HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA
DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT
TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh:
Imaduddien Sobri
G0106008
Pembimbing:
1. Dra. Salmah Lilik, M. Si
2. Tri Rejeki Andayani, S. Psi, M. Si
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan
Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat Tetap Akibat
Gempa Bumi Di Kabupaten Bantul
Nama Peneliti : Imaduddien Sobri
NIM : G0106008
Tahun : 2006
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada
Hari: Kamis, tanggal 08 Desember 2010
Pembimbing Utama
Dra. Salmah Lili, M. Si.
NIP. 194904151981032001
Pembimbing Pendamping,
Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si.
NIP. 197401091998022001
Koordinator Skripsi,
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
Hubungan antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat Tetap Akibat Gempa Bumi di Kabupaten Bantul
Imaduddien Sobri, G0106008, Tahun 2006
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari : Tanggal :
1. Pembimbing I (________________)
Dra. Salmah Lilik, M. Si. NIP. 194904151981032001
2. Pembimbing II (________________)
Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. NIP. 197401091998022001
3. Penguji I (________________)
Dra. Machmuroch, M. S. NIP. 195306181980032002
4. Penguji II (________________)
Nugraha Arif Karyanta, S. Psi. NIP. 197603232005011002
Surakarta, ________________
Koordinator Skripsi,
Rin Widya Agustin, M. Psi. NIP. 197608172005012002
Ketua Pengelola,
MOTTO
Tidak ada seorangpun yang mampu merubah dunia dengan kekuatannya,
yang dapat dilakukan adalah berdamai dengan kenyataan yang kita dapati.
(Penulis)
“Tuhan,karuniakanlah diriku ketentraman batin
untuk dapat menerima hal-hal yang takkan mungkin kuubah,
keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah,
dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya”
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati, penulis
persembahkan karya sederhana ini kepada :
Ibu dan Bapak tercinta atas keikhlasan dan
kesabarannya.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan
segala rahmat, hidayah dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan karya sederhana ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa
terselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus,
penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada :
1. Drs. Hardjono, M. Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Suci Murti Karini, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan selama penulis belajar
3. Dra. Salmah Lilik, M. Si. selaku pembimbing utama yang telah berkenan
memberikan pengarahan, saran serta petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
4. Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. selaku pembimbing pendamping yang
telah berkenan memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Dra. Machmuroch, M. S. yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan
pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Nugraha Arif Karyanta, S. Psi. yang telah bersedia meluangkan waktu
memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Studi Psikologi yang telah
memberikan ilmu dan kemudahan dalam proses penyusunan skripsi ini.
8. Drs. Sulistiyo, S.H., CN., M. Si. selaku Kepala Dinas Sosial Propinsi Daerah
9. Deabby S. Psi. selaku Kepala Pendampingan Pusat Rehabilitasi Terpadu
Penyandang Cacat Pundong, Bantul, Yogyakarta, atas segala pelayanan dan
bimbingannya.
10. Seluruh klien PRTPC yang telah bersedia menjadi responden penelitian dan
atas keceriaan yang telah kita ukir bersama.
11. Seluruh pihak Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
12. Ibunda Dra. Wahyuningsih dan Ayahanda Drs. Umar Sobri yang kusayang
dan hormati atas segala cinta kasih, dukungan, pengorbanan dan doa untuk
penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah hingga selesai.
13. Adik-adikku Izuddien dan Inase yang senantiasa memberi motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
14. Sahabat-sahabatku Dika, Eli, Candra, Redy, Akbar, Wildan, Burhan, Prehaten,
Gendig dan kawan-kawan Psikologi 2006 yang selalu memberikan keceriaan
di tiap langkah.
15. Kawan-kawan BEM FK UNS 2007, BEM FK UNS 2008 dan Dewan
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS 2009 yang telah berjuang bersama
dalam segala langkah.
16. Kawan-kawan Yayasan Psikologi Bina Asih Yogyakarta yang telah
memberikan dorongan, semangat, dan kelonggaran sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini.
Harapan penulis, semoga karya sederhana ini dapat memberikan
sumbangan dan manfaat khususnya bagi perkembangan dunia psikologi serta
tidak terhenti pada penelitian ini saja. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Januari 2011
ABSTRAKSI
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT
TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL
Imaduddien Sobri
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
Gempa Bumi tanggal 27 Mei 2006 mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah dengan pusat di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menyisakan duka yang mendalam bagi para korban, sebagian di antaranya mengalami kecacatan tetap. Banyak di antara korban yang kini menyandang kecacatan tetap belum dapat menerima diri. Salah satu faktor yang membantu penyandang cacat tetap menerima diri adalah dukungan sosial, terutama dari keluarga. Aspek yang paling mendasar dari dukungan sosial adalah dukungan emosional. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada
hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada
korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul. Hipotesis yang diajukan ada hubungan positif antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa. Populasi penelitian ini adalah seluruh penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul yang jumlahnya tidak dicatat secara pasti, namun menurut data Departemen Sosial Kabupaten Bantul, diperkirakan berjumlah 300 orang. Sampel yang digunakan adalah penyandang cacat tetap yang menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat, Pundong, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 30 orang. Sampling yang digunakan purposive insidental sampling. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala Dukungan Emosional Keluarga. Analisa data menggunakan analisis regresi sederhana.
ABSTRACT
CORRELATION BETWEEN FAMILY EMOTIONAL SUPPORT AND SELF ACCEPTANCE OF PERMANENT DISABLED DUE TO
EARTHQUAKE IN BANTUL
Imaduddien Sobri
PSYCHOLOGY DEPARTEMENT, MEDICAL FACULTY SEBELAS MARET UNIVERSITY, SURAKARTA, INDONESIA
May 27, 2006 an earthquake with epicentrum at Bantul, Yogyakarta has devastated Yogyakarta Central Java region. The earthquake leaves great sorrows for the victims, much of them become permanent disabled, and until now, any of
them can’t accept their disabilities. A factor which increase self acceptance was
social support, especially from their family as their significant other, and the basic aspect of social support is emotional support. Fomulation of the problem in this
research is: “Is there any correlation between family emotional support and self acceptance of permanent disabled?” Our objectives was to examine correlation between family emotional support and permanent disabled’s self acceptance of the
earthquake victims. Our hypothesis was there are a positive correlation between
family emotional support and permanent disabled’s self acceptance.
This research use every victims of May 27 2006 who was permanently disabled and live in Bantul, Yogyakarta (approximately 300 people). This
research use purposive incidental sampling, with 30 attendant of “Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat” (Integrated Rehabilitation Centrum for Disabled), Pundong, Bantul, Yogyakarta, as sample. Data taken by Disabled’s
Self Acceptance Scale and Family Emotional Support Scale. Data analyzed with simple regression analysis.
This research result correlation coefficient (r) = 0,527; p = 0,003 (p<0,05), means there are a significant positive correlation between family emotional support and permanent disabled’s self acceptance. Family emotional support contribute 27,8% factor of permanent disabled’s self acceptance. The conclusions
is there are a positive correlation between family emotional support and self acceptance of permanent disabled. That means more family emotional support accepted, increase the self acceptance of permanent disabled.
