Notaris atau dokumen dibawah tangan.
Dalam konsideran, batang tubuh, penjelasan umum ataupun penjelasan pasal
demi pasal dari UUPT, tidak ditemukan definisi atau rumusan tentang Notaris atau
Akta Notaris. Disamping itu, alasan hukum penempatan keharusan Akta Notaris
dalam perbuatan hukum tersebut diatas dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada para pihak yang membuat perjanjian itu ataupun pihak ketiga
(masyarakat) melalui elemen kepastian hukum yang diberikan oleh Akta Notaris
sebagai alat bukti yang sempurna. Hal ini disebabkan Akta Notaris mengandung nilai
kepastian dalam hubungan hukum antara para pihak yang meletakan hak dan
292 Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata 293
kewajiban secara timbal balik. Bahkan, undang-undang telah memberikan nilai
pembuktian yang sempurna dan mengikat kepada Akta Notaris, yang artinya apabila
suatu pihak mengajukan Akta Notaris maka hakim harus menerimanya dan
menganggap bahwa apa yang dituangkan di dalam Akta Notaris itu sungguh-sungguh
adalah benar sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian
lain294.
Manfaat perlunya Akta Notaris itu adalah kehendak masyarakat akan
pentingnya alat bukti tertulis yang mempunyai kedudukan istimewa dalam bidang
hukum perusahaan dan hukum perdata khususnya berkaitan dengan beban
pembuktian dalam sengketa atau perkara perdata. Dalam sistim civil law, Notaris
mempunyai wewenang untuk membuat akta-akta yang mempunyai nilai pembuktian
yang spesifik atau kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ciri esensial
dalam membuat akta, yaitu sifat mandiri dari Notaris yang tidak berpihak dalam arti
memperhatikan semua pihak yang terlibat dalam transaksi hukum295. Tentunya
diharapkan bahwa hal ini dapat mencegah terjadinya perkara.
Berdasarkan penjelasan diatas, jelas bahwa arah pembaruan hukum nasional
sebagaimana digambarkan dalam UUPT masih menempatkan peran Notaris dalam
tata hukum Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dari pasal suatu undang-undang yang
menentukan untuk perbuatan hukum tertentu harus dituangkan dalam bentuk formal
atau dalam bentuk otentik. Keharusan dengan akta otentik merupakan sifat hukum
294 Pasal 1870 KUHPerdata 295
imperatif dalam arti berfungsi sebagai formalitas kausa, maksudnya tindakan hukum
itu baru sah jika dibuat dengan akta otentik dan berfungsi sebagai probationis kausa
artinya tindakan hukum itu tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti lain selain
dengan akta otentik.
Pengaturan secara spesifik mengenai rumusan Notaris atau Akta Notaris
terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang
berlaku pada tanggal 6 Oktober 2004 (selanjutnya disebut ”UUJN”). UUJN
diterbitkan untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang
dibutuhkan atas alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa,
atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. UUJN
mendefinisikan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya296. Hal ini karena Notaris menjalankan profesi
dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan perlindungan dan
jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Selain itu, UUJN juga telah
memperkirakan bahwa peran Notaris dalam proses pembangunan akan semakin
meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat.
Selanjutnya, Pasal 1 angka 7 UUJN mengatur bahwa Akta Notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Tugas utama Notaris yang ditentukan oleh
UUJN adalah untuk membuat akta otentik297, sehingga Notaris mempunyai otentisitas
296 Pasal 1 angka 1 UUJN 297
dari akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya. Stempel otentisitas atau daya
pembuktian otentik hanya dapat tercipta jika syarat-syarat formal atau bentuk yang
ditentukan dalam UUJN dipenuhi dan otentisitas tersebut tidak ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan lainnya. Keterkaitan syarat formal dan otentisitas
Akta Notaris dapat disimpulkan dari asas hukum yang terkandung dalam Pasal 84
UUJN yang berbunyi:
”Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.”
Maksud dari ketentuan diatas sebenarnya untuk menunjukkan bahwa jika
Notaris tidak memenuhi syarat-syarat formal suatu akta sehingga terdapat cacat
terhadap akta yang dibuatnya, maka akta tersebut:
(a) batal demi hukum;
(b) dapat dibatalkan oleh pengadilan; atau
(c) Akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai dokumen
dibawah tangan, atau dengan perkataan lain tidak mempunyai kekuatan
hukum sebagai akta otentik.
Menurut Mudofir Hadi298, memang keputusan vernietigbaar (dapat
dibatalkan) memerlukan putusan hakim karena tanpa adanya permintaan pembatalan
298 Mudofir Hadi. Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim. Varia Peradilan 72.
dari pihak yang dibenarkan mengajukan oleh undang-undang, akta termaksud
(perbuatan hukum tersebut) berlaku terus dan baru batal sejak putusan hakim.
Adapun van rechtswege nietig (batal demi hukum) tanpa perlu putusan hakim sudah
batal demi hukum atau barulah diperlukan suatu putusan hakim bila kebatalan itu
disengketakan. Terhadap Akta Notaris yang dinyatakan oleh pengadilan tidak
mempunyai kekuatan hukum, terjadi jika Akta Notaris tersebut tidak mengandung
kesalahan, yang salah adalah isi aktanya. Selanjutnya, Mudofir Hadi juga
menjelaskan bahwa bisa otentisitas Akta Notaris tidak batal, tetapi isi atau perbuatan
hukumnya yang batal. Hal ini terjadi apabila akta tersebut tidak mengandung cacat
yuridis dan yang membatalkannya hanya perbuatan hukum/peristiwa hukum yang
disebutkan dalam akta tersebut. Dalam hal suatu perbuatan hukum oleh
undang-undang tidak diharuskan dituangkan dalam suatu akta otentik, dan jika akta tersebut
kehilangan otentisitasnya karena tidak dipenuhi syarat formal yang dimaksud dalam
UUJN, maka akta tersebut tetap berfungsi sebagai dokumen dibawah tangan bila akta
tersebut ditandatangani oleh para pihak. Sepanjang berubahnya status akta otentik
menjadi dokumen dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian, Notaris yang
bersangkutan tidak dapat dituntut untuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.
Dengan demikian, dalam hal Direksi telah patuh dan taat (obedience) terhadap
peraturan perundang-undangan (statutory duty) serta Anggaran Dasar, khususnya
memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan
yang wajib dimuat dalam ”Akta Notaris”, sedangkan Notaris lalai untuk memenuhi