TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA
MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV.TERATAI 26 SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar sarjana hukum
OLEH :
NIM : 090200201
KRISTI MEI SARA SIMBOLON
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA
MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV. TERATAI 26
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar sarjana hukum
OLEH :
NIM : 090200201
KRISTI MEI SARA SIMBOLON
DISETUJUI OLEH,
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
NIP.196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum
Dosen Pembimbing I
NIP.196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum
Dosen Pembimbing II
NIP. 196101181988031010 Zulikifli Sembiring, S.H
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala anugerah, kasih dan penyertaanNya yang selalu Penulis terima, sepanjang
waktu hingga akhirnya Penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan
judul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase antara Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV.Teratai 26,
yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolah gelar sarjana
dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Penulis menyadari keterbatasan penulis dalam penulisan skripsi ini,
sehingga penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah dengan ikhlas
memberikan bimbingan, petunjuk serta bantuan sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Muhammad
Husni, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Hasim Purba, S.H,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
sebagai dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan bimbingan dalam
4. Bapak Zulkifli Sembiring, S. H, M.H selaku dosen pembimbing II Penulis
yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini
5. Bapak Jusmadi Sikumbang, Selaku Dosen Pembimbing Akademik
Penulis, dan seluruh dosen Fakultas Hukum Sumatera Utara yang tidak
dapat Penulis sebutkan namanya satu persatu.
6. Keluarga Penulis, Bapak K.Simbolon dan Ibu E.Situmorang, kedua adik
Penulis Jordi Phillippus Simbolon, dan Oscar Surya Damero Simbolon,
Bou Veronica “Dor” Simbolon yang terus mendoakan, mendukung,
memberi semangat bagi, dan menjadi inspirasi bagi Penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Bapak Boy M.F Tampubolon, selaku wakil direktur CV.Teratai 26, tempat
Penulis melakukan penelitian skripsi ini, yang sangat membantu Penulis
dalam memperoleh data dan keterangan demi kepentingan penulisan
skripsi ini, dan juga kepada Saudara Julianus Nainggolan.
8. Teman-teman seangkatan penulis di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu,
khususnya kepada teman-teman kelompok klinis Penulis, Joel Martin
Tambunan, Sastro Gunawan Sibarani, Ermariani Sirait, Revina Kaligis,
Viola Bungaran, Pratica Manulang, Reminisir Harita, Marthin Manihuruk,
Agri Purba. Terutama kepada Sihar Luther Saga Manalu yang selalu
9. Kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang
memberikan dukungan, semangat, bimbingan, arahan, kepada Penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terimakasih.
Penulis menyadari bahwa hasil akhir penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, April 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 11
B. Unsur-Unsur Perjanjian ... 14
C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 18
D. Asas-Asas Perjanjian ... 26
E. Wanprestasi ... 31
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Pengaturan Mengenai Perjanjian Pemborongan ... 39
B. Sifat dan Bentuk Perjanjian Pemborongan ... 43
D. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 53
E. Prosedur Perjanjian Pemborongan ... 62
F. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan ... 69
BAB IV TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV.TERATAI 26 A. Gambaran Umum CV.Teratai 26 ... 73
B. Tahap Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 76
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 87
D. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 91
E. Penyelesaian Perselisihan/Sengketa Konstruksi yang Terjadi ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 111
ABSTRAK
Kota Medan sebagai salah satu kota yang memiliki laju kecepatan perkonomian dan sosial yang tergolong pesat, perlu diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana di bidang fisik maupun non fisik. Salah satu bentuk realisasi dari pembangunan itu adalah pembangunan saluran drainase. Pembangunan tersebut dilaksanakan berdasarkan kontrak yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta sebagai pemborong proyek. Dalam skipsi ini, permasalahan yang Penulis angkat yaitu apakah perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak pemborong tidak mengandung cacat hukum, apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, dan bagaimana penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi perselisihan diantara para pihak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, maksudnya penelitian dilakukan dengan menggunakan dan mengelola data sekunder dan menggambarkan secara sistematis dimana penelitian dilakukan termasuk penelitian ke lapangan untuk memperoleh data. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundanga-undangan, serta dokumen kontrak itu sendiri, bahan hukum sekunder yaitu buku-buku hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier berupa kamus hukum.
ABSTRAK
Kota Medan sebagai salah satu kota yang memiliki laju kecepatan perkonomian dan sosial yang tergolong pesat, perlu diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana di bidang fisik maupun non fisik. Salah satu bentuk realisasi dari pembangunan itu adalah pembangunan saluran drainase. Pembangunan tersebut dilaksanakan berdasarkan kontrak yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta sebagai pemborong proyek. Dalam skipsi ini, permasalahan yang Penulis angkat yaitu apakah perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak pemborong tidak mengandung cacat hukum, apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, dan bagaimana penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi perselisihan diantara para pihak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, maksudnya penelitian dilakukan dengan menggunakan dan mengelola data sekunder dan menggambarkan secara sistematis dimana penelitian dilakukan termasuk penelitian ke lapangan untuk memperoleh data. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundanga-undangan, serta dokumen kontrak itu sendiri, bahan hukum sekunder yaitu buku-buku hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier berupa kamus hukum.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banjir merupakan suatu masalah yang rentan mengancam bagi kota-kota
besar di Indonesia yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang jauh lebih
pesat dibandingkan pertumbuhan penduduk masyarakat desa. Persoalan banjir
seolah sudah menjadi tradisi tahunan yang wajib dirasakan apabila musim
penghujan tiba seperti halnya banjir besar yang baru-baru ini terjadi di ibukota
Jakarta. Banjir tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat dalam
beraktivitas, merusak badan-badan jalan dan prasarana lainnya akibat sering
tergenang air, lebih jauh dapat menimbulkan kerugian materil bahkan korban jiwa
apabila bencana banjir besar terjadi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah
untuk menanggulangi permasalahan banjir perkotaan ini, hal ini berbanding lurus
dengan dana yang telah terkuras untuk masalah banjir ini, namun tetap saja belum
berhasil mengatasi ancaman banjir tersebut. Hal ini akan semakin sulit diatasi
dengan melihat kondisi buruknya infrastruktur penanganan banjir yang telah
dibangun oleh pemerintah seperti misalnya saluran drainase, sehingga
pembangunan demi pembangunan yang dilakukan dengan alasan penanganan
banjir hanya menjadi rutinitas tanpa solusi.
Kota medan, sebagai salah satu kota besar yang terdapat di Indonesia
memiliki laju kecepatan perekonomian dan sosial yang tergolong pesat.
pembangunan sarana dan prasarana baik di bidang fisik maupun di bidang non
fisik. Buruknya keadaan infrastruktur penanganan banjir salah satunya saluran
saluran drainase kerap menimbulkan genangan bahkan banjir jika hujan turun
terutama di lokasi-lokasi padat penduduk di Kota Medan. Saluran drainase
merupakan salah satu faktor yang penting dalam tata ruang suatu kota, karena
saluran drainase berperan dalam penanganan masalah banjir. Bertolak dari hal
tersebut maka pembangunan yang bertujuan untuk perbaikan saluran drainase di
Kota Medan menjadi salah satu hal penting yang menjadi perhatian pemerintah
khususnya Pemerintah Kota Medan.
Pembangunan dilaksanakan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana menuju arah yang lebih baik yang
mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk realisasi dari
pembangunan nasional pembangunan Kota Medan memiliki dimensi yang luas,
hal itu disebabkan kompleksnya tuntutan, kebutuhan, dan kepentingan
masyarakat. Salah satu bentuk realisasi dari pembangunan yang dilaksanakan
berupa pembangunan proyek-proyek sarana, prasarana yang berwujud
pembangunan saluran drainase, pembangunan jembatan, rehabilitasi jalan,
pemukiman, pelabuhan, irigasi, kantor pemerintahan dan sebagainya.
Dinas Bina Marga Kota Medan sebagai suatu Dinas Daerah di lingkungan
Pemerintahan Kota Medan bertugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga
daerah dalam bidang pekerjaan umum yang meliputi jalan, jembatan, drainase dan
sumber daya air termasuk perawatan, pengawasan dan pengamanan bangunan
melaksanakan tugas pembangunan sesuai dengan bidang tugasnya. Pembangunan
drainase yang terdapat di kota Medan ini merupakan salah satu pembangunan
yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Bina Marga
Kota Medan. Dinas Bina Marga Kota Medan dalam melaksanakan pembangunan
saluran drainase yang terdapat di Kota Medan tidak dapat secara langsung
melakukan pembangunan tersebut, sehingga perlu untuk mengadakan kontrak
dengan kontraktor yang persyaratannya diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pengaturan mengenai pengadaan barang/jasa untuk instansi pemerintah
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang merupakan
perubahan kedua dari Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 Mengenai
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, perubahan pertama atas Peraturan Presiden
ini telah diberlakukan sebelumnya yaitu Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun
2011. Seringnya terjadi perubahan tentang tatacara pengadaan barang/jasa
pemerintah tersebut, di satu sisi menunjukkan bahwa pemerintah selalu berusaha
untuk memerbaiki sistem pengadaan yang ada. Namun di sisi lain menunjukkan
bahwa sistem pengadaan barang/jasa belum mampu mewujudkan hasil yang
diharapkan. Berbagai perubahan, baik kingkungan internal pemerintah maupun
eksternal menghendaki adanya penyesuaian di banyak hal.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Dinas Bina Marga Kota
Medan dalam merealisasikan pembangunan tidak dapat melaksanakan sendiri
pembangungan tersebut, melainkan dengan mengadakan kontrak kerja sama
yang mengadakan kontrak dengan Dinas Bina Marga Kota Medan adalah
CV.TERATAI 26. Hubungan kerja sama yang terjadi antara Dinas Bina Marga
Kota Medan dengan CV.TERATAI 26 dibuat dalam suatu perjanjian atau dalam
prakteknya lebih sering disebut kontrak. Perjanjian yang dibuat antara Dinas Bina
Marga Kota Medan dengan CV. TERATAI 26 merupakan perjanjian
pemborongan pekerjaan. Dalam hal ini pemborongan pekerjaan pembangunan
yang dilaksanakan oleh CV.TERATAI 26 sebagai pihak pemborong tersebut
diperoleh setelah memenangkan pelelangan yang dilakukan oleh Dinas Bina
Marga Kota Medan sebagai pihak yang memborongkan pekerjaan.
Dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan perlu dipahami mengenai
aspek hukum yang terdapat dalam perjanjian pemborongankarena pemahaman
terhadap aspek hukum akan dapat menyesuaikan dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Seperti diketahui telah banyak dari pejabat atau pengguna
barang/jasa proyek pemerintah yang menjadi korban sebagai tergugat,
tersangka/terdakwa atau terpidana dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Demikian juga halnya dengan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan
antara Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV.Teratai 26 juga diperlukan
pemahaman aspek hukum untuk menghindari kemungkinan terjadinya
pelanggaran pelanggaran hukum.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk membahas masalah
perjanjian pemborongan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “Tinjauan
Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase antara
B. Perumusan Masalah
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
a. Apakah proses pelaksanaan Perjanjian Antara Dinas Bina Marga Kota
Medan dengan CV.Teratai 26 tidak mengandung cacat hukum?
b. Apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian dan
bagaimana penyelesaiannya apabila terjadi perselisihan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka
tujuan yang ingin dicapai dari penulisan dari skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan perjanjian pemborongan
pekerjaan pembangunan saluran drainase antara Dinas Bina Marga
Kota Medan dengan CV. Teratai 26 tidak mengandung cacat hukum.
b. Untuk mengetahui apakah hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan
perjanjian dan untuk mengetahui cara menyelesaikan perselisihan
yang terjadi.
2. Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua
sisi yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
akademisi khususnya. Untuk menambah literatur dalam bidang hukum
pembangunan pada khususnya sehingga dapat lebih mengembangkan
khasanah ilmu pengetahuan.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan bagi
pembaca, dan pemahaman hukum mengenai perjanjian pemborongan
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan
pekerjaan khusunya perjanjian pemborongan pekerjaan bagi instansi
pemerintah
D. Keaslian penulisan
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, diketahui bahwa skripsi
dengan judul “ Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Saluran Drainase antara
Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV. Teratai 26” belum pernah ditulis di
Fakultas Hukum Sumatera Utara. Kalaupun ada judul yang serupa, namun
permasalahan dan materi pembahasan yang diangkat juga berbeda dan bila di
kemudian hari ditemukan skripsi dengan judul yang sama yang telah ada
sebelumnya, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab penulis.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali
tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
pemasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.1
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian dan
pengumpulan data atau bahan-bahan berkaitan dengan skripsi ini. Untuk
memperoleh bahan-bahan atau data yang diperlukan dalam skripsi ini, penulis
melakukan penelitian hukum dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode
tertentu sebagai berikut :
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif
yang bersifat deskriptif. Normatif maksudnya penelitian dilakukan dengan
menggunakan dan mengelola data sekunder. Adapun sifat dari penulisan skripsi
ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan secara sistimatis dan jelas dimana kita
melakukan penelitian termasuk survey ke lapangan untuk memperoleh data. 2. Sumber data.
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder
yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer , yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan dari buku hukum yang memberi
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian dan
pendapat dari pakar hukum. Termasuk juga semua dokumen yang
1
merupakan informasi atau merupakan kajian berbagai media seperti koran,
majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website di internet.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus
hukum.
3. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Penelitian Kepustakaan (library Research) yaitu meneliti sumber sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, seperti
buku-buku hukum, majalah hukum, artikelartikel, peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan pada dalam bentuk studi kasus. Penulis melakukan studi kasus terhadap
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan,
untuk melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan di
atas.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya
sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab dengan bab yang lain
yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan secara umum mengenai latar belakang, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, yang
kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
Merupakan tinjauan umum mengenai perjanjian, terdiri dari lima sub bab
yang menjelaskan mengenai Pengertian Perjanjian, Unsur-Unsur Perjanjian,
Syarat Sahnya Perjanjian, Asas-Asas dalam Perjanjian dan Wanprestasi.
BAB III TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PEMBORONGAN
Bab ini menjelaskan tinjauan umum mengenai perjanjian pemborongan yang
terdiri dari enam sub bab yaitu, Pengertian dan Pengaturan Mengenai
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Sifat dan Bentuk Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan, Macam dan Isi Perjanjian Pemborongan Pekerjaan,
Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Prosedur Perjanjian
Pemborongan, Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PEMBORONGAN PEMBANGUNAN SALURAN DRAINASE ANTARA DINAS BINA MARGA KOTA MEDAN DENGAN CV.TERATAI 26
Terdiri dari empat sub bab yaitu, Gambaran Umum CV.Teratai 26, Tahap
Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Pembangunan antara Dinas Bina Marga Kota Medan dengan CV. Teratai
26, Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian
Pemborongan, Penyelesaian perselisihan/sengketa konstruksi yang terjadi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan.
Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan
yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat
menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian Pemborongan.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Berbagai kepustakaan Indonesia menggunakan istilah “overeenkomst” dan “verbintenis” sebagai tejemahan istilah “perjanjian” maupun “persetujuan”.
Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi
verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan. Sedangkan
overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat.2 Wiryono Projodikoro mengartikan perjanjian dari kata verbintenis, sedangkan kata overeenkomst diartikan dengan kata persetujuan.3 KUH Perdata terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio dalam Pasal 1313 menggunakan istilah
perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst. Utrecht memakai istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk
overeenkomst. Sementara Achmad Ichsan menerjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.4
R.Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu hubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
2
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta Bandung, Bandung, 1987, hal. 1.
3
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetjuan Tertentu, Sumur Bandung , Bandung, 1981, hal. 11.
4
untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di
mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5
Menurut M.Yahya Harahap yang disebut perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.6 Harta kekayaan atau
harta benda antara dua orang atau lebih tersebut memberikan kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
untuk melakukan prestasi. 7 Sedangkan menurut R. M. Sudikno Mertokusumo
pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.8
5
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 1.
6
Abdul Kadir Muhammad (I), Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 78.
7
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni : Jakarta, 1986, hal. 6.
8
RM. Sudikno Mertokusumo , Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ) , Liberty , Yogyakarta 1988 , hal. 97.
Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat
disimpulkan di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak, dimana
kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum
tertentu. Pengertian perjanjian itu sendiri dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
Mengenai istilah perjanjian ini para sarjana pada umumnya menganggap
bahwa defenisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata memiliki kelemahan.
Kelemahan-kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut : 9
1. Hanya menyangkut sepihak saja.
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata “mengikatkan”
sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Seharusnya
dirumuskan “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus
Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa
kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.
