ANALISIS KONTRASTIF
SUMIMASEN
BAHASA JEPANG
DENGAN
PUNTEN
BAHASA SUNDA DARI SEGI MAKNA
DAN PENGGUNAAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra
Universitas Komputer Indonesia
HERU ERLANGGA
63807004
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
i
ABSTRAK
Analisis Kontrastif Ungkapan Sumimasen Bahasa Jepang Dengan Ungkapan Punten Bahasa Sunda Dari Segi Makna dan Penggunaan
Antara Sunda dan Jepang tidak terdapat keterkaitan budaya namun terdapat kesamaan diantaranya keduanya, yaitu pada ungkapan sumimasen dan punten. Keduanya bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang sama. Namun tentunya terdapat perbedaan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui apa makna sumimasen dan punten dari segi makna dan penggunaannya, persamaan sumimasen dan punten, serta perbedaannya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, dan obyek penelitiannya adalah ungkapan sumimasen dan ungkapan punten dari segi makna dan penggunaannya. Sumber data diperoleh dari majalah, film, buku pelajaran, dan sebagainya. Penulis juga melakukan wawancara terhadap penutur asli bahasa Jepang maupun penutur asli bahasa Sunda untuk mendapatkan jitsurei dan mengecek sakurei yang penulis buat. Lalu data yang telah dip[eroleh dijadikan korpus kemudian dianalisis.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa Kata sumimasen dilihat dari pola kalimat yang menyertainya dan maupun dari konteksnya memiliki makna : a) “maaf “, b) “permisi”, dan c) “terima kasih”. sedangkan kata punten dilihat dari pola kalimat yang menyertainya dan konteks maknanya memiliki dari adalah a) “permisi”, b) “maaf”, c) “meminta tolong”, d) “penghalus bahasa”. Persamaannya kata sumimasen dengan kata punten jika dilihat dari maknanya adalah kata sumimasen dan kata punten sama-sama bermakna “maaf” dan “permisi. Sedangkan jika dilihat dari penggunaannya, persamaannya adalah a) Berfungsi sebagai penghalus bahasa, b) Dapat digunakan untuk meminta izin, bertanya, atau meminta bantuan, c) Dapat berfungsi sebagai ungkapan penolakan halus, d) Dalam konteks “permisi”, dapat digunakan terhadap lawan bicara yang tidak tergantung pada usia maupun kedudukannya, e) Keduanya merupakan interjeksi (kandoushi). Perbedaan kata sumimasen dengan kata punten jika dilihat dari maknanya adalah a) Sumimasen memiliki makna “terima kasih”, sedangkan punten tidak b) Makna “maaf”sumimasen lebih dalam daripada punten. Sedangkan jika dilihat dari penggunaannya, perbedaannya punten tidak memiliki makna “terima kasih”.
ii
ABSTRACT
Contrastive Analysis of “Sumimasen” and “Punten” From the Aspect of Meaning and Use
Between Sunda and Japan has no linkage, but there are similarities among them, namely the expression “sumimasen” and “punten”. Both of them when translated into bahasa mean “permisi” and “maaf”. But, of course theres is a difference. Therefore, the writer is interested in doing research to find the meaning of “sumimasen” and “punten”, and of course its similarity and difference.
The method that used in this research is descriptive research method, and the object of the research is expression “sumimasen” and “punten” in term meaning and use. Data source obtained from magazines, films, textbooks, and etc. the writer also conducted interviews to native speaker of Japanese and Sundanese to get sakurei and jitsurei to check validity of data. Then, Obtained data sorted and arranged to be a corpus then analyzed.
Based on research that has been done, it is known that “sumimasen” seen for accompanying sentence pattern as well as from its context and meaning : a) “sorry“, b) “excuse me”, dan c) “thank you”, meanwhile “punten” seen for accompanying sentence pattern as well as from its context and meaning : a) “excuse me”, b) “sorry”, c) “expression to ask for help”, d) “polite expression”. The similarities between “sumimasen” and “punten” when viewed from the word meaning, both of them has meaning “sorry” and “excuse me”. Meanwhile, if viewed from its use, a) both of them is a polite expression, b) can be used to ask for permission or ask for help, c) can serve as a subtle expression of rejection, d) in the context of “excuse me”, can be used to everyone and doesn’t depend on age or position, e) both of them are interjection (kandoushi). Differences between a) “sumimasen” and “punten” are “sumimasen” can be translated “thank you”, but “punten” hasn’t, b) in the context “sorry”, “sumimasen” deeper than “punten”.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kontrastif Ungkapan Sumimasen bahasa Jepang dan Punten
bahasa Sunda dari Segi Makna dan Penggunaan” ini dengan lancar dan tanpa hambatan.
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini terdapat banyak kekurangan Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Tajuddin, MA., selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas Komputer Indonesia.
2. Ibu Fenny Febrianty, SS., M.Pd., selaku ketua program studi Sastra Jepang, Universitas Komputer Indonesia.
3. Bapak Soni Mulyawan Setiana, M.Pd., selaku dosen wali.
4. Ibu Pitri Haryanti M.Pd., selaku dosen pembimbing utama yang selalu dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Juju Juangsih, M.Pd., selaku dosen pembimbing kedua yang tak bosan memberikan masukan dan arahannya dalam penyusunan skripsi ini.
iv
7.
Sekretariat Sastra Jepang, Teh Tyas yang telah memberikan banyakbantuannya
8. Kepada Ibu Tanaka Minako yang telah banyak memberikan informasi yang penulis butuhkan selama pembuatan skripsi sekaligus memberikan arahannya dalam pengolahan data.
9. Kepada Bapak Kurahashi Shunsuke yang telah bersedia diwawancara. 10. Kepada Bapak Kosasih Riwayadhie S. selaku narasumber bahasa Sunda
yang telah banyak memberikan informasi dan arahannya terutama dalam pengumpulan data bahasa Sunda.
11. Kepada orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan doa dalam penyusunan skripsi ini.
12. Kepada teman-teman seperjuangan Program Studi Sastra Jepang angkatan 2007, Itang Zakaria, Bimo Haryo, Eri Dani, Fitriyah, Ryan Setiana.
13. Diny Indryani yang senantiasa memberikan bantuan, semangat, kasih sayang, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
14. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan sau persatu. Semoga kebaikan Bapak, Ibu dan semua orang yang telah terlibat mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin.
Bandung, Juli 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa erat kaitannya dengan kognisi manusia, karena bahasa adalah
fungsi kognisi tertinggi yang tidak dimiliki oleh hewan. Menetapkan perbedaan
utama antara bahasa manusia satu dan yang lainnya sangat sulit. Adakalanya
terdapat persamaan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya.
Begitu pula antara bahasa Jepang dengan bahasa Sunda. Bahasa Jepang
dan bahasa Sunda pada dasarnya memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai alat
komunikasi. Jepang dengan suku Sunda yang terdapat di Indonesia tidak memiliki
keterkaitan budaya, akan tetapi terdapat pola yang sama dalam tingkatan
bahasanya.
Edizal (2001:iii) menyatakan, ungkapan dalam bahasa Jepang mengenal
adanya tingkatan bahasa dan dalam penggunaanya kita harus mempertimbangkan
banyak faktor seperti status sosial pembicara dan pendengar serta suasana yang
mengiringinya. Sutedi (2007:153) mengemukakan bahwa terdapat tingkatan
dalam Bahasa Jepang, mulai dari bahasa kasar, bahasa biasa, dan bahasa halus.
Begitu pula dengan ungkapan dalam bahasa Sunda. Bahasa Sunda
memiliki tiga tingkatan tatakrama berbahasa yang disebut undak usuk bahasa
sunda, yaitu basa lemes (bahasa halus), basa loma (bahasa sehari-hari) dan basa
Tidak hanya itu, terdapat beberapa ungkapan dalam bahasa Jepang yang
memiliki kesamaan dalam bahasa Sunda diantaranya adalah kata sumimasen
dengan punten.
Kata sumimasen berasal dari kata 済 む /sumu/ yang berarti “selesai,
berakhir”. Kata sumimasen bisa diartikan sebagai “suatu hal yang tidak selesai”
dan “diri sendiri merasa tidak tenang karenanya”. Ungkapan ini digunakan pada
waktu minta maaf, minta tolong, dan mengucapkan terima kasih (Edizal, 2001 :
118). Berikut contoh penggunaan kata sumimasen berdasarkan ketiga fungsi
tersebut. Lee :(Sumimasen. Kono nimotsu o Amerika ni okuritaindesuga.)
Maaf, saya mau mengirim barang ini ke Amerika. 局員 :はい。航空便ですか、船便ですか。
Kyoukuin:(Hai. Koukuubin desuka, funabin desuka.) Baiklah. Pengiriman lewat udara atau lewat laut?
(Nihongo Shuchuu Toreeningu, 2003 : 66)
Dengan melihat contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa ungkapan
sumimasen memiliki fungsi yang berbeda tergantung konteksnya.
Seperti halnya kata sumimasen, kata punten juga memiliki banyak makna
tergantung situasi pemakaiannya. Kata ini sering sekali diucapkan oleh orang
Sunda, biasanya kata ini diucapkan saat lewat di depan seseorang, saat masuk ke
rumah seseorang, meminta maaf, atau meminta tolong. Berdasarkan hasil
observasi yang penulis peroleh baik melalui interview dengan penututr asli bahasa
Sunda dan dari data literatur, penulis menemukan beberapa contoh penggunaan
kata punten seperti berikut:
(4) Punten, badé ngiring ngalangkung! (permisi, saya ikut (mau) lewat)
(Cahara Basa XI-A, 2006 : 71)
(5) Iklan Kehilangan : Parantos ical, murangkalih namina Ocad. Ciri-cirina: yuswa 10 taun, rambut galing nyere, ngangge acuk beureum sareng lancingan hideung, soca sipit sabeulah, dina pipi aya karang sami kaleci, sareng ngangge sandal tibalik. Ka sugri anu mendakan, punten panglereskeun.. sendalna! (sepuhna: Suryana sareng Ikoh)
(Iklan kehilangan : Telah hilang, seorang anak bernama Ocad. Ciri-cirinya: usia 10 tahun, rambutnya keriting sapu lidi, memakai baju merah dan celana hitam, mata sipit sebelah, di pipinya ada tahi lalat sebesar kelereng, dan memakai sendal terbalik. Kepada yang menemukan, maaf, tolong betulkan sendalnya! (orang tuanya : Suryana dan Ikoh))
(Majalah Cakakak nomor 7)
(6) “...punten bisi Abah kasar teuing nyarita, sok ambek ari ka jalma anu pipilueun nyambungan, padahal urusan manehna oge katélér-télér....”\ (...maaf kalau Bapak terlalu kasar dalam bercerita, saya suka jengkel sama orang-orang yang suka ikut campur urusan orang lain, padahal urusannya sendiri masih terbengkalai...)
Dari contoh-contoh kalimat di atas baik kata sumimasen dalam bahasa
Jepang maupun kata punten dalam bahasa Sunda memiliki fungsi yang sama.
Penulis menyadari bahwa di dunia ini terkadang suatu bahasa yang memiliki
sinonim atau kemiripan dengan bahasa lainnya dan tidak menutup kemungkinan,
bukan hanya makna tetapi penggunaannya juga. Tetapi, setiap ada persamaan
tentu ada perbedaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti persamaan
dan perbedaan antara kata sumimasen dengan kata punten, terutama sejauh mana
persamaan dan perbedaannya baik dari segi makna dan penggunaannya.
1.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Apa makna kata sumimasen bahasa Jepang dari segi penggunaan?
b. Apa makna kata punten bahasa Sunda dari segi penggunaan?
c. Apa persamaan makna kata sumimasen bahasa Jepang dengan punten bahasa
Sunda dari segi penggunaannya?
d. Apa perbedaan makna kata sumimasen bahasa Jepang dengan punten dalam
bahasa Sunda dari segi penggunaannya?
Penganalisisan dibatasi hanya terhadap karakteristik penggunaan,
persamaan dan perbedaan antara sumimasen dan punten dari segi makna dan
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui makna kata sumimasen bahasa Jepang dilihat dari
pengunaannya.
2. Untuk makna kata punten bahasa Sunda dilihat dari penggunaannya.
3. Untuk mengetahui persamaan makna antara ungkapan sumimasen bahasa
Jepang dan punten bahasa Sunda dalam penggunaannya.
4. Untuk mengetahui perbedaan makna antara ungkapan sumimasen bahasa
Jepang dan punten bahasa Sunda dalam penggunaannya
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini :
1. Penulis
Untuk menambah pemahaman dan pengetahuan mengenai persamaan dan
perbedaan ungkapan maaf bahasa Jepang dengan bahasa Sunda dari segi makna
dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pembaca
Memberikan informasi mengenai ungkapan maaf dalam bahasa Jepang dan
bahasa Sunda dan sebagai bahan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan analisis kontrastif ungkapan dalam bahasa Jepang
dengan bahasa daerah lainnya.
3. Pengajar
Dapat dijadikan referensi pada kuliah linguistik umum dan linguistik
bahasa Jepang terutama dalam perbandingan bahasa, khususnya perbandingan
1.5 Definisi Operasional
Definisi operasional digunakan untuk memperjelas serta memudahkan
pembaca dalam memahami definisi yang digunakan dan untuk menjabarkan
definisi-definisi yang digunakan agar tidak terjadi kesalahpahaman anatara
penulis dan pembaca mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam judul
penelitian. Berikut ini adalah definisi dari istilah-istilah yang digunakan dalam
judul penelitian ini :
Analisis Kontrastif Kata Sumimasen bahasa Jepang dengan Punten bahasa
Sunda dari Segi Makna dan Penggunaan
Analisis kontrastif kata sumimasen bahasa Jepang dan punten bahasa
sunda dari segi makna dan penggunaan adalah penelitian yang bertujuan untuk
meneliti persamaan dan perbedaan antara ungkapan sumimasen dengan punten
dari segi makna dan penggunaannya.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
lima bab. Berikut ini adalah sistematika penulisan yang digunakan :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan
dan batasan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, manfaat
penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menunjang dalam
permasalahan yang akan dibahas sebagai landasan dan sebagai teori
pendukung dalam penelitian.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini yang
didalamnya mencakup bahan atau materi penelitian. Dalam bab ini juga
dijelaskan mengenai teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data,
serta tahapan penelitian.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini dijelaskan pembahasan dan penganalisisan kata sumimasen
dan punten dari segi makna dan penggunaannya baik dalam kalimat
maupun kehidupan sehari-hari.
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dari seluruh hasil
penelitian yang telah dilakukan, selanjutnya pada bagian saran penulis
akan memberikan saran-saran serta rekomendasi untuk penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Analisis Kontrastif
Analisis kontrastif disebut pula linguistik kontrastif yang dalam bahasa
Jepangnya disebut taishou gengogaku, taishou bunseki, atau taishou kenyuu ,
yaitu salah satu cabang linguistik yang mengkaji dan mendeskripsikan persamaan
dan perbedaan struktur atau aspek-aspek yang terdapat dalam dua bahasa atau
lebih (Sutedi, 2009 : 116). Sejak akhir Perang Dunia II sampai pertengahan tahun
1960-an, Analisis Kontrastif (Anakon) mendominasi dunia pengajaran bahasa
kedua (B2) dan pengajaran bahasa asing (Tarigan, 2009 : 2).
Analisis Kontrastif, berupa prosedur kerja, adalah aktivitas atau kegiatan
yang mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk
mengidentifikasi perbedaan-perbedaan antara kedua bahasa. Perbedaan-perbedaan
antara dua bahasa yang diperoleh dan dihasilkan melalui Anakon, dapat
digunakan sebagai landasan dalam meramalkan atau memprediksi
kesulitan-kesulitan atau kendala-kendala belajar berbahasa yang akan dihadapi para siswa di
sekolah, terlebih-lebih dalam belajar B2 (Tarigan, 2009 : 5).
Analisis Kontrastif dikembangkan dan dipraktekkan pada tahun 1950-an
dan 1960-an, sebagai suatu aplikasi linguisik struktural pada pengajaran bahasa,
dan didasarkan pada asumsi-asumsi berikut ini :
1) Kesukaran-kesukaran utama dalam mempelajari suatu bahsa baru
2) Kesukaran-kesukaran tersebut dapat diprediksi atau diprakirakan oleh
analisis kontrastif.
3) Materi atau bahan pengajaran dapat memanfaatkan analisis kontrastif
untuk mengurangi efek-efek interferensi. (Richard [et al] 1987 : 63 dalam
Tarigan 2009 : 5)
2.1.2. Hipotesis Analisis Kontrastif
Ellis (1986 : 23) dalam Tarigan (2009 : 6) menguraikan bahwa terdapat
dua versi hipotesis Anakon, yaitu hipotesis bentuk kuat (strong form hypothesis)
dan hipotesis bentuk lemah (weak form hypothesis). Hipotesis bentuk kuat
menyatakan bahwa “semua kesalahan dalam B2 dapat diramalkan dengan
mengidentifikasi perbedaan anatara B1 dan B2 yang dipelajari para “siswa”.
Hipotesis bentuk lemah menyatakan bahwa Anakon dan Anakes (analisis
kesalahan) harus saling melengkapi. Anakes mengidentifikasi kesalahan di dalam
korpus bahasa siswa, lalu Anakon menetapkan kesalahan mana yang termasuk ke
dalam kategori yang disebabkan oleh perbedaan B2 dan B1.
Menurut Tarigan (2009:7), biasanya ada tiga sumber yang digunakan
sebagai penguat atau rasional hipotesis Anakon, yaitu :
1) pengalaman praktis guru bahasa asing;
2) telaah mengenai kontak bahasa di dalam situasi kedwibahasaan;
3) teori belajar
2.1.3. Tujuan Analisis Kontrastif
Dalam Sutedi (2009:117) tujuan dari analisis kontrastif yaitu
(obyek-obyek kebahasaan) yang terdapat dalam dua bahasa yang berbeda atau
lebih. Analisis kontrastif semula ditujukan untuk kepentingan dalam pengajaran
bahasa II, tetapi mengalami perkembangan ke dua arah, yaitu: (1) analisis
kontrastif yang menekankan pada kegiatan pendeskripsian tentang persamaan dan
perbedaannya saja; dan (2) analisis kontrastif yang menekankan pada latar
belakang dan kecenderungan yang menjadi penyebab timbulnya persamaan dan
perbedaan diantara bahasa yang diteliti tersebut.
Pada arah pertama, biasanya yang dibandingkan hanya dua bahasa, yaitu
bahasa sasaran (bahasa II) dan bahasa ibu pembelajar, karena hasilnya akan
dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran bahasa tersebut. Pada arah yang
kedua, yang dibandingkan dua bahasa yang berbeda atau lebih, dengan maksud
untuk mencari kesemestaan (keuniversalan/fuhensei) dari berbagai persamaan dan
perbedaan yang dimiliki setiap bahasa yang ditelitinya (Sutedi, 2009:117).
2.2. Pragmatik
2.2.1. Definisi Pragmatik
Maknyun (2006) menguraikan para pakar pragmatik mendefinisikan istilah
ini secara berbeda-beda. Yule (1996:3), misalnya menyebutkan empat definisi
pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang
mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang
makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau
terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi
menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi
menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial,
menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan
kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik
dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995:
22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang
melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran
(fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah
ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna
dalam interaksi (meaning in interaction).
Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan
dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur
dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau
bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung
ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik
dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa
tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual
(kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
2.2.2. Perkembangan Pragmatik
Suswanto (2009) dalam Maknyun (2006) menjelaskan, bidang
“pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti
dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau
cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan
pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7 dalam
Maknyun, 2008), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau
kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan
aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan
sebab-sebab nonbahasa.
2.2.3. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
a) Teori Tindak-Tutur
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap
sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti
diungkap oleh Marmaridou (2000:1) dalam Maknyun (2008), sejak itu bidang
kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah
kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan
Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson),
dan pragmatik interaktif (Thomas).
Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk
membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya,
melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis
performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin
berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to
make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran
yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang
persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan
kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8 dalam Maknyun, 2008).
Contoh:
(1) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(2) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam
Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur
dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif
(Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (2), struktur dalam ujaran
tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar (Maknyun,
2008)
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan
lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act),
dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan
dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan
dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan
efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam
tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh
Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct
speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct
speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya,
sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu
asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive),
dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif
atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang
dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang
menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur
yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan
dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan
pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status
sesuatu.
b) Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota
masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama
(cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama
yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1)
bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2)
bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau
cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan
informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari
ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara
singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995:
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya,
dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti
diungkap oleh Gunarwan (2004:12-14 dalam Maknyun, 2006), didasarkan atas
beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat
(implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
c) Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57) dalam Maknyun (2008),
menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur
konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan
dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti
diungkap oleh Gunarwan (2004: 14) dalam Maknyun (2006), dapat dicontohkan
dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan
implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58
dalam Maknyun, 2006).
Contoh :
(3) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
(4) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (3) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak
Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (4)
merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan
jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip
implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6)
di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.
d) Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan
kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice.
Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi,
dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori
relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh
penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004:
22) dalam Maknyun (2006), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya
(language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya
indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan
(addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang
hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi
tertentu.
Contoh.
(5) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia
akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap
kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain,
pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan
Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya,
Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan
tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran
merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk
membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua,
komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan
ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif
(cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas,
pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang
disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan
waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau
degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur
dalam percakapan.
e) Kesantunan (Politeness)
Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson
diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama
Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5),
yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri
dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan
kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public
self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap
untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang
pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan
Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan
kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA
diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial,
yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan
bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu,
misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda
dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social
distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua
permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan
kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan
bicara (Renkema 2004: 26).
Contoh :
(6) a. Maaf, Pak, boleh tanya?
b. Numpang tanya, Mas?
Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (6a) mungkin diucapkan
pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya
mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (6b)
mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (6a).
Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya
semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness
strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan
untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan,
misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan
sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan
melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25).
Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti
diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima
macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko
"kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil
kemungkinan pembicara melakukan FTA.
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas
teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam
hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu
bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal
pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal
kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti
diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration
maxim).
2.3. Semantik
Semantik (Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari
terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantik
biasanya dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna: sintaksis,
pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta
pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh agen atau komunitas pada suatu
kondisi atau konteks tertentu (wikipedia.org).
Nurhadi (1995:326) menyatakan dalam bidang semantik dikenal dua
golongan semantik yaitu semantik leksikal dan semantik gramatikal. Semantik
leksikal mempelajari makna kata secara lepas, yaitu makna dalam kamus. Makna
yang ditelaahnya adalah makna yang lepas dari penggunaanya atau konteksnya.
Beberapa ciri relasi makna dalam semantik leksikal diterangkan sebagai
berikut ini.
1) Hiponim
Istilah hiponim berarti nama di bawah nama lain. Verhar (1988:137) dalam
Nurhadi (1995:327) menyatakan bahwa “hiponim (Inggris hyponym) ialah
ungkapan (kata, dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna suatu ungkapn lain”. Istilah hiponim dalam bahasa
Indonesia boleh dipakai sebagai kata benda, boleh juga kata sifat.
2) Homonim
Istilah homonim arti dasarnya adalah nama sama untuk benda lain. Verhar
(1988:135) dalam Nurhadi (1995:327) menyatakan homonym ialah ungkapan
(kata, atau frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain,
3) Antonim
Istilah antonim makna harafiahnya adalah nama lain untuk benda yang lain.
Verhar (1988:133) dalam Nurhadi (1995:328) menyatakan bahwa antonym ialah
ungkapan yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain. Dengan kata
lain antonim adalah leksem-leksem yang berlawanan maknanya.
4) Sinonim
Istilah sinonim makna harafiahnya adalah nama lain untuk benda yang
sama. Verhar (1988:132) dalam Nurhadi (1995:329) menyatakan, sinonim adalah
ungkapan yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan yang lain.
2.3.1. Batasan dan Ruang Lingkup Semantik
Istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi ingustik daripada
istilah untuk ilmu makna lainnya, seperti semiotika, semiologi, semasiologi,
sememik, dan semik. Ini dikarenakan istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai
cakupan objek yang cukup luas,yakni mencakup makna tanda atau lambang pada
umumnya. Termasuk tanda lalulintas, morse, tanda matematika, dan juga
tanda-tanda yang lain sedangkan batasan cakupan dari semantik adalah makna atau arti
yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (www.scribd.com).
2.3.2. Hubungan Semantik dengan Tataran Ilmu Sosial lain
Berlainan dengan tataran analisis bahasa lain, semantik adalah cabang imu
linguistik yang memiliki hubungan dengan Imu Sosial, seperti sosiologi dan
a) Semantik dan Sosiologi
Semantik berhubungan dengan sosiologi dikarenakan seringnya dijumpai
kenyataan bahwa penggunaan kata tertentu untuk mengatakan sesuatu dapat
menandai identitas kelompok penuturnya.
Contohnya :
Penggunaan / pemilihan kata ‘cewek’ atau ‘wanita’, akan dapat menunjukkan
identitas kelompok penuturnya.Kata ‘cewek’ identik dengan kelompok anak muda,
sedangkan kata ‘wanita’ terkesan lebih sopan, dan identik dengan kelompok orang
tua yang mengedepankan kesopanan.
b) Semantik dan Antropologi.
Semantik dianggap berkepentingan dengan antropologi dikarenakan
analisis makna pada sebuah bahasa, menalui pilihan kata yang dipakai penuturnya,
akan dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya penuturnya.
(www.scribd.com).
2.3.3. Analisis Semantik
Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan
yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada
suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain.
Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada
bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan
memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat
bermakna nasi, beras, gabah, atau padi.Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya
mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti
bangsa Indonesia.
Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa
tidak selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang
artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna.
Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Sebaliknya, dua
tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama (www.scribd.com).
Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut :
Bisa ‘racun’
‘dapat’
buku ‘lembar kertas berjilid’
kitab
2.4. Sumimasen
Mizue dalam www.japaneseabout.com menjelaskan bahwa kata
sumimasen pada umumnya diucapkan pada saat seseorang melakukan kesalahan
terhadap orang lain, ketidaksopanan, atau berlaku tidak baik. Sumimasen
diucapkan pula pada saat seseorang ingin bertanya, atau meminta orang lain
melakukan sesuatu untuk dirinya sebagai ungkapan rasa hormat dan menghargai
lawan bicara. Selain itu kata sumimasen bisa digunakan untuk menyatakan terima
kasih karena telah merepotkan atau menyusahkan karena telah melakukan sesuatu
2.4.1. Makna Sumimasen
Dalam Kamus Kanji Modern (Nelson, 2008) 済みません’sumimasen’
berarti “permisi”, “maafkan saya”. Edizal (2010:118) menjelaskan, kata
sumimasen berasal dari kata 済 む /sumu/ yang berarti “selesai, berakhir”.
Ungkapan sumimasen bisa diartikan sebagai “suatu hal yang tidak selesai” dan
“diri sendiri merasa tidak tenang karenanya”.
Dalam situasi yang formal, ungkapan ini dapat digantikan dengan
moushiwake arimasen/moushiwake gozaimasen, biasa diucapkan kepada orang
yang lebih tinggi kedudukannya seperti kepada atasan. Kata sumimasen ada
kalanya diucapkan sumanai/suman dalam situasi yang lebih akrab. Kata ini juga
ada kalanya digantikan dengan kata warui.
2.5. Punten
Dalam Kamus Umum Bahasa Sunda-Indonesia, punten berasal dari kata
pun yang berarti hampura ‘maaf’; pun sapun ka Sang Rumuhun (kalimat pantun
dengan maksud meminta maaf kepada para nenek moyang). Punten (perubahan
dari kata pangapunten) adalah bahasa sopan dari “maaf (bahasa Arab)”,
“hampura”. Kata punten secara pragmatik memiliki banyak fungsi dan sering
digunakan dalam berbagai situasi seperti ketika akan memasuki rumah seseorang,
meminta izin, memohon maaf, lewat di depan seseorang, atau meminta tolong.
2.6. Undak usuk bahasa Sunda
Djajasudarna et. al, (1994:7-11) dalam Rosmana (2009) menyatakan,
istilah undak usuk ‘tingkat tutur’ ini menyangkut bidang sosiolinguistik. Unsur ini
mengacu pada gagasan bahwa bahasa Sunda mengenal tingkat sosial lawan bicara
(orang yang diajak bicara) dan tingkat social yang dibicarakan. Sistem ini
mengakibatkan pilihan kata (diksi) kasar/lemes ‘halus’ sesuai dengan ukuran
tingkat sosial lawan bicara atau yang dibicarakan. Secara pragmatis, dilihat dari
segi pembicaraan pendengar yang dibicarakan tingkat tutur ini memiliki kosakata
kasar bagi pembicara (persona I), pendengar (persona II), dan yang dibicarakan
(persona III), dan kosakata lemes bagi persona I, persona II, dan persona III. Hal
tersebut berlaku pula dalam karya tulisan (penulis - pembaca - yang dibicarakan).
Masalah diksi atau aturan pilihan kata di dalam bahasa Sunda sudah
ditentukan oleh kolokasi (sanding kata). Djajasudarma (1988) dalam Rosmana
(2009) membagi tingkat tutur sebagai berikut.
a) Ardiwinata (1916;1984)
Lemes pisan ‘halus sekali’
Lemes biasa ‘halus biasa’
Lemes keur sorangan ‘halus untuk diri sendiri’
Sedang ‘sedang’
Songong ‘kasar’
Songong paranti nyarekan ‘kasar untuk memarahi/menasehati’
b) Soeriadiradja (1929)
Lemes
Sedang
Kasar
Kasar pisan
c) Adiwidjaja (1951)
Luhur ‘tinggi’
Lemes
Sedeng
Panengah
Kasar
Kasar pisan
d) Djajawiguna (1978)
Lemes
Sedeng
Panengah
Wajar (loma) ‘akrab’
Cohag (kasar pisan) (karena akrab)
Unsur undak usuk ‘tingkat tutur’ di dalam bahasa Sunda berdasarkan
sejarah bahasa, masuk ke dalam bahasa Sunda dan menjadi unsur bahasa Sunda
sejak abad ke-17 (Kata dan Soeriadiradja, 1982 dalam Rosmana, 2009). Hal
tersebut terjadi karena hubungan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan antara
Tingkat tutur berkembang bersamaan dengan”macapat” bentuk sastra
Babad, hasil kerajaan Mataram pada waktu Sultan Agung memerintah (Ajip
Rosidi, 1986 dalam Rosmana, 2008). Fungsi tingkat tutur mengatur orang
berbicara situasional atau pragmatis (dilihat dari segi para peserta ujaran –
komunikasi)
2.7. Teori Konteks
Konsep teori ini ditokohi oleh antropolog Inggris Bronislaw Malinowski.
Malinowski dalam Pateda (1994:104) berpendapat bahwa untuk memahami ujaran
harus diperhatikan konteks situasi. Berdasarkan analisis konteks situasi itu, kita
dapat memecahkan aspek-aspek bermakna bahasa sehingga aspek linguistik dan
aspek non linguistik dapat dikorelasikan.
Teori konteks intinya adalah :
1. Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata tapi terpadu
pada ujaran secara keseluruhan.
2. Makna tidak boleh ditafsirkan secarqa dualis (kata dan acuan) atau secara
trialis (kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode berasal dari kata methodos dalam bahasa latin yang terdiri dari kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya. Kutha (2010:53) dalam Gindarsyah (2010:30) menjelaskan, metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.
Alasan penulis menggunakan metode ini adalah karena pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Selain itu, metode ini dianggap cukup tepat untuk melakukan pendekatan terhadap masalah yang akan diteliti.
3.2 Obyek Penelitian dan Sumber Data
bersumber dari buku pelajaran, majalah, anime, drama Jepang, artikel baik dalam bentuk jurnal maupun internet, facebook, dan sebagainya. Data tersebut berupa contoh-contoh kalimat, dialog, makna kata, dan sebagainya. Data tersebut merupakan data primer. Selain itu penulis juga mewawancara dengan penutur asli bahasa Jepang dan bahasa Sunda untuk mengumpulkan menguji keakuratan data primer serta sebagai data tambahan (sekunder).
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini diantaranya yaitu :
1. Studi kepustakaan
2. Wawancara
Penulis melakukan wawancara dengan penutur asli baik bahasa Jepang maupun bahasa Sunda. Wawancara dengan penutur asli bahasa Jepang dilakukan melalui media jejaring sosial facebook, dengan pertimbangan selain faktor jarak dilihat juga dari segi efesiensi waktu. Sedangkan wawancara dengan penutur asli bahasa Sunda dilakukan secara langsung (tatap muka).
Wawancara dilakukan tidak hanya untuk memperoleh data tapi juga untuk menguji keakuratan data yang diperoleh dari sumber tertulis seperti buku, majalah, dan artikel dari internet.
3.4 Tahapan Penelitian 1. Tahap persiapan
Pada tahap ini penulis mengumpulkan dan mempelajari buku-buku literatur yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti, melakukan pencarian data melalui media internet, mengumpulkan teori-teori yang menunjang penelitian.
2. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan tergambar dalam bagan berikut.
Bagan 2. Tahap pelaksanaan penelitian
3. Tahap pengolahan data
Pada tahap ini, penulis menyusun dan mengolah data utama, kemudian mengklasifikasikannya bedasarkan makna dan penggunaannya. Setelah itu data dianalisis lebih lanjut dengan cara diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Indonesia. Setelah tahap penerjemahan ulang ke dalam bahasa Indonesia selesai, kemudian data bahasa Jepang diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, begitu pula data bahasa Sunda diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang sehingga dapat ditarik kesimpulan. Tahap pengolahan data tergambar dalam bagan berikut
Bagan 3. Tahap pengolahan data Studi Literatur
Wawancara
DATA PENELITIAN KORPUS
(Data mentah)
Studi media elektronik
DATA
PENELITIAN Analisis KESIMPULAN
Punten
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1. Makna Ungkapan Sumimasen
Sumimasen mempunyai makna yang beragam tergantung dari konteksnya. Pada umumnya digunakan untuk meminta maaf karena melakukan kesalahan, tidak sopan, atau berlaku tidak baik. Sumimasen digunakan juga pada saat bertanya, atau meminta orang lain melakukan sesuatu. Selain itu kata sumimasen dapat digunakan untuk menyatakan terima kasih karena telah merepotkan atau menyusahkan karena telah melakukan sesuatu untuk dirinya. Berikut ini adalah hasil analisis makna ungkapan sumimasen dilihat dari susunan kalimat dan konteksnya.
4.1.1 Makna Sumimasen Dilihat dari Pola Kalimat yang Menyertainya Makna sumimasen berbeda-beda tergantung pola kalimat yang menyertainya. Berdasarkan pola kalimatnya, makna sumimasen dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Maaf
Kata sumimasen bermakna “maaf” jika kalimat yang menyertai ungkapan sumimasen berupa kalimat yang menyatakan alasan, penyesalan, atau ungkapanpenolakan, seperti pada contoh berikut.
a) Kalimat yang menyatakan alasan
kata う doushite atau nazeyang keduanya berarti “mengapa” (Sutedi,
2007 : 144). Selain itu, bisa juga menggunakan pola “(kata kerja bentuk TE) / ~ yang berarti “karena….” (menyatakan alasan).
(9) A: う Doushite kimasen deshitaka? A: Naha teu sumping?
(Mengapa kau tidak datang?)
B: あ
1 2
Sumimasen. Jikan ga arimasen deshita. B: Punten, teu aya waktosna
(Maaf, saya tidak sempat)
(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )
Pada contoh (9) A bertanya B dengan menggunakan kata tanya う
yang biasa digunakan untuk menanyakan suatu alasan. Kemudian B menyatakan alasannya “ あ Jikan ga arimasen deshita
(saya tidak sempat/tidak ada waktu)”, kalimat yang menyatakan alasan tersebut
diucapkan setelah kata sumimasen, sehingga makna sumimasen pada contoh (6) adalah maaf. Pada contoh (9), kata sumimasen sebagai pernyataan maaf diletakkan di awal kalimat dan alasannya di akhir kalimat.
(10) 明日 い
1 2
Ashita goissho dekinakute sumimasen.
(Punten, enjing (abdi) teu tiasa ngarencangan) Maaf, besok saya tidak bisa menemani anda.
Contoh (10) menggunakan pola “(kata kerja bentuk TE) / ~ yang
berarti “karena….” (menyatakan alasan) ditambah ” sumimasen”
sehingga diterjemahkan “maafkan saya karena….(alasan)”. Pada contoh (10),
kalimat yang menyatakan alasan diletakkan di awal kalimat, sedangkan kata sumimasen sebagai pernyataan maaf diletakkan di akhir kalimat.
b) Kalimat yang menyatakan penyesalan (~ う~te shimau)
Dalam bahasa Jepang, terdapat pola ~ う(~te shimau). Kata kerja
bentuk Te diikuti dengan Shimau mempunyai dua makna, 1) perbuatan yang dikerjakan sampai tuntas, 2) penyesalan terhadap suatu perbuatan (Sutedi, 2007 : 77).
(11) あ, 取 過 い ?
1 2
A, Sumimasen, torisugiteshimaimashita ka?
Aduh, punten, abdi nyandakna teu seueur teuing kitu? (Aduh, maaf, apa saya mengambilnya terlalu banyak? )
(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )
Contoh (11) merupakan kalimat yang menyatakan penyesalan akibat perbuatan yang tidak disengaja/tidak disadari karena menggunakan pola ~
う~te shimau. Kata 取 過 torisugiru berarti “mengambil terlalu banyak”, karena perbuatan tersebut tidak disengaja maka diubah kedalam bentuk
c. Kalimat yang menyatakan penolakan
(12) A : コンサー チ ッ い 一緒 行
Konsaato no chiketto wo moraimashita. Isshoni ikimasenka. A :Kamari abdi kenging tiket konser. Manawi bade ngiring? (Saya dapat tiket konser. Mau nonton sama-sama tidak?) B : い Itsu desuka.
Sumimasen. Raishuu no doyoubi wa shigoto ga arimasu kara. B : Punten, Saptu minggon payun mah abdi aya padamelan. (Maaf. Hari Sabtu minggu depan saya ada pekerjaan)
A : う 残念 Soudesu ne. Zannen desu ne. A : Oh, kitu nya…
(Begitu ya. Sayang sekali)
(Minna no Nihongo I, 2002 : 77) Contoh (12) merupakan contoh ungkapan sumimasen yang bermakna penolakan. Pada contoh (12) kata sumimasen diikuti kalimat 来 土曜日 仕
事 あ yang berpola ~ kara yang berarti “karena……(alasan subyektif)”. Sebenarnya setelah kalimat “来 土曜日 仕事 あ
” terdapat kata “行 ” ikemasen (saya tidak bisa ikut). Namun, saat B
mengatakan “来 土曜日 仕事 あ ”, A mengerti kalau B
menolak ajakannya. Selain itu orang Jepang tidak akan secara langsung mengatakan “saya tidak bisa pergi” karena akan melukai perasaan lawan bicara.
あ Raishuu no doyoubi wa shigoto ga arimasu kara,
Sumimasen atau diubah menjadi 来 土曜日 仕事 あ
Raishuu no doyoubi wa shigoto ga atte, sumimasen tanpa mengubah makna kalimatnya.
2. Permisi
Kata sumimasen bermakna “permisi” jika kalimat yang menyertai ungkapan sumimasen berupa kalimat yang menyatakan meminta izin, bertanya, atau meminta bantuan kepada seseorang, seperti pada contoh berikut.
a) Sumimasen yang diikuti kalimat meminta izin (~ い /
~ いい )
Kata kerja bentuk Te diikuti dengan Mo ii atau Mo Kamaimasen, berarti “boleh melakukan…” digunakan untuk menyatakan izin kepada seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan (Sutedi, 2007 : 78).
(13) い ?
Sumimasen, koko de tabako wo suttemo kamaimasenka? Punten, kenging ngaroko didieu teu?
(Permisi,Boleh saya merokok di sini?)
(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )
(14) 1 取 いい ?
Sumimasen, kore wo hitotsu totte ii desuka. Punten, tiasa nyuhunkeun hiji?
(Permisi,boleh saya ambil satu?)
Contoh (13) dan (14) merupakan kalimat yang menyatakan meminta izin, karena menggunakan pola ~ い ~te mo kamaimasen atau ~
いい ~te mo ii desu, Keduanya bermakna “boleh” namun jika kedua pola
kalimat tersebut diubah ke bentuk interogatif dengan menambahkan partikel ka, maka maknanya menjadi “bolehkah....”, sehingga dapat dikatakan kata sumimasen
yang menyertai pola kalimat ~ い ~te mo kamaimasenka atau
~ いい ~te mo ii desuka yang menyatakan meminta izin, maknanya menjadi “permisi”.
b) Sumimasen yang diikuti oleh kalimat pertanyaan
Kalimat pertanyaan yang bisa diikuti sumimasen biasanya kalimat pertanyaan yang menyatakan 1) meminta izin (~ い ~te mo
kamaimasenka atau ~ いい ~te mo ii desuka), 2) menanyakan lokasi
suatu tempat atau alamat (menggunakan kata tanya doko yang berarti
dimana), 3) menanyakan seseorang (menggunakan kata tanya ひ dono hito yang berarti “orangnya yang mana?”), atau 4) bertanya “siapa”
(menggunakan kata tanya donata desukayang berarti “siapa”).
(15) A:あ う 田中 人
1 2
Anou, sumimasen, Tanaka-san tte dono hito desuka? A:Punten, Pa Tanaka teh nu mana nya?
(Permisi, Tanaka itu yang mana yah?)
B:田中 ?ほ あ 窓 立 い 人
Tanaka-san? Hora, Ano mado no tokoro ni tatteiru hito desu yo. B:Pa Tanaka? Tah anu nuju tatih caket jandela
A: あ あ あ 眼 鏡 い 人 Aa, Ano megane o kaketeiru hito desu ne.
A:(Oh, anu nganggo kacamata nya) (Oh, yang memakai kacamata itu yah)
(Shin Nihongo no Chuukyuu, 2000 : 71) Pada contoh (15) kata sumimasen diikuti kalimat interogatif/pertanyaan. A menanyakan yang manakah orang yang bernama Tanaka pada B, “あ う
田中 人 (Permisi, Tanaka itu yang mana yah?)”.
Susunannya, kata sumimasen diletakkan di awal, kemudian kalimat interogatifnya diletakkan di akhir.
c) Sumimasen yang diikuti oleh kalimat yang menyatakan meminta
bantuan kepada seseorang dengan pola ~ い い う /
~ い
(16) 李 : 小 川 Ogawa-san, chotto
sumimasen
Lee : Pa Ogawa, punten sakedap (Pak Ogawa, permisi sebentar)
小川 : 何?Nani?
Ogawa : Kulan? (Ya?)
李 : 新 い ソ コ ン 使 い 方 分 い
Atarashii pasokon no tsukaikata ga yoku wakaranain desu.
教 え い い う
Sumimasenga, oshiete itadakenai deshouka.
Lee : Abdi kirang ngartos kumaha carana ngganggo komputer ieu. Punten,manawi tiasa ngawartosan abi?
(Saya tidak mengerti cara menggunakan komputer baru ini. Permisi, bisa tolong ajari saya?)
Pada contoh (16) ungkapan sumimasen yang digunakan menyatakan meminta bantuan kepada seseorang. Dalam contoh (16) kata
diikuti oleh 教 え い い う Sumimasenga, oshiete
itadakenai deshouka yaitu kalimat yang berpola “(kata kerja bentuk TE) い
い う ~te itadakenai deshouka”. Pola kalimat い い
う ~te itadakenai deshouka” dapat diterjemahkan “bisakah anda (membantu) saya…. (kegiatan)?”, biasa digunakan apabila kita ingin meminta
bantuan kepada seseorang. Disamping itu kata sumimasen yang bermakna “permisi” dapat pula diikuti oleh partikel ga sebagai penghalus.
3. Terima Kasih
Sutedi (2007:89) menjelaskan, dalam bahasa Jepang ekspresi untuk menyatakan kegiatan memberi atau menerima sesuatu benda dinyatakan dengan kata kerja AGERU, KURERU, dan MORAU. Ungkapan yang berhubungan dengan kegiatan tersebut dikenal dengan sebutan yari-morai (aksi memberi dan menerima). Kata kerja AGERU dan KURERU dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “memberi”, sedangkan kata kerja MORAU diterjemahkan
“menerima”.
Masih dalam Sutedi (2007:95) kalimat yang diucapkan oleh seseorang dengan menggunakan kata kerja bentuk TE ditambah KURERU atau MORAU, di dalamnya tersirat ekspresi ucapan terima kasih kepada pelaku perbuatan tersebut.
(ungkapan memberi dan menerima). Berikut ini adalah contoh penggunaan sumimasenyang bermakna “terima kasih”.
(17) 出迎え い い Odemukae o itadaite sumimasen. Hatur nuhun tos kersa mapagkeun, punten ngarepotkeun
(Terima kasih sudah menjemput (menyambut) saya)
(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )
(18) 贈 物 い い Okurimono o itadaite sumimasen Hatur nuhun kana hadiahna. Punten tos ngarepotkeun
(Terima kasih atas pemberiannya (hadiahnya))
(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )
Sumimasen pada contoh (17) dan (18) bermakna “terima kasih”, karena
kata kerja yang menyertainya adalah kata い itadaku yang merupakan
bentuk sopan dari kata う morau. Kata い itadaku diubah ke bentuk
TE menjadi い い itadaite kemudian diikuti ungkapan sumimasen.
4.1.2. Makna Sumimasen Dilihat dari Konteks
Makna ungkapan sumimasen tidak hanya dapat dipahami melalui pola kalimat yang mengikutinya saja tapi juga dapat dilihat dari konteks kalimat dan situasinya (bamen). Dilihat dari konteksnya, makna sumimasen terdiri atas :
1. Maaf
maaf, tapi juga digunakan sebagai ungkapan penolakan halus agar lawan bicara tidak tersinggung. Berikut ini contoh penggunaan kata sumimasen yang berarti “maaf”.
(19) A : メ 修理 い い 日曜日
Kono kamera, shuri shite moraitaindesu ga, nichiyoubi made ni dekimasuka.
A :Bade ngalereskeun kamera ieu, upami dugi ka dinten Minggu tiasa teu? (Saya ingin memperbaiki kamera ini, sampai hari Minggu bisa tidak?)
B : あい 今 店 部品 い
Sumimasen. Ainiku ima, mise ni buhin ga nai node, sugu ni dekimasen.
B : Punten, ayeuna nuju kosong onderdilna, janten teu tiasa.
(Kami mohon maaf. Untuk sementara onderdil kameranya tidak tersedia di toko kami jadi tidak bisa diperbaiki secepatnya)
(Shin Nihongo no Chuukyuu, 2000 : 28)
(20) 先日 う
Senjitsu wa doumo sumimasen deshita. Hapunten kalepatan abdi nu kamari
(Saya mohon maaf (atas kesalahan saya) kemarin)
(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )
Ungkapan sumimasen pada contoh (19) dan (20) konteksnya “meminta maaf”. Contoh (19) merupakan contoh percakapan antara tamu dan pelayan toko.
A (tamu) meminta tolong kepada B (pelayan toko) untuk memperbaiki arlojinya dan berharap selesai sampai hari Minggu, namun karena persediaan onderdilnya tidak ada sehingga perbaikan tidak dapat dilakukan segera. Dengan alasan tersebut B meminta maaf kepada A dengan mengatakan “ あい 今 店
onderdil kameranya tidak tersedia di toko kami jadi tidak bisa diperbaiki secepatnya)”. Sama dengan contoh (19), contoh (20) merupakan pernyataan maaf
atas kesalahan yang dilakukan kemarin (kinou), atau bisa juga dilakukan di masa lampau, karena itu ungkapan sumimasen yang digunakan diucapkan dalam bentuk lampau menjadi sumimasen deshita. Contoh (20) bukan hanya pernyataan maaf namun dapat pula bermakna “terima kasih atas bantuan anda kemarin”.
(21) A : コンサー チ ッ い 一緒 行
Konsaato no chiketto wo moraimashita. Isshoni ikimasenka. A : Kamari abdi kenging tiket konser.bade lalajo sasarengan teu?
Saya dapat tiket konser. Mau nonton sama-sama tidak? B : い Itsu desuka.
Sumimasen. Raishuu no doyoubi wa shigoto ga arimasu kara. B : Punten, Saptu minggon payun mah abdi aya padamelan
(Maaf. Hari Sabtu minggu depan saya ada pekerjaan) A : う 残念 Soudesu ne. Zannen desu ne. A : Oh, kitu nya…
(Begitu ya. Sayang sekali)
(Minna no Nihongo I, 2002 : 77)
Ungkapan sumimasen pada contoh (21) bermakna “maaf” sebagai ungkapan penolakan. A mengajak B pergi menonton konser yang akan diadakan hari Sabtu minggu depan, namun karena B ada pekerjaan pada hari itu, maka B menolak secara halus dengan mengatakan “ 来 土曜日 仕事
(Maaf. Hari Sabtu minggu depan saya ada pekerjaan)”. B menggunakan
sumimasen tidak hanya untuk menolak ajakan A tapi sekaligus meminta maaf karena tidak dapat ikut menonton konser.
Jadi sumimasen bermakna “maaf” dalam apabila digunakan sebagai ungkapan maaf (owabi hyougen) seperti pada contoh (20) dan ungkapan penolakan halus seperti pada (21).
2. Permisi
Sumimasen bisa berarti “permisi”, yaitu ungkapan yang diucapkan saat bertanya kepada seseorang, meminta tolong, meminta izin, atau sebagai penghalus bahasa. Biasanya dibelakang kata sumimasen atau diakhir kalimat yang menggunakan ungkapan sumimasen diikuti partikel „ga‟ yang berfungsi
sebagai penghalus agar menimbulkan kesan sopan. Berikut ini adalah contoh penggunaan sumimasendalam konteks “permisi”.
(22) 注文 い Sumimasen. Chuumon shitaino desuga.
Punten, abdi bade mesen (Permisi, saya mau pesan)
(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )
(23) イ Sumimasen. Toire wa doko desuka.
Punten, dupi jamban teh palih mana nya? (Permisi, Toilet dimana ya?)