TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Kata mangrove mempunyai dua arti pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000). Hutan
mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan
payau. Namun menurut Rochana (2006) penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah
pasang surut (terutama di daerah laguna, muara sungai) yang dipengaruhi oleh
pasang surut yang ditumbuhi oleh komunitas tumbuhan bertoleransi terhadap
garam. Hutan mangrove sering disebut juga hutan pasang surut, hutan payau atau
hutan bakau. Istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu
jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp.
(Kusmana, 1995).
Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati
bagian zona tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang
terbatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan bagi makhluk yang tidak dapat
hidup dalam lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan
yang disebut halofita atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi
demikian sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan halofita obligat
(Indriyanto, 2006).
Sedangkan Saputro dkk., (2009) mengatakan bahwa, mangrove adalah
sekelompok tumbuhan, terutama golongan halopit yang terdiri dari beragam jenis,
dari suku tumbuhan yang berbeda-beda tetapi mempunyai persamaan dalam hal
adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat tumbuhannya dan genangan
pasang surut air laut yang mempengaruhinya. Pengertian tersebut menunjukkan
adanya makna: (1) rezim botani yang menyangkut antara lain taksonomi dan
fisiologi tumbuhan; (2) rezim habitat yang antara lain menyangkut struktur
lingkungan; (3) rezim laut yang antara lain menyangkut kondisi pasang surut
seperti kelas tingginya atau lamanya genangan air laut.
Habitat dan Zonasi Mangrove
Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang
berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas,
temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya
struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai
dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan
lautan, serta menyebabkan terjadinya perbedaan struktur tumbuhan mangrove dari
satu daerah dengan daerah lainnya (Hutahaean dkk., 1999).
Hutan mangrove banyak ditemukan di daerah pantai-pantai dan teluk yang
dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung dari tanjung dan selat.
Kusuma (2003) menyatakan mangrove hidup di daerah antara level pasang naik
tertinggi sampai level disekitar atau diatas permukaan laut rata-rata. Hampir 75%
Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera dan beberapa daerah Kalimatan yang
mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman.
Bengen (1999) menyatakan karakteristik habitat hutan mangrove, yaitu:
a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir,
b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama,
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
d. Terlindung dari gelombang besar dan arus surut yang kuat.
Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran vegetasi
mangrove yaitu : (1) suhu yang relatif tinggi, (2) daerah terlindung, (3) arus yang kuat,
(4) tipe substrat lumpur atau lunak, (5) paparan yang dangkal atau landai, (6) salinitas
atau kadar garam, dan (7) kisaran pasang surut yang tinggi. Hardjowigeno (1998)
menambahkan dari pengamatan kualitatif di lapangan menyimpulkan bahwa terjadinya
zonasi dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :
a. Sifat tanah terutama konsistensi tanah (keras atau lunak), tekstur tanah (liat,
pasir, debu dan sebagainya),
b. Salinitas,
c. Ketahanan jenis vegetasi terhadap arus dan ombak,
d. Kondisi perkecambahan dan pertumbuhan semai.
Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai
variasi yang seragam, yakni hanya terdiri dari satu strata yang berupa pohon-pohon
yang berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20-30 meter. Jika tumbuh di
tanaman sering sekali bengkok. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove
dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut nama-nama vegetasi yang
mendominasi (Arif, 2007).
Pembagian zonasi menurut Arif (2007) juga dapat dilakukan berdasarkan jenis
vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut :
a. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada
zona ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi.
b. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia dan Sonneratia. Pada
zona ini tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran
tanaman terendam selama terjadinya pasang air laut.
c. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini tanah
berlumpur agak keras dan perakaran hanya terendam pasang dua kali sebulan.
d. Zona Nipah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini
sebenarnya tidak harus ada kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir dari
sungai ke laut.
Fungsi Hutan Mangrove
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis,
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Kawasan
pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi
secara timbal balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan
fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari
salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap
paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan
menetralisir bahan-bahan pencemar. Secara biologi hutan mangrove mempunyai
fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah
(spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai
organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai
satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan
mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.
Secara biologis ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang
tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram
karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai
lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang
keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan
oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik
yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota
perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990).
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat.
Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya.
Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan
produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan
pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa
perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain
fungsi fisik.
Menurut Suryanto (2005) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan
a. Penghasil Kayu. Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis pohon
dapat menghasilkan kayu untuk pertukangan dan industri lainnya.
b. Tempat pemijahan berbagai jenis ikan. Dengan adanya hutan mangrove di
tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk
berlindung karena gelombang di bawah tegakan hutan mangrove relatif
tenang. Keberadaan biota tersebut juga didukung banyaknya plankton.
c. Menjaga kelestarian terumbu karang. Terumbu karang sangat berguna untuk
tempat berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan
dikembangkan untuk tempat wisata alam.
d. Mencegah abrasi dan erosi pantai. Keutuhan pantai dapat terjaga dan
menghindari penurunan luasan pantai secara drastis. Menurut informasi 50%
kekuatan gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove
Deskripsi Rhizophora mucronata
Klasifikasi tumbuhan bakau (Rhizophora mucronata) menurut Duke
(2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Mytales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rizhophora
Spesies : Rizhophora mucronata Lamk.
Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau,
banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut.
Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau
memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam,
pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai
akar tunjang. Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan karena memiliki
lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh menggantung dari
batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin yang dapat dilewati
oksigen tetapi tidak tembus air. Tanaman bakau memiliki daun melonjong,
berwarna hijau dan mengkilap dengan panjang tangkai 17-35 mm. Tanaman ini
umumnya memiliki bunga berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna
kuning-kecoklatan sampai kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga
dan terjadi pada April sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah
berwarna hijau yang umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm
(Kusmana, 2003).
Rhizophora mucronata Lamk adalah salah satu jenis mangrove yang
digunakan untuk rehabilitasi kawasan mangrove di pantai barat maupun pantai
timur di Sulawesi Selatan. Salah satu alasan yang membuat jenis ini banyak
dipilih untuk rehabilitasi hutan mangrove karena buahnya yang mudah diperoleh,
mudah disemai serta dapat tumbuh pada daerah genangan pasang yang tinggi
Fungi yang Hidup di Ekosistem Hutan Mangrove
Fungi merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler (umumnya
berbentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan
seperti anyaman disebut miselium, dinding sel disebut kitin, eukariotik dan tidak
berklorofil. Hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah
organik), parasit (merugikan organisme lain) dan simbiosis. Habitat jamur secara
umum terdapat di darat dan di tempat lembab. Jamur uniseluler dapat
berkembangbiak dengan dua cara yaitu vegetatif dapat dilakukan dengan cara
spora, membelah diri, kuncup. Secara generatif dengan cara membentuk spora
askus (Rustono, 2009).
Keefektifan bakteri, fungi dan hewan lainnya dalam dekomposisi serasah
ditunjukkan oleh cepat atau lambatnya serasah hilang dari permukaan tanah
secepat jatuhnya serasah dari tanaman. Dekomposisi yang lengkap membutuhkan
waktu beberapa minggu bahkan bertahun-tahun. Bahan organik dapat dihancurkan
melalui dua proses utama, yaitu melalui dekomposisi aerobik dan anaerobik
(fermentasi). Kedua proses dekomposisi tersebut dapat memberi manfaat seperti:
mengurangi total masa bahan organik, meningkatkan persentase unsur hara dan
menghilngkan bau busuk, bahan toksik dan patogen yang mungkin ada pada
bahan organik tersebut. Laju dimana bahan organik dapat dihancurkan sangat
ditentukan oleh: jenis atau sifat bahan organik, mikroba penghancur, jenis yang
mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Kurniawan, 2007).
Keanekaragaman bakteri di hutan mangrove memiliki peran penting dalam
proses dekomposisi. Keberadaan bakteri di hutan mangrove dipengaruhi oleh
merupakan bahan organik dan unsur hara yang penting bagi kehidupan organisme
dan produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan.
Meningkatnya jumlah jenis bakteri pada proses dekomposisi serasah setelah
aplikasi fungi mungkin disebabkan oleh kayanya nutrisi yang terdapat pada
serasah daun akibat peranan dari fungi yang diaplikasikan sehingga mendukung
pertumbuhan dari bakteri yang lain. Peranan fungi yang diaplikasikan diduga
sebagai dekomposer awal. Fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma dan
Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa,
selanjutnya fungi banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena
memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulosa yang berguna dalam
penguraian serasah. Fungi akan berperan sangat besar dalam proses dekomposisi
serasah karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan
lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun (Thaher, 2013).
Menurut Sihite (2014), berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman yang
dilakukan di rumah kaca, aplikasi fungi berpengaruh terhadap tinggi tanaman.
Tinggi bibit A.marina dengan berbagai fungi menunjukkan bahwa tinggi tanaman
yang paling rendah adalah tanaman kontrol namun tidak berbeda nyata dengan
tanaman yang diberi perlakuan. Sedangkan yang paling tinggi terdapat pada
perlakuan T. harzianum hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Herlina (2004),
spesies Trichoderma disamping sebagai pengurai, dapat pula berfungsi sebagai
agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Fungi Trichoderma diberikan
ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah
organik (daun dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku
tanaman. Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa fungi penyebab
penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum,
Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsi. Disamping kemampuan sebagai pengendali
hayati, T. harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman,
pertumbuhan tanaman dan hasil produksi tanaman.
Berdasarkan penelitian Thaher (2013), fungi Aspergillus sp yang
diaplikasikan menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan terhadap bobot
kering serasah daun R. mucronata dimana laju dekomposisi paling tinggi terdapat
pada salinitas 31 ppt. Fungi Aspergillus sp merupakan salah satu fungi yang
mampu hidup pada daerah yang ekstrim sesuai dengan pernyataan Effendi (1999).
Fungi ini diketahui mampu bertahan dalam keadaan lingkungan yang tidak
menguntungkan dari pada mikroorganisme lain.
Trichoderma merupakan salah satu fungi yang dapat dijadikan agen
biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat
patogen. Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan,
parasitisme, predasi, atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan
bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan
untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Beberapa penyakit
tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi Trichoderma.
Trichoderma sp. menghasilkan enzim kitinase yang dapat membunuh patogen
sehingga fungi ini sangat cocok digunakan dalam mengelola lahan bekas
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pulau sembilan merupakan nama suatu Desa yang berada di gugusan
pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat
Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Langkat.
Pulau Sembilan secara administrasi terletak di Kecamatan Pangkalan Susu
Kabupaten Langkat. Desa ini terletak sekitar 90 km dari Kota Medan. Adapun
batas-batas lokasinya sebagai berikut:
• Sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kampai
• Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka
• Sebelah selatan berbatasan dengan Pangkalan susu dan
• Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Aru.
Berdasarkan data BPS (2009) bahwa Pulau Sembilan mempunyai luas 24,00
km2, dengan jumlah penduduk 2.159 jiwa dan kepadatan penduduk 89,96 jiwa/km2,
dengan rincian laki-laki berjumlah 1.107 jiwa dan perempuan 1.052 jiwa. Mata
pencaharian masyarakat antara lain petani, nelayan, kerajinan tangan dan pegawai
negeri.
Masalah yang dihadapi di Desa Pulau Sembilan adalah masalah pengeboran
minyak yang dilakukan oleh pihak BUMN di wilayah Pulau Sembilan dan berimbas
kepada sumberdaya laut yang berkurang tahun-tahun terakhir. Masalah lain yang
dihadapi yaitu pembukaan lahan tambak di Pulau Sembilan menyebabkan harus
dikonversinya lahan mangrove yang berimbas kepada berkurangnya lahan mangrove