• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST (Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST (Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST

(Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD) Oleh

FITRIYANTO

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah tersebut tanpa ada kecuali. Seiring perkembangan teknologi, orang dengan mudah mendapat berita kriminal juga informasi dan pengalaman pornografi melalui banyak jenis media, dan akses internet. Akibatnya menjadi model bagi mereka yang tidak dapat menahan nafsu seksualnya sehingga memicu tindak pidana pemerkosaan antara lain tindak pidana Incest yang dilakukan oleh Salim bin Natam (Putusan No. 24/Pid.B/2012/PN.Kld.). pada skripsi ini, permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah apa yang menjadi dasar hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendektan yang dilakukan dengan cara memperoleh teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah dan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa sikap, penilaian, perilaku pendapat yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

(3)

terdakwa untuk melakukan tindak kejahatan, 2.Akibat perbuatan pelaku yaitu menimbulkan luka psikis dan trauma, 3.Kondisi diri terdakwa yaitu Berdasarkan hasil pemeriksaan pada persidangan terdakwa merupakan seseorang yang sehat jasmani dan rohaninya, 4. Faktor sosial ekonomi terdakwa yaitu pelaku tidak sempat mengenyam bangku sekolah, 5.Faktor agama terdakwa yaitu rendahnya tingkat keimanan/ketakwaan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Faktor Penghambat Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest yaitu Faktor Masyarakat, masyarakat anarkis atau main hakim sendiri jika ada kasus pidana incest dan Faktor Kebudayaan, ketakutan akan perpecahan keluarga memungkinkan keluarga untuk memilih diam dan memmilih untuk menyimpan aib.

Saran yang dapat diberikan Penulis dalam penelitian ini adalah Pemerintah melalui aparat hukumnya memberikan pemahaman hukum agar masyarakat mengerti hukum dan ke depannya tidak ada lagi tindakan anarkis dan masyarakat menjadi aktif dalam artian akan melaporkan segala kejahatan yang terjadi khususnya tindak pidana incest, dan memberikan pelayanan sosial atau pendampingan kepada korban pasca trauma tindak pidana incest oleh ahli-ahli di bidang nya seperti pakar psikologis.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAK

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN MOTO

SANWACANA DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …. ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. ... 16

1. Kekuasaan Kehakiman. ... 16

2. Hakim dan Kewajibannya. ... 16

B. Dasar Pertimbangan Hakim ... 18

C. Pengertian Tindak Pidana ... 21

(7)

A. Pendekatan Masalah ... 28

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 30

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31

E. Analisis Data ... 33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden. ... 34

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Incest (Studi Putusan No. 24/Pid. B/ 2012/PN.Kld). ... 35

C. Faktor-Faktor yang Menjadi Penghambat Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Incest (Studi Putusan No. 24/Pid. B/ 2012/PN.Kld). ... 45

V. PENUTUP A. Simpulan. ... 50

B. Saran. ... 52

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah tersebut tanpa ada kecuali. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu sebagai berikut: ‘’ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’’

(9)

nafsu seksualnya sehingga memicu tindak pidana pemerkosaan antara lain tindak pidana Incest.

Korban incest mendapatkan derita yang tidak sederhana, tekanan kekecewaan, konflik dan kekhawatiran yang tidak teratasi, menimbulkan gejala neurosis: seperti rasa takut yang berlebihan, panik, putus asa, perilaku yang tidak terkendali, kecapaian psikis dan psichosis, seperti tidak mengacuhkan lingkungan sekitar, selalu dibayang-banyangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya, timbul rasa depresi yang kuat1

Tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest) di Indonesia diatur dalam Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Pasl 8 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kasus Incest terjadi karena banyak faktor yang memepengaruhinya, baik yang secara internal maupun eksternal2.

Salah satu contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu putusan No. 24/Pid.B/2012/PN.Kld. Saksi korbanTriana binti Salim yang tinggal bersama dengan kedua orang tuanya yakni terdakwa Salim bin Natam sebagai bapak kandung dan Sdr. Sumini sebagai ibu kandungnya yang beralamat di Dusun Rowo Rejo, Desa Bumi Jaya, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lampung Selatan yang pada suatu malam yang sudah tidak bisa diingat lagi sekira pukul 21.00 WIB tahun 2009, pertamakali terdakwa menyetubuhi anak kandungnya

1

www.hukumonline.com, Senin 05 Januari 2004. 2

(10)

sendiri yaitu Saksi Triana binti Salim secara paksa dengan pengancaman. Bahwa oleh karena ditinggal oleh ibunya selama satu bulan ke Bengkulu, maka selama satu bulan juga saksi korban Triana binti Salim tinggal berdua dengan terdakwa dan selama satu bulan itu pula terdakwa menyetubuhi saksi korban Triana binti Salim secara berulangkali dengan cara paksa hingga sebanyak 7 kali hingga akhirnya saksi korban hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Zahra. Pada saat itu saksi korban belum berumur 18 tahun jadi masih dikategorikan anak. Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di tuntut dengan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasar 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Perbuatan amoral itu juga seakan membuka mata kita terhadap fenomena tindak pidana incest yang belakangan banyak merebak di kalangan masyarakat. Mirisnya, kita sangat kesulitan untuk mendapatkan data tentang korban kekerasan seksual tindak pidana incest ini. Anggapan bahwa tindak pidana incest adalah aib keluarga membuat banyak pihak korban tindak pidana incest yang enggan melaporkan kejadian yang dialaminya kepada pihak kepolisian. Korban dari perbuatan tersebut tentu saja lebih banyak didominasi perempuan khususnya anak-anak.

(11)

majalah Intisari memaparkan Incest adalah sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antar dua anggota keluarga inti, kecuali hubungan seksual suami istri3.

Tindak pelecehan seksual atau pemerkosaan kepada anak merupakan masalah yang memerlukan perhatian khusus pemerintah karena hal ini berkaitan dengan moralitas pada generasi bangsa. Dalam hal ini pengadilan yang merupakan instansi atau lembaga yang menangani masalah hukum perlu memberi perhatian pada kasus yang berkaitan dengan anak-anak terutama pada kasus kejahatan seksual. Untuk itu pengadilan perlu memberikan sanksi berat pada pelaku tindak pidana incest.

Sebagaimana diketahui bahwa Hakim adalah salah satu aparat (alat) penegakan hukum dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk menyelesaikan

3

(12)

satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan.

Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan.

Berbicara tentang masalah tujuan putusan hakim di dalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau undang-undang tidak mempunyai tujuan, tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

(13)

yang merdeka untuk menyelenggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia.

Banyaknya kasus incest yang tidak dilaporkan karena masih banyak yang menganggap masalah ini merupakan masalah keluarga semata yang tidak perlu diketahui dan dicampuri oleh orang lain sehingga kasus ini seperti sesuatu hal yang tidak terlalu nyata keberadaannya tetapi sebenarnya sudah cukup banyak yang menjadi korbannya.

Fenomena tindak pidana incest merupakan fenomena gunung es. Sebab tindak pidana incest masih merupakan tindak kekerasan yang belum begitu terkuak dalam masyarakat. Bahkan masyakat banyak yang tidak menyadari bahwa ada peristiwa tindak pidana incest disekitar mereka. Untuk itulah, pemerintah melalui aparat hukum harus memberikan perhatian lebih pada kasus-kasus tindak pidana pemerkosaan khususnya tindak pidana incest karena korban biasanya adalah anak-anak yang masih dibawah umur. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada anak-anak inilah nasib bangsa ditentukan4.

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau diterapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam

4

(14)

persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.

Kaitannya dengan tindak pidana incest, hakim harus jeli dan adil dalam menjatuhkan vonis. Sebagaimana kita ketahui tidak mudah bagi korban yang masih keluarga dari si pelaku untuk mengungkapkan aib nya, walaupun untuk kasus asusila sidang diadakan tertutup untuk umum. Untuk itu, korban harus mendapatkan bantuan sosial. psikologikal, medikal, dan materi yang diperlukan baik melalui bantuan pemerintah maupun bantuan sukarela.

Hukum harus ditegakkan, itu merupakan sarana dalam pencapaian keadilan sosial. Memahami pentingnya penegakan hukum kepada para pelaku tindak pidana incest dapat ditegakkan sebagaimana mestinya dan seadil-adilnya, maka berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul :‘’Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana Incest (Studi Putusan Nomor 24/PID.B/2012/PN.KLD)’’

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

(15)

b. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest (studi putusan Nomor 24/PID.B/2012/PN.KLD)?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian ini terbatas pada kajian hukum pidana, khususnya yang menjadi permasalahan di atas adalah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest dan faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana incest dengan lokasi penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda dan Dosen Fakultas Hukum di Universitas Lampung tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest (studi putusan Nomor 24/PID.B/2012/PN.KLD)

(16)

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis, adapun kegunaan teoritis dan praktis itu adalah :

a. Kegunaan Teoritis

1) Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan hukum pidana dan khususnya mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest.

2) Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemikiran kepada pembuat Undang-Undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya untuk memberikan pertanggungjawaban pidana yang sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana incest.

b. Kegunaan Praktis

(17)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti5.

Putusan hakim atau putusan peradilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh tentang kepastian hukum (rechszekerheids) tentang statusnya dan sekaligus mempersiapkan langkah-langkah berikutnyaterhadap putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan fakta secara visualisasi etika, mentalitas dan moralitas dari hakim yang bersangkutan6.

Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim, hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandellen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan

5

. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986) h. 124

6

(18)

sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasannya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh terhadap amar/dictum putusan hakim7.

Tugas hakim sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah hakim bertugas menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara pidana, perdata maupun tata usaha negara. Hakim juga cenderung menggunakan teori keseimbangan yaitu keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban.

Dasar pertimbangan hakim harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang bukti, keterangan terdakwa dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang disangkakan kepada terdakwa. Karena putusan yang dibuktikan adalah sesuai dengan fakta-fakta yang diungkap dipersidangan yaitu melanggar Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Pasl 8 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

7

(19)

Putusan hakim harus mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim juga dalam menjatuhkan putusan cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dibandingkan nonyuridis.

1. Pertimbangan yang bersifat yuridis a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum b) Keterangan terdakwa

c) Keterangan saksi d) Barang-barang bukti

e) Pasal-pasal peraturan hukum pidana

2. Pertimbangan yang bersifat nonyuridis a) Latar belakang perbuatan terdakwa b) Akibat perbuatan terdakwa

c) Kondisi diri terdakwa

d) Kondisi sosial ekonomi terdakwa e) Faktor agama terdakwa8.

Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest adalah teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai faktor-faktor penghambat penegakan hukum, yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.

8

(20)

e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.9

2. Konseptual

Konseptual menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan dan diteliti10.

Adapun kerangka konsep pengertian-pengertian dari istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1) Pertimbangan adalah memikirkan baik-baik untuk menentukan (memutuskan, dan sebagainya), memintakan pertimbangan kepada, menyerahkan sesuatu supaya dipertimbangkan11.

2) Hakim adalah Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang undang untuk mengadili12.

3) Pelaku Tindak Pidana adalah orang yang telah membuat suatu tindak pidana yang memenuhi rumusan tindak pidana yang memenuhi rumusan tindak pidana13.

9

Soerjono Soekamto. Pengantar Penelitian Hukum (UI Press: Jakarta. 1986) h. 125 10

. Ibid. h. 32 11

Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990:1052 12

. M. Karyadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. (Bogor: POLITTEIA, 1988) h. 4

13

(21)

4) Tindak Pidana adalah kelakuan/Handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan berhungan oleh orang yang mampu bertanggungjawab14.

5) Incest, Incest atau inses adalah hubungan seksual antara orang-orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, dan agama15

.

6) Pemidanaan adalah penghukuman atau pemberian pidana terhadap orang yang melakukan suatu tindak pidana16.

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan latar belakang dari penulisan. Permasalahan dan ruang lingkup untuk mencapai tujuan dan kegunaan penelitian selanjutnya diuraikan mengenai kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dengan sistematika penulisan.

14

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1986) h. 56 15

. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ctk. Pertama (Bandung: Widya Karya, 2005) h. 185 16

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan mengenai tugas dan wewenang hakim dalam proses peradilan pidana, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, Pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu pendekatan masalah, sumber data, penentuan populasi dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang menjelaskan tentang pokok masalah yang akan dibahas yaitu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest dan faktor penghambat hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana incest.

V. PENUTUP

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamh Agung dan peradilan di bawahnya yaitu : (1) lingkungan peradilan umum; (2) lingkungan peradilan agam; (3) lingkungan peradilan militer; (4) lingkungan peradilan tata usaha negara, serta oleh Mahkamh Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 2 UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Hakim dan Kewajibannya a. Hakim

(24)

perkaranya; mengahikimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, ada kalanya istilah hakim dipakai oleh orang budiman, ahli dan orang bijaksana1. Dengan demikian fungsi seorang hakim adalah seorang yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan, seperti yang diatur dalam pokok-pokok kekuasaan kehakiman tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-Undang.

b. Kewajiban Hakim

Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (9) KUHAP), ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui hukum Curialus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum., jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya. Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

1

(25)

memeprtimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seoarng hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat (1) UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009).

Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam praktek ada kalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan si hakim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan2.

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga

2

(26)

harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk menyelesaikan satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan.

Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan.

(27)

dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia.

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau ditetrapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.

(28)

visum et repertum), barang bukti yang diperlihatkan di persidangan, pada saat persidangan terdakwa berprilaku sopan, terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa mengakui semua perbuatannya dan apa yang diutarakan oleh terdakwa atau saksi benar adanya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Unsur-unsur pasal Pasal 284 ayat (1) KUHP, Pasal 285 KUHP, Pasal 286 KUHP, Pasal 287 (1) KUHP, 289 KUHP, 290 KUHP, 294 (1) KUHP serta dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terpenuhi. Jadi berdasarkan hal-hal di atas hakim bisa menjatuhkan hukuman yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

C. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, yang dilakukan dengan suatu maksud, serta terhadap perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu perbuatan sudah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi jika dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab atas perbuatannya itu, maka ia tidak dapat dipidana. Selanjutnya untuk menguraikan pengertian tindak piadana ini dikemukakan pendapat para sarjana atau para pakar hukum , antara lain:

(29)

a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang yang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum3 2. Simons, memberikan pengertian bahwa tindak pidana adalah “kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab”4

3. Moeljatno, memberikan pengertian perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbutan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan

tersebut”5

4. Wirjono Prodjodikoro, memberikan pengertian tindak pidana adalah “suatu perbutan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”6

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar hukum diatas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat dalam memberikan definisi mengenai tindak pidana itu sendiri. Moeljatno merumuskan merumuskan unsur-unsur perbutan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

3

. Tri Andriman., Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2006) h. 53

4

Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987) h.5 5

Ibid., h. 54 6

(30)

1) perbuatan (manusia);

2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); dan

3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)7

Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini merupakan konsekuensi logis dari asas legalitas sebagai prinsip kepastian. Perumusan delik dalam KUHP biasanya dimulai dengan kata “barangsiapa” kemudian diikuti penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau yang diperintahkan oleh undang-undang.

D. Pengertian Tindak Pidana Incest

Tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest) adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang masih memiliki hubungan darah (keluarga) yang dilarang untuk dinikahi. Tindak pelecehan seksual atau pemerkosaan kepada anak merupakan masalah yang memerlukan perhatian khusus pemerintah karena hal ini berkaitan dengan moralitas pada generasi bangsa. Dalam hal ini pengadilan yang merupakan instansi atau lembaga yang menangani masalah hukum perlu memberi perhatian pada kasus yang berkaitan dengan anak-anak terutama pada kasus kejahatan

7

(31)

seksual. Untuk itu pengadilan perlu memberikan sanksi berat pada pelaku tindak pidana perkosaan incest.

Di Indonesia tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggunakan pasal-pasal berisi mengenai perkosaan, persetubuhan dan perzinahan, diantaranya pasal 284 (1) KUHP, pasal 285 KUHP, Pasal 286 (1) KUHP, Pasal 287 (1) KUHP, 289 KUHP, 290 KUHP, 294 (1) KUHP serta dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Incest dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik yang secara internal maupun eksternal. Banyaknya kasus incest yang tidak dilaporkan karena masih banyak yang menganggap masalah ini merupakan masalah keluarga semata yang tidak perlu diketahui dan dicampuri oleh orang lain sehingga kasus ini seperti sesuatu hal yang tidak terlalu nyata keberadaannya tetapi sebenarnya sudah cukup banyak yang menjadi korbannya.

(32)

E. Pertanggungjawaban Pidana

Pengertian pertanggungjawaban pidana adalah kewajiban segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain. Sedangkan pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan (hal dan sebagainya) yang tercela di mata masyarakat yang merupakan perbuatan yang dipertanggungjawabkan. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagai telah diancam, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan ini dia mempunyai

kesalahan, sebagai asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah „‟

tiada di pidana jika tiada kesalahan‟‟.

Arti kesalahan, kemampuan brtanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan bhatin orang normal, yang sehat. Dalam KUHP kita, tidak ada ketentuan

tentang kemampuan bertanggungjawab. Menurut pasal 44 KUHP, „‟ Barang siapa

yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit.

Mengenai masalah keadaan bathin seseorang yang melakukan perbuatan sebagai hal yang kedua adalah apa yang dalam teori masalah kemampuan bertanggungjawab. Ini adalah dasar penting untuk adanya kesalahan, sebab bagaimanapun juga keadaan jiwa terdakwa harus sedemikian rupa hingga dapat dikatakan sehat normal.8

8

(33)

Perbuatan pidana dapat dipertanggungjawabkan apabila mengandung unsur : 1. Unsur perbuatan melawan hukum

Suatu perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan suatu tindak pidana sebagaimana telah disebutkan dalam undang-undang. Pengertian perbuatan melawan hukum tidak terlepas dai pengertian tindak pidana yang mengandung unsur :

b. perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia

c. perbuatan itu harus dilakukan dengan kemauan atau dengan maksud atau kesadaran dan bukan perbuatan yang merupakan gerakan reflek.

d. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan yang bertentangan atau melawan hukum

e. Perbuatan harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan

f. Orang yang mempertanggungjawabkan perbuatan itu harus dihubungkan dengan kesalahannya, artinya orang itu harus di persalahkan atas perbuatannya.

2. Unsur kemampuan bertanggungjawab

Unsur bertanggungjawab artinya keadaan jiwa harus normal dan tidak dalam gangguan kejiwaan. Pada dasarnya sesorang terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab. KUHP tidak memuat mengenai kemampuan bertanggungjawab namun sebaliknya, dijelaskan pada pasal 44 KUHP.

3. Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

(34)

a) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan yang terletak pada diri orang itu, diatur dalam Pasal 44 KUHP.

b) Alasan tidak dipertanggungjawabkan yang terletak pada diri orang lain, yaitu daya paksa dalam pasal 49 KUHP, melaksanakan Undang-undang dalam pasal 50 KUHP, melaksanakan perintah jabatan dalam pasal 51 KUHP.

4. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan atau kealpaan

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap perbuatannya, yang dicelakan kepada si pembuat itu. Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau alpa. KUHP tidak memberikan pengertian tentang kesengajaaan, petunjuk tentang arti tentang kesengajaan dapat diketahui dari MvT

(Memorie van Toelichting), yangmemberikan arti kesengajaan sebagai : „‟

menghendaki dan menghendaki‟‟. Dengan demikian, sengaja dapat diartikan

„‟menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan „‟9

9

(35)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Usaha pencarian data untuk pembahasan masalah maka dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah.

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa sikap, penilaian, perilaku, pendapat, yang berkaitan dengan masalah, yang diteliti, dan pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian di lapangan.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu data sekunder dan data primer

a. Data Primer

(36)

penelitian. Data diperoleh dari responden-responden yang dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Kalianda, Dosen Jurusan Hukum pidana.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang didapat secarah langsung, yang dalam hal ini penulis peroleh dari studi kepustakaan dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian. Jenis data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dalam studi dokumen, bahan hokum sekunder, dan bahan hukum tersier, yang diperoleh melalui studi literatur.

a. Bahan Hukum Primer antara lain :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang KUHP.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan Hukum Sekunder

(37)

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari :

1. Buku-buku Hukum 2. Literatur

3. dan karya ilmiah yang berkaitan dengan aspek-aspek tindak pidana incest, meliputi Putusan Pengadilan Negeri.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Penentuan Populasi

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejalah atau seluruh unit yang akan diteliti1, atau populasi adalah keseluruhan atau himpunan

objek dengan ciri yang sama, dapat berupa himpunan orang, benda, kejadian, kasus-kasus, waktu dan tempat, dengan sifat atau ciri yang sama2

. Objek dalam penelitian ini adalah hakim yang menangani dan menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana incest. Dalam penulisan skripsi ini, populasi yang penulis ambil yakni pada Pengadilan Negeri Kalianda, dan Dosen Fakultas Hukum Univesitas Lampung.

2. Penentuan Sampel

Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi3. Penulis menggunakan cara proposal purposive sampling yaitu memilih sampel

1

Ronny Hanitijo Soemitro. Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Ghalia Indonesia: Jakarta. 1998) h. 14

2

Bambang Sunggono. Metedologi Penelitian Hukum. (RajaGrafindo Persada: Jakarta.1997) h. 121

3

(38)

berdasarkan pertimbangan tertentu disesuaikan dengan kedudukan sampel yang bersangkutan dari masing-masing populasi yang akan diteliti. permasalahan yang ada dan dengan metode ini juga kemungkinan dapat mewakili dan menjawab semua permasalahan.

Sampel dalam penelitian ini yang akan dijadikan responden sebagai berikut: a. Hakim Pengadilan Negeri Kalianda : 2 orang

b. Dosen Jurusan Hukum Pidana : 1 orang

Jumlah 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan (library research) dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder, yaitu dengan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku atau referensi dan menelaah peraturan perundang-undangan, juga informasi lainnya yanga ada hubungannya dengan penelitian.

b. Wawancara

(39)

2. Pengolahan Data

Dalam pengolahan data penulis melakuan kegiatan terhadap data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan untuk dievaluasi dan kemudian dideskripsikan dalam bentuk urai-uraian, sedangkan data primer yang diperoleh dari wawancara dan daftar pertanyaan sebagai berikut :

a. Editing,

Data yang diperoleh diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Sistematisasi

Data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Klasifikasi data

Yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut jenisnya untuk memudahkan dan menganalisa.

d. Seleksi Data

Yaitu memeriksa kembali kelengkapan data, kebenaran data, dan kejelsan data yang telah didapat.

E. Analisis Data

(40)
(41)

Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap dasar pertimbangan hakimdalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidanaincestadalah :

1. Bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana incest ada dua macam yaitu pertimbangan yuridis yaitu terdiri dari pertimbangan yuridis formil dan pertimbangan yuridis materiil, dimana berdasarkan alat bukti dan fakta-fakta di persidangan telah terpenuhinya unsur-unsur pada pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Sedangkan yang kedua adalah pertimbangan non yuridis yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, faktor sosial ekonomi terdakwa, dan faktor agama terdakwa.

2. Bahwa Faktor Penghambat Hakim dalam menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak PidanaIncest, berdasarkan penelitian ini adalah :

a) Faktor Masyarakat

(42)

tidak menyeluruh maka masyarakat tidak tahu dan akan bersifat anarkis atau main hakim sendiri jika ada kasus tindak pidanaincest.

b) Faktor Kebudayaan

Masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma budaya dan menganggap incest adalah aib keluarga yang tentu saja masalah yang terjadi dalam lingkungan keluarga harus diselesaikan dalam keluarga juga sehingga terkesan berusaha untuk menutupi. Selain itu ketakutan akan perpecahan keluarga memungkinkan beberapa keluarga untuk memilih diam.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan, saran yang diberikan penulis adalah

1. Pemerintah melalui aparat hukumnya memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat melalui pendidikan hukum agar masyarakat mengerti hukum dan ke depannya tidak ada lagi tindakan anarkis dan masyarakat menjadi aktif dalam artian akan melaporkan segala kejahatan yang terjadi khususnya tindak pidanaincest.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Ashofa, Burhan, Metodologi Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1996. Andrisman, Tri. Hukum Pidana. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2006

---, Tri. Delik Tertentu Dalam KUHP. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2011.

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Jakarta, 2001

Hapsoyo, sunarto. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jaakrta1981

Karyadi, M dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan Penjelasan resmi dan Komentar POLITEIA. Bogor. 1988

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung 1996 Moelyatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.1993.

Muhammad, Rusli. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Raja Grafindo. Jakarta. 2006. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban. Rineka Cipta, Jakarta. 1981 Soedarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Rajawali Pers, Jakarta. 1986 ---, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986

Soemitro, Ronny Hanitijo, . Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1998

(44)

B. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. DetikNews.com. Sabtu 9 Juni 2012 .

Referensi

Dokumen terkait

Padahal, dalam konteks sebagai produk pemikiran manusia yang lahir dalam ruang historis, status pemikiran-pemikiran Islam (baik di bidang fiqih, kalam, tasawuf) adalah

Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 28 tentang Akuntansi Asuransi Kerugian, Net Premium Growth adalah rasio yang diinterpretasikan bersama-sama dengan

Personality in Julie Anne Robinson’s The Last Song Movie (2010): A Psychoanalytic Approach ” as the requirement for getting bachelor degre e of education in English

Saran, para guru dapat menggunakan software CNC Bubut KELLER Q plus sebagai media pembelajaran program diklat mesin bubut CNC karena siswa lebih mudah dalam memahami materi

dimanaperlakuan tersebut mengandung POC kelinci 100% dan samasekali tidak memiliki kandungan nutrisi AB Mix. Sehingga hal tersebut menyebabkan kebutuhan nutrisi akan

• Untuk melihat efek persaingan antar calon terhadap perolehan suara secara lebih sistmatis dapat dilihat dari pilhan pada partai lewat kartu suara yang digunakan dalam

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,

Whereas duty ethics would urge such an agent to follow moral principles when she is in doubt as to what to do in a given situation, virtue ethics suggests that agents are guided