Seharusnya dipakai kata persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga
pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
4. Tanpa menyebut tujuan
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan diatas dapat
disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak
dalam perjanjian yaitu berupa kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih
kepada orang lain yang berhak atas prestasi tersebut, dalam lapangan harta
9
kekayaan. Namun tidak setiap perbuatan yang menimbulkan perikatan merupakan
perjanjian, perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sumber lain dari
perikatan adalah undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan
ada perikatan yang lahir dari undang-undang. Sumber-sumber perikatan yang
tercakup dalam undang diperinci lagi, yang dibedakan antara
undang-undang saja dengan undan-undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang.
Sumber perikatan yang berkaitan dengan perbuatan manusia diperinci lagi, yakni
dibedakan antara perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum.
B. Unsur-Unsur Perjanjian
Berdasarkan perumusan pasal 1313 KUH Perdata, Abdul Kadir
Mehammad menyatakan bahwa perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai
berikut: 10
1. Pihak-pihak
Dalam suatu perjanjian paling sedikit ada dua pihak yang bertindak sebagai
subjek perjanjian. Para pihak dapat terdiri dari orang pribadi atau badan
hukum . Dalam mengadakan suatu perikatan, para pihak harus bebas
menyatakan kehendaknya sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun,
tidak ada penipuan dari salah satu pihak dan tidak ada kekhilafan pihak-pihak
yang bersangkutan. Selain itu juga harus telah dewasa dan cakap untuk
melakukan hubungan hukum.11
2. Persetujuan antara para pihak
10
Ibid., hal. 80.
11
Sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat perjanjian para pihak
memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar menawar di antara mereka. Apa
yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya. Yang
ditawarkan itu umumnya mengenai syarat-syarat dan objek perjanjian. Dengan
disetujuinya syarat-syarat dan objek perjanjian tersebut maka timbullah
persetujuan. Persetujuan inilah yang menjadi salah satu syarat timbullnya
perjanjian.
3. Adanya tujuan yang akan dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para
pihak dalam perjanjian, dalam hal ini kebutuhan tersebut dapat dilakukan
dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Dalam mencapai tujuannya
tersebut, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4. Adanya prestasi yang harus dilaksanakan.
5. Dengan adanya persetujuan maka para pihak dalam suatu perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya secara
timbal balik. Pemenuhan kewajiban oleh para pihak sesuai dengan
syarat-syarat dalam perjanjian tersebut dinamakan prestasi. Menurut pasal 1234
KUH Perdata prestasi tersebut dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu
prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan
atas suatu barang. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan
berbuat sesuatu adalah jika dalam perjanjian para pihak berjanji untuk tidak
melaksanakan perbuatan tertentu, misalnya tidak akan menutup jalan setapak.
5. Ada bentuk tertentu
Perjanjian dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis, perjanjian yang
dibuat dalam bentuk tertulis dapat berupa akta otentik maupun akta dibawah
tangan sesuai dengan ketentuan yang ada. Perjanjian dalam bentuk lisan,
artinya perjanjian dibuat dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya
sehingga dapat dipahami para pihak. Bentuk perjanjian perlu ditentukan
mengingat kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh
bentuk-bentuk perjanjian tersebut.
6. Adanya syarat-syarat tertentu
Dalam isi suatu perjanjian terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
oleh para pihak. Dari syarat-syarat para pihak dapat mengetahui hal-hal yang
menjadi hak maupun kewajibannya., misalnya mengenai barangnya,
haraganya dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara
pembayarannya, cara penyerahannya dan lain-lain.
Jika unsur-unsur suatu perjanjian yang telah dijelaskan sebelumnya
diamati dan uraikan, maka unsur-unsur tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : 12
1. Unsur Esensialia
Adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian,
unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin
12
ada. Tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan
untuk dibuat dan diselenggarakan para pihak akan menjadi beda sehingga
unsur esensialia seharus menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan
perjanjian lainnya.13
2. Unsur Naturalia
Misalnya dalam perjanjian yang riil, syarat
penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil.
Adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur
esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang
mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia
berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual
dari cacat sembunyi-sembunyi.14
3. Unsur Accidentalia
Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, atau
dengan kata lain merupakan ketentuan-ketentuan yang dibuat para pihak
untuk mempermudah pelaksanaan kontrak walaupun bukan merupakan
syaarat utama. Misalnya dalam perjanjian jual beli unsur utama atau
essensialianya adalah pembayaran, namun para pihak dapat menambahkan
penentuan tempat dan waktu pembayaran dalam perjanjian jual beli untuk
mempermudah pelaksanaan perjanjian itu sendiri.
13
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.86.
14
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian agar dapat berlaku sebagai suatu perjanjian yang
mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, harus dibuat
berdasarkan syarat yang sah. Menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata agar
suatu perjanjian dapat belaku sebagai perjanjian yang sah, terdapat syarat sebagai
berikut :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Penjelasan mengenai syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH
Perdata tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu
kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang
terpenting adalah adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti dengan penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya.15 Jadi, yang dimaksud dengan sepakat adalah penyataan persesuaian kehendak antara satu
orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya. Yang dimaksud
dengan “sesuai” adalah pernyataannya, karena kehendak tidak dapat dilihat atau
diketahui oleh orang lain. 16
15
Ahmadi Miru,Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 14.
16
Salim H.S , Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 33.
Pernyataan kehendak dari para pihak dapat dilakukan
berbentuk pernyataan tertulis baik dengan akta otentik maupun dengan akta
dibawah tangan, secara lisan, atau dengan tanda.17
Sehubungan dengan adanya persesuaian antara kehendak dengan
pernyataan seperti yang telah dijelaskan diatas, adakalanya pernyataan yang
timbul tidak sesuai dengan kehendak yang ada dalam batin. Mengenai hal ini
terdapat teori yang dijadikan pemecahannya, yaitu :18
a. Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian
tidak jadi.
b. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan
terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara
kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.
c. Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan
kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kesepakatan merupakan
persesuaian kehendak antara pihak-pihak dalam suatu perjanjian. Tentang kapan
terjadi atau timbulnya kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat empat teori,
yaitu :19
17
J. Satrio, op.cit., hal. 183.
18
R.Setiawan, op.cit., hal. 57.
a) Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjdi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menulis surat jawaban yang
menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
b) Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram, surat, atau telex.
Menurut teori ini tanggal cap pos pada saat pengiriman jawaban
penerimaan dipakai sebagai pegangan kapan saat lahirnya perjanjian.
c) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti
bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak
tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi
perwujudan kehendak tersebut. 20
Pasal 1321 KUH Perdata lebih lanjut mengatur bahwa “ tiada sepakat
yang sah apabila sepakat diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan”. Mengenai kekhilafan atau kekeliruan diatur dalam
pasal 1322 KUH Perdata, kekhilafan terjadi apabila seseorang dalam membuat
perjanjian dipengaruhi oleh sesuatu yang palsu sehingga mempunyai gambaran
yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya. Pembatalan karena
20Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2000, hlm.
kekeliruan hanya mungkin terjadi dalam dua hal, yaitu apabila kekeliruan terjadi
mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian yaitu sifat atau ciri dari
objek yang bagi para pihak merupakan alasan diadakannya perjanjian yang
menyangkut objek tersebut dan apabila kekeliruan mengenai diri pihak lawan
dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat diri orang tersebut.
Tentang paksaan diatur dalam pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata. Paksaan
meliputi segala macam ancaman baik diancam dengan paksaan fisik maupun
dengan cara-cara tekanan mental, darimanapun datangnya ancman tersebut.
Ancaman harus berupa sesuatu yang dilarang namun suatu ancaman yang dengan
upaya-upaya hukum diperbolehkan. Paksaan dalam hal ini tidak berarti paksaan
dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian perjanjian sama sekali tidak
terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman
yang tidak diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan bagi seseorang
sehingga orang tersebut melakukan perjanjian
Demikian juga hal nya dengan perjanjian yang dilakukan dengan
penipuan, perjnjian tersebut dapat dibatalkan. Yang membedakan penipuan
dengan paksaan ialah bahwa dalam paksaan dia sadar bahwa kehendaknya itu
tidak dikehendaki tetapi harus mau, sedangkan dalam penipuan kehendaknya itu
keliru. Dalam hal ini perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dengan memberikan
keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya
menyetujui objek yang ditawarkan. Penipuan tidak di persangkakan tetapi harus
muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam
kehendaknya , tidak cukup hanya dengan kebohongan saja.
2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian
Menurut hukum yang dimaksud dengan cakap adalah seseorang yang
mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau melakukan perbuatan
hukum baik untuk kepentingan diri sendiri maupun pihak lain yang diwakili,
misalnya mewakili badan hukum.21
a. Orang-orang yang belum dewasa, mengenai orang-orang yang belum
dewasa ditentukan dalam pasal 330 KUH Perdata yaitu mereka yang
belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Penentuan mengenai batas umur dewasa ini memiliki pengecualian
dalam membuat perjanjian kerja, menurut pasal 1 butir 26 UUK seseorang
dianggap dewasa apabila berumur 18 tahun baik laki-laki maupun
perempuan. Dengan demikian batasan dewasa untuk dapat melakukan
perjanjian kerja dapat menyimpang dari pengaturan yang terdapat dalam
KUH Perdata.
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat suatu perikatan jika oleh undang-undang tidak dikatakan tidak
cakap. Mengenai orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dalam pasal 433 KUH
Perdata ditentukan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam
21
keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros diletakkan dibawah
pengampuan apabila seseorang yang berada dibawah pengampuan
mengadakan perjanjian yang mewakilinya adalah
pengampunya.Orang-orang perempuan, pada awalnya sepengampunya.Orang-orang perempuan yang bersuami
memerlukan ijin tertulis dari suaminya untuk mengadakan perjanjian.
Namun ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan kemajuan jaman.
3) Suatu pokok Persoalan Tertentu
Ketentuan pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa “ Suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tak perlu pasti asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu, sebagai salah satu syarat sahnya
perjanjian, adalah sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut telah ditentukan dan
disepakati. Karena sesuatu yang yang menjadi objek suatu perjanjian harus
ditentukan atau dinikmati.22
22
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam hubungan industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal.17.
Misalnya dalam melakukan perjanjian pemborongan,
merupakan suatu persetujuan bahwa pemborong atau penyedia barang/jasa
mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain yaitu
pihak yang memborongkan atau pengguna barang/jasa dengan harga yang
Dapat dimiliki dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau
mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya, misalnya
kendaraan, rumah, perhiasan, hak kekayaan intelektual, piutang, dan sebagainya.
Benda objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat, dan bermanfaat. Dalam konsep
hukum modern, pengertian benda sebagai objek perikatan meliputi juga modal,
piutang, keuntungan, dan jasa.
Syarat-syarat suatu benda yang dapat dijadikan sebagai objek dalam
perikatan adalah : 23
a. Benda dalam perdagangan;
b. Benda tertentu atau dapat ditentukan;
c. Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud;
d. Benda yang tidak dilarang oleh undang-undang atau benda yang halal;
e. Benda yang ada pemiliknya dan dalam penguasaan pemiliknya;
f. Benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya;
g. Benga yang berada dalam penguasaan pihak lain berdasarkan alas hak
yang sah.
4) Suatu Sebab yang Halal
Sebab atau yang dalam Bahasa Belanda diterjemahkan sebagai oorzaak
adalah isi dari perjanjian itu sendiri, bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang
membuat perjanjian. 24
23 ibid 24
Subekti (I), Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 19
Alasan yang mendorong seseorang membuat sesuatu hal
diperdulikan, hukum tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan
seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang. Yang diperhatikan hanyalah
tindakan orang dalam pergaulan masyarakat. 25
Sedangkan mengenai istilah sebab yang halal yang dimaksud dalam
syarat ini bukanlah halal dalam pengertian halal-haram secara agama, yang
dimaksud dengan halal adalah bahwa isi dari perjanjian yang di buat tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. Dengan
demikian undang-undang tidak mempedulikan apa yang terjadi, sebab orang yang
mengadakan suatu perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan di
capai.
26
Syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif,
karena merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian
sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh
obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Tidak dipenuhinya syarat obyektif
ini berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum, karenanya tujuan para pihak
untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Sedangkan tidak dipenuhinya
syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, sehingga
perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim
atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, yaitu suatau perjanjian tanpa sebab
atau yang telah dibuat karena sesuatu hal yang palsu atau terlarang tidak
mempunyai kekuatan hukum.
25
Mohd. Syaufii Syamsudin, op.cit., hal 17.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata,
perjanjian telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
D. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan
lahirnya suatu perjanjian, isi perjanjian, pelaksanaan dan akibat perjanjian, yang
merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan dari perjanjian.
Fungsi asas hukum adalah Pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan
latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat didalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam perundang-undangan dan putusan
hakim yang merupakan hukum positif dan dapat pula asas hukum diketemukan
dengan mencari sifat-sifat umum yang terdapat pada peraturan konkret.27
1. Asas Kepercayaan
Indonesia sendiri, melalui Lokakarya Hukum Perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen
Kehakiman RI pada tanggal 17–19 Desember 1985 merumuskan delapan asas
hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah :
2. Asas Persamaan Hukum
3. Asas Keseimbangan
27
4. Asas Kepastian Hukum
5. Asas Moralitas
6. Asas Kepatutan
7. Asas Kebiasaan
8. Asas Perlindungan
Namun, dari kedelapan asas terserbut terdapat lima asas utama yang harus
diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Beginsel der Contracts Vrijheid)
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang
menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang
dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap
perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat
ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja
asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja
leluasa untuk membuat perjanjian apa saja,mengatur sendiri kepentingan
mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu, bahkan pada
umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan peraturan yang
termuat dalam KUH Perdata. Jika para pihak tidak mengatur sendiri
kepentingan mereka dalam perjanjian yang dibuat, maka berarti para pihak
tunduk kepada undang-undang. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem
yaitu semua jenis perjanjian yang datur dalam KUH Perdata, maupun tidak
bernama yaitu semua perjanjian yang tidak dikenal dalam KUH Perdata. Asas
ini menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada
masyarakat untuk : 28
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian
b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
c) Menentukan, pelaksanaan, dan persyarannya dan
d) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.
Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi
oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum seperti
yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata.
2. Asas Konsensualisme
Arti asas konsensualisme ialah, pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu
formalitas, meskipun perjanjian tersebut dilakukan secara lisan. Namun
mengenai asas ini terdapat kekecualian bagi perjanjian-perjanjian tertentu
misalnya perjanjian hibah yang diatur dalam pasal 1683 KUH Perdata
yaitu penghibahan yang dilakukan mengenai benda tidak bergerak harus
dilakukan dengan akta otentik. Demikian pengalihan hak milik atas
28
kebendaan dalam perjanjian formil, dimana menurut ketentuan pasal 613
dan 616 pengalihan harus dilakukan secara tertulis dengan akta otentik.
Perjanjian-perjanjian tersebut mendapat kekecualian dalam asas
konsensualisme, dimana untuk perjanjian-perjanjian tersebut diadakan
suatu formalitas tertentu baik dari sifat kebendaan yang dialihkan dalam
perjanjian tersebut maupun sifat dari isi perjanjian itu sendiri, sehingga
dinamakan perjanjian formil.
3. Asas pacta sunt servanda
Menurut ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuat”. Maksudnya bahwa setiap perjanjian yang dibuat
para pihak adalah mengikat dan berlaku sebagaimana undang-undang bagi
para pihak tersebut. Ketentuan tersebut berarti bahwa perjanjian yang
dibuat dengan cara yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, yang berarti mengikat para pihak dalam perjanjian,
seperti undang juga mengikat orang terhadap siapa
undang-undang itu berlaku.
Lebih lanjut, Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa
perjanjian-perjanjian itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu, Dari ketentuan tersebut terkandung maksud
bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain adanya kata sepakat
4. Asas Itikad Baik
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak.
Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi
dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap
dan perilaku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik baik mutlak,
penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang
objektif untuk menilai keadaaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif. 29
5. Asas kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa suatu
perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya, jadi tidak ada
pengaruhnya bagi pihak ketiga dan pihak ketigapun tidak bisa
mendapatkan keuntungan karena adanya perjanjian tersebut, kecuali telah
diatur dalam undang-undang maupun perjanjian tersebut.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1315 KUH Perdata
yaitu “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Pasal 1340 juga menyatakan
29
bahwa “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya” inti dari
ketentuan pasal ini yaitu bahwa seseorang hanya boleh mengadakan
perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri dan perjanjian yang dibuat
hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan pasal-pasal
tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasal 1370 KUH
Perdata yaitu “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga , bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain mengandung kepentingan semacam itu “.
Yang berarti bahwa dapat diadakan perjanjian untuk kepentingan pihak
ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.
Di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika
dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur
tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318
KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.
E. Wanprestasi
Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera
janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.30
30
Subekti dan Tjitrosoedibyo (II), Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 10.
Dengan demikian,
wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana pihak debitur tidak melaksanakan
Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa :31
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan,
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sedangkan menurut R.Setiawan terdapat tiga bentuk wanprestasi yaitu :32
1) Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu
menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur
memang tidak mampu berprestasi.
2) Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk
melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya.
3) Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat
menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi sama
sekali.
Wanprestasi akan menimbulkan akibat hukum dalam perjanjian. Akibat
hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sanksi sebagai
berikut : 33
1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
(Pasal 1243 KUH Perdata). Penggantian kerugian tidak timbul dengan
sendirinya dengan saat timbulnya kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi
keharusan pihak yang lalai setelah ada pernyataan lalai dari pihak yang
dirugikan atas terjadinya wanprestasi tersebut. Dengan kata lain, wanprestasi
31
Subekti (I), op.cit., hal. 45.
32
R. Setiawan, op.cit., hal.19.
33
terjadi apabila sebelumnya sudah pihak yang melakukan kelalaian tersebut
diperingatkan atau ditegur atas kelalaiannya tersebut.
2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan
perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).
3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237
(2) KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk
memberikan sesuatu.
4. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan di muka hakim (Pasal
181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan
dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian
disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata). Ini
berlaku untuk semua perikatan.
Berkaitan dengan adanya pernyataan lalai yang harus dilakukan
sebelumnya terhadap pihak yang melakukan wanprestasi, dalam pasal 1238
ditentukan mengenai bentuk pernyataan lalai yang dapat diberikan kepada pihak
yang lalai melakukan pelaksanaan perjanjian yaitu:
a) Berbentuk surat perintah (bevel) atau akta lain yang sejenis
b) Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri, apabila dalam surat perjanjian
telah ditetapkan ketentuan bahwa pihak dalam perjanjian dinyatakan
wanprestasi jika melakukan suatu perbuatan tertentu atau dalam jangka waktu
kelalaian dengan sendirinya dapat dikatakan lalai apabila tidak melakukan apa
yang diatur dalam perjanjian secara tepat.
c) Jika teguran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau
aanmaning dan biasa juga disebut somasi. Somasi berarti peringatan agar
pihak yang lalai melakukan kewajibannya sesuai dengan teguran atau
pernyataan lalai yang disampaikan kreditur kepadanya. Dalam somasi inilah
pihak yang merasa dirugikan atas terjadinya wanprestasi menyatakan
kehendaknya bahwa perjanjian harus dilaksanakan dalam batas waktu tertentu.
Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara
beberapa kemungkinan sebagai berikut :
1. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaannya sudah terlambat.
2. Meminta penggantian kerugian. Menurut Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi
ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga (interessen). 3. Meminta kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai
dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata).
Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1267 KUH Perdata tersebut, maka timbul persoalan
apakah perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah
harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat
hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu bersifat
constitutive dan bukannya declaratoir.34
Force Majeur diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa Force Majeur adalah debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tidak terduga lebih dulu dan tidak dapat Pada prakteknya suatu wanprestasi baru terjadi jika salah satu pihak
dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya dan akibat dari kelalaiannya
tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lainnya atau dengan kata lain,
wanprestasi ada kalau pihak yang tidak melaksanakan prestsi tersebut itu tidak
dapat membuktikan, bahwa ia telah melakukan wanprestasi di luar kesalahannya
sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.Tidak terpenuhinya prestasi
itu kadangkala disebabkan karena adanya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga
sebelumnya oleh para pihak, sehingga hal tersebut mengakibatkan salah satu
pihak tidak dapat memenuhi prestasinya. Dalam hal demikian, maka timbul
persoalan yang dinamakan force majeur.
Force majeur bisa saja terjadi dalam suatu keadaan memaksa atau suatu keadaan/ kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya, sehingga menghalangi
pihak yang lalai tersebut untuk melakukan prestasi sebelum ia lalai/ alpa, dan
keadaan tersebut diluar kekuasaan dan kehendaknya. Force majeur merupakan dasar hukum yang mengenyampingkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1239
bahwa setiap wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk
membayar ganti rugi.
34
dipertanggungkan kepadanya, maka debitur dibebaskan untuk mengganti biaya
rugi dan bunga.
Pasal 1444 dan pasal 1445 KUH Perdata lebih lanjut menentukan dalam
bagian yang mengatur mengenai musnahnya barang yang terutang. Menurut
ketentuan pasal 1444 KUH Perdata jika barang tertentu yang menjadi pokok
perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali
tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal
barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,
sedangjab dia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak
terduga, perikatan terhapus jika barangnya akan musnah secara yang sama
ditanggannya si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang
wajib membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan itu. Dengan cara
bagaimanapun suatu barang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu
tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang itu untuk mengganti
harganya. Pasal 1445 KUH Perdata menyatakan jika barang yang yang terutang
diluar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang,
maka si berutang jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan ganti rugi mengenai
barang tersebut diajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut
kepada orang yang mengutangkan kepadanya.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal 1244, 1245, serta 1444 dan pasal
1) Peristiwa yang tidak terduga
2) Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mengalami force majeur
3) Tidak ada itikad buruk dari pihak yang mengalami force majeur
4) Keadaan yang tidak disengaja oleh pihak yang mengalami force majeur 5) Keadaan itu menghalangi pihak yang mengalami force majeur untuk
melakukan prestasi
6) Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan, misalnya memperjanjikan suatu objek yang semula tidak terlarang namun sebalum
perjanjian berakhir, objek tersebut menjadi terlarang oleh peraturan
perundang-undangan
7) Keadaan diluar kesalahan pihak yang mengalami force majeur 8) Debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi
9) Kejadian tersebut tidak dapat dihindarkan oleh siapapun
10)Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian
Menurut teori Force majeur dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ajaran force majeur yang objektif atau yang bersifat mutlak (absolute) dan ajaran
force majeur subjektif yang bersifat relatif. 35
35
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Jakarta, 1994, hal. 18. Pada force majeur yang bersifat
absolut, pemenuhan prestasi sama sekali tidak lagi diharapkan, sedangkan pada
force majeur yang relatif, pemenuhan prestasi masih masih dimungkinkan tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar, baik pengorbanan yang
perundang-undangan juga dapat menjadi suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya
perjanjian dan menjadi dasar terjadinya force majeur, misalnya perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang kemudian sebelum perjanjian berakhir barang tersebut
oleh peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai barang yang dilarang
untuk diperjual belikan. Dalam hal ini larangan atau peraturan
perundang-undangan yang dimaksud harus sedemikian rupa benar-benar tidak dapat
diperhitungkan pada saat membuat perjanjian.
Selain itu dikenal pula force majeur bersifat tetap dan force majeur
bersifat sementara. Force majeur bersifat tetap bila prestasi tidak dapat dipenuhi atau kalaupun masih mungkin dapat dipenuhi tetapi pemenuhannya tidak
mempunyai arti lagi bagi pihak yang lain. Dikatakan bersifat force majeur bersifat sementara bila force majeur tersebut hanya mengakibatkan tertundanya pemenuhan prestasi untuk sementara waktu dan pemenuhannya dikemudian hari
kelak masih mempunyai arti. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tesebut dapat
disimpulkan bahwa banyak faktor yang harus diteliti dan harus dibuktikan
kebenarannya, bahwa peristiwa atau kejadian tersebut berada diluar kesalahan dan
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN
A. Pengertian dan Pengaturan Mengenai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Perjanjian pemborongan secara umum diatur dalam Bab VII A Buku III
KUH Perdata Pasal 1601 b, kemudian pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616.
Perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata bersifat pelengkap artinya
ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata tersebut dapat
digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam
perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian
pemborongan asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan.
Khusus mengenai pekerjaan pemborongan untuk pengadaan barang dan
jasa pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang
sampai dengan akhir tahun 2012 juga telah mengalami dua kali perubahan, yakni
Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 70
tahun 2012. Diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang
Jasa Konstruksi dengan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 2000, apabila pekerjaan pemborongan yang dilakukan adalah
Indonesia Tahun 1941(AV 1941) yang berarti syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum Indonesia. AV 1941 berdasarkan
surat keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 28 Mei 1941 no. 9 dan
merupakan peraturan standar atau baku bagi perjanjian pemborongan di
Indonesia, khususnya untuk proyek-proyek pemerintah.
Cara peraturan standar (AV 1941) masuk dalam perjanjian pemborongan
sebagai perjanjian standar adalah sebagai berikut:
1. Dengan penunjukkan yaitu dalam SPK atau Surat Perintah Kerja atau dalam
surat perjanjian pemborongan (kontrak) terdapat ketentuan-ketentuan yang
merujuk pada Pasal-pasal AV 1941.
2. Dengan penandatanganan yaitu dalam SPK atau dalam surat perjanjian
pemborongan (kontrak) dimuat ketentuan-ketentuan dari AV 1941 secara
lengkap.36
Sebelum dibentuk peraturan standar yang baru maka AV tetap berlaku,
namun mengingat isi dari AV 1941 ini banyak yang sudah ketinggalan jaman,
maka ketentuan-ketentuan dalam AV 1941 disesuaikan dengan perkembangan
industri maupun teknologi.
KUH Perdata merupakan Lex Generalis terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang perjanjian
pemborongan artinya jika dalam peraturan perundang-undangan terdapat
ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian pemborongan maka itulah yang berlaku.
Namun sejauh tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain maka
36
ketentuan dalam KUH Perdata tersebut yang dapat digunakan oleh para pihak
dalam perjanjian pemborongan, atau para pihak dalam perjanjian pemborongan
dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian pemborongan
asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan.
Di dalam ketentuan Pasal 1601 KUH Perdata diatur mengenai jenis-jenis
persjanjian untuk melakukan pekerjaan, sebagai berikut :37
1. Persetujuan untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
2. Persetujuan perburuhan dan;
3. Persetujuan pemborongan pekerjaan
Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah suatu perjanjian
dimana salah satu pihak menghendaki dari pihak lawannya untuk dilakukannya
suatu pekerjaaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar
upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut
samasekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah
seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah
memasang tarif jasanya tersebut. 38
Menurut Pasal 1601 a, persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan
mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya
pihak lain, si majikan untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan
menerima upah. Persetujuan atau perjanjian ini ditandai dengan ciri adanya suatu
upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan subordinatif
37
Subekti (III), Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, 1995, hal. 57-58
38
yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak
memberikan perintah-perintah yang harus ditaati pihak lain.39
Menurut Djumialdji, definisi perjanjian pemborongan yang terdapat dalam
Pasal 1601 b KUH Perdata kurang tepat. Djumialdji memberikan definisi
perjanjian pemborongan sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu,
si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan,
sedangkan pihak yang lain, yang memborongkan mengikatkan diri untuk
membayar suatu harga yang telah ditentukan.
Mengenai perjanjian pemborongan, menurut pasal 1601 b KUH Perdata,
pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si
pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi
pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang
ditentukan. Jadi dalam Perjanjian Pemborongan hanya ada dua pihak yang terkait
dalam perjanjian pemborongan yaitu pihak kesatu disebut pihak yang
memborongkan atau prinsipal dan pihak kedua disebut pihak pemborong
kontraktor.
40
Bagaimana caranya pemborong mengerjakan tidaklah penting bagi pihak
pertama tersebut, karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan
kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah dite