Emili Sari, Diah Gustiniati, Eko Raharjo Email: Emiliasari07@gmail.com
Abstract
Court decisions on criminal cases of theft by weighting often poses legal difference is called the disparity in the judgment. The problem in this research is why the disparity in court decisions as well as whether the execution of court decisions already meet the substantive justice. Approach to the problem used in this thesis is a normative juridical approach and empirical jurisdiction. Results of research and discussion in mind that according to article 55 of the criminal code proved that Irawan bin Tohari are people who do their own crime (plegen) and the people who helped with a criminal offense (made plegen) seen from the chronology that bin Irawan Suganda Tohari are invited Imam bin Sudiyat do the crime of theft. While Imam Bin Sudiyat Suganda is the person who helped with a criminal offense only (made plegen) it can be seen that the act of Imam Suganda bin Sudiyat meet the requirement (made plegen). Implementation of court rulings have met the substantive sense of justice, because of sentences against people who have the intention of doing as well as jointly malakukan criminal offense hukumanya higher than that taken together committed the crime.
DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN
(Studi Pada Pengadilan Negeri Liwa)
Oleh EMILIA SARI
Putusan pengadilan terhadap perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan sering kali meninmbulkan perbedaan hukum antara satu putusan dengan putusan yang lainnya hal ini disebut dengan disparitas dalam putusan pengadilan. Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman seorang hakim diberikan kebebasan dalam menentukan putusan yang akan diberikan kepada pelaku tindak pidana dalam hal ini tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengapakah terjadi disparitas pada putusan pengadilan serta apakah pelaksanaan putusan pengadilan sudah memenuhi keadilan subtantif? Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan narasumber hakim pada pengadilan Negeri Liwa dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
kinerja dan tetap berpegang pada perturan dan meningkatkan kinerja yang saat ini sudah lumayan memenuhi unsur keadilan agar masyarakat lebih percaya lagi terhadap putusan pengadilan yang berlaku, dan Hakim juga disarankan selain melihat peraturan atau berpegang pada Pasal 55 KUHP juga memenuhi unsur keadilan masyarakat.
NO: 94/Pid.B/2014/PN.LW. DAN
NO: 95/Pid.B/2014/PN.LW.
Oleh
EMILIA SARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Jurusan Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
NO: 94/Pid.B/2014/PN.LW. DAN
NO: 95/Pid.B/2014/PN.LW.
(Skripsi)
Oleh :
Emilia Sari
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ...7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...7
D. Kerangka Teoris dan Konseptual ...8
E. Sistematika Penulisan ...13
II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Putusan hakim ... 15
B. Pengertian Tindak Pidana ... 23
C. Pengertian Disparitas Pidana ... 26
D. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan... 27
D. Pengertian Penyertaan ... 30
1. Orang yang melakukan tindak pidana ... 31
2. Orang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana ... 32
3. Orang yang turut melakukan tindak pidana ... 34
4. Orang yang dengan sengaja membujuk/menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana ... 34
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35
B. Sumber Data dan Jenis Data ... 36
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 37
D. Metode Pengumpulan Data ... 38
E. Metode Pengolahan Data ... 39
B. Penyebab Terjadinya Disparitas pada Putusan
94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan 95/Pid.B/2014/PN.LW ... 42 C. Unsur Keadilan Subtantif Disparitas Pidana pada Putusan
94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan 95/Pid.B/2014/PN.LW ... 59
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 75 B. Saran... 76
Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang
wanita wajib berpendidikan tinggi karena mereka akan
menjadi seorang ibu. Ibu-ibu yang cerdasakan melahirkan
anak-anak yang cerdas
(Dian Sastro Wardoyo)
Melupakan Kegagalan Memang Susah, Tapi Lebih
Buruk Jika Tidak Mencoba
Teriring Do’a dan rasa syukuratas kehadirat Allah SWT , atas rahmat dan hidayah-nya serta junjungan tinggi Rasullah Muhammad SAW.
Kupersembahkan Skripsi ini kepada:
Ayah dan Ibu
Matrizwan dan Nilam Kesuma sebagai orang tua tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa, yang selalu memberi kasih sayang yang tulus dan do’a yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati, serta yang tidak pernah meninggalkan penulis dalam
keadaan apapun dan juga terimakasih atas kasih sayang dan sportnya yang tak pernah bisa penulis balas.
Kakak dan adik tercinta
Dela Eka Sumyana dan Tri Perdiyanti yang selalu menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan selalu memberikan semangat yang sangat luar biasa
kepada penulis.
Khoirul Abasi
Terimakasih atas motivasi dan semangatnya yang selalu mengarahkan penulis untuk berpikir maju memikirkan masa depan untuk menjadi jauh lebih baik lagi.
Penulis dilahirkan di Pekon Walur, Kecamatan Krui Selatan,
Kabupaten Pesisir Barat pada tanggal 13 April 1993,
Merupakan putri kedua dari tiga bersaudara, pasangan bapak
Mat Rizwan dan ibu Nilam Kesuma.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) Walur
diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Pesisir
Tengah Krui Lampung Barat diselesaikan pada tahun 2008, Sekolah Menengah
Atas (SMA) Negeri 1 Pesisir Tengah Krui Lampung Barat diselesaikan pada
tahun 2011. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung pada tahun 2011 melalui jalur PMPAP. Peneliti melakukan penelitian
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “DISPARITAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN PEMBERATAN ANTARA PUTUSAN No. 94/Pid.B/2014/PN.LW
DAN PUTUSAN No. 95/Pid.B/2014/PN/LW”. Skripsi diajukan sebagai syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Lampung.
