• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsentrasi Formalin Terhadap Keawetan Bakso dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalinnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsentrasi Formalin Terhadap Keawetan Bakso dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalinnya"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU

FORMALINNYA

Oleh: TEDDY F24103118

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

iii

Teddy. F24103118. Pengaruh Konsentrasi Formalin dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalin dan Keawetan Bakso. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Joko Hermanianto. 2007.

Ringkasan

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable). Daging diolah menjadi produk-produk olahan daging dengan tujuan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai tambahnya. Produk olahan daging yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah bakso. Bakso umumnya memiliki umur simpan hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari pada suhu ruang. Dalam upaya memperpanjang umur simpan bakso, pihak industri kerap kali menambahkan formalin saat perebusan akhir dalam proses produksi bakso.

Penelitian ini bertujuan mengurangi kadar formalin (deformalinisasi) pada bakso daging sapi, sehingga memenuhi kriteria sebagai berikut (1) residu formalin pada bakso ≤ 0.05 ppm, (2) memiliki keawetan ≥ 4 hari pada suhu kamar, dan (3) nilai Total Plate Count (TPC) dengan batas maksimal menurut SNI sebesar 1.0 x 105 koloni/gram.

Perlakuan deformalinisasi dilakukan dengan cara merendam bakso yang mengandung formalin dalam air panas yang diikuti proses perebusan selama 10 menit atau penggorengan dan dilanjutkan dengan analisis kuantitatif kadar residu formaldehid pada bakso dengan metode spektrofotometri dan analisis total mikroba (TPC),serta dilakukan uji keawetan secara visual (warna, bau, kelengketan, dan kekerasan) dari bakso selama penyimpanan (4 hari) pada suhu ruang.

Hasil pengamatan uji keawetan yang telah dilakukan, sampel bakso kontrol tanpa formalin memiliki umur simpan hanya 1 hari, sampel bakso yang direbus dengan penambahan formalin 0.05 ppm memiliki umur simpan 2 hari, yang direbus dengan penambahan formalin 50 ppm memiliki umur simpan 3 hari, yang direbus dengan penambahan formalin 150 ppm memiliki umur simpan 5 hari, dan yang direbus dengan penambahan formalin 250 ppm memiliki umur simpan 6 hari. Perlakuan penambahan formalin dapat menghambat pertumbuhan mikroba dengan demikian dapat memperpanjang umur simpan bakso tersebut pada suhu ruang.

Hasil pengamatan parameter Total Plate Count (TPC) pada sampel bakso kontrol tanpa formalin pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.7 x 105 koloni/gram, sedangkan bakso dengan perlakuan penambahan formalin dengan konsentrasi 250 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut: sampel pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.4 x 104 koloni/gram, sampel pada hari ke-4 memiliki nilai TPC sebesar 1.7 x 106 koloni/gram, dan sampel pada hari ke-6 memiliki nilai TPC sebesar 1.4 x 107 koloni/gram. Hasil ini menunjukkan keefektifan sifat bakteriostatik dari formalin karena kemampuannya untuk memperlambat laju pertumbuhan mikroba pada bakso yang disimpan pada suhu ruang.

(3)

iv

mg/kg bb, sampel A1B1C1 sebesar 39.58 mg/kg bb, sampel A1B2C1 sebesar 34.00 mg/kg bb, sampel A1B3C1 sebesar 24.53 mg/kg bb, sampel A1B4C1 sebesar 13.55 mg/kg bb, sampel A1B1C2 sebesar 43.88 mg/kg bb, sampel A1B2C2 sebesar 41.07 mg/kg bb, sampel A1B3C2 sebesar 37.89 mg/kg bb, dan sampel A1B4C2 sebesar 33.76 mg/kg bb. Hasil analisis kuantitatif formaldehid untuk sampel dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut : pada sampel sebelum dideformalinisasi memiliki konsentrasi formaldehid sebesar 63.23 mg/kg bb, sampel A2B1C1 sebesar 58.12 mg/kg bb, sampel A2B2C1 sebesar 45.23 mg/kg bb, sampel A2B3C1 sebesar 32.68 mg/kg bb, sampel A2B4C1 sebesar 18.12 mg/kg bb, sampel A2B1C2 sebesar 61.2485 mg/kg bb, sampel A2B2C2 sebesar 59.70 mg/kg bb, sampel A2B3C2 sebesar 54.16 mg/kg bb, dan sampel A2B4C2 sebesar 51.12 mg/kg bb.

Dari hasil yang diperoleh, perlakuan perendaman bakso dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan perebusan selama 10 menit (A4) merupakan perlakuan deformalinisasi yang paling efektif, yang dapat menurunnya kandungan formaldehid awal dari 63.23 mg/kg bb mencapai 18.07 mg/kg bb atau menurun ± 70.76% dari kandungan formaldehid awal pada bakso dengan perlakuan penambahan formaldehid 250 ppm pada perebusan. Walaupun demikian, kadar residu formaldehid pada bakso masih melebihi batas safety yaitu 0.05 ppm (MFL Inc., 2004).

(4)

Sebuah Karya ini saya persembahkan

untuk Orangtua dan Adik saya tercinta

Jikalau Aku dapat memimpikanya,

Maka Aku pasti dapat melakukannya

(5)

PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU

FORMALINNYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: TEDDY F24103118

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU

FORMALINNYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: TEDDY F24103118

Dilahirkan pada tanggal 14 April 1985 Di Jakarta

Tanggal lulus: April 2007

Menyetujui, Bogor, April 2007

Dr. Ir. Joko Hermanianto Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

(7)

v

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian yang berjudul ”

Pengaruh Konsentrasi Formalin Terhadap Keawetan

Bakso dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalinnya

”.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis, baik secara

langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini terutama kepada:

1.

Keluarga tercinta, Mami, Papi, dan Ferry yang senantiasa menemani, mendukung,

mendoakan, dan memberikan kekuatan moral pada penulis.

2.

Dr. Ir. Joko Hermanianto sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan,

bimbingan, dan segala bantuan kepada penulis selama perkuliahan, penelitian

maupun penyusunan tugas akhir.

3.

Ir. Subarna Msi. dan Dr. Ir. M. Arpah Msi. selaku dosen penguji yang telah

menyumbangkan kritik dan saran yang membangun dalan penyelesaian skripsi ini.

4.

Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Sidik, Pak Wahid, Teh Ida, Pak Rozak, Pak

Solihin, Pak Yahya, Mas Dodithea, dan semua laboran di laboratorium Departemen

ITP atas bantuan dan arahannya.

5.

Ratih Ardianita yang telah memberikan dukungan moral dan motivasi yang sangat

besar selama kuliah.

6.

Hafidha Kusumaningrum yang telah menemani penulis selama kuliah saat senang,

susah, sedih, dan tertawa bersama. Canda tawamu sangat menghibur hati.

Terimakasih banyak atas perhatian lebih dan sayangnya dari “adikku” yang lucu.

7.

Teman-teman satu bimbingan: Este, Bangun, Ajeng, Rizky, Denny Angga, Cici,

Dodi, dan Indri. Serta semua mahasiswa ITP 40.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca.

Bogor, 14 April 2007

(8)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Teddy, dilahirkan di

Jakarta pada tanggal 14 April 1985 dari keluarga

pasangan Benjamin Tanudjaya (Ayah) dan

Minggawati (Ibu). Penulis merupakan anak

pertama dari dua bersaudara. Pendidikan dasar

penulis diawali pada tahun 1991-1997 di SD

Maria Fransiska. Tahun 1997 penulis melanjutkan

pendidikan ke tingkat SLTP di Pax Ecclesia

Bekasi Selatan dan lulus pada tahun 2000. Pada

tahun 2000-2003 penulis menempuh pendidikan di

SMU Marsudirini Kemang Pratama, Bekasi Timur. Pada tanggal 14 Agustus 2003

penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan non akademis. Penulis

berpengalaman menjadi Asisten Praktikum MK. Kimia Dasar pada tahun 2004, Asisten

Praktikum MK. Penerapan Komputer pada tahun 2005-2006, Asisten Praktikum MK.

Biokimia dan Kimia Pangan pada tahun 2005-2006, Asisten Praktikum MK. Evaluasi

Sensori pada tahun 2006-2007, Asisten Praktikum MK. Teknologi Pengalengan Pangan

dan

Technical Assistence

divisi

Software Maintenance

di CCFT, Laboratorium Komputer

Departemen Ilmu dan teknologi Pangan pada tahun 2004-2007. Selain itu, penulis juga

aktif dalam berbagai kegiatan futsal, bilyard, Game PC dan pecinta alam.

