• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN INOKULAN MIKROBA PENAMBAT NITROGEN (N -F IX E R ) DAN PELARUT FOSFAT (P-S OLUB ILIZE R ) PADA CAMPURAN KOTORAN SAPI SEGAR DAN BATUAN 2 FOSFAT ALAM TERHADAP TOTAL POPULASI DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN INOKULAN MIKROBA PENAMBAT NITROGEN (N -F IX E R ) DAN PELARUT FOSFAT (P-S OLUB ILIZE R ) PADA CAMPURAN KOTORAN SAPI SEGAR DAN BATUAN 2 FOSFAT ALAM TERHADAP TOTAL POPULASI DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN INOKULAN MIKROBA PENAMBAT NITROGEN (N2-FIXER) DAN PELARUT FOSFAT (P-SOLUBILIZER)

PADA CAMPURAN KOTORAN SAPI SEGAR DAN BATUAN FOSFAT ALAM TERHADAP TOTAL POPULASI DAN

KEANEKARAGAMAN FUNGI

Oleh Fitriyani Saputri

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN INOKULAN MIKROBA PENAMBAT NITROGEN (N2-FIXER) DAN PELARUT FOSFAT (P-SOLUBILIZER)

PADA CAMPURAN KOTORAN SAPI SEGAR DAN BATUAN FOSFAT ALAM TERHADAP TOTAL POPULASI DAN

KEANEKARAGAMAN FUNGI

Oleh

FITRIYANI SAPUTRI

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian inokulan mikroba

penambat nitrogen(Azotobacter sp dan Azospirillum sp) dan pelarut fosfat

(Aspergillus niger dan Pseudomonas fluorescens) terhadap total populasi dan

keanekaragaman fungi selama pengomposan Kotoran Sapi Segar (KSS) dan

Batuan Fosfat Alam (BFA). Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak

Kelompok dengan 4 ulangan. Perlakuan adalah: K (kontrol)= 20% BFA dan 80%

KSS + dekomposer, N= 20% BFA dan 80% KSS + dekomposer + inokulan

mikroba penambat N (Azotobacter sp dan Azospirillum sp), P= 20% BFA dan

80% KSS + dekomposer + inokulan mikroba pelarut P (Aspergillus niger dan

Pseudomonas fluorescens), NP= 20% BFA dan 80% KSS + dekomposer +

inokulan mikroba penambat N + inokulan mikroba pelarut P. Hasil penelitian

menunjukkkan bahwa: (1) Inokulan mikroba pelarut P meningkatkan total

populasi fungi dibandingkan dengan kontrol pada hari pengamatan ke-14, 28, dan

(3)

Fitriyani Saputri

dibandingkan dengan kombinasi inokulan mikroba NP pada hari pengamatan

ke-28. (3) Inokulan mikroba penambat N dan atau pelarut P maupun kontrol tidak

berpengaruh terhadap keanekaragaman fungi pada semua hari pengamatan.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.4 Hipotesis ... 6

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peran Fungi dalam Dekomposisi Bahan Organik ... 8

2.2 Bakteri Penambat Nitrogen (N2-fixer) ... 9

2.3 Mikroba Pelarut Fosfat (P-Solubilizer) ... 10

2.4 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Populasi dan Keanekaragaman Fungi dalam Dekomposisi Bahan Organik ... 11

2.5 Pengaruh Inokulan Mikroba Penambat N dan Pelarut P terhadap Populasi Fungi Dekomposer ... 12

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

3.2 Bahan dan Alat ... 15

3.3 Metode Penelitian ... 16

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 17

3.4.1 Persiapan Awal ... 17

3.4.2 Cara Pengambilan Sampel di Lapang untuk Analisis ... 17

3.5 Pengamatan ... 18

3.5.1 Pembuatan Seri Pengenceran ... 18

3.5.2 Medium Fungi ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Total Populasi Fungi ... 21

(7)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Kesimpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

PUSTAKA ACUAN ... 32

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Ringkasan uji lanjut kontras ortogonal pengaruh inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi

fungi pada semua hari pengamatan. ... 23

2. Ringkasan uji lanjut kontras ortogonal pengaruh inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada

semua hari pengamatan. ... 28

3. Jenis fungi yang teridentifikasi akibat pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi

segar dan batuan fosfat alam. ... 29

Lampiran

4. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada

hari ke-1. ... 37

5. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel)

pada hari ke-1. ... 37

6. Analisis ragam pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel)

pada hari ke-1. ... 37

7. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada

(9)

ii

8. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada

hari ke-7. ... 38

9. Analisis ragam pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada

hari ke-7. ... 38

10. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada

hari ke-14. ... 39

11. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel)

pada hari ke-14. ... 39

12. Analisis ragam pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel)

pada hari ke-14. ... 39

13. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada

hari ke-28. ... 40

14. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel)

pada hari ke-28. ... 40

15. Analisis ragam pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel)

pada hari ke-28. ... 40

16. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam

terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada hari ke-56. 41

17. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel)

(10)

iii

18. Analisis ragam pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi (Log CFU g-1 sampel) pada

hari ke-56. ... 41

19. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi pada

hari ke-1. ... 42

20. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi pada

hari ke-7. ... 42

21. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi pada

hari ke-14. ... 43

22. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi pada

hari ke-28. ... 43

23. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi fungi pada

hari ke-56. ... 44

24. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-1. ... 45

25. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-7. ... 45

26. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-14. ... 46

27. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-28. ... 46

28. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

(11)

iv

29. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-1. ... 48

30. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan

fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-1. ... 48

31. Analisis ragam pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan

batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-1. 48

32. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat ntrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-7. ... 49

33. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan

fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-7. ... 49

34. Analisis ragam pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan

batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-7. 49

35. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat ntrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-14. ... 50

36. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan

fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-14. ... 50

37. Analisis ragam pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan

batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-14. 50

38. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat ntrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-28. ... 51

39. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan

fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-28. ... 51

40. Analisis ragam pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan

(12)

v

41. Pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat ntrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat

alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-56. ... 52

42. Uji homogenitas pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan

fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada hari ke-56. ... 52

43. Analisis ragam pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada

hari ke-56. ... 52

44. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi

pada hari ke-1. ... 53

45. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada

hari ke-7. ... 53

46. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada

hari ke-14. ... 54

47. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada

hari ke-28. ... 54

48. Uji kontras ortogonal pengaruh pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelaru fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam terhadap keanekaragaman fungi pada

hari ke-56. ... 55

49. Hasil analisis awal bahan. ... 56

50. Hasil analisis bahan pada hari ke-1 dan 56 setelah inokulasi mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi

segar dengan batuan fosfat alam. ... 56

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Perubahan total populasi fungi akibat pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran

kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam ... 22

2. Perubahan keanekaragaman fungi akibat pemberian inokulan mikroba penambat nitrogen dan pelarut fosfat pada campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam ... 26

3. Chytridium sp. (putih) ... 29

4. Aspergillus sp. (hitam) ... 29

5. Rhizopus sp. (kuning) ... 29

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Pupuk kimia merupakan bahan kimia yang sengaja diberikan untuk memenuhi

kebutuhan unsur hara tanaman. Dibanding pupuk organik, pupuk kimia pada

umumnya mengandung unsur hara makro seperti nitrogen, dan fosfor yang

dibutuhkan tanaman, sehingga petani lebih memilih penggunaan pupuk kimia

pada sistem pertanian. Namun, jika pupuk kimia digunakan secara terus-menerus

dapat memberikan dampak negatif pada tanah pertanian seperti tanah menjadi

keras yang mengakibatkan pertumbuhan perakaran tanaman terhambat (Triana

dan Zaimah, 2005). Dampak negatif dari penggunaan pupuk kimia dapat

dihindari yaitu dengan cara mengganti penggunaan pupuk kimia dengan pupuk

organik.

Pupuk organik merupakan bahan organik yang sengaja diberikan pada tanah

pertanian untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Sumber pupuk

organik, antara lain dari bahan organik yang berupa limbah organik rumah tangga,

sampah organik pasar/kota, kotoran/limbah peternakan, limbah-limbah pertanian,

dan limbah pabrik kelapa sawit. Menurut Maspary (2012), pupuk organik dapat

digunakan secara terus-menerus, karena pupuk organik dapat memberi dampak

positif. Dampak positif tersebut, diantaranya dapat memperbaiki tanah yang telah

(15)

2

dan menjaga kelembaban tanah. Pupuk organik juga memiliki kekurangan, yaitu

kandungan unsur hara makro yang rendah. Contoh unsur hara makro yang rendah

pada pupuk organik, yaitu unsur hara N dan P. Unsur hara makro P yang rendah

pada pupuk organik dapat dipenuhi dengan cara menambahkan batuan fosfat pada

proses pengomposan pupuk organik. Sedangkan kandungan N yang rendah pada

pupuk organik dapat diatasi dengan cara penambahan inokulan mikroba penambat

N pada saat pengomposan.

Nugroho dkk. (2011) mengembangkan prototipe pupuk organik organomineral

NP (organonitrofos) yang bahan bakunya berupa kotoran sapi segar (KSS) dan

batuan fosfat alam (BFA). Tingginya rasio C/N awal pada KSS menyebabkan

proses pengomposan KSS memerlukan waktu yang lama. Hal ini didukung hasil

penelitian Widawati (2005) yang menyatakan bahwa pembuatan kompos rumput

dan KSS secara alami memerlukan waktu 8 minggu dibandingkan pembuatan

kompos menggunakan aktivator fungi yang memerlukan waktu 5 minggu.

Aktivitas fungi merupakan salah satu faktor yang menentukan berlangsungnya

proses dekomposisi. Namun, rendahnya kandungan N pada awal pencampuran

bahan akan menyebabkan populasi fungi rendah karena N dapat menyediakan

bahan dasar pembentuk biomas bagi mikroba (Hamdi, 1982). Selain itu, BFA

yang diberikan juga akan sukar terlarut. Jadi, pada proses pengomposan KSS dan

BFA memerlukan tambahan inokulan atau aktivator yang dapat mempercepat

waktu pengomposan, membantu proses pelarutan P, meningkatkan kandungan N,

(16)

3

Inokulan yang diberikan pada proses pengomposan berupa inokulan mikroba

(bakteri dan fungi). Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan fungi

dan bakteri antara lain sumber makanan, luas habitat, temperatur, kelembapan,

dan pH. Kondisi lingkungan yang berbeda bagi pertumbuhan bakteri dan fungi,

seperti pH dapat menyebabkan terjadinya interaksi antara bakteri dan fungi

selama proses pengomposan. Menurut Ristiati dkk. (2008) interaksi yang terjadi

dapat bersifat netral, positif (mutualisme dan komensalisme), dan negatif

(antagonisme, kompetisi, parasitisme dan predasi). Menurut Rao (1994), bakteri

dapat tumbuh pada pH tinggi, sedangkan fungi tumbuh pada pH rendah.

Perbedaan pH selama pengomposan akan menyebabkan terjadinya kompetisi yang

menentukan pertumbuhan bakteri dan fungi.

Menurut Pangestu (2009), perubahan keanekaragaman populasi fungi dapat terjadi

karena faktor lingkungan seperti pH. Fungi memiliki karakteristik dapat bertahan

pada kondisi pH rendah. Karakteristik yang dimiliki fungi mempunyai peran

penting untuk dapat bertahan hidup seperti hubungan interaksi dengan

mkroorganisme lain, kepadatan populasi, laju pertumbuhan, laju kematian, dan

bentuk adaptasi terhadap perubahan lingkungan.

Fungi merupakan salah satu mikroorganisme yang berperan dalam merombak

bahan organik. Hal ini didukung oleh Campbell dkk. (2003) yang melaporkan

bahwa fungi adalah mikroorganisme yang mendapatkan energi dan nutrisinya

melalui penyerapan (absorption), sehingga fungi terspesialisasi sebagai pengurai.

Fungi yang ditambahkan pada proses pengomposan dapat mempercepat waktu

pengomposan. Hal ini didukung Widawati (2005) yang menyatakan bahwa

(17)

4

(109 sel ml-1), dan Chaetomium sp. (109 sel ml-1) dapat mempercepat proses

pengomposan (5 minggu) dibandingkan pengomposan tanpa aktivator fungi (8

minggu).

Fungi merupakan salah satu pengurai bahan organik yang menentukan

berlangsungnya proses dekomposisi, maka populasi dan keanekaragaman fungi

pada campuran KSS dan BFA perlu diamati. Pada penelitian ini, selain

penambahan mikroba perombak (dekomposer) untuk meningkatkan kandungan N

dan P pada pupuk organonitrofos juga ditambahkan inokulan mikroba penambat

N (Azotobacter sp dan Azospirillum sp), dan pelarut P (Aspergillus niger dan

Pseudomonas fluorescens) pada awal pencampuran bahan baku. Penambahan

inokulan mikroba pada proses pengomposan KSS dan BFA diharapkan dapat

meningkatkan total populasi dan keanekargaman fungi.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemberian inokulan

mikroba penambat N (Azotobacter. sp dan Azospirillum. sp), dan pelarut P

(Aspergillus niger dan Pseudomonasfluorescens) pada dekomposisi kotoran sapi

segar dan batuan fosfat alam terhadap total populasi dan keanekaragaman fungi.

1.3 Kerangka Pemikiran

Pada proses pengomposan, mikroba perombak bahan organik menghasilkan

senyawa-senyawa organik dan melepaskan N-organik menjadi NH4+ -N.

(18)

5

mikroba lain seperti mikroba penambat nitrogen dan mikroba pelarut fosfat

(Nugroho dkk., 2011).

Aktivitas fungi menentukan berlangsungnya proses dekomposisi. Menurut

Pangestu (2009), perubahan keanekaragaman populasi fungi dapat terjadi karena

faktor lingkungan pada kompos. Menurut Rao (1994), bakteri tumbuh pada pH

tinggi, sedangkan fungi tumbuh pada pH rendah. Perubahan kondisi lingkungan

tumbuh seperti pH membuat pertumbuhan spesies lain seperti bakteri lebih tinggi,

dan populasi fungi yang ada dapat digantikan oleh populasi bakteri.

Inokulan merupakan bahan yang mengandung mikroba yang diberikan pada

proses dekomposisi bahan organik. Pada proses dekomposisi KSS dan BFA

diberikan inokulan mikroba penambat N dan pelarut P. Menurut Hamdi (1982),

bakteri penambat N mampu mengikat N2 dari udara dengan bantuan enzim

nitrogenase sehingga N2 berubah menjadi ammonium kemudian menjadi asam

amino lalu menjadi protein. Kemudian protein menyediakan bahan dasar

pembentuk biomas bagi mikroba. Menurut Lubis (2001), aktivitas

mikroorganisme meningkat jika jumlah N mencukupi sehingga proses

dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat dan efektif. Kandungan N

yang meningkat pada proses pengomposan dapat dimanfaatkan oleh fungi untuk

aktivitas sehingga populasinya dapat meningkat (Lubis, 2001). Namun,

mikroorganisme yang berperan pada proses pengomposan tidak hanya fungi tetapi

terdapat mikroorganisme lain, seperti bakteri, aktinomicetes, dan protozoa.

Adanya mikroorganisme lain pada proses pengomposan dapat menyebabkan

(19)

6

Inokulan mikroba pelarut P merupakan mikroba tambahan yang diberikan pada

proses pengomposan untuk proses pelarutan P yang terikat pada batuan fosfat

menjadi bentuk tersedia. Inokulan mikroba pelarut P yang diberikan, yaitu bakteri

Pseudomonas fluorescens dan fungi Aspergillus niger. Hasil penelitian Noor

(2003) menunjukkan bahwa pemberian bakteri pelarut P yang dikombinasikan

dengan pupuk dari kotoran sapi dapat meningkatkan P tersedia tanah sebesar 48%

dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya hasil penelitian Suliasih dkk. (2006)

menunjukkan bahwa isolasi Pseudomonas sp. dapat melarutkan P dari batuan

fosfat dengan peningkatan sekitar 3,3 sampai 7,73 ppm dibandingkan tanpa

inokulasi (kontrol). Kandungan P yang meningkat dengan pemberian inokulan

pelarut P dapat dimanfaatkan oleh fungi untuk aktivitas sehingga populasinya

meningkat.

Hasil penelitian Hidayati dkk. (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi

kandungan N pada pengomposan campuran feses sapi dan kuda, maka jumlah

fungi yang merombak P akan semakin meningkat, sehingga kandungan P dalam

bahan akan meningkat. Kandungan P dalam bahan kompos akan digunakan oleh

fungi untuk membangun sel. Semakin tinggi kandungan N dan P pada kompos

diharapkan populasi fungi akan meningkat.

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1. Total populasi dan keanekaragaman fungi lebih tinggi pada perlakuan yang

diberi inokulan mikroba penambat N dan atau pelarut P dibandingkan tanpa

inokulan.

2. Total populasi dan keanekaragaman fungi lebih tinggi pada perlakuan yang

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pupuk buatan adalah bahan tertentu buatan manusia baik dari bahan alami

(organik) maupun kimia (anorganik) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan

unsur hara bagi tanaman. Menurut Suriadikarta dkk. (2004) pupuk organik

merupakan pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik

yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan baik padat atau cair yang telah

melalui proses dekomposisi. Kriteria pupuk organik pada umumnya memiliki

kandungan C organik minimal 15 %, C/N rasio sekitar 12 sampai 25, kadar air

minimal 20%, dan pH antara 4 sampai 8 (Tabel 51, lampiran). Sedangkan, bahan

organik itu sendiri adalah semua bahan yang berasal dari jaringan tanaman dan

hewan pada berbagai tahap dekomposisi. Pada pupuk organik terdapat istilah

dekomposisi yang artinya proses perubahan bahan organik menjadi bentuk yang

lebih sederhana. Proses perubahan bahan organik menjadi bentuk yang lebih

sederhana melibatkan mikroorganisme pengurai (dekomposer). Mikroorganisme

yang berperan pada proses dekomposisi diantaranya bakteri, fungi dan

aktinomicetes. Fungi diduga merupakan perombak bahan organik yang

mempunyai kemampuan lebih baik dibandingkan bakteri pada kondisi pH rendah.

Widawati (2005) menyatakan bahwa pembuatan kompos secara alami biasanya

memerlukan waktu 8 minggu, untuk mempercepat proses pembuatan kompos

(21)

8

kimia yang ditambahkan dalam pembuatan kompos yang berperan sebagai

katalisator guna mempercepat proses pengomposan. Pada penelitian ini, selain

penambahan mikroba perombak (dekomposer) untuk meningkatkan kandungan N

dan P pada pupuk organonitrofos juga ditambahkan inokulan mikroba penambat

N (Azotobacter sp dan Azospirillum sp), dan pelarut P (Aspergillus niger dan

Pseudomonas fluorescens) pada awal percampuran bahan baku.

2.1 Peran Fungi dalam Dekomposisi Bahan Organik

Mikroorganisme yang berperan dalam dekomposisi bahan organik diantaranya

bakteri, fungi, dan aktinomicetes. Fungi diduga merupakan perombak bahan

organik yang mempunyai kemampuan lebih baik dibandingkan bakteri pada

kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan fungi, seperti pH rendah. Hal ini

didukung oleh Campbell dkk. (2003) yang melaporkan bahwa fungi adalah

mikroorganisme yang mendapatkan nutrisinya melalui penyerapan (absorption),

sehingga fungi terspesialisasi sebagai pengurai. Fungi pengurai menyerap zat-zat

makanan dari bahan organik yang sudah mati, seperti pohon yang sudah tumbang,

bangkai hewan, atau buangan organisme hidup.

Menurut Affandi dkk. (2001) beberapa jenis fungi yang telah diteliti memiliki

kemampuan mendegradasi serasah dedaunan menjadi bahan organik terdiri dari

tujuh genus yaitu Gliocladium, Gonatobotryum, Syncephalastrum, Paecilomyces,

Penicillium, Aspergillus, dan Trichoderma. Hasil penelitian Mutia (2010)

menunjukkan bahwa pada tanah yang diberi kompos terdapat tiga genus fungi,

yaitu Chytridium sp., Aspergillus sp., dan Fusarium sp. Selanjutnya, pada

(22)

9

teridentifikasi pada ekstrak campuran bahan organik dengan limbah agroindustri,

yaitu Chytridium sp., Tricoderma sp., Rhizopus sp., dan Fusarium sp.

Aktivator fungi yang diberikan pada proses pengomposan menentukan cepat dan

lambatnya proses pematangan kompos. Sebagai contoh aktivator fungi

Aspergillus niger, Trichoderma viridae, dan Chaetomium sp. merupakan fungi

bermiselium dalam tanah yang mempunyai fungsi utama menguraikan bahan

organik dan menghasilkan bahan yang mirip dengan humus dalam tanah dan

humus merupakan habitat untuk mikroba (Rao, 1994). Bahan-bahan organik atau

bahan dasar kompos yang terombak dalam proses pengomposan dapat

memelihara kehidupan mikroba lain dalam kompos tersebut.

2.2 Bakteri Penambat Nitrogen (N2-fixer)

Bakteri penambat nitrogen (N) adalah bakteri yang dapat memfiksasi N dari

udara. Terdapat dua golongan bakteri penambat N, yaitu ada yang bersimbiosis

dengan tanaman (simbiotik) dan ada yang hidup bebas (nonsimbiotik). Mikroba

penambat N simbiotik diantaranya Rhizobium sp. Mikroba penambat N

nonsimbiotik misalnya, Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Pada penelitian ini

digunakan inokulan penambat N nonsimbiotik, yaitu Azospirillum sp. dan

Azotobacter sp. Inokulan mikroba penambat N yang ditambahkan pada proses

pengomposan dapat meningkatkan kandungan N. Simanungkalit dkk. (2008)

melaporkan jumlah N yang dapat ditambat oleh Azotobacter pada daerah empat

musim berkisar antara 10-15 kg ha-1 tahun-1.

Azotobacter termasuk dalam kingdom Bacteria, phylum Proteobacteria, kelas

(23)

10

Azotobacteraceae, genus Azotobacter. Azotobacter merupakan bakteri aerob dan

hidup bebas dengan menambat nitrogen dari atmosfer serta menghasilkan hormon

giberelin dan sitokinin (Hindersah dan Simarmata, 2004). Azotobacter tumbuh

baik pada temperatur 20 sampai 30o C dengan pada pH 7 sampai 7,5 (Crum,

2001). Sedangkan Azospirillum merupakan bakteri gram-negatif yang termasuk

dalam ordo Rhodospirillales.

2.3 Mikroba Pelarut Fosfat (P-solubilizer)

Mikroba pelarut fosfat (P) merupakan inokulan mikroba yang diberikan pada

proses pengomposan untuk melarutkan P menjadi bentuk tersedia. Mikroba

pelarut P terdiri dari golongan bakteri dan fungi. Kelompok bakteri pelarut P

diantaranya Pseudomonas, Bacillus, Escherichia, Brevibacterium, sedangkan dari

golongan fungi adalah Aspergillus, Penicillium, Culvularia, Humicola, dan

Phoma (Yuliana, 2010). Inokulan mikroba pelarut P yang diberikan pada

penelitian ini adalah Aspergilus niger dan Pseudomonasfluorescens.

Pemberian inokulan mikroba pelarut P pada proses pengomposan dapat

meningkatkan kelarutan P dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme (fungi).

Hasil penelitian Suliasih dkk. (2006) menunjukkan bahwa pemberian inokulasi

bakteri Pseudomonas sp. dapat melarutkan P dari batuan fosfat dengan

peningkatan sekitar 3,3 sampai 7,73 ppm dibandingkan tanpa inokulasi (kontrol).

Psedoumonas fluorescens merupakan salah satu spesies dari genus Pseudomonas

dengan kingdom Bacteria, filum Proteobacteria, kelas Gamma Proteobacteria,

(24)

11

niger merupakan fungi dari filum Ascomycetes yang berfilamen, mempunyai hifa

berseptat dan banyak ditemui di alam. Koloninya berwarna putih pada media

Potato Dextrose Agar (PDA) dan berubah menjadi hitam ketika konidia

terbentuk. Aspergilus niger dapat tumbuh pada suhu optimum sekitar 35 sampai

37 ° C dan suhu minimum sekitar 6 sampai 8° C. Selain itu, Aspergilus niger

memerlukan oksigen yang cukup (aerobik) dalam proses pertumbuhannya.

Aspergilus niger memiliki warna dasar putih atau kuning dengan lapisan

konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam (Anonim, 2012a).

2.4 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Populasi dan Keanekaragaman Fungi dalam Dekomposisi Bahan Organik

Faktor lingkungan yang mempengaruhi populasi fungi pada dekomposisi bahan

organik diantaranya bahan organik, kandungan unsur hara, rasio C/N, pH, suhu

dan kelembaban. Pada penelitian ini bahan organik yang digunakan berupa

kotoran sapi. Menurut Redaksi Agromedia (2007), kandungan hara pada kotoran

sapi sebelum terdekomposisi yaitu C sebesar 63,64%, N sebesar 1,53%, P sebesar

0,67%, K sebesar 0,70% dan rasio C/N sebesar 41,46.

Rendahnya kandungan N pada kotoran sapi akan menyebabkan fungi kekurangan

N untuk sintesis protein sehingga populasi fungi pada awal pengomposan akan

menurun. Hal ini didukung hasil penelitian Lubis (2001) yang menunjukkan

bahwa pada awal pengomposan campuran sampah pasar dan kotoran sapi perah

yang ditambahkan inokulan mikroba pH kompos cenderung meningkat pada

minggu pertama pengomposan dengan kisaran 7,41 sampai 7,64. Tingginya pH

(25)

12

(1994), populasi fungi biasanya mendominasi pada pH asam, bahkan fungi dapat

tumbuh pada pH 2 sampai 3.

Selain fungi, bakteri dan aktinomisetes juga berperan penting dalam dekomposisi

bahan organik (Trautmann dan Olynciw, 1996 dalam Hindersah, dkk., 2011).

Pada proses dekomposisi bahan organik aktifitas fungi, bakteri dan aktinomicetes

dipengaruhi oleh suhu. Saat suhu 65 sampai 70oC hanya bakteri berspora yang

akan hidup dan saat suhu menurun fungi dan aktinomisetes mulai membentuk

koloni dan mendekomposi bahan kompos, seperti lignin dan selulosa (Anonim,

2012b).

Selain suhu, kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses

pengomposan. Kelembaban 40 sampai 60 % adalah kisaran optimum untuk

metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40% atau di atas 60%,

aktivitas mikroba akan mengalami penurunan, volume udara pada tumpukan

kompos berkurang, dan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak

sedap (Anonim, 2012b).

2.5 Pengaruh Inokulan Mikroba Penambat N dan Pelarut P terhadap Populasi Fungi Dekomposer

Pemberian inokulan mikroba pada proses pengomposan dapat meningkatkan

kualitas kompos yang dihasilkan, mempercepat waktu pengomposan, serta

meningkatkan populasi fungi dekomposer. Pada penelitian ini inokulan yang

(26)

13

Inokulan mikroba penambat N merupakan bakteri (Azotobakter dan Azospirillum)

yang ditambahkan pada kompos. Menurut Supriyati (2009), sumber unsur N

cukup banyak, yaitu lebih kurang 78,08% dalam bentuk N2 bebas yang terdapat di

atmosfir, namun unsur N tidak dapat langsung terserap pada kompos.

Penambahan inokulan mikroba penambat N perlu dilakukan. Menurut Hamdi

(1982), mikroba penambat N mampu mengikat N dari udara dengan bantuan

enzim nitrogenase sehingga N2 berubah menjadi ammonium kemudian menjadi

asam amino lalu menjadi protein. Protein menjadi bahan dasar pembentuk biomas

bagi mikroba. Menurut Lubis (2001), aktivitas mikroorganisme meningkat jika

jumlah N mencukupi sehingga proses dekomposisi bahan organik berlangsung

lebih cepat dan efektif. Pada penelitian ini jumlah N yang meningkat dengan

pemberian inokulan mikroba penambat N dapat dimanfaatkan oleh fungi,

sehingga populasi fungi pada kompos meningkat.

Inokulan mikroba pelarut P merupakan mikroba tambahan yang diberikan pada

proses pengomposan agar P yang terikat pada batuan fosfat menjadi bentuk

tersedia. Inokulan mikroba pelarut P yang diberikan, yaitu bakteri Pseudomonas

fluorescens dan fungi Aspergillus niger. Menurut Buntan (1992 dalam Madjid

dan Nursanti, 2009) bahwa dalam aktivitasnya bakteri pelarut P akan

menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat,

laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa ketobutirat.

Asam-asam organik yang meningkat biasanya diikuti dengan penurunan pH. Penurunan

pH yang terjadi dapat menciptakan kondisi lingkungan yang baik untuk

prtumbuhan fungi. Hal ini didukung Rao (1994) yang menyatakan bahwa fungi

(27)

14

Hasil penelitian Hidayati dkk. (2010) menyatakan bahwa pengomposan feses sapi

dan kuda dengan rasio C/N sebesar 35 memiliki kandungan P2O5 yang tidak

berbeda dengan kandungan N dalam kompos. Semakin tinggi kandungan N,

maka jumlah fungi yang merombak P akan semakin meningkat, sehingga

kandungan P dalam bahan kompos juga akan meningkat. Fungi menggunakan P

(28)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan

Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada

bulan September sampai dengan Desember 2011.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Batuan fosfat alam

(pertambangan batuan fosfat rakyat Lampung Tengah), kotoran sapi segar

(industri penggemukan sapi PT Juang Jaya Abadi Alam Sidomulyo Lampung

Selatan), media biakan fungi Potato Dextrose Agar (PDA), inokulan mikroba

penambat N (Azotobacter. sp dan Azospirillum. sp) dan pelarut P (Aspergillus

niger dan Pseudomonasfluerescens), serta bahan - bahan kimia untuk analisis pH

(metode elektromaknetik). Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

kotak kayu dengan ukuran 180x80x50 cm, Quebec Colony Counter (QCC),

laminar air flow, autoklaf, inkubator, erlenmeyer, timbangan, kapas, alumunium

voil, cawan petri, tabung reaksi, pipet tetes, pembakar bunsen, dan alat - alat

(29)

16

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah RAK (Rancangan Acak

Kelompok) dengan 4 ulangan, total seluruh percobaan adalah 16 satuan

percobaan. Perlakuan yang diberikan adalah :

K = 20% batuan fosfat alam + 80% kotoran sapi segar + dekomposer (kontrol)

N = 20% batuan fosfat alam + 80% kotoran sapi segar + dekomposer + inokulan

mikroba penambat N (Azotobacter. sp dan Azospirillum. sp)

P = 20% batuan fosfat alam + 80% kotoran sapi segar + dekomposer + inokulan

mikroba pelarut P (Aspergillusniger dan Pseudomonasfluorescens)

NP = 20% batuan fosfat alam + 80% kotoran sapi segar + dekomposer + inokulan

mikroba penambat N + inokulan mikroba pelarut P

Dasar penetapan perlakuan campuran kotoran sapi segar dan batuan fosfat alam

diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ayuandari (2012).

Karena pada perlakuan campuran 20% batuan fosfat alam dan 80% kotoran sapi

segar memiliki kandungan nitrogen dan fosfor lebih tinggi dibanding perlakuan

lainnya.

Data populasi dan keanekaragaman fungi yang diperoleh, dirata-ratakan,

kemudian diuji homogenitasnya dengan uji bartlett dan uji aditivitas dengan uji

tukey. Jika ragam tidak homogen, maka data tersebut akan ditransformasi.

Selanjutnya data populasi dan keanekaragaman fungi dianalisis dengan analisis

ragam pada taraf 5% dan perbedaan perlakuan diuji dengan kontras ortogonal

(30)

17

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan Awal

Terlebih dahulu dilakukan penggilingan batuan fosfat dan kemudian diayak lolos

saringan 3 mm. Kotoran sapi diambil dalam keadaan segar. Setelah itu dilakukan

pencampuran batuan fosfat dan kotoran sapi segar untuk setiap kotak sesuai

dengan persentase pencampuran sebesar 20% : 80%. Pada perlakuan kontrol

campuran batuan fosfat dan kotoran sapi hanya ditambahkan molasses dengan

konsentrasi 40% . Pada perlakuan mikroba penambat N ditambahkan bakteri

Azotobacter sp., dan bakteri Azospirillum sp. dari hasil uji isolat yang telah

dicampurkan molasses 40% sebanyak 2,97 x 108 (aplikasi per gram bahan= 1,3 x

106) dan 2,29 x 108 (aplikasi per gram bahan= 8 x 105). Pada perlakuan mikroba

pelarut P ditambahkan bakteri P. flourescens dan fungi A. niger dari hasil uji

isolat yang telah dicampurkan molasses 40% sebanyak 2,62 x 108 (aplikasi per

gram bahan= 1 x 106) dan 1,21 x 106 (aplikasi per gram bahan= 4,2 x 103).

Setelah itu, bahan campuran tersebut dimasukkan ke dalam kotak kayu berukuran

120x80x50 cm dicampurkan dengan dekomposer dan inokulan sesuai perlakuan

dan kemudian diaduk secara merata. Kotak diletakkan di lahan percobaan dan

ditutup rapat dengan plastik agar tidak terjadi penguapan.

3.4.2 Cara Pengambilan Sampel di Lapang untuk Analisis

Pada waktu awal inkubasi (1 hari) dari setiap kotak kayu sampel diambil sebanyak

6 titik kemudian sampel dikompositkan. Sampel tersebut masing - masing

(31)

18

tidak bisa dilakukan dalam sehari, sampel yang tersisa disimpan dalam lemari es.

Pengambilan sampel dan analisis berikutnya dilakukan pada inkubasi hari ke-7,

14, 28, dan 56.

3.5 Pengamatan

Variabel yang diamati yaitu total koloni dan keanekaragaman fungi yang diamati

secara morfologi pada hari ke-1, 7, 14, 28, dan 56.

3.5.1 Pembuatan Seri Pengenceran

Proses pengenceran dilakukan sebagai berikut:

Larutan fisiologis dibuat dengan melarutkan 8,5 g NaCl dalam 1 liter akuades.

Selanjutnya siapkan 1 erlenmeyer 250 ml dan 7 tabung raksi untuk

masing-masing contoh sampel. Kemudian sebanyak 90 ml larutan fisiologis dimasukkan

ke dalam erlenmeyer 250 ml dan masing-masing tabung reaksi diisi larutan

fisiologis sebanyak 9 ml. Setelah itu, erlenmeyer dan tabung reaksi ditutup

dengan menggunakan kapas dan alumunium voil. Selanjutnya, erlenmeyer dan

tabung reaksi yang berisi larutan fisiologis tersebut diautoklaf pada temperatur

1210C selama 30 menit. Sebelum digunakan larutan didinginkan hingga suhunya

mencapai antara 42-450C. Sampel bahan kompos ditimbang seberat 10 g dan

dimasukkan ke dalam erlemmeyer yang telah berisikan 90 ml larutan fisiologis,

larutan dikocok perlahan. Larutan ini mempunyai pengenceran 10-1. Kemudian

larutan bahan kompos pada erlenmeyer diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke

dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan fisiologis steril. Larutan ini disebut

(32)

19

dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya yang telah berisi larutan

fisiologis steril, larutan ini disebut pengenceran 10-3. Pengenceran dilakukan

sampai pengenceran 10-8 (Tim Biologi Tanah, 2009).

3.5.2 Medium Fungi

Medium biakan yang digunakan untuk menghitung fungi yaitu Potato Dextrose

Agar (PDA) yang dibuat dengan melarutkan 39 g PDA dalam 1 liter akuades,

kemudian diatoklaf selama 20 menit pada suhu 1200C. Larutan yang telah

diautoklaf kemudian dibiarkan beberapa saat sampai mencapai suhu 45-500C,

kemudian ditambahkan antibiotik streptomicyn dengan tujuan agar tidak terjadi

kontaminasi dengan bakteri selama inkubasi. Sebanyak 1 ml seri pengenceran

dari seri pengenceran 10-2– 10-5 diambil dengan menggunakan pipet steril ke

cawan petri, kemudian ditambahkan 12-15 ml medium PDA yang bertemperatur

45-500C dan dibiarkan sampai agar memadat. Setelah medium PDA memadat

cawan petri dibalik dan diinkubasi pada inkubator dengan suhu 28-300C.

Pengamatan terhadap total fungi dan keanekaragamannya dilakukan setelah 4-5

hari inkubasi (Hariyanto, 2006).

Total koloni fungi dihitung dengan cara memilih cawan yang jumlah koloninya

antara 30-300 per cawan. Quebec Colony Counter (QQC) digunakan untuk

(33)

20

Perhitungan keanekaragaman dihitung dengan metode Shannon dan Wiener

(Odum, 1997) dengan rumus:

H= -∑ (Pi ln Pi)

keterangan :

H = Indeks keaanekaragaman

Pi = Proporsi dari jumlah masing-masing koloni

Klasifikasi fungi diamati berdasarkan warna, elevansi (cembung, cekung, rata),

dan pinggiran koloni (bergerigi, berhifa, mulus) (Anas, 1989).

Untuk menghitung jumlah total koloni fungi dari contoh yang dihitung adalah

dengan mengalikan rata-rata jumlah koloni dengan faktor pengenceran (Tim

Biologi Tanah, 2009).

CFUs/g = rata-rata koloni/cawan x faktor pengenceran Keterangan:

CFUs/g (Colony Forming Units per gram)= perkiraan jumlah fungi per gram

sampel.

Hasil ini kemudian dikonversi kejumlah mikroorganisme dalam 1 gram contoh

(34)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Inokulan mikroba pelarut P meningkatkan total populasi fungi dibandingkan

dengan kontrol pada hari pengamatan ke-14, 28, dan 56.

2. Inokulan mikroba pelarut P meningkatkan total populasi fungi dibandingkan

dengan kombinasi inokulan mikroba NP pada hari pengamatan ke-28.

3. Inokulan mikroba penambat N dan atau pelarut P maupun kontrol tidak

berpengaruh terhadap keanekaragaman fungi pada semua hari pengamatan.

5.2 Saran

Untuk pembuatan pupuk organonitrofos dari bahan campuran kotoran sapi segar

dan batuan fosfat alam cukup diinokulasi dengan inokulan mikroba tunggal saja

(35)

PUSTAKA ACUAN

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. IPB. Bogor. 173 hlm.

Affandi, M., Nimatuzahroh, dan A. Supriyanto. 2001. Diversitas dan Visualisasi Karakter Jamur yang Berasosiasi dengan Proses Degradasi Serasah di Lingkungan Mangrove. Online. Tersedia: http://www.journal.unair.ac.id . Diakses Maret 2012. 54 hlm.

Anonim. 2012a. Aspergillus niger. http//situshijau.co.id. Diakses Maret 2012. 2 hlm.

Anonim. 2012b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan. http://id.wikipedia.org/wiki.kompos. Diakses Januari 2012. 13 hlm.

Ayuandari, E. 2012. Pengaruh Nisbah Campuran Kotoran Sapi Segar dan Batuan Fosfat Berbagai Ukuran Butir terhadap Ketersediaan Unsur Hara N dan P.

Skripsi. Universitas Lampung. (Belum dipublikasikan). 84 hlm.

Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L. G. Mitchell. 1999. Biology Fifth Edition. Alih bahasa: Wasmen Manalu. 2003. Biologi Edisi Kelima Jilid-2. Jakarta. Erlangga. 472 hlm.

Ginting, R. C. B., S. Rasti, dan H. Edi. 2008. Mikroorganisme Pelarut Fosfat.

Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Hal 141-158.

Hadioetomo, R.S. 1985. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur dalam Laboratorium. Jakarta. PT Gramedia. 57 hlm.

Hamdi, Y. A. 1982. Application of Nitrogen-Fixing System in Soil Improvement and Management. FAO Soil Bulletin 49. FAO Rome. 89 hlm.

Hariyanto. 2006. Pengaruh Residu Herbisida Diuron dan Residu Pupuk Berkelanjutan terhadap Populasi Mikroorganisme pada Tanah Ultisol Taman Bogo Lampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. (Belum dipublikasikan). 79 hlm.

(36)

33

Hidayati, Y. A., E. T. Marlina, A. K. T. Benito, dan E. Harlia. 2010. Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda pada Proses Pengomposan terhadap Kualitas Kompos. J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 8(2): 299-303.

Hindersah, R., Y. Hernanto, B. Joy, dan O. Mulyani. 2011. Pemanfaatan Limbah Tahu dalam Pengomposan Sampah Rumah Tangga untuk Meningkatkan Kualitas Mikrobiologi Kompos. J. Agrinimal 1(1): 15-21.

Idris, M. dan M. Dini. 2012. Efektifitas Beberapa Jenis Jamur dan Bakteri dalam Mendekomposisi Bahan Organik yang Berasal dari Limbah Pertanian. J.

Ilmiah Pendidikan Tinggi: 5 (1): 13-21.

Kusnadi, Saefudin, A. Efrianti. 2009. Keanekaragaman Jamur Selulotik dan Amilolitik Pengurai Sampah Organik dari Berbagai Substrat.

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/196805091 994031-KUSNADI/MAKALAH_PBI_MALANG2009. Diakses Januari 2013. 10 hlm.

Lubis, D. 2001. Kualitas Kompos dari Campuran Sampah Pasar Organik dan Kotoran Sapi Perah (Feces) yang ditambahkan Inokulan Starbio. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. 56 hlm.

Madjid, A. dan Nursanti. 2009. Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agen Pupuk Hayati. Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya Sumatera Selatan. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diakses Februari 2012. 29 hlm.

Maspary. 2012. Tiga Belas Kelebihan Pupuk Organik Dibanding Pupuk Kimia. http://gerbangpertanian.premiumbloggertemplates.com. Diakses Agustus 2012. 3 hlm.

Mutia, F. 2010. Pengaruh Pemberian Herbisida Paraquat, Kompos, dan Kapur terhadap Populasi Fungi dan Keanekaragamannya pada Tanah yang Berasal dari Pertanaman Jagung (Zea mays L.) yang diberi Herbisida dan Pupuk Berkelanjutan. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. (Belum dipublikasikan). 122 hlm.

Ningsih, M. K. 2012. Pengaruh Inokulasi Mikroba Penambat Nitrogen (N2-fixer) dan Pelarut Fosfat (P-solubilizer) pada Campuran Kotoran Sapi Segar dengan Batuan Fosfat Alam terhadap Total Populasi Bakteri. Skipsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. (Belum dipublikasikan). 53 hlm.

(37)

34

Nugroho, S. G., Dermiyati, J. Lumbanraja, H. Ismono, dan S. Triyono. 2011. Perakitan Pupuk Alternatif Organomineral NP (Organonitrofas) Berbasis Sumberdaya Lokal dan Pengalihan Teknologi Produksi ke Swasta dan Kelompok Tani. Propossal Riset Unggulan Strategis Nasional Tahun 2011. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. University of Georgia Athens. Georgia. Pp. 43-45.

Pangestu, D. 2009. Isolasi, Identifikasi, Dinamika, dan Skrining Pertumbuhan Fungi dari Biokonversi Palm Kernel Meal. Makalah (Online). UI. 78 hlm.

Rao, N. S. S. 1994. Soil Microorganisms and Plant Growth. Oxford and IIBM Publishing CO. Penerjemah: Herawati Susilo. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 353 hlm.

Redaksi Agromedia. 2007. Petunjuk Pemupukan. AgroMedia Pustaka. Jakarta. 100 hlm.

Ristiati, N. P., S. Muliadihardja, dan F. Nurlita. 2008. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penambat Nitrogen Nonsimbiotik dari dalam Tanah. J. Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora 2(1): 68-80.

Simanungkalit, R. D. M., R. Saraswati, R. D. Astuti, dan E. Husen. 2008. Bakteri Penambat Nirogen. www.unipa.ac.id. Hal: 113-140.

Suliasih, A. Sugiharto, H. J. D. Latupapua, dan S. Widawati. 2006. Kemampuan Melarutkan P Terikat oleh Bakteri Pelarut Fosfat Asal Wamena Irian Jaya.

Puslitbang Biologi. LIPI. Bogor. 10 hlm.

Supriyati, D. 2009. Toleransi terhadap Sianida dan pH dari Bakteri Penambat Nitrogen SBY-5B yang diisolasi dari Limbah PT Petrosida Surabaya.

Berkas Penelitian Hayati Edisi Khusus: 3C. LIPI. Bogor. 7 hlm.

Suriadikarta, D. A., D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2004. Uji Mutu dan Evektifitas Pupuk Alternatif Anorganik. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 50 hlm.

Tim Biologi Tanah. 2009. Penuntun Praktikum Biologi Tanah. Bandar Lampung. Universitas Lampung. 28 hlm.

Triana, A. dan Zaimah. 2005. Panduan Pertanian Ramah Lingkungan.

Kementerian Lingkungan Hidup. Deputi Bidang Pengembangan Peran Masyarakat. Hal. 4-5.

(38)

35

Widawati, S. 2005. Daya Pacu Aktivator Fungi asal Kebun Biologi Wamena terhadap Kematangan Hara Kompos, serta Jumlah Mikroorganisme Pelarut Fosfat dan Penambat Nitrogen. Biodiversitas 6 (4) :238-241.

Yuliana. 2010. Bioteknologi Mikroba. http://yuliana.student.umm.ac.id

Referensi

Dokumen terkait

Biofuel merupakan bahan bakar mesin disel alternatif yang diproduksi dari minyak/lemak tumbuhan GDQ KHZDQ WHUPDVXN OLPEDK LQGXVWUL SHULNDQDQ PHODOXL UHDNVL HVWHULÀNDVL

[r]

ontoro Chino dengon Asio Borot don Eropoh teloh dikuosoi oleh kerojoon Dinosti Hsio di Borot Lout Chino.2o podo owol kurun ke-]0, Mohorojo Toi. Tsu teloh menyerong

Merak 2 No.80 Ling.XIV Perum Sri Gunting. Alamat Orang Tua

Walaupun pemberian pupuk kandang pada tahun pertama pertanaman sudah sesuai SOP (Rahardjo dan Rostiana, 2004), namun tanaman belum mampu menghasilkan bobot rimpang

Kecamatan Sota memiliki potensi yang lebih unggul dalam hal tingkat basis komoditas padi, namun variabel dalam faktor prasarana penunjang ini kurang mendukung potensi

Skripsi yang berjudul “ Peningkatan Hasil Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Melalui Metode Belajar Mandiri Pada Materi Anjuran Bertoleransi Siswa Kelas

e) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat. Ansietas berhubung an dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan pasien gelisah