• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan Yang Dimuat Dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Dan Kitab Undang-Undanghukum Perdata)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan Yang Dimuat Dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Dan Kitab Undang-Undanghukum Perdata)"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN HUKUM

PERSEROAN YANG DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS

(DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KITAB

UNDANG-UNDANGHUKUM PERDATA)

TESIS

Oleh

VERONICA TAMPUBOLON

087011127/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN HUKUM

PERSEROAN YANG DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS

(DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

VERONICA TAMPUBOLON

087011127/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

Ekonomi global menuntut kepastian hukum dalam pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Dengan demikian, diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi dunia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), dalam penjelasan umumnya menjawab tantangan global diatas oleh karena UUPT mengakomodir kepastian hukum melalui pengaturan mengenai salah satu bentuk badan usaha ”Perseroan Terbatas”.

UUPT secara jelas mengatur bahwa peran notaris mutlak diperlukan dalam keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Secara sederhana, UUPT mengatur bahwa perbuatan hukum Perseroan ada yang secara tegas wajib dimuat dalam Akta Notaris dan ada juga perbuatan hukum yang ke-akta-annya diserahkan pada pilihan para pihak. UUPT menetapkan bahwa perbuatan hukum berikut ini harus dituangkan dalam akta notaris: Akta Pendirian; perubahan Anggaran Dasar; dan perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan dan Pengambilalihan Saham. UUPT secara sengaja mensyaratkan Akta Notaris untuk pembuktian tertulis yang mempunyai sifat otentik terhadap para pihak sehingga diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang memerlukan kepastian hukum. Ketiadaan Akta Notaris dapat mempengaruhi eksistensi serta validitas dari perbuatan hukum Perseroan diatas.

Secara umum dapat dipahami bahwa Direksi adalah nahkoda bagi Perseroan, yaitu pemegang amanah yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan, yaitu Direksi wajib secara hukum melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan standar kewajiban (standard of

duty) yang paling tinggi, yaitu peraturan perundangan yang berlaku dan anggaran dasar.

Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam Akta Notaris.

Dalam hal Direksi lalai melaksanakan tanggung jawab atas pengurusan Perseroan sehingga Perseroan dirugikan, Direksi dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara jabatan Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Dewan Komisaris. Lebih dari itu, Direksi juga dapat diberikan sanksi tanggung jawab perdata oleh karena Direksi wanprestasi untuk tidak melakukan pengurusan Perseroan sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasar, yang diantaranya mengatur secara tegas bahwa perbuatan hukum korporasi tertentu harus dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Wanprestasi tersebut merupakan “Perbuatan Melawan Hukum” sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata. Mekanisme meminta pertanggungjawaban perdata dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

(4)

ABSTRACT

Global economy requires legal certainty in business development that in accordance with good corporate governance principal. Accordingly, required national ruling product that compatible with the world economy movement. Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company (“UUPT), in its general elucidation response to the global challenge due to UUPT accommodate legal certainty through the detailed ruling of one of business vehicle ”Limited Liability Company”.

UUPT clearly stipulates that notary role is mandatorily required in the existence of the Company as legal entity. Simply, UUPT stipulates that there are corporate actions that must be made in a Notarial Deed, and there are corporate actions that the form of deed is at the options of the parties. UUPT determined that the following corporate actions must be in a notarial deed: Deed of Establishment; amendment to the Articles of Association; and corporate actions of Merger, Amalgamation, Acquisition, Dissolution and Shares Acquisition. UUPT intentionally requires Notarial Deed for written evidence that has otenticity character against the parties so that expected to fulfill the public needs of the legal certainty. Nonexistence of Notarial Deed may affect the existence as well as the validity of the said corporate actions.

Generally it is understood that Directors are the captain of the Company, which is the trustee who must act as the authorizee. Directors hold fiducia position in the management

of the Company, namely Directors legaly oblige to implement the company’s management in

accordance with the highest standard of duty, ie the prevailing regulations and Articles of Association. One of the Directors’ obligation and responsibility in obeying the regulation is attentiveness and complying to the formal requirement of certain corporate actions that must be made in Notarial Deed.

In the event the Directors fail to implement their responsibility for the Company’s management until the Company is loss, Directors may be imposed an administrative sanctioned by temporarily discharged from the Directors position by General Meeting of Shareholders or Board of Commissioners. More than that, Directors may also be imposed civil responsibility sanction for Directors have commit a breach for not managing the Company in accordance with UUPT and Articles of Association, which clearly stipulates that

certain corporate actions must be made in a Notarial Deed. The breach is ”Act That Breaks

The Law” (commonly interpret as ”tort”) as mentioned by Article 1365 of Civil Code. The mechanism to enforce civil sanctioned can be implemented by submitting a civil claim with the indemnity claim based on Article 1365 of Civil Code.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia

yang tercurah sehingga tesis “Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan yang

dimuat dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)” dapat

diselesaikan dengan baik. Judul tersebut diatas sengaja dipilih karena penulis tertarik

untuk mendalami tentang Perseroan Terbatas, terutama mengenai perbuatan hukum

dalam lingkup Perseroan Terbatas. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah

satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas

Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, arahan, masukan, bantuan dan

dorongan semangat dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat diselesaikan dengan

baik. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya

dengan tulus ikhlas kepada:

1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI, selaku Ketua Komisi Pembimbing.

Ditengah aktivitas yang padat, beliau berkenan membimbing, mengarahkan

penulis dengan kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa, serta meminjamkan

banyak buku/literatur yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis dan tesis ini;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing,

(6)

masukan dan dorongan kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis

ini;

3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, CD, selaku Anggota Komisi Pembimbing,

yang telah membantu dan memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan

demi perbaikan tesis ini;

4. Prof. Dr. Moh. Yamin Lubis, SH, CN, M.Hum dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar,

SH, CN, M.Hum, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister

Kenotariatan sekaligus juga selaku dosen penguji tesis ini, yang telah mengajar

dan mengarahkan sejak awal pendidikan hingga selesainya tesis ini;

5. Bapak-bapak dan ibu-ibu para pengajar serta staf pada Program Studi Magister

Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan

bantuan selama saya menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan,

Universitas Sumatera Utara; dan

6. Seluruh teman-teman mahasiswa, khususnya Kelas Reguler Grup A, yang tidak

bisa saya sebutkan satu per satu, atas kebersamaan dan suka duka selama

menempuh pendidikan di Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan juga kepada suami terkasih,

Okto Mardohartua Siburian, yang telah mendampingi penulis dengan penuh

perhatian, pengertian, dorongan dan kasih sayang selama mengikuti pendidikan

hingga akhirnya bisa menyelesaikan tesis ini. Akhirnya, ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya disampaikan kepada orang tua; (Alm) Mulatua Tampubolon dan

(7)

dukungan moril dan do’a turut membantu penulis dalam menyelesaikan studi di

Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.

Harapan penulis adalah tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2010

Penulis

(8)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama :Veronica Tampubolon

Tempat/Tanggal Lahir :Jakarta, 2 Oktober 1974

Status :Menikah

Agama :Kristen Protestan

Alamat :Jalan Sei Mencirim No. 49, Medan Baru,

Medan

II. Pendidikan

1. SD Negeri 03 Kebon Baru, Jakarta Selatan

2. SMP Negeri 3, Manggarai, Jakarta Selatan

3. SMA Negeri 8, Bukit Duri, Jakarta Selatan

4. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (S-1)

5. Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas

(9)

DAFTAR ISI

1. Jenis dan Sifat Penelitian ...

2. Sumber Bahan Hukum ...

3. Teknik Pengumpulan Data ...

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...

46

46

48

49

(10)

BAB II: PERBUATAN HUKUM PERSEROAN YANG WAJIB DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS ...

51

A. Hakikat Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum ...

1. Ketentuan dan Tata Cara Pendirian Perseroan Terbatas ..

2. Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum ...

3. Organ Perseroan Terbatas ...

4. Prinsip-prinsip Hukum Perseroan Terbatas ...

51 Persyaratan Formal untuk Dimuat dalam Akta Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas ... 80

BAB III: SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS PEMENUHAN PERSYARATAN FORMAL UNTUK MEMUAT PERBUATAN HUKUM TERTENTU DALAM

AKTA NOTARIS ... 89

A. Peran dan Kedudukan Direksi Pada Perseroan Terbatas ...

1. Kepengurusan Perseroan oleh Direksi ...

2. Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Pada Umumnya ………...

3. Perwakilan Perseroan oleh Direksi dan Penerapan Prinsip Fiduciary Duty oleh Direksi Berdasarkan UUPT Terkait dengan Kewajiban Memenuhi Persyaratan Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Dimuat dalam Akta Notaris ...

89

91

96

(11)

B. Pertanggungjawaban Direksi atas Pemenuhan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam

Akta Notaris ... 113

1. Tanggung Jawab Perdata (Civil Liability) Direksi Sehubungan dengan Pemenuhan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam Akta Notaris ... 119

2. Tanggung Jawab Pidana (Criminal Liability) Direksi Sehubungan dengan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam Akta Notaris ... 126

BAB IV: FUNGSIONAL AKTA NOTARIS DALAM PERSEROAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS, UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ... 130

A. Notaris dan Akta-Aktanya ... 1. Tugas dan Wewenang Notaris ... 2. Otentisitas Akta Notaris, Minuta, In Originali, Salinan, Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ... 150

C. Pertanggungjawaban Notaris atas Cacat atau Kebatalan Akta yang Memuat Perbuatan Hukum Perseroan ... 160

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 168

A. Kesimpulan ... 168

B. Saran ... 170

(12)

DAFTAR GAMBAR/BAGAN

No Judul Halaman

A. Permohonan Pendirian Perseroan……….………..… 59

B. Pengesahan, Pendaftaran dan Pengumuman Pendirian Perseroan…. 64

C. Perbuatan Hukum Perseroan dalam Kaitannya dengan Akta

Notaris……….... 81

(13)

ABSTRAK

Ekonomi global menuntut kepastian hukum dalam pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Dengan demikian, diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi dunia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), dalam penjelasan umumnya menjawab tantangan global diatas oleh karena UUPT mengakomodir kepastian hukum melalui pengaturan mengenai salah satu bentuk badan usaha ”Perseroan Terbatas”.

UUPT secara jelas mengatur bahwa peran notaris mutlak diperlukan dalam keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Secara sederhana, UUPT mengatur bahwa perbuatan hukum Perseroan ada yang secara tegas wajib dimuat dalam Akta Notaris dan ada juga perbuatan hukum yang ke-akta-annya diserahkan pada pilihan para pihak. UUPT menetapkan bahwa perbuatan hukum berikut ini harus dituangkan dalam akta notaris: Akta Pendirian; perubahan Anggaran Dasar; dan perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan dan Pengambilalihan Saham. UUPT secara sengaja mensyaratkan Akta Notaris untuk pembuktian tertulis yang mempunyai sifat otentik terhadap para pihak sehingga diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang memerlukan kepastian hukum. Ketiadaan Akta Notaris dapat mempengaruhi eksistensi serta validitas dari perbuatan hukum Perseroan diatas.

Secara umum dapat dipahami bahwa Direksi adalah nahkoda bagi Perseroan, yaitu pemegang amanah yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan, yaitu Direksi wajib secara hukum melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan standar kewajiban (standard of

duty) yang paling tinggi, yaitu peraturan perundangan yang berlaku dan anggaran dasar.

Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam Akta Notaris.

Dalam hal Direksi lalai melaksanakan tanggung jawab atas pengurusan Perseroan sehingga Perseroan dirugikan, Direksi dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara jabatan Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Dewan Komisaris. Lebih dari itu, Direksi juga dapat diberikan sanksi tanggung jawab perdata oleh karena Direksi wanprestasi untuk tidak melakukan pengurusan Perseroan sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasar, yang diantaranya mengatur secara tegas bahwa perbuatan hukum korporasi tertentu harus dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Wanprestasi tersebut merupakan “Perbuatan Melawan Hukum” sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata. Mekanisme meminta pertanggungjawaban perdata dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

(14)

ABSTRACT

Global economy requires legal certainty in business development that in accordance with good corporate governance principal. Accordingly, required national ruling product that compatible with the world economy movement. Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company (“UUPT), in its general elucidation response to the global challenge due to UUPT accommodate legal certainty through the detailed ruling of one of business vehicle ”Limited Liability Company”.

UUPT clearly stipulates that notary role is mandatorily required in the existence of the Company as legal entity. Simply, UUPT stipulates that there are corporate actions that must be made in a Notarial Deed, and there are corporate actions that the form of deed is at the options of the parties. UUPT determined that the following corporate actions must be in a notarial deed: Deed of Establishment; amendment to the Articles of Association; and corporate actions of Merger, Amalgamation, Acquisition, Dissolution and Shares Acquisition. UUPT intentionally requires Notarial Deed for written evidence that has otenticity character against the parties so that expected to fulfill the public needs of the legal certainty. Nonexistence of Notarial Deed may affect the existence as well as the validity of the said corporate actions.

Generally it is understood that Directors are the captain of the Company, which is the trustee who must act as the authorizee. Directors hold fiducia position in the management

of the Company, namely Directors legaly oblige to implement the company’s management in

accordance with the highest standard of duty, ie the prevailing regulations and Articles of Association. One of the Directors’ obligation and responsibility in obeying the regulation is attentiveness and complying to the formal requirement of certain corporate actions that must be made in Notarial Deed.

