PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO
TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (
Glycine max
(L.) Merr)
PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK
OLEH
ENY WIDIYANTI
A24051396
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO
TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (
Glycine max
(L.) Merr)
PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
OLEH
ENY WIDIYANTI
A24051396
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
ENY WIDIYANTI. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Produksi Kedelai (Glycine max (L) Merr.) Panen Muda dengan Budidaya Organik. (Dibimbing oleh MAYA MELATI)
Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh residu dari pupuk
organik dan residu pupuk guano terhadap produksi kedelai panen muda dengan
budidaya organik yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo pada bulan
November 2008-Februari 2009.
Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua
faktor. Faktor pertama adalah residu pupuk kandang sapi dengan 3 taraf yaitu 0,
2.5, dan 5 ton/ha. Faktor kedua adalah residu pupuk guano dengan 4 taraf yaitu 0,
180, 360, dan 540 kg/ha yang setara dengan 0, 100, 200, dan 300 kg SP 36/ha.
Benih kedelai yang digunakan adalah kedelai dengan varietas Wilis.
Pupuk organik yang ditambahkan adalah pupuk kandang sapi sebanyak 2.5 ton/ha
dan pupuk guano sebanyak 180 kg/ha yang setara dengan 100 kg SP-36/ha.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Rahadi (2008)
sehingga penambahan pupuk hanya dilakukan untuk mengantisipasi rendahnya
hara di dalam tanah dan diberikan pada semua petak percobaan. Tanaman
penghambat organisme pengganggu tanaman digunakan tanaman tagetes (Tagetes erecta) dan serai wangi (Cymbopogon nardus). Pembanding dari budidaya organik digunakan budidaya konvensional dengan pemberian 100 kg urea/ha, 200
kg KCl/ha, dan 400 kg SP-18/ha. Furadan 3G dengan bahan aktif karbofuran 10
kg/ha sebagai insektisida.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa residu pupuk kandang sapi dan
pupuk guano tidak mencukupi untuk kebutuhan hara bagi pertumbuhan vegetatif
dan generatif tanaman kedelai. Kombinasi residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan
pupuk guano 216 kg/ha menyebabkan intensitas serangan hama dan penyakit
lebih rendah 25.4% dibandingkan dengan tanpa residu pupuk kandang sapi dan
pupuk guano. Bobot basah 100 butir biji tertinggi dihasilkan oleh kombinasi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendal, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 3
November 1986. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Karsiman
dan Ibu Rondhiyah.
Riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 1 Nolokerto tahun 1993-1999,
SLTP Negeri 1 Brangsong tahun 1999-2002, dan SMU Negeri 1 Kendal tahun
2002-2005. Penulis masuk IPB pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi
Mahasiswa IPB (USMI) dan pada tahun 2006, penulis masuk pada Departemen
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi
kekuatan dan hidayah sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini serta
dalam kehidupan kampus penulis. Ucapan terima kasih penulis ditujukan kepada:
1. Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan
penulisan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Sandra Arifin Azis, MS. dan Dr. Ir. Sugiyanta, MSi. selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Ir. Heni Purnamawati, MSc. Agr. selaku dosen pembimbing akademik
atas seluruh bimbingan dan kesabaran yang telah diberikan selama masa
kuliah penulis.
4. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Ifa, Bulek Kitri, Om Usman, Dwi, dan
Rizky yang telah memberikan dorongan dan doa yang tulus baik moril
maupun materiil.
5. Staf kebun percobaan Leuwikopo, Laboratorium Umum, dan
Laboratorium Ekofisiologi Tanaman yang telah memberikan bantuan
selama pelaksanaan penelitian.
6. Isti, Mila, Hida, Siti K, Ajeng, Verdha, Diah, Meri, Dwi, Winda, Tiara,
Era, Aan, Indra, Rifka, Haryo, Candra, Warno, dan teman-teman AGH 42
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan
dorongan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian serta kebersamaan
yang indah.
7. Reikha, Vika, Fidry, Gamma, Jane, Hanum, Meri, Ari, Siska, Lina, Nira,
Mbak Rena, dan semua penghuni Wisma Bintang atas bantuan,
persahabatan, dan kebersamaan yang indah selama 2 tahun ini.
8. Aqsa, Anna, Ratih, Ika, Rino, Nunik, Aji, dan rekan-rekan Fokma
kebersamaan selama berada di perantauan. Kalian adalah teman sekaligus
keluarga kedua bagiku.
9. Serta pihak-pihak dan rekan mahasiswa lain yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu, atas segala bantuannya.
Semoga penelitian ini berguna bagi yang memerlukan.
Bogor, Juni 2009
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan... 2
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Morfologi dan Botani Tanaman Kedelai ... 4
Pertanian Organik... 6
Kedelai Organik ... 7
Pupuk Kandang Sapi ... 9
Pupuk Guano... 10
Residu Pupuk Organik... 10
BAHAN DAN METODE ... 12
Tempat dan Waktu Percobaan ... 12
Bahan dan Alat... 12
Metode Percobaan ... 12
Pelaksanaan Percobaan... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
Hasil... 17
Pembahasan ... 33
KESIMPULAN ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit... 15
2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam ... 19
3. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano
terhadap Tinggi Tanaman... 22
4. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano
terhadap Jumlah Daun Tanaman... 23
5. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada
3 MST... 24
6. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, dan
Bintil Akar pada 7 MST ... 25
7. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk
Guano terhadap Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST... 25
8. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Residu Pupuk
Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit ... 26
9. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
pada 5 MST... 27
10. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah
Buku, serta Cabang Produktif pada 10 MST ... 27
11. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano
terhadap Komponen Panen per Tanaman... 29
12. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano
terhadap Komponen Panen per Petak Panen (4.5 m2)... 29
13. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk
Guano terhadap Bobot Basah 100 Butir Biji Kedelai ... 30
14. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk
Guano terhadap Bobot Kering 100 Butir Biji Kedelai... 30
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban selama Percobaan ... 17
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Denah Percobaan... 44
2. Denah Penanaman Tagetes dan Serai Wangi ... 45
3. Deskripsi Kedelai Varietas Willis ... 46
4. Data Klimatologi Daerah Leuwikopo selama Persiapan Lahan dan Penamanan Kedelai... 46
5. Hasil Analisis Contoh Tanah Sebelum Penanaman dan Setelah Pemanenan pada Percobaan Rahadi (2008) pada Lahan Percobaan Leuwikopo ... 47
6. Hasil Analisis Tekstur Tanah Sebelum Penanaman dan Setelah Pemanenan pada Percobaan Rahadi (2008) pada Lahan Percobaan Leuwikopo ... 47
7. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah... 48
8. Interpretasi Nilai Unsur Hara Mikro ... 48
9. Hasil Analisis Pupuk Kandang Sapi... 48
10. Hasil Analisis Daun Kedelai pada 10 MST ... 49
11. Kecukupan Hara pada Daun Kedelai ... 49
12. Kondisi Tanaman Kedelai ... 50
13. Tanaman Penghambat OPT ... 50
14. Hama pada Tanaman Kedelai ... 51
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan salah satu tanaman polong-polongan yang banyak dibudidayakan. Kedelai digunakan sebagai bahan makanan
dan bahan baku industri seperti untuk memproduksi minyak. Di Indonesia, kedelai
merupakan salah satu sumber protein nabati utama. Menurut Winarno (1985),
kedelai mengandung 40% protein dan 20% minyak dari berat kering biji.
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan
dan kelestarian lingkungan, telah menyebabkan berkembangnya sistem pertanian
organik. Penggunaan bahan-bahan kimia digantikan dengan bahan organik yang
aman bagi manusia dan lingkungan. Menurut Departemen Pertanian (2002),
pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang mengandalkan
bahan-bahan alami (organik) dan tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan.
Kebutuhan hara tanaman pada budidaya kedelai secara organik dipenuhi
oleh pupuk organik. Bahan organik yang dapat memenuhi kebutuhan hara
tanaman antara lain pupuk kandang sapi dan pupuk guano. Pengendalian hama
dan penyakit menggunakan tanaman penghambat Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bahan
organik yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman
antara lain pupuk kandang ayam, pupuk hijau, kompos, fosfat alam, dan
kombinasi beberapa pupuk organik (Barus, 2005; Asiah, 2006; Rianawati, 2007).
Pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air
dan lendir (Sutedjo, 1994). Menurut Hasper dalam Sugito (1995), dalam 1 ton pupuk kandang sapi terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0 kg K2O; dan 0.8 kg Mg.
Kotoran sapi banyak digunakan dalam kegiatan budidaya tanaman karena
ketersediaan kotoran sapi lebih banyak dibandingkan dengan kotoran hewan
lainnya.
Pupuk guano merupakan pupuk yang berasal dari kotoran kelelawar dan
burung liar yang menempel pada dinding gua. Guano banyak mengandung
K. Unsur P dalam pupuk guano berada dalam bentuk yang mudah tersedia bagi
tanaman, sehingga diharapkan tersedianya unsur P dalam tanah dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman (Sediyarso, 1999). Penelitian yang
dilakukan oleh Barus (2005) menunjukkan pemberian fosfat alam yang dilakukan
6 minggu sebelum tanam dan pemberian kapur tidak berpengaruh nyata terhadap
peubah yang diamati. Hal ini disebabkan oleh unsur P dalam fosfat alam lambat
tersedia bagi tanaman.
Agar dapat digunakan oleh tanaman, bahan-bahan organik harus
didekomposisi oleh mikroorganisme tanah terlebih dahulu. Persediaan hara dalam
bahan organik akan berangsur-angsur terbebaskan dan tersedia bagi tanaman
sehingga tanah yang diberi bahan organik masih memberikan hasil panen yang
baik selama beberapa waktu (Sugito, 1995). Menurut Kononova dalam Mulyadi (2006), bahan organik dapat berdampak beberapa tahun terhadap sifat fisik dan
kimia tanah, tergantung pada kemudahan terdekomposisinya dan senyawa
penyusun bahan organik tersebut.
Penelitian Rahadi (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang
sapi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai. Namun,
pada perlakuan pupuk guano sebagai sumber P tidak berpengaruh nyata terhadap
komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Hal ini juga terjadi pada interaksi
antara pupuk kandang sapi dan pupuk guano, dimana pertumbuhan tanaman
kedelai hanya dipengaruhi oleh pupuk kandang sapi. Hal ini diduga karena unsur
P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau pengapuran yang
dilakukan belum efektif sehingga unsur P dapat difiksasi oleh Fe, Al, dan Mn.
Diduga masih tersisanya kandungan pupuk organik di dalam tanah sehingga dapat
dimanfaatkan oleh pertanaman berikutnya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh residu dari pupuk
kandang dan pupuk guano terhadap produksi kedelai panen muda dengan
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
1. Terdapat dosis residu pupuk kandang sapi yang berpengaruh terhadap
produksi kedelai panen muda dengan budidaya organik.
2. Terdapat dosis residu pupuk guano yang berpengaruh terhadap produksi
kedelai panen muda dengan budidaya organik.
3. Terdapat interaksi antara residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano
yang berpengaruh terhadap produksi kedelai panen muda dengan budidaya
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi dan Botani Tanaman Kedelai
Kedelai merupakan tanaman semusim berupa semak rendah, tumbuh
tegak, berdaun lebat dengan beragam bentuk morfologi. Perakaran kedelai terdiri
dari akar tunggang dan akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang.
Kadang-kadang tumbuh akar cabang atau akar adventif dari bagian bawah hipokotil
(Hidayat, 1985) yang terjadi karena adanya cekaman seperti cekaman kekeringan
dan salinitas tinggi (Adisarwanto, 2007). Akar tunggang tumbuh di sekitar lapisan
olah tanah hingga kedalaman 2 m. Namun, pada umumnya akar tunggang hanya
mencapai lapisan olah tanah. Perkembangan akar dipengaruhi oleh cara
pengolahan tanah, pemupukan, tekstur tanah, sifat fisik dan kimia tanah, serta
ketersediaan air tanah dan hara bagi tanaman (Hidayat, 1985).
Akar kedelai mempunyai bintil akar yang merupakan simbiosis antara
kedelai dengan bakteri Rhizobium japonicum. Adanya simbiosis ini menyebabkan tanaman kedelai dapat mengikat nitrogen (N2) dari udara untuk memenuhi
sebagian hara nitrogen yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Hidayat, 1985). Adisarwanto (2007) menyatakan bintil akar dapat
mengikat nitrogen dari udara saat berumur 10-12 hari setelah tanam, tergantung
kondisi tanah dan suhu. Kelembaban tanah yang cukup dan suhu tanah sekitar
25oC sangat mendukung pertumbuhan bintil akar.
Batang berasal dari poros embryo. Selama perkecambahan, hipokotil
merupakan bagian batang kedelai, mulai dari pangkal akar hingga kotiledon.
Hipokotil dan dua kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menembus
permukaan tanah (Adisarwanto, 2007). Pertumbuhan batang kedelai dibedakan
menjadi dua tipe yaitu tipe determinate dan tipe indeterminate. Determinate yaitu
kedelai yang pertumbuhan vegetatifnya berakhir pada saat berbunga, sedangkan
indeterminate yaitu kedelai yang pertumbuhan vegetatifnya tetap berlangsung
walaupun tanaman telah berbunga.
Buku pada batang kedelai merupakan tempat tumbuhnya bunga. Buku
pada batang dipengaruhi oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang
penyinaran. Pada kondisi normal, jumlah buku berkisar 15-30 buku. Jumlah buku
batang indeterminate lebih banyak daripada batang determinate (Adisarwanto,
2007). Tanaman kedelai biasanya akan mempunyai cabang yang muncul di
batang. Percabangan pada kedelai dipengaruhi oleh panjang hari, jarak tanam dan
kesuburan tanah (Hidayat, 1985).
Daun kedelai berbentuk bulat (ovale) dan lancip (lanceolate). Bentuk daun ini dipengaruhi oleh faktor genetik. Kedelai mempunyai dua tipe daun yaitu daun
primer (tunggal) yang terbentuk saat kecambah dan daun bertangkai tiga
(trifoliate) yang tumbuh setelah masa perkecambahan. Umumnya, daun kedelai mempunyai bulu (trikhoma). Namun, ada pula varietas yang tidak mempunyai
bulu. Tebal-tipisnya bulu berkaitan dengan tingkat toleransi varietas kedelai
terhadap serangan jenis hama tertentu, misalnya hama penggerek polong sangat
jarang menyerang varietas kedelai yang berbulu lebat (Adisarwanto, 2007).
Tanaman kedelai termasuk tanaman hari pendek, yaitu tidak akan
berbunga apabila panjang hari melampaui batas kritis (PurseglovedalamHidayat, 1985). Di Indonesia, panjang hari rata-rata pada tanaman kedelai adalah 12 jam
dan suhu udara yang tinggi (> 300C). Sebagian besar mulai berbunga pada umur
5-7 MST. Tanaman kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap perbedaan
panjang hari terutama saat pembentukan bunga (Adisarwanto, 2007).
Bunga berbentuk kupu-kupu (papilionoidae) yang berukuran 3-7 mm dan
berwarna ungu atau putih. Bunga terbentuk pada ketiak tangkai daun. Jumlah
bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam antara 2-25 bunga,
tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas. Bunga kedelai merupakan
bunga sempurna. Penyerbukan terjadi saat bunga masih menutup (kleistogami),
sehingga kemungkinan menyerbuk silang sangat kecil (Hidayat, 1985).
Polong terbentuk pada 7-10 hari setelah bunga pertama muncul. Polong
muda berwarna hijau dan akan berubah menjadi kuning kecoklatan saat masak.
Tiap polong berisi 1-5 biji, tergantung varietas. Warna bijinya juga bervariasi
seperti kuning, hitam, atau cokelat (Purwono et al., 2007). Warna biji ini disebabkan oleh adanya karoten dan santofil, adanya trikhoma dan ada tidaknya
Di daerah tropis, kedelai tumbuh baik hingga ketinggian 500 m dpl.
Pertumbuhan kedelai sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah.
Perkecambahan optimum bila terjadi pada suhu 300C. Sedangkan pertumbuhan
terbaik terjadi pada suhu 29.40C dan akan menurun bila suhu lebih rendah
(Hidayat, 1985). Kedelai tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan 100-400
mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil yang optimum, kedelai membutuhkan curah
hujan 100-200 mm/bulan.