(9)

vii DAFTAR ISI

RINGKASAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Bakso Daging Sapi ... 4

B. Pembuatan Bakso Daging Sapi ... 5

C. Formalin ... 8

D. Pengawetan dengan Formalin ... 11

III. BAHAN DAN METODE ... 15

A. Bahan dan Alat ... 15

B. Metode Penelitian ... 15

C. Rancangan Percobaan ... 17

D. Pengamatan ... 18

E. Prosedur Analisis ... 18

1. Analisis kuantitatif Formaldehid ... 18

2. Analisis Mikrobiologi Produk Hewani ... 19

3. Uji Keawetan Bakso ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

A. Hasil Uji Keawetan Bakso secara Visual ... 21

B. Hasil Analisis Total Mikroba ... 24

C. Hasil Analisis Kuantitatif Kadar Residu Formaldehid .... 27

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia ... 3 Tabel 2. Syarat Mutu Objektif dari Bakso Daging Sapi ... 4 Tabel 3. Kriteria Mutu Sensori Bakso ... 5 Tabel 4. Hasil pengamatan penggunaan Bahan Tambahan Makanan

(11)

SKRIPSI

PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU

FORMALINNYA

Oleh: TEDDY F24103118

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

iii

Teddy. F24103118. Pengaruh Konsentrasi Formalin dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalin dan Keawetan Bakso. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Joko Hermanianto. 2007.

Ringkasan

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable). Daging diolah menjadi produk-produk olahan daging dengan tujuan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai tambahnya. Produk olahan daging yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah bakso. Bakso umumnya memiliki umur simpan hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari pada suhu ruang. Dalam upaya memperpanjang umur simpan bakso, pihak industri kerap kali menambahkan formalin saat perebusan akhir dalam proses produksi bakso.

Penelitian ini bertujuan mengurangi kadar formalin (deformalinisasi) pada bakso daging sapi, sehingga memenuhi kriteria sebagai berikut (1) residu formalin pada bakso ≤ 0.05 ppm, (2) memiliki keawetan ≥ 4 hari pada suhu kamar, dan (3) nilai Total Plate Count (TPC) dengan batas maksimal menurut SNI sebesar 1.0 x 105 koloni/gram.

Perlakuan deformalinisasi dilakukan dengan cara merendam bakso yang mengandung formalin dalam air panas yang diikuti proses perebusan selama 10 menit atau penggorengan dan dilanjutkan dengan analisis kuantitatif kadar residu formaldehid pada bakso dengan metode spektrofotometri dan analisis total mikroba (TPC),serta dilakukan uji keawetan secara visual (warna, bau, kelengketan, dan kekerasan) dari bakso selama penyimpanan (4 hari) pada suhu ruang.

Hasil pengamatan uji keawetan yang telah dilakukan, sampel bakso kontrol tanpa formalin memiliki umur simpan hanya 1 hari, sampel bakso yang direbus dengan penambahan formalin 0.05 ppm memiliki umur simpan 2 hari, yang direbus dengan penambahan formalin 50 ppm memiliki umur simpan 3 hari, yang direbus dengan penambahan formalin 150 ppm memiliki umur simpan 5 hari, dan yang direbus dengan penambahan formalin 250 ppm memiliki umur simpan 6 hari. Perlakuan penambahan formalin dapat menghambat pertumbuhan mikroba dengan demikian dapat memperpanjang umur simpan bakso tersebut pada suhu ruang.

Hasil pengamatan parameter Total Plate Count (TPC) pada sampel bakso kontrol tanpa formalin pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.7 x 105 koloni/gram, sedangkan bakso dengan perlakuan penambahan formalin dengan konsentrasi 250 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut: sampel pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.4 x 104 koloni/gram, sampel pada hari ke-4 memiliki nilai TPC sebesar 1.7 x 106 koloni/gram, dan sampel pada hari ke-6 memiliki nilai TPC sebesar 1.4 x 107 koloni/gram. Hasil ini menunjukkan keefektifan sifat bakteriostatik dari formalin karena kemampuannya untuk memperlambat laju pertumbuhan mikroba pada bakso yang disimpan pada suhu ruang.

(13)

iv

mg/kg bb, sampel A1B1C1 sebesar 39.58 mg/kg bb, sampel A1B2C1 sebesar 34.00 mg/kg bb, sampel A1B3C1 sebesar 24.53 mg/kg bb, sampel A1B4C1 sebesar 13.55 mg/kg bb, sampel A1B1C2 sebesar 43.88 mg/kg bb, sampel A1B2C2 sebesar 41.07 mg/kg bb, sampel A1B3C2 sebesar 37.89 mg/kg bb, dan sampel A1B4C2 sebesar 33.76 mg/kg bb. Hasil analisis kuantitatif formaldehid untuk sampel dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm menunjukkan hasil sebagai berikut : pada sampel sebelum dideformalinisasi memiliki konsentrasi formaldehid sebesar 63.23 mg/kg bb, sampel A2B1C1 sebesar 58.12 mg/kg bb, sampel A2B2C1 sebesar 45.23 mg/kg bb, sampel A2B3C1 sebesar 32.68 mg/kg bb, sampel A2B4C1 sebesar 18.12 mg/kg bb, sampel A2B1C2 sebesar 61.2485 mg/kg bb, sampel A2B2C2 sebesar 59.70 mg/kg bb, sampel A2B3C2 sebesar 54.16 mg/kg bb, dan sampel A2B4C2 sebesar 51.12 mg/kg bb.

Dari hasil yang diperoleh, perlakuan perendaman bakso dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan perebusan selama 10 menit (A4) merupakan perlakuan deformalinisasi yang paling efektif, yang dapat menurunnya kandungan formaldehid awal dari 63.23 mg/kg bb mencapai 18.07 mg/kg bb atau menurun ± 70.76% dari kandungan formaldehid awal pada bakso dengan perlakuan penambahan formaldehid 250 ppm pada perebusan. Walaupun demikian, kadar residu formaldehid pada bakso masih melebihi batas safety yaitu 0.05 ppm (MFL Inc., 2004).

(14)

Sebuah Karya ini saya persembahkan

untuk Orangtua dan Adik saya tercinta

Jikalau Aku dapat memimpikanya,

Maka Aku pasti dapat melakukannya

(15)

PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU

FORMALINNYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: TEDDY F24103118

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU

FORMALINNYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: TEDDY F24103118

Dilahirkan pada tanggal 14 April 1985 Di Jakarta

Tanggal lulus: April 2007

Menyetujui, Bogor, April 2007

Dr. Ir. Joko Hermanianto Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

(17)

v

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian yang berjudul ”

Pengaruh Konsentrasi Formalin Terhadap Keawetan

Bakso dan Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalinnya

”.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis, baik secara

langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini terutama kepada:

1.

Keluarga tercinta, Mami, Papi, dan Ferry yang senantiasa menemani, mendukung,

mendoakan, dan memberikan kekuatan moral pada penulis.

2.

Dr. Ir. Joko Hermanianto sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan,

bimbingan, dan segala bantuan kepada penulis selama perkuliahan, penelitian

maupun penyusunan tugas akhir.

3.

Ir. Subarna Msi. dan Dr. Ir. M. Arpah Msi. selaku dosen penguji yang telah

menyumbangkan kritik dan saran yang membangun dalan penyelesaian skripsi ini.

4.

Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Sidik, Pak Wahid, Teh Ida, Pak Rozak, Pak

Solihin, Pak Yahya, Mas Dodithea, dan semua laboran di laboratorium Departemen

ITP atas bantuan dan arahannya.

5.

Ratih Ardianita yang telah memberikan dukungan moral dan motivasi yang sangat

besar selama kuliah.

6.

Hafidha Kusumaningrum yang telah menemani penulis selama kuliah saat senang,

susah, sedih, dan tertawa bersama. Canda tawamu sangat menghibur hati.

Terimakasih banyak atas perhatian lebih dan sayangnya dari “adikku” yang lucu.

7.

Teman-teman satu bimbingan: Este, Bangun, Ajeng, Rizky, Denny Angga, Cici,

Dodi, dan Indri. Serta semua mahasiswa ITP 40.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca.

Bogor, 14 April 2007

(18)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Teddy, dilahirkan di

Jakarta pada tanggal 14 April 1985 dari keluarga

pasangan Benjamin Tanudjaya (Ayah) dan

Minggawati (Ibu). Penulis merupakan anak

pertama dari dua bersaudara. Pendidikan dasar

penulis diawali pada tahun 1991-1997 di SD

Maria Fransiska. Tahun 1997 penulis melanjutkan

pendidikan ke tingkat SLTP di Pax Ecclesia

Bekasi Selatan dan lulus pada tahun 2000. Pada

tahun 2000-2003 penulis menempuh pendidikan di

SMU Marsudirini Kemang Pratama, Bekasi Timur. Pada tanggal 14 Agustus 2003

penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan non akademis. Penulis

berpengalaman menjadi Asisten Praktikum MK. Kimia Dasar pada tahun 2004, Asisten

Praktikum MK. Penerapan Komputer pada tahun 2005-2006, Asisten Praktikum MK.

