• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan Komunikasi Terapeutik Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar (Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Tahapan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tahapan Komunikasi Terapeutik Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar (Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Tahapan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat)"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

v

METHOD THEURAPEUTIC COMMUNICATION IN MENTAL HOSPITAL WEST JAVA PROVINCE

(Descriptive Study of Mental Patients Healing Through Therapeutic Communication Methods by Nurses in Mental Hospital

West Java Province) Java Provincial Mental Hospital (A Descriptive Study of Mental Patients Healing Through Therapeutic Communication Methods by Nurses in the Mental Hospital of West Java province). To answer the above purpose, the researcher picked up sub focus: Pre-interaction Phase, Phase Orientation, Work Phase, Phase Termination to measure the focus of research. The research approach is qualitative and research methods used is descriptive method. Data collection techniques Were interviews, documentation, library research, internet searching. In this study, informants WHO Were interviewed Were Nurses Mental Hospital West Java Provincial, Which amounts to six people. From the interviews conducted, and researchers describe were the interviews based on definitions related. The results showed that: Pre-interaction phase is the phase where the nurses prepare themselves prior to directly interact with clients. The orientation phase is the phase in which nurses meet with clients to create a relationship of mutual trust. Working phase is the phase that nurses can focus on problems encountered by clients, and last. Termination phase is the result of the conclusion of all phases.

(2)

iv

PROVINSI JAWA BARAT

(Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Tahapan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Jawa Barat) Oleh :

Indri Tyas Handayani NIM. 41806138

Skripsi ini dibawah bimbingan, Desayu Eka Surya, S.Sos., M.Si

Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana Tahapan Komunikasi Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar (Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Tahapan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat). Untuk menjawab tujuan diatas, maka peneliti mengangkat sub fokus : Fase Pra-interaksi, Fase Orientasi, Fase Kerja, Fase Terminasi untuk mengukur focus penelitian.

Pendekatan penelitian adalah kualitatif dan metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Teknik pengumpulan data adalah wawancara, dokumentasi, studi pustaka, internet searching. Dalam penelitian ini, informan yang diwawancarai adalah perawat-perawat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar yang berjumlah 5 orang. Dari hasil wawancara yang dilakukan, kemudian peneliti mendekskripsikan hasil wawancara tersebut berdasarkan definisi yang berkaitan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa : Fase Pra-Interaksi itu adalah fase dimana perawat mempersiapkan diri sebelum langsung berinteraksi dengan klien. Fase Orientasi adalah fase dimana perawat berkenalan dengan klien agar terciptanya hubungan yang saling percaya. Fase Kerja adalah fase yang perawat dapat focus terhadap masalah yang dihadapi oleh klien, dan terakhir. Fase Terminasi adalah hasil kesimpulan dari semua fase.

Kesimpulan dari penelitian menunjukan bahwa tahapan-tahapan pada komunikasi terapeutik tidak dapat dilakukan dengan mudah dan tidak sengaja, tetapi harus direncanakan dan dipelajari dahulu agar tidak terjadinya bloking atau tidak tahu mahu bicara apa saat bertemu klien.

(3)

1 1.1LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia hidup di dunia selalu dihadapkan pada berbagai masalah dan dalam menghadapi berbagai masalah itu terkadang ketidakmampuan manusia seringkali membuat manusia itu berada dalam keadaan stress. Jika stress itu tidak dapat dikendalikan maka akan terus berlanjut ke tingkat depresi jika depresi juga tidak dapat menurun maka manusia akan sampai pada tingkat yang lebih tinggi yaitu gangguan jiwa. gangguan jiwa adalah sindrom atau pola tingkah laku dan psikologi yang secara klinis bermakna dari seseorang dan berhubungan dengan penderita (distress) atau disabilitas atau meningkatnya risiko untuk penderita sakit, disabilitas, kematian atau kehilangan kebebasan.

(4)

Everrett Kleinjan dari East West Center Hawai, komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas. Sepanjang manusia ingin hidup, ia perlu berkomunikasi.

Mengenai betapa pentingnya komunikasi sebagaimana dikatakan oleh S.E Ashore yang dikutip oleh T.M. Lilico bahwa :

“Tanpa komunikasi tidak ada kehidupan social yang langgeng dan teratur. Kesejahteraan dan prestasi setiap system social, apakah itu suatu organisasi atau kesatuan semacamnya, bergantung pada tingkat mudah dan pastinya komunikasi harus ada penyampaian dan penerimaan gagasan, rencana, perintah dan nilai – nilai . perasaan dan tujuan (Lilico,1984:1).

Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia diperkirakan terus meningkat. Bahkan, khusus untuk gangguan jiwa berat, jumlahnya bisa mencapai 6 juta orang. Data tersebut berdasarkan riset kesehatan dasar. Menurut riset itu, jumlah populasi penduduk Indonesia yang terkena gangguan jiwa berat mencapai 1-3 persen di antara total penduduk. Jika penduduk Indonesia diasumsikan sekitar 200 juta, tiga persen dari jumlah itu adalah 6 juta orang). Ini bukan angka prediktif. Tapi, ini adalah angka prevalensi (angka kejadian) berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas), menurut psikiater RSUP Cipto Mangunkusumo dr Surjo Dharmono SpKJ. Angka enam juta penduduk itu, hanya mereka yang dinyatakan menderita gangguan jiwa berat (psikosis). Ini belum termasuk mereka yang mengalami gangguan jiwa ringan (neurosis) yang persentasenya mencapai 10-15 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 20-30 juta orang. Untuk gangguan berat, jumlahnya mungkin bisa tetap karena penyebabnya terkait faktor

1

(5)

biologis. Namun, untuk neurosis, kemungkinan jumlah penderitanya akan terus bertambah)2. Hal ini disebabkan karena seseorang tidak bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan suatu perubahan atau gejolak hidup. Apalagi di era serba modern ini, perubahan-perubahan terjadi sedemikian cepat. Satu era cepat berlalu dan berganti era lain. ditambah lagi, manusia itu tidak dapat berbagi kesulitan hidupnya dengan orang lain.

Menurut catatan WHO, depresi menempati empat besar penyakit dengan beban kesehatan tertinggi. Diprediksikan pada 2020, penyakit itu menempati dua terbesar dengan beban kesehatan tertinggi. Cost yang dikeluarkan akibat penyakit itu boleh dibilang amat tinggi. Sebab, mereka membutuhkan perawatan dalam jangka waktu cukup lama.

Dalam Harian Pikiran Rakyat terbitan Oktober 2008, disebutkan angka yang lebih fantatis 37% warga Jabar sakit gila, dari tingkat yang rendah sampai yang tinggi. Diungkapkan juga melonjaknya jumlah kunjungan orang yang sakit menjadi 100 orang per hari di RSJ Provinsi Jabar. Sedangkan angka yang lebih konservatif adalah sekitar 20%, atau 1 dari 5 orang dewasa menderita penyakit ini. Kemudian data lain yang mengemuka adalah bahwa tingkat bunuh diri sangatlah tinggi, yaitu mencapai 837.000 per tahun menurut perhitungan WHO). Di Bandung sendiri, penduduknya amat berpeluang mengalami gangguan jiwa, terutama depresi. Karena itu, Depkes diharapkan mulai memfokuskan

²

(6)

diri terhadap persoalan kesehatan tersebut. Jika tidak, pasien jiwa terus naik dan naik.