In the event the Directors fail to implement their responsibility for the Company’s management until the Company is loss, Directors may be imposed an administrative sanctioned by temporarily discharged from the Directors position by General Meeting of Shareholders or Board of Commissioners. More than that, Directors may also be imposed civil responsibility sanction for Directors have commit a breach for not managing the Company in accordance with UUPT and Articles of Association, which clearly stipulates that

certain corporate actions must be made in a Notarial Deed. The breach is ”Act That Breaks

The Law” (commonly interpret as ”tort”) as mentioned by Article 1365 of Civil Code. The mechanism to enforce civil sanctioned can be implemented by submitting a civil claim with the indemnity claim based on Article 1365 of Civil Code.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekonomi dunia serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi

sudah berkembang dengan begitu pesat, sehingga globalisasi telah menjadi fenomena

yang akrab dengan aktivitas ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Era globalisasi yang

telah melanda dunia mengandung kompleksitas akan faktor-faktor kompetitif yang

mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

Terlebih lagi, pada bulan September 2009 lalu, Indonesia telah resmi menjadi

bagian dari Grup 20 (selanjutnya disebut ”G-20”), yaitu kelompok non-formal

negara-negara industri yang mendominasi perekonomian internasional. Sebagai

anggota G-20 yang nantinya memiliki hak suara, Indonesia menjadi lebih mampu

menyuarakan kepentingan nasional dan regional Asia Tenggara, misalnya terkait

dengan masalah investasi. Elevasi peran G-20 ini menjadikan Indonesia akan selalu

berada dalam ”radar” pelaku ekonomi global dan keadaan itu membuat keberadaan

Indonesia diakui dunia231. Terkait dengan pengakuan dunia atas eksistensi Indonesia,

jika Indonesia sebagai bagian dari dunia ingin mampu bersaing dengan negara-negara

lain, maka perekonomian Indonesia perlu didukung oleh kepastian hukum yang dapat

memberikan daya saing hukum atau kelebihan hukum. Pengaruh dari perkembangan

231 Kompas. Indonesia dan G-20. 29 September 2009. Diunduh dari website

(16)

ekonomi global tersebut lebih tampak dari sisi produk hukum, yaitu meningkatnya

tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan

pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang

baik (good corporate governance, selanjutnya disebut ”GCG”)232. Dengan demikian,

diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi

dunia. Dalam rangka pemulihan ekonomi Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia

bersama dengan International Monetary Fund (IMF) lebih menggiatkan perkenalan

dan pelaksanaan prinsip GCG sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat. Konsep

ini pada mulanya diharapkan dapat melindungi kepentingan pemegang saham dan

kreditur agar dapat kembali memperoleh investasinya. Pelaksanaan GCG dilakukan

dengan cara meningkatkan pengawasan Dewan Komisaris, dengan bantuan Komite

Audit (audit committee), terhadap kegiatan anggota Direksi. Tujuannya adalah agar

Perseroan dapat berusaha dengan efektif dan profesional. Penerapan konsep GCG di

Indonesia diharapkan dapat meningkatan profesionalisme para pengurus Perseroan

serta meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham, tanpa mengabaikan

kepentingan pihak lain yang terkait dengan perusahaan itu sendiri (stakeholders).

Pasca pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade

Organisation (WTO)233, Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1995 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 7 Maret 1995, yang juga mencabut

232 Penjelasan Umum, Paragrap 2, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (selanjutnya disebut ”UUPT”)

233 Pendirian WTO ditetapkan dalam Final Act Embodying The Result of the Uruguay Round

(17)

dualisme peraturan perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 36 sampai

dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut

”KUHD”). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan

kebutuhan ekonomi serta dunia usaha yang semakin pesat, baik secara nasional

maupun internasional, sehingga diganti dengan undang-undang yang baru, yaitu

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang berlaku

efektif pada tanggal 16 Agustus 2007 (selanjutnya disebut ”UUPT”).

Sebelum berlakunya UUPT, roda perekonomian Indonesia ditopang oleh

beberapa bentuk badan usaha, seperti koperasi, persekutuan komanditer

(commanditaire vennootschap - CV), firma, usaha dagang (UD) dan bentuk

persekutan perdata lainnya; namun Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut

”Perseroan”), sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional,

merupakan pranata hukum utama yang paling banyak dipakai sebagai wahana untuk

melakukan kegiatan bisnis dan ekonomi. Hal ini karena Perseroan dianggap lebih

dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.

1. Perseroan Terbatas

Perseroan sebagai salah satu bentuk organisasi usaha merupakan pilihan yang

paling tepat bagi setiap pelaku atau aktor ekonomi dalam menghadapi persaingan

global, mengingat Perseroan sebagai badan hukum234 telah menggariskan secara tegas

pemisahan harta kekayaan pribadi pemilik modal (pemegang saham) dengan

234

(18)

kekayaan Perseroan. Kelahiran Perseroan sebagai badan hukum (legal entity) karena

dicipta atau diwujudkan melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Itu sebabnya, untuk dapat diakui keberadaannya sebagai badan

hukum, Perseroan harus memenuhi formalitas dari suatu peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya. Tahapan proses pendirian Perseroan sebagai badan

hukum, termasuk perizinan dasar yang diperlukan suatu Perseroan dapat dijelaskan

secara mendetil dibawah ini. Tahap pertama, pendiri Perseroan, yang minimal terdiri

dari 2 (dua) orang235, menentukan ruang lingkup Perseroan dan hal-hal lain yang akan

dimuat dalam akta pendirian Perseroan, yang sekaligus juga merupakan Anggaran

Dasar dari Perseroan tersebut. Para pendiri akan berkonsultasi dengan Notaris

mengenai isi akta tersebut. Hal ini karena pendirian Perseroan harus dibuat dengan

akta otentik dan dilakukan oleh Notaris yang berwenang di wilayah Republik

Indonesia. Tahap kedua, Notaris akan melakukan pengecekan nama Perseroan236.

Pengecekan dilakukan untuk mengetahui apakah nama Perseroan yang dipilih sudah

dimiliki perusahaan lain atau belum. Jika belum, nama tersebut langsung bisa

didaftarkan oleh Notaris melalui Sistem Administrasi Badan Hukum atau disingkat

SABH, yang dahulu bernama sistem administrasi badan hukum atau disingkat

SISMINBAKUM. Sebaliknya, jika nama Perseroan sudah dimiliki, maka para pendiri

harus mengganti dengan nama yang lain. Proses pendaftaran dilakukan oleh Notaris

untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

235 Pasal 7 ayat (1) UUPT 236

(19)

Republik Indonesia (”Menteri Hukum dan HAM”) sesuai dengan UUPT juncto

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan

Terbatas. Tahap ketiga, pembuatan draft/notulen Anggaran Dasar. Draf/notulen

Anggaran Dasar dibuat berdasarkan informasi yang diberikan oleh para pendiri

didalam formulir pendirian Perseroan dan Surat Kuasa. Tahap keempat, pembuatan

akta pendirian Perseroan oleh Notaris yang berwenang. Proses pembuatan akta

pendirian dilakukan setelah nama Perseroan disetujui. Akta pendirian akan dibuat dan

ditandatangani oleh Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia sesuai dengan

