I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Populasi manusia yang meningkat mengakibatkan peningkatan kebutuhan
manusia yang tidak terbatas namun kondisi sumberdaya alam terbatas. Berdasarkan hal tersebut, ketidakseimbangan jumlah penduduk dan ketersediaan air menjadi masalah baru konflik global di abad ini. Sumberdaya air tidak ada
substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global terhadap kelangkaan air karena adanya prediksi Gardner-Outlaw Engelman (1997)
yang didukung PBB, bahwa pada tahun 2050 diprediksi satu dari empat orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih1.
Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan air mencapai 2.530
km3/tahun dan salah satu negara yang memiliki cadangan air terkaya di dunia. Isu kelangkaan air harus menjadi perhatian khusus bagi Indonesia karena pada musim
kemarau terlihat sangat kontras bahwa kelangkaan air menjadi isu krusial. Kelangkaan air dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, eksploitasi besar-besaran air tanah yang dilakukan oleh gedung-gedung, rumah sakit, pusat
pembelanjaan, apartemen, pemukiman, dan bangunanan lainnya. Kedua, pembangunan gedung tidak mematuhi perbandingan lahan terpakai dan lahan
terbuka, sehingga mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah. Selain itu Indonesia sebagai negara agraris membutuhkan penggunaan air
dalam tahap budidaya padi, kebutuhannya mencapai satu per tiga total kebutuhan air selama budidaya. Pada saat ini, air kurang mencukupi bahkan tidak tersedia pada saat pengolahan tanah. Hal ini terjadi karena mundurnya musim penghujan
2 atau musim kemarau yang terlalu panjang, sehingga debet air pada saluran irigasi
menyusut atau bahkan kering. Sumber-sumber air semakin langka akibat perubahan kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan tanah menyerap dan
menyimpan air. Jika kondisi demikian berlanjut dapat menyebabkan terganggunya produksi padi sehingga menghambat upaya pelestarian swasembada beras.
Banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah
tersebut, seperti perbaikan dan pembangunan saluran irigasi baru, perencanaan tata ruang, dan lain-lain. Namun, jika usaha tersebut tidak diimbangi dengan
penghematan air diberbagai sektor, termasuk sektor pertanian dalam budidaya padi sawah, tidak akan berarti.
Cianjur merupakan Kabupaten di Jawa Barat yang terkenal hasil padinya, lahan pertanian yang subur, dan pengairan terhadap lahan pertanian serta masyarakat yang dominan bekerja di sektor pertanian. Pada saat pengolahan tanah
kebutuhan air cukup banyak. Kegiatan pengolahan tanah sawah terdiri dari tahap penggenangan tanah hingga tanah jenuh air, tahap pembajakan, yaitu pemecahan tanah menjadi bongkahan-bongkahan dan pembalikan tanah dan tahap menggaru
untuk menghancurkan dan melumpurkan tanah. Ketiga tahap tersebut membutuhkan lebih dari satu per tiga total kebutuhan air selama budidaya padi.
Penerapan metode konvensional menimbulkan dampak negatif jangka panjang, seperti pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian yang membahayakan kesehatan manusia dan hewan disebabkan pestisida serta
3 organisme pengganggu terhadap pestisida kimia, menurunnya daya produktivitas
lahan karena erosi, ketergantungan sumber daya alam yang tidak diperbaharui2. Penerapan System of Rice Intensification (SRI) merupakan kegiatan dalam partisipasi yang dilakukan petani dalam usahatani padi. Sebelumnya petani belum mengetahui penerapan SRI sehingga pertanian menggunakan penerapan konvensional, pada penerapan ini pemeliharaan menggunakan produk kimia,
seperti pestisida, herbisida, dan pupuk anorganik. Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi intermitten artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah dan ketersediaan air. Selama kurun waktu penanaman lahan tidak tergenang tetapi macak-macak (basah tapi tidak tergenang). Cara ini bisa menghemat penggunaan air sebesar tiga puluh persen. Selain itu sedikitnya air juga mencegah kerusakan akar tanaman. Disamping menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat penggunaan bibit, sebab
satu lubang tanam hanya ditanam satu bibit.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut Maltus, populasi penduduk meningkat sesuai deret ukur
sedangkan pangan bergerak berdasarkan deret hitung. Ini berpengaruh terhadap kecemasan manusia akan kurangnya pangan, maka di perlukan inovasi baru dalam
bidang pertanian agar pangan tidak habis. Penerapan inovasi SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung
terhadap pemulihan kesuburan tanah dan kesehatan penggunaan produknya. Pertanian organik pada prinsipnya menitikberatkan prinsip daur ulang hara
2
4 melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa kedalam tanah, dan
konservasi air mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Pertama kali petani menerapkan SRI di lahan pertanian
konvensional adalah penggunaan biaya lebih besar dari manfaat yang digunakan untuk beberapa musim panen karena kondisi tekstur tanah relatif tidak stabil. Ini merupakan salah satu kendala dalam pendapatan usahatani padi. Namun setelah
beberapa musim panen terlewati akan memperoleh benefit yang lebih besar dari pada investasi biaya yang dikeluarkan sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi SRI dan Konvensional?
2. Bagaimana tingkat pendapatan dan kesejahteraan usahatani padi dengan
menggunakan SRI dan konvensional?
3. Adakah pengaruh penerapan metode SRI terhadap lingkungan?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum sasaran penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan usahatani padi dengan menggunakan penerapan SRI dan Konvensional.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi SRI dan Konvensional.
2. Menganalisis pendapatan dan kesejahteraan usahatani padi dengan menggunakan penerapan SRI dan penerapan konvensional
5
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi para pelaku dunia usaha, terutama yang berkecimpung dalam bisnis padi, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
tambahan dan juga dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk meningkatkan produksi padi.
2. Bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah Kabupaten Cianjur dan pemerintahan Provinsi Jawa Barat serta pemerintah Indonesia, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dan bagan pertimbangan dalam
menyusun kebijakan.
3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan serta dapat menjadi wadah aplikasi ilmu-ilmu yang selama ini dipelajari di bangku kuliah dalam kasus nyata.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perbedaan usahatani padi dengan menggunakan penerapan SRI dan penerapan konvensional di daerah Kabupaten Cianjur. Lokasi yang ditunjuk sebagai tempat penelitian terbatas hanya
di daerah yang penulis teliti.
Adapun keterbatasan dari penelitian ini yaitu nilai air tidak dihitung
dilokasi penelitian karena air bukan barang yang langka. Petani penggarap di lokasi penelitian adalah petani yang menggarap lahan sawah orang lain namun
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pertanian Organik
Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian
mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan. Salah satu teknologi pertanian yang berwawasan lingkungan adalah Pertanian Organik. Pertanian Organik merupakan suatu teknologi budidaya
tanaman yang pada penerapannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan, agar tidak terjadi perubahan ekosistem secara drastis sehingga tidak menggangu dan
memutuskan mata rantai makhluk hidup3.
Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik,
menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia4.
Dapat disimpulkan bahwa Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan
serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan.
2.2. Tujuan dan Kegunaan Budidaya Organik
Sutanto (2002) membagi tujuan budidaya organik dalam tujuan jangka panjang dan pendek. Adapun tujuan dari pertanian organik dalam jangka panjang
adalah:
3www.diperta.jabarprov.go.id/.../Pedoman%20Pertanian%20Organik.pdf diakses tanggal 12 Desember 2010. 4http://id.shvoong.com/exact-sciences/1631931-arti-pertanian-organik/. Diakses tanggal 12 Desember 2010.
7 1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati dan fungsi keragaman
hayati serta keragaman di dalam bidang pertanian.
2. Membatasi pencemaran lingkungan akibat residu pestisida dan pupuk serta
bahan kimia yang berharga, mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan.