Komunikasi dalam profesi keperawatan menjadi sangat penting karena komunikasi merupakan alat dalam melaksanakan proses keperawatan. Melalui komunikasi perawat mengenal klien dan membantu klien beradaptasi dengan kondisinya. Serta membantu memecahkan masalah kesehatan. Selama berinteraksi dengan klien, penggunaan diri secara efektif, melakukan tahapan komunikasi terapi, serta strategi atau tekhnik menanggapi respon klien harus dimiliki oleh perawat, karena ke-3 aspek tersebut bertujuan untuk terapi. Oleh karena itu diharapkan dapat membantu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan kesehatan yang optimal (Suryani,2006).

(7)

sangat berpengaruh dan menentukan keberhasilan dalam melakukan komunikasi (TAN, 1981:104).

Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi memberikan karakteristik manusia komunikan serta factor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Pada komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan bertanya : Apa yang menyebabkan suatu sumber komunikasi berhasil dalam mempengaruhi orang lain, sementara sumber komunikasi yang lain tidak?

Akhir – akhir ini telah ditemukanya metode baru dalam teknik penyembuhan jiwa, yaitu komunikasi terapeutik (therapeutic communication). Dengan metode ini, seorang terapis mengarahkan komunikasi begitu rupa sehingga klien dihadapakan pada situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan social yang bermanfaat. Komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan klien untuk mengungapkan dirinya. Pendeknya, meluruskan jiwa orang diperoleh dengan meluruskan caranya berkomunikasi (Ruesch,1973).

(8)

informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain (Stuart & sundeen,1998).

Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani, 2003 50).

(9)

Pelaksanaan komunikasi tidak selamanya berlangsung baik, bahkan dapat menimbulkan rasa bosan bagi perawat terutama dalam gangguan orientasi realitas yang mengalami perubahan perilaku dalam waktu relative lama atau tidak mengalami perubahan perilaku sama sekali. Berdasarkan hasil wawancara di RSJ Provinsi Jabar selama 2 hari diketahui bahwa jumlah perawat yang secara kurikuler pada pendidikan secara umum tentang aturan keperawatan jiwa melalui pelatihan – pelatihan baik yang diadakan diluar maupun di RSJ Provinsi Jabar dari jumlah tenaga keperawatan terhadap klien yang menunjukan perilaku delusi. Dalam menghadapi klien yang mengalami delusi agar keyakinan terhadap delusinya berkurang, perawat perlu menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik yang tepat dan dapat meningkatkan keyakinan klien terhadap delusinya.

(10)

minat, sikap, motivasi, dan sebagainya. Sehingga seseorang yang memiliki pengetahuan sebaiknya dapat mengaplikasikan pengetahuan tersebut. Untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut diperlukan suatu sikap yang mendukung (Notoatmodjo, 1997). Oleh karena itu harus didukung oleh sikap dan motivasi positif terhadap pelaksanaan komunikasi terapi untuk mengatasi klien.

Dengan membahas penggunaan metode komunikasi terapeutik sebagai langkah penyembuhan jiwa klien dinilai menarik untuk diangkat sebagai penelitian karena hal ini belum terpikirkan mahasiswa Unikom khususnya program studi ilmu komunikasi untuk di angkat sebagai penelitian. Padahal hal terpenting dalam komunikasi adalah bagaimana kita melakukan hubungan interpersonal dengan manusia lainya.

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, peneliti berharap penelitian ini dapat menjawab rumusan masalah tentang Bagaimana “Tahapan Komunikasi Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Jabar” (Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Metode Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat?)

1.2IDENTIFIKASI MASALAH

(11)

1.Bagaimana fase pra-interaksi pada penyembuhan jiwa klien RSJ Provinsi Jabar melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh perawat? 2.Bagaimana fase orientasi pada penyembuhan jiwa klien RSJ

Provinsi Jabar melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh perawat? 3.Bagaimana fase kerja pada penyembuhan jiwa klien RSJ Provinsi

Jabar melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh perawat?

4.Bagaimana fase terminasi pada penyembuhan jiwa klien RSJ Provinsi melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh perawat?

5.Bagaimana “Tahapan Komunikasi Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar” (Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Tahapan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di RSJ Provinsi Jabar).

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan metode komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat terhadap penyembuhan jiwa klien Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar.

1.3.2 Tujuan Penelitian

(12)

1. Untuk mengetahui fase pra-interaksi pada penyembuhan jiwa pasien RSJ Provinsi Jabar melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh Perawat.

2. Untuk mengetahui fase orientasi pada penyembuhan jiwa pasien RSJ Provinsi Jabar melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh Perawat.

3. Untuk mengetahui fase kerja pada penyembuhan jiwa pasien RSJ Provinsi Jabar melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh Perawat. 4. Untuk mengetahui fase terminasi pada penyembuhan jiwa pasien RSJ Provinsi Jabar melalui tahapan komunikasi terapeutik oleh Perawat.

5. Untuk mengetahui “Tahapan Komunikasi Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar” (Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Metode Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di RSJ Provinsi Jabar).

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

(13)

1.4.2 Kegunaan Praktis a. Bagi Peneliti

Sebagai aplikasi ilmu dan menambah pengetahuan tentang komunikasi terapeutik antara perawat dengan klien. Serta dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan baik dari segi teoritis dan praktisnya bagi peneliti.

b. Bagi Akademik

Sebagai bahan referensi skripsi bagi mahasiswa lainnya yang akan melakukan penelitian – penelitian di bidang ilmu komunikasi. Juga diharapakan dapat memberikan masukan dan dijadikan literatur dalam mendukung materi-materi perkuliahan bagi Universitas, Program Studi mahasiswa – mahasiswi ilmu komunikasi.

c. Bagi Instansi

Sebagai evaluasi, masukan, informasi bagi team medis RSJ Povinsi Jabar dalam menangani klien RSJ Provinsi Jabar dengan metode komunikasi terapeutik.

1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Kerangka Teoritis

(14)

yang optimal (Stuart, G.W.,1998). Karena bertujuan untuk terapi maka komunikasi dalam keperawatan disebut komunikasi terapeutik.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien (Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada klien.

Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi antara orang – orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal dan nonverbal. (Mulyana, 2000). Dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima bantuan.

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terstruktur yang terdiri dari empat tahap yaitu :

a. Fase pra-interaksi

(15)

perawat mencari informasi tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Tahapan ini dilakukan oleh perawat dengan tujuan mengurangi rasa cemas atau kecemasan yang mungkin dirasakan oleh perawat sebelum melakukan komunikasi terapeutik dengan klien.

Kecemasan yang dialami seseorang dapat sangat mempengaruhi interaksinya dengan orang lain (Ellis, Gates dan Kenworthy, 2000 dalam Suryani, 2006). Hal ini disebabkan oleh adanya kesalahan dalam menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh lawan bicara. Pada saat perawat merasa cemas, dia tidak akan mampu mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien dengan baik (Brammer, 1993 dalam Suryani, 2006) sehingga tidak mampu melakukan active listening (mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian).

b. Fase orientasi

(16)

c. Fase kerja

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Tahap ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien. Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan dan perilaku klien. Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana asuhan yang telah ditetapkan. Tekhnik komunikasi terapeutik yang sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan (Geldard,D,1996, dikutip dari Suryani, 2006).

d. Fase terminasi

Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien. Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart,G.W,1998). Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan.

(17)

dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep kehilangan. Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:

1. Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan; 2. Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan

proses keperawatan secara menyeluruh. 1.5.2 Kerangka Konseptual

Kegiatan komunikasi terapeutik pada klien RSJ Prof Jabar merupakan pemberian bantuan pada klien yang mengalami gangguan jiwa. Tujuan Komunikasi terapeutik pada klien RSJ Provinsi Jabar adalah membantu klien memperjelas serta mengurangi beban perasaan dan pikiran selama proses terapi, membantu mengambil tindakan yang efektif untuk pasien serta membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri untuk kenyamanan ibu dan proses terapi yang sedang dijalankan.

(18)

Dengan melihat fenomena – fenomena gangguan jiwa yang diderita oleh manusia kita dapat melihat hubungan dengan teori yang kita gunakan yaitu tahapan komunikasi terapeutik.

a. Fase pra-interaksi

Tahap ini adalah masa persiapan perawat RSJ Provinsi Jabar sebelum memulai berhubungan dengan klien. Tugas perawat pada fase ini yaitu :

1. Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya.

2. Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi teman kelompok.

3. Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi.

4. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu dengan klien.

b. Fase orientasi

Tugas-tugas perawat RSJ Provinsi Jabar pada tahap ini antara lain : 1. Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap

(19)

2. Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga kelangsungan sebuah interaksi. Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik pertemuan.

3. Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka tekhnik yang digunakan adalah pertanyaan terbuka.

4. Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi.

c. Fase kerja

Tugas perawat RSJ Provinsi Jabar pada fase kerja ini adalah mengeksplorasi stressor yang terjadi pada klien dengan tepat. Perawat juga perlu mendorong perkembangan kesadaran diri klien dan pemakaian mekanisme koping yang konstruktif, dan mengarahkan atau mengatasi penolakan perilaku adaptif. Strategi yang dapat dilakukan perawat terhadap pasien ialah mengatasi penolakan perilaku adaptif pasien dengan cara menciptakan suasana komunikasi yang nyaman.

(20)

komunikasi verbal dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Dalam tahap ini pula perawat mendengarkan secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien, mencari penyelesaian masalah dan mengevaluasinya.

Dibagian akhir tahap ini, perawat diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien. Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan oleh perawat maka klien dapat merasakan bahwa keseluruhan pesan atau perasaan yang telah disampaikannya diterima dengan baik dan benar-benar dipahami oleh perawat.

d.Fase terminasi

Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat RSJ Provinsi Jabar dan klien. Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan.

Tugas perawat RSJ Provinsi Jabar pada fase ini yaitu :

(21)

atau respon objektif setelah tindakan dilakukan sangat berguna pada tahap terminasi.

b. Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu.

c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut klien tidak akan pernah kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam.

d. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati adalah topik, waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara dan terminasi akhir, adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai selama interaksi.

1.6Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan – pertanyaan yang akan diajukan kepada informan pada penelitian yang dilakukan, sebagai berikut :

a. Fase Pra-interaksi

(22)

3. Apa saja kesulitan yang dihadapi pada Fase Pra-Interaksi?

4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian Fase Pra-Interaksi?

b. Fase Orientasi

5. Apa yang dimaksud dengan Fase Orientasi? 6. Apa saja yang dilakukan pada Fase Orientasi?

7. Apa saja kesulitan yang dihadapi pada Fase Orientasi?

8. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian Fase Orientasi?

c. Fase Kerja

9. Apa yang dimaksud dengan Fase Kerja? 10. Apa saja yang dilakukan pada FaseKerja?

11. Apa saja kesulitan yang dihadapi pada Fase Kerja?

12. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian Fase Kerja?

d. Fase Terminasi

13.Apa yang dimaksud dengan Fase Terminasi? 14. Apa saja yang dilakukan pada Fase Terminasi?

15. Apa saja kesulitan yang dihadapi pada Fase Terminasi?

(23)

1.7Subyek Penelitian dan Informan 1.7.1 Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah menjelaskan subyek penelitian yang fokus dan lokus penelitian., yaitu apa yang menjadi sasaran penelitian. Dalam penelitian ini, subyek penelitian adalah perawat-perawat Rumah Sakit Jiwa provinsi Jabar yang berjumlah 12 orang, untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.1

4. Agus Kusnandar perawat 5. Dewi Sri Wulandari perawat

6. Novita Sari perawat

7. Hani perawat

8. Aam Amalia perawat

9. Trisnisari perawat

10. Lukman perawat

11. Juju Julaeha perawat

12. Wawan Ruswandi perawat

13 Dian Nurpada perawat

14 Neni Rochaeni perawat

15 Lilis perawat

Sumber : Bagian Keperawatan RSJ Provinsi Jabar

1.7.2 Informan Penelitian

(24)

informan adalah bagian dari subyek yang diambil melalui cara-cara tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang diangggap bisa mewakili subyek (Hasan, 2002:58). Informan penelitian adalah subyek yang memahami objek penelitian (Burhan Bengin).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling, yakni teknik pengambilan informan dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti. (Sugiyono, 2008:218)

Artinya, informan yang diambil dari penelitian ini adalah beberapa perawat RSJ Provinsi Jabar yang memang menguasai bagaimana cara dan teknik komunikasi terapeutik dalam penyembuhan jiwa pasien RSJ Provinsi Jabar.

1.8Metode Penelitian

(25)

bahasa, suara, perumpamaan, gaya pribadi, maupun ritual social (Deacon et al., 1999:6)

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriftif. Metode deskriptif menurut penjelasan Moh. Nazir adalah :

“Metode deskriptif bertujuan untuk mendapatkan fakta secara cermat

dan factual menganai fakta – fakta, sifat – sifat serta berhubungan antar fenomena yang diselidiki serta mengembangkan atau memaparkan masalah dan mengadakan analisa yang didasarkan atas hasil pengamatan dari berbagai kejadian” (Nazir, 1983:63).

Sedangkan metode deskriptif menurut Djalaludin Rakhmat, metode deskriptif yaitu dengan cara mempelajari masalah – masalah dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi – situasi tertentu dengan tujuan penelitian yaitu menggambarkan fenomena secara sistematis, fakta atau karakteristik, populasi tertentu atau bidang tertentu secara factual dan cermat (Rakhmat, 1997:22).

