• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano terhadap produksi kedelai [Glycine max (L) Merr.] panen muda dengan budidaya organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano terhadap produksi kedelai [Glycine max (L) Merr.] panen muda dengan budidaya organik"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO

TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (

Glycine max

(L.) Merr)

PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK

OLEH

ENY WIDIYANTI

A24051396

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO

TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (

Glycine max

(L.) Merr)

PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

OLEH

ENY WIDIYANTI

A24051396

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

RINGKASAN

ENY WIDIYANTI. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Produksi Kedelai (Glycine max (L) Merr.) Panen Muda dengan Budidaya Organik. (Dibimbing oleh MAYA MELATI)

Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh residu dari pupuk

organik dan residu pupuk guano terhadap produksi kedelai panen muda dengan

budidaya organik yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo pada bulan

November 2008-Februari 2009.

Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua

faktor. Faktor pertama adalah residu pupuk kandang sapi dengan 3 taraf yaitu 0,

2.5, dan 5 ton/ha. Faktor kedua adalah residu pupuk guano dengan 4 taraf yaitu 0,

180, 360, dan 540 kg/ha yang setara dengan 0, 100, 200, dan 300 kg SP 36/ha.

Benih kedelai yang digunakan adalah kedelai dengan varietas Wilis.

Pupuk organik yang ditambahkan adalah pupuk kandang sapi sebanyak 2.5 ton/ha

dan pupuk guano sebanyak 180 kg/ha yang setara dengan 100 kg SP-36/ha.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Rahadi (2008)

sehingga penambahan pupuk hanya dilakukan untuk mengantisipasi rendahnya

hara di dalam tanah dan diberikan pada semua petak percobaan. Tanaman

penghambat organisme pengganggu tanaman digunakan tanaman tagetes (Tagetes erecta) dan serai wangi (Cymbopogon nardus). Pembanding dari budidaya organik digunakan budidaya konvensional dengan pemberian 100 kg urea/ha, 200

kg KCl/ha, dan 400 kg SP-18/ha. Furadan 3G dengan bahan aktif karbofuran 10

kg/ha sebagai insektisida.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa residu pupuk kandang sapi dan

pupuk guano tidak mencukupi untuk kebutuhan hara bagi pertumbuhan vegetatif

dan generatif tanaman kedelai. Kombinasi residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan

pupuk guano 216 kg/ha menyebabkan intensitas serangan hama dan penyakit

lebih rendah 25.4% dibandingkan dengan tanpa residu pupuk kandang sapi dan

pupuk guano. Bobot basah 100 butir biji tertinggi dihasilkan oleh kombinasi

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendal, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 3

November 1986. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Karsiman

dan Ibu Rondhiyah.

Riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 1 Nolokerto tahun 1993-1999,

SLTP Negeri 1 Brangsong tahun 1999-2002, dan SMU Negeri 1 Kendal tahun

2002-2005. Penulis masuk IPB pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi

Mahasiswa IPB (USMI) dan pada tahun 2006, penulis masuk pada Departemen

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi

kekuatan dan hidayah sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang

telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini serta

dalam kehidupan kampus penulis. Ucapan terima kasih penulis ditujukan kepada:

1. Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan

penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Sandra Arifin Azis, MS. dan Dr. Ir. Sugiyanta, MSi. selaku dosen

penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ir. Heni Purnamawati, MSc. Agr. selaku dosen pembimbing akademik

atas seluruh bimbingan dan kesabaran yang telah diberikan selama masa

kuliah penulis.

4. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Ifa, Bulek Kitri, Om Usman, Dwi, dan

Rizky yang telah memberikan dorongan dan doa yang tulus baik moril

maupun materiil.

5. Staf kebun percobaan Leuwikopo, Laboratorium Umum, dan

Laboratorium Ekofisiologi Tanaman yang telah memberikan bantuan

selama pelaksanaan penelitian.

6. Isti, Mila, Hida, Siti K, Ajeng, Verdha, Diah, Meri, Dwi, Winda, Tiara,

Era, Aan, Indra, Rifka, Haryo, Candra, Warno, dan teman-teman AGH 42

lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan

dorongan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian serta kebersamaan

yang indah.

7. Reikha, Vika, Fidry, Gamma, Jane, Hanum, Meri, Ari, Siska, Lina, Nira,

Mbak Rena, dan semua penghuni Wisma Bintang atas bantuan,

persahabatan, dan kebersamaan yang indah selama 2 tahun ini.

8. Aqsa, Anna, Ratih, Ika, Rino, Nunik, Aji, dan rekan-rekan Fokma

(6)

kebersamaan selama berada di perantauan. Kalian adalah teman sekaligus

keluarga kedua bagiku.

9. Serta pihak-pihak dan rekan mahasiswa lain yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu, atas segala bantuannya.

Semoga penelitian ini berguna bagi yang memerlukan.

Bogor, Juni 2009

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan... 2

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Morfologi dan Botani Tanaman Kedelai ... 4

Pertanian Organik... 6

Kedelai Organik ... 7

Pupuk Kandang Sapi ... 9

Pupuk Guano... 10

Residu Pupuk Organik... 10

BAHAN DAN METODE ... 12

Tempat dan Waktu Percobaan ... 12

Bahan dan Alat... 12

Metode Percobaan ... 12

Pelaksanaan Percobaan... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Hasil... 17

Pembahasan ... 33

KESIMPULAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit... 15

2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam ... 19

3. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Tinggi Tanaman... 22

4. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Jumlah Daun Tanaman... 23

5. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada

3 MST... 24

6. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, dan

Bintil Akar pada 7 MST ... 25

7. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST... 25

8. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Residu Pupuk

Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit ... 26

9. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

pada 5 MST... 27

10. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah

Buku, serta Cabang Produktif pada 10 MST ... 27

11. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Komponen Panen per Tanaman... 29

12. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Komponen Panen per Petak Panen (4.5 m2)... 29

13. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Bobot Basah 100 Butir Biji Kedelai ... 30

14. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Bobot Kering 100 Butir Biji Kedelai... 30

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban selama Percobaan ... 17

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Denah Percobaan... 44

2. Denah Penanaman Tagetes dan Serai Wangi ... 45

3. Deskripsi Kedelai Varietas Willis ... 46

4. Data Klimatologi Daerah Leuwikopo selama Persiapan Lahan dan Penamanan Kedelai... 46

5. Hasil Analisis Contoh Tanah Sebelum Penanaman dan Setelah Pemanenan pada Percobaan Rahadi (2008) pada Lahan Percobaan Leuwikopo ... 47

6. Hasil Analisis Tekstur Tanah Sebelum Penanaman dan Setelah Pemanenan pada Percobaan Rahadi (2008) pada Lahan Percobaan Leuwikopo ... 47

7. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah... 48

8. Interpretasi Nilai Unsur Hara Mikro ... 48

9. Hasil Analisis Pupuk Kandang Sapi... 48

10. Hasil Analisis Daun Kedelai pada 10 MST ... 49

11. Kecukupan Hara pada Daun Kedelai ... 49

12. Kondisi Tanaman Kedelai ... 50

13. Tanaman Penghambat OPT ... 50

14. Hama pada Tanaman Kedelai ... 51

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan salah satu tanaman polong-polongan yang banyak dibudidayakan. Kedelai digunakan sebagai bahan makanan

dan bahan baku industri seperti untuk memproduksi minyak. Di Indonesia, kedelai

merupakan salah satu sumber protein nabati utama. Menurut Winarno (1985),

kedelai mengandung 40% protein dan 20% minyak dari berat kering biji.

Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan

dan kelestarian lingkungan, telah menyebabkan berkembangnya sistem pertanian

organik. Penggunaan bahan-bahan kimia digantikan dengan bahan organik yang

aman bagi manusia dan lingkungan. Menurut Departemen Pertanian (2002),

pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang mengandalkan

bahan-bahan alami (organik) dan tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan.

Kebutuhan hara tanaman pada budidaya kedelai secara organik dipenuhi

oleh pupuk organik. Bahan organik yang dapat memenuhi kebutuhan hara

tanaman antara lain pupuk kandang sapi dan pupuk guano. Pengendalian hama

dan penyakit menggunakan tanaman penghambat Organisme Pengganggu

Tanaman (OPT). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bahan

organik yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman

antara lain pupuk kandang ayam, pupuk hijau, kompos, fosfat alam, dan

kombinasi beberapa pupuk organik (Barus, 2005; Asiah, 2006; Rianawati, 2007).

Pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air

dan lendir (Sutedjo, 1994). Menurut Hasper dalam Sugito (1995), dalam 1 ton pupuk kandang sapi terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0 kg K2O; dan 0.8 kg Mg.

