• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Daun Murbei(Morus spp.) Terhadap Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dan Kualitas Kokon Di Pusat Serikultur Sukamantri, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Daun Murbei(Morus spp.) Terhadap Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dan Kualitas Kokon Di Pusat Serikultur Sukamantri, Bogor"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN

BERBAGAI JENIS DAUN MURBEI(Morus spp.)

TERHADAP PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.)

DAN KUALITAS KOKON DI PUSAT SERIKULTUR SUKAMANTRI,

BOGOR

R. DENDI RAMDHAN WAGEANSYAH

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

R. DENDI RAMDHAN WAGEANSYAH. Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Daun Murbei (Morus spp.) Terhadap Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dan Kualitas Kokon di Pusat Serikultur Sukamantri, Bogor. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan F.X. KOESHARTO.

Murbei (Morus sp.) merupakan satu-satunya pakan bagi ulat sutera jenis Bombyx mori L. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan daun yang sesuai yaitu, daun yang mudah dimakan serta dicerna oleh ulat sesuai dengan tingkat pertumbuhannya dan harus mengandung semua zat yang diperlukan bagi pertumbuhan ulat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis murbei atau kombinasi dari dua jenis murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat sutera serta mampu menghasilkan kokon yang berkualitas

Hasil pengujian secara statistik menyatakan bahwa perbedaan jenis murbei tidak memberikan perbedaan secara nyata terhadap banyaknya konsumsi pakan per ekor selama periode ulat kecil, daya tahan tubuh ulat akhir instar III dan V, bobot tubuh akhir instar V, persentase kokon yang dihasilkan, persentase kokon cacat, persentase kulit kokon, dan persentase filamen (P>0.05). Secara umum kombinasi jenis murbei yang paling baik digunakan adalah M. bombycis var. lembang dan M. cathayana. Jenis murbei M. bombycis var. lembang paling baik digunakan selama periode ulat kecil (instar I-III). Jenis murbei ini memberikan nilai daya tahan dan bobot tubuh ulat akhir instar III paling baik diantara ketiga jenis murbei yang diujikan. Sedangkan, jenis murbei yang paling baik digunakan selama periode ulat besar (instar IV-V) adalah M. cathayana. Jenis murbei ini menghasilkan nilai daya tahan, bobot kokon rata-rata, persentase produksi kokon, persentase kulit kokon, dan persentase filamen paling baik diantara ketiga jenis murbei lainnya. Selain itu, kedua jenis murbei tersebut memiliki kandungan nutrisi yang sesuai bagi pertumbuhan ulat sutera pada masing-masing fase pertumbuhan ulat.

ABSTRACT

R. DENDI RAMDHAN WAGEANSYAH. The Feeding Effect of Different Species of Mulberry Leaves (Morus spp.) Against The Growth of Silkworm’s (Bombyx mori L.) and Quality of Cocoon at Sukamantri Sericulture Teaching Farm, Bogor. Under supervision of DEDY DURYADI SOLIHIN and F.X. KOESHARTO.

Mulberry is the only silkworm’s (Bombyx mori L.) feed, accordingly need for suitable leaves that is, such as easy to feed and digest by silkworm. The study aimed to justify the species/variety of mulberry leaves and its combination which is conformed for silkworm’s growth and qualified cocoons

(3)

PENGARUH PEMBERIAN

BERBAGAI JENIS DAUN MURBEI(Morus spp.)

TERHADAP PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.)

DAN KUALITAS KOKON DI PUSAT SERIKULTUR SUKAMANTRI,

BOGOR

R. DENDI RAMDHAN WAGEANSYAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul

: Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Daun Murbei (

Morus

spp.)

Terhadap Pertumbuhan Ulat Sutera (

Bombyx mori

L.) dan Mutu

Kokon di Pusat Serikultur Sukamantri, Bogor

Nama

: R. Dendi Ramdhan Wageansyah

NIM

: G34103011

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr. Drh. FX Koesharto, M. Sc.

NIP 131415134

NIP 130354150

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. Hasim, DEA

NIP 131578806

(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dipilih dan dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2007 ialah pakan ulat sutera dengan judul Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Daun Murbei (Morus spp.) Terhadap Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dan Mutu Kokon di Pusat Serikultur Sukamantri, Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Bapak Dr. drh. F.X. Koesharto selaku pembimbing, Ibu Dr. Clara M. Koesharto, Pak Hudaya, Pak Saeful, Pak Rozak, Pak Pudin, Mang Goded, Mang Adih, Pak Aca, Urip, staf Laboratorium Balai Penelitian Ternak Bogor, Eko Heryanto serta seluruh staf Departemen Biologi yang telah bersedia membimbing, memberikan fasilitas, saran dan masukan, serta membantu dalam penelitian dan pembuatan skripsi.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala doa, perlindungan, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan keluarga, Ibu, Nenek, Kakak, dan Adik tersayang. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Muli yang telah mencurahkan perhatiannya, seluruh sahabat-sahabat Biologi atas semua hari-hari yang penuh dengan kenangan bahagia, motivasi, serta ikatan kekeluargaan yang telah terjalin.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga laporan sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan khususnya bagi pengembangan persuteraan alam Indonesia.

Bogor, Juli 2007

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 16 Juni 1984 dari keluarga Bapak Anwar S dan Ibu Lilis Sumiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cianjur pada tahun 2003 dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi TPB tahun ajaran 2005/2006, 2006/2007, dan 2007/2008, Biologi BUD S1 pra-Universitas pada tahun 2007 serta mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Berpembuluh tahun ajaran 2007/2008 dan aktif dalam kegiatan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABIO) sebagai sekretaris Paguyuban Mahasiswa Biologi (PAMABI) tahun 2004/2005 dan ketua Paguyuban Mahasiswa Biologi (PAMABI) tahun 2005/2006. Selain itu, pada tahun 2006 penulis melakukan kegiatan praktek lapang di Perkebunan Teh Maleber PT Tenggara, Cianjur, Jawa Barat dengan judul “Pemeliharaan Tanaman Teh (Camellia sinensis (L) O. Kuntze) di Perkebunan Teh Maleber PT Tenggara, Cianjur, Jawa Barat”.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 3

Bahan ... 3

Alat ... 3

Tempat Tumbuh Tanaman Murbei ... 4

Metode ... 4

Pemeliharaan Ulat Sutera ... 4

Desinfeksi ... 4

Pemeliharaan Ulat ... 4

Pemberian pakan ... 4

Pembersihan ... 4

Pengokonan ... 5

Perlakuan Penelitian ... 5

Parameter Yang Diamati ... 5

Pengukuran Suhu dan Kelembaban ... 5

Analisis Daun Murbei ... 5

Umur Ulat ... 5

Jumlah Daun Yang Dikonsumsi ... 5

Daya Tahan Tubuh Ulat ... 5

Pengukuran Bobot Tubuh ... 5

Kualitas Kokon ... 5

Kualitas Filamen ... 6

HASIL Analisis Daun Murbei ... 6

Umur Ulat ... 6

Jumlah Daun Murbei Yang Dikonsumsi ... 7

Daya Tahan Hidup Ulat ... 8

Bobot Tubuh Ulat ... 8

Kualitas Kokon ... 9

Persentase Produksi Kokon ... 9

Persentase kokon Cacat... 9

Bobot Kokon Rata-Rata ... 9

Persentase Kulit Kokon... 9

Persentase Filamen ... 10

PEMBAHASAN Kualitas Daun Murbei ... 10

Umur Ulat ... 10

Jumlah Konsumsi Daun Murbei ... 11

Daya Tahan Ulat ... 11

Bobot Tubuh Ulat ... 12

Kualitas Kokon ... 13

Persentase Produksi Kokon Dan Kokon Cacat ... 13

Bobot Kokon Rata-Rata ... 13

Persentase Kulit Kokon... 14

(8)

SIMPULAN ... 15

SARAN ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil analisis proksimat empat jenis daun murbei (dalam %) ... 6

2 Umur ulat pada berbagai instar ... 6

3 Hubungan jumlah daun yang dikonsumsi pada ulat kecil per ekor dengan jenis murbei yang diberikan ... 7

4 Hubungan jumlah daun yang dikonsumsi pada ulat besar per ekor dengan jenis murbei yang diberikan ... 7

5 Hubungan daya tahan ulat pada akhir periode ulat kecil dan besar dengan setiap jenis murbei yang diberikan ... 8

6 Hubungan bobot tubuh ulat dengan jenis murbei yang diberikan ... 8

7 Hubungan jenis murbei dengan produksi kokon ... 9

8 Persentase kokon cacat ... 9

9 Hubungan bobot kokon rata-rata yang dihasilkan dengan jenis murbei yang diberikan ... 9

10 Hubungan jenis murbei dengan persentase kulit kokon ... 9

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Perbandingan empat jenis murbei (a).M. multicaulis, (b) M. cathayana, (c) M. alba var.

kanva-2, (d) M. bombycis var. lembang ... 2

2 Jumlah pakan yang dikonsumsi per ekor dari instar I-V ... 7

3 Pertumbuhan ulat pada instar IV yang terhambat dan tidak seragam... 8

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Faktor kadar air daun dirajang halus ... 19

2 Faktor kadar air daun dirajang kasar ... 19

3 Faktor kadar air daun utuh ... 19

4 Suhu dan kelembaban selama periode ulat kecil ... 20

5 Suhu dan kelembaban selama periode ulat besar ... 20

6 Analisis proksimat daun murbei Lab. Balai Penelitian Ternak, Bogor ... 21

7 Umur ulat pada berbagai instar ... 22

8 Jadwal pemberian murbei pada ulat kecil (I-III) ... 22

9 Jadwal pemberian murbei pada ulat besar (IV-V) ... 23

10 Jumlah pakan yang diberikan ... 24

11 Konsumsi daun per ekor pada setiap instar ulat kecil (g/ekor) ... 25

12 Sidik ragam konsumsi daun per ekor instar I ... 25

13 Sidik ragam konsumsi daun per ekor instar II ... 25

14 Sidik ragam konsumsi daun per ekor instar III ... 25

15 Konsumsi daun per ekor pada setiap instar IV (g/ekor) ... 26

16 Sidik ragam konsumsi daun per ekor instar IV ... 27

17 Uji Tukey konsumsi daun per ekor instar IV ... 27

18 Konsumsi daun per ekor pada setiap instar V (g/ekor) ... 28

19 Sidik ragam konsumsi daun per ekor instar V ... 29

20 Uji Tukey konsumsi daun per ekor instar V ... 29

21 Daya tahan ulat selama periode ulat kecil (%) ... 29

22 Sidik ragam daya tahan ulat kecil (instar I-III) ... 29

23 Daya tahan ulat selama periode ulat besar ... 30

24 Sidik ragam daya tahan ulat besar (instar IV-V) ... 30

25 Hubungan jenis murbei dengan bobot tubuh ulat akhir instar III (g) ... 30

26 Sidik ragam bobot tubuh ulat akhir instar III ... 30

27 Uji Tukey bobot tubuh ulat instar III ... 30

(12)

29 Sidik ragam bobot tubuh ulat akhir instar V ... 31

30 Persentase kokon yang dihasilkan ... 31

31 Sidik ragam kokon yang dihasilkan ... 31

32 Persentase kokon cacat ... 32

33 Sidik ragam persentase kokon cacat berdasarkan bobot ... 33

34 Hubungan jenis murbei dengan bobot kokon (g) berdasarkan total kokon yang dihasilkan .... 33

35 Sidik ragam bobot kokon berdasarkan total kokon yang dihasilkan ... 33

36 Uji Tukey bobot kokon berdasarkan total kokon yang dihasilkan ... 33

37 Hubungan jenis murbei dengan bobot kokon berdasarkan 10 kokon normal (g) ... 34

38 Sidik ragam bobot kokon berdasarkan 10 kokon normal ... 34

39 Uji Tukey bobot kokon berdasarkan 10 kokon normal ... 34

40 Hubungan persentase kulit kokon dengan jenis murbei (%) ... 34

41 Sidik ragam persentase kulit kokon ... 35

42 Persentase filamen yang dihasilkan berdasarkan jenis murbei ... 35

43 Sidik ragam persentase filamen ... 35

44 Persyaratan kelas mutu kokon (SNI 01-5009.11-2002) ... 36

45 Klasifikasi mutu kokon normal (SNI 01-5009.11-2002) ... 36

(13)

PENDAHULUAN

Persuteraan alam merupakan suatu kegiatan agro industri yang mempunyai rangkaian kegiatan yang panjang mulai dari penanaman murbei sebagai persiapan bagi pakan ulat sutera, pemeliharaan ulat, pengolahan kokon, pemintalan benang, dan penenunan (weaving). Berdasarkan sejarahnya, kegiatan persuteraan alam sudah dikenal dan dikembangkan oleh bangsa Cina sejak 2500 SM yaitu, pada masa dinasti Hang. Maharani Hsi Ling Shi, istri Kaisar Hang merupakan orang pertama yang mengembangkan budidaya sutera dan menciptakan alat tenun pertama untuk membuat kain sutera. Barulah sejak abad ke-3, kegiatan persuteraan alam mulai berkembang ke luar Cina seperti Korea, India, Jepang, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa. Di Indonesia sendiri, perkembangan budidaya sutera sudah ada sejak abad ke-10. Kegiatan industri sutera alam di sektor hilir lebih dulu dikenal daripada kegiatan budidaya sutera alam di sektor hulu (Atmosoedarjo et al. 2000). Kegiatan persuteraan alam di Indonesia mulai dikembangkan oleh sebagian masyarakat, terutama di daerah-daerah dengan kondisi sosial budaya serta iklim yang mendukung kegiatan tersebut. Selain Sulawesi Selatan, daerah-daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan telah berkembang cepat menjadi sentra-sentra persuteraan alam di tanah air.

Ditjen IKM (2006), produksi kokon nasional rata-rata per tahun, baru bisa mencapai sekitar 250 ton kemudian setelah diproses menjadi benang akan menghasilkan sekitar 31.25 ton benang. Sedangkan kapasitas produksi industri pemintalan benang nasional sebesar 87.5 ton atau butuh kokon sebanyak 700 ton. Indonesia masih kekurangan kokon sekitar 450 ton. Sementara itu, kebutuhan benang sutera dunia juga meningkat. Pada tahun 2002 permintaannya sebesar 92742 ton, tiga tahun kemudian (2005) meningkat menjadi 118000 ton atau meningkat sekitar 27.3 %. Cina merupakan produsen sutera terbesar yang hampir menguasai 75 % kebutuhan sutera dunia dan sebagian besar sisanya oleh India, Jepang, dan Thailand. Indonesia sendiri hanya mampu memenuhi 0.1 % dari kebutuhan sutera dunia. Hal tersebut diakibatkan para petani sutera masih dihadapkan pada beberapa masalah antara lain teknologi pemeliharaan murbei yang tidak tepat, penggunaan bibit murbei yang tidak unggul, dan teknik pemeliharaan ulat kurang diperhatikan (Suwandi et al. 2004). Selain itu, kegiatan persuteraan alam masih dianggap sebagai

kegiatan sambilan sehingga penggelolaannya tidak benar dan akibatnya kurang mendapatkan harga tawar yang sesuai (Ditjen IKM 2006).

Budisantoso dan Sumardjito (1995), ditinjau dari segi ekologi dan sosial ekonomi penduduk, Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi salah satu negara penghasil sutera alam di dunia. Atmosoedarjo et al. (2000), kegiatan persuteraan alam berpotensi besar karena cepat memberikan hasil dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Kegiatan ini bersifat padat karya sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung kegiatan penghijauan (Hardjanto & Riyadi 1980).

Murbei (Morus sp.) merupakan satu-satunya pakan bagi ulat sutera jenis

Bombyx mori L. Sehubungan dengan daun murbei sebagai pakan ulat sutera, maka diperlukan daun yang sesuai yaitu, daun yang mudah dimakan serta dicerna oleh ulat sesuai dengan tingkat pertumbuhannya dan harus pula mengandung semua zat yang diperlukan bagi pertumbuhan ulat (Samsijah & Kusumaputra 1976).

Penyebaran tanaman murbei sangat luas mulai dari daerah tropik sampai subtropik. Tanaman ini dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah namun akan tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian lebih dari 300 meter di atas permukaan laut dengan kondisi tanah yang gembur dan subur (Guntoro 1994). Tanaman murbei dapat berupa tanaman perdu yang tingginya berkisar 5-6 m dan dapat juga berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 35 m. Tanaman ini tumbuh dengan subur jika aerasi dan drainase tanahnya baik, lapisan bunga tanah (top soil)minimum 50 cm, unsur hara tercukupi, tanah tidak asam (pH optimum 6.5), dan kelembaban berkisar 65-85 %. Suhu optimum untuk pertumbuhan murbei adalah 23.90C dan 26.60C tetapi umumnya tanaman murbei dapat tumbuh baik pada kisaran suhu 13-380C (Sunanto 1997).

(14)

(a)

(b)

(c)

(d)

mengatasi berbagai kendala alam seperti, suhu tinggi, pergantian musim hujan dan kemarau, dan ketahanan terhadap hama dan penyakit.

Morus. multicaulis dikenal juga dengan nama “murbei besar” dan berasal dari Jepang. Tanaman berupa perdu yang cepat tumbuh dan tinggi. Ciri umum spesies ini adalah warna batang coklat tua atau hijau kecoklatan, ukuran daun besar, berbentuk bangun jantung, permukaannya bergelombang atau berbingkul-bingkul dan mengkilap, warna daun hijau muda, ujung daun meruncing, pangkal helai daun berlekuk, tulang-tulang cabang mencapai tepi daun, dan pinggiran daun beringgit. Sekarang ini banyak ditanam untuk pakan ulat karena bentuk daunnya besar dan tumbuh dengan cepat. Namun demikian, pucuk-pucuknya mudah diserang hama dan penyakit (Atmosoedarjo et al. 2000).

Moruscathayana berasal dari Jepang dan memiliki ciri umum: warna batang coklat tua atau coklat kehijauan, ujung daun meruncing, bentuk daun menjari dengan torehan daun bercangap menjari, berwarna hijau muda, pinggiran daun beringgit, tulang-tulang cabang mencapai tepi daun, pangkal helai daun berlekuk, dan permukaan daun licin, berwarna hijau muda dan tidak mengkilap. Daya tumbuh tanaman jenis ini kurang baik serta mudah terserang hama dan penyakit sehingga membutuhkan perhatian khusus dalam pengembangannya (Atmosoedarjo et al. 2000).

Morus alba var. kanva-2 mulai dikenal di Indonesia sejak 1983. Jenis ini dibawa oleh Sanusi Kusumaputera dari India (Norati 1996). Jika dilihat dari segi pertumbuhannya, jenis tanaman ini memiliki prospek seperti M. cathayana. Ciri umum jenis ini antara lain: warna batang coklat kehijauan, ujung daun meruncing, bentuk daun bangun delta, pinggiran daun beringgit, tulang-tulang cabang mencapai tepi daun, pangkal helai daun berlekuk, permukaan daun kasab, berwarna hijau tua, dan tidak mengkilap

Morus bombycis var. lembang merupakan jenis murbei lokal. Memiliki ciri umum antara lain: warna batang hijau kecoklatan, ukuran daun besar, ujung daun meruncing, bentuk daun oval sampai menjari dengan torehan bercangap menjari, pinggiran daun beringgit, tulang-tulang cabang mencapai tepi daun, pangkal helai daun rata, permukaan daun halus, berwarna hijau muda, dan mengkilap. Perbandingan keempat jenis daun murbei tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Jenis ulat yang menghasilkan sutera alam berdasarkan kebiasaan hidupnya dibagi dalam dua kelompok, yaitu ulat sutera liar dan ulat sutera yang biasa dibudidayakan. Ulat sutera liar

adalah ulat sutera yang biasa hidup bebas di beberapa jenis pohon sedangkan ulat sutera budidaya adalah ulat sutera yang biasa dipelihara di dalam ruangan dan merupakan penghasil utama serat sutera yang meliputi 95 % produksi sutera dunia (Sunanto 1997). Jenis ulat sutera yang paling banyak dipelihara untuk memproduksi bahan sutera alam adalah Bombyx mori L. Jenis ulat sutera ini berasal dari nenek moyang Bombyx (Theophila) mandarina Moore dan Theophila religiosae Helf (Tazima 1964). Lamb (1974) mengklasifikasikan ulat sutera Bombyx mori L. ke dalam divisi Holometabola, filum Arthropoda, klas Insekta, subklas Pterygota, ordo Lepidoptera, subordo Ditrysia, famili Bombycidae, dan genus Bombyx.

Gambar 1 Morfologi empat jenis daun murbei (a) M. multicaulis, (b) M.

cathayana, (c) M. alba var. kanva-2, (d) M. bombycis var. lembang.

Ulat sutera Bombyx mori termasuk serangga yang selama hidupnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu melewati fase telur, larva, pupa dan dewasa (imago). Ulat sutera termasuk endopterygota yaitu, serangga yang perkembangan sayapnya terjadi di dalam tubuh dan fase pradewasa berbeda dengan fase dewasa, baik dalam hal perilaku, makanan maupun bentuknya. Stadia larva merupakan masa penting untuk sintesis protein sutera (Sunanto 1997). Oleh karena itu, keberhasilan dalam pemeliharaan selama fase ulat akan menentukan kualitas serat sutera.

(15)

berdasarkan negara asal, jumlah generasi per tahun (voltinisme), dan frekuensi ganti kulit (moltinisme). Berdasarkan negara asalnya dapat dibedakan menjadi empat ras yaitu, ras Jepang, Cina, Eropa, dan Tropika. Berdasarkan jumlah generasi per tahun (voltinisme) dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu, univoltin (satu generasi dalam satu tahun), bivoltin (dua generasi dalam satu tahun), dan polivoltin (tiga atau lebih generasi dalam satu tahun). Berdasarkan frekuensi ganti kulit (moltinisme) dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu, jenis ulat yang berganti kulit tiga kali (three molter), empat kali (four molter), dan lima kali (five molter).

Secara umum, perkembangan ulat sutera dibagi menjadi tiga fase yang berurutan yaitu, fase ulat kecil, fase ulat besar, dan fase pengokonan. Fase ulat kecil meliputi tiga tahapan instar yaitu, instar I sampai III terhitung sejak telur menetas hingga ulat berumur 12-14 hari. Fase ulat besar meliputi dua tahapan instar yaitu, instar IV yang berumur sekitar 15 hari sampai instar V yang berumur 21-22 hari. Setelah itu, ulat memasuki fase pengokonan yaitu, berumur sekitar 22 hari sampai 27-28 hari. Masing-masing instar didahului oleh masa dorman ganti kulit atau ekdisis. Masa dorman ulat berkisar 24-48 jam (Sunanto 1997).

Hasil akhir dari suatu pemeliharaan ulat sutera adalah kokon. Kokon inilah yang akan diproses lebih lanjut menjadi benang dan kain. Oleh karena itu, untuk mendapatkan benang sutera yang berkualitas, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas kokon yaitu, bibit ulat sutera, keadaan selama pemeliharaan, dan proses pengokonan (Samsijah & Andadari 1992). Untuk mendapatkan kokon yang berkualitas baik maka, setiap fase perkembangan ulat harus mendapatkan perlakuan yang optimal termasuk jenis pakan yang diberikan. Ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat (Samsijah & Kusumaputra 1976). Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang rendah (Norati 1996). Oleh karena itu, diperlukan adanya seleksi jenis murbei sebagai pakan yang ideal bagi ulat sutera, yaitu pakan yang mudah dicerna serta mengandung nutrisi yang sesuai dengan setiap fase perkembangan ulat.

Pada percobaan ini akan diteliti pengaruh pemberian pakan dari empat jenis daun murbei terhadap pertumbuhan ulat sutera dan kualitas

kokon yang dihasilkan guna menunjang produksi benang sutera yang berkualitas.

Penelitian ini bertujuan pula untuk mengetahui jenis murbei atau kombinasi dari dua jenis murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat sutera serta mampu menghasilkan kokon yang baik berdasarkan empat jenis daun murbei yang diujikan yaitu, M. multicaulis, M. cathayana, M. alba var. kanva-2, dan M. bombycis var. lembang. Diharapkan jenis murbei atau kombinasi murbei yang menghasilkan pertumbuhan ulat sutera yang baik dan kokon yang berkualitas dapat dikembangkan lebih lanjut guna menunjang kegiatan persuteraan alam.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni 2007. Penelitian ini meliputi tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Teaching Farm Sutera Alam, Kebun Percobaan IPB Unit Lapangan Sukamantri, Bogor dan tahapan analisis daun murbei dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: ulat sutera hibrid hasil persilangan ras Jepang dengan ras Cina yang berasal dari Kesatuan Pengusahaan Sutera Alam (KPSA) Soppeng, Sulawesi Selatan dan empat jenis daun murbei yaitu, M. multicaulis (A1), M. cathayana (A2), M. alba var. kanva-2 (A3), dan M. bombycis var. lembang (A4). Untuk pemeliharaan digunakan kaporit, serbuk pofsol (campuran formalin 90 %, kapur tohor, kaolin, dan abu sekam dengan perbandingan 3:45:45:7), alkohol 70 %, formalin 4 %, kapur anti semut, oli, racun tikus, dan arang sekam.

Alat

(16)

Tempat Tumbuh Tanaman Murbei

Tanaman murbei yang diambil daunnya sebagai pakan ulat sutera tumbuh di atas lahan seluas 4 ha di Teaching Farm Sutera Alam, Sukamantri dengan jenis tanah andosol berbatu pada ketinggian 540-560 m dpl. Curah hujan berkisar 2500-3000 mm/tahun. Pada lahan tersebut terdapat sekitar 40.000 tanaman murbei dengan jarak tanam 1.2 m x 40 cm.

Tanaman dibiakkan melalui stek yang telah berumur ± 3 tahun setelah masa tanam. Pemanenan daun untuk pakan ulat diberikan setelah tanaman berumur 2-3 bulan setelah pangkas. Pemupukan dilakukan satu tahun sekali dengan menggunakan pupuk kandang dengan dosis 10 ton/ha. Penyiangan gulma dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida Round Up®. Penyiangan dilakukan secara periodik setiap lepas pemangkasan atau panen.

Metode

Pemeliharaan Ulat Sutera Desinfeksi Ruang dan Alat

Dua hari sebelum proses pemeliharaan ulat sutera dimulai (telur atau ulat masuk kandang), ruangan dicuci dan didesinfeksi menggunakan larutan kaporit dengan dosis 5 g/l dan larutan formalin 4 % dengan perbandingan air dan formalin 1:12, kemudian ruangan dibiarkan tertutup rapat. Untuk kesterilan ruangan dan mencegah masuknya bibit penyakit dari luar, sandal atau sepatu harus dibuka setiap memasuki ruangan pemeliharaan. Tangan dan kaki harus dicuci dengan larutan desinfektan (kaporit), dibilas dengan air dan dikeringkan dengan lap.

Pemeliharaan ulat

Telur menetas tanggal 16 Maret 2007 sekitar pukul 06:00 WIB. Setelah itu, ulat dibagi ke dalam 12 nampah yang terdiri atas 4 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap nampah sudah diberi alas kertas parafin dan terdiri atas 250 ulat. Diameter nampah yang digunakan adalah 31.5 cm atau memiliki luas 778.92 cm2. Kedua belas nampah tersebut disimpan di atas sasag bambu dengan ketinggian 55 cm dari permukaan tanah dan dipelihara di ruang ulat kecil (RUK) yang memiliki luas 5 m x 10 m. Keempat perlakuan diberi pakan yang berbeda (M. multicaulis, M. cathayana M. alba var. kanva-2, dan M. bombycis var. lembang) yang diulang sebanyak tiga kali. Sebelum pemberian pakan pertama atau setelah ulat bangun dari masa dormannya, tubuh ulat didesinfeksi menggunakan serbuk pofsol dan setiap ulat menjelang pergantian kulit diberi arang sekam. Pemberian serbuk pofsol dimaksudkan agar ulat terhindar dari serangan cendawan atau bakteri patogen ketika ulat baru

menetas atau berganti kulit karena pada fase ini ulat paling rentan terkena penyakit. Sementara pemberian arang sekam bertujuan menyerap air yang berlebih ketika ulat dorman atau berganti kulit sehingga kondisi di sekitar tubuh ulat tetap kering dan ulat terhindar dari cendawan atau bakteri patogen. Untuk mencegah serangan predator seperti, cicak, kadal, dan semut, setiap kaki sasag bambu dibubuhi dengan kapur anti semut dan ditutup dengan kelambu.

Memasuki instar IV dilakukan penghitungan ulat kembali. Setiap nampah dibagi menjadi empat kelompok. Setiap kelompoknya hanya terdiri atas 50 ulat, sehingga perlakuan yang diberikan menjadi 12 ulangan. Ulat disimpan di atas sasag bambu yang telah dilapisi kertas koran. Luas untuk setiap plot pemeliharaan adalah 185 cm2 (P=50 cm, L=37 cm). Untuk mencegah serangan predator seperti tikus, laba-laba, dan kadal, setiap kaki sasag bambu diolesi dengan oli dan diganti setiap dua hari sekali dan sasag ditutupi dengan kelambu. Pemeliharaan ulat besar dilakukan di ruang ulat besar (RUB) yang memiliki luas 4 m x 6 m. Setelah ulat mulai menunjukkan tanda-tanda akan mengokon, ulat dimasukkan satu persatu pada alat pengokon (seriframe).

Pemberian pakan

Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu, pada pukul 09:00, 13:00, dan 17:00. Ulat diberi pakan tiga kali sehari dengan proporsi 25 % pagi, 25 % siang, dan 50 % malam sesuai dengan jadwal Pemeliharaan Ulat Semusim (Norati 1996). Jumlah pakan yang diberikan berdasarkan pada Atmosoedarjo et al. (2000) dan modifikasinya (Lampiran 8-9). Pada setiap pemberian pakan, daun murbei ditimbang terlebih dahulu. Untuk instar I-III digunakan daun murbei yang telah dirajang atau dicincang (4-8 daun dari bagian atas tangkai daun), sedangkan untuk instar IV dan V digunakan daun utuh (seluruh daun yang terdapat pada tangkai). Faktor koreksi kehilangan air pada daun murbei untuk setiap perlakuan yaitu daun yang dirajang halus, rajang kasar, dan daun utuh dapat dilihat pada lampiran 1-3.

Pembersihan

(17)

untuk memakan daun murbei segar yang diberikan, jaring kemudian diangkat sehingga sisa pakan dan kotoran dapat dipisahkan. Kemudian, daun lama sisa pakan ditimbang setelah dipisahkan dari kotoran ulat.

Pengokonan

Pada akhir instar V atau ketika ulat sudah menunjukkan tanda-tanda akan mengokon seperti: tubuh terlihat bening kekuning-kuningan, ulat berhenti makan, ulat mengeluarkan cairan lembek kekuning-kuningan serta mengeluarkan serat dari spineret yang ada di bagian kepalanya, maka ulat segera dipindahkan ke alat pengokon (seriframe). Ulat mengokon secara seragam pada tanggal 12 April 2007. Panen kokon dilakukan pada tanggal 18 April 2007.

Perlakuan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas empat perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali pada saat ulat kecil dan diulang sebanyak 12 kali pada saat ulat besar. Analisis data menggunakan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji pembanding Tukey jika terdapat nilai yang berbeda nyata pada interval kepercayaan 95 % (Fowler et al. 1998).

Parameter Yang Diamati

Pengukuran Suhu dan Kelembaban Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan tiga kali sehari bersamaan dengan waktu pemberian pakan. Suhu diukur dengan menggunakan termometer alkohol dan kelembaban diukur dengan menggunakan higrometer.

Analisis Daun Murbei

Analisis kandungan empat jenis daun murbei dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Bogor. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi pengukuran kadar air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, abu, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BetN), kalsium (Ca), fosfor (P), dan karbohidrat (Samsijah & Kusumaputra 1976).

Daun murbei yang dianalisis sebanyak 500 gram yang mewakili seluruh daun yang digunakan untuk pakan ulat sutera.

Umur Ulat

Untuk mengetahui umur ulat, dilakukan pencatatan umur pada saat makan pertama dan terakhir sebelum pergantian instar dan pencatatan terhadap waktu dorman dan bangun (Norati 1996). Pengamatan terhadap umur ulat yang meliputi waktu dorman dan waktu bangun

didasarkan pada kondisi pada sebagian besar ulat (± 95 %) agar diperoleh data yang seragam.

Jumlah Daun yang Dikonsumsi

Banyaknya daun murbei yang dikonsumsi diukur dengan cara menimbang daun murbei yang akan diberikan pada setiap pemberian pakan sesuai dengan jadwal pemberian pakan dan menimbang sisa pakan setelah terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran. Penimbangan sisa pakan dilakukan setiap hari setelah kegiatan pembersihan. Banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor dihitung berdasarkan rumus:

x = banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor (g)

a = total pakan hari ke-i (i = 1, 2, 3, 4,...) b = pakan sisa

c = pakan sisa x faktor koreksi

n = jumlah ulat yang berhasil hidup setiap akhir instar

Nilai faktor koreksi untuk setiap jenis murbei pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada lampiran 1-3.

Daya Tahan Hidup Ulat

Pengamatan terhadap daya tahan hidup ulat dilakukan dengan cara menghitung jumlah ulat yang mati atau tidak normal pada setiap akhir instar. Penghitungan dilakukan dengan rumus:

Daya tahan hidup ulat = per instar

p - q x 100 % p

p : Jumlah ulat awal instar ke-i q : Mortalitas ulat akhir instar ke-i

Pengukuran bobot tubuh

Pengukuran bobot tubuh dilakukan dengan cara menimbang 10% dari ulat sutera yang dipelihara dan diambil secara acak pada setiap pergantian instar sebelum pemberian pakan pertama (Norati 1996).

Kualitas Kokon

(18)

dibagi kembali menjadi dua yaitu, 10 kokon untuk uji bobot kokon dan persentase kulit kokon dan 10 kokon sisanya untuk uji filamen. Penghitungan kualitas kokon berdasarkan rumus:

% Kokon cacat =

Bobot kokon cacat (g)

x 100 % Bobot seluruh

kokon (g)

Bobot kokon = rata-rata

Bobot total kokon yang dihasilkan (g) Jumlah kokon yang

dihasilkan

Kualitas Filamen

Pengamatan kualitas filamen atau serat diukur berdasarkan persentase serat yang dinyatakan sebagai persen bobot serat terurai terhadap bobot kokon yang berisi pupa. Kokon yang diuji terdiri atas 10 kokon yang diambil secara acak dari 30 kokon yang direbus, sehingga total ulangan menjadi 4 kali untuk setiap perlakuan. Dihitung berdasarkan rumus:

HASIL

Analisis Daun Murbei

Secara umum, kandungan air, protein, serat kasar, lemak, abu dan karbohidrat pada semua daun relatif sama. Morus bombycis var.

lembang (A4) memiliki kandungan air terbesar dibandingkan dengan daun murbei lainnya. Kandungan protein dan abu terbesar dimiliki oleh M. cathayana (A2), sedangkan kandungan serat kasar terbesar dimiliki oleh M. multicaulis (A1). Morus alba var. kanva-2 dan M. bombycis var lembang memiliki kandungan lemak kasar yang sama dan Morus alba var. kanva-2 (A3) memiliki kandungan karbohidrat terbesar (Tabel 1).

Tabel 1 Hasil analisis proksimat empat jenis daun murbei (dalam %)

Parameter Analisis

Jenis Daun Murbei

A1 A2 A3 A4

Air 72.67 71.88 72.45 73.10

Protein 20.92 24.56 21.26 22.25

Lemak 3.51 4.00 4.46 4.46

Serat 9.77 7.90 8.22 9.18

Abu 7.52 8.71 6.11 8.34

Kalsium 1.55 1.75 1.50 2.05

Fosfor 0.22 0.21 0.16 0.19

BetN 35.61 32.95 37.50 32.67

Karbohidrat 45.38 40.85 45.72 41.85

Kandungan kalsium dan fosfor pada semua daun yang diujikan secara umum relatif sama (tingkat perbedaan 0.3-0.55 % dan 0.01-0.06 %). Kandungan Ca terbesar dimiliki oleh M. bombycis var. lembang (A4) sedangkan kandungan P terbesar dimiliki oleh M. multicaulis (A1).

Umur Ulat

Berdasarkan tabel 2, umur ulat aktif selama periode ulat kecil adalah 9 hari 10 jam dengan masa dorman selama 3 hari 23 jam. Total umur periode ulat kecil sebesar 13 hari 9 jam. Sedangkan, lamanya umur ulat aktif selama fase ulat besar adalah 12 hari 4 jam dengan masa dorman selama 1 hari 4 jam. Total umur ulat selama periode ulat besar adalah 13 hari 8 jam. Umur ulat dari instar I sampai instar V, dari menetas sampai mulai mengokon adalah 26 hari 17 jam.

% Produksi = kokon

Jumlah kokon yang dihasilkan

x 100 % Jumlah ulat awal pemeliharaan ulat besar

% Kulit = kokon

bobot kulit kokon (g)

x 100 % bobot kokon berisi

pupa (g)

% Filamen =

bobot serat terurai dari 10 kokon (g)

x 100 % bobot 10 kokon berisi

pupa (g)

Tabel 2 Umur ulat pada berbagai instar

Instar

Lamanya hari aktif

Jumlah hari

dorman Total

Hari Jam Hari Jam Hari Jam

I 3 hari 10 jam 1 hari 22 jam 5 hari 8 jam

II 2 hari 23 jam 1 hari 1 jam 4 hari

III 3 hari 1 jam 1 hari 4 hari 1 jam

IV 3 hari 3 jam 1 hari 4 jam 4 hari 7 jam

V 9 hari 1jam 9 hari 1 jam

(19)

Tabel 3 Hubungan jumlah daun yang dikonsumsi pada ulat kecil per ekor dengan jenis murbei yang diberikan.

Jenis Murbei

Jumlah daun yang dikonsumsi/ekor (g)

Instar I Instar II Instar III

A1 0.041065±0.00519tn 0.10401± 0.01140tn 0.6331±0.06198tn

A2 0.038469±0.00189tn 0.10503±0.01625tn 0.60260±0.03453tn

A3 0.037914±0.00937tn 0.11341±0.04281tn 0.60687±0.05806tn

A4 0.04183±0.01088tn 0.11064±0.03254tn 0.60075±0.04472tn

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata.

Tabel 4 Hubungan jumlah daun yang dikonsumsi pada ulat besar per ekor dengan jenis murbei yang diberikan.

Jenis Murbei

Jumlah Daun yang Dikonsumsi (g)

Instar IV Instar V

A1 2.6148±0.1174a 18.687±1.2460a

A2 2.2138±0.2310b 15.669±1.0039b A3 2.4720±0.1874ab 17.447±1.0928ab A4 2.2436±0.2446b 17.576±1.31078ab Keterangan : Nilai rata-rata dalam kolom dengan huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak

nyata pada taraf 5 % menurut uji pembanding Tukey.

22,0794 18,6288 20,6773 20,5732 16 17 18 19 20 21 22 23

A1 A2 A3 A4

Je nis M urbe i

Jum lah P aka n per U lat ( g )

Gambar 2 Jumlah pakan yang dikonsumsi per ekor dari instar I-V.

Masa instar terpendek adalah instar II, kemudian instar III, instar IV, instar I dan instar V. Sedangkan masa ganti kulit terpendek adalah masa ganti kulit instar III, kemudian instar II, instar IV, dan instar I.

Jumlah Daun Murbei yang Dikonsumsi Tabel 3 menunjukkan peningkatan jumlah konsumsi pakan untuk setiap ekor pada setiap instar berdasarkan jenis murbei yang diberikan. Peningkatan konsumsi pakan selama periode ulat kecil dari instar I ke instar II sebesar 153.28 %

untuk M. multicaulis, 173.03 % untuk M. cathayana, 199.12 % untuk M. alba var. kanva-2, dan 164.49 % untuk M. bombycis var. Lembang. Peningkatan konsumsi pakan dari instar II ke instar III sebesar 508.69 % untuk M. multicaulis, 473.74 % untuk M. cathayana, 435.12 % untuk M. alba var. kanva-2, dan 442.99 % untuk M. bombycis var. lembang.

Peningkatan konsumsi pakan per ekor pada setiap instar selama periode ulat besar dari instar IV ke instar V adalah 614.64 % untuk M. multicaulis, 607.78 % untuk M. cathayana, 605.79 % untuk M. alba var. kanva-2, dan 683.40 % untuk M. bombycis var. lembang.

Berdasarkan hasil uji statistik, pemberian daun murbei yang berbeda jenis selama periode ulat kecil tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap banyaknya konsumsi daun per ekor pada setiap instar (Tabel 3 & Lampiran 12-14). Namun, pemberian daun murbei yang berbeda jenis selama periode ulat besar memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap banyaknya konsumsi daun per ekor pada setiap instar (Tabel 4, Lampiran 16 & 19). Selama instar V, jenis murbei yang paling banyak dan paling sedikit dikonsumsi secara berurutan adalah M. multicaulis dan M. cathayana.

Perbedaan jenis murbei yang diberikan menunjukkan pengaruh terhadap banyaknya konsumsi daun per ekor dari instar I-V. Urutan konsumsi daun per ekor dari yang terbesar sampai terkecil adalah M. multicaulis, M. alba var. kanva-2, M.

(20)

Tabel 5 Hubungan daya tahan ulat pada akhir periode ulat kecil dan besar dengan setiap jenis murbei yang diberikan

Jenis Murbei

Daya Tahan (%) Akhir instar III Akhir instar V

A1 92.933±7.0506tn 90.333±9.3120tn

A2 96.533±3.4905tn 93.667±6.2101tn A3 93.867±5.4730tn 92.833±10.5320tn A4 97.067±4.5911tn 87.167±16.0902tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata.

Gambar 3 Pertumbuhan ulat pada instar IV yang terhambat dan tidak seragam. 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5

A1 A2 A3 A4 Jenis Murbei B o bot T ub uh ( g) Bobot Tubuh Instar III Bobot Tubuh Instar V

Gambar 4 Peningkatan bobot tubuh ulat dari instar III ke instar V.

Daya Tahan Hidup Ulat

Pemberian murbei yang berbeda jenis tidak memberikan perbedaan secara nyata terhadap daya tahan hidup ulat selama periode ulat kecil (Tabel 5, Lampiran 22 & 24). Urutan rata-rata daya tahan ulat pada akhir periode ulat kecil dari yang terbesar adalah ulat yang diberi pakan M. bombycis var. lembang, M. cathayana, M. alba var. kanva-2,dan M. multicaulis. Secara umum, nilai daya tahan ulat dalam melewati fase ulat kecil untuk semua perlakuan memiliki nilai rata-rata 95.1±0.0155 % dengan kisaran 90.4-99.2 % (Tabel 5).

Berdasarkan Tabel 5, untuk semua jenis murbei yang diberikan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap daya tahan ulat selama periode ulat besar. Urutan nilai daya tahan ulat dari yang terbesar adalah ulat yang diberi pakan daun M. cathayana, M. alba var. kanva-2, M. multicaulis, dan M. bombycis var. lembang. Nilai rata-rata daya tahan hidup ulat untuk mencapai akhir periode ulat besar adalah 91±0.025 % dengan kisaran antara 56-100 %. Tingginya kisaran daya tahan ulat yang dihasilkan selama periode ulat besar disebabkan oleh serangan berbagai penyakit yang muncul secara ganas pada saat periode ulat besar (Gambar 3).

Bobot Tubuh Ulat

Berdasarkan uji statistik, terdapat hubungan yang nyata antara jenis murbei yang diberikan dengan bobot tubuh ulat pada akhir instar III (Tabel 6 & Lampiran 26), artinya jenis murbei memberikan pengaruh terhadap bobot ulat selama periode ulat kecil. Urutan bobot tubuh rata-rata ulat selama periode ulat kecil dari yang terbesar adalah ulat yang diberi pakan daun M. alba var. kanva-2, M. bombycis var. lembang, M. cathayana, dan yang terkecil adalah M. multicaulis. Secara umum, nilai bobot tubuh ulat selama periode ulat kecil berkisar antara 0.1-0.25 g dengan bobot tubuh rata-rata 0.176933±0.002478 g (Tabel 6).

Pemberian murbei yang berbeda jenis selama periode ulat besar juga tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap bobot tubuh ulat (Lampiran 29). Bobot tubuh ulat rata-rata paling besar adalah ulat yang diberi pakan daun M. multicaulis sedangkan yang terkecil adalah ulat yang diberi pakan daun M. cathayana. Bobot tubuh rata-rata yang dihasilkan selama periode ulat besar adalah 4.0979±0.070649 g dengan kisaran 2.05 g-5.27 g (Tabel 6).

Tabel 6 Hubungan bobot tubuh ulat dengan jenis murbei yang diberikan

Jenis Murbei

Bobot Tubuh (g) Akhir instar III Akhir instar V A1 0.16107±0.00753a 4.1733±0.1166tn A2 0.17667±0.00499b 4.1612±0.15065tn A3 0.18680±0.00432c 3.9828±0.10242tn A4 0.18320±0.01046bc 4.0742±0.09575tn Keterangan : Nilai rata-rata dalam kolom

(21)

Peningkatan bobot tubuh dari instar III ke instar V untuk setiap perlakuan adalah: 25.91 kali untuk M. multicaulis, 23.55 kali untuk M. cathayana, 21.32 kali untuk M.alba var. kanva-2, dan 22.24 kali untuk M. bombycis var. lembang (Gambar 4).

Kualitas Kokon

Persentase Produksi Kokon

Berdasarkan uji statistik, pemberian murbei yang berbeda jenis tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap banyaknya kokon yang dihasilkan. Ulat yang diberi pakan M. cathayana dan M. alba var. kanva-2 menghasilkan produksi kokon paling banyak. Secara umum, produksi kokon rata-rata untuk semua perlakuan adalah 87.54±0.0268 % dengan kisaran 52-100 % (Tabel 7 & Lampiran 31).

Tabel 7 Hubungan jenis murbei dengan produksi kokon

Jenis

Murbei Jumlah Kokon (%)

A1 87.833±5.996tn A2 89.000±4.6135tn A3 89.000±5.432tn A4 84.333±7.849tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata.

Persentase Kokon Cacat

Pemberian murbei yang berbeda jenis tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase kokon cacat. Persentase kokon cacat terbesar dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. cathayana, kemudian M. alba var. kanva-2, M. bombycis var. lembang, dan M. multicaulis. Rata-rata kokon cacat yang dihasilkan berdasarkan bobot adalah 34.28±0.0325 % dengan kisaran 9.13-57.14 % (Tabel 8 & Lampiran 33).

Tabel 8 Persentase kokon cacat

Jenis Murbei Persentase Kokon Cacat (%)

A1 31.24±7.275tn A2 37.85±5.318tn

A3 34.91±8.247tn A4 33.14±8.2026tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata.

Bobot Kokon Rata-Rata

Bobot kokon rata-rata yang dihitung berdasarkan total kokon yang dihasilkan maupun kokon normal yang diambil secara acak, keduanya menunjukkan hasil yang berbeda nyata, artinya perbedaan jenis murbei

memberikan pengaruh terhadap bobot kokon yang dihasilkan (Lampiran 35 & 38).

Bobot kokon rata-rata terbesar untuk kedua jenis sumber pengukuran tersebut adalah ulat yang diberi pakan M. cathayana. Bobot kokon rata-rata yang dihasilkan berdasarkan total kokon yang dihasilkan sebesar 2.0349±0.0092 g dengan kisaran 1.8433 g-2.6902 g sedangkan bobot kokon rata-rata berdasarkan kokon normal yang diambil secara acak sebesar 2.052688±0.026081 g dengan kisaran 1.35 g-2.83 g (Tabel 9).

Tabel 9 Hubungan bobot kokon rata-rata yang dihasilkan dengan jenis murbei yang diberikan

Jenis Murbei

Bobot Kokon Rata-Rata Total Kokon

Yang Dihasilkan Kokon Normal

A1 2.0224±0.0477a 2.0356±0.0684a

A2 2.1554±0.1212b 2.1673±0.0948b

A3 1.9755±0.0589a 1.9843±0.05547ac

A4 1.9861±0.0371a 2.0236±0.06544ac

Keterangan : Nilai rata-rata dalam kolom dengan huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf 5 % menurut uji pembanding Tukey.

Persentase Kulit Kokon

Persentase kulit kokon terbesar dan terkecil secara berurutan dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan daun M. cathayana dan M. multicaulis. Namun secara uji stastistik, pemberian pakan dengan murbei yang berbeda jenis tidak memberikan perbedaan secara nyata terhadap persentase kulit kokon (Lampiran 41). Persentase kulit kokon berkisar antara 15.6118-30.4762 % dengan nilai rata-rata 21.1023±0.00214 % (Tabel 10).

Tabel 10 Hubungan jenis murbei dengan persentase kulit kokon

Jenis

Murbei Persentase Kulit Kokon (%) A1 20.829±0.5591tn A2 21.571±0.4975tn A3 21.033±0.5922tn A4 20.976±0.4219tn Keterangan : tn = Persentase kulit kokon

(22)

Persentase Filamen

Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2. Berdasarkan uji statistik, perbedaan jenis murbei tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase filamen (Lampiran 43). Persentase filamen yang dihasilkan berkisar antara 10.7784-18.5053 % dengan nilai rata-rata 15.0116±0.0141 % (Tabel 11).

Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen

Jenis

Murbei Persentase Filamen (%)

A1 15.703±1.338tn A2 15.886±1.191tn A3 13.833±1.6465tn A4 14.624±1.371tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata

PEMBAHASAN

Kualitas Daun Murbei

Mutu daun murbei merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan disamping faktor-faktor lain seperti bibit, teknik pemeliharaan dan sarana pemeliharaan (Samsijah & Kusumaputra 1976). Kualitas daun murbei berhubungan dengan susunan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya.

Pertumbuhan selama fase larva memerlukan perlakuan yang berbeda untuk setiap tahapan pertumbuhannya. Seperti pernyataan yang diungkapkan Samsijah dan Andadari (1992) bahwa ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang rendah. Oleh karena itu, pemilihan jenis murbei yang tepat untuk pertumbuhan ulat sutera akan menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas.

Menurut Tazima (1978), daun murbei yang memiliki kandungan air 64-83 %, protein kasar 24-36 %, serat kasar 9-11%, BetN 43-55 %, lemak kasar 2-4 % dan abu 7-9 % baik bagi pertumbuhan ulat sutera. Dalam hal ini, hasil analisis kandungan nutrisi dari keempat jenis daun murbei yang diujikan, hanya kandungan air

dan lemak kasar saja yang sesuai dengan pernyataan Tazima (1978).

Perbedaan kandungan nutrisi pada daun murbei tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan teknik pemeliharaan kebun. Seperti pernyataan Katsumata (1964) bahwa kualitas daun murbei dipengaruhi oleh keadaan tanah, pemupukan, pemangkasan, curah hujan, dan pengairan. Sumardjito dan Suhartati (1987) kualitas serta kuantitas daun murbei terutama ditentukan oleh jenis murbei itu sendiri disamping faktor lain seperti keadaan iklim, kondisi tanah, suhu, sistem pemeliharaan kebun dan lain-lain.

Jenis-jenis murbei yang dianggap unggul berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. SK. 50/V-UPR/2004 adalah M. cathayana, M. multicaulis, M. kanva, dan M. alba (Dephut 2004). Hasil analisis proksimat pada penelitian ini menunjukkan bahwa M. bombycis var. lembang yang merupakan jenis murbei lokal memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jenis-jenis murbei unggul lainnya.

Umur Ulat

Periode ulat merupakan periode yang paling lama selama siklus hidup ulat sutera. Periode ini merupakan satu-satunya fase dimana ulat makan. Selama masa larva berlangsung empat kali ganti kulit maka, terdapat lima periode makan yaitu, instar I, II, III, IV, dan V.

Total umur ulat selama periode ulat kecil yang ditunjukkan Tabel 2 sesuai dengan pernyataan Andadari (2003), bahwa umur ulat kecil (instar I-III) di daerah tropis umumnya berkisar 12-14 hari.

Memasuki instar IV dilakukan penghitungan kembali ulat sutera yang dipelihara untuk setiap perlakuan dan ulat dipindahkan ke ruang pemeliharaan ulat besar. Umur ulat besar berdasarkan Tabel 2 sesuai dengan pendapat Katsumata (1964) bahwa di daerah tropis seperti Indonesia, umur ulat besar (instar IV-V) umumnya berkisar 10-15 hari.

(23)

diakibatkan kondisi suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah. Suhu dan kelembaban selama periode ulat kecil pada penelitian ini berkisar antara 23.5-290C dan 60-83 % sedangkan selama periode ulat besar berkisar antara 21-290C dan 52-84 % (Lampiran 4 & 5).

Kisaran suhu dan kelembaban tersebut berbeda dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa fase ulat kecil membutuhkan suhu dengan kisaran 25-280C dan kelembaban 80-90 % sedangkan ulat besar membutuhkan suhu 24-260C dan kelembaban 70-75 %. Atmosoedarjo et al. (2000), pertumbuhan ulat biasanya lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi serta kelembaban juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Pernyataan ini sesuai juga dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa pertumbuhan ulat akan dipersingkat dengan meningkatnya suhu.

Samsijah dan Andadari (1995) menyatakan bahwa masa instar terpendek adalah instar II, I, III, IV kemudian V, sedangkan masa ganti kulit terpendek adalah masa ganti kulit instar II kemudian instar I, instar III, dan instar IV. Hal tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pengaruh jenis ulat dan kondisi lingkungan tempat pemeliharaan. Sesuai dengan pernyataan Atmosoedarjo et al. (2000) bahwa panjangnya masa makan berbeda tergantung dari galur.

Menurut Norati (1996), umur ulat ras India dan Rusia berkisar antara 20-21 hari 22 jam. Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976), umur ulat ras Jepang adalah 28 hari 8 jam. Untuk ras Rumania siklus hidup berlangsung selama 22 hari (Noerlely 1996). Berdasarkan perbandingan tersebut maka, dapat dinyatakan bahwa umur ulat akan berbeda tergantung pada jenis ulat dan kondisi iklim serta suhu tempat pemeliharaan.

Jumlah Konsumsi Daun Murbei

Berdasarkan Lampiran 8-9 terlihat bahwa dengan semakin bertambahnya umur ulat semakin bertambah juga pakan yang diberikan. Hal tersebut berkaitan dengan semakin meningkatnya ukuran tubuh ulat dan pemenuhan kebutuhan untuk pembentukan filamen. Selama periode ulat kecil, pemberian murbei yang berbeda jenis menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi daun per ekor artinya jenis murbei tidak mempengaruhi banyaknya konsumsi daun per ekor pada ulat kecil. Pada fase ulat besar, jenis murbei mempengaruhi banyaknya konsumsi daun per ekor. Berbeda dengan periode ulat besar, jenis murbei yang paling banyak dikonsumsi selama periode ulat besar adalah M. multicaulis. Jenis

murbei ini memiliki struktur daun yang agak keras dibanding ketiga jenis murbei lainnya. Sesuai dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa ulat besar membutuhkan daun yang lebih tua dan tidak lembek. Pada penelitian ini konsumsi pakan ulat selama periode ulat besar berkisar antara 96.0453-96.5050 % dari total pakan yang dikonsumsi dengan nilai rataan 96.326±0.197 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), konsumsi daun murbei selama periode ulat besar mencapai 90% dari total pakan yang dikonsumsi. Hal tersebut berkaitan dengan pertumbuhan kelenjar sutera guna pembentukan filamen yang mencakup 40 % dari total bobot tubuhnya dan energi yang dibutuhkan ketika memasuki fase pengokonan.

Total pakan daun dan rata-rata konsumsi daun setiap ekor pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa konsumsi daun per ekor dari mulai ulat menetas (hakitate) sampai mengokon adalah ±20 g.

Daya Tahan Ulat

Penilaian keunggulan suatu jenis ulat selain dapat dilihat dari segi produksi kokon, juga dapat dilihat dari daya tahan hidup ulat (Andadari 2003). Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976), terdapat korelasi antara kombinasi pemberian pakan ulat dengan ukuran daya tahan hidup ulat. Selain itu, ketahanan ulat berkaitan juga dengan banyaknya kokon yang akan dihasilkan. Nilai ketahanan ulat dapat dilihat berdasarkan resitensinya terhadap penyakit dan keseragaman dalam pertumbuhannya.

(24)

daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang rendah. Atmosoedarjo et al. (2000) menambahkan bahwa selama periode ulat kecil merupakan fase dimana ulat mengumpulkan dan mempertahankan air yang mencapai 86 % dari total bobot tubuhnya.

Menurut Novianti (1992), nilai daya tahan ulat kecil hasil persilangan ras Jepang dan Cina di atas 99 %. Sementara laporan Sundari (1996) menyatakan bahwa daya tahan hidup ulat kecil ras murni Rusia adalah 96.8 % dan ras hibrid Jepang-India dan India-Rusia adalah 99.4 %. Samsijah dan Kusumaputra (1976), daya tahan ulat kecil untuk ras murni Jepang berkisar antara 64.89-82 %. Sementara hasil penelitian Saranga et al. (1992) yang menggunakan ulat hasil persilangan ras Jepang dengan Bili-Bili memberikan nilai daya tahan ulat dengan kisaran 87-89.83 %. Sedangkan penelitian Norati (1996) melaporkan bahwa nilai daya tahan ulat kecil ras India berkisar 93.5-99.75 % dan ras Rusia berkisar antara 88.125-99.25 %, ulat besar ras India berkisar 76-93.1 % dan Rusia berkisar 84.35-96.025 %. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan nilai daya tahan tersebut dipengaruhi oleh jenis ulat, pakan, dan kondisi tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban.

Untuk periode ulat besar, nilai daya tahan ulat cenderung menurun sementara kondisi suhu rata-rata 25.610C dan kelembaban rata-rata 70.25 % sudah sesuai dengan persyaratan hidup ulat besar yaitu, 24-250C dengan kelembaban 70 % (Andadari 2003). Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1975) bahwa daya tahan ulat yang baik pada ulat besar mencapai 98.66%. Hal tersebut dikarenakan adanya serangan penyakit yang baru muncul secara ganas pada saat periode ulat besar.

Ciri-ciri penyakit yang terlihat pada setiap ulat yang terinfeksi seperti: nafsu makan berkurang, ulat cenderung berjalan-jalan tanpa makan, pertumbuhan tidak seragam, warna larva menjadi gelap dan pertumbuhannya terhambat, tubuhnya mengkerut, dan akhirnya mati, kemungkinan munculnya serangan penyakit tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, atau protozoa(Atmosoedarjo et al. 2000).

Terdapat dua kemungkinan sumber penyebaran penyakit, kemungkinan pertama ditularkan melalui telur yang terbawa oleh induk

yang berasal dari Pengusahaan Sutera Alam (PSA) Soppeng, Sulawesi Selatan. Kemungkinan kedua yaitu, berasal dari tempat pemeliharaan dan kontaminasi dari pakan yang diberikan. Desinfeksi ruangan pemeliharaan yang tidak efektif dapat menyebabkan tersebarnya penyakit ini secara terus-menerus pada setiap siklus pemeliharaan karena bentuk penyebaran penyakit ini melalui bentuk spora.

Bobot Tubuh Ulat

Laju pertumbuhan ulat ditunjukkan oleh pertambahan bobot tubuh ulat pada akhir instar ulat kecil (instar III) dan akhir instar ulat besar (instar V). Kebutuhan pakan kedua fase tersebut berbeda. Pada periode ulat kecil, pemberian pakan bertujuan untuk mendapatkan ulat yang sehat agar bisa bertahan hidup sampai akhir instar III. Sedangkan pada fase ulat besar, terutama instar V, merupakan stadium paling penting untuk pertumbuhan kelenjar sutera guna memproduksi filamen kokon dan kebutuhan energi ketika memasuki fase pengokonan.

Ulat kecil yang diberi pakan daun M. alba var. kanva-2 dan M. bombycis var. lembang menghasilkan bobot tubuh ulat terbesar. Hal tersebut didasarkan pada kandungan nutrisi yang dimiliki daun M. alba var. kanva-2 dan M. bombycis var. lembang yang sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil (Tabel 1). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992), ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Jenis ulat dan kondisi lingkungan mempengaruhi pertumbuhan selama masa larva. Bobot tubuh ulat akhir instar III hibrid Jepang-Cina 2.8203 g (Novianti 1992). Sementara Norati (1996) melaporkan bobot tubuh ulat kecil ras India mencapai 0.2927 g ras dan Rusia 0.7646 g sedangkan bobot tubuh ulat besar ras India 3.367 g dan ras Rusia 3.858 g. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan selama masa larva dipengaruhi oleh ras ulat, jenis murbei yang diberikan dan kondisi lingkungan tempat pemeliharaan.

(25)

konsumsi pakan pada instar V mencapai 83.6489 % dari total pakan yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pada fase ini kualitas dan kuantitas murbei akan berpengaruh terhadap mutu kokon dan serat sutera yang dihasilkan.

Kualitas Kokon

Persentase produksi kokon dan kokon cacat Kokon adalah hasil akhir dari pemeliharaan ulat sutera dan kualitasnya ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat, dan keadaan luar seperti kondisi selama pemeliharaan dan pada saat pengokonan (Samsijah & Andadari 1992). Selain kualitas murbei sebagai sumber pembentukan serat sutera yang dihasilkan oleh ulat, penanganan ulat menjelang pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon. Oleh karena itu, jika metode pengokonan salah maka akan dihasilkan kokon kualitas rendah.

Metode yang digunakan untuk mengokonkan ulat adalah pemungutan dengan tangan. Dalam metode ini semua ulat dewasa yang sudah memperlihatkan tanda-tanda akan mengokon dipungut dengan tangan sehingga hanya ulat yang sudah cukup dewasa atau matang saja yang dipilih dan dimasukkan ke alat pengokonan.

Morus cathayana dan M. alba var. kanva-2 menghasilkan persentase produksi kokon paling besar. Hal tersebut sesuai dengan nilai daya tahan ulat akhir instar V pada masing-masing perlakuan yang juga paling besar (Tabel 5). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa ketahanan ulat berkaitan juga dengan banyaknya kokon yang akan dihasilkan.

Pemilihan kokon yang berkualitas akan menentukan mutu benang yang dihasilkan. Syarat-syarat kokon yang baik antara lain: tidak cacat, bersih (putih bersih, kuning bersih atau warna-warna lainnya), bagian dalam pupa tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon keras atau tebal, dan cara pengeringan memenuhi syarat pemintalan sehingga waktu dipintal tidak mengalami kesulitan (Samsijah & Andadari 1992). Berdasarkan Tabel 8, persentase kokon cacat yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dikategorikan kelas kokon D atau kelas mutu ketiga berdasarkan standar mutu kokon (Lampiran 44 & 45) dan klasifikasi kokon cacat berdasarkan Lampiran 46. Banyaknya kokon cacat yang terbentuk dapat terjadi karena pengaruh suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan serta tempat pengokonan (seriframe) yang digunakan.

Suhu dan kelembaban harian pada penelitian ini berkisar 21-29°C dan 52-84 %. Hal

tersebut berbeda dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992) bahwa kondisi suhu pada saat pengokonan sebaiknya berkisar 22-23oC dengan kelembaban 60-70 %. Alat pengokonan (seriframe) yang digunakan pada penelitian ini berwarna hitam dan memiliki ruang antar sekat yang kurang lebar sedangkan kokon yang dihasilkan cukup besar. Hal ini mengakibatkan banyaknya kokon cacat yang tercetak (printed cocoon). Warna seriframe juga mempengaruhi persentase produksi kokon dan persentase kokon cacat. Kaomini dan Andadari (2004), melaporkan bahwa alat pengokonan yang berwarna selain kuning, menyebabkan ulat lambat naik ke tempat pengokonan. Hal tersebut dapat menghasilkan kokon cacat karena ulat terlalu matang sehingga mengokon di sembarang tempat atau hanya berputar-putar di atas tempat pengokonan sambil mengeluarkan serat tanpa membuat kokon sehingga kokon yang dihasilkan tipis. Walaupun ulat sehat dengan nilai daya tahan hidup yang tinggi, tetapi jika alat pengokonan tidak baik maka akan dihasilkan kualitas kokon yang rendah. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), material dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon dan filamen yang dihasilkan.

Bobot kokon rata-rata

Hasil pengukuran bobot kokon rata-rata yang diperoleh dari total kokon yang dihasilkan dan 10 kokon normal yang diambil secara acak, keduanya menunjukkan bahwa ulat yang diberi pakan M. cathayana menghasilkan bobot kokon rata-rata terbesar dibandingkan ketiga daun murbei lainnya. Walaupun jumlah konsumsi pakan per ekor untuk jenis M. cathayana paling sedikit di antara ketiga jenis murbei tetapi hal tersebut berkaitan dengan kandungan nutrisinya. Berdasarkan tabel 1, M. cathayana memiliki kandungan protein paling tinggi dan sesuai bagi kebutuhan pakan ulat besar. Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa ulat besar membutuhkan daun murbei yang memiliki kandungan protein tinggi untuk mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera.

(26)

melaporkan bobot kokon tertinggi untuk ras Rusia adalah 2.1459 g dan India 1.8992 g. Perbedaan bobot kokon yang dihasilkan tersebut dipengaruhi oleh ras ulat, pakan, dan kondisi tempat pemeliharaan.

Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, bobot kokon rata-rata yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dikatakan sudah sangat baik yaitu berkisar antara 1.9755-2.1554 g untuk bobot kokon yang dihitung berdasarkan total kokon yang dihasilkan dan 1.9843-2.1673 g untuk bobot kokon yang berasal dari 10 kokon normal yang diambil secara acak. Sesuai dengan pernyataan Kaomini dan Andadari (2004), pada umumnya bobot kokon galur murni berkisar 1.5-1.8 g dan ras hibrid berkisar 2-2.5 g.

Penentuan kelas kokon didasarkan pada SNI 01-5009.11-2002 yang dikeluarkan oleh Direktur Bina Usaha Perhutanan Rakyat Ditjen RLPS (Lampiran 44 & 45). Untuk kokon yang berasal dari ulat yang diberi pakan M. multicaulis dan M. cathayana termasuk ke dalam kelas kokon A, ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2 termasuk ke dalam kelas kokon B, dan ulat yang diberi pakan M. bombycis var. lembang termasuk ke dalam kelas kokon A dan B. Secara umum, kokon yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk ke dalam kelas kokon A atau kelas kokon utama yang memiliki bobot kokon rata-rata 2.0349±0.0379 g dan 2.0527±0.0261g.

Persentase kulit kokon

Besarnya nilai persentase kulit kokon tergantung dari bobot kokon berisi pupa dan bobot kulit kokon. Persentase kulit kokon dapat menggambarkan persentase serat atau filamen yang dapat diperoleh dari kokon (Norati 1996). Persentase kulit kokon adalah salah satu tolak ukur dalam penentuan harga jual kokon (Andadari 2003).

Hasil uji statistik (Tabel 10), menunjukkan nilai persentase kulit kokon untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata. Semua jenis murbei memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap persentase kulit kokon. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi semua jenis murbei untuk pertumbuhan selama periode ulat besar relatif sama. Akan tetapi, nilai rata-rata persentase kulit kokon terbesar dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. cathayana. Walaupun nilai konsumsi per ekor jenis murbei ini paling sedikit tetapi kandungan nutrisi yang terkandung di dalamnya paling sesuai untuk untuk pertumbuhan kelenjar sutera selama periode ulat besar yaitu, memiliki kandungan protein terbesar dengan kadar air paling rendah.

Norati (1996) melaporkan rata-rata persentase kulit kokon dari ras India dan Rusia adalah 19.3099±2.1095 %. Pada penelitian Samsijah dan Kusumaputra (1976), ras Jepang menghasilkan persentase kulit kokon berkisar antara 15.08-18 %. Sementara hasil penelitian Aryanti (2003) yang menggunakan ras ulat hibrid Jepang dan Cina menghasilkan rataan persentase kulit kokon berkisar antara 25.715-26.284 %. Pada penelitian ini rataan persentase kulit kokon yang didapat berkisar antara 20.976±0.664-21.571±0.783 %. Perbedaan nilai persentase kulit kokon tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis ulat dan kondisi iklim tempat pemeliharaan yang meliputi suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara selama proses pengokonan.

Menurut Kaomini dan Andadari (2004), jenis ulat yang baik mempunyai rasio kulit kokon 22-25 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini dinilai lebih rendah karena hanya memiliki persentase kulit kokon rata-rata 21.1023±0.324 %. Hal tersebut mungkin akibat pengaruh lingkungan tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban yang kurang sesuai untuk proses pengokonan. Menurut Kaomini dan Andadari (2004), suhu yang baik untuk proses pengokonan berkisar 22-230C dan kelembaban 60-70 %. Sedangkan pada penelitian ini suhu dan kelembaban selama periode ulat besar berkisar antara 21-290C dan 52-84 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), perbedaan tersebut diakibatkan di daerah tropik kisaran suhu dan kelembaban nisbi tidak mudah dicapai, karena pengaruh suhu yang tinggi di sekitar lingkungan. Berdasarkan standar mutu kokon (Lampiran 44 & 45) persentase kulit kokon yang dihasilkan untuk semua perlakuan pada penelitian ini termasuk kelas kokon B atau kelas kokon pertama.

Persentase Filamen

(27)

halnya serat yang dihasilkan oleh hewan, filamen yang dihasilkan oleh ulat sutera tersusun atas rantai poliamida (Ghosh 2004). Berdasarkan susunan kimianya, serat sutera tersusun atas dua protein hewan, yaitu fibroin dan serisin. Fibroin meliputi ±75 % kandungan serat sutera dan serisin meliputi ±25 % (Samsijah & Andadari 1992).

Berdasarkan Tabel 11, semua jenis murbei memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap persentase filamen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi terutama protein yang terdapat pada keempat jenis murbei tersebut relatif sama. Akan tetapi, kandungan protein paling tinggi terdapat pada daun M. cathayana sehingga persentase filamen yang dihasilkan juga paling tinggi jika dibandingkan dengan ketiga murbei lainnya. Hal ini sesuai dengan pengukuran sebelumnya bahwa rata-rata bobot kokon dan persentase kulit kokon yang dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan daun M. cathayana adalah paling besar. Sesuai dengan pernyataan Norati (1996) bahwa persentase kulit kokon dapat menggambarkan persentase serat atau filamen yang dapat diperoleh dari kokon.

Samsijah dan Kusumaputera (1976) melaporkan bahwa ras Jepang yang diberi pakan daun murbei yang berbeda jenis menghasilkan persentase filamen yang berkisar antara 10.44-14.62 %. Sedangkan pada penelitian Norati (1996) yang menggunakan ulat ras India dan Rusia menghasilkan rata-rata persentase filamen 10.596±2.565 %. Sundari (1996) melaporkan bahwa ulat hasil persilangan murni ras Rusia menghasilkan rata-rata persentase filamen 11.96±1.62 % dan persilangan Rusia-Jepang menghasilkan 15.84±5.78 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini secara umum lebih baik dari pada penelitian sebelumnya karena ulat yang digunakan adalah ras hibrid yang memiliki keunggulan dari masing-masing tetuanya.

SIMPULAN

Berdasarkan pengujian secara statistik, perbedaan jenis murbei tidak memberikan perbedaan secara nyata terhadap banyaknya konsumsi pakan per ekor selama periode ulat kecil, daya tahan ulat ulat kecil dan besar, bobot tubuh ulat akhir instar V, persentase kokon yang dihasilkan, persentase kokon cacat, persentase kulit kokon, dan persentase filamen (P>0.05). Sedangkan perbedaan jenis murbei hanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah daun yang dikonsumsi selama periode ulat besar, bobot tubuh akhir instar III, dan bobot kokon rata-rata (P<0.05).

Secara umum, jenis murbei yang paling baik digunakan selama periode ulat kecil adalah M. bombycis var. lembang. Jenis murbei ini memberikan nilai daya tahan dan bobot tubuh ulat akhir instar III paling baik diantara ketiga jenis murbei yang diujikan. Sedangkan jenis murbei yang paling baik digunakan selama periode ulat besar adalah M. cathayana. Jenis murbei ini menghasilkan nilai daya tahan, bobot kokon rata-rata, persentase produksi kokon, persentase kulit kokon, dan persentase filamen paling baik di antara ketiga jenis murbei lainnya. Selain itu, kedua jenis murbei tersebut memiliki kandungan nutrisi yang sesuai bagi pertumbuhan ulat sutera pada masing-masing fase pertumbuhan ulat. Pada studi ini, didapatkan data dengan kisaran yang luas. Hal ini disebabkan oleh kondisi suhu dan kelelembaban udara harian yang fluktuatif.

SARAN

Untuk melihat kestabilan kombinasi pakan yang diusulkan dari penelitian ini sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan pada jenis ulat dan ketinggian tempat yang berbeda.

Untuk lebih mengoptimalkan kebutuhan pakan bagi ulat sutera sebaiknya dilakukan pemisahan kebun murbei yaitu, kebun yang diperuntukan khusus bagi ulat kecil (instar I-III) yang ditanami murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil dan kebun yang diperuntukan khusus bagi ulat besar (instar IV-V) yang ditanami murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat besar sehingga pemberian pakan dapat lebih mudah dan teratur.

Untuk meningkatkan hasil produksi sutera alam, diharapkan pengelolaannya dilakukan secara terintegrasi yang melibatkan semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Andadari L. 2003. Pengenalan dan Penanganan Ulat Sutera. Hardjosworo PS, editor. Bogor: Departemen Pendidikan Nasional. Aryanti. 2003. Kualitas kokon ulat sutera

(28)

Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdopo W, Pramoedibyo, Ranoeprawiro S. 2000. Sutera Alam Indonesia Yogyakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.

Budisantoso H, Sumardjito Z. 1995. Persuteraan alam. Di dalam: Meningkatkan Penerapan dan Pemasyarakatan Hasil-Hasil Litbang untuk Mendukung Keberhasilan Pembangunan Kehutanan. Prosiding ekspose Hasil-Hasil dan Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pelita VI; Makassar, 31 Maret 1995. Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.hlm 234-242.

Dephut [Departemen Kehutanan]. 2002. Produk hasil hutan lainnya-Bagian 11: Mutu Kokon Segar Jenis Bombyx mori L. [terhubung

berkala].http://www.dephut.go.id/INFOR MASI/SNI/KokonSegar.htm [7 Pebruari 2007].

Dephut [Departemen Kehutanan]. 2004. Pedoman Pembangunan Model Usaha Persuteraan Alam. [terhubung berkala].www.dephut.go.ide/INFORMAS I/RRL/RLPS/sk_dirjenRLPS/50_04.htm [13 Juli 2007].

[Ditjen IKM] Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah. Edisi 14/Juni 2006. Prospek persuteraan alam Indonesia sangat besar. Gema Indus

Gambar

Gambar 1 Morfologi empat jenis daun murbei
Tabel 1  Hasil analisis proksimat empat
Gambar 2 Jumlah pakan yang dikonsumsi per  ekor dari instar I-V.
Gambar 4  Peningkatan bobot tubuh ulat dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikianlah kami sarnpaikan kepada Saudara,

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan selama tiga tahun terakhir (Tahun 2014- 2016) dengan menggunakan analisis rasio kemandirian, efektifitas dan efisiensi PAD, rasio

Dengan melihat kelemahan yang ada maka perusahaan akan dapat merencanakan pelatihan apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan karyawan di bidang

Prinsip memudahkan di sini bermaksud memberi kemudahan dalam perkara-perkara furu’ sahaja, manakala dalam perkara usul yang merupakan asas-asas agama, aliran wasatiyah

Berdasarkan hasil pembahasan : (1) Mortar air pencampur air tawar dengan perendaman air tawar, air laut, air kulong spritus, dan air kulong rebo pada umur 14 hari kuat tekan

Melalui demonstrasi, siswa dapat menjelaskan pengaruh zat terlarut yang sukar menguap dalam larutan trehadap tekanan uap larutan.. Melalu table data tekanan uap jenuh

dibantu oleh beberapa tenaga yang memiliki keahlian di bidang media cetak, audiovisual, audio, grafis, dan multimedia.... Denah Ruangan PSB

INDUKSI KALUS PADA EKSPLAN BATANG TANAMAN BINAHONG (Anredera cordifolia) SECARA IN VITRO DENGAN KONSENTRASI 2,4-D.. DAN BAP