3. Mengurangi ketergantungan petani terhadap input kimia yang berharga
mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan.
4. Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan
produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk dan bahan kimia lainnya.
5. Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki secara turun menurun.
6. Meningkatkan peluang pasar organik, baik domestik maupun global
dengan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha bidang pertanian. Adapun tujuan jangka pendek dari pertanian organik:
1. Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu kimia untuk ikut
menyehatkan mayarakat.
2. Mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga
mampu berproduksi secara berkelanjutan.
3. Mempertahankan dan meningkatkan minat petani pada pertanian organik serta mengembangkan agribisnis dengan menjalin kemitraan antara
petani dan pengusaha pertanian.
Budidaya organik memiliki kegunaan yang pada dasarnya adalah
8 disebabkan oleh penggunaan bahan kimiawi. Pupuk organik merupakan keluaran
dari setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan telah tersedia dengan sendirinya.
2.3. Konsep Pertanian Ekologis dan Berkelanjutan
Konsep pertanian ekologis secara umum dapat dikatakan sebagai kegiatan
usaha pertanian yang tidak memberikan pengaruh negatif serta tidak merusak lingkungan. Lingkungan disini dapat dibagi dua yaitu lingkungan secara mikro dan makro, lingkungan mikro adalah mencakup wilayah di dalam areal usahatani
termasuk didalamnya keseimbangan ekobiologis, kelestarian keanekaragaman biota dipermukaan dan mikro organisme yang terdapat di dalam lapisan tanah,
tidak terakumulasinya limbah serta residu beracun terjadinya serangan hama dan patogen penyakit dengan parasit, predator, kompetitor dalam keadaan seimbang (Sumarno, et al. 2008).
Maka pertanian dengan ciri ekologis dan ramah lingkungan merupakan usaha pertanian yang terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan produksi dan menerapkan teknologi maju adatif yang ramah lingkungan sehingga
mengoptimalkan produktivitas tanpa harus menurunkan kualitas lingkungan. Lingkungan di dalam pertanian ekologis didalamnya termasuk tenaga kerja
sebagai pelaku usaha, produksi hasil panen, ternak dan satwa komponen habitat. Sedangkan pertanian berkelanjutan merupakan sistem produksi pertanian yang secara terus menerus mampu mencukupi kebutuhan akan pangan serta pakan
9 perlu dipenuhi dalam pertanian berkelanjutan adalah: (1) tercukupinya kebutuhan
pangan dan pakan untuk saat ini dan saat yang akan datang, (2) kelayakan ekonomi usaha pertanian saat ini dan masa mendatang, (3) kelestarian serta mutu
lingkungan dan sumberdaya alam serta (4) kelestarian akan keanekaragaman hayati. Konsep pertanian ekologis dan berkelanjutan merupakan harapan yang harus dapat direalisasikan agar dapat memperbaiki keseimbangan antara usaha
peningkatan produksi dengan lingkungan produksi.
2.4. Sistem of Rice Intensification Sebagai Adaptasi Perubahan Iklim
Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas
iklim dan variabilitas ekstrim) dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian
yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk meringankan usaha
mitigasi dampak.
Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat potensial untuk mengurangi
dampak perubahan iklim dan meningkatkan dampak manfaat, sehingga tidak ada korban. Pengalaman menunjukan bahwa banyak strategi adaptasi dapat memberikan manfaatbaik dalam penyelesaian jangka pendek dan maupun jangka
panjang, namun masih ada keterbatasan dalam implementasi dan keefektifannya.
Dampak merugikan adalah melanda sektor pertanian akibat pergeseran
10 pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim
tanam atau panen akan memberikan dampak besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan pangan. Meningkatnya temperatur akan
berdampak terhadap percepatan penguapan air, baik dari tanah maupun tanaman, sehingga tanaman akan rentan terhadap kekurangan air yang pada akhirnya dapat menurunkan produksi. Tidak sebatas itu, dengan naiknya temperatur akan
memberikan keadaan yang kondusif bagi perkembangbiakan beberapa jenis serangga hama yang akan sangat berpotensi menurunkan tingkat produktivitas
bahkan mampu menggagalkan panen.
Perubahan pola curah hujan akan berdampak pada tingginya intensitas hujan dalam periode yang pendek dan akan menimbulkan banjir yang kemudian
menyebabkan produksi pertanian menurun, khususnya padi karena sawah terendam air. Tingginya curah hujan juga mengakibatkan hilangnya lahan karena
erosi dan longsor. Sementara itu di beberapa tempat pola curah hujan terjadi dengan intensitas rendah dalam periode kemarau yang panjang, sehingga terjadi kekeringan dimana-mana yang akhirnya berakibat terhadap rendahnya
produktivitas pertanian.
Oleh karena itu penerapan metode SRI dibutuhkan sebagai cara adaptasi
11
2.5. Pengertian Budidaya Padi SRI
Sistem of Rice Intensification (SRI) pertama kali dikembangkan pada awal tahun 1980 oleh Frenc Priest dan Fr. Henri de Laulani, J di Madagaskar. SRI
mulai dikenal oleh beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia pada tahun 1997 yang diperkenalkan oleh seorang ahli yaitu Norman Uphoff (Direktur dari Cornell Internasional Institute for Food, Agricultureal and Development) dan pada
tahun 1999 dilakukan percobaan SRI untuk pertama kalinya di luar Madagaskar
(Uphoff, et al, 2002).
Pada dasarnya teknologi SRI memperlakukan tanaman padi tidak seperti
tanaman air yang membutuhkan air yang cukup banyak, karena jika penggenangan air yang cukup banyak maka akan berdampak tidak baik yaitu akan hancurnya bahkan matinya jaringan komples (cortex, xylem dan phloem) pada akar tanaman padi, hal ini akan berpengaruh kepada aktivitas akar dalam mengambil nutrisi di dalam tanah lebih sedikit, sehingga pertumbuhan dan
perkembangan tanaman akan terhambat dan mengakibatkan kemampuan kapasitas produksi akan lebih rendah.
Akibat yang ditimbulkan dari penggenangan air tersebut maka budidaya
padi SRI dapat diartikan sebagai upaya budidaya tanaman padi yang memperhatikan semua komponen yang ada di ekosistem baik itu tanah, tanaman,
mikro organisme, makro organisme, udara, sinar matahari dan air sehingga memberikan produktivitas yang tinggi serta menghindari berbagai pengaruh negatif bagi kehidupan komponen tersebut dan memperkuat dukungan untuk
12
2.6. Manfaat SRI
Dibandingkan dengan budidaya konvensional, secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut5:
1. Hemat air (tidak digenang), kebutuhan air hanya 20-30 persen dari kebutuhan air untuk cara konvensional.
2. Memulihkan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi
tanah.
3. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli
lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.
4. Membuka lapangan kerja di pedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga petani.
5. Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak
mengandung residu kimia.
6. Mewariskan tanah yang subur untuk generasi mendatang.
Selain itu, agroekologi dapat menambah keuntungan bagi tanaman dan
melindungi tanaman dari hama.
2.7. Hasil Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Iwan Setiiaji, et al. (2008) dalam penelitiannya yang berjudul gagasan dan implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam kegiatan budidaya padi ekologis di Ciamis dan Garut, yaitu budidaya padi model SRI di lokasi kajian mampu meningkatkan hasil
5
13 dibandingkan budidaya konvensional. Peningkatan hasil padi berkisar antara 5-18
persen atau sekitar 0,25-1,0 ton/ha. Pendapatan kotor petani responden dengan menggunakan model SRI meningkat berkisar antara Rp 700.000,00 (di Ciamis)
hingga Rp 2.000.000,00 (di Garut) per ha. Peningkatan pendapatan ini umumnya disebabkan oleh efisiensi penggunaan input seperti bibit, tenaga kerja tanam dan persemaian. Namun demikian secara umum budidaya padi model SRI
memerlukan tenaga kerja lebih banyak terutama dalam kegiatan pengendalian gulma dan hama serta pengairan.
Secara ekonomi, efisiensi produksi dari usahatani model SRI yang di ukur dengan R/C ratio menunjukan bahwa budidaya model SRI lebih rendah dibanding
model konvensional. R/C ratio model SRI di Garut dan di Ciamis masing-masing sebesar 2,16 dan 1,21 sedangakan untuk model konvensional sebesar 2,25 dan 1,72. Namun secara finansial efisiensi usahatani padi model SRI lebih tinggi dari
pada model konvensional, seperti ditunjukan R/C ratio sebesar 3,99 dan 2,73 masing-masing untuk Garut dan Ciamis.
Perbedaannya dengan penelitian terdahulu adalah penggunaan input
dalam perhitungan pendapatan yang tidak begitu sama, selain itu penelitian yang dilakukan penulis saat ini memperhitungkan produksi dengan menggunakan
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Sistem Budidaya Padi Konvensional
Menurut Muhajir dan Nazaruddin (2003) Sistem budidaya padi secara konvensional di dahului dengan pengolahan tanah secara sempurna. Pertama
sawah dibajak. Pembajakan dapat dilakukan dengan mesin, kerbau atau sapi. Dapat juga melalui pencangkulan oleh manusia. Setelah dibajak, tanah dibiarkan selama dua hingga tiga hari. Selanjutnya dilumpurkan dengan cara dibajak lagi
untuk kedua atau ketiga kalinya tiga sampai lima hari menjelang tanam. Setelah itu bibit hasil semaian ditanam.
Penggunaan air sawah sangat banyak, lebih dari satu per tiga kebutuhan air pada saat proses pelumpuran. Namun, ketersediaan air semakin terbatas. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah tanah sawah cukup banyak. Untuk
keperluan pengolahan tanah, tenaga kerja yang diperlukan dapat mencapai tiga puluh persen dari kebutuhan tenaga kerja tanam secara total. Dari tahun ke tahun biaya tenaga kerja juga meningkat. Hal ini dapat meningkatkan biaya produksi
sehingga dapat mengurangi pemasukan bagi petani. Selain itu waktu yang dihabiskan untuk mengolah tanah cukup panjang, yakni sekitar satu per tiga
15
3.1.2. Sistem Budidaya Padi SRI (System of Rice Intensification)
Menurut Muhajir dan Nazaruddin (2003), pada dasarnya tujuan sistem budidaya padi konvensional tidak berbeda dengan sistem budidaya padi SRI, yaitu
mengendalikan gulma dan menyiapkan lahan agar menjadi media tumbuh yang baik bagi tanaman. Perbedaannya terletak pada efisiensi penggunaan sumber daya dalam persiapan lahannya. Sistem SRI lebih efisien dalam menggunakan air,
lahan, dan lebih berwawasan lingkungan dari pada sistem budidaya padi konvensional.
Air dapat dihemat lebih dari tiga puluh persen. Herbisida yang digunakan dalam penerapan ini harus berwawasan lingkungan, yaitu herbisida yang tidak
meninggalkan residu dalam tanah dan tanaman serta tidak mencemari air. Herbisida akan bekerja mematikan gulma yang tumbuh serta batang padi pada sisa pertanaman sebelumnya singgang. Setelah mati, gulma dan singgang tersebut dapat bermanfaat sebagai mulsa. Mulsa6 ini tidak dibuang melainkan dimanfaatkan untuk pertanaman padi. Mulsa yang berada di areal pertanaman bermanfaat untuk mencegah kerusakan tanah akibat benturan air hujan,
mengurangi penguapan, meningkatkan bahan organik upaya mencapai kesuburan tanah, serta membantu menekan pertumbuhan gulma7 yang tumbuh kemudian.
3.1.3. Pengertian Usahatani
Tjakrawiralaksana dan Soeriatmaja (1983) mendefinisikan usahatani sebagai suatu organisasi produksi di lapangan pertanian dimana terdapat unsur
lahan yang mewakili unsur alam, unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota
6
Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah.
7
Gulma merupakan tumbuhan yang berasal dari spesies liar yang telah lama menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, atau spesies baru yang telah berkembang sejak timbulnya pertanian.
16 keluarga tani, unsur modal yang beraneka ragam jenisnya, dan unsur pengolahan
dan manajemen yang perannya dibawakan oleh seseorang yang disebut petani. Dalam hal ini istilah usahatani mencakup kebutuhan keluarga, sampai pada
bentuk yang paling modern yaitu mencari keuntungan atau laba.
Menurut Soekartawi (2002), ilmu usahatani biasa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada
secara efektif dan efisien untuk tujuan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan
sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sabaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output).
Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input dengan efektif, efesien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi
sehingga pendapatan usahataninya meningkat.
3.1.4. Fungsi Produksi dan Elastisitas
Menurut Lipsey (1995) untuk memproduksi barang dan jasa menggunakan sumberdaya yang disebut faktor produksi. Faktor produksi seperti bibit, pupuk,
tenaga kerja dalam keluaarga, Pendidikan petani, pengalaman bertani sangat mempengaruhi terhadap besar kecilnya output yang diperoleh dari kegiatan
produksi. Keputusan kombinasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai target produksi ditentukan oleh kebijaksanaan produsen.
Untuk menjelaskan kombinasi-kombinasi input yang diperlukan untuk menghasilkan output, para ekonom menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungasn fisik antara variabel yang
17 dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input. Umumnya untuk
menghasilkan output diperlukan lebih dari satu input. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut Soekartawi (1990):
Y = f (X1, X2, X3, ..., Xi, ..., Xn) Dimana:
Y = output
X1, X2, X3, ...., Xn = input-input yang digunakan dalam proses produksi
Berbagai macam fungsi produksi telah dikenal dan dipergunakan oleh
berbagai peneliti, tetapi yang umum dan sering dipakai (Soekartawi, 1990) yaitu:
A. Fungsi Produksi Linier
Fungsi produksi linear biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi
produksi linear sederhana dan linear berganda. Perbedaan ini terletak pada jumlah variabel X yang dipakai dalam model. Fungsi produksi linear sederhana adalah bila hanya satu variabel X yang dipakai dalam model. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Y = a + bX
Dimana, a adalah intersep (perpotongan) dan b adalah slope.
Didalam praktek, penggunaan garis linear sederhana ini banyak dipakai
untuk menjelaskan fenomena yang berkaitan untuk menjelaskan hubungan dua variabel. Model sederhana ini sering digunakan karena analisisnya mudah
18 peneliti akan kehilangan informasi tentang variabel yang tidak dimasukan dalam
model tersebut.
Mengatasi hal itu, maka menggunkan garis linear berganda atau garis
regresi berganda sederhana (multiple regression). Berbeda dengan garis regresi linear sederhana (simple regression), maka jumlah variabel X yang dipakai dalam garis regresi berganda ini adalah lebih dari satu. Secara matematis hal ini dapat
ditulis sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + ...+ biXi + ... + bnXn
Estimasi garis regresi linear berganda ini memerlukan bantuan asumsi dan model estimasi tertentu sehingga diperoleh garis penduga yang baik.
B. Fungsi Produksi Kuadratik
Dalam proses produksi pertanian berlaku hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang, maka fungsi kuadratik dapat ditulis sebagai berikut:
Y = a + bX – cX2
Nilai parameter c yang negatif menunjukan kaidah kenaikan hasil yang berkurang. C. Fungsi Eksponensial
Fungsi produksi eksponensial ini dapat berbeda satu sama lain tergantung pada ciri data yang ada, tetapi umumnya fungsi produksi eksponensial ini dapat
dituliskan sebagai berikut:
Y = aXb (Fungsi Cobb-Douglas)
Dalam fungsi produksi eksponensial ini ada bilangan berpangkat, maka
penyelesaiannya diperlukan bantuan logaritma. Maka penyelesaian persamaan tersebut adalah:
19
Menurut Doll and Orazem (1984) hubungan fisik antara input dan output
sering disebut fungsi produksi. Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum
ekonomi produksi “Hukum Kenaikan Hasil Yang Semakin Berkurang” (The law
of Diminishing Return atau Diminishing Productivity). Hukum ini menyatakan bahwa jika faktor produksi terus menerus ditambahkan pada faktor produksi tetap maka tambahan jumlah produksi/satuan akan semakin berkurang. Hukum ini
menggambarkan adanya kenaikan hasil kurva produksi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Y(output)
Produk Marginal (PM)
Sumber: Doll and Orazem (1984)
Gambar 1. Hubungan antara Produk Total, Produk rata-Rata dan Produk marginal Gambar tersebut menggambarkan hubungan antara Produksi Total, Produksi
rata-rata dan Produksi Marginal yang terdiri dari 3 daerah yang mempunyai elastisitas tertentu.
Daerah produksi I mempunyai nilai elastisitas produksi lebih dari satu, yang berarti bahwa penambahan faktor-faktor produksi satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan
20 pemakaian faktor produksi yang lebih banyak oleh karena itu daerah satu disebut
daerah irrasional. Produksi rata-rata dan produksi total semakain meningkat dan pada daerah ini produksi marginal mencapai maksimum (Soekartawi, 1990).
Daerah produksi II mempunyai nilai elastisitas produksi bernilai antara nol sampai satu. Hal ini berarti setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling
rendah nol. Pada tingkat penggunaan faktor produksi tertentu dalam daerah ini akan tercapai keuntungan maksimum sehingga daerah ini disebut daerah yang
rasional karena produsen harus menetapkan tingkat produksi yang dapat mencapai maksimum. Pada daerah II produksi marginal dan produksi rata-rata
semakin menurun tetapi produksi total semakin meningkat sampai mencapai nilai maksimum (Soekartawi,1990).
Daerah III mempunyai nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol,
artinya penambahan faktor-faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah produksi ini mencerminkan pemakaian faktor-faktor produksi yang tidak efisien sehingga disebut daerah irrasional. Pada daerah III produksi total, produksi marginal dan produksi rata-rata mengalami penurunan. Jika lama kelamaan faktor produksi terus ditambah maka produksi marginal bisa
menjadi negatif (soekartawi, 1990).
Menurut Soekartawi (1990) elastisitas produksi adalah (Ep) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubaan input.
Ep ini dapat dituliskan melalui rumus sebagai berikut.
Ep = / , atau Ep =
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan mengambil studi kasus di Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive)
dengan pertimbangan bahwa:
(1) Lapangan kerja utama Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 52 persen.
(2) Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten
Cianjur (Pemkab Cianjur 2009).
(3) Terdapat kelompok usahatani padi yang telah mengembangkan penerapan
metode SRI dan metode Konvensional.
Waktu pengambilan data lapang dilaksanakan dari bulan Februari hingga April 2011.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah cross section. Data yang dikumpulkan
dan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan observasi langsung. Data primer yang dikumpulkan adalah data rumah tangga petani (demografi), profil usahatani (data
25 penelitian, dan lain-lain. Data sekunder merupakan data penunjang data primer
yang berfungsi untuk memberikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian.
4.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada petani berdasarkan kuesioner
yang telah disiapkan. Penentuan responden SRI dilakukan secara snowball yaitu penentuan responden dari responden sebelumnya, yang terdiri dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Karang Tengah, Kecamatan Cianjur dan Kecamatan Ciranjang
pemilihan ketiga kecamatan tersebut dikarenakan petani SRI lebih banyak dari pada kecamatan lainnya. Sedangkan penetuan responden konvensional dilakukan
secara purposive lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Rincian Responden Usahatani Metode SRI dan Konvensional Periode Tahun 2010/2011
Metode Responden
Kecamatan Karang
Tengah Kecamatan Cianjur Kecamatan Ciranjang
SRI 6 Responden 12 Responden 12 Responden
Konvensional 6 Responden 12 Responden 12 Responden
Sumber: Data Primer, 2011
Keseluruhan sampel sebanyak 60 responden yang terdiri dari 30 responden SRI dan 30 responden konvensional. Data sekunder diperoleh dari Dinas
Pertanian Kabupaten Cianjur, Balai Penyuluh Pertanian Kabupaten Cianjur. Data sekunder mengenai pengetahuan umum tentang pertanian diperoleh dari berbagai
26
4.4. Metode Analisis Data
Data–data yang telah diperoleh dari lapangan diklasifikasikan melalui analisis tabulasi. Bentuk tabulasi mudah dibaca dan dipahami dikarenakan data
primer hasil wawancara baik kualitatif maupun kuantitatif ditransformasikan/diubah dalam bentuk tabel. Data mengenai biaya, penerimaan, dan lain-lain digunakan sebagai perhitungan dalam analisis pendapatan petani.
Perhitungan analisis usahatani dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007, Minitab Release 14.1, SPSS 17, dan Eview 6. Tabel 2 berikut ditampilkan matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan dalam penelitian.
Tabel 2. Matrik Metode Analisis Data
No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data
1.
4.4.1. Mengidentifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani SRI dan Konvensional
Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi Cobb
27 melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut variabel dependen
yaitu variabel yang dijelaskan (Y) dan yang lain disebut variabel independen yang menjelaskan (X). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi SRI dan Konvensional menggunakan kaidah-kaidah dalam regresi yang berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb Douglas. Secara matematik, fungsi Cobb Douglas dapat dituliskan:
Y = aX1b1X2b2X3b3X4b4X5b5X6b6eu
Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan diatas maka
persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut.
Logaritma dari persamaan diatas, adalah:
Ln Y = Ln a+ b1 LnX1 + b2LnX2 + b3LnX3+ b4LnX4+ b5LnX5+ b6LnX6+ u Bila fungsi Cobb Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka:
Y = f(X1,X2,...Xn)
Y = produksi usahatani padi X1 = benih (kg)
X2 = pupuk (kg)
X3 = tenaga kerja dalam keluarga (Rp)
X4 = tingkat pendidikan (tahun) X5 = pengalaman bertani (tahun) X6 = luas lahan (ha)
28 Pentingnya penggunaan fungsi Cobb Douglas dalam pendugaan produksi
usahatani yaitu:
a. Penyelesaian fungsi Cobb Douglas relatif lebih mudah dibandingkan
dengan fungsi lain, seperti fungsi kuadratik.
b. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukan besaran elastisitas.
c. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukan tingkat besaran Return to Scale.
Menurut Soekartawi (2002) fungsi Cobb Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol
b. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi
pada setiap pengamatan.
c. Tiap variabel adalah perfect competition
d. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah
tercakup pada faktor kesalahan u.
Selain itu, fungsi Cobb Douglas pun memiliki kelemahan yaitu elastisitas
berada dalam linier aditive yang memiliki arti bahwa tidak mempengaruhi interaksi dalam variabel.
4.4.2. Mengidentifikasi Pendapatan dan Kesejahteraan Usahatani dengan Metode SRI dan Konvensional
29 tunai. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual. Penerimaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dimana,
TR = Total Penerimaan Usahatani (Rp) Q = Produksi (Kg)
P = Harga jual produk per unit (Rp/Kg)
Rumus Biaya Tetap (Fixed Cost) juga dapat dipakai untuk menghitung Biaya Variabel (Variabel Cost). Karena total biaya (Total Cost) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC), dapat digunakan rumus:
Pendapatan Usahatani:
Dimana,
= Pendapatan Usahatani (Rp)
TR = Total Penerimaan Usahatani (Rp) TC = Total Biaya Usahatani (Rp)
Biaya penyusutan perlu diperhitungkan karena usahatani padi ini
menggunakan peralatan pertanian dalam aktivitasnya. Biaya penyusutan peralatan pertanian diperhitungkan dengan menggunakan metode garis lurus, yaitu
membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang diperkirakan dangan lamanya modal dipakai. Metode garis lurus dirumuskan sebagai berikut:
30 Dimana,
Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Perkiraan nilai sisa (Rp)
N = Umur ekonomi alat (tahun)
Menurut Sajogyo, salah satu penentuan garis kemiskinan diukur dari nilai tukar beras. Berdasarkan nilai tukar beras dibedakan garis kemiskinan pedesaan
dan perkotaan. Di desa ditentukan nilai 180, 240, dan 320 kilogram serta di kota ditentukan nilai 270, 360, dan 480 kilogram setara beras per orang per tahun.
Ukuran batas garis kemiskinan Sajogyo dapat dilihat antara lain,
Pendapatan Usahatani (Rp/bulan) > Batas Garis Kemiskinan
Maka, usahatani tersebut tidak dikatakan miskin yang berdampak pada tercukupinya pangan per rumah tangga petani dan kesejahteraan petani tercapai.
Pendapatan Usahatani (Rp/bulan) < Batas Garis Kemiskinan
Maka, usahatani tersebut dikatakan miskin yang berdampak kurang tercukupinya pangan per rumah tangga petani dan kesejahteraan petani belum tercapai.
Penentuan batas garis kemiskinan dapat ditentukan dengan
mengkonversikan nilai garis kemiskinan di desa ataupun kota dalam satuan bulan per kilogram, lalu kali dengan harga beras saat ini. Cara mengubahnya dalam
satuan rumah tangga petani dikalikan dengan rata-rata jumlah tanggungan jiwa keluarga.
4.4.3. Mengidentifikasi Pengaruh Penerapan Metode SRI terhadap Lingkungan
31 lahan untuk meningkatkan konservasi air dan memperbaiki struktur dan tekstur
tanah. Penerapan penggunaan MOL dengan cara teknis masing-masing sesuai dengan bahan yang ada dan merupakan suatu kebutuhan petani pelaku SRI
setempat. Dan sistem pengendalian hama terpadu dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang tersedia di daerah masing-masing, hal ini dapat menimbulkan interaksi lingkungan yang baik atau terjadinya perputaran siklus
kehidupan.
4.5. Pengujian Asumsi-Asumsi Regresi
A. Pengujian Asumsi Regresi Cobb Douglas
Metode pendugaan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode Cobb Douglas, sehingga agar model yang digunakan sesuai dengan asumsi, maka dilakukan pengujian-pengujian Gujarati (1978). Pengujian asumsi tersebut sebagai berikut :
1. Peubah Xi merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas Xi.
2. Normalitas
Regresi linear normal klasik mengasumsikan bahwa tiap ei
didistribusikan secara normal dengan
|
[ ][ ]
32
| [ ]
Asumsi ini secara ringkas bisa dinyatakan sebagai ei ~ N(0, σ2)
Artinya komponen sisaan ei mempunyai nilai harapan sama dengan
nol, tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan ei, dan komponen sisa menyebar normal. Dengan probabilitas normal
masing-masing nilai pengamatan dipasangkan dengan nilai harapan pada distribusi normal. Normalitas terpenuhi apabila titik-titik (data) terkumpul di sekitar garis.
3. Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang sempurna
atau pasti, di antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Situasi multikolinearitas sempurna adalah penyakit yang ekstrim. Biasanya tidak terdapat hubungan yang pasti atau eksak di antara
variabel X. Adanya kolinearitas seringkali diduga ketika R2 tinggi dan korelasi derajat nol juga tinggi, tetapi tak satu pun atau sangat sedikit
33 4. Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (ei) sama atau homogen, yang menunjukkan bahwa untuk
masing-masing nilai peubah X, sebaran atau ragam disekitar garis regresi adalah sama atau konstan. Jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi, maka ada masalah
heteroskedastisitas. Hal ini dapat dilihat dengan metode grafik dari plot antara sisaan dengan nilai dugaan telah menunjukkan bahwa titik-titik
telah menyebar secara acak dan tidak membentuk pola. Selain itu, Heteroskedastisitas dapat diidentifikasi pula dengan melakukan pengujian
White, melalui sebaran Scale explained SS yang diregresi dengan variabel yang diuji, dimana jika nilai P > alpha maka asumsi Homoskdastisitas terpenuhi. White menyarankan bahwa jika heteroskdastisitas ragam sisaan
berkolerasi dengan satu peubah seperti X dan X2 untuk kemungkinan nonlinearitas.
5. Autokorelasi
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokoelasi atau korelasi serial antara sisaan (ei). Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas untuk i ≠ j, dan dikenal juga sebagai bebas serial
(serial independence). Jika antar sisaan tidak bebas untuk i ≠ j, maka terdapat masalah korelasi. Istilah korelasi dapat juga didefinisikan sebagai
korelasi antara anggota serangkain observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dapat
34 masalah autokorelasi ini pada umumnya terjadi pada data time series, sehingga pada penelitian ini tidak dilakukan karena data yang digunakan merupakan data cross section.
B. Koefisien Determinasi Terkoreksi (adjusted-R2)
Koefisien determinasi terkoreksi mempunyai karateristik yang diinginkan
sebagai ukuran goodness of fit dari pada koefisien determinasi. Jika peubah baru ditambahkan, R2 selalu naik, tetapi adjusted-R2 tidak tergantung pada jumlah peubah. Nilai koefisien determinasi berkisar antara nol dan satu. Jika nilai
koefisien determinasi semakin mendekati satu berarti semakin besar keragaman hasil pendapatan dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya.
C. Pengujian Parameter Secara Keseluruhan (Uji-F)
Menurut Bambang Juanda (2009) pengujian ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model
mempunyai pengaruh secara nyata terhadap variabel yang akan dijelaskan atau tidak. Pengujian hipotesa secara statistik menggunakan uji-F, yaitu :
Fhit =
⁄ ⁄
Dimana,
JKT = Jumlah kuadrat tengah regresi
JKG = Jumlah kuadrat tengah galat/sisa regresi n = Jumlah pengamatan
k = Jumlah variabel bebas
Jika,
35 H1: data dari sampel yang berbeda
dengan menggunakan kriteria keputusan sebagai berikut : Fhit > Ftabel (k-1 ; n-k) maka tolak H0
Fhit < Ftabel (k-1 ; n-k) maka terima H0
Hal ini berarti, jika H0 ditolak maka model dugaan dapat digunakan untuk diramalkan hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel penjelas pada
tingkat signifikan atau tingkat kepercayaan tertentu (α %).
D. Pengujian Parameter Secara Parsial/Individu (Uji-t)
Menurut Bambang Juanda (2009) pengujian uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang digunakan satu per satu
berpengaruh nyata secara statistik terhadap besarnya variabel tak bebas. Pengujian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
thit =
Dimana,
bi = nilai koefisien regresi dugaan
Sbi = simpangan baku koefisien dugaan d = batasan yang diharapkan
Adapun kriteria penarikan kesimpulan pada pengujian hipotesis tersebut adalah : thit > ttabel(α ; n-k) atau p-value(output komputer) < α maka tolak H0
thit < ttabel (α ; n-k) atau p-value(output komputer) > α maka terima H0
Jika H0 ditolak, artinya adalah variabel yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap variabel tak bebas. Sebaliknya, jika H0 diterima, maka variabel yang
36
4.6. Definisi Operasional
Variabel yang diamati merupakan data dan informasi mengenai usahatani padi yang diusahakan usahatani dengan perbedaan metode budidaya. Sehingga
untuk menghindari ketidaksamaan pandangan dalam pengertian, maka terdapat beberapa hal yang perlu diberi batasan sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari
penelitian. Batasan-batasan tersebut meliputi :
1) Luas lahan garapan adalah luas areal usahatani padi dalam satuan hektar (ha) (merupakan lahan yang digunakan untuk menanam padi saja).
2) Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan usahatani untuk membeli pupuk, benih, upah tenaga kerja luar keluarga dan lain-lain. 3) Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk pemakaian input milik
sendiri dan pembayaran upah tenaga kerja berdasarkan tingkat upah yang berlaku.
4) Biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.
5) Harga jual padi adalah harga padi dalam bentuk GKP ditingkat petani dalam
satu musim panen dengan satuan rupiah per kilogram. Harga jual yang digunakan adalah sama baik dari hasil padi metode SRI dan metode
konvensional.
6) Penerimaan usahatani padi adalah nilai produksi yang diperoleh dari produk
37 7) Pendapatan usahatani padi merupakan selisih antara penerimaan dan biaya
usahatani. Oleh karena terdapat dua macam biaya, maka perhitungan pendapatan dilakukan atas biaya tunai dan biaya total.
8) Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi padi baik untuk persiapan bibit, pengolahan lahan, penanaman dan pemeliharaan, pemanenan. Tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja dalam dan luar
keluarga. Satuan kerja yang digunakan baik tenaga kerja pria, maupun tenaga kerja wanita adalah Hari Orang Kerja (HOK).
9) Tingkat pendidikan petani adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh petani (kelas pendidikan formal).
10) Pengalaman usahatani padi adalah lama petani melakukan usahatani padi (tahun).
11) Tingkat produktivitas padi adalah produksi padi yang dihasilkan per luasan
38
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH, RESPONDEN, DAN BUDIDAYA PADI
5.1. Keadaan Umum Permasalahan Kabupaten Cianjur
Penduduk Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 berjumlah 2.168.514 jiwa
yang terdiri atas 1.120.550 laki-laki dan 1.047.964 perempuan. Dari hasil sensus penduduk 2010 masih tampak bahwa penyebaran penduduk kabupaten Cianjur
masih bertumpu di Cianjur wilayah utara yakni sebesar 60,68 persen, sedangkan wilayah tengah dan selatan hanya 39,32 persen. Dengan luas wilayah kabupaten Cianjur sekitar 3.501,48 kilometer persegi yang dialami oleh 2.168.514 orang
maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk kabupaten Cianjur adalah sebanyak 127 jiwa perkilo meter persegi.8
Penduduk yang merupakan angkatan kerja sebanyak 960.201 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari yang bekerja sebanyak 847.542 jiwa dan pengangguran sebanyak 112.659 jiwa. Sektor pertanian menjadi penyerap tenaga kerja terbesar
dengan kontribusi sebesar 48,12 persen diikuti dengan sektor perdagangan dengan kontribusi sebesar 23,73 persen. Persentase penyerapan tenaga kerja tahun 2008 di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Angkatan Kerja di Kabupaten Cianjur Tahun 2008
Angkatan Kerja Jumlah Persentase (%)
Pengangguran 112.659
Bekerja
- Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan - Industri
- Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel - Jasa Kemasyarakatan
39 Volume air permukaan di Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 sebesar
917.000 m3 menurut PSDAP (2011). Penggunaan air permukaan dibutuhkan dalam menanam padi sedangkan penyuplaian dengan sistem air permukaan
membutuhkan kapasitas penyimpanan yang besar untuk mengumpulkan air sepanjang tahun dan melepaskannya pada suatu waktu tertentu.
Keadaan curah hujan di suatu daerah sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan air dan kondisi lahan pertanian. Peningkatan curah hujan menyebabkan peningkatan jumlah curah hujan itu sendiri, sebaliknya penurunan
curah hujan akan menyebabkan penurunan jumlah curah hujan. Hal ini tentu saja akan memperpanjang atau memperpendek musim hujan (Handoko et al. 2008). Curah hujan yang tidak stabil telah menyebabkan meningkatnya serangan hama
dan penyakit terhadap tanaman padi. Data curah hujan Kabupaten Cianjur tahun 2006-2008 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data Curah Hujan Kabupaten Cianjur Tahun 2006-2008
Tahun Luas Kabupaten
Sumber: Integrated Microhydro Development and Application Program, 2009 Kabupaten Cianjur memiliki rata-rata luas tanam yang lebih tinggi dari pada luas panennya selama empat tahun. Rata-rata produktivitas yang diperoleh
sebesar 53,51 persen dengan rata-rata produksi 785.575 kg. Perkembangan intensifikasi pertanian tanaman pangan Kabupaten Cianjur sangat baik sehingga perlu upaya yang dicapai dalam meningkatkan peran aktif masyarakat tani yaitu
40 Petani Organik) agar keberadaan kelembagaan petani seperti P3A Mitra Cai,
Kelompok Tani, Gapoktan dapat mengembangkan dinamika kelompoknya. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan Intensifikasi Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010-2011
Tahun Luas Tanam
Rata-rata 150.747 146.485 785.575 53,51
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, 2011
Organisasi Gabungan Petani Organik terbentuk pada tanggal 27 Juli 2008
yang merupakan wadah untuk menghimpun para petani organik yang terdapat di wilayah Kabupaten Cianjur. Anggotanya terdiri dari perwakilan para petani yang telah mengikuti pelatihan SRI. Adapun visi dan misi terbentuknya GPO yaitu
memiliki visi sebagai organisasi yang menjadi wadah untuk meningkatkan kesejahteraan para petani dan melestarikan lahan serta lingkungan. Misi GPO
yaitu untuk menghimpun potensi berbagai pihak yang terkait dengan pertanian organik, membina kerjasama yang saling menguntungkan diantara pihak yang
41
Sumber: Gabungan Petani Organik (GPO)
Gambar 3. Gabungan Petani Organik (GPO)
Pengembangan padi ramah lingkungan metode SRI dapat memberikan kesadaran kepada petani untuk lebih bersikap arif terhadap penggunaan pupuk dan
pestisida kimia. Petani menjadi lebih mandiri karena tidak harus tergantung kepada penggunaan input tersebut. Usahatani padi organik metode SRI berbeda dengan usahatani padi metode konvensional, meskipun tahapan kegiatan
Pelindung
Bupati Kabupaten Cianjur
Penasehat
HKTI Kabupaten Cianjur
Pembina
Dinas Pertanian TPH dan Dinas PSDAP
Ketua H.U Suparman
Wakil Ketua Didin
Bendahara
Yayan Royani dan Enang Sekretaris
Asep Ramdan dan Ani
Bidang Advokasi Dadang H Bidang Pemasaran
H. Enoh
42 budidayanya pada umumya sama saja. Teknik budidaya organik SRI telah
menggunakan bahan-bahan organik sebagai inputnya seperti pupuk kandang, sisa-sisa tanaman dan berbagai jenis tanaman yang berguna untuk pestisida alami.
Budidaya organik SRI ini menyebabkan kebutuhan organik seperti pupuk kandang dan jerami berubah fungsi sebagai pengganti pupuk kimia. Pembuatan pupuk organik dipermudah lagi dengan adanya bantuan dari dinas pertanian
Kabupaten Cianjur berupa mesin appo yang dapat mencacah bahan-bahan organik tersebut. Mesin tersebut dapat mengolah sekitar tujuh ton perhari kotoran hewan
yang dihasilkan dari hewan-hewan ternak.
Budidaya padi dengan metode SRI dibedakan dengan teknik budidaya
padi konvensional. Perbedaan budidaya tersebut terlihat dalam hal penggunaan jumlah bibit per rumpun, umur bibit yang ditanam, cara seleksi benih, pemberian MOL pada padi SRI dan tata cara pengaturan air. Oleh karena itu pada bagian ini
hanya diuraikan kegiatan budidaya padi dengan metode SRI yang dapat sekaligus menggambarkan kegiatan budidaya padi konvensional di Kabupaten Cianjur.
5.2. Gambaran Umum Petani Sampel
Gambaran umum petani sampel diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan para petani yang menerapakan pertanian SRI dan petani konvensional. Hal
ini berguna untuk melihat karateristik umum petani. Karateristik yang digunakan merupakan variabel yang akan digunakaan dalam menentukan faktor internal petani menerapkan sistem pertanian SRI. Karateristik umum petani pada
43 Rincian karateristik umum pada kedua sampel populasi petani didapat pada
lampiran 1 dan 2.
Pendidikan merupakan peubah penjelas yang menerangkan lamanya petani
mengikuti pendidikan formal. Pendidikan diukur berdasarkan satuan tahun. Jumlah petani yang menerapkan pertanian SRI di Kabupaten Cianjur memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani konvensional. Apabila
dilihat dari jenjang pendidikan, 33,33 persen petani SRI telah mencapai pendidikan setingkat SMU dan 16,67 persen lulusan perguruan tinggi, sedangkan
petani konvensional hanya 16,67 persen lulusan setingkat SMU dan tidak satupun yang memasuki perguruan tinggi. Lama pendidikan petani sampel dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Lama Pendidikan Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010/2011
Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Soekartawi (1986), menyatakan
bahwa petani yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan suatu inovasi dari pada petani yang berpendidikan rendah relatif sulit untuk melaksanakan suatu inovasi.
Umur petani mencerminkan kemampuan petani dalam berusahatani. Umur terkait dengan kondisi fisik dalam menggarap lahannya. Kelompok terbesar petani
44 pada petani SRI dengan persentase 60 persen maupun konvensional dengan
persentase 63,33 persen. Pada umur tersebut petani termasuk pada umur produktif, namun sudah tidak tergolong muda. Usahatani khususnya padi tidak
diminati oleh tenaga kerja muda, hal ini dapat dilihat dari persentase tenaga kerja pada rentang umur 21 sampai dengan 40 tahun hanya 20 persen pada petani SRI dan 26,67 persen pada petani konvensional. Persentase petani yang berumur tua
lebih banyak pada petani yang menerapkan SRI, yaitu 20 persen sedangkan petani konvensional hanya 10 persen pada rentang umur 61 sampai dengan 80 tahun.
Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Umur Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010/2011
Umur (tahun) Frekuensi (orang)
Petani SRI Petani Konvensional
0-20 0 0
21-40 6 8
41-60 18
6
19
61-80 3
Jumlah 30 30
Sumber: Data Primer, 2011
Jumlah tanggungan petani merupakan beban ekonomi terhadap anggota keluarganya. Satuan pengukurannya didasarkan banyak orang/jiwa yang menjadi
tanggungan petani. Petani sampel di Kabupaten Cianjur memiliki jumlah tanggungan dalam rentang dua sampai dengan empat jiwa. Hal ini dikarenakan secara statistik rentang ini memiliki persentase tertinggi yaitu 76,67 persen petani
45 Tabel 8. Jumlah Tanggungan Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun
2010/2011
Luas lahan adalah banyaknya sawah yang digarap petani berdasarkan ukuran panjang dengan satuan hektar. Petani padi di Kabupaten Cianjur pada
umumnya memiliki luas garapan yang sempit. Petani SRI maupun konvensional sebagian besar menggarap sawah dengan luas kurang dari 0,5 hektar. Menurut
Soekartawi (2002), salah satu ciri pertanian di Indonesia adalah dicirikan dengan pengusahannya dalam luas usaha yang relatif sempit. Persentase luas lahan padi sawah petani sampel menggunakan metode SRI sebesar 73,33 persen sedangkan
dengan menggunakan metode konvensional memiliki luas garapan 60 persen untuk luas lahan kurang dari 0,5 hektar. Kondisi ini dapat dikaitkan bahwa petani
lahan luas tidak bersedia merubah sistem budidayanya dikarenakan kerugian yang akan diterimanya akan lebih besar daripada lahan sempit jika sistem baru tersebut dalam pelaksanaannya mengalami kegagalan. Informasi lebih jelas dapat
dijelaskan pada Tabel 9.
46 Status kepemilikan lahan merupakan kondisi yang menunjukan kondisi
penguasaan petani terhadap lahan garapannya. Persentase pengusahaan lahan pemilik sampel dengan metode SRI sebesar 56,67 persen sedangkan metode
konvensional sebesar 20 persen. Petani penggarap dapat dibedakan menjadi dua yaitu penggarap sakap atau bagi hasil dengan sistem 50:50 dan penggarap penyewa, dalam sampel didapat persentase petani SRI penggarap sebesar 43,33
persen sedangkan konvensional sebesar 80 persen. Status pengusahaan lahan petani sampel dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Status Pengusahaan Lahan Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010/2011
Status Pengusahaan Lahan
Frekuensi (orang)
Petani SRI Petani Konvensional
Pemilik 17 6
Penggarap 13 24
Jumlah 30 30
Sumber: Data Primer, 2011
Pengalaman bertani merupakan lamanya petani melakukan budidaya padi.
Ukuran pengalaman bertani diukur berdasarkan satuan tahun. Pengalaman bertani dengan metode SRI sekitar 100 persen berada pada rentang pengalaman kurang
dari 10 tahun bertani. Kondisi ini mencerminkan bahwa petani relatif memiliki sikap dan pola pikir yang sama yaitu petani membutuhkan waktu yang lama
47 Tabel 11. Pengalaman Bertani Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode
Tahun 2010/2011
5.3. Budidaya Padi Organik Metode SRI
Kegiatan usahatani padi organik SRI merupakan budidaya yang lebih
mengutamakan potensi lokal yang ramah lingkungan dan mendukung pemulihan kesuburan tanah. Pada prinsipnya pertanian ini sebagai konservasi air serta
mendaur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan biomasa ke dalam tanah seperti tidak membakar jerami di areal pesawahan akan tetapi jerami tersebut dapat dikembalikan ke tanah yang melalui proses dekomposisi jerami
dapat menjadi bahan organik. Oleh karena itu budidaya padi ini sama sekali tidak lagi menggunakan input anorganik baik itu pupuk atau pestisida kimia.
Hasil penanaman padi di Kabupaten Cianjur dengan menggunakan metode SRI sudah bebas dari residu kimia, namun sertifikat organik belum dapat diperoleh karena terdapat kendala. Kendala yang dihadapi adalah bahwa luas
lahan yang diusahakan petani SRI belum mencapai total 25 hektar dalam satu luasan sedangkan luas lahan petani SRI di Kabupaten Cianjur sebagian besar memiliki luas lahan kurang dari 0,5 hektar dengan plot lahan yang terpisah atau
tidak dalam satu luasan. Adapun budidaya padi organik SRI di Kabupaten Cianjur ini meliputi pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, penyulaman, pemupukan,
48
5.3.1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi tanah dari segi kandungan unsur dan hara untuk memperbaiki pengairan
(drainase) sehingga tanah atau lahan siap untuk ditanami dengan harapan memperoleh hasil yang maksimal. Pada dasarnya proses pengolahan tanah yang dilakukan petani padi organik SRI hampir sama dengan pengolahan tanah yang
dilakukan oleh petani padi konvensional. Adapun beberapa kegiatan pengolahan tanah yang dilakukan adalah pembajakan, pembuatan saluran air, perataan tanah
dan babad galeng pematang.
Proses pengolahan tanah untuk padi organik metode SRI di Kabupaten
Cianjur dilakukan sebanyak dua kali, adapun proses pengolahan tanah yang pertama adalah lahan dibajak dengan menggunakan traktor, kerbau dan cangkul, setelah itu jerami dimasukan ke lahan, lalu petani biasanya membuat pematang
sawah (galengan). Setelah lahan dibajak pada petakan lahan dibuat saluran air setelah itu pupuk kandang atau kompos dimasukan ke lahan dan diratakan setelah itu diairi dengan kondisi macak-macak atau tidak terlalu tergenang, ini dilakukan dengan tujuan agar pupuk tidak mudah terbawa air kemudian lahan diberi pupuk dan didiamkan selama satu minggu sampai dua minggu. Pada waktu yang
bersamaan biasanya petani merapikan pematang sawah dengan cara pematang dikikis dengan cangkul yang kemudian dilempar ke lahan, setelah itu pematang kembali ditambal dengan tanah berlumpur hingga rata. Pengolahan tanah kedua
yaitu tanah dicangkul dan diratakan dalam kondisi air yang tetap macak-macak
49 Pembibitan (penyemaian benih) memerlukan waktu yang berbeda. Bibit
yang ditanam pada budidaya padi metode SRI berumur 7-10 hari setelah semai sedangkan untuk budidaya padi konvensional umur padi yang ditanam yaitu 20-22
hari setelah tanam. Proses penyemaian benih petani di Kabupaten Cianjur sebagian besar dilakukan di sawah dan sisanya di nampan.
5.3.2. Pembibitan
Pembibitan merupakan salah satu budidaya perlakuan benih padi. Pembibitan terdiri dari penyemaian dan perlakuan benih sebelum tebar yang dapat
dijelaskan dibawah ini.
5.3.2.1. Penyemaian
Persemaian benih metode SRI di Kabupaten Cianjur sebagian besar dilakukan di lahan, namun terdapat pula yang melakukan persemaian benih di nampan. Persentase persemaian benih di nampan sebesar 30 persen sedangkan di
lahan sebesar 70 persen. Persentase persemaian benih dengan menggunakan metode konvensional 100 persen dilakukan di lahan. Ini disebabkan karena kebiasaan petani melakukan persemaian benih di lahan, dan merasa takut
melakukan inovasi yang baru. Padahal keuntungan persemaian di nampan yang dirasakan petani yang telah mengadopsinya adalah dapat menghemat lahan
penyemaian, menghemat biaya tenaga kerja, lebih praktis, dan hasilnya lebih baik. Proses kegiatan persemaian diawali dengan persiapan media persemaian dengan memakai nampan yang diisi dengan pupuk organik dan tanah, dengan
50 agar selalu lembab sedangkan persemaian di lahan dilakukan diatas terpal yaitu
setelah terpal disiapkan maka ditaburi dengan kompos kemudian ditimpa oleh pasir atau tanah, lalu benih disebar diatas permukaan terpal tersebut dan ditutup.
Berbeda dengan kegiatan persemaian yang dilakukan pada usahatani padi konvensional, yaitu pada saat akan dilakukan penyemaian terlebih dahulu lahan dipersiapkan untuk tempat penyemaian. Persiapan tersebut biasanya dilakukan
setelah lahan selesai dibajak atau pada saat lahan diberi pupuk. Lahan yang telah dibajak pada pengolahan lahan dibuat menjadi beberapa petak yang kemudian
petak semai tersebut diratakan permukaannya.
5.3.2.2. Perlakuan Benih Sebelum Sebar
Benih yang ditanam di persemaian diharapkan tumbuh semuanya dengan baik dan optimal. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Cianjur dalam mempersiapkan benih sebelum ditebar di persemaian
adalah proses seleksi dan perendaman, dapat dilihat pada lampiran 3. Seleksi benih ini dapat berguna untuk memisahkan benih yang baik dengan benih yang hampa dan kotoran benih lainnya. Setelah itu dilakukan perendaman benih. Pada
umumnya petani SRI lebih kreatif dari pada petani konvensional. Benih dapat dibuat sendiri dari benih sebelumnya yaitu benih yang sudah masak ditarik untuk
dijadikan benih persemaian. Ini dapat menghemat dalam pembelian benih di toko secara berkelanjutan.
Perendaman benih adalah suatu perlakuan yang berguna untuk
51 ditiriskan selama dua hari, sampai benih mengeluarkan kecambah maka benih
siap untuk ditanam.
5.3.3. Penanaman (Tandur)
Petani padi metode SRI umumnya menanam bibit relatif muda (7-14 hari).
Bibit pada umur ini telah memiliki dua helai daun atau lebih tinggi 10-15 cm
sehingga bibit perlu diperlakukan secara hati-hati terutama pada bagian akar agar
tidak rusak dicabut dari persemaian.
Benih muda pada metode SRI ini diharapkan dapat menumbuhkan tunas lebih awal dan akan banyaknya pertumbuhan tunas primer sebagai tunas yang
lebih produktif serta lebih cepat pembentukannya. Hal ini berbeda dengan metode konvensional yang menanam bibit yang telah berumur relatif tua yaitu 20-22 hari
setelah tanam.
Sebelum bibit ditanam, lahan dibuat pola jarak tanam dengan menggunakan caplakan. Menaplak lahan dilakukan dua kali dengan arah yang berlawanan (vertikal-horizontal) sehingga terbentuk pola tanam dengan jarak tanam yang ukurannya telah ditentukan pada caplakan. Usahatani padi metode SRI di Kabupaten Cianjur menggunakan jarak 28 x 28 cm2 sampai 35 x 35 cm2.
Jarak tanam tersebut relatif lebih luas dibandingkan jarak tanam padi konvensional (25 x 25 cm2 sampai 30 x 30 cm2). Jarak tanam yang lebar pada SRI
dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada tanaman dalam pembentukan anakan, pertumbuhan akar dan masuknya sinar matahari kedalam perakaran
52 bibit di salah satu sudut secara bergerombol, penanaman ini dinamakan
penyulaman.
Penanaman padi metode SRI berbeda dengan penanaman padi
konvensional. Bibit yang ditanam pada padi konvensional paling sedikit empat per rumpun dan ujung akar tanaman biasanya masih berada dipermukaan tanah. Berbeda dengan cara penanaman padi SRI, pada metode ini banyaknya bibit per
rumpun yaitu satu bibit per rumpun (benih tunggal), namun sebagian petani SRI di Kabupaten Cianjur menanam bibitnya sebanyak dua sampai tiga bibit per
rumpun. Alasan petani padi SRI tersebut adalah masih takut dan ragu jika hanya menanam satu bibit disaat cuaca buruk yaitu hujan atau terkena serangan hama
dan penyakit. Pada proses penanaman ini kegiatan pencabutan bibit dari tempat persemaian harus secara hati-hati dengan jarak waktu dari cabut ke tanam tidak lebih dari 15 menit dan bulir padi tetap dijaga serta kondisi akar horizontal
sehingga membentuk huruf L. Kenudian benih ditanam dangkal 0,5-1 cm, hal ini dilakukan untuk menghindari kematian akibat busuk akar.
Kendala pada usahatani padi SRI adalah jika faktor cuaca tidak
mendukung biasanya terjadi pada musim hujan, ketika musim tanam dan hujan cukup besar maka bibit padi yang baru saja ditanam terlepas karena areal sawah
terendam air, hal ini dapat terjadi karena pada metode SRI padi ditanam dangkal, sehingga bibit padi tidak kuat menahan genangan air yang membanjiri sawah. Selain cuaca, faktor hama juga merupakan salah satu kendala pada pertanian
organik SRI maupun konvensional. Petani konvensional hanya menanam bibit pada umur tua dan ditanam dalam sehingga tidak takut jika bibit yang baru