UUPT237. Tahap kelima, permohonan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Bagi

Perseroan yang telah terdaftar akan diberikan sertifikat TDP sebagai bukti bahwa

perusahaan telah melakukan Wajib Daftar Perusahaan sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1998, dan aturan pelaksana yang diatur dalam Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/MPP/Kep/1/1998

tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Wajib Daftar Perusahaan238 serta Peraturan

Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang

Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan. Tahap terakhir, pengumuman dalam Berita

Acara Negara Republik Indonesia. Setelah Perseroan melakukan wajib daftar

perusahaan dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, maka

237

Pasal 7 ayat (1) UUPT

238 Perseroan wajib mendaftarkan perusahaan yang terdiri atas: (a) Akta Pendirian sesuai

(20)

akta pendirian harus diumumkan dalam Berita Negara/Tambahan Berita Negara

Republik Indonesia (”BNRI”) dan perusahaan yang telah diumumkan dalam BNRI

telah sempurna proses pendiriannya.

Dengan status Perseroan sebagai badan hukum, yaitu sejak tanggal

diterbitkannya keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai pengesahan badan

hukum Perseroan, maka sejak saat itu hukum memperlakukan pemilik atau pemegang

saham, dan pengurus atau Direksi dan Komisaris, terpisah dari Perseroan itu sendiri.

Hal ini berarti bahwa Perseroan mempunyai personalitas atau kepribadian berbeda

dari orang-orang yang menciptakannya. Maksudnya, meskipun bila para pengurus

atau Direksi terus berganti, Perseroan tetap memiliki identitas sendiri terlepas dari

adanya pergantian anggota Direksi atau pemegang sahamnya. Perseroan, sebagai

badan hukum yang berwujud artificial, diciptakan negara melalui serangkaian proses

hukum untuk proses kelahirannya, yaitu harus memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan peraturan perundang-undangan. Apabila persyaratan tersebut tidak

terpenuhi, kepada Perseroan yang bersangkutan tidak diberikan keputusan

pengesahan untuk berstatus sebagai badan hukum oleh Pemerintah Republik

Indonesia, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM239. Meskipun Perseroan adalah

badan hukum artificial, namun Perseroan tidak fiktif. Sebaliknya, Perseroan

nyata-nyata ada serta melakukan kegiatan bisnis atau kegiatan usaha ditengah-tengah

kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Perseroan tidak hanya sebagai badan

239 M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. Juni 2009. Hlm.

(21)

hukum melainkan juga sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban

seperti layaknya subyek hukum lain, yaitu manusia.

Sebagaimana layaknya manusia, Perseroan juga memiliki organ yang terdiri

atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris240.

RUPS adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan

kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam

undang-undang dan/atau Anggaran Dasar241. RUPS terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS

lainnya242 yang sering juga disebut dengan RUPS Luar Biasa. RUPS tahunan wajib

dilaksanakan tiap tahun yaitu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku,

sedangkan RUPS lainnya dapat diadakan dalah hal-hal tertentu dengan kepentingan

tertentu243. Selanjutnya, penjabaran dari definisi tersebut diatas diatur dalam Pasal 75

UUPT:

(1) RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

(2) Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.

(22)

Direksi merupakan dewan direktur (board of directors) yang dapat terdiri atas

satu atau beberapa orang direktur244. Sekaligus juga, Direksi adalah organ Perseroan

yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan

tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan

sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar245. Dewan Komisaris adalah organ

Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta

memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan246. Dewan

Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota harus bertindak secara

kolegalial atau majelis dan tidak dapat bertindak sendiri-sendiri247. Dalam hal atau

keadaan tertentu Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan, dan

bagi Komisaris berlaku semua hak, wewenang dan kewajiban Direksi248.

Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa UUPT tetap

mempertahankan pola organ Perseroan yang diatur terdahulu pada KUHD, yaitu

Pasal 44 (Direksi atau Pengurus), Pasal 52 (Dewan Komisaris) dan Pasal 55 (RUPS).

Pola organ Perseroan yang diatur dalam KUHD tersebut diatas dilanjutkan oleh

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang ditegaskan

pada Pasal 1 angka 2 yang mengatur bahwa organ Perseroan terdiri dari RUPS,

Direksi dan Komisaris. Ketentuan tentang organ Perseroan berlanjut terus pada

UUPT.

244

Pasal 92 ayat (3) UUPT

245 Pasal 1 angka 5 UUPT 246 Pasal 1 angka 6 UUPT 247 Pasal 108 ayat (4) UUPT 248

(23)

2. Kewenangan dan Pertanggungjawaban Direksi dalam Kaitannya dengan Teori Fiduciary Duty

Meskipun RUPS memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

atau Dewan Komisaris, namun sangat nyata terlihat bahwa untuk alasan praktis maka

RUPS mengangkat249 satu atau beberapa orang menjadi anggota Direksi250 untuk

menyelenggarakan kegiatan usaha sehari-hari dari Perseroan tersebut. Tidak

sembarangan orang bisa duduk di jajaran Direksi. Agar bisa diangkat ke jajaran elite

Perseroan, tentu ada banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang. UUPT

menegaskan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah seseorang

yang cakap melakukan perbuatan hukum251. Selain itu, UUPT mensyaratkan bahwa

dalam lima tahun terakhir, calon Direksi tidak sedang dinyatakan pailit252, menjadi

anggota Perseroan yang dinyatakan pailit253 atau dihukum karena merugikan

keuangan negara254. Instansi teknis pun dapat menentukan syarat tambahan bagi

jabatan Direksi berdasarkan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku255.

Jelaslah bahwa menjadi Direksi pada suatu Perseroan tidak mudah.

Hal ini penting mengingat Direksi menjadi nahkoda bagi perusahaan, orang

yang akan membawa kapal perusahaan ke arah yang dituju. Dalam keadaan normal,

Direksi perlu mengambil kebijakan agar kinerja perusahaan terus membaik. Dalam

(24)

paling tidak mempertahankan perusahaan dari terpaan krisis. Upaya-upaya tersebut

dituangkan dalam bentuk kebijakan Direksi. Direksi adalah organ Perseroan yang

langsung bertanggung jawab penuh atas kepengurusan kegiatan sehari-hari ataupun

rutin dari Perseroan. Pasal 1 angka 5 UUPT mengatur bahwa Direksi adalah organ

Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan

untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta

mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan

ketentuan Anggaran Dasar.