DAFTAR ISI
A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat 12
1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat 12
2. Pentingnya Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat 18
3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat 20
4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Diri 27
5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri 30
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri 36
B. Dukungan Emosional Keluarga 43
1. Pengertian Dukungan Emosional Keluarga 43
C. Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri
Penyandang Cacat 47
D. Kerangka Pemikiran 50
E. Hipotesis 52
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian 53
B. Definisi Operasional Variabel 53
C. Populasi, Sampel dan Sampling 55
D. Teknik Pengumpulan Data 57
E. Metode Analisis Data 60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 63
1. Orientasi Kancah Penelitian 63
2. Persiapan Penelitian 65
3. Uji Validitas dan Reliabilitas 69
B. Pelaksanaan Penelitian 76
C. Hasil Analisis Data Penelitian 77
1. Deskripsi Responden Penelitian 77
2. Deskripsi Statistik 77
3. Uji Asumsi 80
4. Uji Hipotesis 81
D. Pembahasan 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 88
B. Saran 88
DAFTAR PUSTAKA 90
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1: Blue Print Skala Penerimaan Diri 58
Tabel 2: Blue Print Skala Dukungan Emosional 60
Tabel 3: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penerimaan Diri
Penyandang Cacat 70
Tabel 4: Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
Setelah Uji Coba 72
Tabel 5: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Dukungan Emosional
Keluarga 74
Tabel 6: Distribusi Aitem Skala Dukungan Emosional Keluarga Setelah
Uji Coba 75
Tabel 7: Deskripsi Responden Penelitian Berdasarkan Usia 77
Tabel 8: Deskripsi Statistik Data Penelitian 78
Tabel 9: Kriteria Kategorisasi Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap 79
Tabel 10: Kriteria Kategorisasi Dukungan Emosional Keluarga 79
Tabel 11: Hasil Uji Normalitas 80
Tabel 12: Rangkuman Hasil Uji Linearitas 81
Tabel 13: Hasil Regresi Linear Sederhana Dukungan Emosional Keluarga
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar I: Skema Penerimaan Diri Menurut Glaser (1966) 20
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A. Alat Ukur Penelitian
Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala Dukungan
Emosional Keluarga 96
B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian
1. Data Hasil Uji Coba Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 104
2. Data Penelitian Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 105
3. Data Hasil Uji Coba Skala Dukungan Emosional Keluarga 106
4. Data Penelitian Skala Dukungan Emosional Keluarga 107
C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian
1. Hasil Uji Validitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 109
2. Hasil Uji Validitas Skala Dukungan Emosional Keluarga 115
3. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat 120
4. Hasil Uji Reliabilitas Skala Dukungan Emosional Keluarga 122
D. Analisis Data Penelitian
1. Hasil Uji Normalitas 125
2. Hasil Uji Linearitas 126
3. Hasil Deskriptif dan Distribusi Frekuensi 128
4. Hasil Analisis Uji Regresi Linear Sederhana 129
E. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian
1. Surat Permohonan Ijin Penelitian ProdiPsikologi FK UNS 132
2. Surat Pemberitahuan Penelitian Bakesbangpol Linmas Jateng 133
3. Surat Rekomendasi Ijin Penelitian dari Bakesbang Linmas DIY 135
4. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Sekretariat Daerah DIY 136
5. Nota Dinas dari Dinas Sosial Propinsi DIY 137
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gempa bumi yang mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Jawa Tengah pada hari Kamis 27 Mei 2006 telah lama berlalu menyisakan
kenangan pahit bagi para korbannya. Gempa bumi berkekuatan 5.9 skala Richter
yang berpusat di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul ini telah
memporak-porandakan beberapa kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Gempa bumi ini juga memakan banyak korban, terhitung sebanyak
6.234 warga meninggal dunia dan lebih dari 50.000 warga lainnya mengalami
luka-luka, baik luka ringan, sedang, hingga berat (http://www.wikipedia.org).
Banyak di antara korban luka pada gempa bumi Yogyakarta mengalami kecacatan
permanen. Tingkat kecacatan tersebut bermacam-macam, mulai dari kehilangan
anggota gerak, kehilangan anggota badan, infeksi menetap pada anggota badan,
hingga kelumpuhan total. Para korban gempa bumi tersebut sebagian besar juga
kehilangan tempat tinggal, terhitung lebih dari 1,3 juta jiwa kehilangan tempat
tinggal mereka (IOM Indonesia Newsletter, Agustus 2006).
Kabupaten Bantul sebagai kabupaten yang mengalami kerusakan paling
parah dalam bencana gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 juga menjadi kabupaten
dengan jumlah korban paling banyak. Data dari Kabupaten Bantul tercatat
sebanyak 3.098 korban meninggal dunia dan 6.437 korban mengalami luka berat
lagi korban yang mengalami luka sedang yang diperkirakan akan mengalami
kecacatan sementara (http://www.atmajaya.ac.id).
Bagi banyak korban yang selamat dari maut pada kejadian tersebut,
menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat Gempa
bumi sangatlah menyakitkan dan sulit diterima. Kehilangan rumah, harta benda,
sanak saudara, dan bahkan bagi sebagian orang harus menerima kenyataan bahwa
dirinya harus mengalami kecacatan untuk selamanya merupakan suatu cobaan
yang sangat berat (Akbar dan Afiatin, 2009). Terlebih bagi korban yang
mengalami cacat fisik, selain telah kehilangan sanak saudara dan harta benda,
kecacatan yang dialami juga mengubah keadaan hidup mereka, baik secara fisik
maupun psikologis.
Jumlah penyandang cacat tetap akibat gempa bumi Yogyakarta cukup
banyak. Menurut Harian Suara Merdeka, terdapat 1.500 orang korban gempa
bumi yang harus mengalami kecacatan seumur hidup, dengan jumlah terbesar
adalah korban yang berasal dari Kabupaten Bantul. Data dari Dinas Sosial
Kabupaten Bantul menunjukkan, hingga bulan November 2009 di Kabupaten
Bantul tercatat sekitar 300 warga di Kabupaten Bantul yang masih menjalani
perawatan karena mengalami kecacatan (www.sosial.bantulkab.go.id). Versi lain
menurut data dari Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Bantul menyebutkan,
hingga bulan Februari 2010, tercatat 900 warga Kabupaten Bantul yang masih
menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul. Sebagian besar dari jumlah tersebut
mengalami kecacatan permanen, mulai dari tidak sempurnanya keseluruhan atau
kehilangan anggota gerak, paraplegia atau kelumpuhan tubuh bagian bawah akibat
terjadi penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang,
hingga tetraplegia atau kelumpuhan yang disebabkan cedera pada tulang belakang
yang menyebabkan hilangnya seluruh penggunaan dari semua anggota badan dan
dada yang terutama diakibatkan oleh penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat
fraktur pada tulang belakang bagian atas (bagian leher). Sebanyak 20 orang dari
900 orang yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul rawan depresi.
Hal ini dilihat dari fakta bahwa 20 orang tersebut pernah melakukan percobaan
bunuh diri (http://www.indosiar.com).