Peneliti menyadari pembuatan skripsi ini merupakan buah dari suatu proses panjang,
yang tak luput dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, dengan segala kerendahan
hati, peneliti mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani M, S.H., M.H. Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung sekaligus selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah
memberikan saran, koreksi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Figanefi, S.H., M.H. selaku pembahas pertama yang telah memberikan
bimbingan kepada Penulis selama penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku pembahas kedua terimakasih atas segala
pengarahan, saran dan masukan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
7. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik penulis
terimakasih banyak atas saran, bantuan serta motivasinya.
8. Seluruh Bapak/Ibu Pimpinan, dosen, Staf/Karyawan dan Keluarga Besar Fakultas
Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan pemikiran dan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.
9. Bapak Abd Kadir, S.H selaku ketua Pengadilan Negeri Liwa, Bapak Ahmad Iyudha
Nugraha, S.H,.M.H dan Ibu Dina Puspasari, S.H,.M.H terimakasih atas izin
penelitian, bantuannya, serta data-data yang diperlukan dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
10. Bapak Matrizwan dan ibuk Nilam Kesuma terimakasih atas do’a, cinta dan kasih
sayang serta semua ilmu kehidupan yang telah bapak dan ibu berikan. Semoga Allah
SWT membalas setiap tetesan keringat, segala bentuk perhatian dan kasih
sayang yang melimpah dengan sebaik-baiknya berupa riddho dan kasih sayang
nasehatnya.
12. Pamanku Dedi Rahman, Nenek, Kakek, Bibik dan semua keluarga besarku
terimakasih banyak untuk semua kepercayaan, motivasi, harapan, dukungan, dan
inspirasi serta do’a yang diberikan selama ini kepada penulis.
13. Seseorang yang menemani dalam keadaan apapun Khoirul Abasi terimakasih telah
memberikan sumbangan pemikiran, arahan, do’a, dukungan, kepercayaan, semangat,
cinta, kasih sayang, dan kepedulian sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan
skripsi ini.
14. Sahabat-sahabat senasip dan seperjuangan selama menempuh perkuliahan Kalsum
Sari Asih, Elsa Stella Nova, Devylita Sari terimakasih telah menjadi teman dan
sahabat terbaik selama dibangku perkuliahan dan kenangan persahabatan yang takkan
pernah lupakan.
15. Teman-temanku Ernawati, Sagita Gumpita, Lasmaida, Novi Mikawensi, Tina
Cahyani, Tika Dolok, Nurul, Mba Yesika, Mba Ghea Sasmita, Ngah Etika Merlina
terimakasih untuk dukungan dan pertemanan serta canda tawa selama bersama
dibangku perkuliahan.
16. Teman-teman FH Unila’ 2011 Jurusan hukum Pidana serta semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas segala kerjasama dan
kebersamaanya selama 4 tahun perkuliahan.
17. Teman-teman Kosan Iwari, Tari, Wo Della, Eva, Rini, Lesi, Lusi, Tika, Juy yang
telah menjadi teman dikosan dan terimakasih atas persaudaraannya.
18. Teman-teman KKN desa Kali Pasir, Naila, Fitri, Agung, Ilman terimakasih atas kerja
dewasa dalam berfikir dan bertindak.
Semoga Allah SWT membalas setiap kebaikan yang telah diberikan dengan pahala
berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Bandar Lampung, Juni 2015
Penulis
A. Latar Belakang Masalah
Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia,
karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada
sesudah meninggal. Hal itu menunjukkan bahwa keutuhan dalam kehidupan dapat
tetap terjaga dan terpelihara apabila ada ketentuan-ketentuan yang dijadikan
pedoman dan acuan untuk hidup bersama.
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia
adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka
Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan menjamin
kedamaian warga negara bersamaan dan kedudukannya di dalam hukum dengan
tidak ada kecualinya. Idealnya sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem
kedaulatan hukum atas supremasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan
tertinggi di dalam negara.1
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut beberapa asas penting yang salah
satunya adalah asas praduga tak bersalah. Asas ini menyebutkan bahwa “setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
1
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap”.2
Hakim dalam memutuskan perkara sering terjadi disparitas pidana. Disparitas
pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang
sama. Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul
karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang
sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh
hakim, terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapat dikatakan bahwa peranan
hakim dalam hal timbulnya disparitas pidana sangat menentukan.3
Sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman, bahwa seorang hakim
memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan undang-undang sacara
tersendiri, serta tidak terikat pada yurisprudensi atau putusan dari hakim yang
terdahulu pada suatu perkara yang sejenis. Implementasi pidana yamg dijatuhkan
oleh hakim haruslah mengandung rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum ditengah-tengah masyarakat sehingga dapat memberikan putusan yang
terbaik bagi pelaku dan korban tindak pidana tersebut.
Kekuasaan kehakiman merupakan pedoman bagi hakim untuk membentuk
peadilan yang bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
bawa, “kekusaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan’’, dipertegas
2
Kadri Husin & Budi Rizki Husin,Sistem Peradilan Pidana DiIndonesia,Lembaga penelitian Universitas Lampung, 2012, Hlm. 81.
3
oleh Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009, bahwa “kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkana pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia’’.
Menurut Molly Cheang sebagaimana dikutip oleh Muladi bahwa :
“disparitas putusan hakim atau dikenal dengan istilah disparitas pidana (disparity of sentencing) akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan yang dikenakan kepada orang-orang lain kemudian merasa menjadi korban (victim) dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai di dalam tujuan pemidanaan”.4
Pendapat ini akan melihat suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem
untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan
melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap keputusan hakim. Ditegaskan pula
oleh Bambang Poernomo bahwa:
“penegakan hukum ( law enforcement ) khususnya di dalam hukum pidana merupakan proses pelaksanaan hukum untuk menentukan tentang apa yang menurut hukum dan apa yang bertentangan atau melawan hukum, menentukan tentang perbuatan mana yang dapat dihukum / dipidana menurut ketentuan hukum pidana materiil dan petunjuk tentang bertindak serta upaya-upaya yang diharuskan untuk kelancaran berlakunya hukum baik sebelum, maupun sesudah perbuatan melanggar hukum itu terjadi sesuai dengan ketentuan hukum pidana
formil’’.5
Tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Pengadilan Negeri Liwa pada
Putusan No. 94/Pid.b/2014/PN.LW dan 95/Pid.B/2014/PN.LW merupakan contoh
yang penulis jadikan sebagai sampel dari adanya disparitas putusan hakim dari
4
Muladi & Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan kebijakan pidana,Cetakan keempat, Bandung: 2010, Hlm. 54.
5
banyak putusan dalam perkara yang sama. Pada dasarnya hakim mempunyai
berbagai pertimbangan di dalam menjatuhkan berat ringannya pidana kepada
terdakwa, diantaranya hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan,
baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang.
Pembahasan disparitas putusan hakim ini ada kaitannya dengan tindak pidana
pencurian dengan pemberatan yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Liwa
terhadap terdakwa Irawan bin Tohari dan Iman Suganda bin Sadiyat. Pada
dasarnya kedua terdakwa sama-sama melakukan tindak pidana pencurian dengan
pemberatan yang merugikan orang lain dan keduanya dituntut dengan pasal yang
sama yaitu Pasal 363 ayat (1) KUHP. Tetapi berdasarkan putusan pengadilan
Irawan bin Tohari dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan sedangkan Iman
Suganda Bin Sadiyat dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) bulan.
Terdakwa Irawan bin Tohari dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “telah
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, untuk masuk ke tempat
melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan
dengan merusak”. Sebagaimana diatur dalamPasal 363 ayat (1) KUHP. Terdakwa
dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan penjara dengan dikurangi masa
tahanan, dan membayar denda perkara sebesar Rp. 2000,-(dua ribu rupiah). Hal
yang memberatkan terdakwa bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.
Hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum,
berjanji tidak akan mengulangi lagi dan masih muda dan diharapkan dapat
mengubah tingkah lakunya dikemudian hari.6
Terdakwa Suganda bin Sadiyat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana
“pencurian dengan mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang
diambil, dilakukan dengan merusak”. Diatur dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP.
Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) bulan penjara dengan dikurangi
masa tahanan, dan membayar denda perkara sebesar Rp. 2000,-(dua ribu rupiah).
Hal yang memberatkan terdakwa bahwa perbuatan terdakwa meresahkan
masyarakat. Hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum pernah
dihukum, bersikap sopan dalam Persidangan, mengakui dan menyesali
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.7
Fakta hukum di atas menunjukkan adanya masalah yaitu kesenjangan antara
peraturan perundang-undangan dengan praktiknya di lapangan, khususnya
penerapan hukuman yang berbeda antara satu pelaku tindak pidana pencurian
dengan pemberatan dengan pelaku lainnya, sehingga menimbulkan adanya
perbedaan pemidanaan (disparitas) terhadap pelaku tindak pidana yang melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Tindak pidana yang dilakukan secara
bersama-sama diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) sebagai berikut:
6
Disarikan dari putusan No. 94/Pid.B/2014/PN.LW
7
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.
(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya
Selanjutnya Pasal 56 KUHP menyatakan dipidana sebagai orang yang membantu
melakukan kejahatan:
1. Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP di atas maka pelaku tindak
pidana yang dilakukan secara bersama-sama seharusnya dipidanakan, tetapi pada
kenyataannya terdapat perbedaan pidana (disparitas) terhadap pelaku pelaku
tindak pidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang sama. Hal ini
sangat mengganggu pula bagi sistem peradilan pidana (criminal justice sistem
)dan mengundang perhatian lembaga legislatif (pembuat undang-undang) serta
lembaga-lembaga lain yang terlihat di dalam system penyelenggaraan hukum
pidana untuk memecahkannya. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk
mengkaji secara mendalam yang akan dipaparkan dalam bentuk skripsi ini dengan
judul “ Disparitas Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan
Antara Putusan Nomor : 94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan No:
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam skripsi ini adalah:
a. Mengapakah terjadi disparitas pada putusan No: 94/Pid.B/2014/PN.LW dan
putusan No: 95/Pid.B/PN.LW?
b. Apakah pelaksanaan putusan No. 94/Pid.B/2014/PN.LW dan putusan No:
95/Pid.B/PN.LW. sudah memenuhi keadilan subtantif?
2. Rung lingkup
Yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal
yang berkaitan dengan ilmu hukum pidana, khususnya mengenai putusan
pengadilan. Sedangkan dalam lingkup subtansi penelitian ini hanya terbatas pada
disparitas putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana pencurian dengan
pemberatan antara putusan No. 94/Pid.B/2014/PN.LW. Ruangligkup Pengadilan
Negeri Liwa tahun 2015.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini merupakan bentuk sumbangan pikiran yang
bermanfaat khususnya dibidang ilmu pengetahuan hukum yang disparitas pidana
dalam putusan pengadilan terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan
yang mencakup dua macam yaitu:
a. Untuk mengetahui penyebab terjadi disparitas pada putusan No:
b. Untuk mengetahui bahwa putusan No: 94/Pid.B/2014/PN.LW dan Putusan No:
95/Pid.B/PN.LW. telah memenuhi konsep keadilan subtantif.
2. Kegunaan Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian setidak-tidaknya ada 2 (dua) macam yaitu:8
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan
ilmu pengetahuan dibidang hukum pidana yang lebih khususnya dalam tindak
pidana pencurian dengan pemberatan.
b. Kegunaan Praktis
Kegunaaan praktis penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi para praktisi hukum dan masyarakat khususnya mengenai dasar
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana
pencurian dengan pemberatan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relavan oleh peneliti.9
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa
didasarkan pada Pasal 183 KUHP yang menyatakan bahwa seorang hakim dalam
8
Abdulkadir Muhammad,Hukum dan penelitian,Bandung: Citra aditya bakti, 2004, Hlm 66.
9
hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga
hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Secara konseptual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:10
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhi oleh hakim;
c. Tidak ada kosekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisial.
Kebebasan hakim dalam memerikasa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa terkecuali, sehingga tidak ada suatu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjalankan putusannya harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang
sedang diperiksa, tingkat perbuatannya dan kesalahan yang dilakukan pelaku,
kepentingan pihak korban, keluarganya dan memenuhi rasa keadilan masyarakat
luas.
Menurut Harkrisnowo sebagaimana dikutip oleh Muladi disparitas pidana dapat
terjadi dalam beberapa kategori yaitu:
10
a. Disparitas antara tindak pidana yang sama;
b. Disparitas antara tindak pidana yang mempunya tingkat keseriusan yang sama;
c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;
d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.11
Kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan praktiknya di
lapangan, khususnya penerapan hukuman yang berbeda antara satu pelaku
menimbulkan adanya perbedaan pemidanaan (disparitas) terhadap pelaku tindak
pidana yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan secara
bersama-sama.
Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama diatur dalam Pasal 55 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
(1). Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;
2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.
(2). Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya
Selanjutnya Pasal 56 KUHP menyatakan dipidana sebagai orang yang membantu
melakukan kejahatan:
1) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;
2) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP di atas maka pelaku tindak
pidana yang dilakukan secara bersama-sama seharusnya dipidanakan, tetapi pada
11
kenyataannya terdapat perbedaan pidana (disparitas) terhadap pelaku pelaku
tindak pidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang sama.
Untuk mempermudahkan menjawab masalah skripsi ini, penulis menggunakan
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu
penjelasan Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang menyatakan:
1) Hakim wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
yang hidup didalam masyarakat.
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan sifat baik dan sifat jahat dari terdakwa.
Hakim dalam memutuskan perkara berpedomanpada tiga hal, yaitu:
a. Unsur Yuridis, merupakan unsur pertama dan utama; b. Unsur Filosofis, merupakan kebenaran dan keadilan;
c. Unsur Sosiologis, merupakan pertimbangan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.12
Dalam penjatuhan pidana hakim juga sering menggunakan teori keadilan
subtantif. Keadilan substantif adalah suatu keadilan yang tidak didasari oleh
norma-norma yang diatur manusia. Para pemimpin pemerintahan di dunia ini
berusaha membuat undang-undang atau aturan agar bisa menegakkan keadilan di
muka bumi ini.13 Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus
selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif
berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa
12
Prabu Bungaran,Disparitas Putusan Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas,Skripsi, 2013, Hlm.13.
13
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang
sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah
yang diteliti. Adapun istilah yang diguna dalam skripsi ini adalah:
a. Disparitas putusan hakim adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap
tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifatnya bahayanya
dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.
b. Pelaku tindak pidana adalah seseorang yang melakukan tindak pidana yang
bersangkutan dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu yang
tidak disengajakan seperti disyaratkan ole undang-undang telah menimbulkan
akibat yang tidak dilarang atau tindakan yang diwajibkan oleh
undang-undang.14
c. Pencurian dengan memberatkan adalah mengambil harta/barang milik orang
lain dengan maksud untuk dimiliki tanpa sepengetahuan pemilikinya yang
disertai oleh keadaan tertentu yang memeberatkan.15
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah permudah pembahasan mengenai sistematika penelitian
hukum yang sesuai dengan aturan maka penulis menjabarkan penelitian skripsi ini
terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub bagian sebagai berikut:
14
Hhtp//appehutauruk.blogspot.com/2012/02/disparitas-pidana-suatu-teori.html, Jam 20.00.
15
I.Pendahuluan
Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang
tersebut munculah pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan
penulisan, kerangka teori dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika
penulisan.
II. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan
tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan umum tentang
disparitas, dan tinjauan umum mengenai sebab terjadinya disparitas.
III. Metode Penenlitian
Pada bab ini memuat tentang metode yang digunakan dalam penulisan yang
menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan
masala, yaitu dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data,
penentuan populasi dan sampel, serta prosedur pengumpulan dtaa yang telah
dikumpulkan dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.
IV. Hasil Penelitian Dan pembahasan
Bab ini berisikan tentang hasil dari penelitian dan pembahasan dilapangan
terhadap permasalahan dalam penelitian yang akan menjelaskan tentang
V.Penutup
Bab ini berisi kesimpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada
A.Pengertian Tindak Pidana
1. Tindak pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang
dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan
delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum
pembatasan delik tercantum “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak
pidana).”1
Tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga
suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan
sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan. Pengertian tindak pidana dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan
pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan
istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.
Pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan delik , yang berasal dari
bahasa latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dan dalam
bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
menggunakan istilah delik yaitu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.2
Moeljatnomenggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang berupa pidana tertentu. Sedangkan
Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang.3
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Lamintang4
, unsur delik terdiri atas dua macam, yakni unsur subjektif
dan unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan
termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun
yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yuang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.
2
Teguh Prasetyo,Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm.47.
3
Mahrus Ali,Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.97-98.
4
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut:
a. Kesengajaan atau ketidaksengaajan (dolusatauculpa)
b. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan atau poging.
c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapt misalnya di dalam
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedache raad, seperti yang terdapat di
dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHPidana.
e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHPidana.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Sifat melawan hukum atauwederrechtelijkheid
b. Kualitas dari si pelaku
c. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sebagai akibat.
Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum objektif atau
subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang
bersangkutan. Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di
luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yakni semua unsur mengenai
perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat
(sekitar) pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara itu, unsur yang
bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada
keadaan batin orangnya.5
☎
Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hukuman dibedakan
menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pengaturan ini
terdapat dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana Tabahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa
hukuman tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Pada prinsipnya
memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa
pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal
yang pokok.
B. Disparitas Pidana
Disparitas pidana membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum
diIndonesia. Dari sisi pemidanaan yang berbeda disparitas pidana merupakan
pemidanaan yang berbeda membawa ketidak puasanbagi terpidana bahkan
masyarakat umumnya. Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing,
yang dikutip oleh Muladi yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah:
“the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or comparable seriousness, without a clearly visible justification”, yang artinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar pembenaran yang jelas.6
Maka tanpa merujuk kategori hukum (legal category), disparitas pidana dapat
terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang melakukan
bersama suatu tindak pidana. Disparitas dalam hal ini para pelaku merasa
membandingkan dengan orang yang sama pidananya dengan dirinya. Kenapa
jenis pidananya sama tetapi hukumanya jauh lebih ringan, sedangkan dirinya lebih
berat. Pertanyaan inilah yang timbul di benak para terdakwa, yang efeknya
berimbas pada kehidupannya didalam lembaga pemasyarakatan (LP).
Terpidana telah membandingkan pidana kemudian menjadi korban judicial
caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal
penghargaan terhadap hukum tersebut merupakansalah satu target didalam tujuan
pemidanaan. Dari hal ini akan nampak persoalan yang serius, sebab akan
merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu system untuk
mencapai persamaan keadilan dinegara hukum dan akan melemahkan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Sesuatu akan terjadi bilamana disparitas
tersebut tidak diatasi, yaitu akan timbul demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi
6
dikalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasusyang
sebanding.7
Disparitas tidak hanya terjadi diindonesia, yang termasuk keluarga hukum eropa
continental yang mengenal system presidensial. Hampir semua Negara didunia
menghadapi masalah ini. Disparitas pidana sering disebut sebagai the disturbing
disparityof sentencing yang menggunduh perhatian lembaga legislative serta
lembaga lain yang terlibat dalam system penyelenggaraan hukum pidana untuk
memecahkannya.
Harkristuti Harksnowo dikutip oleh Muladi disparitas pidana dapat terjadi dalam
beberapa kategori yaitu:
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama;
2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunya tingkat keseriusan yang sama;
3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;
4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.
Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada
tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu
majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang
sama. Tentu saja kenyataan mengenai disparitas ini menimbulkan inkonsistensi
dilingkungan peradilan.
7
C. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan
Tindak pidana pencurian dengan pemberatan pada dasarnya berbeda dengan
pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) yang berbunyi: barangsiapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Istilah pencurian dengan pemberatan ini digunakan oleh R. Soesilo dalam
bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.8
Karena sifatnya, maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya. Pencurian
jenis ini dinamakan juga pencurian dengan kualifikasi. Unsur-unsur yang
memberatkan ancaman pidana dalam pencurian dengan kualifikasi disebabkan
karena perbuatan itu ditujukan kepada obyeknya yang berbeda atau karena
dilakukan dengan cara yang berbeda dan dapat terjadi karena perbuatan itu
menimbulkan akibat yang berbeda (Sudarsono, 2001: 2007).
Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan perbuatan tindak pidana
dalam pemberatan ini merupakan suatu ajaran sifat melawan hukum secara formil.
Artinya bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat
dalam rumusan delik, dapat dikatakan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana
(Sapardjadja, 2002: 25). Tindak pidana pencurian yang masuk kategori
pemberatan terdapat di dalam Pasal 363 KUHP, pencurian dalam psal 363 dalam
8
masyarakat dikenal dengan Curat ( pencurian dengan pemberatan). Pasal 363 ayat
(1) diancam dengan pidana penjara selama tujuh tahun.9
1. Pencurian ternak.
2. Pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, bencana banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan dalam kapal atau bencana perang.
3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman atau pekarangan yang tertutup di mana terdapat rumah kediaman dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak.
4. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama.
5. Pencurian yang untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang dicuri itu dilakukan dengan jalan membongkar, mematahkan, memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Ayat (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu
tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pada pidana penjara paling lama
Sembilan tahun.10
1. Pengertian pemberian/penjatuhan pidana
Pemberian pidana merupakan upaya untuk mempertahankan hukum pidana
materiil. pengertian secara umum pemberian pidana merupakan bidang dari
pembentuk undang-undang karena asas legalitas yang berbunyi:“nullum delictum,
nulla poena, sine praevia lege poenali”. untuk mengenakan poena atau pidana
diperlukan undang-undang (pidana) terlebih dahulu.
Pembentuk undang-undanglah yang menetapkan peraturan tentang pidananya,
tidak hanya tentang crimen atau delictumnya saja, akan tetapi tentang perbuatan
mana yang dapat dikenakan pidana dan tidak dipidana. Didalam KUHP, azas ini
9
Pasal 363 KUHP
10
terdapat dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Istilah pemberian pidana pada dasarnya merupakan realisasi dari peraturan pidana
dalam undang-undang karena seseorang telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana. Andi Hamzah lebih memilih penjatuhan pidana atau
pemidanaan karena istilah “pemberian” mengingatkan kita pada istilah “hadiah”
sebagai sinonimnya biasanya mengenai sesuatu yang menyenangkan, padahal
pidana itu merupakan suatu penderitaan atau nestapa.
Dalam dunia peradilan, istilah “pemberian” justru merupakan suatu hal yang tidak
menyenangkan/buruk/konotasi. Jadi, dari sini hakim mempunyai koridor yang
jelas sebagai pelaksana dari undang-undang tersebut dan tidak sewenang-wenang
dalam pemidanaan. Mengenai hal tersebut Sudarto berpendapat dalam buku Tri
Andrisman, bahwa“apabila secara umum dan organisasi infrastruktur sudah siap,
maka badan-badan yang mendukung stelsel sanksi pidana dapat menetapkan
pidana dengan menunjuk kepada berbagai bagian dari infrastruktur penitensier.
Dari sinilah dijumpai masalah pemberian pidana dalam arti yang sebenarnya”.11
2. Syarat-syarat pemidanaan
Untuk menjatuhkan pidana pada seseorang harus dilihat pada unsur perbuatan dan
unsur orang yang mempunyai konsekuensinya sendiri-sendiri. Perbedaaan syarat
✎ ✎
pemidanaan menjadi perbuatan dan orang tidak terlepas dari teori yang
diperkenalkan oleh Moeljatno (teori dualistik) yang memisahkan antara dapat
dipidanya perbuatan dan dapat dipidanya orang.
Moeljatno mengatakan unsur perbuatan berkaitan dengan tindak pidana,
sedangkan unsur orang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana suatu perbuatan yang diduga
merupakan tindak pidana adalah:
1. Perbuatan yang harus, meliputi:
a. Memenuhi rumusan undang-Undang;
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenaran);
2. Orang, dalam hal ini berhubungan dengan “kesalahan’’, yang meliputi:
a. Kemampuan bertanggungjawab (KBJ);
b. Sengaja (Dolus/opzet) atau lalai (Culpa/alpa) tidak ada alasan pemaaf.12
D. Tindak Pidana(Dader)
Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut
serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara
fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu
tindak pidana. Dasar hukum penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP.
Menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur
12
tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam
undang-undang menurut KUHP.13
Seperti yang terdapat dalam pasal 55 (1) KUHP yang berbunyi:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan.
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP (1) diatas, bahwa pelaku tindak pidana
dibagi menjadi empat golongan, yaitu:14
1. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana(pleger)
Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat
diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang
melakukan(pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah
dengan 2 (dua) kriteria:
a. Perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana.
b. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.15
13
Bambang Poernomo,Asas-asas hukum pidana, Jakarta: 1981, Ghalia Indonesia, Hlm.86.
14
http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com/2014/01/pelaku-tindak-pidana-dader.html, jam 18.00.
15
2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana(doen pleger).
Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang
menyuruh melakukan itu. Pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai
orang yang melakukan(doen pleger)pada umumnya para ahli hukum merujuk
pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda, yang berbunyi bahwa:
“yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan tindak pidana, tapi
tidak secara pribadimelainkan dengan perantara orang lain sebagai alat di
dalam tangannya apa bila orang lain itu melakukan perbuatan tanpa
kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggungjawab, karena sesuatu hal yang tidak
diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan”.
a. Orang lain sebagai alat didalam tanganya.
Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah
apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak
pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat
penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif. Doktrin hukum pidana orang yang
diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat
disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai middelijke dader(pembuat
tidak langsung). Ada tiga konsekuensi logis terhadap tindak pidana yang
dilakukan dengan cara memperlalat orang lain:
a. Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat
penyuruh, tetapi leh perbuatan orang lain(manus ministra).
b. Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada
c. Manus ministraini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah
pembuatan penyuruh.
b. Tanpa kesengajaan atau kealpaan
Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan adalam
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra)tidak
dilandasi oleh kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya
tindak pidana bukan karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif
perbuatan datang dari pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk
mewujudkan tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh(doen
pleger).
c. Karena tersesat
Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau
kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabakan oleh
pengaruh dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas
kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk berbuat.
d. Karena kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan(geweld)di sini adalah perbuatan yang
dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada
orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya. Apa yang telah diterangkan di
atas maka jelaslah bahwa orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana.
Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan sebgai
manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus
domina. Menurut Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya
a. Tidak mempunyai kesengaaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggungjawab;
b. Berdasarkan Pasal 44 KUHP; c. Daya paksa Pasal 48 KUHP;
d. Berdasarkan Pasal 51 ayat 2 KUHP dan
e. Oang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP).16
3. Orang yang turut melakukan tindak pidana (made pleger).
KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut
melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat
dikatakan turut melakukan tindak pidana haru memenuhi dua syarat .
a. Harus adanya kerjasama secara fisik
b. harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk
melakukan tindak pidana.
MvT menjelaskan bahwa yang turut serta melakukan (medepleger) ialah setiap
orang yang sengaja berbuat(meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana.
Penelasan MvT ini, merupakan penjelasan yang singkat yang masih
membutuhkan penjabaran lebih lanjut.
Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan
pembuat peserta(medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk
menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang
tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah
terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana(pleger)untuk mewujudkan
tindak pidana tersebut. Perbuatan pembuat peserta tidak perlu
16
memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil
terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta
telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan
tindak pidana.17
4. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uitlokken)
Syarat-syaratuit lokken :
a. Harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak
pidana.
b. Harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana.
c. Cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut
didalam pasal 55(1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain
sebagainya).
d. Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai
dengan keinginan orang yang menggerakan.
Ditinjau dari sudut pertanggung jawabannya maka pasal 55(1) KUHP tersebut di
atas kesemua mereka adalah sebagai penanggung jawab penuh, yang artinya
mereka semua diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak
pidana yang dilakukan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
17
1) Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya
tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini
mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada
a. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang,
sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
b. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa
diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri,
sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak
pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
c. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan
turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
d. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan
dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.
2) Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara
memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini
mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak,
pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula
atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran,
kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si
penganjur. Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya
dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada
dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
E. Teori Pemidanaan
1. Teori absolut atau teori pembalasan
Menurut teori ini pidana yang dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est.) Jadi, dasar
pijakan dari teori tersebut ialah pembalasan. Negara berhak menjatuhkan
pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan
pada hak dan kepentingan hukum baik pribadi, masyarakat maupun negara
yang telah dilindungi.
Oleh karena itu harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa
kejahatan) yang dilakukannya Adami Chazawi mengatakan bahwa setiap
kejahatan harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat
apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa
depan, baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat.18
Hal ini karena menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu
yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat Bila
seseorang melakukan kejahatan, maka dampak yang timbul bagi korban
khususnya dan masyarakat pada umumnya berupa suatu penderitaan baik fisik
maupun pisikis dengan perasaan tidak senang, amarah, tidak puas dan
terganggunya ketentraman batin. Untuk memuaskan dan menghilangkan
penderitaan tersebut, kepada pelaku kejahatan harus diberikan pembalasan yang
18
setimpal. Immanuel Kant dalam bukunya “Philosophy of Law” seperti yang
disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan sebagai berikut:
“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/ keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan.
Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari
perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota
masyarakat, karena apabila tidak demikian, mereka semua dapat dipandang
sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan
pelanggaran terhadap keadilan umum”. Jadi menurut Kant, pidana merupakan
suatu tuntutan kesusilaan sehingga seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia
telah melakukan suatu kejahatan.
2. Teori relatif atau teori tujuan
Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana
adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat Pidana
merupakan alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar
tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban
masyarakat tersebut, maka pidana mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
1) bersifat menakut-nakuti;
2) bersifat memperbaiki;
Kemudian sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam, yaitu:
a. Pencegahan umum menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat
ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan.
Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar
masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan
penjahat itu.
b. Pencegahan khusus menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku
kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan
kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak
mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat
dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:
a. Menakut-nakuti;
b. Memperbaiki, dan
c. Membuatnya menjadi tidak berdaya.
3. Teori gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar
dari pejatuhan pidana. Teori gabungan ini terdiri dari dua golongan besar,
yaitu:
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, menurut teori ini
juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan
umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat ini
dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tetib (hukum)
masyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
Thomas Aquino berpendapat bahwa dasar pidana itu ialah kesejahteraan
umum. Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan dan
kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan
sukarela yang bersifat pembalasan. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat
umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada
hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan pada hakikatnya adalah
pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.
4. Teori integrative
Teori integrative ini diperkenalkan oleh Prof. Dr.Muladi guru besar dari
Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, menurut Muladi (2002:53) ,
alasannya memilih teori ini didasarkan atas alasan-alasan yang bersifat
sosiologis ideologis, maupun yuridis. Alasan sosilogis dapat dirujuk pada
pendapat Stanley Grupp (dalam Muladi) bahwa, kelayakan suatu teori
pemidaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat
manusia. Berdasarkan alasan sosiologis dan ideologis diatas, (Muladi 2002:61)
menyimpulkan, dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan individu dan social yang diakibatkan oleh tindak
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan dalam penelitian untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, maka
penulis menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan
bahan hukum utama, menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asa-asa
hukum dengan menggunakan data skunder, diantaranya, asa kaidah, norma dan
aturan hukum yang terdapat dalam peraturanperundang-undangan dan peraturan
lainnya. Mempelajari buku-buku, perat dan dokumen lain yang berhubungan erat
dengan penelitian yang dibahas dalam skripsi ini.1
Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan meneliti secara langsung ke
lapangan untuk melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan
atau aturan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum, serta melakukan
wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan
informasi mengenai pelaksanaan penegakan hukum tersebut.2Pendekatan hukum
normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan
hukum normatif .
1
Bambang Sunggono,Metode penelitian hukum, Raja grafindo persada, Jakarta: 1997, Hlm 39.
2
B. Sumber Data dan Jenis Data
Jenis data dari sumbernya, dapat dibedakan data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat atau lapangan dan data yang diperoleh dalam bahan pustaka.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu:
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian pada objek penelitian.
Yakni data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berhubungan dengan
disparitas terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan .
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang
dianggap menunjang dalam penelitian ini, yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan pustaka yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan
peraturan-peraturan lain serta wawancara. Data primer ini diperoleh dari:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang- Undang No.1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No.73 Tahun 1958
tentang berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
c. Undang No.8 Tahun 1981 tentang berlakunya Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
d. Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Bahan hukum skunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan
bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norama hukum yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Sumber data
skunder dalam penelitian ini adalah putusan pengadilanNo.
94/Pid.B/2014/PN.LW dan putusan No. 95/Pid.B/2014/PN.LW.
3. Bahan hukum Tersier yaitu bahan-bahan lain yang berguna untuk memberi
petunjuk dari berbagai sumber, seperti buku-buku, putusan pengadilan,
majalah, artikel, surat kabar, makalah-makalah, maupun karya tulis lainnya
yang mendukung dan sangat relevan dengan pokok permasalahan yang penulis
kaji. Sumber data terbagi menjadi dua sumber, yaitu primer (pokok) dan
sekunder (tambahan).3
C. Penentuan Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan
karekteristik yang sama.4 dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah
pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu Hakim
Pengadilan Negeri Liwa .
b. Sampel
Penentuan sampel pada penulisan skripsi ini menjadi sasaran penelitian yang
mewakili dari keseluruhan populasi. Dalam menentukan sampel dan populasi
yang akan diteliti digunakan metode pengambilan sampel secara purposive
sampling,yaitu suatu metode dalam penentuan sampel disesuaikan dengan
3
Ibid,Hlm. 136.
4
tujuan yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili populasi. Adapun
responden dalam penelitian adalah :
1. Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa : 2 orang
2. Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +
Jumlah : 3 0rang
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh
prosedur sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara
membaca, mengutip, mencatat dan memahami berbagai literatur yang ada
hubungannya dengan materi penelitian. Diantaranya buku-buku, peraturan
perundang-undangan, majalah, serta dokumen lain yang berhubungan dengan
masalah penelitian yang dibahas.
2. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian
langsung pada tempat atau objek penelitian. Dalam penelitian ini digunakan
teknik wawancara yang dilakukan terhadap informan. Data diperoleh dengan
melakukan tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan
Liwa, dengan mempersiapkan daftar pertanyaan berupa pokok-pokok saja
sebagai pedoman yang akan dikembangkan pada saat wawancara berlangsung.5
E. Metode Pengolaha Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yaitu perundang-undangan
dan buku-buku literatur ilmu hukum yang ada. Data yang telah terkumpul, diolah
melalui cara pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:6
a. Identifikasi
Identifikasi data adalah mencari dan menetapkan data yang berhubungan
dengan disparitas putusan hakim dan tindak pidana pencurian dengan
pemberatan. Serta mengidentifikasi segala literatur yang berhubungan dengan
penelitian ini.
b. Editing
Editing merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari berbagai
kepustakaan yang ada. Hal tersebut sangat perlu untuk mengetahui apakah data
yang telah kita miliki sudah cukup dan dapat dilakukan untuk proses
selanjutnya. Dari data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan
permasalahan yang ada dalam penulisan ini, editing dilakukan pada data yang
sudah terkumpul serta diseleksi terlebih dahulu dan diambil data yang
diperlukan.
5
Abdulkadir Muhammad,Hukum dan penelitian hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung: Hlm.134.
6