Pengertian pelaksanaan pengurusan oleh Direksi meliputi pengelolaan dan

memimpin tugas sehari-hari yakni membimbing dan membina kegiatan atau aktivitas

Perseroan kearah pencapaian maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam Anggaran

Dasar256. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 92 ayat (1) dan (2)

UUPT yang mengatur bahwa penugasan Direksi adalah untuk mengurus Perseroan

sehari-hari dengan “kebijakan yang dipandang tepat“, yaitu kebijakan yang antara

lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia

usaha yang sejenis. UUPT dan formulir Anggaran Dasar standar perusahaan secara

implisit memberi hak kepada Direksi untuk:

(a) menetapkan kebijakan dalam memimpin pengurusan perusahaan;

(b) mengatur ketentuan-ketentuan tentang kepegawaian perusahaan, termasuk

penetapan gaji, pensiun atau jaminan hari tua dan penghasilan lain untuk

256

(25)

para pegawai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan keputusan RUPS;

(c) mengangkat dan memberhentikan pegawai berdasarkan peraturan

kepegawaian perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

(d) mengatur penyerahan kekuasaan Direksi untuk mewakili perusahaan

didalam dan diluar Pengadilan kepada seorang atau beberapa orang

anggota Direksi yang khusus ditunjuk untuk itu atau kepada seorang atau

beberapa orang pegawai baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau

kepada orang lain; dan

(e) menjalankan tindakan-tindakan lainnya, baik mengenai pengurusan

maupun mengenai pemilikan kekayan perusahaan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan yang

ditetapkan oleh RUPS berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Disisi lain, undang-undang yang sama juga memberikan kewajiban

kepada Direksi untuk:

(a) membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan

risalah rapat Direksi257;

(b) membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan258;

257

(26)

(c) memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan

sebagaimana dimaksud diatas dan dokumen Perseroan lainnya259;

(d) menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Anggaran Dasar dan yang ditetapkan oleh RUPS berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari uraian tersebut diatas, dapat dilihat bahwa fungsi penugasan Direksi

adalah untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari

dari Perseroan. Dengan perkataan lain, Direksi melaksanakan pengelolaan atau

menangani bisnis Perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan

usaha Perseroan dalam batas-batas kekuasaan atau kapasitas yang diberikan

undang-undang dan Anggaran Dasar. Selain mempunyai kedudukan dan kewenangan

mengurus Perseroan, Direksi juga diberi wewenang untuk mewakili Perseroan baik

didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Perseroan260. Kewenangan

mewakili itu adalah Direksi dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama

(for and on behalf) Perseroan. Perlu ditegaskan bahwa perbuatan hukum tersebut

bukan atas nama Direksi, tetapi dalam kapasitas Direksi mewakili (representative)

Perseroan. Para anggota Direksi dan Dewan Komisaris, sebagai salah satu organ vital

dalam badan hukum berbentuk Perseroan, merupakan pemegang amanah (fiduciary)

yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi

258 Pasal 100 ayat (1) huruf b UUPT

259 Pasal 100 ayat (1) huruf c UUPT 260

(27)

memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan dan mekanisme hubungannya

harus secara fair261.

Sehubungan dengan teori fiduciary duty, Black’s Law Dictionary262

mengartikannya sebagai a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty

toward another person and in the best interest of the other person (such as the duty

that one partner owes to another). Teori tersebut diartikan bahwa fiduciary duty

adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang

memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus

oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang

yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar

dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan

oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peranan

sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang

berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan

kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian

(scrupulous), itikad baik (good faith) dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini

termasuk hubungan seperti pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan

261

Bismar Nasution. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya. Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa Medan, 27 April 2006. Hlm. 16.

262 Bryan A Garner. Black

(28)

pelindung (guardian). Termasuk juga didalamnya seorang lawyer yang mempunyai

hubungan fiduciary dengan client-nya263.

Berkenaan dengan hal tersebut diatas, Munir Fuady menuliskan bahwa:

Doktrin fiduciary duty yang merupakan salah satu areal terpenting (ring satu) dalam hukum Perseroan, berasal dan mempunyai akar-akarnya dalam hukum Romawi, tetapi banyak dikembangkan oleh sistem hukum Anglo Saxon, ini menyelusup ke dalam berbagai bidang hukum, termasuk ke dalam hukum perusahaan dengan mengintrodusirnya sebagai tugas fiduciary dari direksi. Dalam prakteknya teori fiduciary duty ini berkembang secara unik terhadap direksi dalam hubungan amanah (hubungan fiduciary) dengan perseroan bahkan sampai batas-batas tertentu dalam hubungan dari direksi perseroan dengan pemegang saham dan para pekerja dalam perusahaan. Disamping itu, ternyata aplikasi teori fiduciary duty ini terhadap direksi perseroan juga akan berdampingan dengan berbagai teori atau hubungan hukum yang lain yang juga secara historis berlaku terhadap direksi, seperti hubungan keagenan. Atau berhadapan dengan tugas direksi yang lain yang berkenaan dengan tugas kepedulian (duty

of care) yang juga dituntut dari seorang direksi264.”

Berdasarkan landasan teori fiduciary duty tersebut diatas, dapat disimpulkan

bahwa seseorang mempunyai fiduciary duty manakala ia mempunyai kapasitas

fiducia. Seseorang mempunyai kapasitas fiducia jika ia bertindak sebagai pemegang

kuasa atau amanah, dan pihak yang memberikan kuasa atau amanah tersebut

mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Fiduciary duty juga

merupakan tugas yang wajib dijalankan dengan penuh tanggung jawab untuk

kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (Perseroan). Direksi, sebagai penerima

kepercayaan serta amanah dari pemegang saham untuk menjalankan tugasnya dalam

263 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary. Hlm. 625

264 Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam

(29)

mengelola Perseroan, wajib melaksanakan fiduciary duty tersebut berdasarkan standar

dari kewajiban yang paling tinggi (standard of duties), yaitu265:

(a) duty of care atau standard of care merupakan suatu standar yang

mewajibkan seseorang dalam bertindak untuk tetap memperhatikan segala

risiko, bahaya dan perangkap yang ada dan berupaya untuk

meminimalisasi munculnya risiko-risiko tersebut. Sehingga dalam

bertindak seorang Direksi harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan

ketelitian, supaya dapat menghindari segala kemungkinan-kemungkinan

yang tidak diinginkan;

(b) duty of loyalty merupakan sikap setia yang harus ditunjukan Direksi dalam

perusahaan yang didasarkan pada pertimbangan rasional dan profesional.

Direksi harus mampu bersikap tegas sesuai dengan visi dan misi serta

Anggaran Dasar. Direksi harus selalu berpihak pada kepentingan

Perseroan yang dipimpinnya sekaligus juga bertindak untuk kepentingan

pemegang saham dan stakeholders;

(c) duty of skill yaitu Direksi harus mempunyai keahlian dan pengetahuan

untuk mengelola Perseroan; dan

(d) duty to act lawfully dimana Direksi berkewajiban untuk memimpin

Perseroan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku, terutama

UUPT, hukum perdata, hukum perburuhan/ketenagakerjaan, hukum pajak

265 Ridwan Khairandy. Perseroan Terbatas. Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan dan

(30)

dan lain sebagainya. Apabila Direksi mengetahui perbuatan yang akan

dilakukannya bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku,

maka pengurus Perseroan tersebut sudah seharusnya tidak melakukannya.

Doktrin atau teori fiduciary duty diatas juga diatur dalam UUPT, yaitu Pasal

97 ayat (1) yang mengatur bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan

Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Lebih lanjut, Pasal 98 ayat

(1) UUPT menentukan bahwa Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di

luar pengadilan. Sedangkan Pasal 97 ayat (2) UUPT menetapkan bahwa pengurusan

Perseroan wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh

tanggung jawab, yaitu dengan memperhatikan Perseroan secara seksama dan tekun.

Perbuatan hukum Perseroan yang dilakukan oleh Direksi menuntut Direksi

untuk mempertanggungjawabkannya (akuntabilitas). Tanggung jawab merupakan

konsekuensi logis dari pemberian fiducia tersebut. Menghindari penyalahgunaan

kepercayaan (trust), menjadikan profesionalitas dan etika bisnis dijunjung tinggi,

sekaligus juga menciptakan lingkungan usaha yang sehat. Kelalaian terhadap

pengurusan Perseroan yang menyebabkan perusahaan merugi atau pailit, dapat

menyebabkan Direksi bertanggung jawab secara pribadi untuk membayar kerugian

tersebut dari kekayaan pribadinya266. Kekayaan pribadi Direksi dapat disita dan

dilelang untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Sebaliknya, apabila Direksi telah

menjalankan fiduciary duty dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, namun

Perseroan tetap merugi, maka kerugian tersebut dapat dipertanggungjawabkan

266

(31)

sebagai resiko usaha yang harus ditanggung oleh Perseroan. Hal ini dipertegas dalam

Pasal 97 ayat (5) UUPT bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan

atas kerugian Perseroan apabila Direksi dapat membuktikan:

(a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

(b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

(c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

(d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.

Khusus terhadap butir (d) diatas, UUPT menerangkan lebih lanjut bahwa

yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi

mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain

melalui forum rapat Direksi267. Jelas terlihat bahwa UUPT telah mempunyai standar

yang jelas untuk menentukan apakah Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban

dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada teori fiduciary duty.

Pelanggaran terhadap prinsip duty of care, duty of loyalty, duty of skill dan duty to act

lawfully dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk

dimintai pertanggungjawaban hukum secara pribadi terhadap perbuatan yang

dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.

267

(32)

Selain itu, UUPT juga mengakui bahwa walaupun biasanya dalam praktik posisi

Direksi sangat ditentukan oleh RUPS, namun dalam kegiatan bisnis praktis Direksi

tak melulu harus menjadi penanggung jawab tunggal atas suatu kebijakan atau

tindakan korporasi Perseroan. Hal ini karena dalam melakukan kegiatan usaha atau

bisnis, Direksi dituntut untuk dapat mengambil keputusan dalam waktu cepat dan

tepat mengingat kondisi bisnis cenderung dapat berubah dengan cepat. Hal ini

menyebabkan Direksi acapkali juga harus dapat mengambil keputusan dengan

pertimbangan yang menurutnya cermat. Namun dilain pihak, apabila dalam

menjalankan tugasnya Direksi selalu dibayangi ketakutan akan dituntut secara pribadi

seandainya Perseroan yang ia pimpin merugi akibat keputusan yang salah, atau harus

meminta persetujuan RUPS atau Dewan Komisaris atas setiap tindakan korporasi

Perseroan sehingga Perseroan berjalan lambat dan kehilangan peluang usaha (proyek)

oleh pesaingnya, maka Direksi juga dapat dipersalahkan karena tidak dapat

meningkatkan nilai ekonomis perusahaan. Apabila Direksi pada saat mengambil

keputusan telah melakukannya dengan pertimbangan matang, maka mengingat

suasana bisnis yang penuh ketidakpastian, seandainya keputusan tersebut salah,

seharusnya Direksi tidak dituntut secara pribadi. Sebab Perseroan juga harus ikut

menanggung kerugian tersebut.

3. Pelaksanaan Fiduciary Duty dengan Cara Memenuhi Persyaratan Formal atas Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Dimuat dalam Akta

Dalam konteks pertanggungjawaban perbuatan hukum Direksi, sangat penting

(33)

dalam mengelola Perseroan, termasuk menentukan standar perilaku untuk melindungi

pihak-pihak yang akan dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan

kekuasaan atau kewenangan yang diberikan undang-undang dan Anggaran Dasar.

Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi adalah wajib patuh mentaati

peraturan perundang-undangan (statutory duty), yaitu Direksi wajib patuh dan taat

(obedience) terhadap hukum dalam arti luas dan terhadap peraturan perundangan

serta Anggaran Dasar dalam arti sempit268. Ketaatan mematuhi peraturan

perundang-undangan dalam rangka mengurus Perseroan wajib dilakukan dengan itikad baik. Jika

Direksi mengetahui bahwa tindakannya melanggar peraturan perundang-undangan

yang berlaku, atau tidak hati-hati atau sembrono (carelessly) dalam melaksanakan

kewajiban mengurus Perseroan, yang mengakibatkan pengurusan itu melanggar

peraturan perundang-undangan, maka tindakan pengurusan itu melawan hukum

(unlawfull).

Pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan

perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan

formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam akta. Menurut Prof.

R. Subekti, yang dimaksud dengan “akta” adalah tulisan yang memang dengan

sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani269.

Akta dapat berupa Akta Notaris270 atau dokumen dibawah tangan. Dari muatan

268 M. Yahya Harahap. Op.Cit. Hlm. 375

269 Subekti. Hukum Pembuktian, Cetakan 15. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2005. Hlm. 25 270 Pasal 1 angka 7 UUJN mengatur bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh

(34)

ketentuan UUPT, sangat jelas terlihat bahwa peran Notaris mutlak diperlukan sebagai

rantai keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Kelalaian Direksi dalam

memenuhi persyaratan formal diatas dapat menyebabkan perbuatan hukum Perseroan

tersebut menjadi cacat demi hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak

ketiga. UUPT mensyaratkan bahwa untuk pendirian dan perubahan Anggaran Dasar

harus dibuat dengan Akta Notaris, sehingga cacatnya akta pendirian Perseroan dapat

menjadi alasan bagi pihak yang berkepentingan untuk meminta pembubaran

Perseroan melalui pengadilan negeri271.

Selain perbuatan hukum diatas, UUPT juga mengatur bahwa

transaksi-transaksi dibawah ini juga wajib dimuat dalam suatu Akta Notaris:

(a) akta Penggabungan272;

(b) akta Peleburan273;

(c) akta Pengambilalihan274;

(d) akta Pemisahan275; dan

271 UUPT telah menempatkan peranan penting notaris dalam Perseroan sebagaimana termuat

dalam beberapa pasal di UUPT, diantaranya Pasal 7 ayat (1) UUPT juncto Pasal 21 ayat (4) UUPT juncto Pasal 146 ayat (1) huruf b UUPT

272

Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 9 UUPT, yang menjelaskan bahwa Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum

273 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 10 UUPT, yang menjelaskan bahwa Peleburan

adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum

274 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 11 UUPT, yang menjelaskan bahwa

(35)

(e) akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang

saham276

Tentunya, jika ada peraturan yang mensyaratkan bahwa perbuatan hukum

Perseroan tertentu wajib dimuat dalam Akta Notaris sebagaimana diatur dalam

UUPT, maka ada juga perbuatan hukum Perseroan lainnya yang cukup dibuat dalam

dokumen dibawah tangan. Perbuatan hukum tersebut seyogyanya merupakan

perjanjian diantara para pihak, baik antar pemegang saham atau dengan pihak ketiga.

Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (selanjutnya disebut ”KUHPerdata”). Menurut Pasal 1313 KUHPerdata,

perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata “perjanjian” adalah

terjemahan dari overeenkomst yang merupakan salah satu sumber dari perikatan

(verbintenis)277.

Buku III KUHPerdata, dimulai dari Bab V sampai dengan Bab XVIII,

mengatur mengenai 15 (lima belas) jenis perjanjian khusus, yang kesemuanya

merupakan perjanjian bernama278. Sebagai contoh dari perjanjian-perjanjian yang

275 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 12 UUPT, yang menjelaskan bahwa Pemisahan

adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih

276 Pasal 128 ayat (2) UUPT

277 Tan Kamello. Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi PerbankanMelalui Hubungan

Antara Bank Dengan Nasabah. Disampaikan pada Rapat Terbuka Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum, Fakultas Hukum USU, 2 September 2006. Hlm. 4

278 Oky Deviany Burhamzah. Hukum Perikatan. Bentuk-bentuk Perjanjian Khusus Yang Ada

(36)

tidak wajib dibuat dalam Akta Notaris, maka akan dipaparkan perjanjian-perjanjian

khusus yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu:

(a) Jual Beli (Koop en Verkoop)279. Perjanjian jual beli mengatur mengenai

rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak penjual dan pihak

pembeli mengenai pihak yang satu menyerahkan barang, sedangkan pihak

yang lain membayar harga yang dijanjikan.

(b) Tukar Menukar (Van Ruilling)280. Perjanjian ini berisi persetujuan dimana

kedua belah pihak telah setuju untuk saling memberikan barang secara

timbal balik. Saling memberikan barang sebagai ganti dari barang yang

lain.

(c) Sewa Menyewa (Huur en Venhuur)281. Perjanjian dimana pihak yang satu

mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada

pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga

yang disanggupi oleh pihak yang lain. Dalam hal ini, pemilik barang

hanya menyerahkan pemakaian atau pemungutan hasil dari barang yang

disewakan.

(d) Perjanjian Kerja (Arbeids-Overeenkomst)282. Perjanjian dimana pihak

yang satu menyatakan sanggup bekerja bagi pihak lainnya, dengan

menerima upah dan dengan waktu tertentu. Jadi, hubungan kerja yang

279 Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata 280 Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata 281 Pasal 1547 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata 282

(37)

dimaksud adalah berdasarkan asas bahwa pekerjaan untuk majikan dapat

dibayar dengan upah.

(e) Persekutuan Perdata (Maatschap)283. Persekutuan perdata adalah

perjanjian antara dua orang atau lebih yang berjanji untuk memasukan

sesuatu kedalam Perseroan dengan maksud supaya keuntungan yang

diperoleh dari Perseroan itu dibagi diantara mereka.

(f) Perkumpulan (Zedelijk Lichaam)284. Perjanjian dari para pihak dengan

titik berat perkumpulan adalah tujuan sosial atau tujuan dilapangan lain

daripada keuntungan semata.

(g) Hibah (Schenking)285. Perjanjian dimana seorang penghibah menyerahkan

suatu barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk

kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.

(h) Penitipan Barang286. Perjanjian dimana seorang menitipkan barang kepada

orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian

mengembalikannya dalam keadaan yang sama.

(i) Pinjam Pakai (Bruiklening)287. Perjanjian dalam mana pihak yang satu

menyerahkan suatu barang untuk dipakai secara cuma-cuma kepada pihak

lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu, setelah

283

Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUHPerdata

284 Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUHPerdata 285 Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata 286 Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUHPerdata 287

(38)

memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan

mengembalikan barang itu.

(j) Pinjam Pakai mengenai Uang dan sebagainya (Verbruiklening)288. Pinjam

pakai habis adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama

menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak

kedua, dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang

sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan dalam keadaan yang

sama.

(k) Bunga Abadi (Altijd-Durende Rente)289. Perjanjian bunga abadi adalah

suatu persetujuan bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang akan

menerima pembayaran bunga atas sejumlah uang pokok yang tidak akan

dimintanya kembali.

(l) Perjanjian Untung-Untungan (Kans-Overeenkomsten)290. Perjanjian yang

hasilnya, yaitu mengenai untung rugi, baik bagi semua pihak maupun bagi

sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.

(m)Pemberian Kuasa (Lastgeving)291. Perjanjian yang berisikan pemberian

kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan

sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

288 Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata 289 Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUHPerdata 290 Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUHPerdata 291

(39)

(n) Penanggungan Utang oleh Seseorang (Borgtocht)292. Perjanjian dimana

pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk

memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi

perikatannya.

(o) Perjanjian Perdamaian (Dading)293. Perjanjian yang berisi bahwa dengan

menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak

mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun

mencegah timbulnya suatu perkaran.

Perjanjian-perjanjian tersebut diatas merupakan perjanjian konsensual, sebab

perjanjian-perjanjian tersebut tidak memerlukan suatu cara yang tertentu melainkan

bisa juga dengan pemufakatan secara lisan saja. Dengan lain perkataan, perjanjian

konsensual dapat dituangkan dalam Akta Notaris atau dokumen dibawah tangan.

Dalam konsideran, batang tubuh, penjelasan umum ataupun penjelasan pasal

demi pasal dari UUPT, tidak ditemukan definisi atau rumusan tentang Notaris atau

Akta Notaris. Disamping itu, alasan hukum penempatan keharusan Akta Notaris

dalam perbuatan hukum tersebut diatas dimaksudkan untuk memberikan

perlindungan kepada para pihak yang membuat perjanjian itu ataupun pihak ketiga

(masyarakat) melalui elemen kepastian hukum yang diberikan oleh Akta Notaris

sebagai alat bukti yang sempurna. Hal ini disebabkan Akta Notaris mengandung nilai

kepastian dalam hubungan hukum antara para pihak yang meletakan hak dan

292 Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata 293

(40)

kewajiban secara timbal balik. Bahkan, undang-undang telah memberikan nilai

pembuktian yang sempurna dan mengikat kepada Akta Notaris, yang artinya apabila

suatu pihak mengajukan Akta Notaris maka hakim harus menerimanya dan

menganggap bahwa apa yang dituangkan di dalam Akta Notaris itu sungguh-sungguh

adalah benar sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian

lain294.

Manfaat perlunya Akta Notaris itu adalah kehendak masyarakat akan

pentingnya alat bukti tertulis yang mempunyai kedudukan istimewa dalam bidang

hukum perusahaan dan hukum perdata khususnya berkaitan dengan beban

pembuktian dalam sengketa atau perkara perdata. Dalam sistim civil law, Notaris

mempunyai wewenang untuk membuat akta-akta yang mempunyai nilai pembuktian

yang spesifik atau kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ciri esensial

dalam membuat akta, yaitu sifat mandiri dari Notaris yang tidak berpihak dalam arti

memperhatikan semua pihak yang terlibat dalam transaksi hukum295. Tentunya

diharapkan bahwa hal ini dapat mencegah terjadinya perkara.

Berdasarkan penjelasan diatas, jelas bahwa arah pembaruan hukum nasional

sebagaimana digambarkan dalam UUPT masih menempatkan peran Notaris dalam

tata hukum Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dari pasal suatu undang-undang yang

menentukan untuk perbuatan hukum tertentu harus dituangkan dalam bentuk formal

atau dalam bentuk otentik. Keharusan dengan akta otentik merupakan sifat hukum

294 Pasal 1870 KUHPerdata 295

(41)

imperatif dalam arti berfungsi sebagai formalitas kausa, maksudnya tindakan hukum

itu baru sah jika dibuat dengan akta otentik dan berfungsi sebagai probationis kausa

artinya tindakan hukum itu tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti lain selain

dengan akta otentik.

Pengaturan secara spesifik mengenai rumusan Notaris atau Akta Notaris

terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang

berlaku pada tanggal 6 Oktober 2004 (selanjutnya disebut ”UUJN”). UUJN

diterbitkan untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang

dibutuhkan atas alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa,

atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. UUJN

mendefinisikan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat

akta otentik dan kewenangan lainnya296. Hal ini karena Notaris menjalankan profesi

dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan perlindungan dan

jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Selain itu, UUJN juga telah

memperkirakan bahwa peran Notaris dalam proses pembangunan akan semakin

meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat.

Selanjutnya, Pasal 1 angka 7 UUJN mengatur bahwa Akta Notaris adalah akta

otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang

ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Tugas utama Notaris yang ditentukan oleh

UUJN adalah untuk membuat akta otentik297, sehingga Notaris mempunyai otentisitas

296 Pasal 1 angka 1 UUJN 297

(42)

dari akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya. Stempel otentisitas atau daya

pembuktian otentik hanya dapat tercipta jika syarat-syarat formal atau bentuk yang

ditentukan dalam UUJN dipenuhi dan otentisitas tersebut tidak ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan lainnya. Keterkaitan syarat formal dan otentisitas

Akta Notaris dapat disimpulkan dari asas hukum yang terkandung dalam Pasal 84

UUJN yang berbunyi:

”Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.”

Maksud dari ketentuan diatas sebenarnya untuk menunjukkan bahwa jika

Notaris tidak memenuhi syarat-syarat formal suatu akta sehingga terdapat cacat

terhadap akta yang dibuatnya, maka akta tersebut:

(a) batal demi hukum;

(b) dapat dibatalkan oleh pengadilan; atau

(c) Akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai dokumen

dibawah tangan, atau dengan perkataan lain tidak mempunyai kekuatan

hukum sebagai akta otentik.

Menurut Mudofir Hadi298, memang keputusan vernietigbaar (dapat

dibatalkan) memerlukan putusan hakim karena tanpa adanya permintaan pembatalan

298 Mudofir Hadi. Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim. Varia Peradilan 72.

(43)

dari pihak yang dibenarkan mengajukan oleh undang-undang, akta termaksud

(perbuatan hukum tersebut) berlaku terus dan baru batal sejak putusan hakim.

Adapun van rechtswege nietig (batal demi hukum) tanpa perlu putusan hakim sudah

batal demi hukum atau barulah diperlukan suatu putusan hakim bila kebatalan itu

disengketakan. Terhadap Akta Notaris yang dinyatakan oleh pengadilan tidak

mempunyai kekuatan hukum, terjadi jika Akta Notaris tersebut tidak mengandung

kesalahan, yang salah adalah isi aktanya. Selanjutnya, Mudofir Hadi juga

menjelaskan bahwa bisa otentisitas Akta Notaris tidak batal, tetapi isi atau perbuatan

hukumnya yang batal. Hal ini terjadi apabila akta tersebut tidak mengandung cacat

yuridis dan yang membatalkannya hanya perbuatan hukum/peristiwa hukum yang

disebutkan dalam akta tersebut. Dalam hal suatu perbuatan hukum oleh

undang-undang tidak diharuskan dituangkan dalam suatu akta otentik, dan jika akta tersebut

kehilangan otentisitasnya karena tidak dipenuhi syarat formal yang dimaksud dalam

UUJN, maka akta tersebut tetap berfungsi sebagai dokumen dibawah tangan bila akta

tersebut ditandatangani oleh para pihak. Sepanjang berubahnya status akta otentik

menjadi dokumen dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian, Notaris yang

bersangkutan tidak dapat dituntut untuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.

Dengan demikian, dalam hal Direksi telah patuh dan taat (obedience) terhadap

peraturan perundang-undangan (statutory duty) serta Anggaran Dasar, khususnya

memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan

yang wajib dimuat dalam ”Akta Notaris”, sedangkan Notaris lalai untuk memenuhi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui Locus of Control ( LOC ) dari mahasiswa Universitas Muria Kudus (UMK) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Al-Anwar,

In conclusion; for the block of images and dataset of direct EOP used in this study, the ISO approach achieved horizontal and vertical accuracies nearly to one image

Motif ragam hias yang digunakan pada bangunan Keraton Surakarta yaitu kaligrafi, motif tumbuhan / sulur (pola lengkung-lengkung tanaman, batang, daun dan buah) dan geometri

Jika rasio keuangan yang disajikan dalam bentuk suatu daftar untuk periode beberapa tahun, analisis dapat mempelajari komposisi perubahan- perubahan dan menetapkan

senang maupun susah, berdasarkan persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah. Banjar sebagai lembaga tradisional merupakan bagian desa juga memiliki tiga unsur, hanya

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :.. Bentuk :

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

They won´t have the same success as the rhinos, but they are not after that, They are happy with a little less and just want to enjoy life.. They do not get all of their happiness