Toleransi kemasaman tanah bagi kedelai adalah 5.8-7.0. Namun, kedelai
masih tumbuh baik pada pH 4.5. Pertumbuhan tanaman kedelai akan terhambat
pada tanah dengan pH kurang dari 5.5 karena adanya keracunan aluminium, serta
pertumbuhan bakteri dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik. Jenis tanah yang
baik untuk kedelai antara lain aluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol.
Pada tanah podsolik merah kuning dan tanah yang mengandung pasir kwarsa,
pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali jika tanah diberi pupuk organik atau
kompos dalam jumlah yang cukup (Purwonoet al., 2007).
Pertanian Organik
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan terutama bahan
pangan dan kelestarian lingkungan menyebabkan adanya perubahan dalam sistem
pertanian dari sistem pertanian konvensional yang menggunakan bahan-bahan
kimia buatan menjadi sistem pertanian organik tanpa adanya input bahan kimia
buatan. Menurut Departemen Pertanian (2002), pertanian organik merupakan
teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami (organik) tanpa
menggunakan bahan-bahan kimia buatan.
Menurut Sugito (1995), sistem pertanian organik merupakan suatu sistem
pertanian dimana bahan organik merupakan faktor penting dalam proses produksi.
Penggunaan bahan organik sebagai pupuk serta pengendalian hama, penyakit, dan
gulma secara biologi merupakan penerapan sistem pertanian organik. Dalam arti
luas, sistem pertanian organik mencakup bidang peternakan dan perikanan yang
terintegrasi dengan bidang pertanian.
Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik
mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk
residu dan limbah pertanaman maupun ternak. Strategi pertanian organik adalah
memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang
menjadi biomassa tanah yang selanjutnya menjadi hara dalam larutan tanah
setelah mengalami proses mineralisasi (Sutanto, 2002)
Tujuan dari penggunaan sistem pertanian ini adalah untuk menyediakan
produk-produk pertanian terutama bahan pangan yang aman bagi produsen dan
konsumen serta tidak merusak lingkungan (Departemen Pertanian, 2002).
Beberapa hambatan pertanian organik antara lain pengendalian hama secara
biologis umumnya dipandang kurang efektif oleh petani, hasil produksi masih
rendah dibandingkan pertanian konvensional, produk pertanian organik masih
dipandang mahal, dan kurangnya informasi tentang pertanian organik.
Kedelai Organik
Kedelai organik merupakan kedelai yang dibudidayakan dengan
menggunakan pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan haranya. Beberapa jenis
pupuk organik yang telah digunakan dalam percobaan antara lain pupuk kandang,
pupuk hijau, fosfat alam dan pupuk guano sebagai sumber P, serta beberapa
kombinasi pupuk organik (Sinaga, 2005; Barus, 2005; Asiah, 2006; Rianawati,
2007; Rahadi, 2008).
Pemberian pupuk kandang ayam dengan dosis 20 ton/ha memberikan
pengaruh yang nyata terhadap peubah vegetatif dan generatif, namun tidak
berbeda nyata dengan Centrocema pubescens dosis 25 kg/ha (Sinaga, 2005). Secara umum, pupuk kandang ayam yang diberikan secara tunggal pada
penelitian Asiah (2006) memberikan hasil yang tertinggi baik pada karakter
vegetatif maupun karakter generatif. Namun, pada perlakuan residunya
(Rianawati, 2007), residu pupuk kandang ayam tidak memberikan hasil yang lebih
baik dibanding perlakuan residu kombinasi abu sekam, pupuk kandang ayam, dan
pupuk hijau. Hal ini diduga disebabkan oleh pupuk kandang ayam lebih cepat
terdekomposisi sehingga lebih mudah tersedia bagi pertanaman kedelai pertama.
Penelitian Rahadi (2008) memperlihatkan bahwa pemberian pupuk
Pertumbuhan kedelai yang terbaik secara umum ditunjukkan pada dosis pupuk
kandang sapi 3 ton/ha. Namun, perlakuan pupuk guano sebagai sumber P tidak
berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Hal ini
diduga karena unsur P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau
pengapuran yang dilakukan belum efektif sehingga unsur dapat difiksasi oleh Fe,
Al, dan Mn. Kombinasi pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan pupuk guano 216
kg/ha menghasilkan produksi kedelai tertinggi sebesar 5.9 kg/10 m2.
Pupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari tanaman. Pengaruh
kumulatif dari penggunaan pupuk hijau yang berkesinambungan tidak hanya pada
pasokan N tetapi juga peningkatan kandungan bahan organik dan unsur lainnya,
menggantikan fosfat dan unsur mikro yang termobilisasi (Sutanto, 2002).
Penelitian Barus (2005) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hijau yang
berasal dari tanaman Calopogonium mucunoides tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah vegetatif dan generatif yang diamati. Hal ini
disebabkan oleh pupuk hijau yang diberikan belum terdekomposisi dengan
sempurna.
Fosfat alam sebagai sumber P yang diberikan pada penelitian Barus (2005)
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah-peubah yang diamati,
walaupun telah diaplikasikan 6 minggu sebelum tanam dan diberi kapur. Hal ini
disebabkan oleh unsur P dalam fosfat alam lambat tersedia bagi tanaman. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahadi (2008) bahwa pemberian
pupuk guano tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan
komponen produksi. Berbeda dengan penelitian Barus (2005), tidak nyatanya
pengaruh pupuk guano disebabkan oleh unsur P dalam tanah sudah mencukupi
kebutuhan tanaman atau pengapuran yang dilakukan belum efektif sehingga unsur
dapat difiksasi oleh Fe, Al, dan Mn.
Pengendalian hama dan penyakit pada budidaya kedelai organik dapat
dilakukan dengan menggunakan tanaman penghambat Organisme Pengganggu
mampu menekan serangan hama dan penyakit lebih tinggi dibandingkan dengan
tanaman penghambat OPT selasih, serai, dan daun bawang.
Pupuk Kandang Sapi
Pupuk kandang merupakan salah satu jenis pupuk organik yang banyak
digunakan selain pupuk hijau dan kompos. Pupuk kandang merupakan pupuk
yang berasal dari kandang hewan baik kotoran padat maupun cair. Dari segi kadar
haranya, pupuk kandang cair jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk padat
(Lingga, 1998). Menurut Hardjowigeno (2003), secara umum dalam setiap ton
pupuk kandang terkandung 5 kg N, 3 kg P2O5, dan 5 kg K2O serta unsur hara
essensial lain dalam jumlah yang relatif kecil.
Menurut Sutedjo (1994), pupuk kandang dapat meningkatkan kadar
humus, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah.
Lingga (1998) menambahkan penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan
daya serap tanah terhadap air. Menurut Hardjowigeno (2003), pupuk organik
dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, meningkatkan ketersediaan unsur
mikro, dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Salah satu pupuk kandang yang banyak digunakan yaitu pupuk kandang
sapi. Menurut Sutedjo (1994), pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang
banyak mengandung air dan lendir. Pupuk ini termasuk jenis pupuk yang proses
penguraiannya berlangsung sangat lambat sehingga tidak terbentuk panas. Hal ini
terjadi karena pupuk kandang sapi cepat mengeras dan sulit ditembus oleh air dan
udara. Menurut Hasper dalam Sugito (1995), dalam 1 ton pupuk kandang sapi pada terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0 kg K2O; dan 0.8 kg Mg.
Penambahan pupuk kandang dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam
tanah dan serapan hara tanaman. Taufiq et al. (2006) menyatakan penambahan pupuk kandang sapi sebesar 2.5 ton/ha dapat meningkatkan P, Mg, dan Ca
tersedia dan menurunkan Al-dd, serta nyata meningkatkan hasil kedelai 8-11%.
Pupuk Guano
Pupuk guano merupakan salah satu jenis pupuk organik yang banyak
mengandung nitrogen dan fosfat. Pupuk ini berasal dari kotoran kelelawar dan
burung liar yang banyak terdapat pada dinding gua (Sediyarso, 1999). Pupuk ini
jarang digunakan karena sulit untuk didapatkan. Sutedjo (1994) menyatakan
kandungan hara dalam pupuk guano antara lain 8-13% N, 5-12% P, 1.5-2.5% K,
7.5-11% Ca, 0.5-1% Mg, dan 2-3.5% S.
