• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase Antara Dinas Bina Marga Kota Medan Dengan Cv.Teratai 26

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase Antara Dinas Bina Marga Kota Medan Dengan Cv.Teratai 26"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA

MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV.TERATAI 26 SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

memperoleh gelar sarjana hukum

OLEH :

NIM : 090200201

KRISTI MEI SARA SIMBOLON

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA

MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV. TERATAI 26

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

memperoleh gelar sarjana hukum

OLEH :

NIM : 090200201

KRISTI MEI SARA SIMBOLON

DISETUJUI OLEH,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP.196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum

Dosen Pembimbing I

NIP.196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum

Dosen Pembimbing II

NIP. 196101181988031010 Zulikifli Sembiring, S.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala anugerah, kasih dan penyertaanNya yang selalu Penulis terima, sepanjang

waktu hingga akhirnya Penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan

judul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase antara Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV.Teratai 26,

yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolah gelar sarjana

dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Penulis menyadari keterbatasan penulis dalam penulisan skripsi ini,

sehingga penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah dengan ikhlas

memberikan bimbingan, petunjuk serta bantuan sehingga penulisan skripsi ini

dapat terselesaikan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Muhammad

Husni, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Hasim Purba, S.H,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus

sebagai dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan bimbingan dalam

(4)

4. Bapak Zulkifli Sembiring, S. H, M.H selaku dosen pembimbing II Penulis

yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini

5. Bapak Jusmadi Sikumbang, Selaku Dosen Pembimbing Akademik

Penulis, dan seluruh dosen Fakultas Hukum Sumatera Utara yang tidak

dapat Penulis sebutkan namanya satu persatu.

6. Keluarga Penulis, Bapak K.Simbolon dan Ibu E.Situmorang, kedua adik

Penulis Jordi Phillippus Simbolon, dan Oscar Surya Damero Simbolon,

Bou Veronica “Dor” Simbolon yang terus mendoakan, mendukung,

memberi semangat bagi, dan menjadi inspirasi bagi Penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Bapak Boy M.F Tampubolon, selaku wakil direktur CV.Teratai 26, tempat

Penulis melakukan penelitian skripsi ini, yang sangat membantu Penulis

dalam memperoleh data dan keterangan demi kepentingan penulisan

skripsi ini, dan juga kepada Saudara Julianus Nainggolan.

8. Teman-teman seangkatan penulis di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu,

khususnya kepada teman-teman kelompok klinis Penulis, Joel Martin

Tambunan, Sastro Gunawan Sibarani, Ermariani Sirait, Revina Kaligis,

Viola Bungaran, Pratica Manulang, Reminisir Harita, Marthin Manihuruk,

Agri Purba. Terutama kepada Sihar Luther Saga Manalu yang selalu

(5)

9. Kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang

memberikan dukungan, semangat, bimbingan, arahan, kepada Penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terimakasih.

Penulis menyadari bahwa hasil akhir penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, April 2012

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 11

B. Unsur-Unsur Perjanjian ... 14

C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 18

D. Asas-Asas Perjanjian ... 26

E. Wanprestasi ... 31

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Pengaturan Mengenai Perjanjian Pemborongan ... 39

B. Sifat dan Bentuk Perjanjian Pemborongan ... 43

(7)

D. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 53

E. Prosedur Perjanjian Pemborongan ... 62

F. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan ... 69

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV.TERATAI 26 A. Gambaran Umum CV.Teratai 26 ... 73

B. Tahap Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 76

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 87

D. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 91

E. Penyelesaian Perselisihan/Sengketa Konstruksi yang Terjadi ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(8)

ABSTRAK

Kota Medan sebagai salah satu kota yang memiliki laju kecepatan perkonomian dan sosial yang tergolong pesat, perlu diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana di bidang fisik maupun non fisik. Salah satu bentuk realisasi dari pembangunan itu adalah pembangunan saluran drainase. Pembangunan tersebut dilaksanakan berdasarkan kontrak yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta sebagai pemborong proyek. Dalam skipsi ini, permasalahan yang Penulis angkat yaitu apakah perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak pemborong tidak mengandung cacat hukum, apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, dan bagaimana penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi perselisihan diantara para pihak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, maksudnya penelitian dilakukan dengan menggunakan dan mengelola data sekunder dan menggambarkan secara sistematis dimana penelitian dilakukan termasuk penelitian ke lapangan untuk memperoleh data. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundanga-undangan, serta dokumen kontrak itu sendiri, bahan hukum sekunder yaitu buku-buku hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier berupa kamus hukum.

(9)

ABSTRAK

Kota Medan sebagai salah satu kota yang memiliki laju kecepatan perkonomian dan sosial yang tergolong pesat, perlu diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana di bidang fisik maupun non fisik. Salah satu bentuk realisasi dari pembangunan itu adalah pembangunan saluran drainase. Pembangunan tersebut dilaksanakan berdasarkan kontrak yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta sebagai pemborong proyek. Dalam skipsi ini, permasalahan yang Penulis angkat yaitu apakah perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak pemborong tidak mengandung cacat hukum, apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, dan bagaimana penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi perselisihan diantara para pihak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, maksudnya penelitian dilakukan dengan menggunakan dan mengelola data sekunder dan menggambarkan secara sistematis dimana penelitian dilakukan termasuk penelitian ke lapangan untuk memperoleh data. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundanga-undangan, serta dokumen kontrak itu sendiri, bahan hukum sekunder yaitu buku-buku hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier berupa kamus hukum.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banjir merupakan suatu masalah yang rentan mengancam bagi kota-kota

besar di Indonesia yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang jauh lebih

pesat dibandingkan pertumbuhan penduduk masyarakat desa. Persoalan banjir

seolah sudah menjadi tradisi tahunan yang wajib dirasakan apabila musim

penghujan tiba seperti halnya banjir besar yang baru-baru ini terjadi di ibukota

Jakarta. Banjir tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat dalam

beraktivitas, merusak badan-badan jalan dan prasarana lainnya akibat sering

tergenang air, lebih jauh dapat menimbulkan kerugian materil bahkan korban jiwa

apabila bencana banjir besar terjadi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah

untuk menanggulangi permasalahan banjir perkotaan ini, hal ini berbanding lurus

dengan dana yang telah terkuras untuk masalah banjir ini, namun tetap saja belum

berhasil mengatasi ancaman banjir tersebut. Hal ini akan semakin sulit diatasi

dengan melihat kondisi buruknya infrastruktur penanganan banjir yang telah

dibangun oleh pemerintah seperti misalnya saluran drainase, sehingga

pembangunan demi pembangunan yang dilakukan dengan alasan penanganan

banjir hanya menjadi rutinitas tanpa solusi.