Kotoran sapi banyak digunakan dalam kegiatan budidaya tanaman karena

ketersediaan kotoran sapi lebih banyak dibandingkan dengan kotoran hewan

lainnya.

Pupuk guano merupakan pupuk yang berasal dari kotoran kelelawar dan

burung liar yang menempel pada dinding gua. Guano banyak mengandung

(12)

K. Unsur P dalam pupuk guano berada dalam bentuk yang mudah tersedia bagi

tanaman, sehingga diharapkan tersedianya unsur P dalam tanah dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman (Sediyarso, 1999). Penelitian yang

dilakukan oleh Barus (2005) menunjukkan pemberian fosfat alam yang dilakukan

6 minggu sebelum tanam dan pemberian kapur tidak berpengaruh nyata terhadap

peubah yang diamati. Hal ini disebabkan oleh unsur P dalam fosfat alam lambat

tersedia bagi tanaman.

Agar dapat digunakan oleh tanaman, bahan-bahan organik harus

didekomposisi oleh mikroorganisme tanah terlebih dahulu. Persediaan hara dalam

bahan organik akan berangsur-angsur terbebaskan dan tersedia bagi tanaman

sehingga tanah yang diberi bahan organik masih memberikan hasil panen yang

baik selama beberapa waktu (Sugito, 1995). Menurut Kononova dalam Mulyadi (2006), bahan organik dapat berdampak beberapa tahun terhadap sifat fisik dan

kimia tanah, tergantung pada kemudahan terdekomposisinya dan senyawa

penyusun bahan organik tersebut.

Penelitian Rahadi (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang

sapi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai. Namun,

pada perlakuan pupuk guano sebagai sumber P tidak berpengaruh nyata terhadap

komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Hal ini juga terjadi pada interaksi

antara pupuk kandang sapi dan pupuk guano, dimana pertumbuhan tanaman

kedelai hanya dipengaruhi oleh pupuk kandang sapi. Hal ini diduga karena unsur

P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau pengapuran yang

dilakukan belum efektif sehingga unsur P dapat difiksasi oleh Fe, Al, dan Mn.

Diduga masih tersisanya kandungan pupuk organik di dalam tanah sehingga dapat

dimanfaatkan oleh pertanaman berikutnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh residu dari pupuk

kandang dan pupuk guano terhadap produksi kedelai panen muda dengan

(13)

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. Terdapat dosis residu pupuk kandang sapi yang berpengaruh terhadap

produksi kedelai panen muda dengan budidaya organik.

2. Terdapat dosis residu pupuk guano yang berpengaruh terhadap produksi

kedelai panen muda dengan budidaya organik.

3. Terdapat interaksi antara residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano

yang berpengaruh terhadap produksi kedelai panen muda dengan budidaya

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Botani Tanaman Kedelai

Kedelai merupakan tanaman semusim berupa semak rendah, tumbuh

tegak, berdaun lebat dengan beragam bentuk morfologi. Perakaran kedelai terdiri

dari akar tunggang dan akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang.

Kadang-kadang tumbuh akar cabang atau akar adventif dari bagian bawah hipokotil

(Hidayat, 1985) yang terjadi karena adanya cekaman seperti cekaman kekeringan

dan salinitas tinggi (Adisarwanto, 2007). Akar tunggang tumbuh di sekitar lapisan

olah tanah hingga kedalaman 2 m. Namun, pada umumnya akar tunggang hanya

mencapai lapisan olah tanah. Perkembangan akar dipengaruhi oleh cara

pengolahan tanah, pemupukan, tekstur tanah, sifat fisik dan kimia tanah, serta

ketersediaan air tanah dan hara bagi tanaman (Hidayat, 1985).

Akar kedelai mempunyai bintil akar yang merupakan simbiosis antara

kedelai dengan bakteri Rhizobium japonicum. Adanya simbiosis ini menyebabkan tanaman kedelai dapat mengikat nitrogen (N2) dari udara untuk memenuhi

sebagian hara nitrogen yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan

tanaman (Hidayat, 1985). Adisarwanto (2007) menyatakan bintil akar dapat

mengikat nitrogen dari udara saat berumur 10-12 hari setelah tanam, tergantung

kondisi tanah dan suhu. Kelembaban tanah yang cukup dan suhu tanah sekitar

25oC sangat mendukung pertumbuhan bintil akar.

Batang berasal dari poros embryo. Selama perkecambahan, hipokotil

merupakan bagian batang kedelai, mulai dari pangkal akar hingga kotiledon.

Hipokotil dan dua kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menembus

permukaan tanah (Adisarwanto, 2007). Pertumbuhan batang kedelai dibedakan

menjadi dua tipe yaitu tipe determinate dan tipe indeterminate. Determinate yaitu

kedelai yang pertumbuhan vegetatifnya berakhir pada saat berbunga, sedangkan

indeterminate yaitu kedelai yang pertumbuhan vegetatifnya tetap berlangsung

walaupun tanaman telah berbunga.

Buku pada batang kedelai merupakan tempat tumbuhnya bunga. Buku

(15)

pada batang dipengaruhi oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang

penyinaran. Pada kondisi normal, jumlah buku berkisar 15-30 buku. Jumlah buku

batang indeterminate lebih banyak daripada batang determinate (Adisarwanto,

2007). Tanaman kedelai biasanya akan mempunyai cabang yang muncul di

batang. Percabangan pada kedelai dipengaruhi oleh panjang hari, jarak tanam dan

kesuburan tanah (Hidayat, 1985).

Daun kedelai berbentuk bulat (ovale) dan lancip (lanceolate). Bentuk daun ini dipengaruhi oleh faktor genetik. Kedelai mempunyai dua tipe daun yaitu daun

primer (tunggal) yang terbentuk saat kecambah dan daun bertangkai tiga

(trifoliate) yang tumbuh setelah masa perkecambahan. Umumnya, daun kedelai mempunyai bulu (trikhoma). Namun, ada pula varietas yang tidak mempunyai

bulu. Tebal-tipisnya bulu berkaitan dengan tingkat toleransi varietas kedelai

terhadap serangan jenis hama tertentu, misalnya hama penggerek polong sangat

jarang menyerang varietas kedelai yang berbulu lebat (Adisarwanto, 2007).

Tanaman kedelai termasuk tanaman hari pendek, yaitu tidak akan

berbunga apabila panjang hari melampaui batas kritis (PurseglovedalamHidayat, 1985). Di Indonesia, panjang hari rata-rata pada tanaman kedelai adalah 12 jam

dan suhu udara yang tinggi (> 300C). Sebagian besar mulai berbunga pada umur

5-7 MST. Tanaman kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap perbedaan

panjang hari terutama saat pembentukan bunga (Adisarwanto, 2007).

Bunga berbentuk kupu-kupu (papilionoidae) yang berukuran 3-7 mm dan

berwarna ungu atau putih. Bunga terbentuk pada ketiak tangkai daun. Jumlah

bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam antara 2-25 bunga,

tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas. Bunga kedelai merupakan

bunga sempurna. Penyerbukan terjadi saat bunga masih menutup (kleistogami),

sehingga kemungkinan menyerbuk silang sangat kecil (Hidayat, 1985).

Polong terbentuk pada 7-10 hari setelah bunga pertama muncul. Polong

muda berwarna hijau dan akan berubah menjadi kuning kecoklatan saat masak.

Tiap polong berisi 1-5 biji, tergantung varietas. Warna bijinya juga bervariasi

seperti kuning, hitam, atau cokelat (Purwono et al., 2007). Warna biji ini disebabkan oleh adanya karoten dan santofil, adanya trikhoma dan ada tidaknya

(16)

Di daerah tropis, kedelai tumbuh baik hingga ketinggian 500 m dpl.

Pertumbuhan kedelai sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah.

Perkecambahan optimum bila terjadi pada suhu 300C. Sedangkan pertumbuhan

terbaik terjadi pada suhu 29.40C dan akan menurun bila suhu lebih rendah

(Hidayat, 1985). Kedelai tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan 100-400

mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil yang optimum, kedelai membutuhkan curah

hujan 100-200 mm/bulan.

Toleransi kemasaman tanah bagi kedelai adalah 5.8-7.0. Namun, kedelai

masih tumbuh baik pada pH 4.5. Pertumbuhan tanaman kedelai akan terhambat

pada tanah dengan pH kurang dari 5.5 karena adanya keracunan aluminium, serta

pertumbuhan bakteri dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik. Jenis tanah yang

baik untuk kedelai antara lain aluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol.

Pada tanah podsolik merah kuning dan tanah yang mengandung pasir kwarsa,

pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali jika tanah diberi pupuk organik atau

kompos dalam jumlah yang cukup (Purwonoet al., 2007).

Pertanian Organik

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan terutama bahan

pangan dan kelestarian lingkungan menyebabkan adanya perubahan dalam sistem

pertanian dari sistem pertanian konvensional yang menggunakan bahan-bahan

kimia buatan menjadi sistem pertanian organik tanpa adanya input bahan kimia

buatan. Menurut Departemen Pertanian (2002), pertanian organik merupakan

teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami (organik) tanpa

menggunakan bahan-bahan kimia buatan.

Menurut Sugito (1995), sistem pertanian organik merupakan suatu sistem

pertanian dimana bahan organik merupakan faktor penting dalam proses produksi.

Penggunaan bahan organik sebagai pupuk serta pengendalian hama, penyakit, dan

gulma secara biologi merupakan penerapan sistem pertanian organik. Dalam arti

luas, sistem pertanian organik mencakup bidang peternakan dan perikanan yang

terintegrasi dengan bidang pertanian.

Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik

(17)

mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk

residu dan limbah pertanaman maupun ternak. Strategi pertanian organik adalah

memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang

menjadi biomassa tanah yang selanjutnya menjadi hara dalam larutan tanah

setelah mengalami proses mineralisasi (Sutanto, 2002)

Tujuan dari penggunaan sistem pertanian ini adalah untuk menyediakan

produk-produk pertanian terutama bahan pangan yang aman bagi produsen dan

konsumen serta tidak merusak lingkungan (Departemen Pertanian, 2002).

Beberapa hambatan pertanian organik antara lain pengendalian hama secara

biologis umumnya dipandang kurang efektif oleh petani, hasil produksi masih

rendah dibandingkan pertanian konvensional, produk pertanian organik masih

dipandang mahal, dan kurangnya informasi tentang pertanian organik.

Kedelai Organik

Kedelai organik merupakan kedelai yang dibudidayakan dengan

menggunakan pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan haranya. Beberapa jenis

pupuk organik yang telah digunakan dalam percobaan antara lain pupuk kandang,

pupuk hijau, fosfat alam dan pupuk guano sebagai sumber P, serta beberapa

kombinasi pupuk organik (Sinaga, 2005; Barus, 2005; Asiah, 2006; Rianawati,

2007; Rahadi, 2008).

Pemberian pupuk kandang ayam dengan dosis 20 ton/ha memberikan

pengaruh yang nyata terhadap peubah vegetatif dan generatif, namun tidak

berbeda nyata dengan Centrocema pubescens dosis 25 kg/ha (Sinaga, 2005). Secara umum, pupuk kandang ayam yang diberikan secara tunggal pada

penelitian Asiah (2006) memberikan hasil yang tertinggi baik pada karakter

vegetatif maupun karakter generatif. Namun, pada perlakuan residunya

(Rianawati, 2007), residu pupuk kandang ayam tidak memberikan hasil yang lebih

baik dibanding perlakuan residu kombinasi abu sekam, pupuk kandang ayam, dan

pupuk hijau. Hal ini diduga disebabkan oleh pupuk kandang ayam lebih cepat

terdekomposisi sehingga lebih mudah tersedia bagi pertanaman kedelai pertama.

Penelitian Rahadi (2008) memperlihatkan bahwa pemberian pupuk

(18)

Pertumbuhan kedelai yang terbaik secara umum ditunjukkan pada dosis pupuk

kandang sapi 3 ton/ha. Namun, perlakuan pupuk guano sebagai sumber P tidak

berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Hal ini

diduga karena unsur P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau

pengapuran yang dilakukan belum efektif sehingga unsur dapat difiksasi oleh Fe,

Al, dan Mn. Kombinasi pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan pupuk guano 216

kg/ha menghasilkan produksi kedelai tertinggi sebesar 5.9 kg/10 m2.

Pupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari tanaman. Pengaruh

kumulatif dari penggunaan pupuk hijau yang berkesinambungan tidak hanya pada

pasokan N tetapi juga peningkatan kandungan bahan organik dan unsur lainnya,

menggantikan fosfat dan unsur mikro yang termobilisasi (Sutanto, 2002).

Penelitian Barus (2005) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hijau yang

berasal dari tanaman Calopogonium mucunoides tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah vegetatif dan generatif yang diamati. Hal ini

disebabkan oleh pupuk hijau yang diberikan belum terdekomposisi dengan

sempurna.

Fosfat alam sebagai sumber P yang diberikan pada penelitian Barus (2005)

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah-peubah yang diamati,

walaupun telah diaplikasikan 6 minggu sebelum tanam dan diberi kapur. Hal ini

disebabkan oleh unsur P dalam fosfat alam lambat tersedia bagi tanaman. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahadi (2008) bahwa pemberian

pupuk guano tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan

komponen produksi. Berbeda dengan penelitian Barus (2005), tidak nyatanya

pengaruh pupuk guano disebabkan oleh unsur P dalam tanah sudah mencukupi

kebutuhan tanaman atau pengapuran yang dilakukan belum efektif sehingga unsur

dapat difiksasi oleh Fe, Al, dan Mn.

Pengendalian hama dan penyakit pada budidaya kedelai organik dapat

dilakukan dengan menggunakan tanaman penghambat Organisme Pengganggu

(19)

mampu menekan serangan hama dan penyakit lebih tinggi dibandingkan dengan

tanaman penghambat OPT selasih, serai, dan daun bawang.

Pupuk Kandang Sapi

Pupuk kandang merupakan salah satu jenis pupuk organik yang banyak

digunakan selain pupuk hijau dan kompos. Pupuk kandang merupakan pupuk

yang berasal dari kandang hewan baik kotoran padat maupun cair. Dari segi kadar

haranya, pupuk kandang cair jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk padat

(Lingga, 1998). Menurut Hardjowigeno (2003), secara umum dalam setiap ton

pupuk kandang terkandung 5 kg N, 3 kg P2O5, dan 5 kg K2O serta unsur hara

essensial lain dalam jumlah yang relatif kecil.

Menurut Sutedjo (1994), pupuk kandang dapat meningkatkan kadar

humus, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah.

Lingga (1998) menambahkan penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan

daya serap tanah terhadap air. Menurut Hardjowigeno (2003), pupuk organik

dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, meningkatkan ketersediaan unsur

mikro, dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Salah satu pupuk kandang yang banyak digunakan yaitu pupuk kandang

sapi. Menurut Sutedjo (1994), pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang

banyak mengandung air dan lendir. Pupuk ini termasuk jenis pupuk yang proses

penguraiannya berlangsung sangat lambat sehingga tidak terbentuk panas. Hal ini

terjadi karena pupuk kandang sapi cepat mengeras dan sulit ditembus oleh air dan

udara. Menurut Hasper dalam Sugito (1995), dalam 1 ton pupuk kandang sapi pada terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0 kg K2O; dan 0.8 kg Mg.

Penambahan pupuk kandang dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam

tanah dan serapan hara tanaman. Taufiq et al. (2006) menyatakan penambahan pupuk kandang sapi sebesar 2.5 ton/ha dapat meningkatkan P, Mg, dan Ca

tersedia dan menurunkan Al-dd, serta nyata meningkatkan hasil kedelai 8-11%.

(20)

Pupuk Guano

Pupuk guano merupakan salah satu jenis pupuk organik yang banyak

mengandung nitrogen dan fosfat. Pupuk ini berasal dari kotoran kelelawar dan

burung liar yang banyak terdapat pada dinding gua (Sediyarso, 1999). Pupuk ini

jarang digunakan karena sulit untuk didapatkan. Sutedjo (1994) menyatakan

kandungan hara dalam pupuk guano antara lain 8-13% N, 5-12% P, 1.5-2.5% K,

7.5-11% Ca, 0.5-1% Mg, dan 2-3.5% S.

Pupuk guano sangat baik bila digunakan pada tanah masam karena berasal

dari batu kapur. Pupuk guano mengandung mineral kalsium fosfat. Kalsium fosfat

ini dapat larut dalam air apabila Ca diikat oleh Al dan H dalam tanah. Kandungan

kalsium pada pupuk guano dapat menetralkan pH tanah (Marsono et al., 2001). Kelebihan pupuk guano lainnya dibanding pupuk kimia buatan adalah guano lebih

tahan lama di dalam tanah, mampu meningkatkan produktivitas tanah, dan

menyediakan hara bagi tanaman lebih lama.