1.9Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Wawancara

(26)

wawancara dapat dilakukan dengan tatap muka (face to face interviews) dan melalui saluran telepon (telephone interviews). Subjek wawancara dalam penelitian ini adalah perawat RSJ Provinsi Jabar.

2. Studi Pustaka

Teknik pengumpulan data dengan membaca literatur seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku standar, karya ilmiah, dll.

3. Dokumentasi

Metode atau teknik pengumpulan data melalui dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sosial. Dokumen merupakan catatan yang didalamya terdapat sebuah peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen tersebut bisa dalam bentuk tulisan, gambar, atau proses komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat.

4. Internet Searching atau penelusuran Data Online

Untuk menghasilkan data yang lebih maksimal, peneliti juga memanfaatkan dunia maya (internet) dalam mengumpulkan data – data yang diperlukan untuk penelitian ini.

(27)

mungkin, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, (Burgin, 2007:125). Untuk memperoleh data secara online ini dilakukan dengan cara browsing atau mengunduh data yang diperlukan dari internet melalui web site tertentu.

1.10 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.10.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSJ Provinsi Jabar Jl. Kolonel Masturi km. 7 Cisarua Bandung Barat.

1.10.2 Waktu Penelitian

(28)
(29)

1.11 SISTEMATIKA PENULISAN

Secara garis besar sistematika penulisan pada tugas akhir ini dapat penulis jelaskan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Adapun di bab ini terdapat latar belakang penelitian, identifikasi penelitian, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, operasionalisasi variabel, teknik penulisan, analisis data, metode penelitian, populasi dan sampel penelitian, lokasi & waktu penelitian, sisitematika penulisan, rencana penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini membahas tentang tinjuan tentang ilmu komunikasi, tinjuan tentang psikologi komunikasi, tentang komunikasi interpersoanal, tinjauan tentang metode komunikasi terapeutik.

BAB III : OBJEK PENELITIAN

(30)

BAB IV : HASIL PENELITIAN

Bab ini membahas cara pengumpulan data melalui pertanyaan penelitian yang ditujukan kepada perawat RSJ Provinsi Jabar

BAB V : PENUTUP

(31)

29

2.1 Tinjauan Tentang Ilmu Komunikasi

2.1.1 Perkembangan dan definisi Ilmu Komunikasi

Ilmu Komunikasi merupakan ilmu yang mempunyai kontinuitas tinggi, tidak bersifat absolute atau berubah – ubah sesuai dengan perkembangan zaman, hal tersebut dikarenakan objek materi dan Ilmu Komunikasi adalah perbuatan, perilaku atau tingkah laku manusia yang selalu dipengaruhi oleh lingkungannya.

Menurut para ahli, Ilmu Komunikasi dianggap bagian dari ilmu social dan merupakan ilmu terapan (applied science), dan karena termasuk ke dalam ilmu social dan ilmu terapan, maka Ilmu Komunikasi sifatnya Interdisipliner atau Multidisipliner. Hal itu disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu social/ilmu-ilmu kemasyarakatan.

Komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication, yang berasal dari kata Latin, communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.

(32)

Untuk lebih jelas lagi mengenai pengertian komunikasi, dapat dilihat beberapa definisi komunikasi menurut para ahli.

Sebagaimana telah di kutip Cangara, Roger dan D Lawrence (1981), mengatakan bahwa komunikasi adalah :

“Suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam” (cangara, 2004 : 19).

Sebagaimana dikutip oleh Djalaludin Rakhmat, Raymond S Ross, melihat komunikasi yang berawal dari proses penyampaian suatu lambang :

“A transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in such a way as to help another elicit from his own experiences a meaning or responses similar to that intended by the source.”

(Proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber.) (Rakhmat, 2007:3)

Lain halnya dengan definisi komunikasi yang diberikan oleh Onong Uchjana Effendy. Menurutnya komunikasi yaitu:

“Proses pernyataan antara manusia yang dinyatakan adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai penyalurnya.” (Effendy, 1993:28)

Dari beberapa pengertian mengenai komunikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses pertukaran pesan atau informasi antara dua orang atau lebih, untuk memperoleh kesamaan arti atau makna diantara mereka.

(33)

2.1.2 Komponen – komponen Komunikasi

Berdasarkan beberapa pengertian komunikasi diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi terdiri dari proses yng di dalamnya terdapat unsur atau komponen. Menurut Effendy (2005:6), Ruang Lingkup Ilmu Komunikasi berdasarkan komponen terdiri dari:

1. Komunikator (communicator) 2. Pesan (message)

3. Komunikan (communicant) 4. Media (media)

5. Efek (effect)

Untuk itu, Lasswell memberikan paradigma bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

1.Komunikator.

Komunikator atau orang yang menyampaikan pesan harus berusaha merumuskan isi pesan yang akan disampaikan. Sikap dari komunikator harus empati, jelas. Kejelasan kalimat dan kemudahan bahasa akan sangat mempengaruhi penerimaan pesan oleh komunikan.

2.Pesan

(34)

dengan pesan yang disampaikan melalui warna tertentu yang mempunyai makna, yang sudah diketahui secara umum, misalnya merah, kuning, dan hijau pada lampu lalu lintas.

3.Komunikan

Komunikan adalah penerima pesan. Seorang penerima pesan harus tanggap atau peka dengan pesan yang diterimanya dan harus dapat menafsirkan pesan yang diterimanya. Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah persepsii komunikan terhadap pesan harus sama dengan persepsi komunikator yang menyampaikan pesan.

4. Media

Media adalah sarana atau saluran dari komunikasi. Bisa berupa media cetak, audio, visual dan audio-visual. Gangguan atau kerusakan pada media akan mempengaruhi penerimaan pesan dari komunikan.

5. Efek

Efek atau dapat disebut pengaruh, juga merupakan bagian dari proses komunikasi. Namun, efek ini dapat dikatakan sebagai akibat dari proses komunikasi yang telah dilakukan. Seperti yang dijelaskan Cangara, masih dalam bukunya “Pengantar Ilmu Komunikasi”,

(35)

“Perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.Pengaruh ini bias terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang” (De Fleur, 1982, dalam Cangara, 2004:25).

Oleh sebab itu, Cangara mengatakan, “Pengaruh bisa juga diartikan

perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerimaan pesan” (Cangara, 2004:25).

2.1.3 Komunikasi Verbal dan Komunikasi Non-Verbal

Didalam kegiatan komunikasi, kita menempatkan kata „verbal‟ untuk

menunjukan pesan yang dikirimkan atau yang diterima dalam bentuk kata – kata baik lisan maupun lisan. Kata verbal sendiri berasal dari bahasa latin, verbalis verbum yang sering pula dimaksudkan dengan „berarti‟ atau

„bermakna melalui kata‟ atau yang berkaitan dengan „kata‟ yang digunakan

untuk menerangkan fakta, ide atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan daripada tulisan. (Liliweri,2002:135)

Berbicara mengenai komunikasi verbal, maka kita juga akan membicarakan mengenai bahasa yang dipakai. Bahasa menurut Larry L. Barker dalam Deddy Mulyana (2005:243), harus memiliki tiga fungsi yaitu penamaan (naming atau labelling), interaksi dan transmisi informasi. Sementara itu, menurut Book, masih dalam Mulyana mengungkapkan bahwa:

(36)

Selain komunikasi verbal, kita mengenal juga komunikasi non – verbal. Komunikasi non – verbal lebih menitik beratkan pada aspek – aspek selain bahasa lisan maupun tulisan sebagai pesan komunikasi. Pesan dalam komunikasi non – verbal dapat dilihat dari tatapan mata, gerakan tangan, jarak yang diambil hingga wewangian yang dipakai.