Kota medan, sebagai salah satu kota besar yang terdapat di Indonesia

memiliki laju kecepatan perekonomian dan sosial yang tergolong pesat.

(11)

pembangunan sarana dan prasarana baik di bidang fisik maupun di bidang non

fisik. Buruknya keadaan infrastruktur penanganan banjir salah satunya saluran

saluran drainase kerap menimbulkan genangan bahkan banjir jika hujan turun

terutama di lokasi-lokasi padat penduduk di Kota Medan. Saluran drainase

merupakan salah satu faktor yang penting dalam tata ruang suatu kota, karena

saluran drainase berperan dalam penanganan masalah banjir. Bertolak dari hal

tersebut maka pembangunan yang bertujuan untuk perbaikan saluran drainase di

Kota Medan menjadi salah satu hal penting yang menjadi perhatian pemerintah

khususnya Pemerintah Kota Medan.

Pembangunan dilaksanakan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha

pertumbuhan dan perubahan yang berencana menuju arah yang lebih baik yang

mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk realisasi dari

pembangunan nasional pembangunan Kota Medan memiliki dimensi yang luas,

hal itu disebabkan kompleksnya tuntutan, kebutuhan, dan kepentingan

masyarakat. Salah satu bentuk realisasi dari pembangunan yang dilaksanakan

berupa pembangunan proyek-proyek sarana, prasarana yang berwujud

pembangunan saluran drainase, pembangunan jembatan, rehabilitasi jalan,

pemukiman, pelabuhan, irigasi, kantor pemerintahan dan sebagainya.

Dinas Bina Marga Kota Medan sebagai suatu Dinas Daerah di lingkungan

Pemerintahan Kota Medan bertugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga

daerah dalam bidang pekerjaan umum yang meliputi jalan, jembatan, drainase dan

sumber daya air termasuk perawatan, pengawasan dan pengamanan bangunan

(12)

melaksanakan tugas pembangunan sesuai dengan bidang tugasnya. Pembangunan

drainase yang terdapat di kota Medan ini merupakan salah satu pembangunan

yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Bina Marga

Kota Medan. Dinas Bina Marga Kota Medan dalam melaksanakan pembangunan

saluran drainase yang terdapat di Kota Medan tidak dapat secara langsung

melakukan pembangunan tersebut, sehingga perlu untuk mengadakan kontrak

dengan kontraktor yang persyaratannya diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Pengaturan mengenai pengadaan barang/jasa untuk instansi pemerintah

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang merupakan

perubahan kedua dari Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 Mengenai

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, perubahan pertama atas Peraturan Presiden

ini telah diberlakukan sebelumnya yaitu Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun

2011. Seringnya terjadi perubahan tentang tatacara pengadaan barang/jasa

pemerintah tersebut, di satu sisi menunjukkan bahwa pemerintah selalu berusaha

untuk memerbaiki sistem pengadaan yang ada. Namun di sisi lain menunjukkan

bahwa sistem pengadaan barang/jasa belum mampu mewujudkan hasil yang

diharapkan. Berbagai perubahan, baik kingkungan internal pemerintah maupun

eksternal menghendaki adanya penyesuaian di banyak hal.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Dinas Bina Marga Kota

Medan dalam merealisasikan pembangunan tidak dapat melaksanakan sendiri

pembangungan tersebut, melainkan dengan mengadakan kontrak kerja sama

(13)

yang mengadakan kontrak dengan Dinas Bina Marga Kota Medan adalah

CV.TERATAI 26. Hubungan kerja sama yang terjadi antara Dinas Bina Marga

Kota Medan dengan CV.TERATAI 26 dibuat dalam suatu perjanjian atau dalam

prakteknya lebih sering disebut kontrak. Perjanjian yang dibuat antara Dinas Bina

Marga Kota Medan dengan CV. TERATAI 26 merupakan perjanjian

pemborongan pekerjaan. Dalam hal ini pemborongan pekerjaan pembangunan

yang dilaksanakan oleh CV.TERATAI 26 sebagai pihak pemborong tersebut

diperoleh setelah memenangkan pelelangan yang dilakukan oleh Dinas Bina

Marga Kota Medan sebagai pihak yang memborongkan pekerjaan.

Dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan perlu dipahami mengenai

aspek hukum yang terdapat dalam perjanjian pemborongankarena pemahaman

terhadap aspek hukum akan dapat menyesuaikan dengan peraturan perundangan

yang berlaku. Seperti diketahui telah banyak dari pejabat atau pengguna

barang/jasa proyek pemerintah yang menjadi korban sebagai tergugat,

tersangka/terdakwa atau terpidana dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Demikian juga halnya dengan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan

antara Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV.Teratai 26 juga diperlukan

pemahaman aspek hukum untuk menghindari kemungkinan terjadinya

pelanggaran pelanggaran hukum.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk membahas masalah

perjanjian pemborongan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “Tinjauan

Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase antara

(14)

B. Perumusan Masalah

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

a. Apakah proses pelaksanaan Perjanjian Antara Dinas Bina Marga Kota

Medan dengan CV.Teratai 26 tidak mengandung cacat hukum?

b. Apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian dan

bagaimana penyelesaiannya apabila terjadi perselisihan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka

tujuan yang ingin dicapai dari penulisan dari skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan perjanjian pemborongan

pekerjaan pembangunan saluran drainase antara Dinas Bina Marga

Kota Medan dengan CV. Teratai 26 tidak mengandung cacat hukum.

b. Untuk mengetahui apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan

perjanjian dan untuk mengetahui cara menyelesaikan perselisihan

yang terjadi.

2. Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua

sisi yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dunia pendidikan dan

akademisi khususnya. Untuk menambah literatur dalam bidang hukum

(15)

pembangunan pada khususnya sehingga dapat lebih mengembangkan

khasanah ilmu pengetahuan.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan bagi

pembaca, dan pemahaman hukum mengenai perjanjian pemborongan

bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan

pekerjaan khusunya perjanjian pemborongan pekerjaan bagi instansi

pemerintah

D. Keaslian penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, diketahui bahwa skripsi

dengan judul “ Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Saluran Drainase antara

Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV. Teratai 26” belum pernah ditulis di

Fakultas Hukum Sumatera Utara. Kalaupun ada judul yang serupa, namun

permasalahan dan materi pembahasan yang diangkat juga berbeda dan bila di

kemudian hari ditemukan skripsi dengan judul yang sama yang telah ada

sebelumnya, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab penulis.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali

(16)

tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

pemasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.1

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian dan

pengumpulan data atau bahan-bahan berkaitan dengan skripsi ini. Untuk

memperoleh bahan-bahan atau data yang diperlukan dalam skripsi ini, penulis

melakukan penelitian hukum dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode

tertentu sebagai berikut :

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif

yang bersifat deskriptif. Normatif maksudnya penelitian dilakukan dengan

menggunakan dan mengelola data sekunder. Adapun sifat dari penulisan skripsi

ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan secara sistimatis dan jelas dimana kita

melakukan penelitian termasuk survey ke lapangan untuk memperoleh data. 2. Sumber data.

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder

yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer , yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan

ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan dari buku hukum yang memberi

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian dan

pendapat dari pakar hukum. Termasuk juga semua dokumen yang

1

(17)

merupakan informasi atau merupakan kajian berbagai media seperti koran,

majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website di internet.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus

hukum.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan (library Research) yaitu meneliti sumber sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, seperti

buku-buku hukum, majalah hukum, artikelartikel, peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan pada dalam bentuk studi kasus. Penulis melakukan studi kasus terhadap

permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan,

untuk melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan di

atas.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya

sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab dengan bab yang lain

yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

(18)

BAB I PENDAHULUAN

Menjelaskan secara umum mengenai latar belakang, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, yang

kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

Merupakan tinjauan umum mengenai perjanjian, terdiri dari lima sub bab

yang menjelaskan mengenai Pengertian Perjanjian, Unsur-Unsur Perjanjian,

Syarat Sahnya Perjanjian, Asas-Asas dalam Perjanjian dan Wanprestasi.

BAB III TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PEMBORONGAN

Bab ini menjelaskan tinjauan umum mengenai perjanjian pemborongan yang

terdiri dari enam sub bab yaitu, Pengertian dan Pengaturan Mengenai

Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Sifat dan Bentuk Perjanjian

Pemborongan Pekerjaan, Macam dan Isi Perjanjian Pemborongan Pekerjaan,

Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Prosedur Perjanjian

Pemborongan, Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBORONGAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV.TERATAI 26

Terdiri dari empat sub bab yaitu, Gambaran Umum CV.Teratai 26, Tahap

Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Pembangunan antara Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV. Teratai

26, Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian

Pemborongan, Penyelesaian perselisihan/sengketa konstruksi yang terjadi

(19)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan.

Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan

yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat

menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi

pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian Pemborongan.

DAFTAR PUSTAKA

(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Berbagai kepustakaan Indonesia menggunakan istilah “overeenkomst” dan “verbintenis” sebagai tejemahan istilah “perjanjian” maupun “persetujuan”.

Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi

verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan. Sedangkan

overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat.2 Wiryono Projodikoro mengartikan perjanjian dari kata verbintenis, sedangkan kata overeenkomst diartikan dengan kata persetujuan.3 KUH Perdata terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio dalam Pasal 1313 menggunakan istilah

perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst. Utrecht memakai istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk

overeenkomst. Sementara Achmad Ichsan menerjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.4

R.Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu hubungan

hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak

menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban

2

R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta Bandung, Bandung, 1987, hal. 1.

3

Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetjuan Tertentu, Sumur Bandung , Bandung, 1981, hal. 11.

4

(21)

untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di

mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5

Menurut M.Yahya Harahap yang disebut perjanjian adalah suatu

persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.6 Harta kekayaan atau

harta benda antara dua orang atau lebih tersebut memberikan kekuatan hak pada

satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain

untuk melakukan prestasi. 7 Sedangkan menurut R. M. Sudikno Mertokusumo

pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.8

5

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 1.

6

Abdul Kadir Muhammad (I), Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 78.

7

M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni : Jakarta, 1986, hal. 6.

8

RM. Sudikno Mertokusumo , Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ) , Liberty , Yogyakarta 1988 , hal. 97.

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat

disimpulkan di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak, dimana

kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum

tertentu. Pengertian perjanjian itu sendiri dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu

(22)

Mengenai istilah perjanjian ini para sarjana pada umumnya menganggap

bahwa defenisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata memiliki kelemahan.

Kelemahan-kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut : 9

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata “mengikatkan”

sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Seharusnya

dirumuskan “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus

Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa

kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.

Seharusnya dipakai kata persetujuan.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga

pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

4. Tanpa menyebut tujuan

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan diatas dapat

disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak

dalam perjanjian yaitu berupa kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih

kepada orang lain yang berhak atas prestasi tersebut, dalam lapangan harta

9

(23)

kekayaan. Namun tidak setiap perbuatan yang menimbulkan perikatan merupakan

perjanjian, perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sumber lain dari

perikatan adalah undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan

ada perikatan yang lahir dari undang-undang. Sumber-sumber perikatan yang

tercakup dalam undang diperinci lagi, yang dibedakan antara

undang-undang saja dengan undan-undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang.

Sumber perikatan yang berkaitan dengan perbuatan manusia diperinci lagi, yakni

dibedakan antara perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum.