Pupuk organik yang digunakan pada penelitian Rahadi (2008) adalah

pupuk guano yang berasal dari deposit guano. Berdasarkan hasil analisis pupuk

guano yang dilakukan pada penelitian Rahadi (2008), pupuk guano mengandung

P2O5 26.07% dan CaO 36.07%. Sediyarso (1999) menyatakan 10-12% kandungan

P2O5 dalam deposit guano sebagai bentuk yang mudah larut dalam air.

Residu Pupuk Organik

Bahan organik merupakan bahan yang lambat tersedia bagi tanaman,

karena sebagian besar bagian penyusunnya harus mengalami perubahan terlebih

dahulu sebelum dapat diserap oleh tanaman (Sugitoet al., 1995). Oleh karena itu, bahan organik sebaiknya diaplikasikan beberapa minggu sebelum dilakukan

penanaman.

Menurut Kononova dalam Mulyadi (2006), bahan organik dapat berdampak beberapa tahun terhadap sifat fisik dan kimia tanah, namun tergantung

pada kemudahan terdekomposisinya dan senyawa penyusun bahan organik

tersebut, namun lambat laun pengaruh ini akan terus berkurang dan bahkan akan

(21)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa residu bahan organik masih

berpengaruh baik pada tanaman hingga beberapa waktu. Mulyadi (2006)

menyatakan bahwa residu pupuk kandang dan jerami padi pada tanaman kedelai

dapat meningkatkan tinggi tanaman, hasil biji kering, bobot brangkasan kering,

polong isi, dan bobot 100 biji. Kuntyastuti dalam Kuntyastuti et al. (2006) menyebutkan pada tanah Entisol Genteng Banyuwangi, residu kotoran ayam 40

ton/ha, residu kotoran sapi 20 ton/ha, dan residu arang sekam 10.8 ton/ha (setara

sekam padi 40 ton/ha) yang dibenamkan bersama pengolahan tanah sampai

kedalaman 20 cm dapat meningkatkan hasil biji kedelai ke-2 pada kondisi terjadi

hujan 1 967 mm selama 3 bulan pertumbuhan kedelai.

Melatiet al. (2008) menyatakan bahwa residu pupuk kandang dan kompos menghasilkan jumlah dan bobot polong isi lebih tinggi dibandingkan dengan

residu pupuk kandang ayam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pupuk

kandang ayam lebih mudah dalam menyediakan hara bagi tanaman sehingga

pengaruh residunya menjadi rendah pada pertanaman kedua, sedangkan pupuk

hijau dan kompos memerlukan waktu dekomposisi yang lebih lama sehingga hara

belum banyak terserap pada pertanaman pertama dan diduga hara telah tersedia

pada pertanaman kedua. Residu abu sekam dapat menurunkan intensitas serangan

hama rata-rata sebesar 75% dari kontrol, namun tidak dianjurkan untuk diberikan

(22)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor

yang mempunyai ketinggian 250 m dpl dan mempunyai topografi datar dengan

jenis tanah latosol. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah,

Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2008 sampai

dengan Februari 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas

Willis. Penelitian ini merupakan kegiatan lanjutan dari penelitian Rahadi (2008).

Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang sapi sebanyak 2.5 ton/ha

dan pupuk guano sebanyak 180 kg/ha yang setara dengan 100 kg SP-36 /ha yang

diaplikasikan pada seluruh petakan untuk mengantisipasi rendahnya unsur hara.

Tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang

digunakan adalah tanaman tagetes (Tagetes erecta L.) dan tanaman serai wangi (Cymbopogon nardus). Peningkatan pH tanah dilakukan dengan menggunakan kapur dolomit dengan dosis 2 ton/ha. Rhizobium dengan dosis 5 g/kg benih

kedelai.

Pembanding dari budidaya organik adalah budidaya konvensional yang

menggunakan 100 kg urea/ha, 200 kg KCl/ha, dan 400 kg SP-18/ha. Furadan 3G

(bahan aktif karbofuran) 10 kg/ha sebagai insektisida.

Metode Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok

Lengkap Teracak dengan dua faktor yang disusun secara faktorial. Faktor pertama

adalah residu pupuk kandang sapi dengan 3 taraf yaitu 0, 2.5, dan 5 ton/ha. Faktor

kedua adalah residu pupuk guano dengan 4 taraf yaitu 0, 180, 360, dan 540 kg/ha

(23)

menjadi 12 perlakuan yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali sehingga

diperoleh 36 satuan percobaan.

Metode linier yang digunakan adalah:

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + δk + εijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan dari perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke-i,

perlakuan dosis residu pupuk guano ke-j, dan interaksi antara

perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano

μ = nilai tengah umum

αi = pengaruh perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke-i

βj = pengaruh perlakuan dosis residu pupuk guano ke-j

(αβ)ij = interaksi antara dua faktor perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi

dan perlakuan dosis residu pupuk guano

δk = pengaruh ulangan ke-k

εijk = pengaruh galat percobaan dari perlakuan dosis residu pupuk kandang

sapi ke-i, perlakuan residu pupuk guano ke-j, dan ulangan ke-k

i = perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke 0, 2.5, 5 ton/ha

j = perlakuan dosis residu pupuk guano ke 0, 180, 360, 540 kg/ha

k = ulangan 1, 2, 3

Data dianalisis dengan uji F. Apabila hasilnya menunjukkan pengaruh

yang nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan

(DMRT) dengan taraf nyata 5 %.

Pelaksanaan Percobaan

Persiapan Lahan dan Aplikasi Pupuk

Persiapan lahan dilakukan dengan melakukan pengolahan lahan dilakukan

4 minggu sebelum tanam. Petakan dibuat dengan ukuran 2.5 m x 3 m dan petakan

pembanding dibuat dengan ukuran 5 m x 4 m (Lampiran 1). Pengapuran

dilakukan pada 3 minggu sebelum tanam. Bersamaan dengan pengapuran, juga

dilakukan aplikasi pupuk kandang sebanyak dosis 2.5 ton/ha pada semua petak

percobaan. Pemberian pupuk guano dilakukan pada 2 minggu sebelum tanam

(24)

dan pupuk guano diberikan dengan cara disebar pada semua petakan. Contoh

tanah yang dianalisis diambil setelah panen pada percobaan Rahadi (2008).

Penanaman

Penanaman tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

dilakukan satu bulan sebelum tanaman kedelai ditanam. Tagetes ditanam di

sekeliling setiap petakan sedangkan serai wangi ditanam di sekeliling lahan

percobaan.

Kedelai ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 20 cm, 2 benih per lubang

tanam, sehingga populasi per petak percobaan 150 tanaman. Sebelum ditanam,

benih diinokulasi dengan Rhizobium dengan dosis 5 g/kg benih kedelai.

Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam.

Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharan yang dilakukan antara lain pengendalian gulma dan

pembumbunan pada 4 MST.

Pengamatan

Peubah yang diamati meliputi:

1. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur dari 10 tanaman contoh dari setiap petakan yang

dilakukan setiap minggu. Diukur dari buku pertama sampai titik tumbuh yang

terletak di ujung batang utama.

2. Jumlah daun per tanaman (helai)

Dihitung setiap minggu dengan cara menghitung semua daun mulai dari daun

unifoliet sampai daun yang sudah terbuka penuh pada 10 tanaman contoh.

3. Jumlah buku produktif dan cabang produktif pada saat kedelai berumur 10

MST

4. Bobot kering bintil akar (g)

Pengukuran dilakukan pada umur 7 MST dengan cara mencabut akar kedelai

dan mengambil bintil akarnya kemudian dioven dengan suhu 1050C selama 1

(25)

5. Bobot kering akar dan tajuk (g)

Pengukuran dilakukan pada saat kedelai berumur 7 MST dengan cara

mencabut tanaman kedelai hingga akarnya kemudian dioven dengan suhu

1050C selama 1 x 24 jam.

6. Rasio tajuk/akar

Perhitungan dilakukan pada saat tanaman kedelai berumur 7 MST dengan

membandingkan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar.

7. Umur berbunga (Minggu Setelah Tanam/MST)

Dilakukan pada saat tanaman telah berbunga ≥ 75% pada petak panen dari setiap perlakuan.

8. Umur panen (Hari Setelah Tanam/HST)

Panen dilakukan pada saat 90% tanaman pada petak percobaan sudah mengisi

penuh.

9. Jumlah polong isi dan hampa

Dilakukan saat panen dengan menghitung semua polong isi dan polong hampa

dari setiap tanaman contoh.

10. Bobot basah dan kering polong isi dan polong hampa per tanaman contoh (g)

11. Bobot basah polong/petak panen (4.5 m2)

12. Jumlah polong isi dan polong hampa setiap petak panen (4.5 m2)

13. Bobot basah dan bobot kering 100 butir biji (g)

14. Jenis hama, penyakit dan intensitas (%) yang diamati setiap minggu

Tabel 1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit

Skor Keterangan

0 Tidak ada serangan

(26)

Intensitas serangan hama dan penyakit dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

%

100

.

0

x

NV

vi

n

IP

k

i

Keterangan:

IP = Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit

n = Jumlah tanaman yang mempunyai skor serangan ke-i

vi = Skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4, 5

V = Skor tanaman tertinggi

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Kondisi Umum

Pertumbuhan benih pada 1 MST hanya berkisar antara 38-77% sehingga

dilakukan penyulaman. Rendahnya pertumbuhan benih ini mungkin disebabkan

oleh rendahnya curah hujan pada awal penanaman (Gambar 1) dan lubang tanam

yang terlalu dalam sehingga benih yang sebenarnya tumbuh namun belum

menembus permukaan tanah sehingga dianggap tidak tumbuh. Pada 2 MST,

setelah dilakukan penyulaman, kondisi tersebut berubah menjadi 55-90%.

Gambar 1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban Selama Percobaan

Tanaman kedelai mengalami gejala klorosis (perubahan warna daun

menjadi kuning) pada tepi daun dan diantara tulang daunnya. Gejala klorosis yang

parah terjadi hingga mendekati pangkal daun dan hanya menyisakan warna hijau

pada pertulangan daun (Gambar 2a), bahkan seluruh daun berubah menjadi

kuning (Gambar 2b), selanjutnya timbul gejala nekrosis (tepi daun mengering).

Gejala ini mulai muncul pada 3 MST dan jumlah tanaman yang mengalami

(28)

(a) (b)

Gambar 2. Daun kedelai mengalami klorosis dan nekrosis pada tepi daunnya (a) dan hampir seluruh bagian daun mengalami klorosis (b)

Gejala serangan penyakit yang terdapat pada pertanaman kedelai adalah

gejala penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora kikuchii. Hama yang menyerang pertanaman kedelai antara lain hama kepik penghisap pucuk

(Anoplocnemis plasiana), ulat bulu, kutu daun (Aphis glycines), kepik polong (Riptortus linearis), ulat penggulung daun (Lamprosema indica), dan ulat jengkal. Tanaman kedelai juga terserang rayap tanah, namun hanya menyerang beberapa

tanaman pinggir saja sehingga tidak dilakukan pengendalian.

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama percobaan antara lain

penyiangan gulma yang dilakukan secara manual dan dengan menggunakan kored

atau cangkul serta pembubunan yang dilakukan pada 4 MST. Gulma dominan

pada pertanaman antara lain Mimosa pudica, Mimosa invisa, Emilia sonchifolia,

dan beberapa gulma berdaun lebar lainnya. Pembumbunan dilakukan untuk

membantu tegaknya tanaman dan untuk menekan laju pertumbuhan gulma.

Bunga mulai muncul pada 4 MST. Pertumbuhan bunga berlangsung secara

berangsur-angsur dan mencapai sekitar 75% pada 6 MST. Proses pembentukan

bunga yang tidak bersamaan menyebabkan waktu pengisian polong yang tidak

sama pula. Oleh karena itu, pemanenan dilakukan secara bertahap pada petakan

yang 90% polongnya telah mengisi penuh. Pemanenan dilakukan pada 81, 85, dan

90 HST (Hari Setelah Tanam). Perbedaan waktu pemanenan ini bukan merupakan

(29)

Pengaruh Perlakuan terhadap Peubah

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak

berpengaruh nyata pada hampir semua peubah yang diamati baik peubah vegetatif

maupun generatif. Pengaruh nyata akibat perlakuan residu pupuk kandang sapi

hanya terlihat pada bobot kering bintil akar pada 7 MST, bobot basah polong

hampa/petak panen (4.5 m2), dan bobot basah 100 butir biji, sedangkan perlakuan

residu pupuk guano hanya berpengaruh nyata pada jumlah daun pada saat 8 MST,

serta bobot basah dan bobot kering bintil akar pada 7 MST.

Interaksi antara residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano juga

menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada hampir semua peubah yang

diamati. Pengaruh nyata hanya terlihat pada jumlah daun pada saat 3 MST,

intensitas serangan hama dan penyakit pada saat 5 MST, dan bobot kering 100

butir biji. Rekapitulasi sidik ragamnya tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

(30)

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Lanjutan

Keterangan : tn = tidak nyata 5% ** = berbeda nyata pada taraf 1%

cn = berbeda nyata pada taraf 10% a) = hasil transformasi√(x+0.5) * = berbeda nyata pada taraf 5% b) = hasil transformasi√(x+1.0)

Keragaman

Jumlah Buku Produktif 10 MST tn tn tn 29.44

Jumlah Cabang Produktif 10 MST tn tn tn 17.01

BB Tajuk 7 MST tn tn tn 21.50a)

Rasio Tajuk/Akar tn tn tn 22.50

BB Polong Isi/Tanaman tn tn tn 19.79a)

BK Polong Isi/Tanaman tn tn tn 21.90a)

BB Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 21.98a)

BK Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 20.08a)

BB Polong Isi/Petak Panen (4.5 m2) tn tn tn 26.48a)

BB Polong Hampa/Petak Panen (4.5 m2) * tn tn 34.20b)

BB 100 Butir Biji * tn cn 5.38

BK 100 Butir Biji cn cn * 6.24

Jumlah Polong Isi/Tanaman tn tn tn 18.37a)

Jumlah Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 23.81a)

(31)

Tinggi Tanaman

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk berpengaruh tidak

nyata pada peubah tinggi tanaman. Perlakuan residu pupuk guano berpengaruh

nyata pada taraf 10% pada saat tanaman berumur 7 MST. Tinggi tanaman pada

semua perlakuan mengalami peningkatan pada setiap minggu. Perlakuan residu

pupuk guano dengan dosis 108 kg/ha menghasilkan tinggi tanaman paling tinggi

dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk guano lainnya pada setiap minggu.

Tinggi tanaman kedelai dengan budidaya konvensional lebih tinggi dibandingkan

dengan tinggi tanaman kedelai pada semua perlakuan residu pupuk kandang sapi

dan pupuk guano (Tabel 3).

Jumlah Daun

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano memberikan

pengaruh yang tidak nyata pada peubah jumlah daun. Perlakuan residu pupuk

guano pada 8 MST menunjukkan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah daun.

Jumlah daun pada perlakuan residu pupuk guano 108 kg/ha lebih tinggi

dibandingkan dengan residu pupuk guano 216 kg/ha, namun tidak berbeda dengan

perlakuan residu pupuk guano 0 kg/ha dan 324 kg/ha. Budidaya konvensional

menghasilkan jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua residu

pupuk organik (Tabel 4).

Interaksi perlakuan residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano

menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada 3 MST. Kombinasi

residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu pupuk guano 0 kg/ha

(32)

Tabel 3. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Tinggi Tanaman

Tinggi Tanaman (MST) Perlakuan

2 3 4 5 6 7 8 9 10

……….………..cm……….………..

Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)

0 8.41 12.58 15.67 20.97 29.88 37.61 43.71 47.18 43.20 1.5 9.11 13.18 16.70 22.06 30.32 38.14 43.57 45.40 42.66 3 8.73 12.70 15.82 21.21 29.23 37.00 41.85 43.87 39.98 Residu Pupuk Guano (kg/ha)

(33)

Tabel 4. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman

Jumlah Daun (MST) Perlakuan

2 3 4 5 6 7 8 9 10

Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)

0 4.8 5.9 6.2 8.2 12.0 15.9 20.0 23.3 20.7 1.5 5.1 6.1 6.7 7.9 11.7 15.8 20.0 23.1 21.5 3 5.0 5.9 6.3 7.7 10.7 14.6 18.8 21.7 19.8 Residu Pupuk Guano (kg/ha)

0 5.1 6.1 6.3 7.4 10.5 13.8 18.0ab 20.5 20.8 108 5.1 5.9 6.6 9.1 13.5 18.1 22.8a 25.3 20.2 216 5.2 6.1 6.3 7.3 10.4 13.8 16.5b 20.3 19.9 324 4.8 5.8 6.2 7.9 11.4 15.7 20.5ab 24.1 21.8 Konvensional 5.9 6.5 8.9 12.7 21.6 32.6 38.3 34.6 33.7

(34)

Tabel 5. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada 3 MST

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang

Sapi (ton/ha) 0 108 216 324 Rata-rata

0 5.7bcd 6.1abcd 6.3abcd 5.8abcd 5.97 1.5 6.7a 5.6bcd 6.4abc 5.5cd 6.05 3 6.1abcd 6.0abcd 5.5d 6.1abcd 5.91 Rata-rata 6.13 5.91 6.04 5.82

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%

Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, Bintil Akar, dan Rasio Tajuk/Akar

pada 7 MST

Perlakuan residu pupuk kandang sapi tidak berpengaruh nyata pada bobot

basah dan bobot kering tajuk dan akar, bobot basah bintil akar serta rasio

tajuk/akar, namun residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata menurunkan

bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar pada perlakuan residu pupuk

kandang sapi dengan dosis 0 ton/ha tertinggi dibandingkan dengan perlakuan

residu pupuk kandang sapi lainnya. Perlakuan residu pupuk guano nyata

menurunkan bobot basah dan bobot kering bintil akar pada 7 MST. Peningkatan

dosis residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano cenderung menurunkan

bobot basah dan bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar (Tabel 6).

Interaksi residu pupuk kandang dan residu pupuk guano menunjukkan

pengaruh nyata pada taraf 10 % terhadap bobot kering bintil akar pada 7 MST.

Kombinasi tanpa residu pupuk kandang sapi dan tanpa residu pupuk guano

menghasilkan bobot kering bintil akar tertinggi yaitu 0.86 g (Tabel 7).

Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit

Residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak berpengaruh

nyata terhadap intensitas serangan hama dan keparahan penyakit. Intensitas

serangan hama dan keparahan penyakit semakin meningkat pada setiap minggu,

namun intensitas serangan hama dan keparahan penyakit menurun pada 10 MST.

Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada perlakuan residu pupuk

guano 108 kg/ha secara tunggal terendah dibandingkan dengan perlakuan residu

(35)

MST. Dibandingkan dengan perlakuan tanpa residu pupuk guano, perlakuan

residu pupuk guano 108 kg/ha menurunkan intensitas serangan hama dan penyakit

sebesar 25.4%. Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada budidaya

konvensional lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk baik

pupuk kandang sapi maupun pupuk guano (Tabel 8).

Tabel 6. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, dan Bintil Akar pada 7 MST.

0 17.86 3.78 2.53 0.88 0.32 0.14a 4.55 1.5 13.99 3.04 1.90 0.67 0.27 0.09b 4.44 3 11.96 2.54 1.83 0.62 0.23 0.07b 4.23 Residu Pupuk Guano

(kg/ha)

0 16.84 3.73 2.58 0.93 0.29a 0.13a 4.24 108 14.68 3.11 2.04 0.71 0.33a 0.11a 4.41 216 15.59 3.21 1.99 0.65 0.32a 0.11a 4.90 324 11.32 2.43 1.74 0.60 0.14b 0.05b 4.07 Konvensional 14.60 3.12 2.09 0.72 0.31 0.12 4.55

Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%

Tabel 7. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang

Sapi (ton/ha) 0 108 216 324 Rata-rata

………..g……….. 0 0.25a 0.12b 0.13b 0.06b 0.14 1.5 0.07b 0.14b 0.10b 0.05b 0.09 3 0.08b 0.07b 0.01b 0.05b 0.07 Rata-rata 0.13 0.11 0.11 0.05

(36)

Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh

nyata terhadap intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada 5 MST.

Kombinasi perlakuan residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan residu pupuk guano

216 kg/ha menghasilkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit

terendah dibandingkan dengan kombinasi dosis residu pupuk kandang sapi dan

pupuk guano lainnya (Tabel 9).

Tabel 8. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Intensitas Serangan Hama dan Penyakit (MST) Perlakuan 108 17.8 34.6 44.8 52.2 53.9 59.7 60.8 46.1 216 16.9 39.0 47.0 60.7 54.7 59.6 63.0 60.9 324 18.2 34.2 44.6 54.6 56.6 61.4 63.0 55.7 Konvensional 0.0 22.0 20.0 34.0 30.0 55.0 53.0 60.0

Jumlah tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah Cabang, serta Buku Produktif

pada 10 MST

Residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano tidak berpengaruh nyata

terhadap jumlah tanaman kedelai/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST. Jumlah tanaman pada

perlakuan residu pupuk kandang sapi dengan dosis 3 ton/ha lebih tinggi 18.97%

dibandingkan perlakuan tanpa residu pupuk kandang sapi, sedangkan jumlah

tanaman residu pupuk guano dengan dosis 216 kg/ha lebih tinggi 27.59%

dibandingkan pada perlakuan tanpa residu pupuk guano dan pada perlakuan dosis

324 kg/ha residu pupuk guano (Tabel 10).

Perlakuan residu dosis pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak

(37)

berumur 10 MST. Jumlah cabang dan buku produktif tertinggi pada perlakuan

residu pupuk kandang sapi 0 ton/ha dan residu pupuk guano 216 kg/ha secara

tunggal. Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi cenderung menurunkan

jumlah cabang dan buku produktif pada 10 MST (Tabel 10).

Tabel 9. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit pada 5 MST

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang

Sapi (ton/ha) 0 108 216 324

Rata-rata

…..………….………%…..………….………

0 40.3bc 48.0abc 55.0a 40.7abc 46.00 1.5 44.3abc 39.7bc 49.7ab 47.0abc 45.17 3 51.0ab 46.7abc 35.0c 46.0abc 44.67 Rata-rata 45.22 44.78 46.56 44.56

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

Tabel 10. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah Buku, serta Cabang Produktif pada 10 MST

(38)

Bobot Basah, Bobot Kering, dan Jumlah Polong Isi dan Polong Hampa Per

Tanaman pada Saat Panen

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak

berpengaruh nyata terhadap bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi dan

polong hampa per tanaman pada saat panen. Secara umum, peningkatan dosis

residu pupuk kandang sapi menurunkan bobot basah, bobot kering, dan jumlah

polong isi dan hampa. Perlakuan residu pupuk guano dengan dosis 108 kg/ha

menghasilkan bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan dosis residu pupuk guano lainnya, namun pada

budidaya konvensional, bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi dan

polong hampanya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk

kandang sapi dan residu pupuk guano (Tabel 11).

Jumlah Polong, Bobot Basah Polong Isi dan Polong Hampa per Petak Panen, serta

Bobot Basah dan Bobot Kering 100 Butir Biji

Perlakuan residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap bobot

basah polong hampa/petak panen (4.5 m2) dan bobot basah 100 butir biji,

sedangkan residu pupuk guano berpengaruh nyata tehadap bobot kering 100 butir

biji. Jumlah polong/petak panen pada budidaya konvensional lebih rendah

dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk kandang sapi dengan dosis 0 ton/ha

dan residu pupuk guano 108 kg/ha secara tunggal (Tabel 12).

Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh

nyata pada taraf 10% terhadap bobot basah 100 butir biji dan nyata terhadap bobot

kering 100 butir biji. Kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu

pupuk guano 0 kg/ha menghasilkan bobot basah 100 butir biji tertinggi

dibandingkan kombinasi lainnya, sedangkan kombinasi residu pupuk kandang

sapi 3 ton/ha dan residu pupuk guano 108 kg/ha menghasilkan bobot kering 100

(39)

Tabel 11. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

0 37.88 10.31 22.14 8.34 2.30 0.88 1.5 35.97 10.03 21.47 8.33 2.22 0.81 3 33.35 7.90 19.93 7.40 1.76 0.59 Residu Pupuk Guano

(kg/ha)

0 33.15 7.81 19.20 7.11 1.69 0.59 108 41.67 10.76 25.37 9.79 2.43 0.89 216 31.58 7.83 18.60 7.74 1.70 0.58 324 36.52 11.25 21.55 7.45 2.55 0.98 Konvensional 59.45 12.10 41.63 17.07 2.65 1.18

Keterangan : JPI : Jumlah Polong Isi; JPH : Jumlah Polong Hampa

Tabel 12. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Komponen Panen per Petak Panen (4.5 m2)

Perlakuan BPI/Petak

Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%

(40)

Tabel 13. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah 100 Butir Biji Kedelai

Residu Pupuk Guano (kg/ha)

0 13.70c 15.22abc 15.17abc 14.89abc 14.74 1.5 16.43a 15.37ab 15.33ab 15.29ab 15.61 3 14.52bc 15.88ab 15.90ab 15.22abc 15.38 Rata-rata 14.89 15.49 15.47 15.13

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

Tabel 14. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Kering 100 Butir Biji Kedelai

Residu Pupuk Guano (kg/ha)

0 5.17c 5.99ab 5.97ab 5.94ab 5.77 1.5 6.35a 6.02ab 5.91ab 6.07ab 6.09 3 5.53bc 6.42a 6.38a 6.03ab 6.09 Rata-rata 5.68 6.14 6.09 6.01

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

Hubungan Korelasi Antar Peubah

Korelasi positif antar peubah berarti semakin tinggi nilai suatu peubah

(mendekati 1) akan meningkatkan peubah yang lain. Peubah vegetatif yang

berkorelasi positif antara lain tinggi dengan jumlah polong; cabang produktif

dengan jumlah buku produktif, jumlah polong isi, bobot basah polong isi, bobot

kering polong isi, dan jumlah polong/petak panen (4.5 m2). Peubah generatif

berkorelasi positif dan nyata adalah jumlah polong isi/tanaman dengan jumlah

cabang dan buku produktif, serta bobot basah polong isi; bobot polong

isi/tanaman dengan tinggi tanaman, jumlah cabang dan buku produktif, bobot

basah tajuk, serta bobot basah bintil akar; dan jumlah polong/petak panen (4.5 m2)

dengan tinggi tanaman, jumlah cabang dan buku produktif, jumlah polong isi, dan

(41)

Tabel 15. Hubungan Korelasi Antar Peubah

BB Tajuk 0.49** 0.47** 0.58** 1.00**

BB Akar 0.28cn 0.30cn 0.33* 0.85** 1.00**

BB Bintil Akar 0.56** 0.45** 0.48** 0.77** 0.54** 1.00**

BK Tajuk 0.43** 0.44** 0.51** 0.98** 0.90** 0.73** 1.00**

BK Akar 0.23tn 0.28cn 0.26tn 0.80** 0.98** 0.48** 0.87** 1.00**

BK Bintil Akar 0.36* 0.36* 0.25tn 0.73** 0.75** 0.74** 0.78** 0.76** 1.00**

(42)

Jumlah

BB Polong Isi/Tanaman 0.98** 0.59** 1.00**

BB Polong Hampa/Tanaman 0.56** 0.97** 0.55** 1.00**

BK Polong Isi/Tanaman 0.91** 0.49** 0.92** 0.46** 1.00**

BK Polong Hampa/Tanaman 0.52** 0.95** 0.50** 0.97** 0.41** 1.00**

BB 100 Biji 0.03tn -0.06tn 0.03 tn -0.12tn -0.06tn -0.04tn 1.00**

BK 100 Biji 0.03tn -0.08tn 0.03 tn -0.15tn -0.12tn -0.08tn 0.92** 1.00**

BB Polong Isi/Petak Panen 0.59** 0.26tn 0.55** 0.17tn 0.64** 0.14tn 0.00tn -0.04tn 1.00** BB Polong Hampa /Petak

Panen 0.01tn -0.03tn 0.02tn -0.06tn -0.03tn -0.05tn 0.13tn 0.23tn 0.13tn 1.00**

(43)

Pembahasan Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan residu pupuk kandang

sapi tidak berpengaruh nyata terhadap hampir semua peubah yang diamati baik

peubah vegetatif maupun peubah generatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

terjadinya penurunan kandungan hara di dalam tanah sehingga penambahan

pupuk kandang sapi 2.5 ton/ha tidak cukup menambah ketersediaan hara.

Kemungkinan yang lain adalah pengapuran tanah yang kurang efektif.

Hasil analisis tanah setelah panen pada percobaan Rahadi (2008)

menunjukkan bahwa pH dan unsur P mengalami penurunan, sedangkan unsur C,

N, dan K sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil analisis tanah

sebelum percobaan Rahadi (2008) dimulai (Lampiran 5). Oleh karena itu,

percobaan residu pupuk organik ini ternyata menggunakan lahan yang telah

berkurang kesuburannya.

Kemasaman tanah yang rendah ini diatasi dengan menambahkan kapur,

namun pengapuran ini diduga kurang efektif karena tingginya curah hujan setelah

aplikasi kapur diduga menyebabkan terjadinya pencucian kapur dan terbawa oleh

erosi. Turunnya kandungan hara ini diduga disebabkan oleh tercucinya unsur hara

oleh air hujan, erosi, atau terbawa oleh gulma yang tumbuh saat bera yang tidak

dibenamkan pada saat pengolahan tanah.

Perlakuan residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap bobot

kering bintil akar kedelai pada 7 MST, bobot basah polong hampa/petak panen

(4.5 m2), dan bobot basah 100 butir biji. Peningkatan dosis residu pupuk kandang

sapi menurunkan bobot basah dan bobot kering bintil akar serta meningkatkan

bobot basah 100 butir biji.

Bintil akar merupakan bentuk asosiasi antara akar tanaman kedelai dengan

bakteri Rhizobium. Rhizobium akan memfiksasi N dari udara untuk memenuhi

kebutuhan N bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Gardner et al. (1991), ketahanan hidup Rhizobium di alam sangat tergantung pada kondisi tanah,

terutama pH, kelembaban, bahan organik, dan lamanya jarak antara tanaman

budidaya yang menjadi inangnya. Bintil akar akan banyak terbentuk dan aktif

(44)

Hal ini terlihat pada bobot basah dan bobot kering bintil akar yang menurun

dengan peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi (Tabel 6).

Jumlah polong/petak panen (4.5 m2) pada budidaya konvensional lebih

rendah dibandingkan dengan jumlah polong/petak panen (4.5 m2) pada perlakuan

residu pupuk kandang sapi maupun residu pupuk guano. Namun, sebaliknya

dengan bobot polong/petak panen (4.5 m2) dimana pada budidaya konvensional

paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk organik. Hal ini

terlihat bahwa pada budidaya konvensional tersedia cukup untuk pertumbuhan

dan perkembangan tanaman kedelai baik vegetatif maupun generatif, khususnya

untuk pembentukan dan pengisian polong (Tabel 12). Hal ini juga disebabkan

oleh adanya perbedaan jumlah tanaman yang dipanen pada setiap petakan.

Berdasarkan hasil analisis daun, dapat diketahui bahwa tanaman

mengalami defisiensi K dan keracunan unsur mikro seperti Fe dan B. Besarnya

kandungan K, Fe, dan B pada jaringan daun kedelai masing-masing adalah 0.4 %,

362.50 ppm, dan 487.36 ppm (Lampiran 10). Pada sebagian besar tanaman

kedelai timbul gejala perubahan warna daun menjadi kuning (klorosis) pada tepi

daun dan muncul bercak-bercak coklat hingga akhirnya daun menjadi kering

(nekrosis) dan selanjutnya akan gugur.

Kelarutan Fe dalam tanah meningkat pada pH yang rendah sehingga

menyebabkan terjadinya keracunan pada tanaman dan terjadi pengendapan ion P.

Pengendapan P menyebabkan efisiensi pemupukan P menjadi rendah karena

bentuk Fe-fosfat menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman (Hanafiah,

2007). Kelarutan Fe pada tanah masam lebih tinggi daripada pada tanah dengan

pH tinggi. Gejala keracunan Fe adalah timbulnya bercak-bercak coklat pada daun,

dalam keadaan yang parah daun akan berwarna kecoklatan (Ismunadji et al., 1985).

Gejala keracunan B timbul pada konsentrasi 0.5 ppm B dalam larutan hara

(Evans et al. dalam Ismunadji et al., 1985). Tanaman yang keracunan B, daun pucuknya menunjukkan gejala klorosis yang diikuti oleh nekrosis yang dimulai

dari ujung dan pinggir daun, kemudian menjalar ke dalam ke arah tulang daun

utama. Daun muda kemudian kering dan gugur sebelum waktunya (Bergman

(45)

Berdasarkan hasil analisis daun kedelai diketahui bahwa kandungan Mn

dalam daun kedelai mencapai 320 ppm. Pada umumnya, kandungan Mn dalam

daun berkisar 21-100 ppm. Dalam Hanafiah (2007), kandungan Mn dalam daun

dapat mencapai >200 ppm, seperti pada daun kedelai 600 ppm, kapas 700 ppm,

dan ubi jalar 1380 ppm, tanpa menunjukkan gejala keracunan. Menurut Tanakaet al. dalam Ismunadji et al., (1985), ketersediaan Mn dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pH tanah, kadar bahan organik, aktivitas mikroba, dan

kadar air tanah. Ketersediaan Mn meningkat pada tanah masam dan Mn2+ terlarut

turun 100 kali lipat dengan peningkatan satu unit pH.

Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi akan meningkatkan

kandungan hara di dalam tanah terutama unsur P (Lampiran 5). Adanya

peningkatan kandungan P di dalam tanah akan meningkatkan bobot basah dan

bobot kering 100 butir biji kedelai (Tabel 12). Hal ini terlihat bahwa biji kedelai

semakin besar dengan adanya peningkatan kandungan P di dalam tanah. Unsur P

berperan dalam pembungaan dan pembentukan biji (Fothdalam Hanafiah, 2007).

Pengaruh Residu Pupuk Guano

Perlakuan residu pupuk guano tidak menunjukkan pengaruh yang nyata

pada hampir semua peubah yang diamati. Percobaan yang dilakukan oleh Barus

(2005) dan Rahadi (2008) juga menunjukkan hal yang sama. Pada percobaan

Barus (2005), tidak nyatanya pengaruh pupuk fosfat disebabkan oleh lambatnya

ketersediaan fosfat bagi tanaman, sedangkan pada percobaan Rahadi (2008),

disebabkan oleh kandungan P dalam tanah yang sudah mencukupi kebutuhan

tanaman atau pengapuran yang kurang efektif sehingga P dapat difiksasi oleh Al,

Fe, dan Mn.

Berdasarkan analisis tanah diketahui bahwa kandungan P sebelum tanam

lebih rendah dibandingkan dengan percobaan Rahadi (2008), namun masih berada

pada kisaran sedang hingga sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan tanaman.

Hal ini terlihat dari jumlah kandungan unsur P di dalam daun tanaman kedelai

yang berada pada status kecukupan hara sehingga residu pupuk guano tidak

(46)

Menurut Wijanarko et al. (2007), residu pemupukan P memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat biji kedelai yang ditanam pada kelas

ketersediaan hara P sangat rendah. Pada kelas ketersediaan hara P lebih tinggi,

residu pupuk P tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil biji kedelai.

Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Residu Pupuk Guano Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh

nyata terhadap jumlah daun pada 3 MST, intensitas serangan hama dan penyakit

pada 5 MST, dan bobot kering 100 butir biji serta berpengaruh nyata pada taraf

10% terhadap bobot kering bintil akar dan bobot basah 100 butir biji.

Kombinasi perlakuan residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan residu

pupuk guano 216 kg/ha menghasilkan intensitas serangan hama dan keparahan

penyakit terendah dibandingkan dengan kombinasi dosis residu pupuk kandang

sapi dan pupuk guano lainnya (Tabel 9). Peningkatan dosis residu pupuk kandang

sapi menurunkan intensitas serangan hama dan penyakit dengan diimbangi

peningkatan dosis residu pupuk guano.

Perlakuan tanpa residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano

menghasilkan bobot bintil akar tertinggi dibandingkan dengan perlakuan

kombinasi residu pupuk lainnya. Hal ini diduga karena bintil akar banyak

terbentuk pada tanah yang kandungan haranya rendah karena bakteri Rhizobium

aktif memfiksasi N untuk memenuhi kebutuhan hara bagi pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Gardner et al. (1991), ketahanan hidup Rhizobium di dalam tanah sangat tergantung pada kondisi tanah terutama pH tanah,

kelembaban, dan bahan organik.

Bobot basah dan bobot kering 100 butir biji tertinggi dihasilkan oleh

kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu pupuk guano 0 kg/ha

yaitu 16.43 dan 6.35 g, namun, lebih rendah 6.06 dan 17.83 % dibandingkan

dengan bobot basah dan bobot kering 100 butir biji pada budidaya konvensional

(Tabel 13 dan 14). Hal ini memperlihatkan bahwa biji pada perlakuan residu

pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano lebih kecil dibandingkan dengan biji

yang dihasilkan pada budidaya konvensional yang kemungkinan disebabkan oleh

(47)

dan biji dibandingkan dengan hara pada residu pupuk kandang sapi dan pupuk

guano. Namun, bobot kering 100 butir biji yang dihasilkan baik pada perlakuan

residu pupuk organik maupun budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan

dengan bobot kering 100 butir biji pada deskripsi kedelai varietas Wilis yaitu

sebesar ± 10 g (Lampiran 4). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi

polong saat dilakukan pemanenan, dimana pada percobaan ini polong dipanen

dalam kondisi belum mengisi secara sempurna (panen muda), sedangkan pada

deskripsi varietas, kedelai dipanen dalam kondisi sudah mengisi secara sempurna

(panen kering).

Apabila dibandingkan dengan penelitian Rahadi (2008), residu pupuk

kandang sapi dan pupuk guano memberikan pengaruh yang lebih baik pada

peubah vegetatif, namun lebih rendah pada peubah generatif seperti bobot

polong/petak panen dan bobot kering 100 butir biji. Tinggi tanaman dan bobot

basah bintil akar pada perlakuan residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano

mengalami penurunan, namun jumlah daun, jumlah buku, serta bobot basah tajuk

dan akar mengalami peningkatan.

Penurunan tinggi tanaman pada perlakuan residu 0, 2.5, dan 5 ton pupuk

kandang sapi/ha berturut-turut sebesar 9.08, 9.38, dan 20 %, sedangkan penurunan

tinggi tanaman pada perlakuan residu 0, 180, 360, dan 540 kg pupuk guano/ha

berturut-turut 18.56, 3.42. 17.72, dan 17.84 %. Penurunan ini diduga disebabkan

oleh adanya serangan hama kepik penghisap pucuk yang menyebabkan hilangnya

titik tumbuh. Hilangnya titik tumbuh ini diduga memicu pembentukan titik

tumbuh baru sehingga jumlah cabang dan daun pada perlakuan residu pupuk

organik lebih banyak dibandingkan pada pertanaman pertama. Menurut Janick

dalam Kusheryani (2005), pembuangan pucuk tempat memproduksi auksin dapat meningkatkan pemunculan tunas lateral beserta cabang-cabangnya.

Bobot basah bintil akar pada perlakuan residu pupuk organik mengalami

penurunan dibandingkan pada pertanaman pertama. Penurunan ini diduga

disebabkan oleh rendahnya pH tanah pada perlakuan residu pupuk organik yaitu

berkisar antara 4.8-4.9. Yutono (1985) menyatakan pada pH yang rendah yaitu

(48)

Mn berada pada tingkat meracuni. Keadaan ini akan menghambat pertumbuhan

tanaman dan fiksasi N2 oleh bintil akar.

Peubah generatif seperti bobot basah 100 butir biji mengalami penurunan

dibandingkan dengan yang dihasilkan pada pertanaman pertama oleh Rahadi

(2008). Penurunan bobot kering 100 butir biji yang terjadi pada residu pupuk

kandang sapi 0, 1.5, dan 3 ton/ha berturut-turut sebesar 25.98, 25.04, dan 21.74 %,

sedangkan pada residu pupuk guano 0, 108, 216, dan 314 kg/ha berturut-turut

sebesar 28.39, 22,18, 23,97, dan 23.83 %. Hal ini diduga disebabkan oleh hara

pada perlakuan residu pupuk kandang sapi ini tidak mampu memenuhi kebutuhan

tanaman untuk pembentukan dan perkembangan polong. Selain itu, juga diduga

Gambar

Tabel 1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit
Gambar 1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban Selama Percobaan
Gambar 2. Daun kedelai mengalami klorosis dan nekrosis pada tepi
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
+7

Referensi

Dokumen terkait

The effective interest rate is the rate that exactly discounts estimated future cash receipts or payments (including all fees and points paid or received that form

Keadaan Pajak Buah Berastagi cukup ramai diminati dan dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pajak ini terletak di lokasi

KATA PENGANTAR ……….. Latar Belakang Masalah ……….. Tujuan Penelitian ………. Sistematika Skripsi ……….. Landasan Teori ………. Tujuan Pengukuran Kinerja ………..

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD dan

1 2005 Mendorong Tingkat Kepatuhan Pajak Melalui Penegakan Hukum Terhadap Aparat Pajak (Jurnal Civics) 2 2006 Kebijakan Pengaturan Divestasi Penanaman Modal Asing Sektor Pertambangan.

KESATU  Membentuk Pejabat Pelaksana Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Bantul Tahun Anggaran 2015 dengan susunan dan personalia sebagaimana tersebut dalam

Subyek pajak yang mempunyai penghasilan dari negara tertentu yang menganut asas ini dimanapun ia berada. Penghasilan yang diperoleh dari negara tertentu yang menganut

KESATU : Membentuk Tim Pelaksana Kegiatan Fasilitasi Pemanfaatan Tanah Sultan Ground (SG) di Kabupaten Bantul Tahun Anggaran 2015, dengan susunan dan