Berbagai kecacatan yang dialami oleh korban gempa bumi di Kabupaten
Bantul tersebut mengakibatkan berbagai reaksi. Salah satu kasus yang terjadi
adalah kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kasus bunuh diri atau
percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh penyandang cacat akibat gempa bumi
di Kabupaten Bantul pernah beberapa kali terjadi. Selain kasus bunuh diri atau
percobaan bunuh diri, ada pula penyandang cacat tetap yang berkeinginan kuat
untuk sembuh. Terlalu besarnya keinginan untuk sembuh membuat penyandang
cacat tersebut berusaha mencari jalan untuk sembuh dari kecacatannya dengan
cara-cara tidak ilmiah yang membahayakan bagi dirinya sendiri. Berikut ini
adalah contoh kasus yang pernah terjadi di Kabupaten Bantul:
Contoh kasus pertama dialami oleh seorang gadis belia berusia 23 tahun
berinisial ”Sum” yang beralamat di Dusun Pandean, Desa Gilangharjo,
Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. ”Sum” yang terpaksa menjalani amputasi
pada saat terjadi gempa bumi tanggal 27 Mei 2006. Akibat tidak tahan lagi dengan
kecacatan yang dia derita, pada tanggal 04 Oktober 2006, ”Sum” melakukan
tindakan nekad dengan membakar dirinya sendiri dengan menggunakan bensin.
”Sum” yang ditemukan dalam kondisi luka bakar serius kemudian dilarikan ke
Rumah Sakit Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta (http://www.indosiar.com).
Contoh kasus kedua dialami oleh ”ES”, seorang gadis berusia 26 tahun
yang tinggal di Desa Kranggotan, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Sebelum
terjadi gempa bumi Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006, “ES” dikenal sebagai
seorang sarjana MIPA yang banyak beraktivitas dan supel dalam pergaulan. “ES”
bahkan bersama dengan kekasihnya telah merencanakan pernikahan yang
sedianya akan segera dilaksanakan. Namun Tuhan berkehendak lain, pada saat
gempa bumi terjadi, “ES” terjatuh dan tertimpa tembok rumahnya sehingga
mengalami patah tulang belakang yang mengakibatkan paraplegia, sehingga “ES”
mengalami kelumpuhan anggota gerak bagian bawah. Kelumpuhan yang dialami
membuat “ES” kehilangan banyak hal yang dahulu dapat dinikmatinya.
Keterbatasan fisik membuat “ES” tidak dapat beraktivitas seperti dahulu,
menganggap dirinya tidak berguna, hingga puncaknya adalah pada saat keluarga
kekasihnya tidak mau menerima keadaan fisiknya sekarang. Merasa kecewa, “ES”
kemudian nekad mencoba untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadi
tangan. Usaha bunuh diri pertama kali gagal karena perawat menemukan “ES”
dalam kondisi bersimbah darah. Tidak puas dengan usaha pertama, “ES” mencoba
melakukan usaha kedua dengan cara yang sama, namun sekali lagi usaha tersebut
dilakukan “ES” dengan jalan yang sama, namun mengalami kegagalan karena
diketahui oleh salah seorang kerabatnya.
Contoh kasus yang ketiga dijumpai di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr.
Soeharso, Surakarta, yaitu seorang laki-laki bernama ”S” yang ditinggalkan oleh
istrinya karena ”S” mengalami paraplegia akibat fraktur pada tulang belakangnya.
Istri ”S” menyatakan bahwa akan pergi hingga ”S” bisa berjalan lagi. Keinginan
untuk dapat berkumpul dengan istrinya membuat ”S” melakukan segala cara agar
dapat berjalan kembali. Berbekal informasi dari seorang rekan, ”S” melakukan
terapi bagi dirinya sendiri, yaitu dengan merendam kaki hingga sebatas paha
dengan air hangat. Namun, karena saraf di daerah kaki ”S” sudah tidak dapat
berfungsi lagi, maka ”S” tidak dapat merasakan panas dari air yang digunakannya.
”S” kemudian menambah air panas pada air yang digunakannya. Alhasil, kaki ”S”
mengalami luka bakar grade II dan harus menjalani perawatan di rumah sakit,
sedangkan kelumpuhan yang dialami tidak juga sembuh.
Ketiga kasus yang telah dipaparkan di atas mencerminkan bahwa banyak
di antara penyandang cacat akibat gempa bumi Yogyakarta yang belum dapat
menerima diri. Beberapa penyandang cacat tetap yang belum dapat menerima
kecacatannya ada yang memiliki keinginan yang sangat besar untuk kembali
normal, sehingga melakukan cara-cara yang kurang rasional untuk mencapainya.
Hal ini dapat dilihat dari paparan kasus ketiga. Selain itu, ada pula beberapa
penyandang cacat tetap yang kehilangan harapan hidup, sehingga melakukan
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya penerimaan
diri seseorang. Anderson (1959) menyatakan bahwa self acceptance (penerimaan
diri) penting untuk mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan jiwa kita. Menurut
Calhoun dan Acocella (dalam Badaria dan Astuti, 2004), penerimaan diri
merupakan aset pribadi yang berharga karena mempunyai pengaruh terhadap
penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu, sehingga sifat-sifat dalam dirinya
seimbang dan terintegrasi. Orang-orang yang penerimaan dirinya positif, berarti
orang itu mampu memahami dirinya dan menerima kenyataan bahwa dirinya
berbeda dengan orang lain, dalam menerima dirinya sendiri, seseorang harus
dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan kehidupannya. Hal ini sangat
sesuai dengan Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah
faktor utama yang membentuk kepribadian yang sehat.
Penerimaan individu terhadap cacat yang mereka alami berbeda-beda,
dan sering kali tidak sebanding lurus dengan tingkat kecacatannya. Hal ini
dikarenakan sikap-sikap mereka dipengaruhi oleh situasi sosial yang lebih luas.
Setiap individu yang cacat fisik memiliki kebutuhan emosional khusus,
kemampuan bawaan, dan latar belakang pengalamannya sendiri. Jika penyandang
cacat dengan cacat fisiknya diterima oleh orang-orang yang berarti dalam
lingkungannya, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk bisa menerima
cacatnya dan mengatur cara menyesuaikan diri dengan cacatnya. Sebaliknya,
apabila individu tersebut ditolak atau dilindungi secara berlebihan, maka persepsi
terhadap dirinya sendiri berupa kebencian atau perasaan kasihan terhadap diri
terhadap kecacatan juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat,
misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai suatu aib dan memalukan, sehingga
anggota penyandang cacat harus disembunyikan dari penglihatan warga lainnya.
Hal ini menyebabkan penyandang cacat tidak dapat menerima kecacatannya
(Kasim, 2002).
Menurut Semiun (2006), dampak cacat fisik tidak jelas dan langsung,
namun sampai batas tertentu, cacat itu ditentukan oleh hubungan-hubungan
antarpribadi yang dialami oleh orang-orang yang cacat. Dengan kata lain, respon,
sikap, serta perlakuan keluarga dan orang-orang yang penting dalam lingkungan
sangat mempengaruhi reaksi-reaksi tingkah laku individu terhadap cacat fisik
yang dialami.