B. Unsur-Unsur Perjanjian

Berdasarkan perumusan pasal 1313 KUH Perdata, Abdul Kadir

Mehammad menyatakan bahwa perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai

berikut: 10

1. Pihak-pihak

Dalam suatu perjanjian paling sedikit ada dua pihak yang bertindak sebagai

subjek perjanjian. Para pihak dapat terdiri dari orang pribadi atau badan

hukum . Dalam mengadakan suatu perikatan, para pihak harus bebas

menyatakan kehendaknya sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun,

tidak ada penipuan dari salah satu pihak dan tidak ada kekhilafan pihak-pihak

yang bersangkutan. Selain itu juga harus telah dewasa dan cakap untuk

melakukan hubungan hukum.11

2. Persetujuan antara para pihak

10

Ibid., hal. 80.

11

(24)

Sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat perjanjian para pihak

memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar menawar di antara mereka. Apa

yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya. Yang

ditawarkan itu umumnya mengenai syarat-syarat dan objek perjanjian. Dengan

disetujuinya syarat-syarat dan objek perjanjian tersebut maka timbullah

persetujuan. Persetujuan inilah yang menjadi salah satu syarat timbullnya

perjanjian.

3. Adanya tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para

pihak dalam perjanjian, dalam hal ini kebutuhan tersebut dapat dilakukan

dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Dalam mencapai tujuannya

tersebut, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

4. Adanya prestasi yang harus dilaksanakan.

5. Dengan adanya persetujuan maka para pihak dalam suatu perjanjian

mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya secara

timbal balik. Pemenuhan kewajiban oleh para pihak sesuai dengan

syarat-syarat dalam perjanjian tersebut dinamakan prestasi. Menurut pasal 1234

KUH Perdata prestasi tersebut dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu

prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan

atas suatu barang. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan

(25)

berbuat sesuatu adalah jika dalam perjanjian para pihak berjanji untuk tidak

melaksanakan perbuatan tertentu, misalnya tidak akan menutup jalan setapak.

5. Ada bentuk tertentu

Perjanjian dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis, perjanjian yang

dibuat dalam bentuk tertulis dapat berupa akta otentik maupun akta dibawah

tangan sesuai dengan ketentuan yang ada. Perjanjian dalam bentuk lisan,

artinya perjanjian dibuat dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya

sehingga dapat dipahami para pihak. Bentuk perjanjian perlu ditentukan

mengingat kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh

bentuk-bentuk perjanjian tersebut.

6. Adanya syarat-syarat tertentu

Dalam isi suatu perjanjian terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi

oleh para pihak. Dari syarat-syarat para pihak dapat mengetahui hal-hal yang

menjadi hak maupun kewajibannya., misalnya mengenai barangnya,

haraganya dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara

pembayarannya, cara penyerahannya dan lain-lain.

Jika unsur-unsur suatu perjanjian yang telah dijelaskan sebelumnya

diamati dan uraikan, maka unsur-unsur tersebut dapat diklasifikasikan sebagai

berikut : 12

1. Unsur Esensialia

Adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian,

unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin

12

(26)

ada. Tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan

untuk dibuat dan diselenggarakan para pihak akan menjadi beda sehingga

unsur esensialia seharus menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan

perjanjian lainnya.13

2. Unsur Naturalia

Misalnya dalam perjanjian yang riil, syarat

penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil.

Adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur

esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang

mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia

berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual

dari cacat sembunyi-sembunyi.14

3. Unsur Accidentalia

Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, atau

dengan kata lain merupakan ketentuan-ketentuan yang dibuat para pihak

untuk mempermudah pelaksanaan kontrak walaupun bukan merupakan

syaarat utama. Misalnya dalam perjanjian jual beli unsur utama atau

essensialianya adalah pembayaran, namun para pihak dapat menambahkan

penentuan tempat dan waktu pembayaran dalam perjanjian jual beli untuk

mempermudah pelaksanaan perjanjian itu sendiri.

13

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.86.

14

(27)

C. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian agar dapat berlaku sebagai suatu perjanjian yang

mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, harus dibuat

berdasarkan syarat yang sah. Menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata agar

suatu perjanjian dapat belaku sebagai perjanjian yang sah, terdapat syarat sebagai

berikut :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu pokok persoalan tertentu;

4. Suatu sebab yang halal

Penjelasan mengenai syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH

Perdata tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu

kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang

terpenting adalah adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti dengan penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya.15 Jadi, yang dimaksud dengan sepakat adalah penyataan persesuaian kehendak antara satu

orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya. Yang dimaksud

dengan “sesuai” adalah pernyataannya, karena kehendak tidak dapat dilihat atau

diketahui oleh orang lain. 16

15

Ahmadi Miru,Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 14.

16

Salim H.S , Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 33.

Pernyataan kehendak dari para pihak dapat dilakukan

(28)

berbentuk pernyataan tertulis baik dengan akta otentik maupun dengan akta

dibawah tangan, secara lisan, atau dengan tanda.17

Sehubungan dengan adanya persesuaian antara kehendak dengan

pernyataan seperti yang telah dijelaskan diatas, adakalanya pernyataan yang

timbul tidak sesuai dengan kehendak yang ada dalam batin. Mengenai hal ini

terdapat teori yang dijadikan pemecahannya, yaitu :18

a. Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian

tidak jadi.

b. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan

terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara

kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

c. Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan

kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kesepakatan merupakan

persesuaian kehendak antara pihak-pihak dalam suatu perjanjian. Tentang kapan

terjadi atau timbulnya kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat empat teori,

yaitu :19

17

J. Satrio, op.cit., hal. 183.

18

R.Setiawan, op.cit., hal. 57.

(29)

a) Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjdi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menulis surat jawaban yang

menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

b) Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram, surat, atau telex.

Menurut teori ini tanggal cap pos pada saat pengiriman jawaban

penerimaan dipakai sebagai pegangan kapan saat lahirnya perjanjian.

c) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti

bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak

tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi

perwujudan kehendak tersebut. 20

Pasal 1321 KUH Perdata lebih lanjut mengatur bahwa “ tiada sepakat

yang sah apabila sepakat diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan

paksaan atau penipuan”. Mengenai kekhilafan atau kekeliruan diatur dalam

pasal 1322 KUH Perdata, kekhilafan terjadi apabila seseorang dalam membuat

perjanjian dipengaruhi oleh sesuatu yang palsu sehingga mempunyai gambaran

yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya. Pembatalan karena

20Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2000, hlm.

(30)

kekeliruan hanya mungkin terjadi dalam dua hal, yaitu apabila kekeliruan terjadi

mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian yaitu sifat atau ciri dari

objek yang bagi para pihak merupakan alasan diadakannya perjanjian yang

menyangkut objek tersebut dan apabila kekeliruan mengenai diri pihak lawan

dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat diri orang tersebut.

Tentang paksaan diatur dalam pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata. Paksaan

meliputi segala macam ancaman baik diancam dengan paksaan fisik maupun

dengan cara-cara tekanan mental, darimanapun datangnya ancman tersebut.

Ancaman harus berupa sesuatu yang dilarang namun suatu ancaman yang dengan

upaya-upaya hukum diperbolehkan. Paksaan dalam hal ini tidak berarti paksaan

dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian perjanjian sama sekali tidak

terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman

yang tidak diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan bagi seseorang

sehingga orang tersebut melakukan perjanjian

Demikian juga hal nya dengan perjanjian yang dilakukan dengan

penipuan, perjnjian tersebut dapat dibatalkan. Yang membedakan penipuan

dengan paksaan ialah bahwa dalam paksaan dia sadar bahwa kehendaknya itu

tidak dikehendaki tetapi harus mau, sedangkan dalam penipuan kehendaknya itu

keliru. Dalam hal ini perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dengan memberikan

keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya

menyetujui objek yang ditawarkan. Penipuan tidak di persangkakan tetapi harus

(31)

muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam

kehendaknya , tidak cukup hanya dengan kebohongan saja.

2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian

Menurut hukum yang dimaksud dengan cakap adalah seseorang yang

mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau melakukan perbuatan

hukum baik untuk kepentingan diri sendiri maupun pihak lain yang diwakili,

misalnya mewakili badan hukum.21

a. Orang-orang yang belum dewasa, mengenai orang-orang yang belum

dewasa ditentukan dalam pasal 330 KUH Perdata yaitu mereka yang

belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah

kawin. Penentuan mengenai batas umur dewasa ini memiliki pengecualian

dalam membuat perjanjian kerja, menurut pasal 1 butir 26 UUK seseorang

dianggap dewasa apabila berumur 18 tahun baik laki-laki maupun

perempuan. Dengan demikian batasan dewasa untuk dapat melakukan

perjanjian kerja dapat menyimpang dari pengaturan yang terdapat dalam

KUH Perdata.

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap

untuk membuat suatu perikatan jika oleh undang-undang tidak dikatakan tidak

cakap. Mengenai orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dalam pasal 433 KUH

Perdata ditentukan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam

21

(32)

keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros diletakkan dibawah

pengampuan apabila seseorang yang berada dibawah pengampuan

mengadakan perjanjian yang mewakilinya adalah

pengampunya.Orang-orang perempuan, pada awalnya sepengampunya.Orang-orang perempuan yang bersuami

memerlukan ijin tertulis dari suaminya untuk mengadakan perjanjian.

Namun ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Surat

Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 karena dianggap tidak

sesuai lagi dengan kemajuan jaman.

3) Suatu pokok Persoalan Tertentu

Ketentuan pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa “ Suatu

perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit

ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tak perlu pasti asal saja jumlah itu

kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu, sebagai salah satu syarat sahnya

perjanjian, adalah sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut telah ditentukan dan

disepakati. Karena sesuatu yang yang menjadi objek suatu perjanjian harus

ditentukan atau dinikmati.22

22

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam hubungan industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal.17.

Misalnya dalam melakukan perjanjian pemborongan,

merupakan suatu persetujuan bahwa pemborong atau penyedia barang/jasa

mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain yaitu

pihak yang memborongkan atau pengguna barang/jasa dengan harga yang

(33)

Dapat dimiliki dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau

mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya, misalnya

kendaraan, rumah, perhiasan, hak kekayaan intelektual, piutang, dan sebagainya.

Benda objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undang-undang,

ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat, dan bermanfaat. Dalam konsep

hukum modern, pengertian benda sebagai objek perikatan meliputi juga modal,

piutang, keuntungan, dan jasa.

Syarat-syarat suatu benda yang dapat dijadikan sebagai objek dalam

perikatan adalah : 23

a. Benda dalam perdagangan;

b. Benda tertentu atau dapat ditentukan;

c. Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud;

d. Benda yang tidak dilarang oleh undang-undang atau benda yang halal;

e. Benda yang ada pemiliknya dan dalam penguasaan pemiliknya;

f. Benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya;

g. Benga yang berada dalam penguasaan pihak lain berdasarkan alas hak

yang sah.

4) Suatu Sebab yang Halal

Sebab atau yang dalam Bahasa Belanda diterjemahkan sebagai oorzaak

adalah isi dari perjanjian itu sendiri, bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang

membuat perjanjian. 24

23 ibid 24

Subekti (I), Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 19

Alasan yang mendorong seseorang membuat sesuatu hal

(34)

diperdulikan, hukum tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan

seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang. Yang diperhatikan hanyalah

tindakan orang dalam pergaulan masyarakat. 25

Sedangkan mengenai istilah sebab yang halal yang dimaksud dalam

syarat ini bukanlah halal dalam pengertian halal-haram secara agama, yang

dimaksud dengan halal adalah bahwa isi dari perjanjian yang di buat tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. Dengan

demikian undang-undang tidak mempedulikan apa yang terjadi, sebab orang yang

mengadakan suatu perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan di

capai.

26

Syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif,

karena merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian

sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh

obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Tidak dipenuhinya syarat obyektif

ini berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum, karenanya tujuan para pihak

untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Sedangkan tidak dipenuhinya

syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak

mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, sehingga

perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim

atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan

Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, yaitu suatau perjanjian tanpa sebab

atau yang telah dibuat karena sesuatu hal yang palsu atau terlarang tidak

mempunyai kekuatan hukum.

25

Mohd. Syaufii Syamsudin, op.cit., hal 17.

(35)

Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata,

perjanjian telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.

D. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan

lahirnya suatu perjanjian, isi perjanjian, pelaksanaan dan akibat perjanjian, yang

merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan dari perjanjian.

Fungsi asas hukum adalah Pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan

latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat didalam dan di belakang

setiap sistem hukum yang terjelma dalam perundang-undangan dan putusan

hakim yang merupakan hukum positif dan dapat pula asas hukum diketemukan

dengan mencari sifat-sifat umum yang terdapat pada peraturan konkret.27

1. Asas Kepercayaan

Indonesia sendiri, melalui Lokakarya Hukum Perikatan yang

diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen

Kehakiman RI pada tanggal 17–19 Desember 1985 merumuskan delapan asas

hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah :

2. Asas Persamaan Hukum

3. Asas Keseimbangan

27

(36)

4. Asas Kepastian Hukum

5. Asas Moralitas

6. Asas Kepatutan

7. Asas Kebiasaan

8. Asas Perlindungan

Namun, dari kedelapan asas terserbut terdapat lima asas utama yang harus

diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Beginsel der Contracts Vrijheid)

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang

menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang

dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap

perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat

ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja

asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja

leluasa untuk membuat perjanjian apa saja,mengatur sendiri kepentingan

mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu, bahkan pada

umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan peraturan yang

termuat dalam KUH Perdata. Jika para pihak tidak mengatur sendiri

kepentingan mereka dalam perjanjian yang dibuat, maka berarti para pihak

tunduk kepada undang-undang. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem

(37)

yaitu semua jenis perjanjian yang datur dalam KUH Perdata, maupun tidak

bernama yaitu semua perjanjian yang tidak dikenal dalam KUH Perdata. Asas

ini menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada

masyarakat untuk : 28

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian

b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun

c) Menentukan, pelaksanaan, dan persyarannya dan

d) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi

oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan

dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum seperti

yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata.

2. Asas Konsensualisme

Arti asas konsensualisme ialah, pada dasarnya perjanjian dan

perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik

tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila

sudah sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu

formalitas, meskipun perjanjian tersebut dilakukan secara lisan. Namun

mengenai asas ini terdapat kekecualian bagi perjanjian-perjanjian tertentu

misalnya perjanjian hibah yang diatur dalam pasal 1683 KUH Perdata

yaitu penghibahan yang dilakukan mengenai benda tidak bergerak harus

dilakukan dengan akta otentik. Demikian pengalihan hak milik atas

28

(38)

kebendaan dalam perjanjian formil, dimana menurut ketentuan pasal 613

dan 616 pengalihan harus dilakukan secara tertulis dengan akta otentik.

Perjanjian-perjanjian tersebut mendapat kekecualian dalam asas

konsensualisme, dimana untuk perjanjian-perjanjian tersebut diadakan

suatu formalitas tertentu baik dari sifat kebendaan yang dialihkan dalam

perjanjian tersebut maupun sifat dari isi perjanjian itu sendiri, sehingga

dinamakan perjanjian formil.

3. Asas pacta sunt servanda

Menurut ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata “Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuat”. Maksudnya bahwa setiap perjanjian yang dibuat

para pihak adalah mengikat dan berlaku sebagaimana undang-undang bagi

para pihak tersebut. Ketentuan tersebut berarti bahwa perjanjian yang

dibuat dengan cara yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya, yang berarti mengikat para pihak dalam perjanjian,

seperti undang juga mengikat orang terhadap siapa

undang-undang itu berlaku.

Lebih lanjut, Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa

perjanjian-perjanjian itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat

kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu, Dari ketentuan tersebut terkandung maksud

bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain adanya kata sepakat

(39)

4. Asas Itikad Baik

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang

menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur

dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan

kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para

pihak.

Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi

dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap

dan perilaku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik baik mutlak,

penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang

objektif untuk menilai keadaaan (penilaian tidak memihak) menurut

norma-norma yang objektif. 29

5. Asas kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa suatu

perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya, jadi tidak ada

pengaruhnya bagi pihak ketiga dan pihak ketigapun tidak bisa

mendapatkan keuntungan karena adanya perjanjian tersebut, kecuali telah

diatur dalam undang-undang maupun perjanjian tersebut.

Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1315 KUH Perdata

yaitu “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau

perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Pasal 1340 juga menyatakan

29

(40)

bahwa “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya” inti dari

ketentuan pasal ini yaitu bahwa seseorang hanya boleh mengadakan

perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri dan perjanjian yang dibuat

hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan pasal-pasal

tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasal 1370 KUH

Perdata yaitu “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak

ketiga , bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu

pemberian kepada orang lain mengandung kepentingan semacam itu “.

Yang berarti bahwa dapat diadakan perjanjian untuk kepentingan pihak

ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.

Di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur

perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli

warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika

dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur

tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318

KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan

orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.

E. Wanprestasi

Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera

janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.30

30

Subekti dan Tjitrosoedibyo (II), Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 10.

Dengan demikian,

wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana pihak debitur tidak melaksanakan

(41)

Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa :31

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan,

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sedangkan menurut R.Setiawan terdapat tiga bentuk wanprestasi yaitu :32

1) Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu

menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur

memang tidak mampu berprestasi.

2) Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk

melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya.

3) Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat

menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi sama

sekali.

Wanprestasi akan menimbulkan akibat hukum dalam perjanjian. Akibat

hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sanksi sebagai

berikut : 33

1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur

(Pasal 1243 KUH Perdata). Penggantian kerugian tidak timbul dengan

sendirinya dengan saat timbulnya kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi

keharusan pihak yang lalai setelah ada pernyataan lalai dari pihak yang

dirugikan atas terjadinya wanprestasi tersebut. Dengan kata lain, wanprestasi

31

Subekti (I), op.cit., hal. 45.

32

R. Setiawan, op.cit., hal.19.

33

(42)

terjadi apabila sebelumnya sudah pihak yang melakukan kelalaian tersebut

diperingatkan atau ditegur atas kelalaiannya tersebut.

2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu pihak

memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan

perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).

3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237

(2) KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk

memberikan sesuatu.

4. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan di muka hakim (Pasal

181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan

dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.

5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian

disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata). Ini

berlaku untuk semua perikatan.

Berkaitan dengan adanya pernyataan lalai yang harus dilakukan

sebelumnya terhadap pihak yang melakukan wanprestasi, dalam pasal 1238

ditentukan mengenai bentuk pernyataan lalai yang dapat diberikan kepada pihak

yang lalai melakukan pelaksanaan perjanjian yaitu:

a) Berbentuk surat perintah (bevel) atau akta lain yang sejenis

b) Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri, apabila dalam surat perjanjian

telah ditetapkan ketentuan bahwa pihak dalam perjanjian dinyatakan

wanprestasi jika melakukan suatu perbuatan tertentu atau dalam jangka waktu

(43)

kelalaian dengan sendirinya dapat dikatakan lalai apabila tidak melakukan apa

yang diatur dalam perjanjian secara tepat.

c) Jika teguran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau

aanmaning dan biasa juga disebut somasi. Somasi berarti peringatan agar

pihak yang lalai melakukan kewajibannya sesuai dengan teguran atau

pernyataan lalai yang disampaikan kreditur kepadanya. Dalam somasi inilah

pihak yang merasa dirugikan atas terjadinya wanprestasi menyatakan

kehendaknya bahwa perjanjian harus dilaksanakan dalam batas waktu tertentu.

Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara

beberapa kemungkinan sebagai berikut :

1. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaannya sudah terlambat.

2. Meminta penggantian kerugian. Menurut Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi

ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga (interessen). 3. Meminta kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai

dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata).

Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1267 KUH Perdata tersebut, maka timbul persoalan

apakah perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah

harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat

(44)

hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu bersifat

constitutive dan bukannya declaratoir.34

Force Majeur diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa Force Majeur adalah debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tidak terduga lebih dulu dan tidak dapat Pada prakteknya suatu wanprestasi baru terjadi jika salah satu pihak

dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya dan akibat dari kelalaiannya

tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lainnya atau dengan kata lain,

wanprestasi ada kalau pihak yang tidak melaksanakan prestsi tersebut itu tidak

dapat membuktikan, bahwa ia telah melakukan wanprestasi di luar kesalahannya

sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.Tidak terpenuhinya prestasi

itu kadangkala disebabkan karena adanya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga

sebelumnya oleh para pihak, sehingga hal tersebut mengakibatkan salah satu

pihak tidak dapat memenuhi prestasinya. Dalam hal demikian, maka timbul

persoalan yang dinamakan force majeur.

Force majeur bisa saja terjadi dalam suatu keadaan memaksa atau suatu keadaan/ kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya, sehingga menghalangi

pihak yang lalai tersebut untuk melakukan prestasi sebelum ia lalai/ alpa, dan

keadaan tersebut diluar kekuasaan dan kehendaknya. Force majeur merupakan dasar hukum yang mengenyampingkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1239

bahwa setiap wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk

membayar ganti rugi.

34

(45)

dipertanggungkan kepadanya, maka debitur dibebaskan untuk mengganti biaya

rugi dan bunga.

Pasal 1444 dan pasal 1445 KUH Perdata lebih lanjut menentukan dalam

bagian yang mengatur mengenai musnahnya barang yang terutang. Menurut

ketentuan pasal 1444 KUH Perdata jika barang tertentu yang menjadi pokok

perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali

tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal

barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai

menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,

sedangjab dia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak

terduga, perikatan terhapus jika barangnya akan musnah secara yang sama

ditanggannya si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang

wajib membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan itu. Dengan cara

bagaimanapun suatu barang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu

tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang itu untuk mengganti

harganya. Pasal 1445 KUH Perdata menyatakan jika barang yang yang terutang

diluar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang,

maka si berutang jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan ganti rugi mengenai

barang tersebut diajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut

kepada orang yang mengutangkan kepadanya.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal 1244, 1245, serta 1444 dan pasal

(46)

1) Peristiwa yang tidak terduga

2) Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mengalami force majeur

3) Tidak ada itikad buruk dari pihak yang mengalami force majeur

4) Keadaan yang tidak disengaja oleh pihak yang mengalami force majeur 5) Keadaan itu menghalangi pihak yang mengalami force majeur untuk

melakukan prestasi

6) Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan, misalnya memperjanjikan suatu objek yang semula tidak terlarang namun sebalum

perjanjian berakhir, objek tersebut menjadi terlarang oleh peraturan

perundang-undangan

7) Keadaan diluar kesalahan pihak yang mengalami force majeur 8) Debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi

9) Kejadian tersebut tidak dapat dihindarkan oleh siapapun

10)Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian

Menurut teori Force majeur dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ajaran force majeur yang objektif atau yang bersifat mutlak (absolute) dan ajaran

force majeur subjektif yang bersifat relatif. 35

35

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Jakarta, 1994, hal. 18. Pada force majeur yang bersifat

absolut, pemenuhan prestasi sama sekali tidak lagi diharapkan, sedangkan pada

force majeur yang relatif, pemenuhan prestasi masih masih dimungkinkan tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar, baik pengorbanan yang

(47)

perundang-undangan juga dapat menjadi suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya

perjanjian dan menjadi dasar terjadinya force majeur, misalnya perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang kemudian sebelum perjanjian berakhir barang tersebut

oleh peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai barang yang dilarang

untuk diperjual belikan. Dalam hal ini larangan atau peraturan

perundang-undangan yang dimaksud harus sedemikian rupa benar-benar tidak dapat

diperhitungkan pada saat membuat perjanjian.

Selain itu dikenal pula force majeur bersifat tetap dan force majeur

bersifat sementara. Force majeur bersifat tetap bila prestasi tidak dapat dipenuhi atau kalaupun masih mungkin dapat dipenuhi tetapi pemenuhannya tidak

mempunyai arti lagi bagi pihak yang lain. Dikatakan bersifat force majeur bersifat sementara bila force majeur tersebut hanya mengakibatkan tertundanya pemenuhan prestasi untuk sementara waktu dan pemenuhannya dikemudian hari

kelak masih mempunyai arti. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tesebut dapat

disimpulkan bahwa banyak faktor yang harus diteliti dan harus dibuktikan

kebenarannya, bahwa peristiwa atau kejadian tersebut berada diluar kesalahan dan

(48)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

A. Pengertian dan Pengaturan Mengenai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Perjanjian pemborongan secara umum diatur dalam Bab VII A Buku III

KUH Perdata Pasal 1601 b, kemudian pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616.

Perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata bersifat pelengkap artinya

ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata tersebut dapat

digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam

perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian

pemborongan asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan

ketertiban umum dan kesusilaan.

Khusus mengenai pekerjaan pemborongan untuk pengadaan barang dan

jasa pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang

sampai dengan akhir tahun 2012 juga telah mengalami dua kali perubahan, yakni

Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 70

tahun 2012. Diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang

Jasa Konstruksi dengan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 22 Tahun 2000, apabila pekerjaan pemborongan yang dilakukan adalah

(49)

Indonesia Tahun 1941(AV 1941) yang berarti syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum Indonesia. AV 1941 berdasarkan

surat keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 28 Mei 1941 no. 9 dan

merupakan peraturan standar atau baku bagi perjanjian pemborongan di

Indonesia, khususnya untuk proyek-proyek pemerintah.

Cara peraturan standar (AV 1941) masuk dalam perjanjian pemborongan

sebagai perjanjian standar adalah sebagai berikut:

1. Dengan penunjukkan yaitu dalam SPK atau Surat Perintah Kerja atau dalam

surat perjanjian pemborongan (kontrak) terdapat ketentuan-ketentuan yang

merujuk pada Pasal-pasal AV 1941.

2. Dengan penandatanganan yaitu dalam SPK atau dalam surat perjanjian

pemborongan (kontrak) dimuat ketentuan-ketentuan dari AV 1941 secara

lengkap.36

Sebelum dibentuk peraturan standar yang baru maka AV tetap berlaku,

namun mengingat isi dari AV 1941 ini banyak yang sudah ketinggalan jaman,

maka ketentuan-ketentuan dalam AV 1941 disesuaikan dengan perkembangan

industri maupun teknologi.

KUH Perdata merupakan Lex Generalis terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang perjanjian

pemborongan artinya jika dalam peraturan perundang-undangan terdapat

ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian pemborongan maka itulah yang berlaku.

Namun sejauh tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain maka

36

(50)

ketentuan dalam KUH Perdata tersebut yang dapat digunakan oleh para pihak

dalam perjanjian pemborongan, atau para pihak dalam perjanjian pemborongan

dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian pemborongan

asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban

umum dan kesusilaan.

Di dalam ketentuan Pasal 1601 KUH Perdata diatur mengenai jenis-jenis

persjanjian untuk melakukan pekerjaan, sebagai berikut :37

1. Persetujuan untuk melakukan jasa-jasa tertentu;

2. Persetujuan perburuhan dan;

3. Persetujuan pemborongan pekerjaan

Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah suatu perjanjian

dimana salah satu pihak menghendaki dari pihak lawannya untuk dilakukannya

suatu pekerjaaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar

upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut

samasekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah

seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah

memasang tarif jasanya tersebut. 38

Menurut Pasal 1601 a, persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan

mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya

pihak lain, si majikan untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan

menerima upah. Persetujuan atau perjanjian ini ditandai dengan ciri adanya suatu

upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan subordinatif

37

Subekti (III), Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, 1995, hal. 57-58

38

(51)

yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak

memberikan perintah-perintah yang harus ditaati pihak lain.39

Menurut Djumialdji, definisi perjanjian pemborongan yang terdapat dalam

Pasal 1601 b KUH Perdata kurang tepat. Djumialdji memberikan definisi

perjanjian pemborongan sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu,

si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan,

sedangkan pihak yang lain, yang memborongkan mengikatkan diri untuk

membayar suatu harga yang telah ditentukan.

Mengenai perjanjian pemborongan, menurut pasal 1601 b KUH Perdata,

pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si

pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi

pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang

ditentukan. Jadi dalam Perjanjian Pemborongan hanya ada dua pihak yang terkait

dalam perjanjian pemborongan yaitu pihak kesatu disebut pihak yang

memborongkan atau prinsipal dan pihak kedua disebut pihak pemborong

kontraktor.

40

Bagaimana caranya pemborong mengerjakan tidaklah penting bagi pihak

pertama tersebut, karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan

kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah dite

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah perjanjian pemborongan yang dibuat oleh PT.PLN (Persero) dengan CV.Carmel sudah menjamin kepastian hukum,

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah perjanjian pemborongan yang dibuat oleh PT.PLN (Persero) dengan CV.Carmel sudah menjamin kepastian hukum,

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah perjanjian pemborongan yang dibuat oleh PT.PLN (Persero) dengan CV.Carmel sudah menjamin kepastian hukum,

pelaksanaan perjanjian disinyalir juga terjadi pada pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan pengerasan jalan parit yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum

Adapun permasalahan yang dibahas adalah bagaimana proses pelaksanaan perjanjian pemborongan antara Dinas KIMPRASDA (Dinas Permukiman Dan Prasarana Daerah) Labuhanbatu dengan

Bentuk perlindungan hukum preventif bagi para pihak terutama terhadap kontraktor dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diwujudkan dengan pengaturan ketentuan

Bentuk perlindungan hukum preventif bagi para pihak terutama terhadap kontraktor dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diwujudkan dengan pengaturan ketentuan

Force Majeur diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa Force Majeur adalah debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang