• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Pada Pengadilan Negeri Liwa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Pada Pengadilan Negeri Liwa)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Emili Sari, Diah Gustiniati, Eko Raharjo Email: Emiliasari07@gmail.com

Abstract

Court decisions on criminal cases of theft by weighting often poses legal difference is called the disparity in the judgment. The problem in this research is why the disparity in court decisions as well as whether the execution of court decisions already meet the substantive justice. Approach to the problem used in this thesis is a normative juridical approach and empirical jurisdiction. Results of research and discussion in mind that according to article 55 of the criminal code proved that Irawan bin Tohari are people who do their own crime (plegen) and the people who helped with a criminal offense (made plegen) seen from the chronology that bin Irawan Suganda Tohari are invited Imam bin Sudiyat do the crime of theft. While Imam Bin Sudiyat Suganda is the person who helped with a criminal offense only (made plegen) it can be seen that the act of Imam Suganda bin Sudiyat meet the requirement (made plegen). Implementation of court rulings have met the substantive sense of justice, because of sentences against people who have the intention of doing as well as jointly malakukan criminal offense hukumanya higher than that taken together committed the crime.

(2)

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

(Studi Pada Pengadilan Negeri Liwa)

Oleh EMILIA SARI

Putusan pengadilan terhadap perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan sering kali meninmbulkan perbedaan hukum antara satu putusan dengan putusan yang lainnya hal ini disebut dengan disparitas dalam putusan pengadilan. Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman seorang hakim diberikan kebebasan dalam menentukan putusan yang akan diberikan kepada pelaku tindak pidana dalam hal ini tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengapakah terjadi disparitas pada putusan pengadilan serta apakah pelaksanaan putusan pengadilan sudah memenuhi keadilan subtantif? Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan narasumber hakim pada pengadilan Negeri Liwa dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

(3)

kinerja dan tetap berpegang pada perturan dan meningkatkan kinerja yang saat ini sudah lumayan memenuhi unsur keadilan agar masyarakat lebih percaya lagi terhadap putusan pengadilan yang berlaku, dan Hakim juga disarankan selain melihat peraturan atau berpegang pada Pasal 55 KUHP juga memenuhi unsur keadilan masyarakat.

(4)

NO: 94/Pid.B/2014/PN.LW. DAN

NO: 95/Pid.B/2014/PN.LW.

Oleh

EMILIA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Jurusan Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

NO: 94/Pid.B/2014/PN.LW. DAN

NO: 95/Pid.B/2014/PN.LW.

(Skripsi)

Oleh :

Emilia Sari

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ...7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...7

D. Kerangka Teoris dan Konseptual ...8

E. Sistematika Penulisan ...13

II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Putusan hakim ... 15

B. Pengertian Tindak Pidana ... 23

C. Pengertian Disparitas Pidana ... 26

D. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan... 27

D. Pengertian Penyertaan ... 30

1. Orang yang melakukan tindak pidana ... 31

2. Orang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana ... 32

3. Orang yang turut melakukan tindak pidana ... 34

4. Orang yang dengan sengaja membujuk/menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana ... 34

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber Data dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 37

D. Metode Pengumpulan Data ... 38

E. Metode Pengolahan Data ... 39

(7)

B. Penyebab Terjadinya Disparitas pada Putusan

94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan 95/Pid.B/2014/PN.LW ... 42 C. Unsur Keadilan Subtantif Disparitas Pidana pada Putusan

94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan 95/Pid.B/2014/PN.LW ... 59

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 75 B. Saran... 76

(8)

Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang

wanita wajib berpendidikan tinggi karena mereka akan

menjadi seorang ibu. Ibu-ibu yang cerdasakan melahirkan

anak-anak yang cerdas

(Dian Sastro Wardoyo)

Melupakan Kegagalan Memang Susah, Tapi Lebih

Buruk Jika Tidak Mencoba

(9)
(10)
(11)

Teriring Do’a dan rasa syukuratas kehadirat Allah SWT , atas rahmat dan hidayah-nya serta junjungan tinggi Rasullah Muhammad SAW.

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Ayah dan Ibu

Matrizwan dan Nilam Kesuma sebagai orang tua tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa, yang selalu memberi kasih sayang yang tulus dan do’a yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati, serta yang tidak pernah meninggalkan penulis dalam

keadaan apapun dan juga terimakasih atas kasih sayang dan sportnya yang tak pernah bisa penulis balas.

Kakak dan adik tercinta

Dela Eka Sumyana dan Tri Perdiyanti yang selalu menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan selalu memberikan semangat yang sangat luar biasa

kepada penulis.

Khoirul Abasi

Terimakasih atas motivasi dan semangatnya yang selalu mengarahkan penulis untuk berpikir maju memikirkan masa depan untuk menjadi jauh lebih baik lagi.

(12)

Penulis dilahirkan di Pekon Walur, Kecamatan Krui Selatan,

Kabupaten Pesisir Barat pada tanggal 13 April 1993,

Merupakan putri kedua dari tiga bersaudara, pasangan bapak

Mat Rizwan dan ibu Nilam Kesuma.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) Walur

diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Pesisir

Tengah Krui Lampung Barat diselesaikan pada tahun 2008, Sekolah Menengah

Atas (SMA) Negeri 1 Pesisir Tengah Krui Lampung Barat diselesaikan pada

tahun 2011. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lampung pada tahun 2011 melalui jalur PMPAP. Peneliti melakukan penelitian

(13)

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, atas

limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “DISPARITAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN PEMBERATAN ANTARA PUTUSAN No. 94/Pid.B/2014/PN.LW

DAN PUTUSAN No. 95/Pid.B/2014/PN/LW”. Skripsi diajukan sebagai syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Lampung.

Peneliti menyadari pembuatan skripsi ini merupakan buah dari suatu proses panjang,

yang tak luput dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, dengan segala kerendahan

hati, peneliti mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani M, S.H., M.H. Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung sekaligus selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah

memberikan saran, koreksi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

(14)

penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Figanefi, S.H., M.H. selaku pembahas pertama yang telah memberikan

bimbingan kepada Penulis selama penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku pembahas kedua terimakasih atas segala

pengarahan, saran dan masukan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian

skripsi ini.

7. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik penulis

terimakasih banyak atas saran, bantuan serta motivasinya.

8. Seluruh Bapak/Ibu Pimpinan, dosen, Staf/Karyawan dan Keluarga Besar Fakultas

Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan pemikiran dan ilmu

pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

9. Bapak Abd Kadir, S.H selaku ketua Pengadilan Negeri Liwa, Bapak Ahmad Iyudha

Nugraha, S.H,.M.H dan Ibu Dina Puspasari, S.H,.M.H terimakasih atas izin

penelitian, bantuannya, serta data-data yang diperlukan dalam proses penyelesaian

skripsi ini.

10. Bapak Matrizwan dan ibuk Nilam Kesuma terimakasih atas do’a, cinta dan kasih

sayang serta semua ilmu kehidupan yang telah bapak dan ibu berikan. Semoga Allah

SWT membalas setiap tetesan keringat, segala bentuk perhatian dan kasih

sayang yang melimpah dengan sebaik-baiknya berupa riddho dan kasih sayang

(15)

nasehatnya.

12. Pamanku Dedi Rahman, Nenek, Kakek, Bibik dan semua keluarga besarku

terimakasih banyak untuk semua kepercayaan, motivasi, harapan, dukungan, dan

inspirasi serta do’a yang diberikan selama ini kepada penulis.

13. Seseorang yang menemani dalam keadaan apapun Khoirul Abasi terimakasih telah

memberikan sumbangan pemikiran, arahan, do’a, dukungan, kepercayaan, semangat,

cinta, kasih sayang, dan kepedulian sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan

skripsi ini.

14. Sahabat-sahabat senasip dan seperjuangan selama menempuh perkuliahan Kalsum

Sari Asih, Elsa Stella Nova, Devylita Sari terimakasih telah menjadi teman dan

sahabat terbaik selama dibangku perkuliahan dan kenangan persahabatan yang takkan

pernah lupakan.

15. Teman-temanku Ernawati, Sagita Gumpita, Lasmaida, Novi Mikawensi, Tina

Cahyani, Tika Dolok, Nurul, Mba Yesika, Mba Ghea Sasmita, Ngah Etika Merlina

terimakasih untuk dukungan dan pertemanan serta canda tawa selama bersama

dibangku perkuliahan.

16. Teman-teman FH Unila’ 2011 Jurusan hukum Pidana serta semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas segala kerjasama dan

kebersamaanya selama 4 tahun perkuliahan.

17. Teman-teman Kosan Iwari, Tari, Wo Della, Eva, Rini, Lesi, Lusi, Tika, Juy yang

telah menjadi teman dikosan dan terimakasih atas persaudaraannya.

18. Teman-teman KKN desa Kali Pasir, Naila, Fitri, Agung, Ilman terimakasih atas kerja

(16)

dewasa dalam berfikir dan bertindak.

Semoga Allah SWT membalas setiap kebaikan yang telah diberikan dengan pahala

berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Bandar Lampung, Juni 2015

Penulis

(17)
(18)
(19)

A. Latar Belakang Masalah

Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia,

karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

sesudah meninggal. Hal itu menunjukkan bahwa keutuhan dalam kehidupan dapat

tetap terjaga dan terpelihara apabila ada ketentuan-ketentuan yang dijadikan

pedoman dan acuan untuk hidup bersama.

Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia

adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka

Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan menjamin

kedamaian warga negara bersamaan dan kedudukannya di dalam hukum dengan

tidak ada kecualinya. Idealnya sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem

kedaulatan hukum atas supremasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan

tertinggi di dalam negara.1

Sebagai negara hukum, Indonesia menganut beberapa asas penting yang salah

satunya adalah asas praduga tak bersalah. Asas ini menyebutkan bahwa “setiap

orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka

sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

1

(20)

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

tetap”.2

Hakim dalam memutuskan perkara sering terjadi disparitas pidana. Disparitas

pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

sama. Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul

karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang

sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh

hakim, terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapat dikatakan bahwa peranan

hakim dalam hal timbulnya disparitas pidana sangat menentukan.3

Sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman, bahwa seorang hakim

memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan undang-undang sacara

tersendiri, serta tidak terikat pada yurisprudensi atau putusan dari hakim yang

terdahulu pada suatu perkara yang sejenis. Implementasi pidana yamg dijatuhkan

oleh hakim haruslah mengandung rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum ditengah-tengah masyarakat sehingga dapat memberikan putusan yang

terbaik bagi pelaku dan korban tindak pidana tersebut.

Kekuasaan kehakiman merupakan pedoman bagi hakim untuk membentuk

peadilan yang bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945

bawa, “kekusaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan’’, dipertegas

2

Kadri Husin & Budi Rizki Husin,Sistem Peradilan Pidana DiIndonesia,Lembaga penelitian Universitas Lampung, 2012, Hlm. 81.

3

(21)

oleh Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009, bahwa “kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkana pancasila, demi terselenggaranya

Negara Hukum Republik Indonesia’’.