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam Mulyana (2005:308) :

“Komunikasi non verbal mencangkup semua ransangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.

Jadi definisi ini mencangkup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Kita mengirim banyak pesan non-verbal tanpa menyadari bahwa pesan – pesan tersebut bermakna bagi orang lain.”

(37)

dimaksud adalah bahasa tubuh, sentuhan, penampilan fisik, bau-bauan, orientasi dan jarak pribadi, konsep waktu, artefak.

2.2 Tinjauan Tentang Komunikasi Interpersonal 2.2.1 Definisi Komunikasi interpersonal

Komunikasi intrapersonal dapat diartikan sebagai penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri. Jadi dapat diartikan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang membutuhkan pelaku atau personal lebih dari satu orang. R Wayne Pace mengatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah Proses komunikasi yang berlangsung antara 2 orang atau lebih secara tatap muka.

Komunikasi Interpersonal menuntut berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi jenis ini dibagi lagi menjadi komunikasi diadik, komunikasi publik, dan komunikasi kelompok kecil.Komunikasi Interpersonal juga berlaku secara kontekstual bergantung kepada keadaan, budaya, dan juga konteks psikologikal.

Menurut Devito (1989), komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera (Effendy,2003, p. 30).

(38)

2.2.2 Efektifitas Komunikasi Antar Pribadi

Kelebihan dari sistem komunikasi ini adalah umpan balik yang bersifat segera.Sementara itu, agar komunikasi interpersonal dapat berjalan efektif, maka harus memiliki lima aspek efektifitas komunikasi yang dikemukakan oleh Joseph De Vito yakni :

1. Keterbukaan (Openess) 2. Empati (Emphaty)

3. Sikap mendukung (Supportiveness) 4. Sikap positif (Positiveness)

5. Kesetaraan (equality) 1. Keterbukaan (Openess)

Yaitu keterbukaan yang mengacu pada keterbukaan dan kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang dan keterbukaan peserta komunikasi interpersonal kepada orang yang ajak untuk berinteraksi. Salah satu contoh dari aspek ini yaitu menilai pesan secara objektif dengan menggunakan data dan keajegan logika. 2. Empati (Emphaty)

Aspek kedua yakni empati (emphaty) adalah menempatkan diri kita secara emosional dan intelektual pada posisi orang lain.

3. Sikap mendukung (Supportiveness)

(39)

4. Sikap positif (Positiveness)

Hal lain yang harus dimiliki adalah sikap positif (positiveness). Seseorang yang memiliki sikap diri yang positif, maka ia pun akan mengkomunikasikan hal yang positif. Sikap positif juga dapat dipicu oleh dorongan (stroking) yaitu perilaku mendorong untuk menghargai keberadaan orang lain

5. Kesetaraan (equality)

Serta kesetaraan (equality) yang merupakan pengakuan bahwa masing – masing pihak memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

Komunikasi antar persona merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan umpan balik yang lagsung (DeVito dalam Liliwer, 1997:12).

2.2.3 Klasifikasi Komunikasi Interpersonal

Redding yang dikutip Muhammad (2004, p. 159-160) mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi

1. Interaksi intim 2. Percakapan sosial

3. Interogasi atau pemeriksaan 4. Wawancara.

(40)

2. Percakapan sosial adalah interaksi untuk menyenangkan seseorang secara sederhana. Tipe komunikasi tatap muka penting bagi pengembangan hubungan informal dalam organisasi.Misalnya dua orang atau lebih bersama-sama dan berbicara tentang perhatian, minat di luar organisasi seperti isu politik, teknologi dan lain sebagainya. 3. Interogasi atau pemeriksaan adalah interaksi antara seseorang yang

ada dalam kontrol, yang meminta atau bahkan menuntut informasi dari yang lain. Misalnya seorang karyawan dituduh mengambil barang-barang organisasi maka atasannya akan menginterogasinya untuk mengetahui kebenarannya.

4. Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi interpersonal di mana dua orang terlibat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Misalnya atasan yang mewawancarai bawahannya untuk mencari informasi mengenai suatu pekerjaannya.

2.2.4 Kepercayaan pada komunikator

Dalam komunikasi antarpribadi, sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator memegang peranan penting terutama dalam mengendalikan jalanya komunikasi untuk itu seorang komunikator harus terampil berkomunikasi dan juga kaya akan ide serta penuh daya kreatifitas.

(41)

Kepercayaan kepada komunikator ditentukan oleh keahliannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Kepercayaaan kepada komunikator dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan. Pada umumnya komunikator dianggap sebagai ahli, apakah keahliannya itu bersifat umum seperti yang timbul dari pendidikan yang lebih baik atau status sosial atau jabatan profesi yang lebih tinggi.

Untuk mencapai komunikasi yang mengena, seorang komunikator selain mengenal dirirnya, ia juga harus memilki:

1. Kepercayaan (credibility)

Kredibiltas adalah seperangkat persepsi tentang kelebihan – kelebihan yang dimiliki sumber sehingga diterima atau diikuti oleh khalayak atau penerima.

2. Daya Tarik (attractive)

Daya tarik adalah salah satu faktor yang harus dimilki oleh seorang komunikator selain kredibilitas, faktor daya tarik banyak menentukan berhasil tidaknya komunikasi.

3. Kekuatan (power)

(42)

James Mc. Croslay (1996) lebih jauh menjelaskan bahwa kredibilitas sebagai komunikator bersumber pada :

a.Kompetensi (competence), adalah penguasaan yang dimiliki komunikator terhadap masalah yang sedang dibahasnya.

b. Sikap (character), menunjukan pribadi komunikator apakah ia tegar atau toleran terhadap prinsip.

c. Tujuan (intention), menunjukan apakah hal-hal yang disampaikan itu punya maksud baik atau tidak.

d. Kepribadian (personality), menunjukan apakah komunikator memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat.

e. Dinamika (dynamism), menunjukan apakah hal yang disampaikan itu menarik atau tidak (cangara, 2000:96).

2.2.5 Hubungan Interpersonal

(43)

efektif. Ada beberapa teori yang dapat melandasi komunikasi interpersonal maupun hubungan interpersonal dan salah satunya digunakan penulis sebagai landasan untuk penelitian. Teori ini adalah penetrasi sosial yang dikemukakan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor (Littlejohn, 1997 : 457). Menurut mereka, sewaktu hubungan – hubungan berkembang, komunikasi bergerak dari tingkatan – tingkatan yang relatif dangkal dan tidak intim sampai pada tingkatan – tingkatan yang lebih dalam dan lebih pribadi. Dengan berkembanganya hubungan, pasangan – pasangan membagi lebih banyak aspek diri, memberikan luas dan juga kedalaman melalui pertukaran informasi, perasan dan aktifitas.

Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan di antara komunikan menjadi rusak. Anita Taylor mengatakan Komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting.

2.2.6 Faktor yang menumbuhkan Hubungan Interpersonal dalam komunikasi interpersonal

1. Kepercayaan (trust)

(44)

2. Sikap Suportif

Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensive dalam komunikasi. Dimana seseorang akan bersikap defensive ketika ia tidak mau menerima suatu keadaan, dilanda kecemasan, tidak jujur dan tidak empatis. Maka dengan sikap defensive komunikasi inetpersonal akan gagal, Karena sikap defensive akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang dianggapnya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain.

3. Sikap terbuka (open mindness)

Sikap terbuka sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal. Dikatakan terbuka jika kita sudah bisa menilai pesan secara objektif dengan menggunakan data atau logika, kita dapat membedakan dengan mudah atau dapat melihat suasana ini, berorientasi pada isi, mencari informasi dari berbagai sumber, bersifat proporsional dan bersedia mengubah kepentingan mencari pengertian pesan yang tidak sesuai denagn rangkaian kepercayaan. (Rakhmat,2001:129)

(45)

Kegiatan komunikasi antara perawat dan klien merupakan komunikasi interpersonal. Komunikasi yang dilakukan berlangsung secra tatap muka diantara dua orang. Masing – masing dari mereka bergantian peran menjadi komunikator maupun menjadi komunikan. Namun, yang sering terjadi adalah perawat bertindak lebih aktif menyampaikan pesan sementara klien lebih banyak menerima pesan tersebut. Mereka saling mempertukarkan pesan dan menerima reaksi dari pesan itu dengan segera. Pesan yang dipertukarkan tidak hanya pesan verbal melainkan didukung pula oleh pesan – pesan non verbal.

2.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Terapeutik 2.3.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik

“Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan pasien (Heri Purwanto,1994).

Di dalam bukunya Stuart G.W mengatakan :

“Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi sangat penting karena komunikasi merupakan alat dalam melaksanakan proses keperawatan. Dalam asuhan keperawatan, komunikasi ditunjukan untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Stuart, G.W.,1998).

(46)

2.3.1.1 Model keperawatan

Model keperawatan Peplau ini memiliki empat komponen sentral yang mencangkup proses interpersonal, perawat, klien, dan ansietas.

1. Interpersonal

a. Komponen ini menggambarkan metode penggunaan transformasi energi atau ansietas klien oleh perawat.

b. Proses interpersonal secara operasional memilki empat fase, yaitu: 1. Fase Orientasi

Dalam fase ini terjadi proses pengumpulan data, dan proses membina hubungan saling percaya antara perawat dan klien. 2. Fase Identifikasi

Dalam fase ini perawat berupaya dapat memfasilitasi ekspresi perasaan klien dan melaksanakan asuhan keperawatan berdasarkan kebutuhan kliennya.

3. Fase eksplorasi

Dalam fase ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya.

4. Fase Resolusi

(47)

klien diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhanya sendiri berdasarkan kemampuan yang dimilki.

2. Perawat

Dalam pelaksanaan model Peplau, perawat berperan sebagai berikut: a. Sebagai mitra kerja

Hubungan perawat – klien merupakan hubungan yang memerlukan kerja sama yang harmonis atas dasar kemitraan sehingga perlu dibina rasa saling percaya, mengasihi, dan menghargai.

b. Sebagai sumber informasi

Perawat harus mampu memberikan informasi yang akurat, jelas dan rasional kepada klien dalam suasana yang bersahabat dan akrab.

c. Sebagai pendidik

Perawat harus berupaya memebrikan pendidikan, pelatihan, dan bimbingan pada klien/keluarganya terutama dalam mengatasi masalah kesehatan.

d. Sebagai pemimpin

(48)

e. Sebagai wali/pengganti

Perawat merupakan individu yang dipercaya pasien untuk berperan sebagai ornag tua, tokoh masyarakatatau rohaniawan guna membantu memenuhi kebutuhnya.

f. Sebagai konselor

Perawat harus dapat memberi bimbingan terhadap masalah klien sehingga pemecahan masalah akan lebih mudah dilakukan.

3. Klien

Klien adalah subjek yang langsung dipengaruhi oleh adanya proses interpersonal.

4. Ansietas

(49)

Proses Interpersonal

Gambar 2.1 Model Peplau

Model keperawatan proses interpersonal menurut Peplau Keterangan model peplau :

Panah A:Perawat berperan dalam mempengaruhi pasien melalui proses komunikasi

Panah B : Penurunan ansietas akan meningkatnya proses kesembuhan klien. PanahD : Perawat berperan untuk meningkatkan kesehatan dengan mengurangi ansietas klien.

2.3.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik dilaksanakan dengantujuan :

1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.

Energi Transformasi

Perawat

Bound Patient inillness anxiety

Produktive person in health anxiety A

B

(50)

2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.

3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiridalam hal peningkatan derajat kesehatan.

4. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis (tenaga kesehatan) secara professional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien.

2.3.3 Manfaat komunikasi terapeutik

“Untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan klien melalui hubungan perawat dan klien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati, 2003:50).

Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan perawat-klien, Bila perawat tidak memperhatikan hal ini, hubungan perawat-klien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang mempercepat kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa.

2.3.4 Fungsi komunikasi terapeutik

(51)

2.3.5 Karakteristik Komunikasi Terapeutik

Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai berikut: (Arwani, 2003 : 54).

1. Ikhlas (Genuiness)

Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara tepat.

2. Empati (Empathy)

Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Obyektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan.

3. Hangat (Warmth)

Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.

2.3.6 Hambatan Komunikasi Terapeutik

(52)

komunikasi terapeutik. Perawat harus segera mengatasinya. Oleh karena itu hambatan ini menimbulkan perasaan tegang baik bagi perawat maupun bagi klien. Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas satu-persatu mengenai hambatan komunikasi terapeutik itu.

1. Resisten

Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran verbalisasi yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah.

2. Transferens

Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung. 3. Kontertransferens

(53)

Konterrtransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.

Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat-klien (Hamid, 1998). Awalnya, perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan komunikasi terapeutik dan mengenali perilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Latar belakang perilaku digali baik klien atau perawat bertanggung jawab terhadap hambatan terapeutik dan dampak negative pada proses terapeutik.

2.4 Tinjauan tentang Perawat 2.4.1 Pengertian Perawat

Dalam undang – undang kesehatan No. 23, 1992 dikatakan bahwa, perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.

(54)

profesional sesuai kode etik profesi. Profil perawat profesional adalah gambaran dan penampilan menyeluruh perawat dalam melakukan aktifitas keperawatan sesuai kode etik keperawatan.

Dalam menjalankan praktik keperawatan harus senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.

“Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat juga dituntut melakukan peran dan fungsinya sebagaimana yang diaharapkan oleh profesi dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2004).

2.4.2 Peran Perawat

Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang berhubungan dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap individu mempunyai berbagai peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu. (Gaffar.S.Kp).

Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan. Dohery (1982) mengidentifikasi beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi :

1 . Care giver, sebagai pemberi asuhan keperawatan.

(55)

3. Counsellor, sebagai pemberi bimbingan atau konseling klien. 4. Educator, sebagai pendidik klien.

5.Collaborator, sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.

6. Coordinator, sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi klien.

7. Change agent, sebagai pembaru yang selalu dituntut untuk mengadakan perubahan

8.Consultant, sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah klien.

2.4.3 Fungsi Perawat

Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai denagn perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan yang lain. Ruang lingkup dan fungsi keperawatan semakin berkembang dengan fokus manusia tetap sebagai sentral pelayanan keperawatan. Bentuk asuhan yang menyeluruh dan utuh dilandasi keyakinan tentang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual yang unik dan utuh.

(56)

pelaksanaan fungsi keperawatan mandiri, ketergantungan dan kolaboratif (Gaffar. S.Kp).

2.4.4 Tanggung Jawab Perawat

Secara umum, perawat mempunyai tanggung jawab dalam memberikan asuhan keperawatan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan diri sebagai profesi.

Tanggung Jawab dalam memberi asuhan keperawatan kepada klien mencangkup aspek bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual, dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi :

1. membantu klien memperoleh kembali kesehatanya,

2. membantu klien yang sehat untuk memelihara kesehatanya,

3.membantu klien yang menghadapi ajal untuk diperlakukan secara manusiawi sesuai martabatnya sampai meninggal dengan tenang. Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dan klien, keluarga dan atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. (Carpenito, 1989 dikutip oleh keliat, 1991).

(57)

keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah (problem solving). Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai denagn kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan optimal.

2.6 Tinjuan tentang Pasien 2.6.1 Pengertian Pasien

Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Sering kali, pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter untuk memulihkannya. Asal mula kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya "menderita"1.

2.6.2 Karakteristik pasien di Rumah Sakit Jiwa

Sebagai rumah sakit yang memiliki spesialisasi perawatan pasien gangguan jiwa, karakteristik pasiennya adalah pasien dengan berbagai keluhan gangguan jiwa dengan tahapan dari akut hingga kronis. Jenis penyakitnya juga beragam seperti Schizophrenia, waham, halusinasi, ilusi, paranoid, hebe, dll.

Proses perawatan berdasarkan tingkat ketergantungan menurut Gillies (1996) dibedakan menjadi lima kategori, diantaranya:

1

(58)

1. Tingkat I: Pasien dengan penyakit akut, non kronik, episodik yang akan kembali ke tingkat kefungsian sebelum sakit, tujuan perawatnya adalah menghilangkan masalah kesehatan yang ada.

2. Tingkat II: Pasien dengan pengkajian kronik yang mengalami episode penyakit akut, yang berpotensial kembali ke tingkat kefungsian pra episodik penyakitnya. Tujuan perawatanya adalah pengaturan masalah kesehatan kronis oleh pasien tersebut dan keluarganya tanapa terus didukung oleh unit kerja.

3. Tingkat III : Pasien dengan penyakit kronis atau cacat yang berpotensi untuk kembali ke tingkat kefungsian sebelum sakit, tidak memungkinkan namun ada potensi untuk meningkatkan tingkat kefungsian. Tujuan perawatannya adalah rehabilatasi ke tingkat maksimal kefungsian melalui dukungan berkelanjutan pada unit kerja.

4. Tingkat IV : Pasien denagn penyakit kronis atau cacat yang tidak dapat dirawat di rumah tanpa adanya dukungan terus dari unit kerja. Tujuan perawatnnya adalah pemeliharaan di rumah pada tingkat maksimum kefungsian melalui dukungan terus menerus daru unit kerja.

(59)

57 BAB III

OBJEK PENELITIAN

3.1 Sejarah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar

Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka RS Jiwa Bandung dan RS Jiwa Cimahi digabung menjadi satu Rumah Sakit Jiwa yang diberi nama RS Jiwa Provinsi Jawa Barat dan Susunan Organisasi dan Tata kerja Rumah Sakit ditetapkan dengan Perda Provinsi Jawa Barat No. 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata kerja Rumah Sakit Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

3.1.1 Sejarah Singkat Rumah Sakit Jiwa Bandung

Sebelum perang dunia ke II, tempat perawatan dan pengobatan pasien gangguan jiwa di Kota Bandung hanya ada satu yaitu Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin, yang dulu terkenal dengan sebutan Rumah Sakit Ranca Badak. Rumah Sakit tersebut bukan Rumah Sakit Khusus untuk pelayanan gangguan jiwa, tetapi merupakan Rumah Sakit Umum yang terdapat bagian “Neuro-Psychiatrisch Klinick”, yang lebih lajim disebut oleh pegawai -pegawai dengan nama “Blok Zaal” Rumah Sakit Umum Ranca Badak.

Bagian inilah yang melayani perawatan dan pengobatan pasien penderita gangguan jiwa.

(60)

Jl. L.L.R.E. Martadinata No. 11), dengan tujuan untuk menerima pasien yang tidak dapat ditampung di Blok Zaal Rumah Sakit Ranca Badak (sekarang Rumah Sakit Hasan Sadikin). Pada mulanya tempat ini diberi nama sama seperti pada bagian di Rumah Sakit Hasan Sadikin, yaitu “Neuro

Psychiatrisch” dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 35 tempat tidur dan dipimpin oleh seorang Psikiatrik berkebangsaan Belanda, Dr. GJ. Crans, dengan perkembangannya, jumlah kapasitas tempat tidur tidak mencukupi lagi, sehingga dilakukan penambahan 20 tempat tidur bertempat di Jl. Aceh No.61 Bandung (sifatnya sementara). Karena tuntutan masyarakat, dari tahun ketahun jumlah kapasitas tempat tidur terus bertambah, sehingga tahun 1998 menjadi 100 tempat tidur, demikian pula dengan nama Rumah Sakit. Dari tahun 1950, nama Rumah Sakit tersebut diubah menjadi “Rumah Perawatan Jiwa”.

Melalui seminar kesehatan jiwa yang pertama pada tanggal 10-15 Februari 1969 di Bogor, namanya berubah lagi menjadi “Pusat Kesehatan

Jiwa Bandung” (Mental Health Centre Bandung).

Pada tahun 1978 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, tanggal 28 April 1978, No. 135/Men.Kes/SK/IV/78, nama tersebut diganti menjadi “Rumah Sakit Jiwa Bandung”. Dalam

(61)

Memasuki era otonomi daerah, Rumah Sakit Jiwa Bandung kepemilikannnya berpindah dari Departemen Kesehatan RI ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, berdasarkan PERDA No. 6 tahun 2002, Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 16 Tahun 2000, Tentang Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Barat, dan nama Rumah Sakit pun berubah dari Rumah Sakit Jiwa Pusat Bandung menjadi Rumah Sakit Jiwa Bandung.

Dengan kepindahan Rumah Sakit Jiwa Bandung dari Departemen Kesehatan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Direktur Rumah Sakit bertanggung Jawab kepada Gubernur Provinsi Jawa Barat. Dan sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pada Tahun 2009 dilakukan penggabungan (merger) antara Rumah Sakit Jiwa Bandung dengan Rumah Sakit Jiwa Cimahi menjadi satu Rumah Sakit dengan nama Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat

3.1.2 Sejarah Rumah Sakit Jiwa Cimahi

(62)

1. Krankzinnigen Gesticht (Rumah Sakit Jiwa Pusat) yang merupakan rumah sakit jiwa besar (Pusat dari rumah sakit jiwa yang kecil - kecil) yang dipimpin langsung oleh seorang Neuro - Psikiater yang terdapat di Bogor, Lawang dan Magelang.

2. Doorganghuis, merupakan rumah sakit jiwa “ perantara “ yang dipimpin oleh seorang Dokter.

3. Veerpleegtehuis, yang merupakan rumah perawatan pasien jiwa yang dipimpin oleh seorang perawat.

4. Kolonie, yang merupakan tempat penampungan pasien mental kronik Berdasarkan Surat Panitia Pembelian Tanah Negara kepada Kepala Jawatan Kesehatan Inspectie Jawa Barat No. 1663/16/B/54 telah ditinjau sebidang tanah yang terletak di Kabupaten Bandung (Cisarua) yang diatas persil tersebut terdapat bangunan untuk “Boorderij“ sapi kepunyaan seorang bernama Eyseling. Dan dalam surat dari Jawatan Rumah Rumah Sakit jiwa Kementrian Kesehatan RI kepada Kepala Bag. G Kementrian Kesehatan dikemukakan bahwa didaerah Priangan sangat di butuhkan suatu Rumah Sakit Jiwa yang lengkap dengan halaman - halaman yang agak luas untuk “Werktherapie“ penderita sesuai dengan surat Kementrian Kesehatan RI No. 5242/Bdg/U tanggal 1 Oktober 1954.

(63)

sebuah Rumah Perawatan Sakit Jiwa, dan dengan demikian dapat dipindahkan Rumah Perawatan Sakit Jiwa Jalan Riau Bandung yang sama sekali tidak memenuhi sarat untuk pemeliharaan/ perawatan penderita penyakit jiwa yang disamping itu dapat dibangun suatu koloni yang dapat menampung beratus ratus “Uitgedoofde Kraters“ mengingat luasnya perceel tersebut yang tidak kurang dari 21 Ha. Karena pada waktu itu Koloni Lenteng Agung sudah tidak memenuhi harapan untuk dapat menampung lagi beratus ratus uitgedoofde kraters.

Atas nama Kementrian Kesehatan RI dengan suratnya No. 34169 /WW Tertanggal 15 April 1955 Dr. Marzoeki Mahdi membeli sebidang tanah seluas 23,756 Ha dari seorang yang bernama Tuan Sastrawidjaya yang berlokasi di Desa Jambudipa Kecamatan Cisarua Kewedanaan Lembang Kab. Bandung yang dikuatkan dengan Akte Notaris Tan eng Kiam tanggal 7 Mei 1955.

Sejak tanggal “1 Mei 1955” Rumah Perawatan Orang Sakit jiwa telah

memulai kegiatan Operasinya yang di Pimpin oleh Dr. G.J. Crans, yang di tunjuk langsung oleh Kementrian Kesehatan RI. Dimana pada waktu itu Dr. G.J. Crans menjabat sebagai Direktur Rumah Perawatan Orang Sakit Jiwa Jalan Riau Bandung.

(64)

dapur. Dimana pada waktu itu baru dibuka 30 kapasitas tempat tidur, dan Pasien pada waktu itu baru masuk 3 Orang pasien.

Pembangunan fisik dimulai pada tahun 1956 dengan dibangunnya 4 buah bangunan untuk perumahan dinas, dan tahun 1958 dibangun lagi 1 unit bangunan untuk bangsal dan 1 unit untuk dapur, sehingga pada waktu itu kapasitas tempat tidur menjadi 100 TT.

(65)

target dan tuntutan dari masyarakat atas pelayanan yang diberikan Rumah Sakit, sehingga kapasitas Tempat Tidur yang tecatat sampai saat ini berjumlah 150 TT.

Sejak diberlakukannya Undang – Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah, maka secara resmi keberadaan Rumah Sakit Jiwa Cimahi yang dulunya dikelola secara langsung oleh Pemerintah Pusat melalui Depertemen Kesehatan Republik Indonesia telah dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dimana hal tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan Rumah Sakit Jiwa Cimahi, baik dari segi pengelolaannya secara administrasi maupun dari segi keuangan.

(66)

3.2Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi RSJ Provinsi Jabar 3.2.1Kedudukan

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat adalah lembaga teknis daerah yang berbentuk Rumah Sakit Khusus milik Pemerintah Daerah dan merupakan unsur penunjang Pemerintah Daerah.

3.2.2Tugas Pokok

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat mempunyai tugas pokok menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan khusus jiwa paripurna, meliputi preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif serta pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa.

3.2.3 Fungsi

Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat mempunyai fungsi :

a. Penyelenggaran pengaturan, perumusan kebijakan teknis dan pengendalian kesehatan jiwa;

b. Penyelenggaran pelayanan kesehatan jiwa dan penunjang lainnya; c. Penyelenggaraan rujukan kesehatan jiwa;

d. Penyelenggaraan kegiatan dalam kesehatan jiwa lainnya;

Gambar

 Tabel 1.1 Data subyek
Tabel 1.2 Waktu penelitian
Gambar 2.1 Model Peplau
Tabel 3.2
+6

Referensi

Dokumen terkait

Telah banyak penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang berhubungan dengan strategi pelaksanaan komunikasi terapeutik yaitu tentang

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT.. JIWA

Hal ini berarti bahwa perawat di Rumah Sakit Panti Rini sudah bisa menerapkan kemampuan dasar dalam komunikasi terapeutik verbal dan komunikasi terapeutik non verbal

Telah banyak penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang berhubungan dengan strategi pelaksanaan komunikasi terapeutik yaitu tentang

Hasil penelitian hubungan antara keikutsertaan pelatihan dengan perilaku penerapan komunikasi terapeutik menunjukkan bahwa dari 79 perawat yang tidak pernah mengikuti

Puji syukur kehadirat Yesus Kristus atas kasih dan berkatnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Komunikasi Terapeutik Perawat Dan Pasien Gangguan

Korelasi variable Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Kepuasan Keluarga ODGJ Komunikasi Terapeutik Perawat Kepuasan Keluarga ODGJ  Puas Cukup Puas Total n % n % n %

Judul Peran Komunikasi Antarpribadi Perawat dengan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Ratumbuysa ng Manado Komunikasi Tarapeutik Tenaga Kesehatan terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa