• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Lele Sangkuriang (Clarias sp.) Studi Kasus: Usaha Bapak Endang, Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Lele Sangkuriang (Clarias sp.) Studi Kasus: Usaha Bapak Endang, Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat"

Copied!
352
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki aneka ragam kekayaan alam baik yang bersumber dari wilayah perairan maupun dari wilayah daratan. Sektor perikanan merupakan sektor penting dalam menyumbangkan pendapatan negara secara nasional. Berdasarkan Tabel 1, kenaikan rata-rata produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan dari tahun 2004-2009 paling tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian, peternakan, dan kehutanan yaitu sebesar 27,72 persen. Pada tahun 2009 PDB perikanan mencapai Rp 177.773,90 miliar atau memberikan kontribusi sebesar 3,17 persen terhadap PDB nasional.

Tabel 1. Produk Domestik Bruto Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2004-2009 (Miliar Rupiah)

Lapangan

Usaha 2004 2005 2006 2007 2008* 2009**

Kenaikan rata-rata 2004-2009 (%) Tanaman Bahan Makanan 165.558,2 (7,21) 181.331,6 (6,54) 214.346,3 (6,42) 265.090,9 (6,71) 349.795,0 (7,06) 418.963,9 (7,46) 20,63 (0,86) Tanaman Perkebunan 49.630,9 (2,16) 56.433,7 (2,03) 63.401,4 (1,90) 81.664,0 (2,07) 105.969,3 (2,14) 112.522,1 (2,00) 18,16 (-1,30)

Peternakan 40.634,7 (1,77) 44.202,9 (1,59) 51.074,7 (1,53) 61.325,2 (1,55) 82.676,4 (1,67) 104.040,0 (1,85) 21,01 (1,21)

Kehutanan 20.290,0 (0,88) 22.561,8 (0,81) 30.065,7 (0,90) 36.154,1 (0,92) 40.375,1

(0,82) 44.952,1 (0,80)

17,54 (-1,66)

Perikanan 53.010,8 (2,31) 59.639,3 (2,15) 74.335,3 (2,23) 97.697,3 (2,47) 137.249,5 (2,77) 177.773,9 (3,17) 27,72 (6,82) Keterangan:

Nilai di dalam kurung adalah presentase setiap PDB terhadap PDB total *Angka Sementara; ** Angka Sangat Sementara

Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)1

Sektor perikanan yang mencakup kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya masing-masing menyumbangkan kontribusi yang berbeda pada volume produksi perikanan Indonesia. Kontribusi perikanan budidaya

1

(2)

2 mencapai 50,55 persen untuk keseluruhan jumlah volume produksi perikanan secara umum sebesar 10,83 juta ton pada tahun 2010. Laju pertumbuhan volume produksi perikanan budidaya secara nasional sejak tahun 2006-2010 sebesar 19,56 persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan perikanan tangkap yang hanya sebesar 2,78 persen (Siaran Pers KKP, 2011)2. Keadaan tersebut membuktikan bahwa kegiatan perikanan budidaya memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk.

Tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2009-2010 mengalami kenaikan sebesar 4,78 persen, yaitu sebesar 29,08 kg/kapita/tahun menjadi 30,47 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan ikan yang semakin meningkat dan mencapai target sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015, pemerintah melakukan program peningkatan jumlah produksi ikan yaitu lebih fokus pada kegiatan perikanan budidaya. Target produksi perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 12,26 juta ton pada tahun 2011 sebagian besar diharapkan berasal dari perikanan budidaya, yaitu sebesar 55,87 persen dari jumlah tersebut (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011).2

Perikanan budidaya yang terdiri dari beraneka ragam jenis ikan konsumsi memiliki kandungan gizi yang sangat baik bagi kesehatan manusia. Fakta menunjukkan bahwa bangsa yang gemar mengkonsumsi ikan, masyarakatnya lebih cerdas dibandingkan dengan negara-negara yang relatif sedikit dalam mengkonsumsi ikan. Negara-negara tersebut antara lain Jepang, China, Inggris dan Belanda. Salah satu komponen gizi yang terkandung dalam ikan yang diduga berperan dalam peningkatkan kecerdasan ialah Docosa Hexaenoicacid (DHA), merupakan asam lemak tak jenuh ganda berupa rantai panjang Omega-3, terdiri dari 22 atom karbon, 32 atom hydrogen dan 2 atom oksigen (Warta Pasarikan, 2010). Oleh karena itu, pemerintah memanfaatkan nilai gizi ikan sebagai upaya untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat melalui program Gerakan Makan

2

(3)

3 Ikan Nasional (Gemarikan) sejak tahun 2004.3 Adapun kandungan nilai gizi ikan yang berasal dari perikanan budidaya terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Gizi Ikan Budidaya Menurut Komoditas Utama (persen)

No. Nama Ikan Kadar Air

(persen)

Kadar Abu (persen)

Kadar Protein (persen)

Kadar Lemak (persen)

1 Bandeng 70,45 2,15 22,84 1,15

2 Lele 77,99 1,63 19,91 1,96

3 Nila 81 1,08 16,05 1,34

4 Rumput Laut 10,34 38,64 3,07 4,38

5 Kerapu 81,2 1,11 16,97 0,47

6 Ikan Mas 76.7±4.9 0.8±0.2 14.61±0.00 0.2±0.00

7 Udang Vannamei 81,35±0,97 0,64±0,06 17,43±0,89 0,15±0,03

8 Kakap Merah 80,51 1,33 17,82 0,55

Sumber: Database Nilai Gizi Ikan, Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)4

Pada Tabel 2, kadar protein ikan lele lebih unggul dibandingkan enam jenis ikan lainnya. Kadar protein ikan lele sebesar 19,91 persen menduduki urutan kedua setelah ikan bandeng. Kandungan nilai gizi yang ada pada ikan lele dijadikan salah satu alasan bagi pemerintah untuk berkonsentrasi dalam pengembangan produksi lele secara nasional selain kemudahan proses budidayanya. Sepuluh komoditas unggulan perikanan budidaya yang ditetapkan pemerintah untuk mencapai target produksi sebesar 6,85 juta ton pada tahun 2011 adalah lele, rumput laut, udang, kakap, kerapu, bandeng, mas, nila, patin dan gurame (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2011).

Salah satu langkah pemerintah dalam meningkatkan produksi lele secara nasional adalah dengan memunculkan jenis lele unggulan melalui Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Pada tahun 2004, BBPBAT Sukabumi berhasil memunculkan jenis lele baru yang diberi nama lele

3

Warta Pasar Ikan.http://www.wpi.kkp.go.id/epaper/wpi0410/pages/wpi_april10.pdf. Gemarikan Masa Depan Bangsa. Diakses pada tanggal 30 Maret 2011.

4

(4)

4 sangkuriang. Lele sangkuriang berasal dari silang balik (backcross) sebagai upaya mengembalikan penurunan kualitas lele karena adanya perkawinan sekerabat (inbreeding) pada lele dumbo (BBPBAT Sukabumi, 2004). Persilangan lele dumbo yang dilakukan BBPBAT mirip dengan kisah “Sangkuriang”, yaitu perkawinan antara induk lele dumbo betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6). Induk F2 dan F6 adalah induk lele yang dimiliki BBPBAT Sukabumi. Induk betina F2 adalah keturunan kedua lele dumbo yang dikenalkan ke Indonesia tahun 1985, sementara itu induk jantan F6 adalah keturunan dari induk betina F2 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2010).

Produksi lele dengan induk lele sangkuriang diharapkan mampu meningkatkan jumlah produksi lele secara nasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010 telah menetapkan lima lokasi pengembangan minapolitan lele yang akan dipacu berproduksi hingga 30 ton per hari. Sentra-sentra besar tersebut akan berada di daerah Bogor, Boyolali, Pacitan, Gunung Kidul dan Blitar.5

Kabupaten Bogor sebagai wilayah yang dipusatkan untuk kawasan pengembangan produksi lele adalah tepat, karena merupakan lokasi pertama yang dijadikan tempat penyebaran jenis lele sangkuriang selain Yogyakarta. Pemerintah menunjuk Kabupaten Bogor sebagai tempat penyebaran lele sangkuriang untuk pertama kali karena daya dukung sarana dan potensi yang dimiliki.

Sarana-sarana yang dimiliki Kabupaten Bogor seperti air, pakan, benih dan pasar mendukung untuk pengembangan lele.6 Kabupaten Bogor memiliki lokasi pemasaran ikan di Kecamatan Ciawi, Ciseeng dan Kecamatan Sukaraja yaitu Holding Ground, Pasar Benih Ikan dan Pasar Ikan Higienis (Disnakan Kabupaten Bogor, 2009). Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2009 jumlah produksi lele konsumsi mencapai 18.312,9 ton. Jumlah tersebut merupakan kombinasi jenis lele

5

Kementerian Kelautan dan Perikanan. http://www.kkp.go.id/. KKP Anggarkan Rp 5 Miliar untuk Wirausaha Pemula. Diakses pada tanggal10 Maret 2011.

6

(5)

5 sangkuriang dan lele Dumbo. Pasar di Kabupaten Bogor tidak membedakan jenis lele konsumsi yang akan dibeli, baik jenis lele sangkuriang maupun dumbo. Hal ini karena secara fisik kedua jenis lele tersebut sulit dibedakan.7 Produksi lele pada tahun 2009 telah menjadikan Kabupaten Bogor sebagai penghasil lele terbesar di Provinsi Jawa Barat atau sebagai sentra produksi lele.

Selain itu, ikan lele merupakan komoditas yang mendominasi sektor pembesaran perikanan budidaya di Kabupaten Bogor pada tahun 2009.8 Berdasarkan Tabel 3, jumlah produksi komoditas lele konsumsi paling tinggi diantara jenis ikan konsumsi lainnya serta mengalami pertumbuhan positif sebesar 87,95 persen dari tahun 2008-2009.

Tabel 3. Perkembangan Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2009

No. Jenis Ikan

Produksi (ton) Kenaikan rata-rata

2008-2009 (persen)

2008 2009

1 Lele 9.744,80 18.315,02 87,95

2 Mas 8.124,35 3.859,62 -52,49

3 Gurame 1.854,82 1.946,43 4,94

4 Nila 3.494,96 1.842,17 -47,29

5 Bawal 904,91 2.026,14 123,91

6 Patin 571,76 584,84 2,29

7 Tawes 278,80 75,76 -72,83

8 Tambakan 48,50 33,67 -30,58

9 Mujair 29,21 31,68 8,46

10 Nila 8,23 2,10 -74,46

11 Lain-lain 26,95 25,30 -6,14

Jumlah 744,600.00 847,112.06 13,77

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2009)

Semakin tingginya jumlah produksi ikan lele konsumsi atau lele untuk pembesaran, maka akan semakin meningkatkan jumlah permintaan benih ikan lele. Permintaan benih ikan lele di Kabupaten Bogor juga akan semakin meningkat karena kabupaten ini merupakan salah satu wilayah sumber benih ikan

7

Indonesianaquaculture. http://www.indonesianaquaculture.com/archive/index.php/t-161.html. Asal Usul Lele Sangkuriang. Diakses pada tanggal 21 April 2011.

8

(6)

6 lele untuk kebutuhan lele pembesaran daerah lain. Sumber benih ikan lele di Indonesia umumnya berasal dari Kabupaten Bogor, Bekasi, Sukabumi, Subang, Indramayu, Cirebon, Tulung Agung, Blitar dan kawasan budidaya ikan air tawar sekitarnya.9

Namun, kebutuhan permintaan benih tersebut belum didukung oleh kondisi Kabupaten Bogor. Produksi benih di Kabupaten Bogor justru menunjukkan tren yang menurun dari tahun 2008-2009 sebagaimana terlihat pada Tabel 4, yaitu mengalami penurunan sebesar 74,65 persen.

Tabel 4. Perkembangan Produksi Benih Ikan Lele di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2009

No. Jenis Ikan Produksi (ribu ekor) r (persen)

2008 2009

1 Lele 244.634,00 62.020,27 -74,65

2 Nila 109.580,00 35.700,40 -67,42

3 Nilem 397,00 0,00 -100,00

4 Mujair 2.181,00 693,06 -68,22

5 Gurame 92.282,00 36.166,89 -60,81

6 Tawes 9.459,00 5.510,48 -41,74

7 Patin 79.893,00 26.358,49 -67,01

8 Mas 166.502,00 56.663,19 -65,97

9 Sepat Siam 488,00 0,00 -100,00

10 Tambakan 6.051,00 1.807,47 -70,13

11 Bawal 33.133,00 622.191,81 1.777,86

Jumlah 744.600,00 847.112,06 13,77

Sumber: Disnakan Kabupaten Bogor (2009)

Tanpa adanya usaha pembenihan, usaha pembesaran ikan lele konsumsi tidak dapat dijalankan. Penurunan jumlah produksi benih membuka peluang masyarakat untuk mengusahakan maupun memperluas usaha pembenihan lele sangkuriang di Kabupaten Bogor. Lele sangkuriang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan lele dumbo dari segi jumlah telur yang

9

(7)

7 dihasilkan, derajat penetasan telur, pertumbuhan harian bobot dan toleransi terhadap penyakit sebagaimana terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Keunggulan Lele Sangkuriang Dibandingkan Lele Dumbo

No. Karakteristik Lele Sangkuriang Lele Dumbo

1 Fekunditas (butir/kg induk betina) 40.000-60.0000 20.0000-30.0000

2 Derajat penetasan telur (%) >90 >80

3 Pertumbuhan harian bobot benih umur 5-26 hari (%)

29,26 20,38

4 Intensitas Trichodina sp. pada pendederan di kolam (individu)

30-40 >100

5 Intensitas Ichthiophthirius sp. pada pendederan di kolam (individu)

6,30 19,50

Sumber: BBPBAT Sukabumi (2004)

Berdasarkan keunggulan-keunggulan pada Tabel 5, lele sangkuriang akan lebih menguntungkan untuk diusahakan dibandingkan dengan lele dumbo. Namun, masih banyak masyarakat di Kabupaten Bogor yang menggunakan lele dumbo untuk usaha pembenihan. Hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya petani pembenihan lele di sentra produksi lele Kabupaten Bogor yang menggunakan lele dumbo dibandingkan lele sangkuriang, yaitu Kecamatan Kemang, Gunung Sindur, Ciseeng dan Parung. Kurangnya minat petani dalam mengusahakan lele sangkuriang salah satunya karena lele sangkuriang relatif lebih baru dibandingkan dengan lele dumbo. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kelayakan usaha pembenihan lele sangkuriang karena akan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ikan.

Analisis kelayakan akan sangat baik dilakukan pada usaha pembenihan lele sangkuriang yang telah berhasil, dengan tujuan untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa usaha pembenihan lele sangkuriang juga menguntungkan sebagaimana usaha pembenihan lele dumbo. Usaha pembenihan lele sangkuriang di Kabupaten Bogor yang telah berhasil dan merupakan lokasi percontohan di Kabupaten Bogor adalah usaha milik Bapak Endang di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

(8)

8 pembenihan lele sangkuriang. Adanya pembinaan dan pengawasan dari BBPBAT telah membuat usaha Bapak Endang semakin kaya akan ilmu pembenihan lele sangkuriang, sehingga cocok digunakan sebagai lokasi percontohan. Sejak berdiri pada tahun 2007, usaha ini telah memiliki 98 kolam pembenihan pada lahan seluas 2.567 m2 yang pada awalnya hanya memiliki kurang dari 10 kolam.

1.2 Perumusan Masalah

Sebanyak 98 kolam pembenihan yang dimiliki Bapak Endang mampu menghasilkan produksi rata-rata per bulan sebanyak 370.971 ekor dengan daerah pemasaran Bogor, Bekasi, Jakarta, Parung, Jonggol, Bandung, Tasik dan Garut. Jumlah benih tersebut belum mampu memenuhi permintaan yang ada. Masih terdapat 2.300.000 ekor benih per bulan dari daerah Bekasi dan Parung yang belum mampu terpenuhi karena keterbatasan jumlah kolam yang dimiliki. Keadaan tersebut menjadikan Bapak Endang berencana untuk melakukan pengembangan usaha.

Pengembangan usaha harus disesuaikan dengan keadaan lokasi rencana pengembangan. Lokasi usaha untuk rencana pengembangan terletak di Desa Cilember, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Bapak Endang memilih desa tersebut karena kondisi iklim dan tanah yang sesuai untuk budidaya pembenihan lele sangkuriang. Bapak Endang telah berhasil melakukan budidaya pembenihan lele sangkuriang sebanyak 9 kolam di Desa Cilember dengan kesesuaian hasil produksi seperti di Desa Gadog. Faktor lain yang menjadikan Bapak Endang memilih Desa Cilember untuk lokasi pengembangan karena masih terdapat lahan kosong yang belum termanfaatkan.

(9)

9 Alternatif rencana pengembangan usaha dapat menggunakan lahan sendiri atau lahan sewa. Sedangkan alternatif penggunaan modal dapat menggunakan modal sendiri, modal pinjaman atau campuran (sendiri dan pinjaman) karena telah ada bank pemerintah yang menawarkan pinjaman kepada usaha Bapak Endang, yaitu Bank Mandiri, Bank BRI dan Bank BTN. Oleh karena itu, diperlukan analisis kelayakan usaha untuk memilih alternatif penggunaan lahan maupun modal yang paling menguntungkan untuk rencana pengembangan.

Analisis kelayakan yang harus dilakukan pada usaha saat ini maupun rencana pengembangan terdiri dari aspek non finansial (aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, aspek sosial dan aspek lingkungan) serta aspek finansial. Kajian aspek-aspek tersebut menjadi penting untuk dilakukan karena antara aspek satu dengan aspek yang lain memiliki keterkaitan serta sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan usaha pembenihan lele sangkuriang. Oleh karena itu, analisis aspek-aspek tersebut harus dilakukan secara keseluruhan sesuai dengan keadaan usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang.

Selama Bapak Endang melakukan usaha, harga jual benih tidak pernah mengalami penurunan karena permintaan benih juga tidak pernah mengalami penurunan. Namun, harga pakan usaha justru selalu mengalami kenaikan. Keberhasilan usaha pembenihan lele dipengaruhi oleh jumlah produksi benih, harga jual benih serta biaya pakan. Jumlah produksi benih yang dihasilkan pada setiap siklus tidak bisa dipastikan secara tepat. Hal tersebut terjadi karena produksi benih lele dipengaruhi oleh kondisi perubahan cuaca, jenis pakan yang digunakan, hama dan penyakit, serta teknis perawatan benih. Oleh karena itu, perlu diketahui sensitivitas kenaikan biaya pakan dan penurunan jumlah produksi benih agar usaha pembenihan lele sangkuriang tetap layak untuk dilaksanakan.

Berdasarkan hal tersebut, perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kelayakan non finansial usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang dari aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial serta lingkungan?

(10)

10 3. Bagaimana sensitivitas peningkatan biaya pakan dan penurunan jumlah produksi terhadap kelayakan usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang sebelum dan setelah pengembangan usaha?

4. Bagaimana alternatif penggunaan lahan dan modal yang paling menguntungkan untuk rencana pengembangan usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelayakan non finansial usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang dari aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial serta lingkungan.

2. Menganalisis kelayakan finansial usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang sebelum dan setelah pengembangan usaha.

3. Menganalisis sensitivitas peningkatan biaya pakan dan penurunan jumlah produksi terhadap kelayakan usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang sebelum dan setelah pengembangan usaha.

4. Menganalisis alternatif penggunaan lahan dan modal yang paling menguntungkan untuk rencana pengembangan usaha pembenihan lele sangkuriang Bapak Endang.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, bagi:

1. Peneliti, sebagai wadah untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama menempuh studi di IPB.

2. Pelaku agribisnis, diharapkan dapat memberikan alternatif jenis lahan dan modal yang tepat untuk usaha pembenihan lele sangkuriang.

(11)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lele Sangkuriang

Budidaya lele sangkuriang dapat dilakukan pada ketinggian 1 m – 800 m dpl dan tidak memerlukan persyaratan lokasi khusus untuk jenis tanah maupun air. Melalui penggunaan teknologi yang memadai, budidaya lele sangkuriang masih dapat dilakukan sampai ketinggian di atas 800 m dpl. Tata ruang dan lingkungan sosial sekitar harus tetap diperhatikan apabila melakukan budidaya secara massal (BBPBAT Sukabumi, 2004). Budidaya lele sangkuriang baik pembenihan maupun pembesaran dapat dilakukan pada kolam tanah, bak tembok maupun bak plastik. Sedangkan sumber air dapat berasal dari aliran irigasi, air sumur (air permukaan atau sumur dalam) atau air hujan yang telah dikondisikan terlebih dahulu.

Induk lele sangkuriang yang akan digunakan untuk produksi benih harus berasal dari keturunan yang berbeda serta memiliki karakteristik kualitatif dan kuantitatif yang baik berdasarkan pada morfologi, fekunditas, daya tetas telur, pertumbuhan dan sintasannya. Adapun persyaratan reproduksi induk betina lele sangkuriang adalah memiliki umur minimal satu tahun, berat 0,7–1 kg dan panjang standar 25-30 cm. Sedangkan persyaratan induk jantan yaitu, memiliki umur minimal satu tahun, berat 0,5-0,75 kg dan panjang standar 30-35 cm. Induk betina yang siap untuk dipijahkan adalah induk yang sudah matang gonad, ditandai dengan keadaan perut lele yang membesar dan lembek. Sedangkan induk jantan ditandai dengan warna alat kelamin yang berwarna kemerahan (BBPBAT Sukabumi, 2004).

(12)

12 pakan 2–3 persen dari bobot biomasa dan frekuensi pemberian pakan sebanyak tiga kali dalam satu hari (BBPBAT Sukabumi, 2004).

Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir untuk menjamin ketersediaan oksigen terlarut dan penggantian air kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi. Penetasan telur lele sangkuriang akan terjadi selama 30 – 36 jam setelah pembuahan pada suhu 22 – 25 oC. Larva lele yang baru menetas memiliki cadangan makanan berupa kantung telur (yolksack) yang akan diserap sebagai sumber makanan bagi larva sehingga tidak perlu diberi pakan. Penetasan telur dan penyerapan yolksack akan lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Tempat pemeliharaan larva dilakukan pada hapa penetasan. Setelah larva berumur 4–5 hari atau ketika larva sudah dapat berenang dan berwarna hitam maka pakan sudah dapat diberikan.

2.2 Pengembangan Usaha

Rohmawati (2010) meneliti mengenai analisis kelayakan pengembangan usaha ikan hias air tawar pada Arifin Fish Farm, di Desa Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Penelitian Rohmawati bertujuan untuk menganalisis kelayakan pengembangan usaha tersebut apabila dilihat dari aspek non finansial (aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek pasar), aspek finansial (NPV, IRR, Net B/C dan Payback Period) serta menganalisis sensitivitas perubahan dalam harga penjualan.

Apabila dilihat dari aspek non finansial, pengembangan usaha pada Arifin Fish Farm adalah layak untuk dijalankan. Permintaan ikan hias air tawar masih lebih tinggi dibandingkan penawaran yang ada. Berdasarkan aspek teknis, usaha ini layak untuk dilaksanakan. Arifin Fish Farm tidak mengalami kesulitan dalam pengadaan atau ketersediaan induk ikan hias air tawar maupun bahan baku untuk usaha, penggunaan tenaga kerja berasal dari warga sekitar lokasi usaha, lokasi usaha dekat dengan pasar, suhu dan pH di lokasi usaha mendukung untuk pertumbuhan ikan, memiliki alat transportasi serta sikap masyarakat yang mendukung adanya kegiatan usaha ikan hias air tawar.

(13)

13 hampir seluruh modal yang digunakan berasal dari satu orang (pemilik usaha). Keberadaan usaha ini juga tidak mencemari lingkungan, karena limbah buangan tidak memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar.

Begitu juga apabila dilihat dari aspek finansial melalui nilai kriteria investasi, pengembangan usaha dapat dilaksanakan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap perubahan harga jual ikan sebesar 20 persen dan 30 persen pada rencana pengembangan usaha dengan lahan 800 m2 menunjukkan bahwa, hasil penurunan harga jual dari 20 persen usaha ini masih layak untuk dijalankan dengan nilai NPV sebesar Rp 1.125.203.260,00, Net B/C sebesar 2,43, nilai IRR sebesar 34 persen dan Payback Periode selama 3,15 tahun. Sedangkan dari hasil penurunan harga jual sebesar 30 persen, perhitungan nilai NPV menghasilkan nilai Rp 667.985.016,00, Net B/C sebesar 1,79, nilai IRR sebesar 24 persen dan

Payback Periode selama 4,34 tahun.

Agustika (2009) juga meneliti mengenai kelayakan perluasan usaha, yaitu tentang analisis kelayakan perluasan usaha pemasok ikan hias air tawar Budi Fish Farm di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan perluasan usaha pada Budi Fish Farm dilihat dari aspek finansial (analisis biaya manfaat selama sepuluh tahun), aspek non finansial dan analisis switching value. Berdasarkan hasil analisis finansial melalui perluasan usaha untuk waktu sepuluh tahun, usaha ini layak untuk dilaksanakan. Hal ini dilihat dari hasil perhitungan NPV>0, Net B/C>1 dan IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku. Hasil perhitungan analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya produksi variabel (BBM dan pakan cacing) menunjukkan bahwa usaha ini tetap layak untuk dilanjutkan. Berdasarkan hasil perhitungan, adanya kenaikan harga bahan bakar minyak lebih peka terhadap jalannya usaha pemasok ikan hias air tawar dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi pada harga pakan cacing.

(14)

14 sekitar untuk penyediaan lapangan pekerjaan. Aspek manajemen usaha ini masih memiliki struktur usaha yang sederhana, namun perusahaan tetap bisa menjalankan fungi manajemennya dengan baik.

Wijayanto (2005), meneliti mengenai analisis kelayakan finansial usaha pembesaran ikan mas kolam air deras pada MN Fish Farm, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kelayakan investasi usaha pembesaran ikan mas menggunakan dua skenario, yaitu menggunakan modal sendiri dan menggunakan pinjaman ditambah modal sendiri sebagai alternatif perluasan usaha baru. Untuk skenario II (menggunakan modal sebagian besar pinjaman dari bank ditambah modal sendiri) terbagi menjadi dua, yaitu dengan tingkat diskonto 6 persen dan 15 persen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua skenario layak untuk dijalankan. Namun, jika dilihat dari nilai IRR dan Net B/C, pelaksanaan usaha dengan modal pinjaman bank dengan tingkat diskonto 6 persen lebih layak untuk dilaksanakan dibandingkan skenario I (seluruh modal yang digunakan adalah modal sendiri) dan skenario II yang menggunakan tingkat diskonto 15 persen. Apabila dilihat dari hasil analisis switching value dengan tingkat diskonto 6 persen, usaha ini tidak peka terhadap kenaikan harga input.

Usaha ini juga masih layak untuk dijalankan jika terjadi penurunan harga output sebesar 5,56 persen. Namun, usaha menjadi tidak layak jika terjadi penurunan harga output sebesar 11,11 persen atau 16,67 persen (usaha peka terhadap adanya penurunan harga output). Kombinasi penurunan harga output sebesar 5,56 persen dan kenaikan harga pakan sebesar 7,91 persen tidak berpengaruh terhadap kelayakan usaha. Tetapi kombinasi penurunan harga output sebesar 5,56 persen dan kenaikan harga benih sebesar 30,4 persen menjadikan usaha tidak layak untuk dilaksanakan.

(15)

15 analisis finansial menggunakan kriteria investasi NPV, IRR, Net B/C dan Payback Period. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan alat analisis non finansial dan finansial yang sama dengan penelitian sebelumnya.

2.3 Alternatif Penggunaan Modal

Abriyanti (2007), meneliti mengenai kelayakan pengusahaan sayuran organik di Matahari Farm, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jenis permodalan yang paling baik digunakan dalam pengembangan usaha, yaitu dengan membuka lahan baru untuk menambah

greenhouse. Alternatif penggunaan modal yang dijadikan skenario pada penelitian ini adalah dengan menggunakan modal sendiri (Skenario I), modal pinjaman (skenario II) serta kombinasi penggunaan modal sendiri dan modal pinjaman dengan perbandingan masing-masing 50 persen (Skenario III). Adapun alat analisis yang digunakan untuk memilih jenis permodalan adalah dengan menggunakan kriteria investasi Net Present Value (NPV), Gross Benefit and Cost Ratio (Gross B/C), Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Period (PP). Untuk mengetahui pengaruh perubahan yang mungkin terjadi pada usaha, digunakan analisis sensitivitas dengan metode switching value. Analisis tersebut dapat menunjukkan pesentase penurunan penjualan dan kenaikan biaya variabel yang masih dapat ditolerir agar usaha tetap layak dilaksanakan.

Hasil penelitian pada analisis kriteria investasi menunjukkan bahwa usaha dengan menggunakan modal sendiri (Skenario I) merupakan usaha yang paling menguntungkan untuk dilaksanakan. Hal ini karena Skenario I memiliki nilai NPV, Gross B/C, IRR dan PP yang paling besar diantara skenario yang lain. Hasil analisis switching value diketahui bahwa skenario II merupakan skenario yang sensitif atau peka terhadap perubahan yang terjadi baik pada parameter penurunan penjualan maupun peningkatan biaya variabel. Sedangkan skenario I merupakan skenario yang paling tidak sensitif terhadap kedua parameter

(16)

16 Mustikasari (2010) meneliti mengenai kelayakan finansial usaha ternak sapi perah pada peternak anggota KPSBU TPK Cibedug Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk memilih alternatif modal yang paling baik untuk digunakan dalam usaha. Skenario analisis untuk memilih alternatif modal adalah dengan menggunakan modal sendiri dan dengan menggunakan modal pinjaman dari bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha yang menggunakan modal sendiri lebih layak dibandingkan dengan usaha yang menggunakana modal pinjaman dari bank. Hal ini karena usaha pada Skenario I menghasilkan nilai kriteria investasi Net Present Value (NPV), Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR) yang lebih besar dibandingkan dengan usaha pada Skenario I. Selain itu, nilai Payback Period (PP) pada usaha Skenario I lebih cepat dibandingkan dengan Skenario II.

Fakhruzzaman (2010) meneliti mengenai kelayakan usaha pembenihan ikan nila gesit pada unit pembenihan rakyat Citomi Desa Tanggulan Barat, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Komoditi ikan nila gesit merupakan jenis ikan nila baru yang dimunculkan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) untuk memperbaiki kualitas induk yang menurun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha pembenihan nila janis baru, yaitu jenis ikan nila gesit. Penelitian tentang kelayakan tersebut perlu dilakukan karena kualitas nila gesit yang lebih baik dibandingkan nila lainnya menurut uji laboratorium BBPBAT belum tentu sesuai dengan keadaan usaha yang ada di lapangan. Analisis kelayakan usaha tersebut menggunakan dua skenario dalam pemilihan alternatif modal, apakah harus menggunakan modal sendiri atau menggunakan modal pinjaman dari bank.

Hasil penelitian Fakhruzzaman menunjukkan bahwa penggunaan modal sendiri dalam usaha pembenihan ikan nila gesit lebih layak dibandingkan dengan usaha yang menggunakan modal dari bank karena nilai kriteria investasi NPV dan

(17)
(18)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Studi Kelayakan Proyek

Proyek merupakan suatu kegiatan untuk membangun sistem yang belum ada. Sistem dibangun dahulu oleh proyek, kemudian dioperasionalkan secara rutin (Umar, 2009). Menurut Gittinger (1986), proyek merupakan suatu kegiatan yang mengeluarkan uang atau biaya-biaya dengan harapan akan memperoleh hasil dan yang secara logika merupakan wadah untuk melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan, pembiayaan serta pelaksanaan dalam satu unit. Proyek juga merupakan suatu elemen operasional yang paling kecil yang dipersiapkan dan dilaksanakan sebagai suatu kesatuan yang terpisah dalam suatu perencanaan nasional atau program pembangunan pertanian. Analisis evaluasi proyek membahas mengenai kelayakan suatu proyek (gagasan usaha) yang dilihat dari pengusaha secara individu serta dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan. Evaluasi proyek dapat juga digunakan untuk menilai dan memilih dari bermacam-macam investasi yang mungkin untuk dikembangkan sesuai dengan kemampuan investasi pengusaha (Ibrahim, 2003). Studi kelayakan proyek harus dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam industrialisasi suatu negara, serta untuk menghindari keterlanjuran penanaman modal yang terlalu besar pada kegiatan yang ternyata tidak menguntungkan (Jumingan, 2009).

3.1.2 Aspek-Aspek Studi Kelayakan

(19)

19 Menurut Gittinger (1986), terdapat enam aspek yang harus dipertimbangkan dalam melaksanakan proyek pertanian, yaitu aspek teknis, aspek institusional-organisasi-manajerial, aspek sosial, aspek komersial atau pasar, aspek finansial dan aspek ekonomi. Menurut Ibrahim (2003), dalam menyusun sebuah studi kelayakan, harus meliputi sekurang-kurangnya antara lain aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek organisasi dan manajemen serta aspek ekonomi dan keuangan. Nurmalina et al. (2009) menyatakan bahwa secara umum aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam studi kelayakan yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi dan budaya, aspek lingkungan serta aspek finansial. Berdasarkan teori-teori tersebut, terdapat enam aspek yang perlu dianalisis dalam studi kelayakan proyek, yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, aspek sosial dan aspek lingkungan.

3.1.2.1 Aspek Pasar

Inti dari penyusunan studi kelayakan adalah aspek pasar (Ibrahim, 2003). Meskipun berdasarkan analisis aspek teknis usaha sudah menunjukkan kelayakan, akan tidak ada artinya jika produk tersebut tidak dapat dipasarkan. Oleh karena itu, aspek pemasaran perlu diuraikan secara jelas dan realistis mengenai prospek masa depan dan masa lalu produk yang dihasilkan. Selain itu, perlu juga mengetahui peluang dan kendala yang mungkin akan dihadapi dalam pemasaran produk tersebut. Menurut Nurmalina et al. ( 2009), untuk memperoleh aspek pasar yang baik, perlu mengetahui bagaimana pola permintaan produk, baik permintaan secara total maupun terperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan besar pemakai. Pada unsur ini juga dibutuhkan perkiraan permintaan masa depan.

(20)

20 pemasaran) serta identifikasi siklus kehidupan produk. Selanjutnya, perkiraan penjualan yang dapat dicapai perusahaan juga harus diketahui (market share yang bisa dikuasai perusahaan).

3.1.2.2 Aspek Teknis

Aspek teknis adalah suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan bisnis secara teknis dan pengoperasiannya setelah bisnis tersebut selesai dibangun. Melalui aspek teknis, dapat diketahui juga rancangan awal penaksiran biaya investasi dan juga biaya eksploitasinya. Aspek teknis yang perlu dianalisis antara lain lokasi bisnis, besarnya skala operasi/luas produksi yang ditetapkan untuk mencapai suatu tingkatan skala ekonomis, kriteria mesin dan

equipment utama serta alat pembantu mesin dan equipment, proses produksi yang dilakukan dan desain layout pabrik (layout bangunan dan fasilitas lain) serta ketepatan jenis teknologi yang digunakan (Nurmalina et al., 2009).

Jika jenis studi kelayakan yang dipilih merupakan usaha pada cabang produksi atau pengolahan, maka faktor utama yang perlu dianalisis adalah lokasi usaha/pabrik yang akan dikembangkan. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi bahan baku, keadaan pasar, penyediaan tenaga kerja, transportasi dan fasilitas tenaga listrik serta penanganan limbah. Sumber bahan baku tersebut harus diketahui asalnya, apakah dari dalam negeri, luar negeri, atau dari dalam dan luar negeri. Selain itu, perlu dianalisis juga jumlah dan kualitas bahan baku agar kontinuitas usaha yang direncanakan dapat terjamin. Faktor teknis lain yang sebaiknya diperhatikan adalah kemungkinan untuk melakukan perluasan usaha, baik dari segi ketersediaan areal maupun situasi dan kondisi lingkungan tempat dilakukan perlusan usaha (Ibrahim, 2003).

3.1.2.3 Aspek Manajemen

(21)

21 dikerahkan. Hal ini karena pihak manajemen merupakan pihak yang mengelola uang, tanah, mesin, bahan baku dan tenaga kerja untuk mencapai tujuan bisnis yang dikehendaki (Nurmalina et al., 2009).

Terdapat dua pembagian dari aspek manajemen, yaitu manajemen yang mempelajari dalam masa pembangunan bisnis dan manajemen dalam masa operasi. Hal yang tercakup dalam manajemen pada masa pembangunan adalah siapa pelaksana bisnis, jadwal penyelesaian bisnis dan siapa yang melakukan studi masing-masing aspek kelayakan bisnis. Sementara itu, manajemen dalam masa operasi mempelajari tentang bentuk organisasi/badan usaha yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi masing-masing jabatan, jumlah tenaga kerja yang digunakan serta menentukan anggota direksi dan tenaga-tenaga kerja inti (Nurmalina et al., 2009). Menurut Griffin (2002), manajemen adalah kumpulan dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian.

3.1.2.4. Aspek Hukum

Aspek ini mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan digunakan dalam menjalankan bisnis serta jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber dana berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat dan izin (Nurmalina et al., 2009). Bentuk-bentuk usaha di Indonesia berdasarkan aspek hukum antara lain adalah perusahaan perorangan, firma, perseroan komanditer (CV), perseroan terbatas (PT), koperasi, perusahaan negara (PN) serta perusahaan pemerintah yang lain (Umar, 2009). Manfaat aspek hukum lainnya yaitu untuk mempermudah kegiatan bisnis pada saat menjalin jaringan kerjasama dengan relasi usaha.

(22)

22

3.1.2.5 Aspek Sosial

Aspek sosial memperhatikan manfaat dan pengorbanan sosial yang mungkin dialami oleh masyarakat pada lokasi sekitar proyek (Nurmalina et al., 2009). Selain mencari keuntungan, perusahaan juga harus mengemban misi sosial kemasyarakatan, agar antara perusahaan dengan masyarakat dapat hidup saling menguntungkan. Manfaat-manfaat sosial yang dapat diterima oleh masyarakat di sekitar proyek antara lain terbukanya lapangan kerja baru, dapat melaksanakan alih teknologi serta peningkatan mutu hidup (Umar, 2009). Dampak sosial yang timbul karena adanya proyek antara lain tersedianya sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, penerangan, telepon, air, tempat kesehatan, pendidikan, sarana olahraga dan sarana ibadah (Kasmir dan Jakfar, 2009).

3.1.2.6 Aspek Lingkungan

Studi lingkungan usaha adalah suatu langkah yang penting dilakukan dengan tujuan untuk menemukan apakah lingkungan dimana usaha itu akan berdiri nantinya tidak akan menimbulkan ancaman atau justru dapat memberikan peluang di luar dari usaha yang utama (Jumingan, 2009). Analisis mengenai dampak lingkungan perlu diketahui serta direalisasikan, dengan demikian suatu bisnis hendaknya memperhatikan lingkungan hidup, baik untuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan serta lingkungan alam lain (Umar, 2009). Pertimbangan mengenai sistem alami dan kualitas lingkungan dalam analisis suatu bisnis justru akan menunjang kelangsungan suatu bisnis itu sendiri, karena tidak ada bisnis yang akan bertahan lama apabila tidak bersahabat dengan lingkungan (Hufschmidt et al., 1987, diacu dalam Nurmalina et al., 2009).

3.1.2.7 Aspek Finansial

(23)

23

3.1.3 Teori Biaya dan Manfaat

Gittinger (1986) menjelaskan bahwa analisis ekonomi proyek pertanian bertujuan untuk membandingkan biaya-biaya dengan manfaatnya dan menentukan proyek-proyek yang mempunyai keuntungan yang layak. Biaya merupakan segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu suatu tujuan. Jenis biaya dalam evaluasi proyek pada umumnya dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu biaya langsung dan biaya tidak langsung (Ibrahim, 2003). Biaya langsung adalah biaya yang berhubungan langsung dengan kepentingan proyek, seperti biaya investasi, biaya operasi dan biaya pemeliharaan proyek.

Biaya investasi dalam sebuah proyek terdiri dari biaya pembangunan konstuksi dan biaya peralatan lainnya. Biaya operasi dan pemeliharaan proyek terdiri dari biaya penyusutan, biaya bunga bank, biaya tanah, modal kerja, biaya pengganti, serta berbagai biaya lainnya sesuai dengan kebutuhan biaya dari masing-masing proyek. Biaya tidak langsung merupakan biaya yang perlu diperhitungkan dalam menganalisis proyek, seperti biaya polusi udara karena adanya proyek, biaya untuk mengatasi pencemaran, bising dan berbagai biaya lainnya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak negatif atas keberadaan proyek.

Menurut Ibrahim (2003), manfaat proyek apabila dilihat dari evaluasi proyek adalah penerimaan yang dihasilkan suatu proyek sebelum dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Jika dilihat dari sifatnya, manfaat proyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Manfaat langsung (ditect benefits), merupakan manfaat yang diterima sebagai akibat adanya proyek. Manfaat tersebut antara lain naiknya nilai hasil produksi barang atau jasa, perubahan bentuk dan turunnya biaya.

(24)

24 3) Manfaat yang tidak dapat dilihat (intangible benefits), merupakan manfaat dari pembangunan proyek yang sulit diukur dalam bentuk uang, seperti perubahan pola fikir masyarakat, perbaikan lingkungan, berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional dan kemantapan tingkat harga.

Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan suatu proyek merupakan perbandingan antara jumlah nilai yang diterima sebagai manfaat dari investasi tersebut dengan manfaat-manfaat dalam situasi tanpa proyek. Nilai perbedaannya berupa tambahan manfaat bersih yang akan muncul dari investasi dengan adanya proyek (Gittinger, 1986). Menurut Kadariah (1988), rumus yang digunakan untuk membandingkan biaya dan manfaat (kriteria kelayakan investasi) yang dipakai dalam penilaian kelayakan suatu proyek adalah Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value), Rasio Manfaat Biaya Bersih (Net Benefit and Cost Rasio), Tingkat Pengembalian Investasi (Internal Rate of Return) dan Masa Pengembalian Investasi (Payback Period).

3.1.3.1 Net Present Value (NPV)

Net Present Value merupakan selisih antara manfaat dan biaya atau disebut dengan arus kas bersih. Suatu bisnis dapat disebut layak jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan. Suatu bisnis dikatakan layak jika nilai NPV lebih besar dari nol (NPV>0), yang memiliki arti bahwa bisnis menguntungkan atau memberikan manfaat. Apabila suatu bisnis memiliki nilai NPV lebih kecil dari nol, maka bisnis tersebut tidak layak untuk dilaksanakan (Nurmalina et al., 2009).

3.1.3.2 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio)

(25)

25

3.1.3.3 Internal Rate of Return (IRR)

Kelayakan suatu bisnis dapat dinilai dari seberapa besar pengembalian bisnis terhadap investasi yang ditanamkan, yang dapat ditunjukkan dengan mengukur besarnya Internal Rate of Return (Nurmalina et al., 2009). Internal Rate of Return merupakan suatu tingkat discount rate (DR) yang menghasilkan

net present value sama dengan nol. Jika hasil perhitungan IRR lebih besar dari

social opportunity cost of capital (SOCC) dapat dikatakan bahwa proyek tersebut layak. Jika IRR sama dengan SOCC maka bisnis tidak untung maupun rugi dan jika IRR di bawah nilai SOCC maka proyek tersebut tidak layak (Ibrahim, 2003).

3.1.3.4 Payback Period (PP)

Payback Period merupakan jangka waktu tertentu yang menunjukkan terjadinya arus penerimaan (cash in flows) secara kumulatif sama dengan jumlah investasi dalam bentuk present value. Analisis ini perlu ditampilkan dalam studi kelayakan untuk mengetahui berapa lama usaha/proyek yang dikerjakan baru dapat mengembalikan investasi (Ibrahim, 2003). Menurut Nurmalina et al.. (2009), Payback Period merupakan suatu analisis yang mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali. Bisnis yang payback period-nya singkat atau cepat pengembaliannya, memiliki kemungkinan untuk dipilih.

3.1.3.5 Analisis Laba Rugi Usaha

Laporan laba rugi menggambarkan kinerja perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya selama periode tertentu. Laporan laba rugi akan memudahkan untuk menentukan besarnya aliran kas tahunan yang diperolah suatu perusahaan dan juga digunakan untuk menghitung jumlah penjualan minimum baik dari kuantitas atau pun nilai uang dari suatu aktifitas bisnis, nilai produksi atau penjualan tersebut merupakan titik impas (break even point). Selain itu, laporan laba rugi dapat dipakai untuk menaksir pajak yang akan dimasukkan ke dalam

cashflow studi kelayakan bisnis (Nurmalina et al.,2009).

3.1.4 Analisis Sensitivitas

(26)

26 analisis kelayakan. Tujuan analisis ini adalah untuk menilai apa yang akan terjadi dengan hasil analisis kelayakan suatu kegiatan investasi atau bisnis apabila terjadi perubahan di dalam perhitungan biaya atau manfaat. Apakah kelayakan suatu kegiatan investasi atau bisnis sensitif tidak terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan, Gittinger (1986) menyatakan bahwa analisis sensitivitas merupakan salah satu perlakuan terhadap keadaan yang berubah-ubah (ketidakpastian). Analisis ini perlu dilakukan karena dalam analisis kelayakan suatu usaha atau bisnis, perhitungan umumnya didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang (Kadariah 1986, diacu dalam Nurmalina et al., 2009). Perubahan-perubahan yang biasa terjadi dalam menjalankan bisnis disebabkan oleh harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya serta hasil produksi (Gittinger, 1986).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Pentingnya sektor perikanan dalam kesejahteraan negara Indonesia telah menjadikan pemerintah melakukan beraneka macam program untuk meningkatkan jumlah produksi perikanan, terutama perikanan budidaya. Salah satu komoditi perikanan budidaya yang menjadi fokus pemerintah untuk program tersebut adalah ikan lele. Peningkatan produksi lele lebih diarahkan pada pengembangan daerah minapolitan khusus komoditi lele. Salah satu wujud konsentrasi pemerintah dalam meningkatkan produksi lele adalah melalui pemunculan jenis lele unggulan, yang dikenal dengan sebutan lele sangkuriang.

(27)

27 Lele sangkuriang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan lele dumbo yaitu jumlah telur yang dihasilkan lebih banyak dan persentase tingkat pertumbuhan bobot harian yang lebih besar. Oleh karena itu, dari sisi produksi lele sangkuriang akan lebih menguntungkan dibandingkan lele dumbo. Namun, masih banyak masyarakat di Kabupaten Bogor yang menggunakan lele dumbo untuk usaha pembenihan karena lele sangkuriang relatif lebih baru dibandingkan lele dumbo. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kelayakan usaha pembenihan lele sangkuriang untuk dikembangkan sebagai wujud pemenuhan kebutuhan ikan secara nasional.

Usaha Bapak Endang sebagai lokasi percontohan pembenihan lele sangkuriang sudah berdiri dari tahun 2007, namun belum pernah melakukan analisis kelayakan usaha. Usaha Bapak Endang memerlukan studi kelayakan agar bisa dikembangkan oleh petani lain. Selain itu, dari aspek pasar masih banyak yang belum terpenuhi sehingga Bapak Endang berencana untuk melakukan pengembangan usaha. Pengembangan usaha dapat menggunakan alternatif lahan sewa dan lahan sendiri serta dapat menggunakan modal sendiri, pinjaman, maupun campuran (pinjaman dan sendiri). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis untuk memilih alternatif usaha yang paling baik untuk pengembangan. Selain itu, usaha Bapak Endang juga harus mengetahui sensitivitas kenaikan biaya pakan dan penurunan jumlah produksi agar usaha dapat terhindar dari kerugian akibat kondisi yang tidak pasti dari harga pakan di pasaran dan jumlah produksi yang dihasilkan.

(28)

28

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional

Kelayakan Non Finansial: • Aspek Pasar

• Aspek Teknis

• Aspek Manajemen

• Aspek Hukum

• Aspek Sosial

• Aspek Lingkungan

Permintaan benih lele:

1. Lele sebagai komoditas yang mendominasi sektor pembesaran perikanan budidaya Kabupaten Bogor 2. Kabupaten Bogor sebagai

sumber penghasil benih ikan lele untuk daerah lain 3. Penurunan jumlah produksi

benih lele Kabupeten Bogor

Potensi Kabupaten Bogor:

1. Penghasil lele terbesar di Provinsi Jawa Barat 2009 2. Fasilitas yang dimiliki

Kabupaten Bogor mendukung (air, pakan dan pasar) 3. Lokasi pertama yang

dijadikan tempat penyebaran jenis lele sangkuriang

Pentingnya sektor perikanan:

1. Visi KKP untuk menjadikan negara Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar di dunia tahun 2015

2. Program Gemarikan untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat melalui konsumsi ikan secara nasional

Langkah pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ikan:

1. Program peningkatan produksi ikan, terutama ikan budidaya (lele) 2. Pemerintah memunculkan ikan lele unggulan (sangkuriang) 3. Pengembangan daerah minapolitan lele

Usaha Pembenihan Lele Sangkuriang Bapak Endang:

1. Tempat percontohan pembenihan lele Sangkuriang 2. Belum mampu

memenuhi permintaan yang ada

3. Akan melakukan pengembangan usaha

Analisis Kelayakan Usaha

Kelayakan Finansial

Analisis Kriteria Investasi

(NPV, IRR, Net B/C, Payback Period)

Analisis Switching Value

(Kenaikan Biaya Pakan & Penurunan Jumlah Produksi)

Lahan: •Sendiri •Sewa Evaluasi atau Perbaikan Rekomendasi Pengembangan Usaha Tidak Layak Layak

Pengembangan Usaha

Modal:

Sendiri, Pinjaman, Campuran Usaha Saat Ini

Modal:

(29)

V GAMBARAN UMUM USAHA

5.1 Kondisi Geografis

Usaha Bapak Endang berada di Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak Desa Gadog dimana usaha Bapak Endang berada cukup strategis, karena hanya 3 km dari ibu kota Kecamatan Megamendung, 30 km dari ibu kota Kabupaten, 124 km dari ibu kota Jawa Barat dan 70 km dari ibu kota negara (Data Monografi Desa Gadog, 2010). Semakin dekat dengan wilayah perkotaan, akan semakin mempermudah dalam memasarkan dan promosi produknya kepada masyarakat luas. Ketinggian Desa Gadog terletak antara 650-1.100 m di atas permukaan laut dan memiliki suhu rata-rata 24-27 oC (Data Monografi Kecamatan Megamendung, 2010).

5.2 Keragaan Umum Usaha Bapak Endang 5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Usaha

Usaha Bapak Endang mulai berdiri sejak tahun 2007. Usaha ini merupakan milik pribadi Bapak Endang bersama anaknya, yaitu Bapak Agus. Usaha Bapak Endang dari awal berdiri telah mengalami perkembangan yang pesat sampai memiliki 98 kolam pembenihan. Melalui usaha Bapak Endang, petani yang belum memiliki pasar atau pelanggan tetap dapat memasarkan benih lele sangkuriangnya. Usaha Bapak Endang selalu mengalami kelebihan permintaan benih karena semakin dikenal oleh masyarakat sekitar maupun pemerintah. Oleh karena itu, Bapak Endang membentuk plasma dengan petani pembenihan sekitar untuk memenuhi permintaan yang ada. Jumlah plasma yang dimiliki mencapai 10 petani, namun masih belum dapat memenuhi permintaan.

(30)

40 daerah tersebut sebanyak 2.300.000 ekor, karena jumlah produksi rata-rata per bulan sebanyak 370.971 ekor hanya cukup untuk kebutuhan di luar permintaan tersebut (Bogor, Bekasi, Jakarta, Parung, Jonggol, Bandung, Tasik dan Garut). Oleh karena itu, Bapak Endang berencana untuk melakukan pengembangan usaha untuk memenuhi permintaan yang ada.

5.2.2 Struktur Organisasi Usaha Bapak Endang

Struktur organisasi yang dimiliki usaha Bapak Edang terdiri dari ketua, wakil ketua, dan karyawan. Seluruh tenaga kerja yang berjumlah delapan orang berasal dari warga yang ada di sekitar lokasi usaha. Bapak Endang sebagai ketua merupakan orang yang melakukan kegiatan perencanaan, pengkoordinasian, pengarahan dan pengendalian usaha dibantu dengan wakil ketua. Bapak Endang juga melakukan perencanaan jadwal produksi untuk memenuhi permintaan konsumen sesuai dengan jumlah kolam yang ada, mengorganisasikan tugas karyawan sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak luar seperti konsumen yang akan membeli benih untuk menyesuaikan jumlah permintaan dengan kondisi persediaan benih yang ada. Selain itu, Bapak Endang juga melakukan pengarahan kepada seluruh karyawan mengenai pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan, melakukan pengendalian dengan cara mengawasi jalannya kegiatan usaha dengan ikut serta pada pemeliharaan benih, mengelola keuangan, serta mengawasi pekerjaan wakil ketua agar sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Semua keputusan akhir usaha berasal dari ketua sehingga segala informasi yang dikeluarkan hanya berasal dari satu pintu, yaitu melalui ketua yang sekaligus merupakan pemilik usaha.

(31)

41 memiliki prinsip untuk bertanggungjawab dalam membantu teknik produksi konsumen (petani pembesaran) yang telah membeli benih. Staff kolam sudah tidak melakukan kontrol terhadap kolam pembenihan setelah pukul 22.00 WIB, serta mulai bekerja pada pukul 6.00 WIB.

Usaha Bapak Endang juga memiliki dua staff lapang dengan tugas lebih difokuskan pada kegiatan yang berhubungan dengan proses transportasi. Tugas staff lapang terdiri dari pengiriman benih untuk konsumen, membeli kebutuhan produksi (pakan dan peralatan) serta membantu tugas staff kolam apabila tidak mengerjakan tugas utama staff lapang. Jam kerja staff lapang dimulai dari pukul 07.00-17.00 WIB dengan waktu istirahat pada saat sholat Dhuhur dan Ashar. Adapun gambar struktur organisasi yang ada pada usaha Bapak Endang terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Organisasi Usaha Bapak Endang

5.2.3 Kegiatan Usaha Bapak Endang

5.2.3.1 Pengadaan Input

Input usaha terdiri dari induk, pakan dan peralatan produksi. Induk lele sangkuriang diperoleh dari BBPBAT Sukabumi pada awal sebelum usaha dimulai. Pakan pelet dan peralatan produksi diperolah dari pasar yang ada di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Pembelian peralatan produksi seperti perlengkapan kebersihan dilakukan ketika alat tersebut sudah rusak, sedangkan pembelian pakan pelet dilakukan setiap satu minggu sekali karena pakan dapat disimpan dalam gudang penyimpanan. Pakan cacing sutera diperolah dari pedagang yang ada di Kecamatan Gedung Halang, Kabupaten Bogor. Pembelian cacing sutera dilakukan pada setiap kali produksi karena cacing sutera tidak dapat

Staff Kolam Staff Lapang

Ketua (Bapak Endang)

(32)

42 disimpan dan harus langsung digunakan. Pembelian cacing sutera dilakukan setiap dua hari sekali. Cara pembayaran induk, pakan dan peralatan produksi dilakukan secara tunai pada saat pembelian.

5.2.3.2 Proses Produksi

1. Kebutuhan Kolam dan Luas Lahan

Jumlah kolam yang ada di Desa Gadog terdiri dari 2 kolam induk, 3 kolam pemijahan dan 98 kolam pembenihan. Adapun rincian jenis dan luas kolam tersebut terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jenis dan Ukuran Kolam Pembenihan Lele Sangkuriang Usaha Bapak Endang

No. Jenis Kolam Ukuran Jumlah

1. Kolam Induk:

- Kolam tembok

- Kolam tanah terpal

2,5x2 m2, tinggi 1 m

8x4 m2, tinggi 1,5 m

1

1

2. Kolam Pemijahan 2x4 m2 ,tinggi 1 m 3

3. Kolam Pembenihan 3x4 m2 ,tinggi 45 cm 98

Jumlah Seluruh Kolam 103

Kebutuhan lahan untuk kolam indukan, pemijahan dan pembenihan tersebut adalah seluas 2.647 m2. Luas tersebut sudah termasuk jarak antara satu kolam dengan kolam yang lain untuk perawatan benih ikan. Ukuran jarak antara satu kolam dengan kolam yang lain adalah 50 cm. Jarak tersebut merupakan ukuran ideal untuk melakukan perawatan kolam yang terdiri dari pembersihan dan perbaikan kolam, pemberian pakan dan penanggulangan hama serta penyakit pada benih.

(33)

43 4. Pengisian Air 5. Pemerataan Terpal 6. Kolam Pembenihan

Gambar 3. Persiapan Kolam Pembenihan

2. Persiapan Induk Lele Sangkuriang

[image:33.595.99.513.22.828.2]

Pembenihan lele sangkuriang sangat dipengaruhi oleh kualitas induk yang digunakan. Induk pada Usaha Bapak Endang diperoleh dari BBPBAT Sukabumi yang melakukan produksi benih asli lele sangkuriang. Induk jantan dan betina yang diperoleh dari BBPBAT Sukabumi tersebut dipelihara bersama-sama di dalam kolam tembok dan kolam tanah terpal. Pemberian pakan induk dilakukan satu kali dalam sehari, yaitu pada pukul 18.00 WIB menggunakan pakan pelet apung bermerek Hi-Pro-Vite 781. Pengambilan induk untuk pemijahan dari kolam pemeliharaan dilakukan secara acak sebanyak 4 betina dan 3 jantan untuk satu siklus pembenihan. Adapun ciri-ciri induk lele sangkuriang yang siap untuk dipijahkan (dikawinkan) terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7. Ciri-ciri Induk Jantan dan Betina Siap Pijah

Induk Jantan Induk Betina

Perut membesar atau buncit dan terasa lembek jika diraba

Alat kelaminnya memerah

Pergerakannya lambat dan jinak Tubuh ramping dan geraknnya lincah

Alat kelaminnya bulat, berwarna kemerahan dan tampak membesar (bengkak)

Alat kelaminnya tampak jelas dan lebih meruncing

Warna tubuh berubah menjadi cokelat kemerahan

Ada perubahan warna tubuh menjadi cokelat kemerahan

Kadang-kadang warna sirip-sirip tampak kemerahan

Jika perut diurut, kadang-kadang akan keluar telur yang warnanya kuning tua

(34)

44

Gambar 4. Penangkapan Induk Lele Sangkuriang

3. Pemijahan Lele Sangkuriang

Pemijahan adalah suatu rangkaian kegiatan pengeluaran telur dari induk betina dan sperma dari induk jantan. Terdapat tiga macam teknik untuk pemijahan, yaitu pemijahan secara alami, pemijahan secara semi intensif (induce spawning) dan pemijahan secara intensif/buatan (induce breeding). Pemijahan secara alami adalah pemijahan yang dilakukan pada induk tanpa diberi hormon perangsang, tetapi dibiarkan secara alami induk jantan mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan sel telurnya di dalam kolam (pembuahan terjadi secara alami). Pemijahan semi intensif hampir sama dengan pemijahan secara alami, namun pada pemijahan secara semi intensif, baik induk jantan maupun betina disuntik dengan hormon perangsang untuk pematangan dan ovulasi sel telur. Sedangkan pemijahan secara buatan terjadi apabila induk jantan dan betina disuntik dengan hormon perangsang dan proses pengeluaran sel telur dan sperma dilakukan oleh manusia (Mahyuddin, 2008).

(35)

45 1. Penyusunan Kakaban 2. Pengisian Air 3. Pemijahan & Batu Pemberat

Gambar 5. Proses Pemijahan Induk Lele Sangkuriang

4. Penetasan Telur

- Persiapan Kolam Penetasan Telur

Kolam yang digunakan untuk penetasan telur adalah kolam pembenihan berukuran 3x4 m2 dengan tinggi 45 cm. Kolam tersebut harus dalam keadaan bersih pada saat air akan diisikan ke dalam kolam. Pengisian air pada kolam setinggi 10-15 cm dari dasar kolam. Namun, pengisian air bergantung pada musim yang terjadi. Pada saat musim hujan, ketinggian air adalah 10 cm dari dasar kolam. Lain halnya pada saat musim kemarau, ketinggian air bisa mencapai 15 cm dari dasar kolam.

- Penetasan Telur

(36)

46 1.Telur yang dibuahi 2. Kolam Penetasan 3. Pemeliharaan Larva

Gambar 6. Proses Pemeliharaan Larva

5. Pemeliharaan Larva - Tataguna Air

[image:36.595.97.516.85.606.2]

Air yang digunakan untuk mengisi kolam pembenihan harus diperhatikan dengan baik, karena kualitas air akan mempengaruhi tingkat kematian benih lele sangkuriang. Pergantian air kolam pembenihan yang sudah lengket (sudah berlendir) dengan cara membuang setengah dari jumlah seluruh air yang ada di dalam kolam, kemudian diisi dengan air baru sejumlah buangan air yang telah berlendir. Pergantian air selanjutnya atau penahapan air sebaiknya dilakukan pada waktu pagi hari pukul 06.00-10.00 WIB atau pada sore hari pukul 17.00 sampai malam. Tujuan pemilihan waktu tersebut adalah untuk menghindari kematian lele akibat perbedaan suhu sebelum dan sesudah penggantian air. Tataguna air juga harus disesuaikan dengan jenis pakan yang digunakan pada pemeliharaan benih lele sebagaimana dirinci pada Tabel 8.

Tabel 8. Tataguna Air Berdasarkan Jenis Pakan Benih Lele Sangkuriang

No. Jenis pakan Tinggi Air Kolam Pembenihan (cm)

1. Cacing Sutera 10-15

2. Pelet Fengli 20

3. Pelet PF1000 25

4. Pelet L1K 30

- Tataguna Pakan

(37)

47

Tabel 9. Jenis dan Jumlah Pakan Benih Lele Sangkuriang Berdasarkan Umur (Satu Siklus Pembenihan)

No. Umur (hari) Jenis Pakan Jumlah

1 0-4 - -

2 5-18 Cacing Sutera 40 liter

3 19-25 Pelet Fengli 15 kg

4 26-35 Pelet PF1000 20 kg

5 36-Panen Pelet L1K 30 kg

Benih lele sangkuriang tidak diberi pakan sejak telur menetas sampai berumur empat hari. Benih lele yang baru menetas masih memiliki cadangan makanan berupa kantung telur (yolksack) yang akan diserap sebagai sumber makanan sampai lele berumur empat hari. Mulai umur lima hari lele diberikan pakan cacing sutera sampai berumur 18 hari, kemudian diberikan pakan pelet sampai lele siap untuk dipanen. Pemberian pakan cacing sutera dilakukan satu kali dalam waktu tiga hari, sedangkan pakan pelet diberikan tiga kali dalam waktu satu hari, yaitu pada pukul 08.00 WIB, 12.00 WIB dan 20.00 WIB.

Pemberian pakan pada saat terjadi hujan sebaiknya dihindari. Air hujan yang mengandung zat asam akan termakan oleh benih lele bersamaan dengan pakan dan dapat menimbulkan penyakit. Oleh karena itu, pemberian pakan dapat dilakukan kembali setelah satu jam hujan berlangsung pada saat kandungan zat asam air hujan sudah mulai berkurang. Proses pemberian pakan harus dilakukan secara hati-hati. Pemberian pakan pelet maupun cacing harus langsung habis dan tidak ada yang tersisa di dalam kolam. Pakan yang tersisa akan mengendap dan menimbulkan penyakit. Pemberian pakan apung yang baik adalah dibasahi dengan air secukupnya sebelum diberikan kepada benih. Hal tersebut bertujuan untuk menyesuaikan kondisi ikan dengan jenis pakan.

- Penanggulangan Hama dan Penyakit

(38)

48 dapat dilakukan dengan menangkap menggunakan serok hama. Penggunaan bahan kimia tidak diperkenankan untuk pembasmian hama, karena dapat membahayakan kelangsungan hidup benih. Adapun macam-macam jenis penyakit yang sering menyerang lele dijelaskan pada Tabel 10.

6. Pensortiran Benih

Pensortiran benih bertujuan untuk menyeragamkan ukuran benih yang akan dijual. Peyortiran pada Usaha Bapak Endang dilakukan sebanyak tiga kali berdasarkan umur benih, sampai ukuran siap untuk dijual, yaitu:

- Pensortiran Pertama:

Pensortiran dilakukan saat benih lele berumur 18-25 hari. Pensortiran ini menggunakan alat sortir ukuran 2-3 cm dan 3-4 cm.

- Pensortiran Kedua:

Pensortiran dilakukan saat benih lele berumur 25-35 hari. Pensortiran ini menggunakan alat sortir ukuran 3-4 cm dan 3-5 cm.

- Pensortiran Ketiga:

Pensortiran dilakukan saat benih lele berumur 45 hingga panen. Pensortiran ini menggunakan alat sortir ukuran 4-6 cm. Pada umur 45 hari-panen dilakukan 5 kali pensortiran sampai benih lele benar-benar habis terjual.

7. Pemanenan

Panen pertama benih yang berukuran 4-6 cm sudah dapat dilakukan ketika lele berumur 45 hari. Panen pertama disebut juga dengan “Panen Raya”. Panen raya adalah istilah yang menunjukkan bahwa pada saat itu panen benih ukuran 4-6 paling banyak jumlahnya. Sisa benih yang masih berukuran di bawah 4-6 cm dapat ditunggu hingga berukuran 4-6 cm sampai berumur sembilan minggu. Jumlah panen benih rata-rata untuk satu siklus usaha adalah sebanyak 57.600 ekor.

(39)
[image:39.595.105.514.101.733.2]

49

Tabel 10. Jenis Penyakit pada Usaha Pembenihan Lele Sangkuriang

No. Jenis Penyakit Gejala Faktor Pemicu Pencegahan

1 Culumnaris (Cotton woll disease)

Terbentuknya luka atau lecet-lecet pada permukaan tubuh (terutama pada kepala, ekor dan insang), terjadi pendarahan, gerakan renang lambat dan lele banyak mengambang pada permukaan air

Terjadi penumpukan pakan dan kotoran yang membusuk pada dasar kolam serta suhu lingkungan meningkat terlalu tinggi Pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan benih agar tidak tersisa di dalam kolam dan tataguna air dilakukan dengan baik, sehingga suhu kolam terjaga

2 Aeromonas hydrophila

Terjadi gelembung besar di bawah perut yang berisi cairan bening, terjadi pembengkakan pangkal sirip renang, terjadi luka pada permukaan tubuh, kehilangan nafsu makan dan ikan lemas tampak di permukaan air

Adanya pencemaran air oleh penumpukan sisa pakan dan kotoran yang membusuk pada dasar kolam Mengontrol kualitas air, mencegah kelebihan pakan yang tidak dikonsumsi, membuang dan mengurangi kadar bahan organik dalam air (sisa-sisa pakan dan kotoran ikan)

3 Bintik Putih (white spot)

Adanya bintik-bintik putih pada

permukaan tubuh dan insang serta ikan berwarna pucat

Kualitas air yang kurang mendukung, suhu air yang dingin dan kepadatan ikan terlalu tinggi Menggunakan air yang kualitasnya baik, paralatan yang digunakan hendaknya dibersihkan terlebih dahulu dan suhu air dipertahankan pada level 28 oC

4 Gatal Ikan lemah, warna

tubuh tidak cerah (kusam) dan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada bagian dinding atau dasar kolam

Kualitas air kurang mendukung, kandungan oksigen rendah dan kepadatan ikan terlalu tinggi Perbaikan kualitas air, menjaga kebersihan sarana budidaya dan mengatur padat tebar ikan 5 Penyakit yang

disebabkan virus Ikan berenang berputar-putar, sering menggantung arah vertikal di permukaan air, tampak lemah, hilang keseimbangan serta pendarahan pada bagian perut dan sirip

Penurunan kualitas air, suhu berfluktuasi dan kapadatan ikan terlalu tinggi

Melakukan manajemen penanganan air dan penebaran ikan secara benar

(40)
[image:40.595.92.512.157.803.2]

50

Gambar 7. Proses Pemanenan Benih

5.2.3.3 Pemasaran Benih

(41)

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Aspek-Aspek Non Finansial

6.1.1 Aspek Pasar

a. Permintaan dan Penawaran

Usaha Bapak Endang saat ini hanya mampu memproduksi benih sebanyak 370.971 ekor per bulan untuk memenuhi permintaan daerah Bogor, Bekasi, Jakarta, Parung, Jonggol, Bandung, Tasik dan Garut. Permintaan benih yang belum mampu terpenuhi dengan usaha yang ada pada saat ini sebanyak 2.300.000 ekor ukuran 4-6 cm per bulan yang berasal dari daerah Bekasi dan Parung. Jumlah benih yang akan dihasilkan pada rencana pengembangan usaha sebanyak 757.029 ekor per bulan. Jumlah tersebut belum mampu memenuhi kekurangan permintaan yang ada pada usaha saat ini, sehingga masih terdapat 1.542.971 ekor permintaan benih yang belum bisa dipenuhi, meskipun sudah mewujudkan rencana pengembangan usaha. Oleh karena itu, peluang untuk terus mengusahakan benih lele masih sangat besar di Kabupaten Bogor. Permintaan yang paling besar berasal dari daerah Bandung. Bapak Endang tidak melakukan penjualan benih di pasar, melainkan pembeli benih yang datang langsung ke lokasi usaha. Pembeli benih tersebut adalah petani-petani pembesaran lele.

b. Harga

(42)

52

c. Pemasaran

Pemasaran usaha Bapak Endang hanya dilakukan dari mulut ke mulut. Kunjungan dari Dinas Perikanan maupun masyarakat adalah salah satu jalan untuk memperkenalkan benih lele yang diproduksi kepada konsumen. Pembeli yang ingin membeli dapat langsung datang ke lokasi usaha atau dapat menghubungi Bapak Endang terlebih dahulu melalui media telepon. Usaha Bapak Endang tidak memasarkan benih pada pasar benih karena pembeli sudah banyak yang datang langsung ke lokasi usaha.

Benih lele yang dijual adalah benih lele berukuran 4-6 cm, merupakan keturunan induk lele sangkuriang asli dari BBPBAT Sukabumi. Keaslian induk yang digunakan menjadi nilai tambah dalam penjualan benih, karena keaslian induk menentukan kualitas benih yang dihasilkan. Pengetahuan masyarakat mengenai keunggulan lele sangkuriang dibandingkan lele dumbo membuat mereka mencari benih terbaik yang akan digunakan untuk usaha, yaitu benih yang dihasilkan oleh keturunan induk asli lele sangkuriang. Keahlian Bapak Endang dan karyawan dalam melakukan pelatihan budidaya pembenihan merupakan nilai tambah lain. Benih hasil budidaya petani yang sudah ahli dalam pembenihan tentu akan lebih berkualitas dibandingkan hasil budidaya pemula. Hal tersebut merupakan salah satu penilaian petani pembesaran dalam membeli benih.

Penentuan ukuran benih didasarkan pada kemampuan hidup benih untuk petani pembesaran. Ukuran benih tersebut merupakan ukuran yang paling aman untuk dibesarkan oleh petani. Benih yang berukuran di bawah 4-6 cm lebih rentang terhadap kematian, sedangkan benih yang berukuran lebih panjang dari 4-6 cm harganya lebih mahal dari Rp 150,00. Benih yang berukuran 4-4-6 cm membutuhkan biaya pemeliharaan yang lebih mahal dan waktu yang lebih lama, sehingga harga Rp 150,00 sudah tidak bisa menutupi biaya produksi. Bapak Endang lebih memilih benih yang berukuran 4-6 cm untuk dijual karena merupakan ukuran yang aman bagi petani dan perputaran uang juga akan lebih cepat untuk keberlangsungan usaha dengan menjual ukuran tersebut.

(43)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 7. Ciri-ciri Induk Jantan dan Betina Siap Pijah
Tabel 8. Tataguna Air Berdasarkan Jenis Pakan Benih Lele Sangkuriang
Tabel 10. Jenis Penyakit pada Usaha Pembenihan Lele Sangkuriang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian mengenai Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Masa Pendudukan Jepang di Salatiga 1942-1945 ini lebih menekankan pada masalah proses, maka bentuk

Peningkatan keragaman genetik tanaman hias Hemerocallis dapat dilakukan dengan hibridisasi dan kriteria seleksi pada generasi F1, tetua yang digunakan adalah

1 Rapat-rapat Koordinasi dan Konsultasi Kedalam Daerah 1

Konservasi lahan kawasan fungsi penyangga dan fungsi budidaya tanaman tahunan dapat diterapkan sejalan dengan kegiatan pertanian masyarakat, akan tetapi pada

Berdasarkan analisis selama dilapangan keluarga kk dampingan memiliki beberapa masalah yang patut diselesaikan yaitu masalah ekonomi dan kebersihan. Dan dari

Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) kelayakan buku saku materi pemanasan global yang diperoleh dari penilaian validator yang mengacu pada

Skripsi ini disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Hasil penelitian ini adalah penggunaan terapi diare pada pasien anak di Puskesmas Nguter tahun 2012 untuk diare non spesifik penggunaan Oralit sebanyak 70%, Zink 31% dan