Biokimia dan Kimia Pangan pada tahun 2005-2006, Asisten Praktikum MK. Evaluasi

Sensori pada tahun 2006-2007, Asisten Praktikum MK. Teknologi Pengalengan Pangan

dan

Technical Assistence

divisi

Software Maintenance

di CCFT, Laboratorium Komputer

Departemen Ilmu dan teknologi Pangan pada tahun 2004-2007. Selain itu, penulis juga

aktif dalam berbagai kegiatan futsal, bilyard, Game PC dan pecinta alam.

(19)

vii DAFTAR ISI

RINGKASAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Bakso Daging Sapi ... 4

B. Pembuatan Bakso Daging Sapi ... 5

C. Formalin ... 8

D. Pengawetan dengan Formalin ... 11

III. BAHAN DAN METODE ... 15

A. Bahan dan Alat ... 15

B. Metode Penelitian ... 15

C. Rancangan Percobaan ... 17

D. Pengamatan ... 18

E. Prosedur Analisis ... 18

1. Analisis kuantitatif Formaldehid ... 18

2. Analisis Mikrobiologi Produk Hewani ... 19

3. Uji Keawetan Bakso ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

A. Hasil Uji Keawetan Bakso secara Visual ... 21

B. Hasil Analisis Total Mikroba ... 24

C. Hasil Analisis Kuantitatif Kadar Residu Formaldehid .... 27

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(20)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia ... 3 Tabel 2. Syarat Mutu Objektif dari Bakso Daging Sapi ... 4 Tabel 3. Kriteria Mutu Sensori Bakso ... 5 Tabel 4. Hasil pengamatan penggunaan Bahan Tambahan Makanan

(21)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kurva hasil uji keawetan secara sensoris pada sampel bakso dengan beberapa variasi konsentrasi formalin ... 22 Gambar 2. Hasil analisis Total Plate Count pada sampel bakso

dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm ... 24 Gambar 3. Jumlah kandungan mikroba produk pangan sebagai

indikator kebusukan ... 25 Gambar 4. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan

perebusan dan penggorengan dengan residu formaldehid pada bakso 150 ppm ... 28 Gambar 5. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan

perebusan dan penggorengan dengan residu formaldehid pada bakso 250 ppm ... 29 Gambar 6. Trendline penurunan kadar residu formaldehid dengan

perlakuan deformalinisasi pada bakso 150 ppm ... 30 Gambar 7. Trendline penurunan kadar residu formaldehid dengan

(22)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso ... 39 Lampiran 2. Metabolisme formaldehid dalam tubuh manusia ... 40 Lampiran 3. Kandungan formaldehid dalam bahan pangan ... 41 Lampiran 4. Metode pembuatan kurva standar formalin ... 42 Lampiran 5. Hasil perhitungan hurva standar formalin dengan

konsentrasi larutan 150 ppm ... 43 Lampiran 6. Hasil perhitungan hurva standar formalin dengan

konsentrasi larutan 250 ppm ... 43 Lampiran 7. Hasil analisis kuantitatif formalin pada

bakso 150 ppm ... 44 Lampiran 8. Hasil analisis kuantitatif formalin pada

bakso 250 ppm ... 45 Lampiran 9. Hasil Perhitungan Residu Formaldehid dalam Bakso . 46 Lampiran 10. Hasil pengamatan uji mikrobiologi pada bakso

250 ppm ... 47 Lampiran 11. Hasil Pengamatan uji keawetan bakso pada

berbagai konsentrasi ... 48 Lampiran 12. Hasil Pengolahan Data dengan menggunakan

(23)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut undang-undang RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pada Bab II mengenai Keamanan Pangan, pasal 10 tentang Bahan Tambahan Makanan dicantumkan, (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang telah ditetapkan . (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana pada ayat (1).

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang sangat populer. Banyak orang menyukainya, dari anak-anak sampai orang dewasa. Meski bakso sangat memasyarakat, ternyata pengetahuan masyarakat mengenai bakso yang aman dan baik untuk dikonsumsi, masih kurang. Hal ini terbukti dengan masih banyak beredarnya bakso yang menggunakan formalin dan tetap dikonsumsi.

Maraknya penggunaan formalin pada bahan makanan merupakan berita yang sangat mengejutkan pada penghujung tahun 2005 dan awal tahun 2006, walaupun sebenarnya masalah tersebut sudah muncul ke permukaan sejak beberapa tahun lalu. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB POM) telah melakukan uji laboratorium pada 761 sampel makanan di beberapa kota besar di Indonesia. Hasilnya beberapa jenis makanan olahan, yaitu mie basah, bakso, tahu, dan ikan asin, positif mengandung formalin. Hal yang memprihatinkan adalah kenyataan bahwa formalin tidak saja ditemukan pada bahan makanan yang dijual di pasar tradisional, tetapi juga ditemukan pada bahan makanan yang dijual di beberapa supermarket besar (Anonim, 2006).

(24)

2

Pemasaran bakso di pasar tradisional umumnya dilakukan pada kondisi suhu ruang dan lingkungan yang kurang saniter. Kondisi tersebut didukung oleh faktor internal bakso yaitu kandungan protein yang tinggi, pH mendekati netral, Kadar air sekitar 80%, dan aw sebesar 0.95 menyebabkan masa simpannya sangat singkat yaitu umumnya hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari (Widyaningsih, 2006). Di lain pihak industri bakso umumnya memiliki target masa penyimpanan bakso pada suhu ruang adalah 4 hari, yaitu 1 hari di pabrik, 1 hari di pedagang grosir, 1 hari di pedagang menengah, dan 1 hari di pedagang keliling. Bahan pengawet sering kali ditambahkan pada saat perebusan akhir dalam proses produksi bakso, misalnya formalin.

Ada beberapa hal yang menyebabkan peningkatan pemakaian formalin sebagai bahan pengawet makanan, antara lain (1) harganya sebesar Rp. 7000/liter, jauh lebih murah dibanding pengawet lainnya, seperti natrium benzoat Rp. 20000/kg atau potasium sorbat Rp.70000/kg, (2) jumlah yang digunakan tidak perlu sebesar pengawet lainnya, misalnya 1 liter formalin komersil (37-40%) untuk 10 ton ikan laut sedangkan untuk dosis penggunaan natrium benzoat sebesar 0.1% dari bahan yang akan diawetkan, (3) mudah digunakan untuk proses pengawetan karena bentuknya larutan, pada umumnya 0.15-0.25 ml formalin komersil per 10 liter air, (4) waktu pemrosesan pengawetan lebih singkat, (5) mudah didapatkan di toko kimia dalam jumlah besar, dan (6) rendahnya pengetahuan masyarakat produsen tentang bahaya formalin (Widyaningsih, 2006).

(25)

3

Tabel 1. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia

Pengaruh Bagi Kesehatan Konsentrasi formaldehid (ppm)

Tidak ada pengaruh ≤ 0.05

Ambang batas bau (Odor threshold) 0.05 – 1.00

Iritasi Mata* 0.01 – 2.00

Iritasi dan kesulitan pernapasan 0.10 – 25.00 Kerusakan kronis paru – paru 5.00 – 30.00 Pembengkakan dan peradangan pada

paru-paru

50.00 – 100.00

kematian >100.00

* iritasi pada 0.01 ppm terjadi karena percampuran formaldehid dan polutan lain

Sumber : Manitoba Federation of Labour (MFL) Inc., 2004

Menurut Sukesi (2006), deformalinisasi pada bahan pangan cukup mudah dilakukan, misalnya untuk deformalinisasi ikan asin dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin tersebut dalam 3 macam larutan, yakni air, air garam, dan air leri. Menurut hasil penelitian Sukesi (2006), perendaman ikan asin dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin sampai 61.25%, dengan air leri (air cucian beras) mencapai 66,03%, dan dengan air garam mampu menurunkan kadar formalin hingga 89,53%. Pada penelitian ini dilakukan deformalinisasi pada bakso daging sapi yang mengandung formalin dengan cara merendam bakso tersebut pada air panas, lalu dikombinasikan dengan penggorengan atau perebusan bakso selama 10 menit.

B. Tujuan Penelitian

(26)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BAKSO DAGING SAPI

Menurut SNI, bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging tidak kurang dari 50%, sedangkan menurut Widyaningsih (2006), bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan maupun udang.

Menurut Wibowo (2005), bakso daging sapi memiliki komposisi kimia (prosimat) sebagai berikut kadar air 77.85%, kadar protein 6.95%, kadar lemak 0.31% dan kadar abu 1.75%. Sedangkan menurut Hultin (1976), daging sapi memiliki kadar air 70-73%, kadar protein 20-22%, kadar lemak 4-8%, dan kadar abu 1%.

Menurut SNI, bakso daging sapi yang aman dikonsumsi harus memenuhi syarat mutu seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Syarat Mutu Objektif dari Bakso Daging Sapi

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Air % b/b Maks 70.0

2 Abu % b/b Maks 3.0

3 Protein % b/b Min 9.0

4 Lemak % b/b Maks 2.0

5 Boraks - Tidak boleh ada

6 Cemaran Mikroba

6.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 1.0 x 105 6.2 Escherichia coli APM/g < 3 6.3 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 1.0 x 102

(27)

5 Tabel 3. Kriteria Mutu Sensori Bakso

Parameter Bakso daging

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam. Sedikit pun tidak tampak

berjamur, dan tidak berlendir.

Warna Cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau cokelat muda hingga cokelat muda agak keputihan atau

abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur)

Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, asam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam. Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu

cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.

Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah

berair, dan tidak rapuh. Sumber : Wibowo, 2005

Elviera (1988) menyatakan bahwa bakso yang beredar umumnya menggunakan daging sapi. Hasil survey yang telah dilakukan Andayani (1999) menunjukkan bahwa karakteritik bakso sapi yang disukai konsumen adalah rasanya yang gurih, agak asin, memiliki rasa daging kuat, berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging rebus serta memiliki tekstur yang empuk dan agak kenyal.

B. PEMBUATAN BAKSO DAGING SAPI

Bahan-bahan yang umum digunakan dalam pembuatan bakso yaitu daging segar, tepung tapioka, bumbu-bumbu, es atau air es, dan bahan pengawet.

(28)

6

terdapat pada daging sebaiknya dipisahkan dulu. Namun, untuk membuat bakso urat justru dilakukan penambahan urat atau seratnya sebesar 11-20% dari berat adonan (Wibowo, 2005).

Bahan lain yang diperlukan adalah bahan pengisi, umumnya digunakan tepung tapioka. Fungsi bahan pengisi adalah untuk memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta menurunkan biaya produksi (Kramlich,1971). Menurut Wibowo (2005), untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya paling banyak 15% dari berat daging. Idealnya, tepung tapioka yang ditambahkan sebanyak 10% dari berat daging.

Bumbu-bumbu yang sering ditambahkan adalah garam dapur halus dan MSG. Menurut Wibowo (2005), Garam berfungsi sebagai pelarut protein dan meningkatkan daya ikat protein otot. Jumlah garam yang dibutuhkan sebesar 2.5% dari berat daging. Menurut Pearson dan Tauter (1984), Monosodium glutamat (MSG) digunakan sebagai pembangkit citarasa. Menurut Wibowo (2005), sebaiknya tidak menggunakan MSG sebagai penyedap rasa karena sejauh ini masih diperdebatkan dan dicurigai menjadi penyebab berbagai kelainan kesehatan seperti kanker. Untuk menggantikan MSG dapat ditambahkan bumbu penyedap yang dibuat dari campuran bawang putih dan merica. Jumlah bumbu penyedap yang ditambahkan sebesar 2% dari berat daging.

Bahan lain yang diperlukan adalah es atau air es. Menurut Wibowo (2005), selama proses penggilingan, es atau air es berfungsi untuk mempertahankan suhu agar tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi, memperlancar ekstraksi protein, menambahkan air ke adonan sehingga tekstur adonan tidak kering, dan meningkatkan rendemen. Penambahan es sebanyak 10-15% dari berat daging, atau bahkan 30% dari berat daging.

(29)

7

meningkatkan keempukan, daya ikat partikel daging, tekstur, gelatinisasi pati-protein, menstabilkan flavor, aroma, dan warna, serta dapat menurunkan aktivitas air (aw) sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan bakso. Penggunaan STPP dalam pembuatan adonan bakso sebesar 0.25% dari berat adonan bakso.

Menurut Wibowo (2005), bakso memiliki masa simpan maksimal satu hari pada suhu kamar, maka diperlukan penambahan bahan pengawet. Untuk memperpanjang daya awet dilakukan pencelupan bakso ke dalam larutan formalin, hal ini menyebabkan tekstur bakso lebih kenyal dan aroma khas daging rebus dari bakso tidak akan tercium, Perbandingan hasil produk bakso yang menggunakan Bahan Tambahan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengamatan penggunaan Bahan Tambahan Makanan pada bakso Pengamatan Bakso Kontrol Bakso dgn STPP Bakso dgn Boraks Bakso dgn Formalin

Kekenyalan ++ +++ +++ ++++

Tekstur Agak kasar Halus dan kompak

Halus dan kompak

Lebih halus dan kompak Warna Abu-abu

normal

Abu-abu normal

Lebih terang Lebih terang

Daya Simpan 1 hari 1-2 hari 3 hari 3 hari Sumber : Winarno, 1994

Prinsip pembuatan bakso dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan perebusan (wilson et al., 1981).

(30)

8

menambahkan, jika daging yang digunakan sudah sempat dilayukan maka ditambahkan polifosfat (sebaiknya digunakan natrium tripolifosfat) sebanyak 0.75% dan garam dapur 4% dari berat daging.

Pembuatan adonan yaitu dengan menggiling daging yang telah dihaluskan bersama-sama es batu dan garam dapur, baru kemudian ditambahkan bahan lain dan tepung tapioka hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini umumnya menggunakan silent cutter. Menurut Wibowo (2005), semakin tinggi kecepatan mesin, makin bagus adonan yang terbentuk.

Menurut Widyaningsih (2006), biasanya ada tiga ukuran bakso, yaitu ukuran besar, sedang, dan kecil. Bakso besar berukuran 40, yaitu satu kilogram berisi 40 butir dengan berat 25 g/butir. Bakso sedang berukuran 50 (50 butir/kg) dengan berat rata-rata 20 g/butir. Bakso yang kecil berukuran 60 (60 butir/kg) dengan berat sekitar 15-17 g/butir. Dalam membentuk bola bakso sebaiknya ukurannya diusahakan seragam, sehingga bakso dapat matang bersamaan dan mempermudah pengendalian proses.

Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih. Jika bakso sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang dan perebusan dihentikan. Menurut Wibowo (2005), umumnya bahan pengawet seperti formalin ditambahkan pada perebusan akhir yang dilakukan selama 15 menit.

C.FORMALIN

Menurut Hart (1983), formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30-50% gas formaldehid dan ditambahkan metanol sebanyak 10-15% untuk mencegah terjadinya polimerisasi formaldehid.

(31)

9

[image:31.612.166.485.172.474.2]

monoksida. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfer membentuk asam format, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida oleh sinar matahari (WHO, 2002). Karakteristik fisiko kimia formaldehid dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik formaldehid

Nama Formaldehid, metanal, metil aldehid, metilen oksida

Struktur

Rumus kimia H2CO

Berat molekul 30.03

Titik leleh -118 to -92 ºC

Titik didih -21 to -19 ºC

Triple point 155.1 K (-118.0 ºC)

Densitas 1.13 x 103 kg/m3

Tekanan Uap (Pa, 25ºC) 516000 Kelarutan (mg/liter, 25ºC) 400000 - 550000 Faktor konversi 1 ppm = 1.2 mg/m3 Sumber : World Health Organization (WHO), 2002

Formaldehid merupakan produk metabolisme normal yang penting bagi biosintesis beberapa asam amino di dalam tubuh. Level formaldehid pada jaringan endogenous yang secara metabolik membentuk formaldehid adalah 3-12 mg/g jaringan. Formaldehid endogenous berasal dari proses inhalasi, asupan oral, dan melalui kulit. Formaldehid yang diasup secara oral akan diserap oleh saluran gastrointestinal. Formaldehid yang diinhalasi akan diserap oleh saluran pernafasan bagian atas tetapi tidak didistribusikan ke seluruh tubuh karena metabolismenya yang cepat (Heck et al., 1985).

(32)

10

menjadi asam format cepat terjadi. Namun kandungan asam format yang tinggi dapat meningkatkan keasaman darah.

Menurut Bardana dan Montanaro (1991), metabolisme formaldehid di dalam tubuh terdiri dari 4 jalur yaitu :

1. Formaldehid dimetabolisme menjadi asam format, kemudian diubah menjadi CO2 dan dikeluarkan melalui pernafasan.

2. Formaldehid dimetabolisme menjadi asam format, kemudian diubah menjadi garam (garam natrium dan garam format) atau tetap sebagai asam format untuk dibuang sebagai urin. Jalur metabolisme formaldehid menjadi asam format tergantung konsentrasi glutation didalam tubuh. Mekanismenya dapat dilihat pada lampiran 2.

3. Formaldehid dimetabolisme menjadi asam format, kemudian diinkorporasikan ke dalam one-carbon pool (metabolisme yang menggunakan karbon tunggal dalam biosintesis). Jalur metabolisme ini tergantung dari jumlah konsentrasi folat di dalam tubuh karena one-carbon pool memerlukan tetrahidrofolate yang disintesis dari folat.

4. Formaldehid keluar dari jalur metabolisme dan bereaksi dengan makromolekul seperti DNA, RNA, dan protein.

Menurut United States Environmental Protection Agency (US EPA) (1991), Formaldehid yang diasup secara oral, pernafasan, atau melalui kulit masih dapat dimetabolisme pada nilai Acceptable Daily Index (ADI) 0.2 mg/kg berat badan. Hasil penelitian secara epidemilogi mengenai paparan formaldehid telah direview oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) dan WHO, beberapa menunjukkan kasus yang terjadi sangat sedikit dan menunjukkan formaldehid tidak menyebabkan tingkat kanker yang berlebih.

(33)

11

pada air minum yang didasari pertimbangan kesehatan dapat diturunkan dari Tolerable Daily Intake (TDI) berikut ini :

Keterangan :

¾ 0.15 mg/kg berat badan adalah nilai TDI

¾ 70 kg adalah berat badan rata – rata orang dewasa

¾ 0.05 adalah proporsi asupan harian yang dialokasikan untuk air minum

¾ 1.5 L/hari adalah konsumsi air rata –rata per hari untuk orang dewasa

Formalin adalah bahan yang sangat diperlukan dalam industri. Dalam bidang industri, formalin digunakan dalam produksi pupuk, bahan fotografi, parfum, kosmetika, pencegahan korosi, perekat kayu lapis, bahan pembersih, insektisida, plastik, cermin, serta kaca (Widyaningsih, 2006). Formalin juga diaplikasikan dalam bidang medis untuk sterilisasi dan desinfektan yang dapat membunuh algae, protozoa, dan organisme uniseluler lain dengan konsentrasi akut letal berkisar 0.3-22 mg/L (WHO, 1989).

Menurut Trezl et al. (1996), bahan pangan secara alami mengandung formaldehid, dengan level 1 mg/kg sampai 90 mg/kg. Kontaminasi terhadap pangan bisa terjadi melalui fumigasi, bahan tambahan pangan, atau pemasakan. Asupan dari makanan tergantung komposisi makanan itu sendiri. Bagi orang dewasa, jumlahnya berkisar 1.5-14 mg/hari. Kandungan formaldehid pada beberapa bahan pangan dapat dilihat pada lampiran 3.

D. PENGAWETAN DENGAN FORMALIN

Penggunaan formalin dimaksudkan untuk memperpanjang umur simpan, karena formalin adalah senyawa antimikroba yang efektif dalam membunuh bakteri, bahkan virus sekalipun. Selain itu, interaksi antara formaldehid (senyawa kimia dalam formalin) dengan protein dalam pangan menghasilkan tekstur yang tidak rapuh yang untuk beberapa produk pangan seperti tahu, mie basah, ikan segar, ikan asin dan bakso memang dikehendaki oleh konsumen.

(34)

12

Pada umumnya formalin digunakan dalam pangan yang mengandung banyak air atau tinggi aktivitas air (aw) nya. Produk-produk dengan aw lebih dari 0.85 sangat disukai oleh mikroba termasuk mikroba pembusuk sehingga secara alami produk tersebut mudah rusak (perishable) dan tidak dapat disimpan pada suhu ruang dalam jangka waktu lama.

Umur simpan tersebut menjadi semakin pendek apabila jumlah mikroba awal sangat tinggi karena proses pengolahannya yang tidak mengindahkan praktek-praktek yang baik (good practices) serta penerapan sanitasi yang baik. Sebagai contoh, idealnya bakso yang memiliki aw sebesar 0.95 dapat memiliki umur simpan sampai dengan 24 jam. Akan tetapi, pada kenyataannya waktu penyimpanan produk bakso tersebut sudah mulai rusak sebelum 24 jam karena jumlah bakteri awal yang tinggi.

Menurut WHO (2002), formaldehid terdapat dalam produk makanan karena kegunaannya sebagai zat bakteriostatik yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroba dalam produk pangan sehingga umur simpan produk tersebut meningkat.

Larutan formaldehid adalah desinfektan yang efektif melawan bakteri vegetatif, jamur, atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora bakteri. Formaldehid bereakdi dengan protein, dan hal tersebut mengurangi aktivitas mikroorganisme. Efek sporosidnya yang meningkat tajam dengan adanya kenaikan suhu. Larutan formaldehid 0,5% dalam waktu 6-12 jam dapat membunuh bakteri dan dalam waktu 2-4 hari dapat membunuh spora, sedangkan larutan formaldehid 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam (WHO, 2002).

Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan asam amino bebas dalam protein menjadi hidrokoloid. Kemampuan dari formaldehid meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Cahyadi, 2006).

(35)

13

Formaldehid dapat merusak bakteri karena bakteri adalah protein. Formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada protoplasma sel, merusak nukleus, dan mengkoagulasi protein (Fazier dan Westhoff, 1988).

Menurut Barnen and Davidson (1983), pada reaksi formaldehid dengan protein, yang pertama kali diserang adalah gugus amina pada posisi dari lisin di antara gugus-gugus polar dari peptidanya. Formaldehid menyerang gugus ε -NH2 dari lisin dan selain itu juga pada gugus ε-NH2 histidin dan tirosin.

Pengikatan formaldehid pada gugus ε-NH2 dari lisin berjalan lambat dan merupakan reaksi yang searah, sedangkan ikatannya dengan gugus asam amino bebas berjalan cepat dan merupakan reaksi bolak-balik. Ikatan formaldehid dengan gugus amino dalam reaksi ini tidak dapat dihilangkan dengan dianalisis sehingga ikatan ini turut menyokong kestabilan struktur molekul (Marquie et al.,1997). Bentuk hasil ikatan silang antara formaldehid dengan asam amino lisin dari protein dapat digambarkan sebagai berikut:

Protein ─ Lys – NH – CH2 – NH – Lys ─ Protein

Menurut Cahyadi (2006), sifat penetrasi formaldehid cukup baik, tetapi gerakan penetrasinya lambat hingga walaupun formaldehid dapat digunakan untuk mengawetkan sel-sel tapi tidak dapat melindunginya secara sempurna, kecuali bila diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras.

Selain bakso, terdapat sejumlah produk pangan lainnya yang secara sengaja ditambahkan formalin sebagai pengawet. Menurut Widyaningsih (2006), tanda-tanda produk pangan yang mengandung formalin adalah sebagai berikut:

• Tahu

Bentuknya sangat bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet beberapa hari dan tidak mudah busuk. Bau agak menyengat dan aroma kedelai sudah tak tercium lagi.

• Mie Basah

(36)

14

• Ikan asin

Daging kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dibandingkan ikan asin tanpa formalin agak berwarna coklat dan lebih tahan lama.

• Ikan segar

Warnanya putih bersih, kenyal, insangnya berwarna merah tua bukan merah segar, awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk.

• Ayam potong

(37)

15

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi dan tepung tapioka sebagai bahan baku pembuatan bakso, bahan tambahan yang terdiri dari garam, STPP, dan es batu serta bumbunya seperti bawang merah, bawang putih, merica bubuk, dan MSG yang diperoleh dari salah satu tempat produksi bakso. Bahan pengawet yang digunakan adalah formaldehid 36.5% yang berasal dari Ruang Stock Departemen ITP, Bogor. Bahan-bahan lainnya adalah bahan untuk analisis kimia, yaitu Nashmenits reagent (campuran 15 g NH4CH3COO, 0.3 ml CH3COOH, dan 0.2 ml asetil aseton dalam akuades) yang didapat dari Laboratorium Jasa Analisis Departemen ITP Bogor dan bahan untuk analisis mikrobiologi, yaitu larutan pengencer, alkohol 70%, dan media PCA yang didapat dari Ruang Stock Departemen ITP, Bogor.

Alat yang digunakan adalah peralatan untuk membuat bakso seperti kompor dan panci perebusan serta peralatan untuk analisis kimia seperti neraca analitik, destilator, peralatan gelas dan spektrofotometer dan uji mikrobiologi seperti bunsen, cawan petri, pipet, stomacher, otoklaf dan inkubator.

B. Metode penelitian

1. Penelitian pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan survey untuk mengamati bakso dengan penambahan formalin yang biasa dilakukan di industri, sehingga bisa dijadikan acuan penelitian selanjutnya.

2. Penelitian utama

(38)

16

konsentrasi formaldehid ≤ 0.05 ppm tidak mempengaruhi kesehatan manusia.

Pada tahap ini juga dilakukan deformalinisasi dan uji kuantitatif kadar residu formalin, analisis total mikroba sehingga bakso dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi, dan uji keawetan secara visual (warna, bau, kelengketan, dan kekerasan) dari bakso selama penyimpanan (7 hari) pada suhu ruang.

Perlakuan teknik deformalinisasi yang dilakukan seperti perlakuan perendaman dengan air panas yang mengacu pada penelitian Sukesi (2006), perendaman ikan asin dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin sampai 61.25% dan menurut Wibowo (2006), pada umumnya bakso mengalami perlakuan tambahan sebelum dikonsumsi seperti penggorengan dan perebusan selama 10 menit. Perlakuan yang dilakukan dengan variasi sebagai berikut :

A1B1C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 0 menit + perebusan 10 menit

A1B2C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 15 menit + perebusan 10 menit

A1B3C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 30 menit + perebusan 10 menit

A1B4C1 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 60 menit + perebusan 10 menit

A1B1C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 0 menit + penggorengan

A1B2C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 15 menit + penggorengan

A1B3C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 30 menit + penggorengan

A1B4C2 : Konsentrasi formalin 150 ppm + Perendaman air panas 60 menit + penggorengan

(39)

17

A2B2C1 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 15 menit + perebusan 10 menit

A2B3C1 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 30 menit + perebusan 10menit

A2B4C1 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 60 menit + perebusan 10menit

A2B1C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 0 menit + penggorengan

A2B2C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 15 menit + penggorengan

A2B3C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 30 menit + penggorengan

A2B4C2 : Konsentrasi formalin 250 ppm + Perendaman air panas 60 menit + penggorengan

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak faktorial sebanyak 3 faktor.

Keterangan :

Y(ijk)n = respon faktor karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor ke A dan taraf ke-j faktor B

µ = pengaruh rata-rata

Ai = pengaruh perlakuan A konsentrasi formalin (150 dan 250 ppm) pada taraf ke-i

Bj = pengaruh perlakuan B waktu perendaman (0, 15, 30 dan 60 menit) pada taraf ke-j

Ck = pengaruh perlakuan C pengolahan bakso (perebusan 10 menit dan pengorengan) pada taraf ke-k

Ai Bj = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B AiCk = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-k faktor C BjCk = pengaruh interaksi taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k faktor C

(40)

18

ABCijk = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k faktor C

εijk = pengaruh kesalahan percobaan pada ulangan ke-n karena pengaruh Ai, Bj, Ck dan ABijk

D. PENGAMATAN

1. Kadar Residu Formaldehid pada Bakso setelah Deformalinisasi 2. Total Plate Count dari Bakso berformalin

3. Umur Simpan atau Keawetan Bakso pada Suhu Ruang 4. Mutu Organoleptik Bakso sebelum dan selama Penyimpanan

E. PROSEDUR ANALISIS

1. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)

Sebanyak 1-2 gram bahan ditambah 100 ml air kemudian dihancurkan. Hancuran dimasukkan ke alat destilasi dan dibiarkan mendidih selama 15 menit. Destilat kemudian ditampung.

(41)

19

dalam penangas air 38ºC untuk menimbulkan warna kuning. Larutan diukur absorbansinya pada 415 nm. Konsentrasi formaldehid dalam sampel ditentukan dengan menggunakan kurva standar.

Persamaan kurva standar : Y = aX + b

Keterangan : X = konsentrasi formaldehid standar (mg/l) Y = absorbansi formaldehid standar

2. Uji Mikrobiologi Produk Hewani (Fardiaz, 1992)

Sampel yang digunakan adalah sampel bakso yang memenuhi kriteria sebagai berikut (1) memiliki kadar residu formalin sebesar ≤ 0.05 ppm, (2) memiliki umur simpan › 4 hari atau bakso yang paling awet, dan (3) memiliki kualitas yang baik yaitu bakso masih terlihat segar.

Sebanyak 10 gram sampel yang ditimbang secara aseptik dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril. Kemudian ditambahkan 90 ml larutan pengencer dan stomacher selama 1 menit.

Sampel yang telah di stomacher kemudian dilakukan pengenceran hingga 10-4 dan dilakukan inokulasi simplo 10-4 dan 10-5.

Penambahan media PCA cair untuk menguji total mikroba dan biarkan media membeku. Setelah membeku, inkubasikan pada suhu 30ºC selama 2 hari dengan posisi terbalik.

Hitung koloni total dengan metode Harrigan seperti dibawah ini:

Keterangan :

Batas koloni yang dihitung = 25-250 cfu N = Total koloni per ml atau gr sampel

C = Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua

d = Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Kadar formaldehid sampel= X x Volume destilat (ml)

Bobot sampel (g)

N = C

(42)

20 3. Uji Sensori Bakso

Sampel bakso diamati secara visual dan dilakukan penilaian setiap hari selama 7 hari. Parameter-parameter yang menunjukkan mutu bakso yang buruk adalah (1) adanya lendir, (2) teksturnya rapuh, (3) adanya jamur, dan (4) berbau asam dan tengik. Penilaian kriteria mutu sensoris bakso mengacu pada tabel 6 yang merupakan hasil dari pengamatan peneliti.

Tabel 6. Penilaian Mutu Sensoris Bakso

Nilai

Parameter

Penampakan Warna Bau Rasa Tekstur

2

Bulat halus dan tidak ada lendir

Abu-abu cerah

Khas daging segar rebus

(+++++)

Enak dan rasa daging dominan Kompak, elastis, dan kenyal 1 Mulai berlendir (+) Abu-abu kusam Khas daging segar rebus (+++)

Enak tapi mulai sedikit hambar Mulai lengket dan basah (+) 0 berlendir (++) Abu-abu kecoklatan (+) Bau asam dan basi Sudah tidak enak dan basi

Lengket (++) tapi tidak rapuh Keterangan : +++++ sangat banyak

(43)

21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable). Daging diolah menjadi produk-produk olahan daging dengan tujuan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai tambahnya. Produk olahan daging yang sangat dikenal oleh masyarakat adalah bakso. Bakso merupakan produk pangan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging tidak kurang dari 50%. Menurut Widyaningsih (2006), faktor internal bakso yaitu kandungan protein yang tinggi, pH mendekati netral, Kadar air sekitar 80%, dan aw sebesar 0.95 menyebabkan masa simpannya sangat singkat yaitu umumnya hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari.

Dalam upaya memperpanjang umur simpan bakso, pihak industri kerap kali menambahkan formalin saat perebusan akhir dalam proses produksi bakso sebanyak tiga sendok makan kedalam 50 liter air untuk 50 kg bakso atau sekitar 250 ppm. Namun menurut Manitoba Federation of Labour (MFL) Inc. (2004), batas konsentrasi formaldehid yang tidak berpengaruh terhadap kesehatan manusia hanyalah sebesar ≤ 0.05 ppm. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perlakuan deformalinisasi dengan cara merendam bakso yang mengandung formalin dalam air panas yang diikuti proses perebusan selama 10 menit atau penggorengan dan dilanjutkan dengan analisis kuantitatif kadar residu formaldehid pada bakso dan analisis total mikroba sehingga bakso tersebut dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi, serta dilakukan uji keawetan secara visual (warna, bau, kelengketan, dan kekerasan) dari bakso selama penyimpanan (4 hari) pada suhu ruang.

A.Hasil Uji Keawetan Bakso secara Visual

(44)

22

bakso secara visual ini sangat erat hubungannya dengan kelayakan bakso secara organoleptik untuk dikonsumsi.

Pada penelitian ini, peneliti mengamati sampel bakso segar tanpa formalin yang kemudian dikonversikan menjadi nilai-nilai mutu sensoris yang dijadikan acuan dalam penilaian uji keawetan sampel bakso secara visual. Nilai-nilai mutu sensoris yang dijadikan acuan peneliti dapat dilihat pada tabel 6. Hasil pengamatan uji keawetan sampel bakso pada beberapa variasi kadar formalin yang ditambahkan dapat dilihat pada gambar 1.

1 2 3 5 6 0 1 2 3 4 5 6 7

0 0.05 50 150 250

Dosis Penambahan Formalin pada air rebusan (ppm)

Um u r si mp a n ( h ari )

Gambar 1. Kurva hasil uji keawetan secara sensoris pada sampel bakso dengan beberapa variasi konsentrasi formalin.

Selama penyimpanan, mutu sensoris bakso yang dapat dikatakan baik adalah bakso yang memiliki penampakan bulat halus tanpa lendir, warna abu-abu cerah, bau khas daging rebus, rasa daging dominan dan enak, serta tekstur yang kompak, elastis dan kenyal. Sedangkan mutu bakso yang buruk adalah (1) adanya lendir, (2) teksturnya rapuh, (3) adanya jamur, dan (4) berbau asam dan tengik.

[image:44.612.148.486.237.418.2]
(45)

23

Konsentrasi formaldehid yang ditambahkan dalam air perebusan akhir dalam pembuatan bakso sangat mempengaruhi besarnya kadar formaldehid yang terserap kedalam bakso dan umur simpan bakso tersebut pada suhu ruang. Semakin besar kadar formaldehid yang terserap maka umur simpan bakso tersebut pada suhu ruang akan semakin lama. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi formaldehid sebagai antimikroba. Formaldehid dapat merusak bakteri. Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada protoplasma sel, merusak nukleus, dan mengkoagulasi protein sehingga mikroba tidak dapat berkembangbiak (Fazier dan Westhoff, 1988).

Perlakuan penambahan formalin juga mempengaruhi tingkat kekenyalan bakso tersebut, dimana perlakuan penambahan formalin membuat tekstur bakso menjadi lebih kenyal. Mekanismenya adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut (Barnen and Davidson, 1983). Bakso memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sehingga semakin banyak formaldehid yang berikatan dengan protein tersebut akan menyebabkan kekenyalan bakso meningkat. Hal serupa juga diungkapkan oleh Oktaviani (2005), kekenyalan mie yang diberi perlakuan penambahan formaldehid 300 ppm meningkat, hal ini disebabkan formaldehid bereaksi membentuk ikatan silang dengan gugus ε-NH2 dari asam amino lisin.

Penelitian kemampuan formaldehid dalam melakukan ikatan silang pada protein telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Biopolimer yang berasal dari film tepung biji kapas akan memiliki daya sobek maksimum (maximum puncture force) yang tinggi jika ditambahkan formaldehid. Formaldehid dapat bereaksi dengan lisin dan menghasilkan ikatan silang protein yang akan memperkuat struktur biopolimer film tepung biji kapas (Marquie et al.,1997). Marquie et al. (1997) juga menambahkan bahwa perubahan sifat mekanis dari film gluten gandum juga disebabkan oleh ikatan silang metilen yang terbentuk akibat reaksi formaldehid dengan grup asam amino bebas lisin. Bentuk ikatan silang metilen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

(46)

24 B.Hasil Analisis Total Mikroba

Analisis mikrobiologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah Total Plate Count (TPC) (bakteri, kapang dan khamir) dari sampel yang ditumbuhkan pada media Plate Count Agar (PCA) dengan suhu inkubasi 30ºC selama 2 hari.

Parameter Total Plate Count (TPC) pada produk pangan sangat penting diperhatikan karena parameter ini erat hubungannya dengan keamanan produk pangan tersebut untuk dikonsumsi dan tingkat kerusakan produk pangan . Oleh karena kesadaran betapa pentingnya parameter ini, hampir semua produk pangan memiliki regulasi batasan maksimal Total Plate Count (TPC) yang terdapat di dalam SNI. Menurut SNI 01-3818 (1995), bakso daging sapi memiliki batas maksimal Total Plate Count (TPC) sebesar 1.0 x 105 koloni/gram.

Pada penelitian ini, analisis total mikroba dilakukan pada sampel bakso dengan kadar formalin yang ditambahkan sebesar 250 ppm karena konsentrasi ini merupakan konsentrasi aktual di industri bakso dan bakso dengan konsentrasi formalin 250 ppm memiliki umur simpan pada suhu ruang terlama yaitu 6 hari. Hasil analisis total mikroba dapat dilihat pada gambar 2.

2.40E+04 2.70E+05 1.70E+06 1.40E+07 1.00E+00 1.00E+01 1.00E+02 1.00E+03 1.00E+04 1.00E+05 1.00E+06 1.00E+07 1.00E+08

kontrol (Ho) sampel (Ho) sampel (H4) sampel (H6)

[image:46.612.148.509.433.607.2]

To ta l M ik ro ba ( k o loni /gr a m )

Gambar 2. Hasil analisis Total Plate Count pada sampel bakso dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm

(47)

25

menunjukkan hasil sebagai berikut: untuk kontrol pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.7 x 105 koloni/gram, sampel pada hari ke-0 memiliki nilai TPC sebesar 2.4 x 104 koloni/gram, sampel pada hari ke-4 memiliki nilai TPC sebesar 1.7 x 106 koloni/gram, dan sampel pada hari ke-6 memiliki nilai TPC sebesar 1.4 x 107 koloni/gram.

Nilai TPC pada kontrol dan sampel hari ke-0 menunjukkan nilai total mikroba awal pada produk bakso tersebut. Nilai total mikroba awal dari suatu produk pangan sangat mempengaruhi umur simpan dari produk tersebut. Nilai total mikroba awal dari produk bakso menjadi hal penting yang harus diamati karena bakso memiliki sifat keasaman rendah, pH yang tinggi, Aw > 0,85 dan kadar air yang tinggi sehingga bakteri mudah berkembang.

Pengamatan pada kontrol hari ke-1 permukaannya sudah mulai berlendir, mulai terdeteksi bau kurang enak dan teksturnya sedikit lengket. Sedangkan pada sampel dengan penambahan formalin hari ke-6 permukaannya mulai berlendir dan sampel hari ke-7 sudah ditumbuhi kapang. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah 3.0 x 106 sampai 3.0 x 108 koloni/gram sampel dan jumlah populasi mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2 x 106 sampai 108.

Keterangan :

a =Kerusakan mikrobial umumnya belum terdeteksi, kecuali pada susu segar yang kemungkinan asam pada kisaran 105-106.

b = Beberapa produk pangan telah menunjukkan tanda-tanda awal kerusakan.

c = Timbul off-odor pada daging yang disimpan dalam kondisi aerobik, serta sayur-sayuran. d = Hampir semua produk menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang nyata. Pembentukkan

[image:47.612.149.495.436.543.2]

lendir banyak terjadi pada daging yang disimpan pada kondisi aerob. e = Pada tahap ini terjadi perubahan struktur produk.

(48)

26

Dari fenomena diatas, dapat dijelaskan bahwa formaldehid lebih bersifat bakteriostatik daripada bakterisidal karena kemampuannya untuk memperlambat laju pertumbuhan mikroba dan reaksi dari formaldehid tersebut berjalan lambat.

Pada umumnya mikroba pembentuk lendir termasuk genus Pseudomonas, Achomobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus dan beberapa species Lactobacillus (Frazier dan Westhoff, 1988).

Formaldehid memiliki daya antimikroba yang cukup luas, yaitu terhadap Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aerogenosa, pseudomonas florescens, Candida albicans, Aspergillus niger, atau Penicillium notatum (Cahyadi, 2006).

Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan asam amino bebas dalam protein menjadi turunan hidroksimetil. Kemampuan dari formaldehid meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Cahyadi, 2006). Mekanisme formalin sebagai pengawet juga dijelaskan oleh Fazier dan Westhoff (1988), jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antar protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut. Formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada protoplasma sel, merusak nukleus, dan mengkoagulasi protein.

Formaldehid dapat merusak bakteri. Pada reaksi formaldehid dengan protein, yang pertama kali diserang adalah gugus amina pada posisi dari lisin di antara gugus-gugus polar dari peptidanya. Formaldehid selain menyerang gugus ε-NH2 dari lisin juga menyerang residu tirosin dan histidin (Barnen and Davidson, 1983). Reaksi antara formaldehid dengan beberapa asam amino lisin dapat diilustrasikan pada reaksi berikut:

2(Prot-C4H8-NH3) + HCOH Prot-C4H8-NH-CH-NH-C4H8-Prot + H2O (Lisin) (Formaldehid) (rangkaian protein) (air)

(49)

27

mikroorganisme. Larutan formaldehid 0.5% dalam waktu 6-12 jam dapat membunuh bakteri dan dalam waktu 2-4 hari dapat membunuh spora. Sedangkan larutan formaldehid 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam (Barnen and Davidson, 1983).

C.Hasil Analisis Kuantitatif Kadar Residu Formaldehid

Analisis kuantitatif kadar residu formaldehid dilakukan dengan tujuan mengetahui kadar formaldehid yang terkandung pada sampel bakso setelah mengalami deformalinisasi dan proses pengolahan tambahan seperti perebusan selama 10 menit atau penggorengan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis kuantitatif formaldehid ini adalah pembuatan kurva standar formaldehid yang bersifat spesifik, karena dalam penentuan konsentrasi standarnya melibatkan destilat dari sampel yang akan di analisis, contohnya untuk larutan dengan konsentrasi 1 ppm pada kurva standar merupakan hasil campuran dari 0,1 ml larutan formaldehid standar 50 ppm + 5 gram destilat sampel yang akan di analisis. Langkah-langkah pembuatan kurva standar dan contoh kurva standar yang diperoleh dapat dilihat pada lampiran 4.

Pada penelitian ini, sampel yang dianalisis hanyalah sampel bakso dengan konsentrasi formaldehid 150 ppm dan 250 ppm karena hanya sampel dengan konsentrasi tersebut saja yang memiliki umur simpan ≥ 4 hari pada suhu ruang yaitu sampel bakso dengan konsentrasi formaldehid 150 ppm memiliki umur simpan 5 hari dan sampel bakso dengan konsentrasi formaldehid 250 ppm memiliki umur simpan 6 hari pada suhu ruang.

(50)

28

bb, sampel A1B3C1 sebesar 24.53 mg/kg bb, sampel A1B4C1 sebesar 13.55 mg/kg bb, sampel A1B1C2 sebesar 43.88 mg/kg bb, sampel A1B2C2 sebesar 41.07 mg/kg bb, sampel A1B3C2 sebesar 37.89 mg/kg bb, dan sampel A1B4C2 sebesar 33.76 mg/kg bb. Kurva hubungan antara perlakuan-perlakuan diatas dengan residu formaldehid dapat dilihat pada gambar 4.

13.55 43.87 37.89 24.53 34.00 39.58 33.75 41.07 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00

0 15 30 60

Waktu Perendaman (menit)

[image:50.612.150.522.180.341.2]

R e s id u Fo rm a lde hi d ( pp m ) Perebusan Penggorengan

Gambar 4. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan perebusan dan penggorengan dengan konsentrasi formaldehid pada bakso 150 ppm

(51)

29 58.06 18.07 61.26 60.03 51.10 45.23 32.65 54.17 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

0 15 30 60

Waktu Perendaman (menit)

[image:51.612.152.519.81.250.2]

R e s idu For m a lde hi d (p pm ) Perebusan Penggorengan

Gambar 5. Grafik hubungan perlakuan deformalinisasi dengan perebusan dan penggorengan dengan konsentrasi formaldehid pada bakso 250 ppm

Hasil survei Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diwilayah Bandung menunjukkan bahwa beberapa produk pangan seperti mie basah, ikan segar dan ikan asin yang beredar di beberapa pasar tradisional dan pasar induk positif mengandung formalin. Kadar formalin yang terdapat pada ikan asin cumi-cumi berkisar 3.87-1907.44 ppm, ikan asin sepat sebesar 0.33 ppm, ikan asin jambal berkisar 0.37-4.8 ppm, ikan basah berkisar 0.0010-0.9262 ppm, dan mie basah berkisar antara 10.39-117.51 ppm.

Penelitian deformalinisasi produk pangan yang telah diawetkan dengan formalin telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Menurut Sukesi (2006), proses deformalinisasi ikan asin dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin tersebut dalam 3 macam larutan yaitu air panas, air leri, dan air garam. Perendaman ikan asin dalam air panas selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin sampai 61.25%, dengan air leri (air cucian beras) mencapai 66.03%, dan dengan air garam mencapai 89.53%.

(52)

30

formaldehid dari perlakuan A1 sebesar 87.14%, residu formaldehid dari perlakuan A2 sebesar 74.86%, residu formaldehid dari perlakuan A3 sebesar 54.00%, residu formaldehid dari perlakuan A4 sebesar 29.82%, residu formaldehid dari perlakuan B1 sebesar 96.60%, residu formaldehid dari perlakuan B2 sebesar 90.43%, residu formaldehid dari perlakuan B3 sebesar 83.42%, dan residu formaldehid dari perlakuan B4 sebesar 74.33%. Pada perlakuan deformalinisasi sampel bakso dengan perlakuan penambahan formalin 250 ppm didapat bahwa residu formaldehid dari perlakuan A1 sebesar 91.91%, residu formaldehid dari perlakuan A2 sebesar 71.52%, residu formaldehid dari perlakuan A3 sebesar 51.68%, residu formaldehid dari perlakuan A4 sebesar 28.65%, residu formaldehid dari perlakuan B1 sebesar 96.86%, residu formaldehid dari perlakuan B2 sebesar 94.41%, residu formaldehid dari perlakuan B3 sebesar 85.66%, dan residu formaldehid dari perlakuan B4 sebesar 80.85%.

54.00 87.14 29.82 74.86 96.60 90.43 83.42 74.33 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

0 15 30 45 60

Waktu Perendaman (menit)

[image:52.612.152.503.356.515.2]

R e s idu F o rm a ld e h id ( % ) Perebusan Penggorengan

(53)

31 28.65 51.68 71.52 91.91 85.66 80.85 94.41 96.86 0 20 40 60 80 100

0 15 30 45 60

Waktu Perendaman (menit)

[image:53.612.153.503.82.239.2]

R e s idu F or m a lde hi d ( % ) Perebusan Penggorengan

Gambar 7. Trendline penurunan kadar residu formaldehid dengan perlakuan deformalinisasi pada bakso 250 ppm

Data-data residu formaldehid pada bakso setelah dideformalinisasi, kemudian dijadikan input untuk uji ANOVA dengan menggunakan Software SPSS 11.5. Tabel output dari SPSS dapat dilihat pada lampiran 12.

Dari kedua tabel output ANOVA, didapatkan nilai sig. SAMPEL sebesar 0.000 ‹ α uji 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlakuan deformalinisasi yang telah dilakukan pada bakso berbeda nyata pada taraf uji α 0.05. Perbedaan yang nyata tiap perlakuan itu disebabkan oleh konsentrasi awal formaldehid yang berdifusi ke dalam bakso, lamanya perendaman bakso berformalin dalam air panas, besarnya suhu dari air panas yang digunakan untuk deformalinisasi dimana kecepatan formaldehid membentuk ikatan hidrogen dengan air akan meningkat pada suhu tinggi, dan perlakuan tambahan seperti perebusan 10 menit dan penggorengan dimana formaldehid yang bersifat polar akan larut dengan baik pada air karena air bersifat polar dan tidak larut pada minyak karena minyak bersifat non polar.

(54)

32

Mekanisme berkurangnya sebagian besar kandungan formaldehid pada bakso dapat dijelaskan sebagai berikut: formaldehid bersifat polar dan dapat larut dengan baik dalam air. Sifatnya yang mudah larut dalam air dikarenakan adanya elektron bebas pada oksigen sehingga dapat mengadakan ikatan hidrogen molekul air. Pernyataan ini diperkuat dengan bukti pada perlakuan perendaman bakso dalam air panas selama 60 menit dan dilanjutkan penggorengan (B4) hanya dapat mengurangi kandungan formaldehid sebesar ± 22.41%, pengurangan formaldehid ini hanya terjadi saat perendaman dalam air panas selama 60 menit, sedangkan saat penggorengan kecil kemungkinan formaldehid dapat terlepas dari bakso karena minyak bersifat non polar.

Walaupun formaldehid dapat larut dengan baik dalam air, kadar residu formaldehid pada bakso tidak dapat mencapai angka 0%. Hal ini dikarenakan kemampuan formaldehid untuk bereaksi dengan protein pada bakso dan membentuk ikatan silang.

Pengikatan formaldehid pada gugus ε-NH2 dari lisin berjalan lambat dan merupakan reaksi yang searah, sedangkan ikatannya dengan gugus amino bebas berjalan cepat dan merupakan reaksi bolak-balik. Ikatan formaldehid dengan gugus amino dalam reaksi ini tidak dapat dihilangkan dengan dianalisis sehingga ikatan ini turut menyokong kestabilan struktur molekul (Acheson, 1984).Reaksi tidak reversibel antara formaldehid dan protein pada suhu r

Gambar

Tabel 1. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia
Tabel 2. Syarat Mutu Objektif  dari Bakso Daging Sapi
Tabel 3. Kriteria Mutu Sensori Bakso
Tabel 5. Karakteristik formaldehid
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam permasalahan kemiskinan dan disparitas ekonomi yang dirasakan masyarakat yang tinggal di Kecamatan Wongsorejo, Kalipuro, dan Licin memerlukan strategi

Based on this result, although there is no association between vitamin D and calcium, but there could be altered by lower food intake, sunlight exposure, and tuberculosis

Analisis sidik ragam dapat dilihat di lampiran 11 s/d 15 yang menunjukkan hasil tidak berpengaruh nyata pemberian kompos kulit jengkol dan pupuk organik cair eceng

Penelitian dengan metode Jaringan Syaraf Tiruan ini dilakukan untuk meramalkan permintaan produk keripik tempe pada Keripik Tempe CV Aneka Rasa Bu Noer untuk

Analisis regresi model II dengan menggunakan metode pendugaan ordinary least product merupakan metode pendugaan yang terbaik dibandingkan dengan kedua metode pendugaan

Nilai keuntungan dari usaha gerabah dibuat dengan menggunakan pasir dan tanah liat yang sebagian tanah liat tersebut dapat diminta dari masyarakat setempat, modalnya jauh lebih

Lebih lanjut diatur bahwa untuk menjaga keabsahan dan kebenaran informasi yang ada dalam prospektus, maka prospektus pemberi waralaba yang berasal dari

Dalam peraturan pemerintah diatur biaya²biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksut dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu