PEMANFAATAN FUNGI
Aspergillus flavus
,
Aspergillus terreus
,
DAN
Trichoderma harzianum
UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN BIBIT
Rhizophora mucronata
Lamk
SKRIPSI
OLEH:
DARMANTO AMBARITA 111201118/BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tigadolok, Kota Pematang Siantar pada tanggal 11
April 1993. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara dari pasangan
Amson Ambarita dan Konna Silalahi.
Pendidikan formal yang ditempuh penulis selama ini adalah; Pendidikan
Dasar di SD Negeri 091444 Dolok Maraja (1999-2005), Pendidikan Lanjutan di
SMP Negeri 1 Dolok Panribuan (2005-2008), Pendidikan Menengah di SMA
Teladan Pematang Siantar (2008-2011) dan tahun 2011 diterima di Program Studi
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB.
Kegiatan non formal yang diikuti oleh penulis selama perkuliahan adalah
menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU periode 2011-2014
serta anggota Komunitas Mahasiswa Kristen (KMK) USU periode 2011-2015.
Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Silvika pada tahun 2013, asisten
praktikum Silvikultur pada tahun 2014, asisten praktikum Sifat Fisis dan Mekanis
Kayu pada tahun 2014, asisten praktikum Hidrologi Hutan pada tahun 2015 dan
asisten Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2014.
Penulis pernah melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di
Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan Tongkoh pada tahun 2013, selain itu
penulis juga pernah melakukan Praktik Kerja Lapangan di Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Pekalongan Timur Divisi Regional Jawa Tengah pada tahun 2015.
Akhir kuliah penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pemanfaatan Fungi
Aspergillus flavus, Aspergillus terreus dan Trichoderma harzianum untuk
Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk untuk
ABSTRAK
DARMANTO AMBARITA. Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus,
Aspergillus terreus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk. Di bawah bimbingan
akademik oleh YUNASFI dan MISWAR BUDI MULYA.
Kondisi mangrove yang semakin rusak menyebabkan kualitas dan kuantitas bibit mangrove semakin berkurang. Untuk meningkatkan serta mendapatkan bibit mangrove yang baik, maka dibutuhkan rehabilitasi terhadap mangrove. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan berbagai jenis fungi yang dapat meningkatkan daya tumbuh mangrove menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk memberi informasi mengenai fungi yang mempunyai kemampuan yang
besar dalam meningkatkan pertumbuhan bibit R. mucronata. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan aplikasi 3 jenis fungi dan lima ulangan.
Jenis fungi yang diaplikasikan yaitu A. flavus, A.terreus T. harzianum. Pemberian
fungi Trichoderma harzianum memberikan hasil pertumbuhan yang paling baik
terhadap semua parameter pertumbuhan semai R. mucronata dengan tinggi
rata-rata 15,48 cm, diameter 0,47 cm, luas permukaan daun 1375,43 cm2 dan bobot
kering total 119,5 g dibandingkan dengan bibit kontrol serta bibit dengan pemberian fungi yang lain.
ABSTRACT
DARMANTO AMBARITA. The utilization of Aspergillus flavus, Aspergillus
terreus and Trichoderma harzianum Fungis to increase growth of seedling Rhizophora mucronata Lamk. Under academic supervision of YUNASFI and MISWAR BUDI MULYA.
Mangrove condition deteriorating lead to the quality and quantity of mangrove seedlings wane. To improve and get better mangrove seedlings, then the required rehabilitation of mangroves. One of the efforts is the use of various types of fungi that can enhance the growth of mangroves for the better. This research can provide information on the types of fungi are able to increase growth of seedling R mucronata. This study was conducted from June 2014 until January 2015 using a completely randomized design (CRD) with treatment application types of fungi
and five replications. There are three types of fungi namely A. flavus applied,
A.terreus T. harzianum. Application of Trichoderma harzianum gave the best
results on seedling growth parameters R. mucronata, with an average height of
15,48 cm, a diameter of 0,47 cm, 1375,43 cm2 leaf area, and total dry weight of
119,5 g higher than the average of control and another fungi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan perlindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini.
Penelitian ini berjudul “Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus,
Aspergillus terreus dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk”. Tujuan penelitian ini adalah
untuk membandingkan kemampuan berbagai jenis fungi dalam meningkatkan
pertumbuhan Bibit R. mucronata.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M. Si dan kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, S.Si.,
M.Si atas kesediaannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan hasil
penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
turut membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk hasil penellitian yang lebih baik. Akhir kata penulis mengucapkan terima
kasih.
Medan, Maret 2015
DAFTAR ISI
Deskripsi Rhizophora mucronata ... 11
Fungi yang Hidup di Ekosistem Hutan Mangrove ... 13
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 17
Alat dan Bahan ... 18
Prosedur Penelitian... 18
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 36 Saran ... 36 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1.
Kerangka Pemikiran ... 52. Peta Lokasi Penelitian Desa Pulau Sembilan ... 17
3. Proses Pembuatan Suspensi Fungi ... 20
4. Grafik Pertambahan Tinggi Bibit R. mucronata ... 23
5. Grafik Pertambahan Diameter Semai R. mucronata ... 24
6. Grafik Bobot Kering Total Bibit R. mucronata ... 25
7. Grafik Luas permukaan daun R. mucronata ... 26
ABSTRAK
DARMANTO AMBARITA. Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus,
Aspergillus terreus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk. Di bawah bimbingan
akademik oleh YUNASFI dan MISWAR BUDI MULYA.
Kondisi mangrove yang semakin rusak menyebabkan kualitas dan kuantitas bibit mangrove semakin berkurang. Untuk meningkatkan serta mendapatkan bibit mangrove yang baik, maka dibutuhkan rehabilitasi terhadap mangrove. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan berbagai jenis fungi yang dapat meningkatkan daya tumbuh mangrove menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk memberi informasi mengenai fungi yang mempunyai kemampuan yang
besar dalam meningkatkan pertumbuhan bibit R. mucronata. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan aplikasi 3 jenis fungi dan lima ulangan.
Jenis fungi yang diaplikasikan yaitu A. flavus, A.terreus T. harzianum. Pemberian
fungi Trichoderma harzianum memberikan hasil pertumbuhan yang paling baik
terhadap semua parameter pertumbuhan semai R. mucronata dengan tinggi
rata-rata 15,48 cm, diameter 0,47 cm, luas permukaan daun 1375,43 cm2 dan bobot
kering total 119,5 g dibandingkan dengan bibit kontrol serta bibit dengan pemberian fungi yang lain.
ABSTRACT
DARMANTO AMBARITA. The utilization of Aspergillus flavus, Aspergillus
terreus and Trichoderma harzianum Fungis to increase growth of seedling Rhizophora mucronata Lamk. Under academic supervision of YUNASFI and MISWAR BUDI MULYA.
Mangrove condition deteriorating lead to the quality and quantity of mangrove seedlings wane. To improve and get better mangrove seedlings, then the required rehabilitation of mangroves. One of the efforts is the use of various types of fungi that can enhance the growth of mangroves for the better. This research can provide information on the types of fungi are able to increase growth of seedling R mucronata. This study was conducted from June 2014 until January 2015 using a completely randomized design (CRD) with treatment application types of fungi
and five replications. There are three types of fungi namely A. flavus applied,
A.terreus T. harzianum. Application of Trichoderma harzianum gave the best
results on seedling growth parameters R. mucronata, with an average height of
15,48 cm, a diameter of 0,47 cm, 1375,43 cm2 leaf area, and total dry weight of
119,5 g higher than the average of control and another fungi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4,25 juta Ha. Umumnya
mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove tersebar
luas, di Irian Jaya sekitar 2,94 juta Ha (38%), Kalimantan 978 Ha (28%) dan
Sumatera 673.300 Ha (Noor dkk., 2006). Menurut Pramudji (2001), Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas di
dunia. Pada hakekatnya hutan mangrove sangat mudah untuk dikenali dan
dibedakan dengan hutan lainnya, karena hutan ini membentuk suatu formasi yang
khas pada daerah garis pantai. Didalamnya terdapat beberapa jenis flora yang
merupakan bagian dari komunitas ekosistem hutan mangrove, antara lain adalah
jenis Sonneratia sp., Bruguiera sp. Ceriops sp, Aegiceras sp, Excoecaria sp,
Xylocarpus sp. Rhizophora sp dan Avicennia sp.
Hutan mangrove dapat diartikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut yang tergenang pada saat air pasang dan tidak tergenang pada
saat air surut seperti laguna dan muara sungai dimana tumbuhannya memiliki
toleransi yang tinggi terhadap kadar garam (Kusmana dkk., 2003).
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak
dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah
yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara
sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Di wilayah
pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan mangrove tidak optimal.
besar dengan arus pasang surut kuat, karena dalam kondisi ini tidak
memungkinkan adanya pengendapan lumpur yang diperlukan substrat bagi
pertumbuhannya (Dahuri, 2003)
Walaupun ekosistem hutan mangrove tergolong sumberdaya yang dapat
pulih, namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan secara besar-besaran
dan terus menerus tanpa mempertimbangkan kelestariannya, maka kemampuan
ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat tetapi juga
tidak berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Kerusakan
ekosistem hutan mangrove berdampak besar baik secara ekologi, ekonomi,
maupun sosial (Ghufran, 2012).
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan, maka fungsi
lingkungan pantai di beberapa daerah telah menurun atau rusak dimana
banyaknya kepentingan yang menyebabkan kawasan mangrove mengalami
perlakuan yang melebihi kemampuan untuk mengadakan permudaan, pengalihan
penggunaan lahan dari tanah timbul menjadi pemukiman. Selain itu, kurang
adanya usaha yang signifikan dalam melakukan rehabilitasi mangrove yang telah
mengalami kerusakan (Luqman dkk., 2013).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Firman dan Arynantha (2003)
diketahui bahwa fungi Penicillium, Rhizhopus, dan Fusarium memiliki potensi
sebagai penghasil glukosa oksidasi dengan aktivitas yang cukup tinggi. Semakin
banyak karbohidrat yang dihasilkan dan tersedia di dalam tanah akan
meningkatkan laju pembentukan sel-sel baru dan dengan semakin banyak sel-sel
baru yang terbentuk sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama
Berdasarkan penelitian Sihite (2014) pemberian fungi yang berbeda pada
tanaman A.marina memberikan reaksi pertumbuhan dan pertambahan tinggi
tanaman yang berbeda. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan
antara beberapa jenis fungi dalam menyediakan unsur hara bagi A.marina serta
perbedaan enzim yang dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan lumpur.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian fungi memberikan pengaruh
terhadap tinggi dan diameter batang. Pemberian jenis fungi yang berbeda dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan diameter batang A.marina.
Kondisi mangrove yang semakin rusak menyebabkan kualitas dan
kuantitas bibit mangrove semakin berkurang. Untuk meningkatkan serta
mendapatkan bibit mangrove yang baik, maka dibutuhkan rehabilitasi terhadap
mangrove. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan berbagai jenis
fungi yang dapat meningkatkan daya tumbuh mangrove menjadi lebih baik.
Dalam konteksnya, fungi berperan sebagai dekomposer dalam menguraikan bahan
organik dalam tanah sehingga meningkatkan jumlah unsur hara yang dapat
diserap oleh bibit mangrove.
Tujuan Penelitian
1. Membandingkan kemampuan berbagai jenis fungi dalam meningkatkan
pertumbuhan bibit R. mucronata.
2. Menetapkan jenis fungi yang mempunyai kemampuan tinggi dalam
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk memberi informasi tentang fungi yang dapat
meningkatkan pertumbuhan bibit R. mucronata dan menunjang program
rehabilitasi mangrove.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah fungi-fungi yang diaplikasikan untuk
pertumbuhan bibit R. mucronata mendukung pertumbuhan semai tersebut.
Kerangka Pemikiran
Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai stabilisator tepian sungai dan
pesisir dan memberikan dinamika pertumbuhan di kawasan pesisir seperti
pengendalian erosi, menjaga stabilitas sedimen dan bahkan berperan dalam
menambah perluasan lahan daratan dan perlindungan garis pantai. Walaupun
demikian, banyak aktivitas di daerah pesisir yang menyebabkan kerusakan
ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove berdampak besar bagi
ekologi, ekonomi maupun sosial. Dampak secara ekologi salah satu diantaranya
adalah kurangnya ketersediaan bibit baik secara kualitas maupun kuantitas
sehingga proses pemulihan ekosistem mangrove menjadi lambat. Salah satu
kegiatan rehabilitasi mangrove yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan
fungi. Peranan fungi adalah sebagai dekomposer dalam menguraikan bahan
organik dalam tanah sehingga meningkatkan jumlah unsur hara yang dapat
diserap oleh bibit mangrove. Penelitian sebelumnya menggunakan bibit A. marina
mengembangkan penelitian terhadap jenis yang berbeda yaitu R. mucronata
dengan skala pembibitan di lapangan. Alur kerangka pemikiran dapat di lihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian. HUTAN MANGROVE
Rehabilitasi mangrove Kerusakan (konversi, degradasi, pengambilan kayu, pertambangann, pencemaran)
Dekomposisi serasah, peningkatan unsur hara
Pemanfaatan Fungi
Peningkatan pertumbuhan
bibit mangrove termasuk R.
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Kata mangrove mempunyai dua arti pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000). Hutan
mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan
payau. Namun menurut Rochana (2006) penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah
pasang surut (terutama di daerah laguna, muara sungai) yang dipengaruhi oleh
pasang surut yang ditumbuhi oleh komunitas tumbuhan bertoleransi terhadap
garam. Hutan mangrove sering disebut juga hutan pasang surut, hutan payau atau
hutan bakau. Istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu
jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp.
(Kusmana, 1995).
Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati
bagian zona tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang
terbatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan bagi makhluk yang tidak dapat
hidup dalam lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan
yang disebut halofita atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi
demikian sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan halofita obligat
(Indriyanto, 2006).
Sedangkan Saputro dkk., (2009) mengatakan bahwa, mangrove adalah
sekelompok tumbuhan, terutama golongan halopit yang terdiri dari beragam jenis,
dari suku tumbuhan yang berbeda-beda tetapi mempunyai persamaan dalam hal
adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat tumbuhannya dan genangan
pasang surut air laut yang mempengaruhinya. Pengertian tersebut menunjukkan
adanya makna: (1) rezim botani yang menyangkut antara lain taksonomi dan
fisiologi tumbuhan; (2) rezim habitat yang antara lain menyangkut struktur
lingkungan; (3) rezim laut yang antara lain menyangkut kondisi pasang surut
seperti kelas tingginya atau lamanya genangan air laut.
Habitat dan Zonasi Mangrove
Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang
berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas,
temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya
struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai
dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan
lautan, serta menyebabkan terjadinya perbedaan struktur tumbuhan mangrove dari
satu daerah dengan daerah lainnya (Hutahaean dkk., 1999).
Hutan mangrove banyak ditemukan di daerah pantai-pantai dan teluk yang
dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung dari tanjung dan selat.
Kusuma (2003) menyatakan mangrove hidup di daerah antara level pasang naik
tertinggi sampai level disekitar atau diatas permukaan laut rata-rata. Hampir 75%
Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera dan beberapa daerah Kalimatan yang
mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman.
Bengen (1999) menyatakan karakteristik habitat hutan mangrove, yaitu:
a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir,
b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama,
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
d. Terlindung dari gelombang besar dan arus surut yang kuat.
Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran vegetasi
mangrove yaitu : (1) suhu yang relatif tinggi, (2) daerah terlindung, (3) arus yang kuat,
(4) tipe substrat lumpur atau lunak, (5) paparan yang dangkal atau landai, (6) salinitas
atau kadar garam, dan (7) kisaran pasang surut yang tinggi. Hardjowigeno (1998)
menambahkan dari pengamatan kualitatif di lapangan menyimpulkan bahwa terjadinya
zonasi dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :
a. Sifat tanah terutama konsistensi tanah (keras atau lunak), tekstur tanah (liat,
pasir, debu dan sebagainya),
b. Salinitas,
c. Ketahanan jenis vegetasi terhadap arus dan ombak,
d. Kondisi perkecambahan dan pertumbuhan semai.
Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai
variasi yang seragam, yakni hanya terdiri dari satu strata yang berupa pohon-pohon
yang berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20-30 meter. Jika tumbuh di
tanaman sering sekali bengkok. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove
dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut nama-nama vegetasi yang
mendominasi (Arif, 2007).
Pembagian zonasi menurut Arif (2007) juga dapat dilakukan berdasarkan jenis
vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut :
a. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada
zona ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi.
b. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia dan Sonneratia. Pada
zona ini tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran
tanaman terendam selama terjadinya pasang air laut.
c. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini tanah
berlumpur agak keras dan perakaran hanya terendam pasang dua kali sebulan.
d. Zona Nipah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini
sebenarnya tidak harus ada kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir dari
sungai ke laut.
Fungsi Hutan Mangrove
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis,
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Kawasan
pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi
secara timbal balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan
fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari
salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap
paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan
menetralisir bahan-bahan pencemar. Secara biologi hutan mangrove mempunyai
fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah
(spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai
organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai
satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan
mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.
Secara biologis ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang
tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram
karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai
lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang
keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan
oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik
yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota
perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990).
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat.
Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya.
Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan
produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan
pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa
perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain
fungsi fisik.
Menurut Suryanto (2005) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan
a. Penghasil Kayu. Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis pohon
dapat menghasilkan kayu untuk pertukangan dan industri lainnya.
b. Tempat pemijahan berbagai jenis ikan. Dengan adanya hutan mangrove di
tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk
berlindung karena gelombang di bawah tegakan hutan mangrove relatif
tenang. Keberadaan biota tersebut juga didukung banyaknya plankton.
c. Menjaga kelestarian terumbu karang. Terumbu karang sangat berguna untuk
tempat berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan
dikembangkan untuk tempat wisata alam.
d. Mencegah abrasi dan erosi pantai. Keutuhan pantai dapat terjaga dan
menghindari penurunan luasan pantai secara drastis. Menurut informasi 50%
kekuatan gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove
Deskripsi Rhizophora mucronata
Klasifikasi tumbuhan bakau (Rhizophora mucronata) menurut Duke
(2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Spesies : Rizhophora mucronata Lamk.
Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau,
banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut.
Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau
memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam,
pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai
akar tunjang. Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan karena memiliki
lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh menggantung dari
batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin yang dapat dilewati
oksigen tetapi tidak tembus air. Tanaman bakau memiliki daun melonjong,
berwarna hijau dan mengkilap dengan panjang tangkai 17-35 mm. Tanaman ini
umumnya memiliki bunga berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna
kuning-kecoklatan sampai kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga
dan terjadi pada April sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah
berwarna hijau yang umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm
(Kusmana, 2003).
Rhizophora mucronata Lamk adalah salah satu jenis mangrove yang
digunakan untuk rehabilitasi kawasan mangrove di pantai barat maupun pantai
timur di Sulawesi Selatan. Salah satu alasan yang membuat jenis ini banyak
dipilih untuk rehabilitasi hutan mangrove karena buahnya yang mudah diperoleh,
mudah disemai serta dapat tumbuh pada daerah genangan pasang yang tinggi
Fungi yang Hidup di Ekosistem Hutan Mangrove
Fungi merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler (umumnya
berbentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan
seperti anyaman disebut miselium, dinding sel disebut kitin, eukariotik dan tidak
berklorofil. Hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah
organik), parasit (merugikan organisme lain) dan simbiosis. Habitat jamur secara
umum terdapat di darat dan di tempat lembab. Jamur uniseluler dapat
berkembangbiak dengan dua cara yaitu vegetatif dapat dilakukan dengan cara
spora, membelah diri, kuncup. Secara generatif dengan cara membentuk spora
askus (Rustono, 2009).
Keefektifan bakteri, fungi dan hewan lainnya dalam dekomposisi serasah
ditunjukkan oleh cepat atau lambatnya serasah hilang dari permukaan tanah
secepat jatuhnya serasah dari tanaman. Dekomposisi yang lengkap membutuhkan
waktu beberapa minggu bahkan bertahun-tahun. Bahan organik dapat dihancurkan
melalui dua proses utama, yaitu melalui dekomposisi aerobik dan anaerobik
(fermentasi). Kedua proses dekomposisi tersebut dapat memberi manfaat seperti:
mengurangi total masa bahan organik, meningkatkan persentase unsur hara dan
menghilngkan bau busuk, bahan toksik dan patogen yang mungkin ada pada
bahan organik tersebut. Laju dimana bahan organik dapat dihancurkan sangat
ditentukan oleh: jenis atau sifat bahan organik, mikroba penghancur, jenis yang
mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Kurniawan, 2007).
Keanekaragaman bakteri di hutan mangrove memiliki peran penting dalam
proses dekomposisi. Keberadaan bakteri di hutan mangrove dipengaruhi oleh
merupakan bahan organik dan unsur hara yang penting bagi kehidupan organisme
dan produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan.
Meningkatnya jumlah jenis bakteri pada proses dekomposisi serasah setelah
aplikasi fungi mungkin disebabkan oleh kayanya nutrisi yang terdapat pada
serasah daun akibat peranan dari fungi yang diaplikasikan sehingga mendukung
pertumbuhan dari bakteri yang lain. Peranan fungi yang diaplikasikan diduga
sebagai dekomposer awal. Fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma dan
Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa,
selanjutnya fungi banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena
memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulosa yang berguna dalam
penguraian serasah. Fungi akan berperan sangat besar dalam proses dekomposisi
serasah karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan
lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun (Thaher, 2013).
Menurut Sihite (2014), berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman yang
dilakukan di rumah kaca, aplikasi fungi berpengaruh terhadap tinggi tanaman.
Tinggi bibit A.marina dengan berbagai fungi menunjukkan bahwa tinggi tanaman
yang paling rendah adalah tanaman kontrol namun tidak berbeda nyata dengan
tanaman yang diberi perlakuan. Sedangkan yang paling tinggi terdapat pada
perlakuan T. harzianum hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Herlina (2004),
spesies Trichoderma disamping sebagai pengurai, dapat pula berfungsi sebagai
agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Fungi Trichoderma diberikan
ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah
organik (daun dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku
tanaman. Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa fungi penyebab
penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum,
Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsi. Disamping kemampuan sebagai pengendali
hayati, T. harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman,
pertumbuhan tanaman dan hasil produksi tanaman.
Berdasarkan penelitian Thaher (2013), fungi Aspergillus sp yang
diaplikasikan menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan terhadap bobot
kering serasah daun R. mucronata dimana laju dekomposisi paling tinggi terdapat
pada salinitas 31 ppt. Fungi Aspergillus sp merupakan salah satu fungi yang
mampu hidup pada daerah yang ekstrim sesuai dengan pernyataan Effendi (1999).
Fungi ini diketahui mampu bertahan dalam keadaan lingkungan yang tidak
menguntungkan dari pada mikroorganisme lain.
Trichoderma merupakan salah satu fungi yang dapat dijadikan agen
biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat
patogen. Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan,
parasitisme, predasi, atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan
bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan
untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Beberapa penyakit
tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi Trichoderma.
Trichoderma sp. menghasilkan enzim kitinase yang dapat membunuh patogen
sehingga fungi ini sangat cocok digunakan dalam mengelola lahan bekas
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pulau sembilan merupakan nama suatu Desa yang berada di gugusan
pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat
Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Langkat.
Pulau Sembilan secara administrasi terletak di Kecamatan Pangkalan Susu
Kabupaten Langkat. Desa ini terletak sekitar 90 km dari Kota Medan. Adapun
batas-batas lokasinya sebagai berikut:
• Sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kampai
• Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka
• Sebelah selatan berbatasan dengan Pangkalan susu dan
• Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Aru.
Berdasarkan data BPS (2009) bahwa Pulau Sembilan mempunyai luas 24,00
km2, dengan jumlah penduduk 2.159 jiwa dan kepadatan penduduk 89,96 jiwa/km2,
dengan rincian laki-laki berjumlah 1.107 jiwa dan perempuan 1.052 jiwa. Mata
pencaharian masyarakat antara lain petani, nelayan, kerajinan tangan dan pegawai
negeri.
Masalah yang dihadapi di Desa Pulau Sembilan adalah masalah pengeboran
minyak yang dilakukan oleh pihak BUMN di wilayah Pulau Sembilan dan berimbas
kepada sumberdaya laut yang berkurang tahun-tahun terakhir. Masalah lain yang
dihadapi yaitu pembukaan lahan tambak di Pulau Sembilan menyebabkan harus
dikonversinya lahan mangrove yang berimbas kepada berkurangnya lahan mangrove
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014 sampai dengan bulan
Januari 2015. Pengambilan propagul dan penanaman bibit R. mucronata
dilaksanakan di Desa Pulau Sembilan. Peremajaan fungi dilaksanakan di
Laboratorium Bioteknologi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Pulau Sembilan
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan Petri, tabung
reaksi, gelas ukur, labu Erlenmeyer, pipet tetes, timbangan analitik, kamera, oven,
spidol permanen, Autoklaf, inkubator fungi, label kertas, aluminum foil, plastik
clingwrap, lampu Bunsen, gunting, benang nilon, corong, kapas kertas saring,
polybag, sarung tangan, sprayer, kompor.
Bahan penelitian yang digunakan adalah fungi yang diperoleh dari hasil
peremajaan, alkohol 70 %, spritus, antibiotik, aquades.
Prosedur Penelitian Pembuatan PDA
Media Potato Dextrose Agar (PDA) dibuat dengan menggunakan bahan
kentang 200 g, agar-agar 20 g dan gula 20 g. Media PDA dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf dengan suhu 121oC dan
tekanan 15 psi selama 30 menit dan disimpan di lemari pendingin untuk menghindari
pertumbuhan mikroorganisme lain. Sampai media tersebut akan digunakan dalam
proses peremajaan fungi, biasanya cukup 3 hari.
Peremajaan fungi
Media PDA dipanaskan hingga mencair, cawan Petri yang telah steril
disiapkan. Media PDA dimasukkan ke dalam cawan petri sampai seluruh cawan terisi.
Fungi yang telah diisolasi sebelumnya diambil sedikit yaitu 1 cm x 1 cm sebagai inang
dan dimasukkan kedalam cawan petri. Cawan Petri yang berisi fungi kemudian
disimpan dan ditunggu sampai fungi tersebut tumbuh dan berkembang. Waktu yang
dibutuhkan fungi tersebut untuk tumbuh dan berkembang adalah 3 hari dan
Penyiapan media tanam dan penanaman
Media yang digunakan adalah lumpur yang diambil dari kedalaman
0 cm-20 cm dan dimasukkan ke dalam wadah tanam polybag yang berukuran 15
cm.
Pengambilan propagul diupayakan diambil dekat dengan lokasi yang akan
dilakukan penanaman. Pengambilan propagul harus diseleksi, yaitu memilih
propagul yang sehat, ukuran antara 45-75 cm, lurus dan kuat. Pengambilan
propagul tersebut sebaiknya dilakukan pada bulan September untuk jenis
Rhizophora sp. karena pada bulan tersebut bibit jenis mangrove sudah cukup
layak tanam (Wirjodarmodjo, 1982).Propagul R. mucronata kemudian ditanam ke
wadah yang sudah diisi lumpur. Setelah propagul tersebut tumbuh dan memiliki
dua buah daun, diaplikasikan fungi yang didapat dari hasil peremajaan fungi.
Jenis-jenis fungi yang telah disiapkan untuk penelitian diaplikasikan dengan cara
membuat suspensi fungi. Fungiyang tumbuh di media PDA diambil 1 cm x 1 cm,
selanjutnya fungi ini dimasukkan ke dalam air steril 10 ml pada tabung reaksi.
Fungi yang ada dalam tabung reaksi ini selanjutnya dikocok, sampai fungi
terlepas dari agar. Tiap jenis fungi dibuat 5 kali ulangan sesuai dengan perlakuan
yang akan dilaksanakan. Suspensi fungi ini selanjutnya dimasukkan ke dalam
Gambar 3. Proses pembuatan suspensi fungi yang akan diaplikasikan ke bibit
R. mucronata.
Parameter yang diamati
a. Tinggi semai (cm)
Pengukuran tinggi bibit dilakukan sekali dua minggu selama tiga bulan.
Alat ukur yang digunakan adalah penggaris dengan ketelitian 1 cm. Pengukuran
tinggi dimulai dari batang dimana daun pertama muncul, demikian dengan
pengukuran selanjutnya sehingga data yang diperoleh lebih akurat.
b. Diameter semai (cm)
Diameter batang diukur dengan menggunakan kalifer. Untuk mendapatkan
pengukuran yang lebih akurat diameter batang diukur dari batang dimana daun
pertama muncul.
c. Luas daun
Perhitungan luas daun dilaksanakan pada pengamatan terakhir. Daun difoto
diatas kertas putih lalu di scan ke komputer, selanjutnya dihitung dengan
menggunakan software image J.
Suspensi fungi dituang ke polybag Potongan fungi
1 cm x 1 cm
Isolat Fungi Potongan fungi dimasukkan ke
d. Bobot kering tajuk
Dianalisis setelah data terakhir diambil. Daun dan akar dari setiap
perlakuan dan kontrol masing-masing dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
700C sampai berat konstan. Kemudian daun dan akar tersebut ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik.
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap (RAL) karena kondisi lingkungan yang homogen dan
faktor perlakuannya hanya satu yaitu pengaruh aplikasi fungi. Terdapat tiga jenis
fungi yang diaplikasikan dengan lima kali ulangan. ���= �+��+���
Keterangan:
��� = respon pertumbuhan tanaman terhadap perlakuan ke-i ulangan ke-j
� = rataan umum
�� = taraf perlakuan
��� = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j
i = Kontrol, A. flavus, A. terreus, dan T. harzianum
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan terhadap bibit R. mucronata
selama 12 minggu menunjukkan perbedaan pertambahan tinggi, diameter, luas
daun dan berat kering total. Hasil pengamatan bibit R. mucronata 12 minggu
setelah tanam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Bibit R. mucronata 12 Minggu Setelah Tanam
Parameter pengamatan Perlakuan
Kontrol A. flavus A. terreus T. harzianum
Dari pengukuran yang dilakukan selama 12 minggu, diperoleh data tinggi
bibit R. mucronata yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil pengukuran pada
Lampiran 1 menunjukkan bahwa secara keseluruhan data rataan perlakuan
pemberian fungi lebih bagus dibandingkan dengan kontrol. Namun pada
perlakuan A. flavus pada ulangan ke 1 menunjukkan pertumbuhan tinggi yang
lebih rendah dibandingkan kontrol. Hal ini dikarenakan pada ulangan tersebut
fungi tidak memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap bibit walaupun
terjadi peningkatan tinggi bibit setiap minggunya. Semua bibit yang ditanam
memiliki persentase hidup 100% dan tumbuh dengan baik. Semua bibit
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1).
Pertambahan tinggi yang lebih tinggi terdapat pada bibit R. mucronata dengan
perlakuan T.harzianum dengan tinggi rata-rata 15.48 cm sedangkan yang
terendah terdapat pada bibit tanpa aplikasi fungi dengan tinggi rata-rata 10.08
cm. Grafik rataan pertambahan tinggi setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Rataan Pertambahan Tinggi Bibit R. mucronata.
Diameter bibit
Pemberian fungi berpengaruh terhadap diameter bibit R. mucronata. Hasil
pengukuran diameter dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengukuran diameter
pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan data rataan diameter
bibit dengan perlakuan pemberian fungi lebih bagus dibandingkan dengan
kontrol. Diameter tertinggi terdapat pada bibit R. mucronata dengan perlakuan
aplikasi fungi T.harzianum yang memiliki diameter 0,476 cm. Sedangkan
sebesar 0,40 cm (Tabel 1). Semua bibit menunjukkan perubahan diameter setiap
minggunya serta memberikan nilai yang berbeda-beda dengan perlakuan yang
berbeda-beda.. Pertumbuhan semua bibit R. mucronata mengalami kenaikan
setiap minggunya, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Rataan Pertambahan Diameter Bibit R. mucronata.
Luas daun
Luas daun dihitung pada akhir pengamatan untuk setiap perlakuan. Data
pengukuran luas daun dapat dilihat pada Lampiran 3 yang menunjukkan secara
keseluruhan luas daun dengan pemberian fungi lebih baik dibandingkan dengan
kontrol. Aplikasi fungi menunjukkan perbedaan luas daun pada masing-masing
perlakuan (Tabel 1). Luas daun tertinggi terdapat pada bibit R. mucronata dengan
perlakuan T. harzianum sebesar 1375.43 cm2, sedangkan yang terendah terdapat
pada kontrol dengan luas daun sebesar 920,85 cm2. Perbedaan luas daun pada
Gambar 6. Grafik Luas Daun Bibit R. mucronata
Berat Kering Total
Setelah data tinggi dan diameter diperoleh, dihitung bobot kering total
bibit R. mucronata seperti yang tercantum pada Lampiran 4. Secara keseluruhan
data bobot kering dengan perlakuan pemberian fungi menunjukkan hasil yang
bagus dibandingkan dengan kontrol. Bobot kering total merupakan hasil
penjumlahan dari bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Bobot kering tertinggi
terdapat pada bibit dengan perlakuan T. harzianum sebesar 119.5 g dan yang
terendah terdapat pada kontrol yaitu sebesar 66.9 g (Tabel 1). Perbedaan berat
kering total pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7. 920,85
Kontrol A flavus A tereus T harzianum
Gambar 7. Grafik Berat Kering Total Bibit R. mucronata.
Pembahasan
Aplikasi fungi yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula terhadap
bibit R. mucronata. Dibandingkan dengan kontrol, bibit yang diaplikasikan fungi
memiliki pertumbuhan yang lebih baik. Hasil pengamatan terhadap bibit untuk
semua parameter menunjukkan bahwa fungi memiliki peran yang sangat penting
untuk pertumbuhan tanaman baik tinggi bibit, diameter bibit, luas permukaan
daun serta berat kering total bibit.
Tinggi bibit
Hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa
aplikasi fungi berpengaruh terhadap tinggi bibit R. mucronata. Tinggi bibit
R. mucronata dengan pemberian fungi menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan yang paling tinggi terdapat pada
perlakuan dengan pamberian fungi T. harzianum. Hal ini sesuai dengan pendapat
66,9
Kontrol A flavus A tereus T harzianum
Suheiti (2010) bahwa T. harzianum memiliki kemampuan untuk berkembang
dengan cepat yaitu 7 hari pada media padat. Setelah konidia T. Harzianum
diintroduksikan ke tanah, akan tumbuh kecambah konidia di sekitar perakaran
tanaman. Seiring dengan laju pertumbuhan yang cepat, maka dalam waktu sekitar
tujuh hari daerah perakaran tanaman sudah dikolonisasi (didominasi) oleh T.
harzianum. Semakin banyak koloni T. Harzianum maka kompetisi dengan jamur
patogen pun lebih baik. T. harzianum pun dapat menjadi dekomposer yang dapat
memperbaiki struktur tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, menahan
air, meningkatkan aktivitas biologis mikroorganisme tanah yang menguntungkan
bagi tanaman. Ini menyebabkan fungi jenis ini mampu memberikan pertumbuhan
yang lebih baik dibandingkan jenis fungi yang lain. Selain itu, Trichoderma spp.
telah banyak diselidiki sebagai agensia hayati untuk mengendalikan berbagai
penyakit tanaman tertentu, T. harzianum telah banyak dikomersialkan untuk
mengendalikan penyakit busuk akar, dan penyakit rebah kecambah yang
disebabkan oleh jamur Fusarium, Rhizoctonia dan Pythium (Verma et al., 2007).
Trichoderma harzianum efektif digunakan untuk mengendalikan patogen
F.culmarum, F. oxysporum, F. moniliforme, R.solani, Sclerotium rolfsii,
Gaeumannomyces graminis var. tritici dan Drechslera sorokiniana (Haggag dan
Mohamed, 2007). Perbedaan pertumbuhan tinggi bibit dapat dilihat pada Gambar
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 8. Kondisi bibit R mucronata setelah 12 minggu pengamatan, (a). Bibit
dengan perlakuan fungi A flavus, (b). Bibit dengan perlakuan kontrol,
(c). Bibit dengan perlakuan fungi A terreus, (d). Bibit dengan
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa selama pengamatan semua
bibit tumbuh dengan baik. Bibit dengan pemberian fungi T. harzianum
memberikan pertumbuhan yang terbaik dari perlakuan yang lainnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Sihite (2014), juga menunjukkan bahwa fungi T. harzianum
mampu memberikan pertumbuhan terbaik terhadap bibit A. marina. Hal ini
dikarenakan, Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa fungi
penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium
oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsi. Disamping kemampuan sebagai
pengendali hayati, T. harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran
tanaman, pertumbuhan tanaman dan hasil produksi tanaman. Hal itu juga
diperkuat dengan pernyataan Herlina (2004) yang menyatakan bahwa spesies
Trichoderma disamping sebagai pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen
hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Fungi Trichoderma diberikan ke
areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah
organik (daun dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku
sebagai biofungisida,yang berperan mengendalikan patogen penyebab penyakit
tanaman.
Pemberian fungi yang berbeda pada tanaman R. mucronata memberikan
reaksi pertumbuhan dan pertambahan tinggi tanaman yang berbeda. Hal ini terjadi
karena adanya perbedaan kemampuan antara beberapa jenis fungi dalam
menyediakan unsur hara bagi R. mucronata serta perbedaan enzim yang
dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan serasa yang terdapat pada
lumpur sebagai media tanam. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
R. mucronata. Dan hasil uji lanjutan dengan BNT 5% menunjukkan bahwa
perlakuan fungi dengan T. harzianum berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Diameter batang
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan, pertumbuhan
diameter tertinggi terdapat pada fungi T. harzianum dengan diameter rata-rata
0,476 cm dan pertumbuhan diameter terendah terdapat pada tanaman kontrol
dengan diameter rata-rata 0,4 cm.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian fungi memberikan
pengaruh terhadap diameter batang. Pemberian jenis fungi yang berbeda dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan diameter batang pada R. mucronata. Fungi yang
memberikan pertumbuhan terbaik adalah T. harzianum. Hal ini sesuai dengan
pendapat Thaher (2013), Fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma dan
Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa,
selanjutnya fungi banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena
memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulose yang berguna dalam
penguraian serasah. Fungi akan berperan sangat besar dalam proses dekomposisi
serasah karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan
lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun. Peningkatan
jumlah unsur hara dalam tanaman akan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Ketersediaan unsur hara P dalam tanaman mampu meningkatkan kekuatan batang
bibit sehingga bibit tidak mudah roboh. Unsur hara P digunakan tanaman sebagai
sumber energi, proses fotosintesis, glikolisis dan perkembangan akar (Doberman
dan Fairhust, 2000). Fungi juga memiliki potensi sebagai penghasil glukosa
dihasilkan dan tersedia di dalam tanah akan meningkatkan laju pembentukan
sel-sel baru dan dengan semakin banyak sel-sel-sel-sel baru yang terbentuk sehingga
meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama pertambahan diameter batang.
Salah satu alternatif pengendalian yang memberikan harapan untuk
dikembangkan yaitu pengendalian hayati dengan menggunakan jamur antagonis
Trichoderma spp. Mekanisme Trichoderma spp. dalam mengendalikan berbagai
jenis pathogen tanaman dapat dibedakan secara langsung dan tidak langsung
terhadap patogen. Menurut Harman (2000), mekanisme secara langsung berupa
kompetisi, hiperparasit, antibiosis dan lisis. Harman et al. (2004) melaporkan
bahwa mekanisme tidak langsung terhadap patogen diantaranya memperkuat
sistem perakaran, meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan
ketersediaan hara dan menginduksi ketahanan tanaman. Aspergillus terreus dapat
menghambat pertumbuhan jamur patogen Botrytis cinerea karena mengeluarkan
senyawa volatile seperti : α-phellandrene, acetic acid pentyl ester dan
2-acetyl-5-methylfuran (Ting et al., 2010).
Menurut Ekowati (2000) menyatakan bahwa keberhasilan mekanisme ini
terjadi karena T. harzianum mampu menghasilkan senyawa antifungi. Zat yang
dikeluarkan dapat menembus tanaman inang dan membentuk satu penghalang
bagi masuknya jamur patogen tular tanah. Dengan dihambatnya jamur patogen,
maka transpor hara dan air menjadi lancar. Hal ini menyebabkan pertumbuhan
tanaman akan baik, sehingga berpengaruh terhadap pertambahan diameter batang.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian fungi
uji lanjutan dengan BNT 5% menunjukkan bahwa perlakuan fungi dengan
T. harzianum berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Luas permukaan daun
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa luas permukaan daun dengan
aplikasi fungi T. harzianum memberikan hasil yang lebih bagus dibandingkan
dengan kontrol dan fungi yang lain. Hal ini dikarenakan T. harzianum adalah
cendawan menguntungkan yang bersimbiosis mutualisme dengan akar tanaman,
karena peran cendawan Trichoderma sangat penting dalam memberikan sinyal
auksin dan merangsang pertumbuhan tanaman (Nurahmi, 2012). Selain itu
penggunaan T. harzianum juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman, karena kemampuannya dalam mendegradasi senyawa-senyawa yang
sulit terdegradasi seperti lignosellulosa (Affandi, 2001). Selanjutnya dijelaskan
oleh Bugisinesia (2010), bahwa pemberian Trichoderma mampu menghambat
perkembangan penyakit layu fusarium sampai 47,53 % dibandingkan dengan
tanaman kontrol, dikarenakan Trichoderma menghasilkan enzim lytic
ekstraseluler seperti 1,3 β-glukanase dan chitinase yang dapat menyebabkan lisis
pada dinding sel inangnya. Pemberian fungi mampu mengurangi penyakit pada
daun seperti hawar daun, sehingga daun tetap segar dan berfungsi dengan baik.
Hasil penelitian Suwahyono (2004) pemberian T. harzianum dapat
meningkatkan jumlah akar serta daun menjadi lebih lebar, yang ditunjukkan
dengan tumbuhnya serabut akar baru dan pucuk-pucuk daun yang baru. Hal
tersebut menunjukkan hal yang sama dengan peningkatan luas permukaan daun
pada bibit R. mucronata. Bibit dengan pemberian fungi T. harzianum memiliki
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian fungi
tidak berpengaruh nyata terhadap luas permukaan daun bibit R. mucronata.
Aplikasi fungi tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun pemberian fungi
menunjukkan luas permukaan daun yang lebih baik dari kontrol. Kemampuan
masing masing fungi dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman berbeda-beda
sehingga hasil yang diperoleh menunjukkan data yang berbeda-beda pula.
Berat Kering Total
Penggunaan jenis fungi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap
berat kering total tanaman. Hasil perhitungan untuk bobot kering total
menunjukkan bahwa berat kering total rata-rata tanaman yang diberi jenis fungi
A. flavus, A. tereus, T. harzianum berbeda nyata dengan kontrol. Berat kering
total rata – rata tanaman yang diberi fungi T. harzianum lebih tinggi dari semua
perlakuan (Tabel 1).
Secara keseluruhan berat kering tanaman kontrol lebih rendah
dibandingkan perlakuan. Berat kering tanaman merupakan hasil pertumbuhan
keseluruhan semua organ tanaman. Berat kering menunjukkan kemampuan
tanaman dalam menyerap bahan organik yang digunakan untuk proses
pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan
unsur hara dan air, penyerapan air dan hara yang baik dipengaruhi oleh
pertumbuhan akar, dengan pemberian fungi maka pertumbuhan akan menjadi
lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan air berjalan baik yang berakibat
juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan lebih baik.
pertumbuhan, mampu mengeluarkan senyawa anti fungi sehingga zat tersebut
merupakan penghalang bagi masuknya jamur patogen.
Upaya dalam meningkatkan kesuburan tanah dalam mendukung
pertumbuhan tanaman, yaitu dengan penggunaan Trichoderma sp sebagai agen
hayati yang membantu mendegradasi bahan organik sehingga lebih tersedianya
hara bagi pertumbuhan tanaman (EPA. 2000). Ketersediaan unsur hara dalam
tanaman meningkatkan pertumbuhan seluruh organ tanaman sehingga
meningkatkan berat kering tanaman. Bagian tanaman yang dijadikan sampel
untuk bobot kering yaitu akar, batang dan daun. Unsur hara yang tersedia di dalam
tanah akan meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap unsur hara tersebut
sehingga bobot kering tanaman akan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Herlina (2004) menunjukkan bahwa pemberian T. harzianum dapat meningkatkan
pertumbuhan akar, khususnya jumlah akar samping dan panjang akar primer serta
struktur anatomi akar. Selanjuntnya, Suryanti et al., (2003) menyatakan bahwa
agen hayati Trichoderma sp mampu mendekomposisi lignin, selulosa, dan kithin
dari bahan organik menjadi unsur hara yang siap diserap tanaman.
Keunggulan dari biofungisida dibandingkan dengan jenis fungisida kimia
sintetis adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen di dalam tanah,
ternyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini
terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif
Trichoderma spp dalam memacu hormon/stimulator pertumbuhan tanaman
(Suwahyono, 2004).
Dari seluruh hasil yang diperoleh, diketahui bahwa aplikasi fungi memberi
pertumbuhan yang lebih bagus, hal ini disebabkan tanah berperan penting dalam
mempercepat penyediaan hara dan juga sebagai sumber bahan organik tanah.
Salah satu manfaat dari fungi adalah kemampuannya dalam mendekomposisi
serasah serta bahan organik tanah, sehingga meningkatkan ketersediaan jumlah
unsur hara di dalam tanah. Penyerapan unsur hara ini meningkatkan pertumbuhan
bibit sehingga dibandingkan dengan kontrol bibit dengan aplikasi fungi memiliki
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perbandingan kemampuan fungi T. harzianum : A. flavus : A. tereus dalam
meningkatkan bibit R mucronata adalah 100% : 58,3% : 41.6%.
2. Pemberian fungi T. harzianum memberikan hasil yang lebih baik terhadap
semua parameter pertumbuhan semai R mucronata.
Saran
Perlu dilakukan penelitian terkait dengan pemanfaatan fungi T. harzianum
terhadap spesies selain mangrove seperti peningkatan bibit spesies dataran tinggi
sehingga dapat dilihat kemampuan fungi tersebut dalam meningkatkan
pertumbuhan bibit-bibit pada dataran tinggi.
Rekomendasi
Sebaiknya untuk mempercepat proses pertumbuhan bibit pada persemaian
digunakan fungi Trichoderma harzianum sehingga diperoleh bibit yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, M., Ni’matuzahrohdan A. Supriyanto. 2001. Diversitas dan visualisasi karakter jamur yang berasosiasi dengan proses degradasi serasah di lingkungan Mangrove. Medika Ekstra. 2 (1) : 39-52.
Arif. 2007. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.
Bengen, D., G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, IPB. Bengen, Dietriech G, 2000. Sinopsis Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.
BPS. 2009. Kecamatan Pangkalan Susu dalam Angka. Badan Pusat Statistik KSK Pangkalan Susu Kabupaten Langkat.
Bugisinesia, T., U. Nurwaidah dan A. Gafar. 2010. Pengaruh teknik aplikasi
cendawan antagonis Trichoderma spp menekan penyakit layu fusarium
(Fusarium oxysporumf. sp) tanaman kentang (Solanum tuberosum l.). prosiding seminar ilmiah dan pertemuan tahunan pei dan pfi xx komisariat daerah sulawesi selatan : 267-275
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Doberman, A., T. Fairhust. 2000. Nutrient Disorders and Nutrient Management.
International Rice Research Institute. Manila. Philippines.
Duke, N.C. 2006. Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. annamalai,
R. lamarckii (Indo–West Pacific stilt mangrove). Permanent Agriculture Resources2 (1) : 17-26.
Effendi, I. 1999. Pengantar Mikrobiologi Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekan Baru.
Ekowati N, Ratnaningtyas & Mumpuni. 2000. Aktivitas senyawa antifungi
beberapa isolat lokal Gliocladium spp dan Trichoderma spp
terhadap Phyptophthora pakmivora penyebab busuk buah kakao.
LaporanPenelitian. Purwokerto: UNSOED
EPA. 2000. Trichoderma hazianum Rifai Strain T–39 (119200) Technical
Dokument.
Firman, A. P. dan I. P. Aryantha. 2003. Eksplorasi dan Isolasi Enzim Glukosa
Oksidase dari Fungi Inperfekti (Genus Penicillium dan Aspergillus). KPP
Ghufran, M. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. PT. Rineka cipta. Jakarta.
Haggag, W.M., and H. A.L. A. Muhamed, 2007. Biotechnological Aspects of
Microorganisms Used in Plant Biological Control. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture, 1(1): 7-12.
Hardjowigeno, S. 1989. Metode Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Harman GE, Howell CR, Viterbo A, Chet I & Lorito M. 2004. Trichoderma
species: Opportuninistica virulent plant symbionts. Nature
Review/microbiology 2(1) : 43-56.
Harman GE. 2000. Changes in perceptions derived from research on
Trichoderma harzianum T-22. Plant Disease 84 (4):377-392.
Herlina L, Dewi P & Mubarok I, 2004. Efektivitas biofungisida Trichoderma
viride terhadap pertumbuhan tomat. Laporan Penelitian. Semarang: FMIPA UNNES
Hutahaean, E., C. Kusmana, dan H. R. Dewi. 1999. Studi kemampuan tumbuh
anakan mangrove jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza
dan Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 5, (1):77-85.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan Bumi Aksara. Jakarta
Kusmana, C. 1995. Pengembangan Sistem Silvikultur Hutan Mangrove dan
Alternatifnya. Rimba Indonesia30, (1):35-41.
Kusmana, C. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Luqman, A., Wanjat K., Iwan S. 2013. Analisis kerusakan mangrove akibat aktivitas penduduk di pesisir kota cirebon. Antologi Geografi, (1) : 15-23, Edisi 2 Oktober 2013
Naamin, M. 1990. Penggunaan Lahan Mangrove untuk Budidaya Tambak. Keuntungan dan Kerugiannya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Bandar Lampung
Nurahmi, E., Susanna dan R. Sriwati. 2012. Pengaruh Trichoderma terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit kakao, tomat, dan kedelai. Floratek 7 (1) : 57 – 65.
Pramudji. 2001. Upaya pengelolaan rehabilitasi dan konservasi pada lahan mangrove yang kritis kondisinya. 26 (2):1-8.
Rochana. 2006. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. Diakses
dari
Rustono. 2009. Jamur. http://blog.unnes.ac.id.
Saenger, P. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. IUCN. Commision on
Ecology No. 3.
Saputro, J. B. et al. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Jakarta: Pusat Survey
Sumber Daya Alam Laut Badan Koordinasi Survey dan pemetaan Nasional (Bakosurtanal).
Sihite, E. 2014. Jenis-Jenis Fungi Dan Pengaruh Aplikasinya Terhadap
Pertumbuhan Semai Avicennia marina. Skripsi. USU. Medan.
Suheiti, R., T. Chamzurni dan Sukarman. 2010. Deteksi dan identifikasi
cendawan endofit Trichoderma yang berasosiasi pada tanaman Kakao.
Jurnal Agrista. 15 (1): 15-20.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Suryanti, T. Martoedjo, A-H. Tjokrosoedarmono, dan E. Sulistyaningsih. 2003. Pengendalian Penyakit Akar Merah Anggur pada The dengan Trichoderma spp. Hlm. 143-146. Pros. Kongres Nasional XVII dan Seminar Nasional FPI, Bandung, 6-8 Agustus 2003.
Suryanto H, Dartoyo A dan Pramono GH. 2005. Prosedur dan Spesifikasi Teknis Analisis Kesesuaian Budidaya Tiram Mutiara. Norma, Prosedur, Pedoman, Spesifikasi dan Standar. Pusat Survey Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal.
Suwahyono. 2004. Trichoderma harzianum, indigeneous untuk pengendalian
hayati.studi dasar menuju komersialisi. Disampaikan pada Seminar
Biologi.Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.
Thaher, E. 2013. Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora mucronata dengan
Aplikasi Fungi Aspergillus sp. Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Skripsi.
USU. Medan
Ting, A.S.Y., S.W. Mah and C.S. Tee. 2010. Identification of Volatile Metabolites
oxysporum F. sp. cubense Race 4. American Journal of Agricultural and Biological Sciences, 5 (2): 177-182.
Tjandrawati, T. 2003. Isolasi dan Karakteristik Sebagai Kitinase
Trichoderma viride, TNJ 63. Jurnal Natural Indonesia. (2) : 143-151 ISSN 1410 – 9379.
Verma, M., S. K. Brar, R.D. Tyagi, R.Y. Surampalli, and J.R. Val´ero. 2007.
Antagonistic fungi, Trichoderma spp.: Panoply of biological control.
Biochemical Engineering Journal 37 (1) : 1–20.
White, A.P et al. 1987. The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan
Cilacap (iclarm, 1989).
Wiryodamodjo, H. dan Z. Hamzah. 1982. Beberapa pengalaman Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan mangrove. Prosiding Seminar II
Ekosistem Hutan Mangrove 15: 29-40.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pengukuran Tinggi Bibit R mucronata.
Perlakuan Ulangan Pengukuran ke-
Uji lanjutan BNT 5%
Perlakuan Tinggi Rataan Notasi
Kontrol 10.08 cm a
A. tereus 11.6 cm ab
A. flavus 12.58 cm b
T. harzianum 15.48 cm c
Keterangan : Angka didampingi huruf yang sama pada tinggi rataan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Lampiran 2. Data Pengukuran Diameter Bibit R mucronata.
Perlakuan Ulangan Pengukuran ke-
Anova: Single
Perlakuan Diameter Rataan Notasi
Kontrol 0.4cm a
A. tereus 0.414 ab
A. flavus 0.428 cm ab
T. harzianum 0.476 cm b
Keterangan : Angka didampingi huruf yang sama pada diameter rataan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Lampiran 3. Data Pengukuran Berat Kering Total Bibit R mucronata
Column 4 5 119.6 23.92 36.532
Perlakuan 359.546 3 119.8487 2.890985 3.2388tn
Galat 663.296 16 41.456
Total 1022.842 19
Ket : tn = Tidak berpengaruh nyata
Lampiran 4. Data Pengukuran Luas Permukaan Daun Bibit R mucronata
Perlakuan Ulangan Total
Perlakuan 29394.24 3 9798.079 3.010794 3.23887tn
Galat 52069.09 16 3254.318
Total 81463.33 19
Lampiran 5. Dokumentasi kegiatan
a. Media tanam bibit b. Persemaian bibit
c. Kondisi bibit pada awal tanam d. Kondisi bibit di persemaian
d. Pengukuran diameter bibit e. Perhitungan berat kering total