Pupuk guano sangat baik bila digunakan pada tanah masam karena berasal
dari batu kapur. Pupuk guano mengandung mineral kalsium fosfat. Kalsium fosfat
ini dapat larut dalam air apabila Ca diikat oleh Al dan H dalam tanah. Kandungan
kalsium pada pupuk guano dapat menetralkan pH tanah (Marsono et al., 2001). Kelebihan pupuk guano lainnya dibanding pupuk kimia buatan adalah guano lebih
tahan lama di dalam tanah, mampu meningkatkan produktivitas tanah, dan
menyediakan hara bagi tanaman lebih lama.
Pupuk organik yang digunakan pada penelitian Rahadi (2008) adalah
pupuk guano yang berasal dari deposit guano. Berdasarkan hasil analisis pupuk
guano yang dilakukan pada penelitian Rahadi (2008), pupuk guano mengandung
P2O5 26.07% dan CaO 36.07%. Sediyarso (1999) menyatakan 10-12% kandungan
P2O5 dalam deposit guano sebagai bentuk yang mudah larut dalam air.
Residu Pupuk Organik
Bahan organik merupakan bahan yang lambat tersedia bagi tanaman,
karena sebagian besar bagian penyusunnya harus mengalami perubahan terlebih
dahulu sebelum dapat diserap oleh tanaman (Sugitoet al., 1995). Oleh karena itu, bahan organik sebaiknya diaplikasikan beberapa minggu sebelum dilakukan
penanaman.
Menurut Kononova dalam Mulyadi (2006), bahan organik dapat berdampak beberapa tahun terhadap sifat fisik dan kimia tanah, namun tergantung
pada kemudahan terdekomposisinya dan senyawa penyusun bahan organik
tersebut, namun lambat laun pengaruh ini akan terus berkurang dan bahkan akan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa residu bahan organik masih
berpengaruh baik pada tanaman hingga beberapa waktu. Mulyadi (2006)
menyatakan bahwa residu pupuk kandang dan jerami padi pada tanaman kedelai
dapat meningkatkan tinggi tanaman, hasil biji kering, bobot brangkasan kering,
polong isi, dan bobot 100 biji. Kuntyastuti dalam Kuntyastuti et al. (2006) menyebutkan pada tanah Entisol Genteng Banyuwangi, residu kotoran ayam 40
ton/ha, residu kotoran sapi 20 ton/ha, dan residu arang sekam 10.8 ton/ha (setara
sekam padi 40 ton/ha) yang dibenamkan bersama pengolahan tanah sampai
kedalaman 20 cm dapat meningkatkan hasil biji kedelai ke-2 pada kondisi terjadi
hujan 1 967 mm selama 3 bulan pertumbuhan kedelai.
Melatiet al. (2008) menyatakan bahwa residu pupuk kandang dan kompos menghasilkan jumlah dan bobot polong isi lebih tinggi dibandingkan dengan
residu pupuk kandang ayam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pupuk
kandang ayam lebih mudah dalam menyediakan hara bagi tanaman sehingga
pengaruh residunya menjadi rendah pada pertanaman kedua, sedangkan pupuk
hijau dan kompos memerlukan waktu dekomposisi yang lebih lama sehingga hara
belum banyak terserap pada pertanaman pertama dan diduga hara telah tersedia
pada pertanaman kedua. Residu abu sekam dapat menurunkan intensitas serangan
hama rata-rata sebesar 75% dari kontrol, namun tidak dianjurkan untuk diberikan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Percobaan
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor
yang mempunyai ketinggian 250 m dpl dan mempunyai topografi datar dengan
jenis tanah latosol. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah,
Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2008 sampai
dengan Februari 2009.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Willis. Penelitian ini merupakan kegiatan lanjutan dari penelitian Rahadi (2008).
Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang sapi sebanyak 2.5 ton/ha
dan pupuk guano sebanyak 180 kg/ha yang setara dengan 100 kg SP-36 /ha yang
diaplikasikan pada seluruh petakan untuk mengantisipasi rendahnya unsur hara.
Tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang
digunakan adalah tanaman tagetes (Tagetes erecta L.) dan tanaman serai wangi (Cymbopogon nardus). Peningkatan pH tanah dilakukan dengan menggunakan kapur dolomit dengan dosis 2 ton/ha. Rhizobium dengan dosis 5 g/kg benih
kedelai.
Pembanding dari budidaya organik adalah budidaya konvensional yang
menggunakan 100 kg urea/ha, 200 kg KCl/ha, dan 400 kg SP-18/ha. Furadan 3G
(bahan aktif karbofuran) 10 kg/ha sebagai insektisida.
Metode Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak dengan dua faktor yang disusun secara faktorial. Faktor pertama
adalah residu pupuk kandang sapi dengan 3 taraf yaitu 0, 2.5, dan 5 ton/ha. Faktor
kedua adalah residu pupuk guano dengan 4 taraf yaitu 0, 180, 360, dan 540 kg/ha
menjadi 12 perlakuan yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali sehingga
diperoleh 36 satuan percobaan.
Metode linier yang digunakan adalah:
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + δk + εijk
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan dari perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke-i,
perlakuan dosis residu pupuk guano ke-j, dan interaksi antara
perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano
μ = nilai tengah umum
αi = pengaruh perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke-i
βj = pengaruh perlakuan dosis residu pupuk guano ke-j
(αβ)ij = interaksi antara dua faktor perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi
dan perlakuan dosis residu pupuk guano
δk = pengaruh ulangan ke-k
εijk = pengaruh galat percobaan dari perlakuan dosis residu pupuk kandang
sapi ke-i, perlakuan residu pupuk guano ke-j, dan ulangan ke-k
i = perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke 0, 2.5, 5 ton/ha
j = perlakuan dosis residu pupuk guano ke 0, 180, 360, 540 kg/ha
k = ulangan 1, 2, 3
Data dianalisis dengan uji F. Apabila hasilnya menunjukkan pengaruh
yang nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan
(DMRT) dengan taraf nyata 5 %.
Pelaksanaan Percobaan
Persiapan Lahan dan Aplikasi Pupuk
Persiapan lahan dilakukan dengan melakukan pengolahan lahan dilakukan
4 minggu sebelum tanam. Petakan dibuat dengan ukuran 2.5 m x 3 m dan petakan
pembanding dibuat dengan ukuran 5 m x 4 m (Lampiran 1). Pengapuran
dilakukan pada 3 minggu sebelum tanam. Bersamaan dengan pengapuran, juga
dilakukan aplikasi pupuk kandang sebanyak dosis 2.5 ton/ha pada semua petak
percobaan. Pemberian pupuk guano dilakukan pada 2 minggu sebelum tanam
dan pupuk guano diberikan dengan cara disebar pada semua petakan. Contoh
tanah yang dianalisis diambil setelah panen pada percobaan Rahadi (2008).
Penanaman
Penanaman tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
dilakukan satu bulan sebelum tanaman kedelai ditanam. Tagetes ditanam di
sekeliling setiap petakan sedangkan serai wangi ditanam di sekeliling lahan
percobaan.
Kedelai ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 20 cm, 2 benih per lubang
tanam, sehingga populasi per petak percobaan 150 tanaman. Sebelum ditanam,
benih diinokulasi dengan Rhizobium dengan dosis 5 g/kg benih kedelai.
Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam.
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharan yang dilakukan antara lain pengendalian gulma dan
pembumbunan pada 4 MST.
Pengamatan
Peubah yang diamati meliputi:
1. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari 10 tanaman contoh dari setiap petakan yang
dilakukan setiap minggu. Diukur dari buku pertama sampai titik tumbuh yang
terletak di ujung batang utama.
2. Jumlah daun per tanaman (helai)
Dihitung setiap minggu dengan cara menghitung semua daun mulai dari daun
unifoliet sampai daun yang sudah terbuka penuh pada 10 tanaman contoh.
3. Jumlah buku produktif dan cabang produktif pada saat kedelai berumur 10
MST
4. Bobot kering bintil akar (g)
Pengukuran dilakukan pada umur 7 MST dengan cara mencabut akar kedelai
dan mengambil bintil akarnya kemudian dioven dengan suhu 1050C selama 1
5. Bobot kering akar dan tajuk (g)
Pengukuran dilakukan pada saat kedelai berumur 7 MST dengan cara
mencabut tanaman kedelai hingga akarnya kemudian dioven dengan suhu
1050C selama 1 x 24 jam.
6. Rasio tajuk/akar
Perhitungan dilakukan pada saat tanaman kedelai berumur 7 MST dengan
membandingkan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar.
7. Umur berbunga (Minggu Setelah Tanam/MST)
Dilakukan pada saat tanaman telah berbunga ≥ 75% pada petak panen dari setiap perlakuan.
8. Umur panen (Hari Setelah Tanam/HST)
Panen dilakukan pada saat 90% tanaman pada petak percobaan sudah mengisi
penuh.
9. Jumlah polong isi dan hampa
Dilakukan saat panen dengan menghitung semua polong isi dan polong hampa
dari setiap tanaman contoh.
10. Bobot basah dan kering polong isi dan polong hampa per tanaman contoh (g)
11. Bobot basah polong/petak panen (4.5 m2)
12. Jumlah polong isi dan polong hampa setiap petak panen (4.5 m2)
13. Bobot basah dan bobot kering 100 butir biji (g)
14. Jenis hama, penyakit dan intensitas (%) yang diamati setiap minggu
Tabel 1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit
Skor Keterangan
0 Tidak ada serangan
Intensitas serangan hama dan penyakit dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
%
100
.
0
x
NV
vi
n
IP
k
i
Keterangan:
IP = Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit
n = Jumlah tanaman yang mempunyai skor serangan ke-i
vi = Skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4, 5
V = Skor tanaman tertinggi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kondisi Umum
Pertumbuhan benih pada 1 MST hanya berkisar antara 38-77% sehingga
dilakukan penyulaman. Rendahnya pertumbuhan benih ini mungkin disebabkan
oleh rendahnya curah hujan pada awal penanaman (Gambar 1) dan lubang tanam
yang terlalu dalam sehingga benih yang sebenarnya tumbuh namun belum
menembus permukaan tanah sehingga dianggap tidak tumbuh. Pada 2 MST,
setelah dilakukan penyulaman, kondisi tersebut berubah menjadi 55-90%.
Gambar 1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban Selama Percobaan
Tanaman kedelai mengalami gejala klorosis (perubahan warna daun
menjadi kuning) pada tepi daun dan diantara tulang daunnya. Gejala klorosis yang
parah terjadi hingga mendekati pangkal daun dan hanya menyisakan warna hijau
pada pertulangan daun (Gambar 2a), bahkan seluruh daun berubah menjadi
kuning (Gambar 2b), selanjutnya timbul gejala nekrosis (tepi daun mengering).
Gejala ini mulai muncul pada 3 MST dan jumlah tanaman yang mengalami
(a) (b)
Gambar 2. Daun kedelai mengalami klorosis dan nekrosis pada tepi daunnya (a) dan hampir seluruh bagian daun mengalami klorosis (b)
Gejala serangan penyakit yang terdapat pada pertanaman kedelai adalah
gejala penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora kikuchii. Hama yang menyerang pertanaman kedelai antara lain hama kepik penghisap pucuk
(Anoplocnemis plasiana), ulat bulu, kutu daun (Aphis glycines), kepik polong (Riptortus linearis), ulat penggulung daun (Lamprosema indica), dan ulat jengkal. Tanaman kedelai juga terserang rayap tanah, namun hanya menyerang beberapa
tanaman pinggir saja sehingga tidak dilakukan pengendalian.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama percobaan antara lain
penyiangan gulma yang dilakukan secara manual dan dengan menggunakan kored
atau cangkul serta pembubunan yang dilakukan pada 4 MST. Gulma dominan
pada pertanaman antara lain Mimosa pudica, Mimosa invisa, Emilia sonchifolia,
dan beberapa gulma berdaun lebar lainnya. Pembumbunan dilakukan untuk
membantu tegaknya tanaman dan untuk menekan laju pertumbuhan gulma.
Bunga mulai muncul pada 4 MST. Pertumbuhan bunga berlangsung secara
berangsur-angsur dan mencapai sekitar 75% pada 6 MST. Proses pembentukan
bunga yang tidak bersamaan menyebabkan waktu pengisian polong yang tidak
sama pula. Oleh karena itu, pemanenan dilakukan secara bertahap pada petakan
yang 90% polongnya telah mengisi penuh. Pemanenan dilakukan pada 81, 85, dan
90 HST (Hari Setelah Tanam). Perbedaan waktu pemanenan ini bukan merupakan
Pengaruh Perlakuan terhadap Peubah
Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak
berpengaruh nyata pada hampir semua peubah yang diamati baik peubah vegetatif
maupun generatif. Pengaruh nyata akibat perlakuan residu pupuk kandang sapi
hanya terlihat pada bobot kering bintil akar pada 7 MST, bobot basah polong
hampa/petak panen (4.5 m2), dan bobot basah 100 butir biji, sedangkan perlakuan
residu pupuk guano hanya berpengaruh nyata pada jumlah daun pada saat 8 MST,
serta bobot basah dan bobot kering bintil akar pada 7 MST.
Interaksi antara residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano juga
menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada hampir semua peubah yang
diamati. Pengaruh nyata hanya terlihat pada jumlah daun pada saat 3 MST,
intensitas serangan hama dan penyakit pada saat 5 MST, dan bobot kering 100
butir biji. Rekapitulasi sidik ragamnya tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Lanjutan
Keterangan : tn = tidak nyata 5% ** = berbeda nyata pada taraf 1%
cn = berbeda nyata pada taraf 10% a) = hasil transformasi√(x+0.5) * = berbeda nyata pada taraf 5% b) = hasil transformasi√(x+1.0)
Keragaman
Jumlah Buku Produktif 10 MST tn tn tn 29.44
Jumlah Cabang Produktif 10 MST tn tn tn 17.01
BB Tajuk 7 MST tn tn tn 21.50a)
Rasio Tajuk/Akar tn tn tn 22.50
BB Polong Isi/Tanaman tn tn tn 19.79a)
BK Polong Isi/Tanaman tn tn tn 21.90a)
BB Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 21.98a)
BK Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 20.08a)
BB Polong Isi/Petak Panen (4.5 m2) tn tn tn 26.48a)
BB Polong Hampa/Petak Panen (4.5 m2) * tn tn 34.20b)
BB 100 Butir Biji * tn cn 5.38
BK 100 Butir Biji cn cn * 6.24
Jumlah Polong Isi/Tanaman tn tn tn 18.37a)
Jumlah Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 23.81a)
Tinggi Tanaman
Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk berpengaruh tidak
nyata pada peubah tinggi tanaman. Perlakuan residu pupuk guano berpengaruh
nyata pada taraf 10% pada saat tanaman berumur 7 MST. Tinggi tanaman pada
semua perlakuan mengalami peningkatan pada setiap minggu. Perlakuan residu
pupuk guano dengan dosis 108 kg/ha menghasilkan tinggi tanaman paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk guano lainnya pada setiap minggu.
Tinggi tanaman kedelai dengan budidaya konvensional lebih tinggi dibandingkan
dengan tinggi tanaman kedelai pada semua perlakuan residu pupuk kandang sapi
dan pupuk guano (Tabel 3).
Jumlah Daun
Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano memberikan
pengaruh yang tidak nyata pada peubah jumlah daun. Perlakuan residu pupuk
guano pada 8 MST menunjukkan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah daun.
Jumlah daun pada perlakuan residu pupuk guano 108 kg/ha lebih tinggi
dibandingkan dengan residu pupuk guano 216 kg/ha, namun tidak berbeda dengan
perlakuan residu pupuk guano 0 kg/ha dan 324 kg/ha. Budidaya konvensional
menghasilkan jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua residu
pupuk organik (Tabel 4).
Interaksi perlakuan residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada 3 MST. Kombinasi
residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu pupuk guano 0 kg/ha
Tabel 3. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Tinggi Tanaman
Tinggi Tanaman (MST) Perlakuan
2 3 4 5 6 7 8 9 10
……….………..cm……….………..
Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)
0 8.41 12.58 15.67 20.97 29.88 37.61 43.71 47.18 43.20 1.5 9.11 13.18 16.70 22.06 30.32 38.14 43.57 45.40 42.66 3 8.73 12.70 15.82 21.21 29.23 37.00 41.85 43.87 39.98 Residu Pupuk Guano (kg/ha)
Tabel 4. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman
Jumlah Daun (MST) Perlakuan
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)
0 4.8 5.9 6.2 8.2 12.0 15.9 20.0 23.3 20.7 1.5 5.1 6.1 6.7 7.9 11.7 15.8 20.0 23.1 21.5 3 5.0 5.9 6.3 7.7 10.7 14.6 18.8 21.7 19.8 Residu Pupuk Guano (kg/ha)
0 5.1 6.1 6.3 7.4 10.5 13.8 18.0ab 20.5 20.8 108 5.1 5.9 6.6 9.1 13.5 18.1 22.8a 25.3 20.2 216 5.2 6.1 6.3 7.3 10.4 13.8 16.5b 20.3 19.9 324 4.8 5.8 6.2 7.9 11.4 15.7 20.5ab 24.1 21.8 Konvensional 5.9 6.5 8.9 12.7 21.6 32.6 38.3 34.6 33.7
Tabel 5. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada 3 MST
Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang
Sapi (ton/ha) 0 108 216 324 Rata-rata
0 5.7bcd 6.1abcd 6.3abcd 5.8abcd 5.97 1.5 6.7a 5.6bcd 6.4abc 5.5cd 6.05 3 6.1abcd 6.0abcd 5.5d 6.1abcd 5.91 Rata-rata 6.13 5.91 6.04 5.82
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%
Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, Bintil Akar, dan Rasio Tajuk/Akar
pada 7 MST
Perlakuan residu pupuk kandang sapi tidak berpengaruh nyata pada bobot
basah dan bobot kering tajuk dan akar, bobot basah bintil akar serta rasio
tajuk/akar, namun residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata menurunkan
bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar pada perlakuan residu pupuk
kandang sapi dengan dosis 0 ton/ha tertinggi dibandingkan dengan perlakuan
residu pupuk kandang sapi lainnya. Perlakuan residu pupuk guano nyata
menurunkan bobot basah dan bobot kering bintil akar pada 7 MST. Peningkatan
dosis residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano cenderung menurunkan
bobot basah dan bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar (Tabel 6).
Interaksi residu pupuk kandang dan residu pupuk guano menunjukkan
pengaruh nyata pada taraf 10 % terhadap bobot kering bintil akar pada 7 MST.
Kombinasi tanpa residu pupuk kandang sapi dan tanpa residu pupuk guano
menghasilkan bobot kering bintil akar tertinggi yaitu 0.86 g (Tabel 7).
Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit
Residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak berpengaruh
nyata terhadap intensitas serangan hama dan keparahan penyakit. Intensitas
serangan hama dan keparahan penyakit semakin meningkat pada setiap minggu,
namun intensitas serangan hama dan keparahan penyakit menurun pada 10 MST.
Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada perlakuan residu pupuk
guano 108 kg/ha secara tunggal terendah dibandingkan dengan perlakuan residu
MST. Dibandingkan dengan perlakuan tanpa residu pupuk guano, perlakuan
residu pupuk guano 108 kg/ha menurunkan intensitas serangan hama dan penyakit
sebesar 25.4%. Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada budidaya
konvensional lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk baik
pupuk kandang sapi maupun pupuk guano (Tabel 8).
Tabel 6. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, dan Bintil Akar pada 7 MST.
0 17.86 3.78 2.53 0.88 0.32 0.14a 4.55 1.5 13.99 3.04 1.90 0.67 0.27 0.09b 4.44 3 11.96 2.54 1.83 0.62 0.23 0.07b 4.23 Residu Pupuk Guano
(kg/ha)
0 16.84 3.73 2.58 0.93 0.29a 0.13a 4.24 108 14.68 3.11 2.04 0.71 0.33a 0.11a 4.41 216 15.59 3.21 1.99 0.65 0.32a 0.11a 4.90 324 11.32 2.43 1.74 0.60 0.14b 0.05b 4.07 Konvensional 14.60 3.12 2.09 0.72 0.31 0.12 4.55
Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%
Tabel 7. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST
Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang
Sapi (ton/ha) 0 108 216 324 Rata-rata
………..g……….. 0 0.25a 0.12b 0.13b 0.06b 0.14 1.5 0.07b 0.14b 0.10b 0.05b 0.09 3 0.08b 0.07b 0.01b 0.05b 0.07 Rata-rata 0.13 0.11 0.11 0.05
Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh
nyata terhadap intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada 5 MST.
Kombinasi perlakuan residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan residu pupuk guano
216 kg/ha menghasilkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit
terendah dibandingkan dengan kombinasi dosis residu pupuk kandang sapi dan
pupuk guano lainnya (Tabel 9).
Tabel 8. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
Intensitas Serangan Hama dan Penyakit (MST) Perlakuan 108 17.8 34.6 44.8 52.2 53.9 59.7 60.8 46.1 216 16.9 39.0 47.0 60.7 54.7 59.6 63.0 60.9 324 18.2 34.2 44.6 54.6 56.6 61.4 63.0 55.7 Konvensional 0.0 22.0 20.0 34.0 30.0 55.0 53.0 60.0
Jumlah tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah Cabang, serta Buku Produktif
pada 10 MST
Residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah tanaman kedelai/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST. Jumlah tanaman pada
perlakuan residu pupuk kandang sapi dengan dosis 3 ton/ha lebih tinggi 18.97%
dibandingkan perlakuan tanpa residu pupuk kandang sapi, sedangkan jumlah
tanaman residu pupuk guano dengan dosis 216 kg/ha lebih tinggi 27.59%
dibandingkan pada perlakuan tanpa residu pupuk guano dan pada perlakuan dosis
324 kg/ha residu pupuk guano (Tabel 10).
Perlakuan residu dosis pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak
berumur 10 MST. Jumlah cabang dan buku produktif tertinggi pada perlakuan
residu pupuk kandang sapi 0 ton/ha dan residu pupuk guano 216 kg/ha secara
tunggal. Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi cenderung menurunkan
jumlah cabang dan buku produktif pada 10 MST (Tabel 10).
Tabel 9. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit pada 5 MST
Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang
Sapi (ton/ha) 0 108 216 324
Rata-rata
…..………….………%…..………….………
0 40.3bc 48.0abc 55.0a 40.7abc 46.00 1.5 44.3abc 39.7bc 49.7ab 47.0abc 45.17 3 51.0ab 46.7abc 35.0c 46.0abc 44.67 Rata-rata 45.22 44.78 46.56 44.56
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.
Tabel 10. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah Buku, serta Cabang Produktif pada 10 MST
Bobot Basah, Bobot Kering, dan Jumlah Polong Isi dan Polong Hampa Per
Tanaman pada Saat Panen
Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak
berpengaruh nyata terhadap bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi dan
polong hampa per tanaman pada saat panen. Secara umum, peningkatan dosis
residu pupuk kandang sapi menurunkan bobot basah, bobot kering, dan jumlah
polong isi dan hampa. Perlakuan residu pupuk guano dengan dosis 108 kg/ha
menghasilkan bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan dosis residu pupuk guano lainnya, namun pada
budidaya konvensional, bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi dan
polong hampanya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk
kandang sapi dan residu pupuk guano (Tabel 11).
Jumlah Polong, Bobot Basah Polong Isi dan Polong Hampa per Petak Panen, serta
Bobot Basah dan Bobot Kering 100 Butir Biji
Perlakuan residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap bobot
basah polong hampa/petak panen (4.5 m2) dan bobot basah 100 butir biji,
sedangkan residu pupuk guano berpengaruh nyata tehadap bobot kering 100 butir
biji. Jumlah polong/petak panen pada budidaya konvensional lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk kandang sapi dengan dosis 0 ton/ha
dan residu pupuk guano 108 kg/ha secara tunggal (Tabel 12).
Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh
nyata pada taraf 10% terhadap bobot basah 100 butir biji dan nyata terhadap bobot
kering 100 butir biji. Kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu
pupuk guano 0 kg/ha menghasilkan bobot basah 100 butir biji tertinggi
dibandingkan kombinasi lainnya, sedangkan kombinasi residu pupuk kandang
sapi 3 ton/ha dan residu pupuk guano 108 kg/ha menghasilkan bobot kering 100
Tabel 11. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano
0 37.88 10.31 22.14 8.34 2.30 0.88 1.5 35.97 10.03 21.47 8.33 2.22 0.81 3 33.35 7.90 19.93 7.40 1.76 0.59 Residu Pupuk Guano
(kg/ha)
0 33.15 7.81 19.20 7.11 1.69 0.59 108 41.67 10.76 25.37 9.79 2.43 0.89 216 31.58 7.83 18.60 7.74 1.70 0.58 324 36.52 11.25 21.55 7.45 2.55 0.98 Konvensional 59.45 12.10 41.63 17.07 2.65 1.18
Keterangan : JPI : Jumlah Polong Isi; JPH : Jumlah Polong Hampa
Tabel 12. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Komponen Panen per Petak Panen (4.5 m2)
Perlakuan BPI/Petak
Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%
Tabel 13. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah 100 Butir Biji Kedelai
Residu Pupuk Guano (kg/ha)
0 13.70c 15.22abc 15.17abc 14.89abc 14.74 1.5 16.43a 15.37ab 15.33ab 15.29ab 15.61 3 14.52bc 15.88ab 15.90ab 15.22abc 15.38 Rata-rata 14.89 15.49 15.47 15.13
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.
Tabel 14. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Kering 100 Butir Biji Kedelai
Residu Pupuk Guano (kg/ha)
0 5.17c 5.99ab 5.97ab 5.94ab 5.77 1.5 6.35a 6.02ab 5.91ab 6.07ab 6.09 3 5.53bc 6.42a 6.38a 6.03ab 6.09 Rata-rata 5.68 6.14 6.09 6.01
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.
Hubungan Korelasi Antar Peubah
Korelasi positif antar peubah berarti semakin tinggi nilai suatu peubah
(mendekati 1) akan meningkatkan peubah yang lain. Peubah vegetatif yang
berkorelasi positif antara lain tinggi dengan jumlah polong; cabang produktif
dengan jumlah buku produktif, jumlah polong isi, bobot basah polong isi, bobot
kering polong isi, dan jumlah polong/petak panen (4.5 m2). Peubah generatif
berkorelasi positif dan nyata adalah jumlah polong isi/tanaman dengan jumlah
cabang dan buku produktif, serta bobot basah polong isi; bobot polong
isi/tanaman dengan tinggi tanaman, jumlah cabang dan buku produktif, bobot
basah tajuk, serta bobot basah bintil akar; dan jumlah polong/petak panen (4.5 m2)
dengan tinggi tanaman, jumlah cabang dan buku produktif, jumlah polong isi, dan
Tabel 15. Hubungan Korelasi Antar Peubah
BB Tajuk 0.49** 0.47** 0.58** 1.00**
BB Akar 0.28cn 0.30cn 0.33* 0.85** 1.00**
BB Bintil Akar 0.56** 0.45** 0.48** 0.77** 0.54** 1.00**
BK Tajuk 0.43** 0.44** 0.51** 0.98** 0.90** 0.73** 1.00**
BK Akar 0.23tn 0.28cn 0.26tn 0.80** 0.98** 0.48** 0.87** 1.00**
BK Bintil Akar 0.36* 0.36* 0.25tn 0.73** 0.75** 0.74** 0.78** 0.76** 1.00**
Jumlah
BB Polong Isi/Tanaman 0.98** 0.59** 1.00**
BB Polong Hampa/Tanaman 0.56** 0.97** 0.55** 1.00**
BK Polong Isi/Tanaman 0.91** 0.49** 0.92** 0.46** 1.00**
BK Polong Hampa/Tanaman 0.52** 0.95** 0.50** 0.97** 0.41** 1.00**
BB 100 Biji 0.03tn -0.06tn 0.03 tn -0.12tn -0.06tn -0.04tn 1.00**
BK 100 Biji 0.03tn -0.08tn 0.03 tn -0.15tn -0.12tn -0.08tn 0.92** 1.00**
BB Polong Isi/Petak Panen 0.59** 0.26tn 0.55** 0.17tn 0.64** 0.14tn 0.00tn -0.04tn 1.00** BB Polong Hampa /Petak
Panen 0.01tn -0.03tn 0.02tn -0.06tn -0.03tn -0.05tn 0.13tn 0.23tn 0.13tn 1.00**
Pembahasan Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan residu pupuk kandang
sapi tidak berpengaruh nyata terhadap hampir semua peubah yang diamati baik
peubah vegetatif maupun peubah generatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
terjadinya penurunan kandungan hara di dalam tanah sehingga penambahan
pupuk kandang sapi 2.5 ton/ha tidak cukup menambah ketersediaan hara.
Kemungkinan yang lain adalah pengapuran tanah yang kurang efektif.
Hasil analisis tanah setelah panen pada percobaan Rahadi (2008)
menunjukkan bahwa pH dan unsur P mengalami penurunan, sedangkan unsur C,
N, dan K sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil analisis tanah
sebelum percobaan Rahadi (2008) dimulai (Lampiran 5). Oleh karena itu,
percobaan residu pupuk organik ini ternyata menggunakan lahan yang telah
berkurang kesuburannya.
Kemasaman tanah yang rendah ini diatasi dengan menambahkan kapur,
namun pengapuran ini diduga kurang efektif karena tingginya curah hujan setelah
aplikasi kapur diduga menyebabkan terjadinya pencucian kapur dan terbawa oleh
erosi. Turunnya kandungan hara ini diduga disebabkan oleh tercucinya unsur hara
oleh air hujan, erosi, atau terbawa oleh gulma yang tumbuh saat bera yang tidak
dibenamkan pada saat pengolahan tanah.
Perlakuan residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap bobot
kering bintil akar kedelai pada 7 MST, bobot basah polong hampa/petak panen
(4.5 m2), dan bobot basah 100 butir biji. Peningkatan dosis residu pupuk kandang
sapi menurunkan bobot basah dan bobot kering bintil akar serta meningkatkan
bobot basah 100 butir biji.
Bintil akar merupakan bentuk asosiasi antara akar tanaman kedelai dengan
bakteri Rhizobium. Rhizobium akan memfiksasi N dari udara untuk memenuhi
kebutuhan N bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Gardner et al. (1991), ketahanan hidup Rhizobium di alam sangat tergantung pada kondisi tanah,
terutama pH, kelembaban, bahan organik, dan lamanya jarak antara tanaman
budidaya yang menjadi inangnya. Bintil akar akan banyak terbentuk dan aktif
Hal ini terlihat pada bobot basah dan bobot kering bintil akar yang menurun
dengan peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi (Tabel 6).
Jumlah polong/petak panen (4.5 m2) pada budidaya konvensional lebih
rendah dibandingkan dengan jumlah polong/petak panen (4.5 m2) pada perlakuan
residu pupuk kandang sapi maupun residu pupuk guano. Namun, sebaliknya
dengan bobot polong/petak panen (4.5 m2) dimana pada budidaya konvensional
paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk organik. Hal ini
terlihat bahwa pada budidaya konvensional tersedia cukup untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman kedelai baik vegetatif maupun generatif, khususnya
untuk pembentukan dan pengisian polong (Tabel 12). Hal ini juga disebabkan
oleh adanya perbedaan jumlah tanaman yang dipanen pada setiap petakan.
Berdasarkan hasil analisis daun, dapat diketahui bahwa tanaman
mengalami defisiensi K dan keracunan unsur mikro seperti Fe dan B. Besarnya
kandungan K, Fe, dan B pada jaringan daun kedelai masing-masing adalah 0.4 %,
362.50 ppm, dan 487.36 ppm (Lampiran 10). Pada sebagian besar tanaman
kedelai timbul gejala perubahan warna daun menjadi kuning (klorosis) pada tepi
daun dan muncul bercak-bercak coklat hingga akhirnya daun menjadi kering
(nekrosis) dan selanjutnya akan gugur.
Kelarutan Fe dalam tanah meningkat pada pH yang rendah sehingga
menyebabkan terjadinya keracunan pada tanaman dan terjadi pengendapan ion P.
Pengendapan P menyebabkan efisiensi pemupukan P menjadi rendah karena
bentuk Fe-fosfat menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman (Hanafiah,
2007). Kelarutan Fe pada tanah masam lebih tinggi daripada pada tanah dengan
pH tinggi. Gejala keracunan Fe adalah timbulnya bercak-bercak coklat pada daun,
dalam keadaan yang parah daun akan berwarna kecoklatan (Ismunadji et al., 1985).
Gejala keracunan B timbul pada konsentrasi 0.5 ppm B dalam larutan hara
(Evans et al. dalam Ismunadji et al., 1985). Tanaman yang keracunan B, daun pucuknya menunjukkan gejala klorosis yang diikuti oleh nekrosis yang dimulai
dari ujung dan pinggir daun, kemudian menjalar ke dalam ke arah tulang daun
utama. Daun muda kemudian kering dan gugur sebelum waktunya (Bergman
Berdasarkan hasil analisis daun kedelai diketahui bahwa kandungan Mn
dalam daun kedelai mencapai 320 ppm. Pada umumnya, kandungan Mn dalam
daun berkisar 21-100 ppm. Dalam Hanafiah (2007), kandungan Mn dalam daun
dapat mencapai >200 ppm, seperti pada daun kedelai 600 ppm, kapas 700 ppm,
dan ubi jalar 1380 ppm, tanpa menunjukkan gejala keracunan. Menurut Tanakaet al. dalam Ismunadji et al., (1985), ketersediaan Mn dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pH tanah, kadar bahan organik, aktivitas mikroba, dan
kadar air tanah. Ketersediaan Mn meningkat pada tanah masam dan Mn2+ terlarut
turun 100 kali lipat dengan peningkatan satu unit pH.
Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi akan meningkatkan
kandungan hara di dalam tanah terutama unsur P (Lampiran 5). Adanya
peningkatan kandungan P di dalam tanah akan meningkatkan bobot basah dan
bobot kering 100 butir biji kedelai (Tabel 12). Hal ini terlihat bahwa biji kedelai
semakin besar dengan adanya peningkatan kandungan P di dalam tanah. Unsur P
berperan dalam pembungaan dan pembentukan biji (Fothdalam Hanafiah, 2007).
Pengaruh Residu Pupuk Guano
Perlakuan residu pupuk guano tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
pada hampir semua peubah yang diamati. Percobaan yang dilakukan oleh Barus
(2005) dan Rahadi (2008) juga menunjukkan hal yang sama. Pada percobaan
Barus (2005), tidak nyatanya pengaruh pupuk fosfat disebabkan oleh lambatnya
ketersediaan fosfat bagi tanaman, sedangkan pada percobaan Rahadi (2008),
disebabkan oleh kandungan P dalam tanah yang sudah mencukupi kebutuhan
tanaman atau pengapuran yang kurang efektif sehingga P dapat difiksasi oleh Al,
Fe, dan Mn.
Berdasarkan analisis tanah diketahui bahwa kandungan P sebelum tanam
lebih rendah dibandingkan dengan percobaan Rahadi (2008), namun masih berada
pada kisaran sedang hingga sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan tanaman.
Hal ini terlihat dari jumlah kandungan unsur P di dalam daun tanaman kedelai
yang berada pada status kecukupan hara sehingga residu pupuk guano tidak
Menurut Wijanarko et al. (2007), residu pemupukan P memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat biji kedelai yang ditanam pada kelas
ketersediaan hara P sangat rendah. Pada kelas ketersediaan hara P lebih tinggi,
residu pupuk P tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil biji kedelai.
Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Residu Pupuk Guano Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh
nyata terhadap jumlah daun pada 3 MST, intensitas serangan hama dan penyakit
pada 5 MST, dan bobot kering 100 butir biji serta berpengaruh nyata pada taraf
10% terhadap bobot kering bintil akar dan bobot basah 100 butir biji.
Kombinasi perlakuan residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan residu
pupuk guano 216 kg/ha menghasilkan intensitas serangan hama dan keparahan
penyakit terendah dibandingkan dengan kombinasi dosis residu pupuk kandang
sapi dan pupuk guano lainnya (Tabel 9). Peningkatan dosis residu pupuk kandang
sapi menurunkan intensitas serangan hama dan penyakit dengan diimbangi
peningkatan dosis residu pupuk guano.
Perlakuan tanpa residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano
menghasilkan bobot bintil akar tertinggi dibandingkan dengan perlakuan
kombinasi residu pupuk lainnya. Hal ini diduga karena bintil akar banyak
terbentuk pada tanah yang kandungan haranya rendah karena bakteri Rhizobium
aktif memfiksasi N untuk memenuhi kebutuhan hara bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Gardner et al. (1991), ketahanan hidup Rhizobium di dalam tanah sangat tergantung pada kondisi tanah terutama pH tanah,
kelembaban, dan bahan organik.
Bobot basah dan bobot kering 100 butir biji tertinggi dihasilkan oleh
kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu pupuk guano 0 kg/ha
yaitu 16.43 dan 6.35 g, namun, lebih rendah 6.06 dan 17.83 % dibandingkan
dengan bobot basah dan bobot kering 100 butir biji pada budidaya konvensional
(Tabel 13 dan 14). Hal ini memperlihatkan bahwa biji pada perlakuan residu
pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano lebih kecil dibandingkan dengan biji
yang dihasilkan pada budidaya konvensional yang kemungkinan disebabkan oleh
dan biji dibandingkan dengan hara pada residu pupuk kandang sapi dan pupuk
guano. Namun, bobot kering 100 butir biji yang dihasilkan baik pada perlakuan
residu pupuk organik maupun budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan
dengan bobot kering 100 butir biji pada deskripsi kedelai varietas Wilis yaitu
sebesar ± 10 g (Lampiran 4). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi
polong saat dilakukan pemanenan, dimana pada percobaan ini polong dipanen
dalam kondisi belum mengisi secara sempurna (panen muda), sedangkan pada
deskripsi varietas, kedelai dipanen dalam kondisi sudah mengisi secara sempurna
(panen kering).
Apabila dibandingkan dengan penelitian Rahadi (2008), residu pupuk
kandang sapi dan pupuk guano memberikan pengaruh yang lebih baik pada
peubah vegetatif, namun lebih rendah pada peubah generatif seperti bobot
polong/petak panen dan bobot kering 100 butir biji. Tinggi tanaman dan bobot
basah bintil akar pada perlakuan residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano
mengalami penurunan, namun jumlah daun, jumlah buku, serta bobot basah tajuk
dan akar mengalami peningkatan.
Penurunan tinggi tanaman pada perlakuan residu 0, 2.5, dan 5 ton pupuk
kandang sapi/ha berturut-turut sebesar 9.08, 9.38, dan 20 %, sedangkan penurunan
tinggi tanaman pada perlakuan residu 0, 180, 360, dan 540 kg pupuk guano/ha
berturut-turut 18.56, 3.42. 17.72, dan 17.84 %. Penurunan ini diduga disebabkan
oleh adanya serangan hama kepik penghisap pucuk yang menyebabkan hilangnya
titik tumbuh. Hilangnya titik tumbuh ini diduga memicu pembentukan titik
tumbuh baru sehingga jumlah cabang dan daun pada perlakuan residu pupuk
organik lebih banyak dibandingkan pada pertanaman pertama. Menurut Janick
dalam Kusheryani (2005), pembuangan pucuk tempat memproduksi auksin dapat meningkatkan pemunculan tunas lateral beserta cabang-cabangnya.
Bobot basah bintil akar pada perlakuan residu pupuk organik mengalami
penurunan dibandingkan pada pertanaman pertama. Penurunan ini diduga
disebabkan oleh rendahnya pH tanah pada perlakuan residu pupuk organik yaitu
berkisar antara 4.8-4.9. Yutono (1985) menyatakan pada pH yang rendah yaitu
Mn berada pada tingkat meracuni. Keadaan ini akan menghambat pertumbuhan
tanaman dan fiksasi N2 oleh bintil akar.
Peubah generatif seperti bobot basah 100 butir biji mengalami penurunan
dibandingkan dengan yang dihasilkan pada pertanaman pertama oleh Rahadi
(2008). Penurunan bobot kering 100 butir biji yang terjadi pada residu pupuk
kandang sapi 0, 1.5, dan 3 ton/ha berturut-turut sebesar 25.98, 25.04, dan 21.74 %,
sedangkan pada residu pupuk guano 0, 108, 216, dan 314 kg/ha berturut-turut
sebesar 28.39, 22,18, 23,97, dan 23.83 %. Hal ini diduga disebabkan oleh hara
pada perlakuan residu pupuk kandang sapi ini tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman untuk pembentukan dan perkembangan polong. Selain itu, juga diduga