Menurut Molly Cheang sebagaimana dikutip oleh Muladi bahwa :

“disparitas putusan hakim atau dikenal dengan istilah disparitas pidana (disparity of sentencing) akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan yang dikenakan kepada orang-orang lain kemudian merasa menjadi korban (victim) dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai di dalam tujuan pemidanaan”.4

Pendapat ini akan melihat suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem

untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan

melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap keputusan hakim. Ditegaskan pula

oleh Bambang Poernomo bahwa:

“penegakan hukum ( law enforcement ) khususnya di dalam hukum pidana merupakan proses pelaksanaan hukum untuk menentukan tentang apa yang menurut hukum dan apa yang bertentangan atau melawan hukum, menentukan tentang perbuatan mana yang dapat dihukum / dipidana menurut ketentuan hukum pidana materiil dan petunjuk tentang bertindak serta upaya-upaya yang diharuskan untuk kelancaran berlakunya hukum baik sebelum, maupun sesudah perbuatan melanggar hukum itu terjadi sesuai dengan ketentuan hukum pidana

formil’’.5

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Pengadilan Negeri Liwa pada

Putusan No. 94/Pid.b/2014/PN.LW dan 95/Pid.B/2014/PN.LW merupakan contoh

yang penulis jadikan sebagai sampel dari adanya disparitas putusan hakim dari

4

Muladi & Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan kebijakan pidana,Cetakan keempat, Bandung: 2010, Hlm. 54.

5

(22)

banyak putusan dalam perkara yang sama. Pada dasarnya hakim mempunyai

berbagai pertimbangan di dalam menjatuhkan berat ringannya pidana kepada

terdakwa, diantaranya hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan,

baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang.

Pembahasan disparitas putusan hakim ini ada kaitannya dengan tindak pidana

pencurian dengan pemberatan yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Liwa

terhadap terdakwa Irawan bin Tohari dan Iman Suganda bin Sadiyat. Pada

dasarnya kedua terdakwa sama-sama melakukan tindak pidana pencurian dengan

pemberatan yang merugikan orang lain dan keduanya dituntut dengan pasal yang

sama yaitu Pasal 363 ayat (1) KUHP. Tetapi berdasarkan putusan pengadilan

Irawan bin Tohari dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan sedangkan Iman

Suganda Bin Sadiyat dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) bulan.

Terdakwa Irawan bin Tohari dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “telah

mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, untuk masuk ke tempat

melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan

dengan merusak”. Sebagaimana diatur dalamPasal 363 ayat (1) KUHP. Terdakwa

dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan penjara dengan dikurangi masa

tahanan, dan membayar denda perkara sebesar Rp. 2000,-(dua ribu rupiah). Hal

yang memberatkan terdakwa bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.

Hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum,

(23)

berjanji tidak akan mengulangi lagi dan masih muda dan diharapkan dapat

mengubah tingkah lakunya dikemudian hari.6

Terdakwa Suganda bin Sadiyat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana

“pencurian dengan mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,

untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang

diambil, dilakukan dengan merusak”. Diatur dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP.

Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) bulan penjara dengan dikurangi

masa tahanan, dan membayar denda perkara sebesar Rp. 2000,-(dua ribu rupiah).

Hal yang memberatkan terdakwa bahwa perbuatan terdakwa meresahkan

masyarakat. Hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum pernah

dihukum, bersikap sopan dalam Persidangan, mengakui dan menyesali

perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.7

Fakta hukum di atas menunjukkan adanya masalah yaitu kesenjangan antara

peraturan perundang-undangan dengan praktiknya di lapangan, khususnya

penerapan hukuman yang berbeda antara satu pelaku tindak pidana pencurian

dengan pemberatan dengan pelaku lainnya, sehingga menimbulkan adanya

perbedaan pemidanaan (disparitas) terhadap pelaku tindak pidana yang melakukan

tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Tindak pidana yang dilakukan secara

bersama-sama diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) sebagai berikut:

6

Disarikan dari putusan No. 94/Pid.B/2014/PN.LW

7

(24)

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.

(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya

Selanjutnya Pasal 56 KUHP menyatakan dipidana sebagai orang yang membantu

melakukan kejahatan:

1. Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;

2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP di atas maka pelaku tindak

pidana yang dilakukan secara bersama-sama seharusnya dipidanakan, tetapi pada

kenyataannya terdapat perbedaan pidana (disparitas) terhadap pelaku pelaku

tindak pidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang sama. Hal ini

sangat mengganggu pula bagi sistem peradilan pidana (criminal justice sistem

)dan mengundang perhatian lembaga legislatif (pembuat undang-undang) serta

lembaga-lembaga lain yang terlihat di dalam system penyelenggaraan hukum

pidana untuk memecahkannya. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk

mengkaji secara mendalam yang akan dipaparkan dalam bentuk skripsi ini dengan

judul “ Disparitas Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Antara Putusan Nomor : 94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan No:

(25)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam skripsi ini adalah:

a. Mengapakah terjadi disparitas pada putusan No: 94/Pid.B/2014/PN.LW dan

putusan No: 95/Pid.B/PN.LW?

b. Apakah pelaksanaan putusan No. 94/Pid.B/2014/PN.LW dan putusan No:

95/Pid.B/PN.LW. sudah memenuhi keadilan subtantif?

