SADISME DALAM FOTOJURNALISTIK
(Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi
Di Harian Waspada)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan
Sarjana (S-1)
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun Oleh
RICHKA HAPRIYANI
080904029
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
NAMA : Richka Hapriyani
NIM : 080904029
JUDUL SKRIPSI : Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis
Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar
Khadafi Di Harian Waspada)
Medan, Juli 2013
Pembimbing Ketua Departemen
(Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si) (Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A)
NIP: 198011072006042002 NIP: 196208281987012001
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan segala kerendahan hati saya ucapkan puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan
Skripsi ini. Penulisan skripsi yang berjudul “Sadisme Dalam Fotojurnalistik”
(Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada) ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Universitas Sumatera Utara (USU).
Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak bantuan dari berbagai pihak, baik dorongan moril maupun materil, yang membantu saya untuk menambah wawasan berfikir dan semangat untuk mengerjakan skripsi ini. Oleh karena itu saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Maimon A Dalimunthe dan Ibunda
Habibah, S.Pd, Serta kedua saudariku Richky Hidayani, S.Pd dan Richna Handriyani, yang selalu dan tak henti-hentinya memberikan dukungan dan selalu mendoakan sehingga saya mampu menghadapi semua proses akademik dan merasakan kasih sayang yang tak terhinggga.
2. Atok, (Almh) Nenek, (Alm) Opung Doli, dan (Almh) Opung, terima
kasih atas segala kasih sayang dan kebahagiaan yang kalian berikan.
3. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H, M.Sc. (C.T.M),
Sp.A.(K), Selaku Rektor USU.
4. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M. Si, selaku Dekan FISIP USU.
5. Bapak Drs. Edward, M.SP, selaku PD III FISIP USU, yang banyak
membantu saya selama menjalani kuliah.
6. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP USU.
7. Ibu Dra. Dayana, M. Si, Selaku Sekertaris Departemen Ilmu Komunikasi
Universitas Sumatera Utara
8. Ibu Yovita Sabarani Sitepu, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing yang
tak hanya membimbing saya selama mengerjakan skripsi, tetapi juga dengan kesabaran yang tulus menunggu dan memberikan motivasi yang luar biasa dalam mengerjakan skripsi saya yang memakan waktu cukup lama.
9. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si, Ph.D selaku dosen yang banyak memberikan
saran dan motivasi, agar saya selalu bersemangat dan sukses.
10. Bang Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm, selaku dosen yang selalu
meluangkan waktu untuk diskusi terutama dalam bidang fotografi.
11. Seluruh dosen pengajar yang telah mendidik dan membimbing saya
selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
12. Om dan Ibu Hisar Harahap, yang sudah seperti orang tua saya, yang
selalu memberikan perhatian, dukungan dan omelan-omelan agar saya selalu fokus untuk menyelesaikan kuliah.
13. Sahabat-sahabat saya tersayang: Sofni Sarliani Harahap, Hijri Rizki,
Novita Vestiana, Ihsan Hanafi, Prima Irawan, M. Alsya Rinaldhi, Bang Afif Rangkuti, kalian adalah orang-orang yang selalu ada tak hanya dalam keadaan bahagia tetapi juga dalam masa-masa sulit.
14. Terima kasih yang besar saya sampaikan untuk SUARA USU, tempat
dimana saya belajar pertama kalinya kehidupan jurnalistik. Atas semua ilmu, proses pembelajaran dan pendewasaan diri, kerja sama, kegembiraan, dan kekecewaan yang dilalui selama tiga tahun. Untuk kakanda, Liston Damanik, Eka Ryantika, Ade Marza, Desfa Maulani, Sidriani Desky, Ima Silaban, M. Arif, Khairil Hanan, Untuk teman-teman seperjuangan, Ahmad Hidayat, Wan Ulfa, Shahnaz Asnawi, Erni S, Sandra Cattelya, Moyang Kasih, Sri Yanti dan yang lainnya. Terima kasih atas semua cerita dan hari-hari yang pernah kita lalui.
15. Rekan-rekan di YP2M, Kak Nuri, Kak Yola, Kak Eka, Suci, Devi, dan
kelompok Permai.
16. Kakak - kakak di Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Sumatera Utara
17. Seluruh Staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah
banyak membantu mengurus administrasi saya selama masa kuliah. Kak Icut dan kak Maya.
18. Grup ERBE LKBN ANTARA Sumut, Kak Evalisa (mamake), Uni Eva,
Kak Inun, Bang Ribut, Bang Akung, Bang Jo dan Bang Fai. Yang selalu memberikan jalan dalam setiap permasalahan yang saya hadapi dan tiada henti memberi perhatian. Dan kepada Mbak Sizuka (Jakarta), Mbak Mitha (Makassar), Bang Hengky (Riau) dan Mas Mulyana (Banten).
19. Kak Wismi (Kompas), terima kasih atas kebersamaan selama liputan
serta semangat yang kakak tularkan. Dan terima kasih juga kepada seluruh rekan jurnalis di Medan.
20. Keluarga besar Bapak Ipnu Subroto, Bapak Yusuf dan Bapak Subadi,
terima kasih atas keikhlasan membimbing dan menjaga saya selama pendidikan SMA. Juga kepada seluruh keluarga besar SMA MATAULI Angkatan X, XI dan XII yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
21. Pada teman-teman Ilmu Komunikasi FISIP USU tahun 06, 07, dan 08.
22. Pada yayasan KIPPAS, yang telah meminjamkan koran dan jurnal untuk
keperluan penelitian ini.
23. Pada Uda Denni Perdana Putera, terima kasih atas cinta dan
kesabaranmu, dalam menjalani hari - hari selama 2 tahun ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata, saya berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua. Amin.
Medan, Juli 2013
Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Richka Hapriyani
NIM : 080904029
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Soial dan Ilmu Politik
Universitas : Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royaliti Non Eksklusif (Non eksclusive
Royality- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian
Moammar Khadafi Di Harian Waspada)”
Beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royaliti Non
ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
Universitas Sumatera Utara Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : Juli 2013
Yang Menyatakan
Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri, Semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari saya
terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Richka Hapriyani
NIM : 080904029
Tanda Tangan :
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur sadis yang terdapat dalam
foto-foto kematian Moammar Khadafi di Harian Waspada pada 22 – 26 Oktober 2011.
Dengan cara melihat tanda-tanda/ ikon yang terdapat dalam foto, mengungkap cerita dibalik peristiwa kekerasan yang dialami Moammar Khadafi, sehingga makna dibalik foto tewasnya Moammar Khadafi dapat diketahui melalui analisis semiotika. Oleh karena itu, peneliti merumuskan penelitian ini dengan judul Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada). Tipe penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis ikonografi dari Erwin Panofsky. Panofsky
memberi tiga tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconography,
iconography, iconology. Data dalam penelitian ini diperoleh dari studi
kepustakaan dan literatur-literatur yang relevan dengan objek penelitian.
Hasil dari penelitian mengungkapkan fakta bahwa Moammar Khadafi mendapatkan perlakuan tidak manusiawi menjelang ajalnya dan keterlibatan negara barat untuk penggulingan Moammar Khadafi. Foto-foto yang dimuat
Harian Waspada dengan tampilan full color dan tanpa proses edit gambar,
mengggambarkan kesadisan yang dialami Moammar Khadafi. Hal tersebut tentu saja melanggar Kode Etik Jurnalistik yang tertuang dalam pasal 4. Namun, dengan menampilkan foto sadis sebagai berita utama selama sepekan, tentu saja ada tujuan untuk meningkatkan oplah penjualan Harian Waspada.
Kata Kunci:
Universitas Sumatera Utara ABSTRACT
This study aims to determine the sadistic elements contained in the photographs Moammar Gaddafi's death in the Harian Waspada on October 22 to 26, 2011. By way of looking at the signs/ icons contained in an image, uncovering the story behind the violence experienced by Moammar Gaddafi, so that the meaning behind the death of Moammar Gaddafi photo can be seen through semiotic analysis. Therefore, we propose the study titled Sadism In photojournalism (Analysis Iconography Photographs Moammar Gaddafi Death Harian Waspada). This type of research is a qualitative approach using the analysis of the iconography of Erwin Panofsky. Panofsky gave three stages in the analysis,
preiconography stage, iconography and iconology. The data in this study were
obtained from the literature study and the literature relevant to the research object.
The results of the study revealed the fact that Moammar Gaddafi get inhuman treatment on his deathbed and involvement of western countries to overthrow
Moammar Gaddafi. The photos published by the Harian Waspada and full color
display with no image-editing process, depicts sadism experienced Moammar Gaddafi. This, of course violate the Code of Journalistic Ethics set forth in Article 4. However, with a sadistic display photos as headlines for a week, of course there is the goal to increase sales circulation Harian Waspada.
Keywords:
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………
LEMBAR PENGESAHAN ………...
KATA PENGANTAR ………..……….. i
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……. v
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………. vi
2.2.2 Ikonografi Dalam Analisis Semiotika ………. 27
2.2.3 Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik ………... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 74
Universitas Sumatera Utara
4.1.3 Foto Hari Senin, 24 Oktober 2011 ………. 106
4.1.4 Foto Hari Selasa, 25 Oktober 2011 ………. 110
4.1.5 Foto Hari Rabu, 26 Oktober 2011 ………. 114
4.2. Pembahasan ………. 118
BAB V PENUTUP ………. 124
5.1. Kesimpulan ………. 124
5.2. Saran ………. 125
Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL
Tabel 1. Strata Penafsiran atas Karya Visual dari Panofsky ………. 32
Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Model Teoritik ………. 72
Universitas Sumatera Utara DAFTAR FOTO
Foto 1. Foto Hari Sabtu, 22 Oktober 2011 (Cuplikan Video 1) …… 82
Foto 2. Foto Hari Sabtu, 22 Oktober 2011 (Cuplikan Video 2) …… 89
Foto 3. Foto Hari Sabtu, 22 Oktober 2011 (Cuplikan Video 4) …… 98
Foto 4. Foto Hari Minggu, 23 Oktober 2011 ……… 102
Foto 5. Foto Hari Senin, 24 Oktober 2011 ………. 106
Foto 6. Foto Hari Selasa, 25 Oktober 2011 ……….... 109
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur sadis yang terdapat dalam
foto-foto kematian Moammar Khadafi di Harian Waspada pada 22 – 26 Oktober 2011.
Dengan cara melihat tanda-tanda/ ikon yang terdapat dalam foto, mengungkap cerita dibalik peristiwa kekerasan yang dialami Moammar Khadafi, sehingga makna dibalik foto tewasnya Moammar Khadafi dapat diketahui melalui analisis semiotika. Oleh karena itu, peneliti merumuskan penelitian ini dengan judul Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada). Tipe penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis ikonografi dari Erwin Panofsky. Panofsky
memberi tiga tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconography,
iconography, iconology. Data dalam penelitian ini diperoleh dari studi
kepustakaan dan literatur-literatur yang relevan dengan objek penelitian.
Hasil dari penelitian mengungkapkan fakta bahwa Moammar Khadafi mendapatkan perlakuan tidak manusiawi menjelang ajalnya dan keterlibatan negara barat untuk penggulingan Moammar Khadafi. Foto-foto yang dimuat
Harian Waspada dengan tampilan full color dan tanpa proses edit gambar,
mengggambarkan kesadisan yang dialami Moammar Khadafi. Hal tersebut tentu saja melanggar Kode Etik Jurnalistik yang tertuang dalam pasal 4. Namun, dengan menampilkan foto sadis sebagai berita utama selama sepekan, tentu saja ada tujuan untuk meningkatkan oplah penjualan Harian Waspada.
Kata Kunci:
Universitas Sumatera Utara ABSTRACT
This study aims to determine the sadistic elements contained in the photographs Moammar Gaddafi's death in the Harian Waspada on October 22 to 26, 2011. By way of looking at the signs/ icons contained in an image, uncovering the story behind the violence experienced by Moammar Gaddafi, so that the meaning behind the death of Moammar Gaddafi photo can be seen through semiotic analysis. Therefore, we propose the study titled Sadism In photojournalism (Analysis Iconography Photographs Moammar Gaddafi Death Harian Waspada). This type of research is a qualitative approach using the analysis of the iconography of Erwin Panofsky. Panofsky gave three stages in the analysis,
preiconography stage, iconography and iconology. The data in this study were
obtained from the literature study and the literature relevant to the research object.
The results of the study revealed the fact that Moammar Gaddafi get inhuman treatment on his deathbed and involvement of western countries to overthrow
Moammar Gaddafi. The photos published by the Harian Waspada and full color
display with no image-editing process, depicts sadism experienced Moammar Gaddafi. This, of course violate the Code of Journalistic Ethics set forth in Article 4. However, with a sadistic display photos as headlines for a week, of course there is the goal to increase sales circulation Harian Waspada.
Keywords:
Universitas Sumatera Utara BAB I
PENDAHULUAN
1.1Konteks Masalah
Media massa (media cetak, media elektronik, media online, dan media
lainnya) sangat berperan penting dalam terjadinya proses komunikasi massa dalam masyarakat. Media massa adalah alat dari jurnalisme yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2006: 122).
Menurut Littlejohn (2002), dalam komunikasi massa terjadi proses dimana organisasi media massa memproduksi dan menyampaikan pesan kepada masyarakat dan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh masyarakat. Melalui media massa, segala bentuk informasi akan sangat dengan mudah diterima oleh masyarakat tanpa ada batasan ruang dan waktu. Hal ini tidak dapat lepas dari fungsi dasar media massa itu sendiri, yaitu (McQuail, 1987:3) :
1. Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang yang
menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait.
2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen, dan
inovasi lain dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan atas sumber daya lainnya.
3. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk
menampilkan peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.
4. Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan,
Universitas Sumatera Utara
5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk
memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif.
Khalayak yang menjadi sasaran media massa yakni manusia, sehingga keberadaan media massa senantiasa dituntut untuk mengikuti gerak dan dinamika individu sebagai kesatuan dalam masyarakat. Namun, kehadiran media massa akan dinilai berbeda-beda oleh setiap individu. Untuk memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat, media massa (pers) diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat melalui muatan informasi yang memiliki kebenaran, kepentingan dan manfaat untuk masyarakat. Salah satu media massa yang sangat popular di masyarakat yakni surat kabar. Sebuah surat kabar tak hanya memuat deretan kata-kata. Ada foto, ilustrasi, grafik, dan lain-lain.
Fungsi foto dalam media cetak bukan hanya sebagai ilustrasi sebuah berita. Penyajian foto dalam surat kabar telah membuat pemberitaan menjadi lebih lengkap, akurat dan menarik, karena foto digunakan untuk menyalurkan ide, berkomunikasi dengan masyarakat, mempengaruhi orang lain, hingga menghadirkan kenangan lama. Foto dalam media massa tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap pesan yang ingin disampaikan komunikator, tapi ia merupakan pesan itu sendiri. Sebuah foto yang disajikan dalam surat kabar (media massa cetak) tidak lepas dari tujuan jurnalistik, yaitu menyebarkan berita seluas-luasnya.
Fotografi tumbuh seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan dari waktu ke waktu yang membutuhkan proses evolusi yang cukup panjang. Sejak fotografi ditemukan tahun 1839, dalam perkembangannya kini telah jauh meninggalkan generasi awalnya. Teknologi digital yang saat ini sudah mulai masuk pada berbagai sendi-sendi kehidupan manusia, turut membawa fotografi ke era digitalisasi.
Kehadiran piranti fotografi berteknologi tinggi tentunya berpengaruh pada
outputnya. Karya foto yang dihasilkan dapat dibuat atau dirubah sedemikian rupa
Universitas Sumatera Utara kegiatan jurnalistik. Perkembangan fotografi baik secara langsung maupun tidak, selaras dengan perkembangan bidang jurnalistik. Teknologi digital yang berkembang pesat saat ini pun memberi sumbangsih yang signifikan. Foto yang merekam sebuah peristiwa dapat dengan segera disebarluaskan dalam hitungan detik saja dengan menggunakan kamera digital serta perangkat komputer yang memiliki fasilitas internet.
Foto yang tersaji dalam media massa disebut sebagai fotojurnalistik. Fotojurnalitik lahir di kota New York, Amerika Serikat, pada hari Senin tanggal
16 April 1877. Surat kabar bernama The Daily Graphic memuat foto kebakaran
hotel dan salon pada halaman satu. Terbitan inilah yang menjadi cikal bakal adanya fotojurnalistik di media cetak, dimana sebelumnya hanya berupa sketsa. Foto sebagai elemen berita, berkembang secara besar-besaran saat terbitnya
majalah Life di Amerika Serikat, sekitar tahun 1930-an. Wilson Hick, yang
menjadi redaktur foto pertama majalah tersebut selama 20 tahun lebih, dianggap sebagai perintis kemajuan fotojurnalistik dunia. Lewat didikannya, lahir beberapa fotografer kelas dunia, seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa, dan lainnya. Hick pula yang melahirkan dasar-dasar fotojurnalistik (Wijaya, 2011: 1).
Karya fotojurnalistik yang dihasilkan oleh fotografer (kerap disebut pewarta foto, jurnalis foto, atau wartawan foto) yang dianggap dapat mengekspresikan sudut pandang sang fotografer namun pesan komunikasinya memiliki arti yang jauh lebih luas daripada hanya sekadar arti dari sudut pandang sang fotografer. Foto berita atau fotojurnalistik mempunyai paling sedikit dua
wajah: pertama sebagai ilustrasi pendukung berita, kedua sebagai „berita‟ itu
sendiri (Soedjono, 2007: 133). Fotojurnalistik memenuhi kaidah-kaidah fotografis dan punya daya tarik secara visual. Karya foto apa pun mengkomunikasikan pesan, tetapi dalam hal ini berita foto berisi pesan yang terarah.
Universitas Sumatera Utara
(Flournoy, 1989:183). James Nachtwey dalam buku fotografinya berjudul Inferno,
menyatakan sebuah foto dapat memasuki fikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa dimana makna hanya sedikit bergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar, lebih dekat dengan pengalaman mentah. Sementara menurut editor
majalah Life, Wilson Hicks, fotojurnalistik adalah kombinasi dari kata dan gambar
yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya (Wijaya, 2011: 9). Jadi foto yang merekam suatu peristwa adalah fotojurnalistik. Foto peristiwa, wajib dan senantiasa menghiasi pemberitaan-pemberitaan surat kabar setiap harinya, apakah
foto berita tentang olah raga, seni, fashion, ataupun kejadian kejadian luar biasa
lainnya.
Pada saat yang sama foto harus memenuhi standar tertentu dari media cetak yang memuatnya, memiliki nilai berita, memancing rasa ingin tahu pembaca, dan seyogyanya tergolong di dalam peringkat “teks berita yang terbit
tanpa foto, akan berkurang bobotnya.” Sebuah pameo ternama menggambarkan
bahwa selembar foto lebih berbicara dari seribu kata. Hal ini mempunyai arti bahwa dalam menyampaikan pesan seorang manusia ikhwalnya tidak hanya selalu dengan menggunakan kata-kata konvensional yang verbal atau nonverbal. Bahkan, media massa tanpa ada gambar/foto, hanya akan menjadi lembaran-lembaran yang membosankan (Wijaya, 2009: 5).
Oscar Matuloh salah seorang ikon fotografi jurnalistik Indonesia
mengatakan dalam sebuah wawancara dengan majalah fotografi The Light
Magazine, “Ketika seseorang membaca Koran, yang membuat berita jadi
menarik dibaca selain tulisannya adalah fotonya. Dan memang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik perhatian pembaca untuk membaca lebih
jauh lagi. Untuk itu hal paling penting dalam fotojurnalistik adalah eye
catching. Semakin foto tersebut eye catching semakin ia berhasil
menjalankan tugasnya”.
Fotojurnalistik adalah karya foto biasa tetapi memilki nilai berita atau pesan yang layak untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa. Fotojurnalistik mengandung unsur 5W dan 1H seperti halnya berita tulis.
Jadi dalam sebuah foto menjelaskan What (apa). “Apa” menyangkut sebuah
Universitas Sumatera Utara bukti, senjata yang dibawa tentara, mobil dan sepeda motor yang bertabrakan.
Sedangkan Who berarti siapa yang menyangkut tentang orang. Where ditandai
dengan latar belakang penunjangannya yang hadir bersama When, Why, dan How.
Photo caption atau teks foto adalah kata-kata yang menjelaskan tentang sebuah
foto. Foto yang dilengkapi dengan caption nantinya akan mempermudah
fotografer dan editor serta memerlihatkan profesionalisme seorang foto jurnalis
dalam membuat caption foto.
Teks foto tidak perlu berpuluh-puluh paragraf. Idealnya cukup singkat, padat, namun sudah dapat menjelaskan maksud foto tersebut. Suatu fotojurnalistik bisa dikatakan tidak lengkap pemahamannya tanpa teks foto. Untuk itu, teks foto sangat diperlukan untuk melengkapinya. Upaya untuk melengkapinya unsur 5W dan 1H tersebut disesuaikan dengan gambar yang ditampilkan.
Media melalui fotografi tidak sekedar menjadikan foto sebagai media komunikasi informasi atas sebuah peristiwa, tetapi lebih dari itu fotografi juga berupaya membangun citra dan menarik perhatian masyarakat untuk menikmatinya. Sehingga, persaingan pasar dalam memilih media pun ikut bermain andil disini. Seiring perkembangan teknologi dan informasi, menjamur pula industri media. Persaingan bebas memaksa media massa memunculkan kreativitasnya agar tetap eksis. Akibatnya media massa cenderung mengacu pada peluang komersialisasi media, yang terlepas dari prinsip media yang sehat, cerdas dan mencerdaskan.
Kebebasan pers telah dilindungi oleh undang-undang. Insan pers dan pelaku bisnis media merasa mendapat angin segar atau jaminan untuk mengekspresikan karya atau tulisannya tanpa peduli layak atau tidak layak. Media massa relatif bebas dari kontrol kekuasaan pemerintah, tetapi dalam kenyataan yang sebenarnya media tidak pernah bebas dari institusi yang memiliki budaya
bisnis, dan industri-industri pemilik modal yang bekerja dengan imbalan profit
yang mendewakan keuntungan.
Universitas Sumatera Utara fenomena ini. Surat kabar saat ini, dituntut memberikan lebih banyak hal daripada sekadar melaporkan berita, sehingga merebut perhatian khalayak melalui sajian menarik menjadi tugas besar dari pekerja-pekerja media tersebut.
Seorang jurnalis yang melaksanakan profesinya, baik itu wartawan tulis, foto, maupun video, menaati aturan-aturan dasar yang harus dijalankan. Aturan tersebut antara lain tertuang dalam, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik yang disahkan melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers. Namun terkadang foto-foto yang mengandung unsur kekerasan, peperangan, darah, dianggap lebih menarik perhatian pembaca dan mampu meningkatkan oplah surat kabar tersebut.
Lahirnya Undang-Undang Pers, membuat angka kelahiran wartawan juga meningkat, sehingga jumlah wartawan melonjak menjadi sekitar 30 ribu. Data tersebut diambil dari jumlah penerbitan yang lahir pasca reformasi. Terakhir, bulan Maret tahun 2006, ketika Dewan Pers memfasilitasi pembuatan Kode Etik Jurnalistik, Standar Organisasi Wartawan dan penguatan peran Dewan Pers, tercatat 26 organisasi kewartawanan (Sukardi, 2012: 36).
Semakin menjamurnya wartawan di Indonesia, memunculkan masalah mutu profesional wartawan. Hal tersebut juga berimbas pada kurangnya penghayatan wartawan terhadap etika profesinya. Hal yang cukup mengejutkan
ketika Dewan Pers melakukan survei Close Up Seperempat Abad Kode Etik
Jurnalistik, yang diterbitkan dalam sebuah buku di tahun 2007, terungkap
rata-rata 80 persen wartawan belum pernah membaca isi seluruh Kode Etik Jurnalistik yang diputuskan Dewan Pers. Dalam survei Dewan Pers berikutnya di tahun 2011, menunjukkan angka yang semakin baik. Jumlah wartawan yang sudah membaca Kode Etik Jurnalistik melonjak menjadi 48 persen (Sukardi, 2012: 37).
Kode Etik Jurnalistik merupakan mahkota pekerjaan jurnalistik. Pendidikan dan pelatihan kode etik, bukan hanya mengenali rambu-rambu etik atau sistem nilai pekerjaan jurnalistik. Lebih dari itu, pendidikan dan pelatihan
Universitas Sumatera Utara menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terlatih berfikir dan bekerja keras atas dasar objektivitas, berkembang, dari sikap-sikap membenci dan menghakimi, menjadi berhati-hati (Manan, 2011: 26).
Kode Etik Jurnalistik juga bukan berarti mengekang kebebasan pers, justru untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan pers. Sesuai dengan sifat etika profesi yang dibuat dari oleh dan untuk kalangan profesi itu sendiri, Kode Etik Jurnalistik dibuat sudah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jurnalis (wartawan) sehingga keberadaan Kode Etik Jurnalistik justru mampu mempertahankan harkat dan martabat pekerjaan wartawan. Dengan adanya Kode Etik Jurnalistik bukan saja wartawan dapat terhindar dari anarki, malpraktek dan persaingan tidak sehat sesama wartawan, tetapi juga wartawan memperoleh semacam perlindungan atau tameng dari kemungkinan tindakan-tindakan publik atau siapapun yang mencoba merongrong dan membatasi kemerdekaan pers dengan berbagai cara yang tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik.
Terdapat tujuh pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. Pasal yang secara jelas, melarang wartawan untuk membuat karya jurnalistik yang mengandung unsur kekerasan, darah dan unsur sadis lainnya, terdapat dalam pasal 4 yaitu “Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Dalam
fotojurnalistik, kita bisa mengetahui foto yang mengandung unsur sadis dari respon spontan pembaca. Seperti, menunjukkan ekspresi ngeri, takut, mengerutkan wajah, dan lain-lain. Namun, beberapa fotografer menilai, foto sadis adalah foto yang menunjukkan secara utuh darah, luka parah yang tak layak untuk dilihat, ataupun gambar-gambar yang menunjukkan korban pembantaian.
Universitas Sumatera Utara Dibawah kepemimpinan Moammar Khadafi, Libya menerapkan sistem pemerintahan tanpa adanya partai politik. Moammar Khadafi menetapkan sistem pemerintahan “Jamahiriya” atau negara rakyat atau “a state of the masses”, yang
dalam teorinya merupakan tipe pemerintahan oleh rakyat melalui Dewan Lokal (local councils), tetapi pada prakteknya merupakan pemerintahan otoriter.
Moammar Khadafi juga menghapus semua ideologi berbau asing dari tanah Libya, terutama kapitalisme dan komunisme (Adnan, 2008: 37).
Kepemimpinan Moammar Khadafi mengantarkan Libya sebagai suatu negara yang berpengaruh dalam konstalasi politik melawan dominasi Amerika Serikat, khususnya di wilayah Timur Tengah dan Afrika. Moammar Khadafi berhasil menanamkan pemikiran politik dan pemerintahan anti-Barat di dalam negaranya dengan menempuh kebijakan sebagai negara tertutup diawali dengan keputusan menutup pangkalan militer Amerika Serikat di Libya. Amerika Serikat kemudian memasukkan Libya dalam daftar negara yang mendukung terorisme internasional. Libya dikaitkan dengan beberapa aksi terorisme internasional, di antaranya, pemboman sebuah diskotik pada tahun 1986 di Berlin, pemboman
pesawat Prancis (French Airliner) pada tahun 1989, dan yang paling fenomenal
adalah pemboman pesawat Pan Am Flight 103 di Lockerbie, Skotlandia. Hasilnya, Libya menjadi negara yang disegani dan berulang kali menjadi sasaran
embargo Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa
(http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/04/201141912643168741.html) . Moammar Khadafi bahkan berada pada garis depan mendukung perlawanan Palestina terhadap Israel. Kiprah Moammar Khadafi yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan Amerika Serikat dan Sekutunya, menyebabkan hubungan yang sangat buruk antara Libya dengan negara Barat.
Moammar Khadafi dalam memimpin Libya juga memaksakan
pemikirannya tentang direct democracy yang sesungguhnya, melalui sistem
pemerintahan “Jamahiriya” tersebut. Menurutnya, demokrasi yang dikenal saat
Universitas Sumatera Utara Berdasarkan atas hal tersebut, Moammar Khadafi kemudian menjalankan pemerintahan di Libya tanpa adanya partai politik, maupun kelompok kepentingan. Bahkan, Moammar Khadafi mencanangkan, bahwa semua orang yang terlibat dalam partai politik, merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap negara. Hal ini tidak saja berkisar hanya dalam pidato Moammar Khadafi, tetapi juga dituangkan dalam undang-undang No. 71 tahun 1972, disebutkan bahwa partai politik merupakan tindakan kriminal dan merupakan bentuk kegiatan yang membahayakan negara.
Moammar Khadafi selalu mengambil peranan dalam setiap masalah-masalah sentral di Afrika dan Timur Tengah, serta berusaha untuk menggalang persatuan kekuatan negara-negara Arab, melalui piagam dan perjanjian-perjanjian dengan negara Arab lainnya. November 1969, Moammar Khadafi menyusun Piagam Tripoli untuk mengaitkan kepentingan Libya dan Sudan, tahun 1961 dibentuk perjanjian Benghazi antara Libya, Suriah, dan Mesir, tahun 1973
dibentuk Hassi Messaoud Accords antara Libya dan Aljazair (Adnan, 2008: 37).
Meskipun pada kenyataannya tindakannya tersebut justru mendatangkan perpecahan di kalangan negara-negara Arab sendiri, antara yang mendukung Moammar Khadafi, dan yang tidak setuju dengan pandangan serta idenya.
Moammar Khadafi mulai goyang dalam panggung politik Libya ketika pada tahun 2010, dunia internasional diwarnai dengan munculnya gejolak demokrasi di Timur Tengah. Negara-negara dengan cap otoriter di Timur Tengah, mulai mendapatkan tekanan dari rakyatnya, yang menginginkan sistem pemerintahan yang demokratis. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya efek domino dari krisis politik yang terjadi di Tunisia dan Mesir ke negara-negara lain seperti Bahrain, Suriah dan Libya.
Universitas Sumatera Utara kebijakan luar negerinya, misalnya dengan membatalkan program senjata pemusnah massal dan menjalin kembali hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat pada tahun 2004 (Adnan, 2008: 40) untuk memperbaiki kondisi ekonomi Libya. Moammar Khadafi bahkan mengizinkan kembali adanya penanaman modal asing terutama di bagian perminyakan bagi para pengusaha asal Amerika Serikat. Akan tetapi, hal ini ternyata tidak cukup mampu membendung arus demokratisasi yang diinginkan rakyatnya.
Ketidakpuasan rakyat Libya semakin diperparah dengan tindakan para putra Moammar Khadafi, yang dituding memperkaya diri sendiri dengan penyalahgunaan aset kekayaan negara. Putra Moammar Khadafi merupakan objek nyata kekecewaan rakyat terhadap Pemimpin Revolusi Libya yang memicu reaksi internasional yang negatif. Misalnya, tindakan Hannibal Moammar Khadafi, putra keempat Moammar Khadafi yang ditangkap di Genewa, Swiss, karena penyiksaan terhadap pembantunya. Hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh putra dari pemimpin sebuah negara ini, malah dijadikan alasan untuk kebijakan politik luar negeri yang tidak strategis, berupa pemboikotan produk Swiss, pencabutan hak usaha bagi para pengusaha Swiss di Libya, dan bahkan penarikan diplomat Libya dari Swiss.
(http://m.news.viva.co.id/news/read/255022-terkuak--foto-seksi---vulgar-menantu-khadafi). Hal ini tentu saja merupakan tindakan yang tidak
didasarkan pada kepentingan rakyat Libya tetapi lebih kepada egoisme pribadi.
Pengaruh Moammar Khadafi terlalu dominan dalam setiap hal mengenai Libya. Hampir di semua sudut kota Libya terdapat potret Moammar Khadafi. Dia
menyebut dirinya sebagai The Brother Leader, Guide of the Revolution dan King
of Kings. Termasuk dengan berbagai tindakannya yang ekstrim seperti pemaksaan
ideologi pribadinya yang dituangkan dalam buku hijau tentang “Teori Ketiga dari
Dunia”.
Universitas Sumatera Utara
filsuf Roma bernama Seneca, Armis Vicit, vitiis victus est, dia yang menang
dengan senjata, tetapi dikalahkan oleh kejahatan-kejahatannya sendiri.
Detik-detik kematian sang diktator begitu tragis. Nampaknya tidak ada penghormatan sedikit pun terhadapnya. Moammar Khadafi yang dalam keadaan lemah dan penuh luka menjadi bulan-bulanan rakyatnya. Beberapa jam setelah tertangkap oleh Dewan Transisi Nasional (NTC), Khadafi akhirnya tewas ditembak, pada 20 Oktober 2011.
Gerakan massa yang diwarnai konflik bersenjata selama delapan bulan, mampu menumbangkan diktator yang telah berkuasa selama 42 tahun itu. Tak ayal, kematian orang kuat di Afrika tersebut disambut suka cita rakyat Libya. Pemimpin Dunia Barat memandang kematian Moammar Khadafi sebagai berakhirnya kekuasaan tirani, dan awal baru bagi masa depan Libya yang lebih baik. Puluhan ribu warga berbondong-bondong turun ke jalan untuk merayakannya.
Jenazah Moammar Khadafi kemudian dipamerkan di sebuah toko daging di Pusat Perbelanjaan, Misrata. Disana, ratusan warga mendatangi untuk melihat lebih dekat mayatnya. Mereka diperbolehkan mendekati dan mengambil foto. Ketika itu, mayat Moammar Khadafi dalam kondisi terbaring dengan dada terbuka. Ia diletakkan di atas kasur tipis. Ia menjadi tontonan warganya sendiri. Akhirnya, di hari Selasa, 25 Oktober 2011, Moammar Khadafi dimakamkan
secara diam-diam di gurun pasir yang dirahasiakan
(http://news.detik.com/read/2011/10/25/094525/1751739/1148/khadafi-akan-dikubur-di-gurun-pasir-yang-dirahasiakan?nd771104bcj).
Cuplikan video dan beberapa foto mayat Moammar Khadafi yang masih berlumuran darah tersebut menghiasi halaman surat kabar lokal di Medan, bahkan
menjadi headline. Surat kabar lokal yang memuat foto-foto tersebut salah satunya
Harian Waspada.
Universitas Sumatera Utara tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Sedangkan objek adalah sesuatu yang menjadi referensi dari tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda (Sobur 2009: 41).
Foto merupakan bagian dari karya seni visual yakni seni gambar. Dalam bidang seni, untuk mengkaji aspek-aspek representasional dari karya seni gambar (seni piktoral) atau seni lukis, terdapat teori ikonografi-ikonologi dari sejarawan seni Erwin Panofsky. Teori ikonografi-ikonologi melihat kenyataan bahwa di samping memiliki kekayaan data-data indrawi pada dirinya sendiri, seperti warna, tekstur, garis, bidang, dan sebagainya dalam satu kesatuan komposisi bentuk
(form), karya seni gambar juga umumnya digunakan untuk merepresentasikan
realitas lainnya di luar karya itu sendiri. Itulah yang dinamakan representasional
yang juga memberikan andil kepada keseluruhan nilai isi intrinsik (content)
sebuah karya seni (Holly, 1985: 146).
Winfried Noth memasukkan teori Panofsky ini ke dalam kelompok semiotik untuk seni lukis. W.J.T Mitchell menyebut teori ikonografi Panofsky sebagai kajian tentang “what images say?” dan “what to say about images?”.
Mitchell menyatakan bahwa rupa dan verba bukanlah dua fakta yang berbeda secara ontologis. Kedua kategori itu dibedakan hanya karena memiliki relasi khusus antara keduanya sebagai alat representasi. Rupa dan verba masing-masing meredefinisikan satu sama lainnya secara terus menerus, sejalan dengan perubahan sosial dan budaya, dan merupakan indikasi yang tajam tentang ideologi masyarakat serta seniman yang hidup dalam zaman itu. Dengan demikian, representasi visual maupun verbal, serta relasi keduanya akan mampu merepresentasikan struktur nilai dan minat masyarakat yang hidup pada satu
zaman tertentu (Noth, 1995:419).
Universitas Sumatera Utara berbeda. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti merasa perlu mengeksplorasi
permasalahan ini lewat skripsi dengan mengangkat judul “Sadisme Dalam Foto
Jurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)”.
1.2Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
”Bagaimanakah Pemaknaan Sadisme Dalam Foto Jurnalistik (Analisis
Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)?”
Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas yang menyebabkan kaburnya penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:
1. Penelitian ini menggunakan model analisis ikonografi oleh Erwin
Panofsky.
2. Penelitian dilakukan pada Harian Waspada.
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis isi foto yang mengandung
unsur sadisme di Harian Waspada.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dunia foto
jurnalistik.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana surat kabar di
Universitas Sumatera Utara
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, yakni:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas
pengetahuan peneliti dalam bidang jurnalistik, khususnya mengenai fotojurnalistik.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
memperkaya khazanah penelitian bidang komunikasi, terutama yang berkaitan dengan kajian tentang media massa di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
3. Sebagai bahan yang dapat dijadikan informasi dan menambah
wawasan pembaca tentang studi media cetak dan foto berita.
4. Secara praktis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perbaikan
serta meningkatkan kualitas pemberitaan surat kabar yaitu Harian
Universitas Sumatera Utara BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memungkinkan seorang peneliti untuk menginterpretasikan dan menjelaskan suatu fenomena secara menyeluruh dengan menggunakan kata-kata, tanpa harus bergantung pada sebuah angka. Menurut Bodgan dan Taylor, metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (Bodgan & Taylor, 1975: 4).
Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif (Suparlan, 1994: 6). Secara teoritis, ada beberapa paradigma yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan penelitian kualitatif. Paradigma tersebut yakni, fenomenologi, etnografi, interaksi simbolik, etnometodologi, dan kontruktivisme (Irawan, 2006: 13).
Universitas Sumatera Utara Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu
sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui
pengamatan langsung dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).
Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).
Konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari “skema” diri yang dimiliki pembelajar. Oleh karena itu, pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran seseorang kepada orang lain, subjek yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman mereka.
Guba menyatakan “Finally, it depicts knowledge as the outcome or
Universitas Sumatera Utara certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26), yang berarti “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.”
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas. Nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Konstruktivis ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene
Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,”
yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah
sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/ kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/ lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari.
Selanjutnya menurut Guba (1990: 27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme, yaitu:
Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya.”
Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke
dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).
Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”
Universitas Sumatera Utara Konstruktivisme bukan merupakan satu teori yang berdiri sendiri, tapi lebih dari itu ia seringkali digambarkan sebagai suatu rangkaian kesatuan. Secara khusus rangkaian kesatuan konstruktivisme ini dibagi dalam tiga katagori besar yaitu konstruktivisme kognitif, konstruktivisme sosial dan konstruktivisme radikal (Suparno, 1997: 25).
Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.
Universitas Sumatera Utara Tidak seperti konstruktivisme kognitif dan konstrukvisme radikal, konstruktivisme sosial menekankan pada menetapkan prinsip-prinsip dalam memelihara pengetahuan alamiah sosial, dan percaya bahwa pengetahuan itu adalah hasil dari interaksi sosial dan menggunakan bahasa, jadi pengetahuan didapat lebih banyak dari hasil tukar pendapat daripada pengalaman individu (Prawatt & Floden, 1994: 37). Konstruktivisme sosial pada umumnya mengecilkan konstruksi mental pada pengetahuan (bukan karena konstruksi sosial tidak percaya pada konstruksi mental, tapi karena melihatnya relatif mudah) dan menekankan pada konstruksi arti dalam aktivitas sosial. Jadi, konstruktivisme sosial lebih memperhatikan konstruksi arti daripada struktur.
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (Bungin, 2009: 195) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam
realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung
kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang
spesifik.
Universitas Sumatera Utara hakikatnya telah terjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bisa mewujud melalui penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, bahkan pengasaran fakta.
Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi media. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas. Para produser mengendalikan isi medianya melalui cara-cara tertentu untuk menjadikan pesan-pesan. Media tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske, 1990: 39).
Gagasan konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini dimulai Deridda (1978) yang terkenal dengan gagasan
deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara
kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial.
Gagasan Deridda sejalan dengan Habermas (1972), bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia dengan kepentingan, walau tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.
Universitas Sumatera Utara demikian maka dekonstruksi dan konstruksi sosial merupakan dua konsep yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.
Realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial di konstruksi dan dimaknai oleh individu lain sehingga memantapkan realitas sosial itu secara objektif. Individu mengonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Semiotika
Basis dari seluruh komunikasi adalah tanda-tanda (signs) (Littlejohn, 1996: 64). Manusia dengan perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dasar segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, isyarat tangan, sebuah kata, keheningan, kebiasaan makan, gejala mode, gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda.
Universitas Sumatera Utara
mahasiswa. Selepas kuliah, kabarnya Irma menjadi aktivis Non Government
Organization (NGO) internasional. Untuk mengetahui kebenaran mengenai Irma,
saya membutuhkan informasi yang berasal dari dua sumber, yang pertama informasi dari sesorang yang mengetahui Irma adalah aktivis dan kedua, informasi yang saya ketahui langsung atau dalam istilah semiotika tanda-tanda yang saya lihat. Beberapa bulan setelah reuni, saya liburan ke Jakarta. Saya
memanfaatkan busway sebagai transportasi yang murah dan praktis. Sekitar 200
meter sebelum melewati Bundaran Hotel Indonesia (tanda simbolik) gerak bus melambat. Posisi duduk saya didekat jendela menghadap ke arah bundaran, saya melihat ternyata sedang ada aksi/ demontrasi.
Pandangan saya tertuju pada seorang wanita memakai baju putih bergambar hewan, memakai ikat kepala, yang sedang berteriak-teriak kepada pengguna jalan menggunakan pengeras suara (tanda ikonik) ditengah kerumunan demonstran (tanda indeksikal). Saya merasa mengenal wanita itu. Dia seperti teman saya Irma. Karena jarak pandang yang cukup jauh, sehingga wajahnya samar-samar. Dari banyaknya spanduk/ poster (tanda verbal) yang mereka pegang, mereka melakukan aksi penyelamatan hutan Indonesia dan meminta kepada presiden untuk serius mengusut pihak-pihak atau perusahaan lokal maupun asing yang melakukan eksploitasi berlebihan pada hutan. Apa yang telah saya lihat, membuat saya mengambil kesimpulan bahwa Irma yang pendiam, sekarang menjadi aktivis. Meskipun tidak menutup kemungkinan, bisa saja Irma adalah masyarakat yang hanya berpartisipasi dan mendukung aksi penyelmatan hutan.
Tanda-tanda adalah perangkat yang digunakan manusia dalam berusaha mencari jalan di dunia ini, di dalam kehidupan antar sesama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to
signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan
(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
Universitas Sumatera Utara Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang karut-marut ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. Pines mengungkapkan “apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran” (Berger, 2000a: 14). Manusia mempunyai kecendrungan untuk mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Seluruh hal yang ada disekelilingnya disebut sebagai tanda, tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode penelitian menggunakan teori semiotika.
Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Maka dari itu, pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut.
Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang
berarti “tanda” atau “seme” yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari
studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap yang menandai adanya api (Sobur, 2009: 16-17). Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2006: 95).
Beberapa ahli yang mengungkapkan pengertian semiotika antara lain, John Lechte menyatakan semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk
komunikasi yang terjadi dengan sarana signs „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada
Universitas Sumatera Utara sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Chales Sanders Peirce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna (Sobur, 2009: 16).
Scholes menyebutkan, semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai
pengkajian tanda-tanda (the study of science), pada dasarnya merupakan sebuah
studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Budiman, 2004: 3). Bahkan Eco menyatakan, semiotika pada prinsipnya merupakan disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh (Sobur, 2009: 18). Maksud dari pernyataan Eco adalah, jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, maka tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan.
Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi yang tidak bisa terlepas dari Ferdinand de Saussure dan semiotika komunikasi yang identik dengan Charles Sanders Pierce. Namun, menurut Yasraf Amir Piliang, pembacaan ulang yang dilakukan oleh Umberto Eco dan Paul J. Thibault terhadap karya Saussure dan Pierce sesungguhnya tidak saling beroposisi atau berseteru, melainkan saling melengkapi seperti sebuah totalitas teori bahasa yang saling menghidupi. Seperti yang dikatakan Eco, bagaimanapun juga „tanda‟ adalah asal usul dari „proses semiosis‟, sehingga dengan demikian tidak ada oposisi atara aktivitas interpretasi Pierce dan kekakuan tanda Saussure (Sobur, 2009: vi).
Universitas Sumatera Utara
dalam buku A Theory of Semiotics (1979). Perdebatan mengenai semiotika yang
akhirnya diredam oleh Eco, membuat orang-orang yang akan menggunakan pandangan Saussure maupun Pierce ataupun para ahli lainnya, akan merangkai sendiri sistem tanda dan penggunaan tanda secara sosial dalam berbagai media komunikasi (iklan, sastra, film, komik, karikatur, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.
Beberapa tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika diantaranya (Sobur, 2009: 39-63) :
a) Charles Sander Peirce. Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi
tanda atas icon (ikon), index (index) dan symbol (simbol). Dijelaskan, ikon
adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya foto dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api. Dan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.
b) Ferdinand de Saussure. Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme
Levi-Strauss, salah satunya ialah signifier (penanda) dan signified (petanda).
Universitas Sumatera Utara c) Roman Jakobson. Jakobson adalah salah seorang dari teoritikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada abad ke-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk
dalam setiap jenis komunikasi verbal: addresser (pengirim), message
(pesan), addresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan
contact (kontak).
d) Louis Hjelmslev. Hjelmslev mengembangkan sistem dwi pihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan
Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. e) Roland Barthes. Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem
pemaknaan tataran ke-dua yang ia sebut dengan konotative, yang di dalam
mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem
pemaknaan tataran pertama.
2.2.2Ikonografi dalam Analisis Semiotika
Universitas Sumatera Utara seputar gambar itu sendiri, dan memperlakukan makna budaya sebagai mata uang yang diberikan yang dibagi oleh semua orang yang terakulturasi dengan budaya populer kontemporer, dan yang kemudian dapat diaktifkan dengan gaya dan isi gambar, ikonografi juga memperhatikan konteks dimana foto tersebut diproduksi dan diedarkan, serta bagaimana dan mengapa makna budaya dan ekspresi visual mereka terjadi secara historis (Van Leeuwen, 2001: 92). Untuk menganalisis sadisme dalam fotojurnalistik, peneliti menggunakan pendekatan ikonografi. Alasan peneliti yakni, selain karena masih minimnya mahasiswa/i yang menggunakan pendekatan ini dalam penelitiannya, ikonografi tidak hanya terbatas pada analisis tekstual (semiotika visual Barthes) tetapi juga menggunakan analisis yang didasarkan pada perbandingan intertekstual dan penelitian latar belakang sejarah.
Istilah ikonografi (iconography) berasal dari istilah Yunani eikonographia
yang merupakan gabungan dari kata eikon yang berarti “citraan” atau “gambar”
dengan graphia yang berarti “menulis”. Secara harfiah ikonografi berarti
“penulisan gambar”. Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah ikonografi seringkali merujuk pada kegiatan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan gambar. Ada pula masanya ketika istilah tersebut cenderung dikaitkan pada pengkajian atas gambar-gambar yang bernuansa keagamaan. Namun sesungguhnya ikonografi merupakan disiplin keilmuan yang menganalisis dan menafsirkan karya-karya visual dalam suatu tinjauan yang implikasinya sangat luas.
Dilihat dari awal kemunculannya, ikonografi erat berpaut pada bidang seni rupa, teristimewa menyangkut ilustrasi buku. Istilah tersebut mulai digunakan pada abad ke-18. Pada waktu itu istilah tersebut mengacu pada kajian atas
karya-karya visual yang berupa engraving (produksi ilustrasi buku seni).
Universitas Sumatera Utara antara lain melalu kajian-kajian para ahli seperti Aby Warburg (1866-1929), Fritz Saxl (1890-1948) dan Erwin Panofsky (1826-1968). Mereka tidak hanya mengobservasi isi gambar, melainkan juga mengiterpretasikan makna gambar. Pada gilirannya kajian-kajian ikonografi tidak hanya berkisar di sekitar sejarah seni, melainkan juga merambah kebidang-bidang lainnya. Lagipula sebagaimana yang dikatakan Panofsky, “ahli sejarah kehidupan politik, puisi, agaman, filsafat, dan keadilan sosial patut menerapkan cara kerja yang analog dengan cara yang diterapkan atas karya seni” (Panofsky, 1939: 16).
Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya
seni rupa adalah iconography (iconografi) dan iconology (iconologi). Melalui
pendekatan iconography (ikonografis)-iconology (ikonologi) maka sebuah pesan
piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual (Van Leeuwen, 2001: 93).
Erwin Panofsky sendiri dikenal sebagai salah seorang perintis kajian
ikonografi dalam sejarah seni. Dalam salah satu bukunya yang utama, Studies in
Iconology (1939), Panofsky mendefinisikan bidang keilmuan ini dengan
mengatakan bahwa “Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang
memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau
makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya)” (Panofsky, 1939: 3). Ketika Panofsky merumuskan metode kerjanya, disiplin sejarah seni cenderung didominasi oleh
kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada bentuk (form) dan penggayaan
(stylistic). Dengan kata lain, metode yang diajukan oleh Panofsky, yang terfokus
pada makna gambar, turut memperbaharui minat intelektual dibidang sejarah seni.
Metode Panofsky pada intinya berupa “tiga strata yang menyangkut pokok atau makan” (three strata of subject matter of meaning) karya visual. Ketiga
tingkatan makan yang terkandung dalam karya visual itu secara berurutan terdiri
atas tingkatan praikonografi (pre-iconography), ikonografi (iconography) dan