Reaksi orang-orang di lingkungan penyandang cacat menurut Schuster
dan Ashburn (1992) dapat berupa penolakan (rejection), idealisasi (idealization),
merasa kasihan, dan dapat pula berupa penerimaan secara realistis (realistic
acceptance). Reaksi penolakan terhadap penyandang cacat dapat berupa upaya
menyingkirkan individu penyandang cacat. Cara yang ditempuh seperti
memasukkan penyandang cacat ke yayasan yang mengurusi penyandang cacat,
menitipkan di tempat saudara lain, hingga menelantarkan begitu saja. Reaksi
idealisasi berupa penolakan terhadap kecacatan yang disandang oleh individu
penyandang cacat, dan senantiasa berusaha membuat penyandang cacat tersebut
dapat menjadi normal kembali sesuai dengan keinginan mereka. Reaksi merasa
kasihan termanifestasi dalam memberikan perhatian yang sangat berlebihan
yang harus diperoleh penyandang cacat. Adapun reaksi penerimaan realistis
termanifestasi dalam sikap memberikan pengarahan menuju kehidupan mandiri
penyandang cacat.
Reaksi penerimaan realistis oleh lingkungan akan berupa sikap-sikap
penerimaan terhadap penyandang cacat. Adapun sikap penerimaan terhadap
penyandang cacat dapat berupa pemberian dukungan sosial yang menurut House
(dalam Smet, 1994) memiliki aspek atau bentuk tertentu. Bentuk atau aspek
tersebut meliputi (1) Dukungan Emosional, mencakup ungkapan empati,
kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan; (2) Dukungan
Penghargaan, meliputi ungkapan formal, dorongan untuk maju, serta membantu
seseorang untuk melihat segi-segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan
dengan keadaan orang lain yang berfungsi untuk menambah penghargaan diri; (3)
Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, sesuai dengan yang
dibutuhkan orang lain; (4) Dukungan Informatif, meliputi pemberian
nasihat-nasihat, petunjuk, saran-saran dan umpan balik. House (dalam Corneil, 1998) juga
menilai bahwa dukungan emosional sebagai bentuk yang paling penting dari
dukungan sosial karena merupakan dasar dari ketiga bentuk dukungan yang lain.
Hal ini didapatkan dari kenyataan bahwa aspek-aspek dukungan emosional seperti
perasaan empati, kepedulian, dan kemampuan untuk mendengarkan merupakan
dasar yang nantinya akan menggerakkan orang-orang di lingkungan seorang
individu untuk memberikan aspek-aspek lain dalam dukungan sosial kepada
Reaksi lain yang mungkin ditampilkan oleh orang-orang di lingkungan
penyandang cacat adalah penolakan. Penolakan terhadap penyandang cacat dapat
berupa menyembunyikan penyandang cacat tersebut dari lingkungan,
membedakan hak dan kewajiban penyandang cacat tersebut dengan individu lain
di lingkungannya, hingga membuang penyandang cacat tersebut baik dengan cara
yang halus (menitipkan ke yayasan pembinaan orang cacat) ataupun dengan cara
yang kasar (membiarkan menggelandang, dan lain-lain). Perlakuan orang-orang
tersebut sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri sang penyandang
kecacatan, mengingat tidak mungkin seorang penyandang cacat dapat menerima
dirinya dengan kecacatannya jika orang-orang di lingkungannya tidak menerima
kehadirannya.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya
dukungan emosional keluarga bagi penyandang cacat tetap. Dukungan emosional
sangat diperlukan untuk mempersiapkan penyandang cacat untuk menghadapi
realita kecacatan yang akan disandang seumur hidupnya. Dukungan emosional
membuat penyadang cacat tetap menjadi lebih mampu menerima diri sehingga
tidak lagi mencari jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya atau mencoba cara-cara
yang irasional yang berbahaya karena keinginan untuk sembuh dari kecacatannya.
Mencermati fenomena yang telah dipaparkan, serta melihat pentingnya dukungan
emosional untuk meningkatkan penerimaan diri penyandang cacat tetap, peneliti
berinisiatif untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan
emosional keluarga dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah terdapat hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan
penerimaan diri pada korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang
mengalami kecacatan tetap?
2. Berapakah sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap
penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten
Bantul?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga
dengan penerimaan diri penyandang cacat pada korban gempa bumi di
Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan tetap.
2. Untuk mengetahui berapa besar sumbangan efektif dukungan emosional
keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu
manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Manfaat teoritis yang
didapatkan dari peneilitian ini adalah:
1. Manfaat bagi keilmuan Psikologi untuk membuktikan adanya hubungan antara
dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri korban gempa bumi di
Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen.
2. Manfaat bagi dunia penelitian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih pemikiran baru untuk dapat dikembangkan lebih jauh lagi dalam
mengungkap hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan
penerimaan diri individu penyandang cacat tetap.
Adapun manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang penyandang cacat
tetap, agar dapat memberikan perhatian dan perlakuan terutama dari segi
emosional untuk mendukung anggota keluarga yang menyandang kecacatan
tetap dalam mencapai penerimaan diri yang positif.
2. Bagi institusi yang melaksanakan rehabilitasi kepada penyandang cacat agar
dapat merancang berbagai pendekatan khususnya yang berbasis pemberian
dukungan emosional dengan pemberdayaan masyarakat agar dapat membantu
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat
1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat
Penerimaan diri menurut Corsini (1999) adalah pengakuan atas
kemampuan dan prestasi pribadi, bersama dengan pengakuan dan penerimaan
keterbatasan pribadi. Kurangnya penerimaan diri secara umum dianggap sebagai
ciri utama gangguan emosional. Menurut Rubin (1982), penerimaan diri
merupakan sikap merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan
pada dirinya. Hal ini sejalan dengan Pannes (dalam Hurlock, 1973), yang
menyatakan bahwa penerimaan diri adalah ungkapan rasa penghargaan yang
ditujukan pada kenyataan diri sendiri. Burns (1985) dan Johnson (1993)
menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tidak adanya sikap sinis mengenai diri
sendiri. Chaplin (1999) mengatakan penerimaan diri adalah sikap yang pada
dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat
sendiri, serta pengetahuan-pengetahuan akan keterbatasan-keterbatasan nya
sendiri.
Sartain (1973) menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan kemauan
individu untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan untuk mengakui
keadaan dirinya. Hal ini tidak berarti individu tersebut sudah tidak memiliki
ambisi lagi, melainkan mereka masih memiliki keinginan untuk memperbaiki
penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, orang yang
menerima diri dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Orang yang menerima diri bebas dari rasa bersalah,
rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari
kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya. Perls
(dalam Schultz, 1991) mendefinisikan penerimaan diri berkaitan dengan orang
yang sehat secara psikologis yang memiliki kesadaran dan penerimaan penuh
terhadap siapa dan apa diri mereka.
Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya
sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya
tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki
perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara
irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari potensi diri yang dimiliki,
merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari
kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri.
Sheerer (dalam Cronbach, 1963) menyatakan bahwa orang yang menerima
diri adalah orang yang memiliki konsep diri positif, sehingga dapat menerima
keadaan-keadaan yang ada pada dirinya. Konsep diri sendiri menurut Burns
(1985) adalah kesan yang ditangkap oleh seseorang mengenai diri sendiri secara
menyeluruh, yang di dalamnya mencakup persepsi tentang diri sendiri, pendapat
tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang telah
dicapai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat menerima diri
mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan mencerna pendapat orang lain
mengenai dirinya sendiri. Menurut Sheerer, orang yang menerima diri percaya
terhadap kemampuan diri, merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi
ke luar diri, bertanggungjawab, berpendirian, menyadari keterbatasan, serta
menerima sifat kemanusiaan.
Allport (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menjelaskan bahwa penerimaan
diri merupakan sikap yang positif, yang ketika individu menerima diri sebagai
seorang manusia, maka dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah,
takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain. Ryff (dalam Kail dan
Cavanaugh, 2000) mendefinisikan penerimaan diri sebagai pandangan positif
tentang diri sendiri, mengakui dan menerima segi yang berbeda dari dirinya
sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan
Sosial Penderita Cacat menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah seseorang
yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental
yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak. Kecacatan terdiri atas cacat tubuh,
cacat netra, cacat mental, cacat rungu-wicara, dan cacat bekas penyandang
penyakit kronis. Definisi penyandang cacat kemudian dipersingkat dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa Penyandang
Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat ganda. Adapun
penyadang cacat yang akan dibahas di sini adalah penyandang cacat fisik.
Coleridge (1997) mengemukakan definisi kecacatan dengan sudut
pandang sosial. Definisi kecacatan yang diungkapkan oleh Coleridge terutama
merujuk pada kecacatan fisik yang dilihat dari sudut pandang sosial. Menurut
Coleridge, kecacatan terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Impairment (kerusakan/kelemahan)
Impairment merujuk pada ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang
disertai akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu. Sebagai contoh adalah
kelumpuhan di bagian bawah tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan
dengan kedua kaki.
b. Disability/Handicap (kecacatan/ketidakmampuan)
Disability merujuk pada kerugian atau keterbatasan dalam aktivitas
tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali
tidak memperhitungkan orang yang menyandang kerusakan atau kelemahan
tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang tersebut dari arus aktivitas
sosial.
Supratiknya (1995) membagi sebab-sebab cacat fisik menjadi dua, yaitu
cacat bawaan atau cacat sejak lahir dan cacat non bawaan. Cacat bawaan atau
cacat sejak lahir merupakan kecacatan yang terjadi sejak individu lahir karena
sebelum proses kelahiran individu sudah mengalami kecacatan atau mungkin juga
kecacatan disebabkan oleh proses yang salah pada saat kelahiran. Cacat non
pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma (kecelakaan
atau peperangan).
Soenaryo (1995) mengklasifikasikan tingkat kecacatan fisik yang
disandang seorang individu menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Cacat fisik ringan
Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik ringan
apabila menyandang kecacatan, namun masih dapat mengurus dirinya sendiri dan
belum memerlukan alat bantu untuk melakukan aktivitasnya. Contoh penyandang
cacat ringan adalah individu yang satu tangan atau satu kakinya mengalami
kelayuan, tidak dapat digunakan, atau putus. Contoh lain adalah individu yang
cacat pada salah satu kakinya karena terpotong sampai dengan batas lutut.
b. Cacat fisik sedang
Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik sedang
apabila menyandang kecacatan yang mengharuskan penggunaan alat bantu seperti
kruk, walker, atau kursi roda untuk dapat menjalani aktivitas sehari-harinya.
Contoh individu yang menyandang cacat fisik sedang adalah individu yang
mengalami kelayuhan pada dua kaki dan satu tangan, kedua kaki putus, dan
sebagainya.
c. Cacat fisik berat
Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik berat
apabila menyandang kecacatan yang menyebabkan ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Individu yang menyandang cacat
membutuhkan alat bantu untuk aktivitasnya. Contoh individu yang dikategorikan
sebagai penyandang cacat fisik berat adalah penyandang cacat yang mengalami
paraplegia, tetraplegia, dan kehilangan seluruh anggota geraknya.
Meskipun kami membahas mengenai klasifikasi tingkat kecacatan fisik,
namun dalam penelitian ini, kami hanya akan melakukan penelitian mengenai
hubungan antara dukungan emosional dengan penerimaan diri secara umum saja
tanpa memandang mengenai tingkat kecacatan yang disandang oleh para
responden.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas, dapat dinyatakan bahwa
penerimaan diri adalah kesan positif secara menyeluruh dalam mempersepsikan
diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat orang lain mengenai dirinya.
Orang yang menerima diri memiliki sifat percaya terhadap kemampuan diri,
merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri,
bertanggungjawab, berpendirian, menyadari akan keterbatasan diri, serta
menerima sifat kemanusiaan yang dimiliki. Adapun penyandang cacat adalah
orang yang mengalami ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai
akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu yang diakibatkan karena faktor bawaan
atau faktor non bawaan. Kecacatan tetap diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu cacat
ringan, cacat sedang dan cacat berat.
Berdasarkan pada paparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
penerimaan diri pada penyandang cacat adalah kesan positif secara menyeluruh
dalam mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat
ketidaklengkapan atau ketidaknormalan beserta akibat-akibatnya terhadap
beberapa fungsi tertentu.
2. Pentingnya Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat
Penerimaan diri sangat mempengaruhi tingkat penyesuaian diri seseorang.
Hurlock (1973) menyatakan bahwa semakin seseorang menyukai dirinya, maka
orang tersebut akan semakin menerima dirinya. Semakin tinggi penerimaan diri
seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat penyesuaian dirinya. Hurlock juga
menambahkan bahwa orang yang menerima dirinya akan merasa digunakan,
disukai, dibutuhkan dan secara fundamental merasa berharga. Dalam hal ini
terlihat sekali bahwa penerimaan diri adalah salah satu kunci untuk mencapai
hidup yang bahagia. Hurlock kemudian membagi dampak dari penerimaan diri ke
dalam dua kategori menurut lingkupnya yaitu:
a. Penyesuaian diri
Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan
kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang memiliki penyesuaian
diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya
memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima
kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan
demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara
realistis, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif. Hal
tersebut karena individu yang menerima dirinya memiliki anggapan yang realistis
b. Penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang
lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan
perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian
orang yang memmiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial
yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa
tidak adekuat sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada
dirinya sendiri (self oriented).
Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena
penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri
dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik
maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu
pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai
dengan realitas.
Berdasarkan pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa penerimaan diri
sangat penting bagi penyandang cacat untuk dapat menyesuaikan diri baik di
dalam dirinya sendiri, maupun di dalam pergaulan di lingkungan sosial. Orang
yang dapat menerima diri niscaya akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang
realistis agar dapat menyesuaikan diri di dalam pribadi maupun di lingkungan
sosial.
3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat
Tahapan penerimaan diri yang dilalui oleh penyandang cacat bervariasi,
seluruh tahapan secara tidak berurutan, bahkan ada pula yang tidak mengalami
sebagian tahapan. Secara garis besar diungkapkan oleh Glaser (1966), tahapan
penyesuaian diri penyandang cacat sesuai dengan skema penerimaan diri sebagai
berikut:
Disclosure (Membuka Diri)
Depression (Depresi)
Acceptance (Menerima) Denial (Menolak)
Active Preparation (Persiapan Aktif) Passive Preparation (Persiapan Pasif)
Gambar I: Skema Penerimaan Diri menurut Glaser (1966)
Menurut Glaser, tahapan penerimaan diri seorang penyandang cacat tetap
adalah sebagai berikut:
a. Tahap Pertama: Disclosure (Membuka Diri)
Tahap pertama dalam penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah sang
penyandang cacat mengetahui kondisi fisiknya, yaitu bahwa sekarang sang
penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami kecacatan permanen.
Penyandang cacat tetap yang mengetahui keadaan fisiknya, kemudian mencari
informasi-informasi mengenai bagaimana kondisi fisik yang dialami, cara
menyembuhkan dirinya (dari kecacatan yang disandangnya), dan
Setelah membuka diri, seorang penyandang cacat akan mengetahui kondisi
riil mengenai keadaan yang dialami, salah satunya adalah bahwa kecacatan yang
dialami akan disandang seumur hidup. Kondisi ini tentunya sangat mengejutkan
karena tidak ada lagi harapan untuk memiliki tubuh yang sempurna kembali
seperti sedia kala. Hal ini membuat sebagian besar penyandang cacat tetap akan
menjalani suatu tahap atau fase yang disebut sebagai depresi.
b. Tahap Kedua: Depression (Depresi)
Adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ditemui oleh
penyandang cacat tetap yang mayoritas diakibatkan oleh suatu kecelakaan atau
bencana membuat mereka masih berharap bahwa kondisi fisiknya akan kembali
seperti sedia kala. Harapan para penyandang cacat tetap agar dapat kembali
seperti sedia kala merupakan sesuatu yang wajar. Namun, karena kecacatan yang
disandangnya bersifat permanen, maka harapan untuk dapat kembali seperti
semula adalah hal yang mustahil.
Tidak terpenuhinya harapan untuk kembali seperti sedia kala membuat
penyandang cacat tetap mengalami depresi dan tidak mau menerima kondisi fisik
yang dialami. Masing-masing penyandang cacat memiliki karakteristik yang
berbeda, sehingga antara penyandang cacat yang satu dengan yang lain
berbeda-beda dalam melalui tahap depresi ini. Ada penyandang cacat yang melalui tahap
depresi dalam jangka waktu yang singkat, ada yang melalui tahap ini dalam
jangka waktu yang lama, dan bahkan ada penyandang cacat yang tidak melalui
c. Tahap Ketiga: Acceptance or Denial (Menerima atau Menolak)
Tahap ketiga penerimaan diri penyandang cacat adalah menerima atau
menolak kecacatan permanen yang disandangnya. Jika seorang penyandang cacat
menolak kondisi kecacatan fisik yang dialami, maka ada beberapa kemungkinan
hal yang akan dialami. Penyandang cacat mungkin akan mengalami depresi yang
berkepanjangan, atau mungkin akan berusaha dengan cara apapun untuk dapat
kembali seperti semula, bahkan dengan cara-cara yang irrasional, bahkan ada pula
yang karena tidak mampu menerima kondisi fisik yang dialami, seorang
penyandang cacat tetap nekad untuk berusaha mengakhiri hidupnya. Hal ini sesuai
dengan contoh kasus yang telah disajikan di bagian pendahuluan.
Apabila seorang penyandang cacat menerima kondisi fisik yang dialami
sekarang, maka ada dua kemungkinan hal yang akan dilakukan oleh penyandang
cacat tersebut. Dua hal tersebut adalah:
1) Active Preparation (Persiapan Aktif), yaitu bersiap-siap menghadapi
kecacatan yang disandangnya dengan cara aktif dalam melakukan latihan
kemandirian, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, aktif dalam bersosialisasi,
dan lain-lain. Hal yang membedakan antara active preparation dengan passive
preparation penyandang cacat yang melakukan active preparation berusaha
untuk melakukan persiapan (seperti belajar menggunakan kursi roda,
mengikuti fisioterapi, mengikuti terapi okupasi) secara aktif, tidak tergantung
pada orang-orang di lingkungannya.
2) Passive Preparation (Persiapan Pasif), yaitu juga melakukan persiapan untuk
pasif. Perbedaan yang ada jika dibandingkan dengan penyandang cacat yang
melakukan active preparation adalah penyandang cacat yang melakukan
passive preparation masih sangat tergantung oleh orang-orang yang ada di
lingkungannya untuk mau melakukan persiapan, seperti dalam mengikuti
fisioterapi harus diingatkan oleh keluarganya, kurang inisiatif untuk belajar
menggunakan kursi roda, dan sebagainya.
Ahli lain yang menjabarkan mengenai tahapan emosional penyandang
cacat sejak dari tahap krisis hingga tahap penerimaan diri adalah LeMaistre
(1999). LeMaistre menyatakan ada enam tahap yang harus dilalui oleh seorang
penyandang cacat hingga mampu menerima diri. Tahap-tahap tersebut dijabarkan
sebagai berikut:
a. Tahap Krisis
Pada tahap krisis, penyandang cacat merasa menderita dan sangat
ketakutan. Secara fisik maupun psikologis, penyandang cacat akan mengalami
penurunan kemampuan dalam merespons orang lain, disorientasi, dan mengalami
peningkatan kecemasan. Selama masa krisis, dukungan emosional sangat
dibutuhkan oleh penyandang cacat. Tahap krisis dilalui oleh hampir semua pasien
penyandang cacat dengan energi dan perhatian yang difokuskan pada persiapan
fisik dalam menanggapi sakit yang dideritanya, sehingga bertahan adalah
perhatian utama. Selain itu, pasien penyandang cacat dan keluarganya harus
mengatasi rasa takut yang diakibatkan oleh ketidakjelasan nasib atau masa
b. Tahap Isolasi
Ketika sifat akut penyakit telah berkurang, namun pemulihan total tidak
terjadi dan kecacatan menetap, penyandang cacat menyadari bahwa ada begitu
banyak ketidakpastian mengenai masa depan. Penyandang cacat mengalami
kegelisahan, sehingga pada malam hari mengalami kesulitan tidur. Ketidakpastian
masa depan menjadi salah satu serangan besar dalam diri penyandang cacat.
Kecemasan penyandang cacat sering mengakibatkan kekakuan dalam
berhubungan dengan orang lain dan diri sendiri, sehingga penyandang cacat
cenderung mengisolasi diri. Hal ini diakibatkan oleh kepercayaan pasien bahwa
tidak ada orang yang dapat mengerti mengenai kesedihan dan kehilangan yang
dialaminya.
Keluarga sang penyandang cacat mungkin akan merasa marah, takut,
bahkan jijik dengan situasi yang dialami oleh penyandang cacat tersebut. Pada
saat itu, baik penyandang cacat maupun keluarganya kembali ke dalam pikirannya
masing-masing dan kini dihantui oleh pengetahuan bahwa hidup mereka tidak
akan sama seperti sebelumnya lagi. Pada tahap isolasi komunikasi terbuka sangat
penting. Kedua belah pihak tidak boleh saling menyalahkan. Komunikasi harus
dilakukan dengan intensif untuk memecahkan isolasi.
c. Tahap Anger/Kemarahan
Setelah mengetahui keadaan fisik yang sebenarnya, penyandang cacat
merasa marah, cemas, tidak berdaya, merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya
sangat tidak adil, sehingga secara emosional penyandang cacat akan marah, sering
berbahaya ketika hal ini terjadi adalah penyandang cacat tersebut akan melakukan
percobaan bunuh diri.
Ada dua alasan yang membuat penyandang cacat menjadikan dirinya
sendiri sebagai target kemarahannya. Pertama, tidak mungkin untuk marah kepada
nasib, karena tidak ada lawan eksternal. Kedua, kecacatan yang disandangnya
melahirkan rasa tidak berdaya. Anggapan bahwa kecacatan yang sekarang
disandangya tidak dapat disembuhkan dan itu semua adalah kesalahan
penyandangnya sendiri.
d. Tahap Rekonstruksi
Tahap ini dialami oleh penyandang cacat yang telah merasa jauh lebih
kuat secara fisik dan telah memiliki cukup waktu untuk memulai suatu
keterampilan hidup baru. Pada tahap ini biasanya rasa aman mulai tumbuh, serta
suasana hati lebih bahagia karena penyandang cacat sudah mulai berusaha untuk
menguasai kemampuan-kemampuan baru untuk kehidupannya.
Hal-hal yang direkonstruksi bukanlah hidup seperti yang sebelumnya,
namun perasaan bahwa diri penyandang cacat tersebut adalah seseorang yang utuh
entitas dan kohesif. Rekonstruksi ini memiliki beberapa aspek, seperti
keterampilan baru, dan yang paling penting adalah kekuatan emosional.
e. Tahap Intermitten Depression / Depresi Berulang
Setelah semua tampak lebih cerah bagi penyandang cacat, maka akan ada
keinginan untuk melakukan jeda dalam melakukan aktivitas-aktivitas baru yang
kini dilakukan. Ketika masa jeda atau masa istirahat dilakukan oleh penyandang
menyandang kecacatan dilakukannya dengan lebih mudah. Bayangan-bayangan
tersebut dapat menghasilkan kesedihan dan keputusasaan, apalagi jika kecacatan
yang disandangya sekarang telah mengakibatkan banyak hal yang kurang
menyenangkan terjadi dalam kehidupan sang penyandang cacat tersebut.
Depresi berulang menggabungkan dua perasaan, yaitu kesadaran akan
hilangnya fungsi yang biasa dilakukan sebelum menyandang kecacatan, dan hal
yang disebut sebagai phantom psyche, yaitu bayangan-bayangan atau
khayalan-khayalan yang muncul seperti bagaimana kehidupan yang seharusnya dilalui
sekarang jika tidak menyandang cacat, atau bagaimana jika sekarang masih
menjalani hidup sebagai manusia normal. Keinginan-keinginan untuk kembali
normal membuat penyandang cacat mengalami depresi yang berulang-ulang. Hal
ini terjadi karena sering kali pada saat senggang, bayangan-bayangan dan
keinginan-keinginan tersebut muncul kembali dan berulang-ulang.
f. Tahap Renewal/Pembaharuan
Ketika masa kesedihan, kehampaan, penyesalan, dan keinginan yang
sangat kuat untuk sembuh kembali telah hilang, telah menguasa teknik
menggunakan kursi roda, dan telah bangga dengan prestasi yang didapatkan, yaitu
dapat menjalani kehidupan mandiri meski menyandang kecacatan, seorang
penyandang cacat mulai memasuki tahap renewal. Hal yang paling terlihat dalam
tahap ini adalah adanya perubahan gaya hidup dan harus adanya
keterampilan-keterampilan baru.
Penyandang cacat yang telah masuk tahap renewal, mampu menerima
keterampilan-keterampilan untuk dapat mandiri dengan kondisinya sekarang,
sehingga tidak lagi merasa cemas dengan masa depannya. Secara emosional,
penyandang cacat juga lebih stabil.
Berdasarkan pada teori-teori yang diungkapakan oleh para ahli mengenai
tahapan-tahapan emosional yang dilalui oleh penyandang cacat sebagaimana
dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan emosional seorang
penyandang cacat untuk menuju kepada penerimaan diri sangat berbeda-beda
pada masing-masing orang. Ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional
secara berurutan, ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara tidak
berurutan, dan ada pula orang yang melalui sebagian saja tahapan emosional
tersebut. Tahapan-tahapan emosional yang secara teoretis dilalui oleh seorang
penyandang cacat terdiri atas enam tahapan, yaitu tahap krisis, tahap isolasi, tahap
kemarahan, tahap rekonstruksi, tahap depresi berulang, dan tahap pembaharuan
(yang di dalamnya, penyandang cacat yang bersangkutan telah mampu menerima
dirinya).
4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Dirinya
Penerimaan diri yang dibentuk oleh seorang individu, menurut Schultz
(1991) merupakan suatu hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri pribadi
individu tersebut. Hal ini diperjelas oleh Jersild (1963) yang menyatakan bahwa
terbentuknya pengertian tentang arti positif dari kenyataan mengenai
kemampuan-kemampuan diri sendiri diperoleh dengan cara meninjau kemampuan-kemampuan tersebut
Sheerer (dalam Thompson, Gardiner, dan Di Vesta, 1959) menyebutkan
bahwa orang yang menerima dirinya memiliki sejumlah nilai dan patokan dalam
berperilaku. Nilai-nilai tersebut akan membentuk keutuhan pribadi orang
termasuk dalam menerima keadaan dirinya. Sheerer (dalam Cronbach, 1963)
mengungkapkan delapan ciri orang yang menerima dirinya, yaitu:
a. Memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan.
Yakin akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan di sini dapat
berupa percaya terhadap dirinya sendiri, lebih melihat kelebihan daripada
kekurangan yang ada dalam dirinya, serta puas menjadi diri sendiri. Orang yang
menerima dirinya akan berpandangan optimis terhadap masa depan, sehingga apa
yang ada di depannya akan nampak cerah.
b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan
orang lain.
Orang yang menerima dirinya akan memandang bahwa harga dirinya sama
dengan harga diri orang lain di sekitarnya. Hal ini membuat orang yang menerima
dirinya merasa memiliki kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban dengan
orang lain di sekitarnya.
c. Tidak menganggap dirinya abnormal atau aneh dan tidak mengharapkan orang
lain menolak dirinya.
Menerima diri berarti menganggap dirinya sama dengan orang lain, bukan
merupakan suatu anomali yang harus dijauhkan dari komunitas normal. Orang
manusia seutuhnya tanpa memandang dirinya sebagai suatu hal yang ditolak oleh
orang lain.
d. Tidak malu atau hanya senantiasa memperhatikan dirinya sendiri.
Orang dengan penerimaan diri yang baik akan memiliki orientasi diri lebih
ke luar daripada ke dalam dirinya sendiri. Sikap menolong, ramah kepada orang
lain, dan lain-lain dilakukan oleh orang dengan penerimaan diri yang baik. Hal ini
akan membantu orang tersebut untuk lebih diterima secara sosial oleh orang lain.
e. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
Orang dengan penerimaan diri yang baik berani memikul tanggung jawab
atas akibat dari apa yang telah dia lakukan. Orang dengan penerimaan diri yang
baik cenderung berani mengakui kesalahan yang diperbuat dan berani mengakui
suatu hal yang memang menjadi haknya.
f. Menggunakan norma dirinya sendiri dalam berperilaku.
Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk lebih mengikuti
standar dirinya sendiri daripada bersikap conform terhadap tekanan sosial. Orang
dengan penerimaan diri yang baik cenderung menganggap dirinya memiliki hak
untuk memiliki ide, aspirasi dan pengharapan sendiri.
g. Menerima pujian dan celaan secara objektif.
Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung mampu melakukan
penilaian yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangannya. Hal ini juga
terjadi dalam menerima pujian dan celaan. Orang dengan penerimaan diri yang
h. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya atau
mengingkari kelebihannya.
Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk menerima
dirinya dan tidak menyangkal impuls emosinya. Orang dengan penerimaan diri
yang baik cenderung untuk menganggap wajar kekurangan atau keterbatasan
dirinya daripada orang lain, seperti ketika orang lain juga memiliki keterbatasan.
Berdasarkan pada teori mengenai ciri-ciri individu yang menerima dirinya
seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat
menerima dirinya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a). Yakin atas
kemampuannya dalam menghadapi kehidupan; (b). Menganggap dirinya sederajat
dengan orang lain; (c). Menganggap dirinya normal dan tidak mengharapkan
orang lain menolak dirinya; (d). Berorientasi ke luar; (e). Bertanggungjawab
terhadap perbuatan yang telah dilakukan; (f). Menggunakan norma-norma diri
sendiri dalam berperilaku; (g). Menerima celaan dan pujian secara objektif; (h).
Tidak menyalahkan diri sendiri atas keterbatasan dan ketidakberdayaan yang
dimiliki.
5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri
Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya
sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya
tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki
perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara
merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari
kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri.
Secara rinci, Jersild (1963) mengemukakan beberapa poin mengenai aspek
penerimaan diri sebagai berikut :
a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan realistis.
Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan berpikir
lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana ia terlihat dalam pandangan
orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna
tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan
berbicara secara objektif mengenai dirinya yang sebenarnya.
b. Sikap terhadap kelemahan dan kekutan diri sendiri dan orang lain realistis.
Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan
memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya dengan lebih baik daripada
individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai
jika harus menyia-nyiakan energinya untuk menjadi hal yang tidak mungkin, atau
berusaha menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Ia
pun tidak berdiam diri dengan tidak memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya.
Sebaliknya, akan menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih leluasa.
Individu yang bersikap baik dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya akan
bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan orang lain.
c. Merasa sejajar dengan orang lain.
Seseorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau disebut
penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas
dirinya. Adapun orang yang menerima diri akan cenderung untuk merasa sejajar
dengan orang lain dan memandang diri secara realistis.
d. Respon realistis atas penolakan dan kritikan
Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun
demikian ia mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat
mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi
atas dirinya sendiri, ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya
menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk
menghadapi masa depan individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru
menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadapnya. Yang penting dalam
penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari pengalaman dan meninjau
kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.
e. Memiliki keseimbanganantara “real self” dan “ideal self”
Individu yang memiliki penerimaan diri akan mempertahankan harapan
dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas kemungkinan.
Individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin untuk
mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan
energinya. Oleh karena itu, untuk memastikan ia tidak akan kecewa saat nantinya,
ia menyeimbangkan antara ideal self dengan real self.
f. Menerima orang lain.
Apabila seorang individu menyanyangi dirinya, maka akan lebih
individu merasa benci pada dirinya, maka akan lebih memungkinkan untuk
merasa benci pada orang lain. Terciptanya hubungan timbal balik antara
penerimaan diri dan penerimaan orang lain akan berakibat individu yang memiliki
penerimaan diri merasa percaya diri dalam memasuki lingkungan sosial.
g. Berusaha untuk menuruti kehendak, dan menonjolkan diri.
Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda.
Apabila seorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti ia
memanjakan dirinya, akan tetapi, ia akan menerima bahkan menuntut kelayakan
dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya dalam
mendapatkan posisi yang menjadi incaran dalam kelompoknya. Individu yang
menerima dirinya tidak akan membiarkan orang lain selangkah lebih maju darinya
dan menggagu langkahnya. Individu dengan penerimaan diri menghargai harapan
orang lain dan meresponnya dengan bijak, memiliki pendirian yang terbaik dalam
berfikir, merasakan dan membuat pilihan, serta tidak hanya menjadi pengikut setia
inisiatif orang lain.
h. Spontanitas dan menikmati hidup
Individu dengan penerimaan diri yang baik mempunyai lebih banyak
keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya, namun terkadang ia kurang
termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya
leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk
i. Aspek moral penerimaan diri: Jujur dalam menerima diri
Individu dengan penerimaan diri yang baik bukanlah individu yang
berbudi baik dan bukan pula fleksibelitas dalam pengaturan hidupnya. Ia memiliki
kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya, dan ia
tidak menyukai kepura-puraan. Individu ini dapat secara terbuka mengakui
dirinya sebagai individu yang pada suatu waktu dalam masalah, merasa cemas,
ragu, dan bimbang tanpa harus menipu diri dan orang lain.
j. Sikap terhadap penerimaan diri positif
Menerima diri merupakan hal peting dalam kehidupan seseorang. Individu
yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin mengalami keraguan
dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar
dapat menerima dirinya. Individu dengan penerimaan diri membangun
kekuatannya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasaannya. Banyak hal
dalam perkembangan seorang individu yang belum sempurna, bagi seseorang
individu akan lebih baik jika ia dapat menggunakan kemampuannya dalam
perkembangan hidupnya.
Ahli lain, yaitu Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengungkapkan adanya
tujuh aspek penerimaan diri, antara lain:
a. Percaya terhadap kemampuan diri
Individu yang menerima diri cenderung mempunyai kemampuan untuk
menghadapi kehidupan sekarang dan yang akan datang, sehingga individu
tersebut percaya bahwa kemampuan yang dimilikinya dapat membantu dirinya
b. Perasaan sederajat
Individu yang menerima diri menganggap diri sendiri berharga sebagai
manusia yang sama derajatnya dengan orang lain. Perasaan ini akan mengarahkan
individu tersebut untuk merasa sama seperti orang lain, tidak merasa dirinya
menyimpang ataupun istimewa.
c. Orientasi ke luar diri
Individu yang menerima diri akan merasa tidak malu atau self conscious
dalam berperilaku di lingkungannya. Hal ini akan membuat individu yang
bersangkutan lebih memperhatikan dan toleran terhadap orang lain.
d. Bertanggungjawab
Individu yang menerima diri cenderung berani memikul tanggung jawab
atas perilaku yang dilakukannya.
e. Berpendirian
Individu yang menerima diri akan cenderung lebih suka mengikuti
standarnya sendiri daripada bersikap conform terhadap standard-standard yang
diberlakukan oleh orang lain.
f. Menyadari keterbatasan
Individu yang menerima diri tidak menyalahkan diri atas
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki atau mengingkari kelebihan-kelebihan yang dimiliki.
g. Menerima sifat kemanusiaan
Individu yang menerima diri tidak menyangkal impuls atau emosinya, atau