2. Rung lingkup

Yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal

yang berkaitan dengan ilmu hukum pidana, khususnya mengenai putusan

pengadilan. Sedangkan dalam lingkup subtansi penelitian ini hanya terbatas pada

disparitas putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana pencurian dengan

pemberatan antara putusan No. 94/Pid.B/2014/PN.LW. Ruangligkup Pengadilan

Negeri Liwa tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini merupakan bentuk sumbangan pikiran yang

bermanfaat khususnya dibidang ilmu pengetahuan hukum yang disparitas pidana

dalam putusan pengadilan terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan

yang mencakup dua macam yaitu:

a. Untuk mengetahui penyebab terjadi disparitas pada putusan No:

(26)

b. Untuk mengetahui bahwa putusan No: 94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan No:

95/Pid.B/PN.LW. telah memenuhi konsep keadilan subtantif.

2. Kegunaan Penelitian

Manfaat atau kegunaan penelitian setidak-tidaknya ada 2 (dua) macam yaitu:8

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan

ilmu pengetahuan dibidang hukum pidana yang lebih khususnya dalam tindak

pidana pencurian dengan pemberatan.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaaan praktis penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

bagi para praktisi hukum dan masyarakat khususnya mengenai dasar

pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana

pencurian dengan pemberatan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relavan oleh peneliti.9

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa

didasarkan pada Pasal 183 KUHP yang menyatakan bahwa seorang hakim dalam

8

Abdulkadir Muhammad,Hukum dan penelitian,Bandung: Citra aditya bakti, 2004, Hlm 66.

9

(27)

hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga

hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi

dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Secara konseptual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam

melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:10

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatuhi oleh hakim;

c. Tidak ada kosekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan

fungsi yudisial.

Kebebasan hakim dalam memerikasa dan mengadili suatu perkara merupakan

mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa terkecuali, sehingga tidak ada suatu pihak yang dapat menginterpensi hakim

dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjalankan putusannya harus

mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang

sedang diperiksa, tingkat perbuatannya dan kesalahan yang dilakukan pelaku,

kepentingan pihak korban, keluarganya dan memenuhi rasa keadilan masyarakat

luas.

Menurut Harkrisnowo sebagaimana dikutip oleh Muladi disparitas pidana dapat

terjadi dalam beberapa kategori yaitu:

10

(28)

a. Disparitas antara tindak pidana yang sama;

b. Disparitas antara tindak pidana yang mempunya tingkat keseriusan yang sama;

c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;

d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.11

Kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan praktiknya di

lapangan, khususnya penerapan hukuman yang berbeda antara satu pelaku

menimbulkan adanya perbedaan pemidanaan (disparitas) terhadap pelaku tindak

pidana yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan secara

bersama-sama.

Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama diatur dalam Pasal 55 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

(1). Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.

(2). Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya

Selanjutnya Pasal 56 KUHP menyatakan dipidana sebagai orang yang membantu

melakukan kejahatan:

1) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;

2) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP di atas maka pelaku tindak

pidana yang dilakukan secara bersama-sama seharusnya dipidanakan, tetapi pada

11

(29)

kenyataannya terdapat perbedaan pidana (disparitas) terhadap pelaku pelaku

tindak pidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang sama.

Untuk mempermudahkan menjawab masalah skripsi ini, penulis menggunakan

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu

penjelasan Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang menyatakan:

1) Hakim wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

yang hidup didalam masyarakat.

2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

memperhatikan sifat baik dan sifat jahat dari terdakwa.

Hakim dalam memutuskan perkara berpedomanpada tiga hal, yaitu:

a. Unsur Yuridis, merupakan unsur pertama dan utama; b. Unsur Filosofis, merupakan kebenaran dan keadilan;

c. Unsur Sosiologis, merupakan pertimbangan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.12

Dalam penjatuhan pidana hakim juga sering menggunakan teori keadilan

subtantif. Keadilan substantif adalah suatu keadilan yang tidak didasari oleh

norma-norma yang diatur manusia. Para pemimpin pemerintahan di dunia ini

berusaha membuat undang-undang atau aturan agar bisa menegakkan keadilan di

muka bumi ini.13 Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus

selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif

berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa

12

Prabu Bungaran,Disparitas Putusan Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas,Skripsi, 2013, Hlm.13.

13

(30)

keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang

sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah

yang diteliti. Adapun istilah yang diguna dalam skripsi ini adalah:

a. Disparitas putusan hakim adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap

tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifatnya bahayanya

dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.

b. Pelaku tindak pidana adalah seseorang yang melakukan tindak pidana yang

bersangkutan dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu yang

tidak disengajakan seperti disyaratkan ole undang-undang telah menimbulkan

akibat yang tidak dilarang atau tindakan yang diwajibkan oleh

undang-undang.14

c. Pencurian dengan memberatkan adalah mengambil harta/barang milik orang

lain dengan maksud untuk dimiliki tanpa sepengetahuan pemilikinya yang

disertai oleh keadaan tertentu yang memeberatkan.15

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah permudah pembahasan mengenai sistematika penelitian

hukum yang sesuai dengan aturan maka penulis menjabarkan penelitian skripsi ini

terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub bagian sebagai berikut:

14

Hhtp//appehutauruk.blogspot.com/2012/02/disparitas-pidana-suatu-teori.html, Jam 20.00.

15

(31)

I.Pendahuluan

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang

tersebut munculah pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan

penulisan, kerangka teori dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika

penulisan.

II. Tinjauan Pustaka

Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan

tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan umum tentang

disparitas, dan tinjauan umum mengenai sebab terjadinya disparitas.

III. Metode Penenlitian

Pada bab ini memuat tentang metode yang digunakan dalam penulisan yang

menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan

masala, yaitu dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data,

penentuan populasi dan sampel, serta prosedur pengumpulan dtaa yang telah

dikumpulkan dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. Hasil Penelitian Dan pembahasan

Bab ini berisikan tentang hasil dari penelitian dan pembahasan dilapangan

terhadap permasalahan dalam penelitian yang akan menjelaskan tentang

(32)

V.Penutup

Bab ini berisi kesimpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada

(33)

A.Pengertian Tindak Pidana

1. Tindak pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang

dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan

delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum

pembatasan delik tercantum “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak

pidana).”1

Tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga

suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan

sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa,

pelanggaran dan perbuatan. Pengertian tindak pidana dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam

kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan

pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan

istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.

(34)

Pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan delik , yang berasal dari

bahasa latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dan dalam

bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

menggunakan istilah delik yaitu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.2

Moeljatnomenggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang berupa pidana tertentu. Sedangkan

Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan

pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan

sebagai perbuatan yang dilarang.3

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Lamintang4

, unsur delik terdiri atas dua macam, yakni unsur subjektif

dan unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang

melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan

termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun

yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yuang ada hubungannya

dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si

pelaku itu harus dilakukan.

2

Teguh Prasetyo,Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm.47.

3

Mahrus Ali,Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.97-98.

4

(35)

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut:

a. Kesengajaan atau ketidaksengaajan (dolusatauculpa)

b. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan atau poging.

c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapt misalnya di dalam

kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedache raad, seperti yang terdapat di

dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHPidana.

e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHPidana.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Sifat melawan hukum atauwederrechtelijkheid

b. Kualitas dari si pelaku

c. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu

kenyataan sebagai akibat.

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum objektif atau

subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang

bersangkutan. Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di

luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yakni semua unsur mengenai

perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat

(sekitar) pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara itu, unsur yang

bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada

keadaan batin orangnya.5

(36)

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hukuman dibedakan

menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pengaturan ini

terdapat dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:

a. Pidana Pokok

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Pidana kurungan;

4. Pidana denda;

5. Pidana tutupan.

b. Pidana Tabahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu;

3. Pengumuman putusan hakim.

Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan

perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa

hukuman tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Pada prinsipnya

memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa

pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal

yang pokok.

B. Disparitas Pidana

Disparitas pidana membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum

diIndonesia. Dari sisi pemidanaan yang berbeda disparitas pidana merupakan

(37)

pemidanaan yang berbeda membawa ketidak puasanbagi terpidana bahkan

masyarakat umumnya. Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing,

yang dikutip oleh Muladi yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah:

the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or comparable seriousness, without a clearly visible justification”, yang artinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar pembenaran yang jelas.6

Maka tanpa merujuk kategori hukum (legal category), disparitas pidana dapat

terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang melakukan

bersama suatu tindak pidana. Disparitas dalam hal ini para pelaku merasa

membandingkan dengan orang yang sama pidananya dengan dirinya. Kenapa

jenis pidananya sama tetapi hukumanya jauh lebih ringan, sedangkan dirinya lebih

berat. Pertanyaan inilah yang timbul di benak para terdakwa, yang efeknya

berimbas pada kehidupannya didalam lembaga pemasyarakatan (LP).

Terpidana telah membandingkan pidana kemudian menjadi korban judicial

caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal

penghargaan terhadap hukum tersebut merupakansalah satu target didalam tujuan

pemidanaan. Dari hal ini akan nampak persoalan yang serius, sebab akan

merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu system untuk

mencapai persamaan keadilan dinegara hukum dan akan melemahkan

kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Sesuatu akan terjadi bilamana disparitas

tersebut tidak diatasi, yaitu akan timbul demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi

6

(38)

dikalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasusyang

sebanding.7

Disparitas tidak hanya terjadi diindonesia, yang termasuk keluarga hukum eropa

continental yang mengenal system presidensial. Hampir semua Negara didunia

menghadapi masalah ini. Disparitas pidana sering disebut sebagai the disturbing

disparityof sentencing yang menggunduh perhatian lembaga legislative serta

lembaga lain yang terlibat dalam system penyelenggaraan hukum pidana untuk

memecahkannya.

Harkristuti Harksnowo dikutip oleh Muladi disparitas pidana dapat terjadi dalam

beberapa kategori yaitu:

1. Disparitas antara tindak pidana yang sama;

2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunya tingkat keseriusan yang sama;

3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;

4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada

tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu

majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang

sama. Tentu saja kenyataan mengenai disparitas ini menimbulkan inkonsistensi

dilingkungan peradilan.

7

(39)

C. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan pada dasarnya berbeda dengan

pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) yang berbunyi: barangsiapa mengambil barang

sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud

untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana

penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Istilah pencurian dengan pemberatan ini digunakan oleh R. Soesilo dalam

bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.8

Karena sifatnya, maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya. Pencurian

jenis ini dinamakan juga pencurian dengan kualifikasi. Unsur-unsur yang

memberatkan ancaman pidana dalam pencurian dengan kualifikasi disebabkan

karena perbuatan itu ditujukan kepada obyeknya yang berbeda atau karena

dilakukan dengan cara yang berbeda dan dapat terjadi karena perbuatan itu

menimbulkan akibat yang berbeda (Sudarsono, 2001: 2007).

Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan perbuatan tindak pidana

dalam pemberatan ini merupakan suatu ajaran sifat melawan hukum secara formil.

Artinya bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat

dalam rumusan delik, dapat dikatakan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana

(Sapardjadja, 2002: 25). Tindak pidana pencurian yang masuk kategori

pemberatan terdapat di dalam Pasal 363 KUHP, pencurian dalam psal 363 dalam

8

(40)

masyarakat dikenal dengan Curat ( pencurian dengan pemberatan). Pasal 363 ayat

(1) diancam dengan pidana penjara selama tujuh tahun.9

1. Pencurian ternak.

2. Pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, bencana banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan dalam kapal atau bencana perang.

3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman atau pekarangan yang tertutup di mana terdapat rumah kediaman dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak.

4. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama.

5. Pencurian yang untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang dicuri itu dilakukan dengan jalan membongkar, mematahkan, memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Ayat (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu

tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pada pidana penjara paling lama

Sembilan tahun.10

1. Pengertian pemberian/penjatuhan pidana

Pemberian pidana merupakan upaya untuk mempertahankan hukum pidana

materiil. pengertian secara umum pemberian pidana merupakan bidang dari

pembentuk undang-undang karena asas legalitas yang berbunyi:“nullum delictum,

nulla poena, sine praevia lege poenali”. untuk mengenakan poena atau pidana

diperlukan undang-undang (pidana) terlebih dahulu.

Pembentuk undang-undanglah yang menetapkan peraturan tentang pidananya,

tidak hanya tentang crimen atau delictumnya saja, akan tetapi tentang perbuatan

mana yang dapat dikenakan pidana dan tidak dipidana. Didalam KUHP, azas ini

9

Pasal 363 KUHP

10

(41)

terdapat dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat

dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang

telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Istilah pemberian pidana pada dasarnya merupakan realisasi dari peraturan pidana

dalam undang-undang karena seseorang telah terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana. Andi Hamzah lebih memilih penjatuhan pidana atau

pemidanaan karena istilah “pemberian” mengingatkan kita pada istilah “hadiah”

sebagai sinonimnya biasanya mengenai sesuatu yang menyenangkan, padahal

pidana itu merupakan suatu penderitaan atau nestapa.

Dalam dunia peradilan, istilah “pemberian” justru merupakan suatu hal yang tidak

menyenangkan/buruk/konotasi. Jadi, dari sini hakim mempunyai koridor yang

jelas sebagai pelaksana dari undang-undang tersebut dan tidak sewenang-wenang

dalam pemidanaan. Mengenai hal tersebut Sudarto berpendapat dalam buku Tri

Andrisman, bahwa“apabila secara umum dan organisasi infrastruktur sudah siap,

maka badan-badan yang mendukung stelsel sanksi pidana dapat menetapkan

pidana dengan menunjuk kepada berbagai bagian dari infrastruktur penitensier.

Dari sinilah dijumpai masalah pemberian pidana dalam arti yang sebenarnya”.11

2. Syarat-syarat pemidanaan

Untuk menjatuhkan pidana pada seseorang harus dilihat pada unsur perbuatan dan

unsur orang yang mempunyai konsekuensinya sendiri-sendiri. Perbedaaan syarat

✎ ✎

(42)

pemidanaan menjadi perbuatan dan orang tidak terlepas dari teori yang

diperkenalkan oleh Moeljatno (teori dualistik) yang memisahkan antara dapat

dipidanya perbuatan dan dapat dipidanya orang.

Moeljatno mengatakan unsur perbuatan berkaitan dengan tindak pidana,

sedangkan unsur orang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana suatu perbuatan yang diduga

merupakan tindak pidana adalah:

1. Perbuatan yang harus, meliputi:

a. Memenuhi rumusan undang-Undang;

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenaran);

2. Orang, dalam hal ini berhubungan dengan “kesalahan’’, yang meliputi:

a. Kemampuan bertanggungjawab (KBJ);

b. Sengaja (Dolus/opzet) atau lalai (Culpa/alpa) tidak ada alasan pemaaf.12

D. Tindak Pidana(Dader)

Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut

serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara

fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu

tindak pidana. Dasar hukum penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP.

Menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur

12

(43)

tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam

undang-undang menurut KUHP.13

Seperti yang terdapat dalam pasal 55 (1) KUHP yang berbunyi:

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta

melakukan perbuatan.

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau

penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja

menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP (1) diatas, bahwa pelaku tindak pidana

dibagi menjadi empat golongan, yaitu:14

1. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana(pleger)

Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat

diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang

melakukan(pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah

dengan 2 (dua) kriteria:

a. Perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana.

b. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.15

13

Bambang Poernomo,Asas-asas hukum pidana, Jakarta: 1981, Ghalia Indonesia, Hlm.86.

14

http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com/2014/01/pelaku-tindak-pidana-dader.html, jam 18.00.

15

(44)

2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana(doen pleger).

Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang

menyuruh melakukan itu. Pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai

orang yang melakukan(doen pleger)pada umumnya para ahli hukum merujuk

pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda, yang berbunyi bahwa:

“yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan tindak pidana, tapi

tidak secara pribadimelainkan dengan perantara orang lain sebagai alat di

dalam tangannya apa bila orang lain itu melakukan perbuatan tanpa

kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggungjawab, karena sesuatu hal yang tidak

diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan”.

a. Orang lain sebagai alat didalam tanganya.

Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah

apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak

pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat

penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif. Doktrin hukum pidana orang yang

diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat

disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai middelijke dader(pembuat

tidak langsung). Ada tiga konsekuensi logis terhadap tindak pidana yang

dilakukan dengan cara memperlalat orang lain:

a. Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat

penyuruh, tetapi leh perbuatan orang lain(manus ministra).

b. Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada

(45)

c. Manus ministraini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah

pembuatan penyuruh.

b. Tanpa kesengajaan atau kealpaan

Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan adalam

perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra)tidak

dilandasi oleh kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya

tindak pidana bukan karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif

perbuatan datang dari pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk

mewujudkan tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh(doen

pleger).

c. Karena tersesat

Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau

kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabakan oleh

pengaruh dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas

kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk berbuat.

d. Karena kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan(geweld)di sini adalah perbuatan yang

dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada

orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya. Apa yang telah diterangkan di

atas maka jelaslah bahwa orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana.

Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan sebgai

manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus

domina. Menurut Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya

(46)

a. Tidak mempunyai kesengaaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggungjawab;

b. Berdasarkan Pasal 44 KUHP; c. Daya paksa Pasal 48 KUHP;

d. Berdasarkan Pasal 51 ayat 2 KUHP dan

e. Oang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP).16

3. Orang yang turut melakukan tindak pidana (made pleger).

KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut

melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat

dikatakan turut melakukan tindak pidana haru memenuhi dua syarat .

a. Harus adanya kerjasama secara fisik

b. harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk

melakukan tindak pidana.

MvT menjelaskan bahwa yang turut serta melakukan (medepleger) ialah setiap

orang yang sengaja berbuat(meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana.

Penelasan MvT ini, merupakan penjelasan yang singkat yang masih

membutuhkan penjabaran lebih lanjut.

Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan

pembuat peserta(medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk

menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang

tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah

terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana(pleger)untuk mewujudkan

tindak pidana tersebut. Perbuatan pembuat peserta tidak perlu

16

(47)

memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil

terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta

telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan

tindak pidana.17

4. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uitlokken)

Syarat-syaratuit lokken :

a. Harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak

pidana.

b. Harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana.

c. Cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut

didalam pasal 55(1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain

sebagainya).

d. Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai

dengan keinginan orang yang menggerakan.

Ditinjau dari sudut pertanggung jawabannya maka pasal 55(1) KUHP tersebut di

atas kesemua mereka adalah sebagai penanggung jawab penuh, yang artinya

mereka semua diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak

pidana yang dilakukan.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :

17

(48)

1) Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya

tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini

mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada

a. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang,

sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.

b. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa

diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri,

sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak

pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

c. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan

turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.

d. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan

dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.

2) Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara

memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini

mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak,

pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula

atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran,

kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si

penganjur. Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya

dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada

(49)

dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana

mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.

E. Teori Pemidanaan

1. Teori absolut atau teori pembalasan

Menurut teori ini pidana yang dijatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est.) Jadi, dasar

pijakan dari teori tersebut ialah pembalasan. Negara berhak menjatuhkan

pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan

pada hak dan kepentingan hukum baik pribadi, masyarakat maupun negara

yang telah dilindungi.

Oleh karena itu harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa

kejahatan) yang dilakukannya Adami Chazawi mengatakan bahwa setiap

kejahatan harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat

apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa

depan, baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat.18

Hal ini karena menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu

yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat Bila

seseorang melakukan kejahatan, maka dampak yang timbul bagi korban

khususnya dan masyarakat pada umumnya berupa suatu penderitaan baik fisik

maupun pisikis dengan perasaan tidak senang, amarah, tidak puas dan

terganggunya ketentraman batin. Untuk memuaskan dan menghilangkan

penderitaan tersebut, kepada pelaku kejahatan harus diberikan pembalasan yang

18

(50)

setimpal. Immanuel Kant dalam bukunya “Philosophy of Law” seperti yang

disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan sebagai berikut:

“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/ keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan.

Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari

perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota

masyarakat, karena apabila tidak demikian, mereka semua dapat dipandang

sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan

pelanggaran terhadap keadilan umum”. Jadi menurut Kant, pidana merupakan

suatu tuntutan kesusilaan sehingga seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia

telah melakukan suatu kejahatan.

2. Teori relatif atau teori tujuan

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana

adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat Pidana

merupakan alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar

tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban

masyarakat tersebut, maka pidana mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

1) bersifat menakut-nakuti;

2) bersifat memperbaiki;

(51)

Kemudian sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam, yaitu:

a. Pencegahan umum menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat

ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan.

Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar

masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan

penjahat itu.

b. Pencegahan khusus menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku

kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan

kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak

mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat

dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:

a. Menakut-nakuti;

b. Memperbaiki, dan

c. Membuatnya menjadi tidak berdaya.

3. Teori gabungan

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas

pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar

dari pejatuhan pidana. Teori gabungan ini terdiri dari dua golongan besar,

yaitu:

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, menurut teori ini

(52)

juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan

umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat ini

dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tetib (hukum)

masyarakat.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,

Thomas Aquino berpendapat bahwa dasar pidana itu ialah kesejahteraan

umum. Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan dan

kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan

sukarela yang bersifat pembalasan. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat

umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada

hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan pada hakikatnya adalah

pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.

4. Teori integrative

Teori integrative ini diperkenalkan oleh Prof. Dr.Muladi guru besar dari

Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, menurut Muladi (2002:53) ,

alasannya memilih teori ini didasarkan atas alasan-alasan yang bersifat

sosiologis ideologis, maupun yuridis. Alasan sosilogis dapat dirujuk pada

pendapat Stanley Grupp (dalam Muladi) bahwa, kelayakan suatu teori

pemidaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat

manusia. Berdasarkan alasan sosiologis dan ideologis diatas, (Muladi 2002:61)

menyimpulkan, dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk

memperbaiki kerusakan individu dan social yang diakibatkan oleh tindak

(53)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan dalam penelitian untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, maka

penulis menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan

bahan hukum utama, menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asa-asa

hukum dengan menggunakan data skunder, diantaranya, asa kaidah, norma dan

aturan hukum yang terdapat dalam peraturanperundang-undangan dan peraturan

lainnya. Mempelajari buku-buku, perat dan dokumen lain yang berhubungan erat

dengan penelitian yang dibahas dalam skripsi ini.1

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan meneliti secara langsung ke

lapangan untuk melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan

atau aturan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum, serta melakukan

wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan

informasi mengenai pelaksanaan penegakan hukum tersebut.2Pendekatan hukum

normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan

hukum normatif .

1

Bambang Sunggono,Metode penelitian hukum, Raja grafindo persada, Jakarta: 1997, Hlm 39.

2

(54)

B. Sumber Data dan Jenis Data

Jenis data dari sumbernya, dapat dibedakan data yang diperoleh secara langsung

dari masyarakat atau lapangan dan data yang diperoleh dalam bahan pustaka.

Dalam skripsi ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian pada objek penelitian.

Yakni data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berhubungan dengan

disparitas terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan .

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang

dianggap menunjang dalam penelitian ini, yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan pustaka yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan

peraturan-peraturan lain serta wawancara. Data primer ini diperoleh dari:

a. Undang-Undang Dasar 1945.

b. Undang- Undang No.1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No.73 Tahun 1958

tentang berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Undang No.8 Tahun 1981 tentang berlakunya Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

d. Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Bahan hukum skunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan

(55)

bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norama hukum yang

berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Sumber data

skunder dalam penelitian ini adalah putusan pengadilanNo.

94/Pid.B/2014/PN.LW dan putusan No. 95/Pid.B/2014/PN.LW.

3. Bahan hukum Tersier yaitu bahan-bahan lain yang berguna untuk memberi

petunjuk dari berbagai sumber, seperti buku-buku, putusan pengadilan,

majalah, artikel, surat kabar, makalah-makalah, maupun karya tulis lainnya

yang mendukung dan sangat relevan dengan pokok permasalahan yang penulis

kaji. Sumber data terbagi menjadi dua sumber, yaitu primer (pokok) dan

sekunder (tambahan).3

C. Penentuan Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan

karekteristik yang sama.4 dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah

pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu Hakim

Pengadilan Negeri Liwa .

b. Sampel

Penentuan sampel pada penulisan skripsi ini menjadi sasaran penelitian yang

mewakili dari keseluruhan populasi. Dalam menentukan sampel dan populasi

yang akan diteliti digunakan metode pengambilan sampel secara purposive

sampling,yaitu suatu metode dalam penentuan sampel disesuaikan dengan

3

Ibid,Hlm. 136.

4

(56)

tujuan yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili populasi. Adapun

responden dalam penelitian adalah :

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa : 2 orang

2. Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 3 0rang

D. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh

prosedur sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara

membaca, mengutip, mencatat dan memahami berbagai literatur yang ada

hubungannya dengan materi penelitian. Diantaranya buku-buku, peraturan

perundang-undangan, majalah, serta dokumen lain yang berhubungan dengan

masalah penelitian yang dibahas.

2. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian

langsung pada tempat atau objek penelitian. Dalam penelitian ini digunakan

teknik wawancara yang dilakukan terhadap informan. Data diperoleh dengan

melakukan tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan

(57)

Liwa, dengan mempersiapkan daftar pertanyaan berupa pokok-pokok saja

sebagai pedoman yang akan dikembangkan pada saat wawancara berlangsung.5

E. Metode Pengolaha Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yaitu perundang-undangan

dan buku-buku literatur ilmu hukum yang ada. Data yang telah terkumpul, diolah

melalui cara pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:6

a. Identifikasi

Identifikasi data adalah mencari dan menetapkan data yang berhubungan

dengan disparitas putusan hakim dan tindak pidana pencurian dengan

pemberatan. Serta mengidentifikasi segala literatur yang berhubungan dengan

penelitian ini.

b. Editing

Editing merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari berbagai

kepustakaan yang ada. Hal tersebut sangat perlu untuk mengetahui apakah data

yang telah kita miliki sudah cukup dan dapat dilakukan untuk proses

selanjutnya. Dari data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan

permasalahan yang ada dalam penulisan ini, editing dilakukan pada data yang

sudah terkumpul serta diseleksi terlebih dahulu dan diambil data yang

diperlukan.

5

Abdulkadir Muhammad,Hukum dan penelitian hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung: Hlm.134.

6

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : Pemberian ekstrak daun kersen dosis 42 mg/200 gram BB dan 84 mg/200 gram BB dapat menghambat kenaikan kadar enzim ALT pada tikus yang diinduksi asetaminofen..

menemukan buku seperti ini, yang mengggambarkan relung-relung kehidupan kemanusiaan yang paling dalam dari kehidupan Nabi Muhammad Sallā Allāh „alayhi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Privasi, Kepercayaan, Keamanan, Reputasi dan keinginan terhadap keputusan nasabah menggunakan fasilitas internet

Jawa Barat sebagai provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia memiliki kendala untuk berkembang dengan ketidakadaanya infrastruktur bandar udara (bandara) bertaraf

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,

Softcopy proposal lengkap dalam format PDF ( 1 proposal lengkap dengan maksimum besar file 5 MB ) diunggah oleh pengusul secara mandiri. Dalam proposal lengkap tersebut juga telah

Apakah proses komunikasi baik komunikasi verbal (bahasa) maupun komunikasi nonverbal (bahasa tubuh) seperti kontak mata, senyuman, sentuhan, intonasi suara, dan lainnya

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |