• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh penerapan metode sri dan metode konvensional terhadap pendapatan usahatani padi (Studi Kasus Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh penerapan metode sri dan metode konvensional terhadap pendapatan usahatani padi (Studi Kasus Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)"

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Populasi manusia yang meningkat mengakibatkan peningkatan kebutuhan

manusia yang tidak terbatas namun kondisi sumberdaya alam terbatas. Berdasarkan hal tersebut, ketidakseimbangan jumlah penduduk dan ketersediaan air menjadi masalah baru konflik global di abad ini. Sumberdaya air tidak ada

substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global terhadap kelangkaan air karena adanya prediksi Gardner-Outlaw Engelman (1997)

yang didukung PBB, bahwa pada tahun 2050 diprediksi satu dari empat orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih1.

Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan air mencapai 2.530

km3/tahun dan salah satu negara yang memiliki cadangan air terkaya di dunia. Isu kelangkaan air harus menjadi perhatian khusus bagi Indonesia karena pada musim

kemarau terlihat sangat kontras bahwa kelangkaan air menjadi isu krusial. Kelangkaan air dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, eksploitasi besar-besaran air tanah yang dilakukan oleh gedung-gedung, rumah sakit, pusat

pembelanjaan, apartemen, pemukiman, dan bangunanan lainnya. Kedua, pembangunan gedung tidak mematuhi perbandingan lahan terpakai dan lahan

terbuka, sehingga mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah. Selain itu Indonesia sebagai negara agraris membutuhkan penggunaan air

dalam tahap budidaya padi, kebutuhannya mencapai satu per tiga total kebutuhan air selama budidaya. Pada saat ini, air kurang mencukupi bahkan tidak tersedia pada saat pengolahan tanah. Hal ini terjadi karena mundurnya musim penghujan

(2)

2 atau musim kemarau yang terlalu panjang, sehingga debet air pada saluran irigasi

menyusut atau bahkan kering. Sumber-sumber air semakin langka akibat perubahan kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan tanah menyerap dan

menyimpan air. Jika kondisi demikian berlanjut dapat menyebabkan terganggunya produksi padi sehingga menghambat upaya pelestarian swasembada beras.

Banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah

tersebut, seperti perbaikan dan pembangunan saluran irigasi baru, perencanaan tata ruang, dan lain-lain. Namun, jika usaha tersebut tidak diimbangi dengan

penghematan air diberbagai sektor, termasuk sektor pertanian dalam budidaya padi sawah, tidak akan berarti.

Cianjur merupakan Kabupaten di Jawa Barat yang terkenal hasil padinya, lahan pertanian yang subur, dan pengairan terhadap lahan pertanian serta masyarakat yang dominan bekerja di sektor pertanian. Pada saat pengolahan tanah

kebutuhan air cukup banyak. Kegiatan pengolahan tanah sawah terdiri dari tahap penggenangan tanah hingga tanah jenuh air, tahap pembajakan, yaitu pemecahan tanah menjadi bongkahan-bongkahan dan pembalikan tanah dan tahap menggaru

untuk menghancurkan dan melumpurkan tanah. Ketiga tahap tersebut membutuhkan lebih dari satu per tiga total kebutuhan air selama budidaya padi.

Penerapan metode konvensional menimbulkan dampak negatif jangka panjang, seperti pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian yang membahayakan kesehatan manusia dan hewan disebabkan pestisida serta

(3)

3 organisme pengganggu terhadap pestisida kimia, menurunnya daya produktivitas

lahan karena erosi, ketergantungan sumber daya alam yang tidak diperbaharui2. Penerapan System of Rice Intensification (SRI) merupakan kegiatan dalam partisipasi yang dilakukan petani dalam usahatani padi. Sebelumnya petani belum mengetahui penerapan SRI sehingga pertanian menggunakan penerapan konvensional, pada penerapan ini pemeliharaan menggunakan produk kimia,

seperti pestisida, herbisida, dan pupuk anorganik. Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi intermitten artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah dan ketersediaan air. Selama kurun waktu penanaman lahan tidak tergenang tetapi macak-macak (basah tapi tidak tergenang). Cara ini bisa menghemat penggunaan air sebesar tiga puluh persen. Selain itu sedikitnya air juga mencegah kerusakan akar tanaman. Disamping menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat penggunaan bibit, sebab

satu lubang tanam hanya ditanam satu bibit.

1.2. Perumusan Masalah

Menurut Maltus, populasi penduduk meningkat sesuai deret ukur

sedangkan pangan bergerak berdasarkan deret hitung. Ini berpengaruh terhadap kecemasan manusia akan kurangnya pangan, maka di perlukan inovasi baru dalam

bidang pertanian agar pangan tidak habis. Penerapan inovasi SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung

terhadap pemulihan kesuburan tanah dan kesehatan penggunaan produknya. Pertanian organik pada prinsipnya menitikberatkan prinsip daur ulang hara

2

(4)

4 melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa kedalam tanah, dan

konservasi air mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Pertama kali petani menerapkan SRI di lahan pertanian

konvensional adalah penggunaan biaya lebih besar dari manfaat yang digunakan untuk beberapa musim panen karena kondisi tekstur tanah relatif tidak stabil. Ini merupakan salah satu kendala dalam pendapatan usahatani padi. Namun setelah

beberapa musim panen terlewati akan memperoleh benefit yang lebih besar dari pada investasi biaya yang dikeluarkan sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi SRI dan Konvensional?

2. Bagaimana tingkat pendapatan dan kesejahteraan usahatani padi dengan

menggunakan SRI dan konvensional?

3. Adakah pengaruh penerapan metode SRI terhadap lingkungan?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum sasaran penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan usahatani padi dengan menggunakan penerapan SRI dan Konvensional.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi SRI dan Konvensional.

2. Menganalisis pendapatan dan kesejahteraan usahatani padi dengan menggunakan penerapan SRI dan penerapan konvensional

(5)

5

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi para pelaku dunia usaha, terutama yang berkecimpung dalam bisnis padi, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

tambahan dan juga dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk meningkatkan produksi padi.

2. Bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah Kabupaten Cianjur dan pemerintahan Provinsi Jawa Barat serta pemerintah Indonesia, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dan bagan pertimbangan dalam

menyusun kebijakan.

3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan serta dapat menjadi wadah aplikasi ilmu-ilmu yang selama ini dipelajari di bangku kuliah dalam kasus nyata.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perbedaan usahatani padi dengan menggunakan penerapan SRI dan penerapan konvensional di daerah Kabupaten Cianjur. Lokasi yang ditunjuk sebagai tempat penelitian terbatas hanya

di daerah yang penulis teliti.

Adapun keterbatasan dari penelitian ini yaitu nilai air tidak dihitung

dilokasi penelitian karena air bukan barang yang langka. Petani penggarap di lokasi penelitian adalah petani yang menggarap lahan sawah orang lain namun

(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pertanian Organik

Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian

mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan. Salah satu teknologi pertanian yang berwawasan lingkungan adalah Pertanian Organik. Pertanian Organik merupakan suatu teknologi budidaya

tanaman yang pada penerapannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan, agar tidak terjadi perubahan ekosistem secara drastis sehingga tidak menggangu dan

memutuskan mata rantai makhluk hidup3.

Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik,

menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia4.

Dapat disimpulkan bahwa Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan

serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan.

2.2. Tujuan dan Kegunaan Budidaya Organik

Sutanto (2002) membagi tujuan budidaya organik dalam tujuan jangka panjang dan pendek. Adapun tujuan dari pertanian organik dalam jangka panjang

adalah:

3www.diperta.jabarprov.go.id/.../Pedoman%20Pertanian%20Organik.pdf diakses tanggal 12 Desember 2010. 4http://id.shvoong.com/exact-sciences/1631931-arti-pertanian-organik/. Diakses tanggal 12 Desember 2010.

(7)

7 1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati dan fungsi keragaman

hayati serta keragaman di dalam bidang pertanian.

2. Membatasi pencemaran lingkungan akibat residu pestisida dan pupuk serta

bahan kimia yang berharga, mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan.

3. Mengurangi ketergantungan petani terhadap input kimia yang berharga

mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan.

4. Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan

produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk dan bahan kimia lainnya.

5. Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki secara turun menurun.

6. Meningkatkan peluang pasar organik, baik domestik maupun global

dengan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha bidang pertanian. Adapun tujuan jangka pendek dari pertanian organik:

1. Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu kimia untuk ikut

menyehatkan mayarakat.

2. Mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga

mampu berproduksi secara berkelanjutan.

3. Mempertahankan dan meningkatkan minat petani pada pertanian organik serta mengembangkan agribisnis dengan menjalin kemitraan antara

petani dan pengusaha pertanian.

Budidaya organik memiliki kegunaan yang pada dasarnya adalah

(8)

8 disebabkan oleh penggunaan bahan kimiawi. Pupuk organik merupakan keluaran

dari setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan telah tersedia dengan sendirinya.

2.3. Konsep Pertanian Ekologis dan Berkelanjutan

Konsep pertanian ekologis secara umum dapat dikatakan sebagai kegiatan

usaha pertanian yang tidak memberikan pengaruh negatif serta tidak merusak lingkungan. Lingkungan disini dapat dibagi dua yaitu lingkungan secara mikro dan makro, lingkungan mikro adalah mencakup wilayah di dalam areal usahatani

termasuk didalamnya keseimbangan ekobiologis, kelestarian keanekaragaman biota dipermukaan dan mikro organisme yang terdapat di dalam lapisan tanah,

tidak terakumulasinya limbah serta residu beracun terjadinya serangan hama dan patogen penyakit dengan parasit, predator, kompetitor dalam keadaan seimbang (Sumarno, et al. 2008).

Maka pertanian dengan ciri ekologis dan ramah lingkungan merupakan usaha pertanian yang terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan produksi dan menerapkan teknologi maju adatif yang ramah lingkungan sehingga

mengoptimalkan produktivitas tanpa harus menurunkan kualitas lingkungan. Lingkungan di dalam pertanian ekologis didalamnya termasuk tenaga kerja

sebagai pelaku usaha, produksi hasil panen, ternak dan satwa komponen habitat. Sedangkan pertanian berkelanjutan merupakan sistem produksi pertanian yang secara terus menerus mampu mencukupi kebutuhan akan pangan serta pakan

(9)

9 perlu dipenuhi dalam pertanian berkelanjutan adalah: (1) tercukupinya kebutuhan

pangan dan pakan untuk saat ini dan saat yang akan datang, (2) kelayakan ekonomi usaha pertanian saat ini dan masa mendatang, (3) kelestarian serta mutu

lingkungan dan sumberdaya alam serta (4) kelestarian akan keanekaragaman hayati. Konsep pertanian ekologis dan berkelanjutan merupakan harapan yang harus dapat direalisasikan agar dapat memperbaiki keseimbangan antara usaha

peningkatan produksi dengan lingkungan produksi.

2.4. Sistem of Rice Intensification Sebagai Adaptasi Perubahan Iklim

Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas

iklim dan variabilitas ekstrim) dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian

yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk meringankan usaha

mitigasi dampak.

Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat potensial untuk mengurangi

dampak perubahan iklim dan meningkatkan dampak manfaat, sehingga tidak ada korban. Pengalaman menunjukan bahwa banyak strategi adaptasi dapat memberikan manfaatbaik dalam penyelesaian jangka pendek dan maupun jangka

panjang, namun masih ada keterbatasan dalam implementasi dan keefektifannya.

Dampak merugikan adalah melanda sektor pertanian akibat pergeseran

(10)

10 pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim

tanam atau panen akan memberikan dampak besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan pangan. Meningkatnya temperatur akan

berdampak terhadap percepatan penguapan air, baik dari tanah maupun tanaman, sehingga tanaman akan rentan terhadap kekurangan air yang pada akhirnya dapat menurunkan produksi. Tidak sebatas itu, dengan naiknya temperatur akan

memberikan keadaan yang kondusif bagi perkembangbiakan beberapa jenis serangga hama yang akan sangat berpotensi menurunkan tingkat produktivitas

bahkan mampu menggagalkan panen.

Perubahan pola curah hujan akan berdampak pada tingginya intensitas hujan dalam periode yang pendek dan akan menimbulkan banjir yang kemudian

menyebabkan produksi pertanian menurun, khususnya padi karena sawah terendam air. Tingginya curah hujan juga mengakibatkan hilangnya lahan karena

erosi dan longsor. Sementara itu di beberapa tempat pola curah hujan terjadi dengan intensitas rendah dalam periode kemarau yang panjang, sehingga terjadi kekeringan dimana-mana yang akhirnya berakibat terhadap rendahnya

produktivitas pertanian.

Oleh karena itu penerapan metode SRI dibutuhkan sebagai cara adaptasi

(11)

11

2.5. Pengertian Budidaya Padi SRI

Sistem of Rice Intensification (SRI) pertama kali dikembangkan pada awal tahun 1980 oleh Frenc Priest dan Fr. Henri de Laulani, J di Madagaskar. SRI

mulai dikenal oleh beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia pada tahun 1997 yang diperkenalkan oleh seorang ahli yaitu Norman Uphoff (Direktur dari Cornell Internasional Institute for Food, Agricultureal and Development) dan pada

tahun 1999 dilakukan percobaan SRI untuk pertama kalinya di luar Madagaskar

(Uphoff, et al, 2002).

Pada dasarnya teknologi SRI memperlakukan tanaman padi tidak seperti

tanaman air yang membutuhkan air yang cukup banyak, karena jika penggenangan air yang cukup banyak maka akan berdampak tidak baik yaitu akan hancurnya bahkan matinya jaringan komples (cortex, xylem dan phloem) pada akar tanaman padi, hal ini akan berpengaruh kepada aktivitas akar dalam mengambil nutrisi di dalam tanah lebih sedikit, sehingga pertumbuhan dan

perkembangan tanaman akan terhambat dan mengakibatkan kemampuan kapasitas produksi akan lebih rendah.

Akibat yang ditimbulkan dari penggenangan air tersebut maka budidaya

padi SRI dapat diartikan sebagai upaya budidaya tanaman padi yang memperhatikan semua komponen yang ada di ekosistem baik itu tanah, tanaman,

mikro organisme, makro organisme, udara, sinar matahari dan air sehingga memberikan produktivitas yang tinggi serta menghindari berbagai pengaruh negatif bagi kehidupan komponen tersebut dan memperkuat dukungan untuk

(12)

12

2.6. Manfaat SRI

Dibandingkan dengan budidaya konvensional, secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut5:

1. Hemat air (tidak digenang), kebutuhan air hanya 20-30 persen dari kebutuhan air untuk cara konvensional.

2. Memulihkan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi

tanah.

3. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli

lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.

4. Membuka lapangan kerja di pedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga petani.

5. Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak

mengandung residu kimia.

6. Mewariskan tanah yang subur untuk generasi mendatang.

Selain itu, agroekologi dapat menambah keuntungan bagi tanaman dan

melindungi tanaman dari hama.

2.7. Hasil Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian Iwan Setiiaji, et al. (2008) dalam penelitiannya yang berjudul gagasan dan implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam kegiatan budidaya padi ekologis di Ciamis dan Garut, yaitu budidaya padi model SRI di lokasi kajian mampu meningkatkan hasil

5

(13)

13 dibandingkan budidaya konvensional. Peningkatan hasil padi berkisar antara 5-18

persen atau sekitar 0,25-1,0 ton/ha. Pendapatan kotor petani responden dengan menggunakan model SRI meningkat berkisar antara Rp 700.000,00 (di Ciamis)

hingga Rp 2.000.000,00 (di Garut) per ha. Peningkatan pendapatan ini umumnya disebabkan oleh efisiensi penggunaan input seperti bibit, tenaga kerja tanam dan persemaian. Namun demikian secara umum budidaya padi model SRI

memerlukan tenaga kerja lebih banyak terutama dalam kegiatan pengendalian gulma dan hama serta pengairan.

Secara ekonomi, efisiensi produksi dari usahatani model SRI yang di ukur dengan R/C ratio menunjukan bahwa budidaya model SRI lebih rendah dibanding

model konvensional. R/C ratio model SRI di Garut dan di Ciamis masing-masing sebesar 2,16 dan 1,21 sedangakan untuk model konvensional sebesar 2,25 dan 1,72. Namun secara finansial efisiensi usahatani padi model SRI lebih tinggi dari

pada model konvensional, seperti ditunjukan R/C ratio sebesar 3,99 dan 2,73 masing-masing untuk Garut dan Ciamis.

Perbedaannya dengan penelitian terdahulu adalah penggunaan input

dalam perhitungan pendapatan yang tidak begitu sama, selain itu penelitian yang dilakukan penulis saat ini memperhitungkan produksi dengan menggunakan

(14)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Sistem Budidaya Padi Konvensional

Menurut Muhajir dan Nazaruddin (2003) Sistem budidaya padi secara konvensional di dahului dengan pengolahan tanah secara sempurna. Pertama

sawah dibajak. Pembajakan dapat dilakukan dengan mesin, kerbau atau sapi. Dapat juga melalui pencangkulan oleh manusia. Setelah dibajak, tanah dibiarkan selama dua hingga tiga hari. Selanjutnya dilumpurkan dengan cara dibajak lagi

untuk kedua atau ketiga kalinya tiga sampai lima hari menjelang tanam. Setelah itu bibit hasil semaian ditanam.

Penggunaan air sawah sangat banyak, lebih dari satu per tiga kebutuhan air pada saat proses pelumpuran. Namun, ketersediaan air semakin terbatas. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah tanah sawah cukup banyak. Untuk

keperluan pengolahan tanah, tenaga kerja yang diperlukan dapat mencapai tiga puluh persen dari kebutuhan tenaga kerja tanam secara total. Dari tahun ke tahun biaya tenaga kerja juga meningkat. Hal ini dapat meningkatkan biaya produksi

sehingga dapat mengurangi pemasukan bagi petani. Selain itu waktu yang dihabiskan untuk mengolah tanah cukup panjang, yakni sekitar satu per tiga

(15)

15

3.1.2. Sistem Budidaya Padi SRI (System of Rice Intensification)

Menurut Muhajir dan Nazaruddin (2003), pada dasarnya tujuan sistem budidaya padi konvensional tidak berbeda dengan sistem budidaya padi SRI, yaitu

mengendalikan gulma dan menyiapkan lahan agar menjadi media tumbuh yang baik bagi tanaman. Perbedaannya terletak pada efisiensi penggunaan sumber daya dalam persiapan lahannya. Sistem SRI lebih efisien dalam menggunakan air,

lahan, dan lebih berwawasan lingkungan dari pada sistem budidaya padi konvensional.

Air dapat dihemat lebih dari tiga puluh persen. Herbisida yang digunakan dalam penerapan ini harus berwawasan lingkungan, yaitu herbisida yang tidak

meninggalkan residu dalam tanah dan tanaman serta tidak mencemari air. Herbisida akan bekerja mematikan gulma yang tumbuh serta batang padi pada sisa pertanaman sebelumnya singgang. Setelah mati, gulma dan singgang tersebut dapat bermanfaat sebagai mulsa. Mulsa6 ini tidak dibuang melainkan dimanfaatkan untuk pertanaman padi. Mulsa yang berada di areal pertanaman bermanfaat untuk mencegah kerusakan tanah akibat benturan air hujan,

mengurangi penguapan, meningkatkan bahan organik upaya mencapai kesuburan tanah, serta membantu menekan pertumbuhan gulma7 yang tumbuh kemudian.

3.1.3. Pengertian Usahatani

Tjakrawiralaksana dan Soeriatmaja (1983) mendefinisikan usahatani sebagai suatu organisasi produksi di lapangan pertanian dimana terdapat unsur

lahan yang mewakili unsur alam, unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota

6

Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah.

7

Gulma merupakan tumbuhan yang berasal dari spesies liar yang telah lama menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, atau spesies baru yang telah berkembang sejak timbulnya pertanian.

(16)

16 keluarga tani, unsur modal yang beraneka ragam jenisnya, dan unsur pengolahan

dan manajemen yang perannya dibawakan oleh seseorang yang disebut petani. Dalam hal ini istilah usahatani mencakup kebutuhan keluarga, sampai pada

bentuk yang paling modern yaitu mencari keuntungan atau laba.

Menurut Soekartawi (2002), ilmu usahatani biasa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada

secara efektif dan efisien untuk tujuan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan

sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sabaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output).

Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input dengan efektif, efesien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi

sehingga pendapatan usahataninya meningkat.

3.1.4. Fungsi Produksi dan Elastisitas

Menurut Lipsey (1995) untuk memproduksi barang dan jasa menggunakan sumberdaya yang disebut faktor produksi. Faktor produksi seperti bibit, pupuk,

tenaga kerja dalam keluaarga, Pendidikan petani, pengalaman bertani sangat mempengaruhi terhadap besar kecilnya output yang diperoleh dari kegiatan

produksi. Keputusan kombinasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai target produksi ditentukan oleh kebijaksanaan produsen.

Untuk menjelaskan kombinasi-kombinasi input yang diperlukan untuk menghasilkan output, para ekonom menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungasn fisik antara variabel yang

(17)

17 dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input. Umumnya untuk

menghasilkan output diperlukan lebih dari satu input. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut Soekartawi (1990):

Y = f (X1, X2, X3, ..., Xi, ..., Xn) Dimana:

Y = output

X1, X2, X3, ...., Xn = input-input yang digunakan dalam proses produksi

Berbagai macam fungsi produksi telah dikenal dan dipergunakan oleh

berbagai peneliti, tetapi yang umum dan sering dipakai (Soekartawi, 1990) yaitu:

A. Fungsi Produksi Linier

Fungsi produksi linear biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi

produksi linear sederhana dan linear berganda. Perbedaan ini terletak pada jumlah variabel X yang dipakai dalam model. Fungsi produksi linear sederhana adalah bila hanya satu variabel X yang dipakai dalam model. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = a + bX

Dimana, a adalah intersep (perpotongan) dan b adalah slope.

Didalam praktek, penggunaan garis linear sederhana ini banyak dipakai

untuk menjelaskan fenomena yang berkaitan untuk menjelaskan hubungan dua variabel. Model sederhana ini sering digunakan karena analisisnya mudah

(18)

18 peneliti akan kehilangan informasi tentang variabel yang tidak dimasukan dalam

model tersebut.

Mengatasi hal itu, maka menggunkan garis linear berganda atau garis

regresi berganda sederhana (multiple regression). Berbeda dengan garis regresi linear sederhana (simple regression), maka jumlah variabel X yang dipakai dalam garis regresi berganda ini adalah lebih dari satu. Secara matematis hal ini dapat

ditulis sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + ...+ biXi + ... + bnXn

Estimasi garis regresi linear berganda ini memerlukan bantuan asumsi dan model estimasi tertentu sehingga diperoleh garis penduga yang baik.

B. Fungsi Produksi Kuadratik

Dalam proses produksi pertanian berlaku hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang, maka fungsi kuadratik dapat ditulis sebagai berikut:

Y = a + bX – cX2

Nilai parameter c yang negatif menunjukan kaidah kenaikan hasil yang berkurang. C. Fungsi Eksponensial

Fungsi produksi eksponensial ini dapat berbeda satu sama lain tergantung pada ciri data yang ada, tetapi umumnya fungsi produksi eksponensial ini dapat

dituliskan sebagai berikut:

Y = aXb (Fungsi Cobb-Douglas)

Dalam fungsi produksi eksponensial ini ada bilangan berpangkat, maka

penyelesaiannya diperlukan bantuan logaritma. Maka penyelesaian persamaan tersebut adalah:

(19)

19

Menurut Doll and Orazem (1984) hubungan fisik antara input dan output

sering disebut fungsi produksi. Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum

ekonomi produksi “Hukum Kenaikan Hasil Yang Semakin Berkurang” (The law

of Diminishing Return atau Diminishing Productivity). Hukum ini menyatakan bahwa jika faktor produksi terus menerus ditambahkan pada faktor produksi tetap maka tambahan jumlah produksi/satuan akan semakin berkurang. Hukum ini

menggambarkan adanya kenaikan hasil kurva produksi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Y(output)

Produk Marginal (PM)

Sumber: Doll and Orazem (1984)

Gambar 1. Hubungan antara Produk Total, Produk rata-Rata dan Produk marginal Gambar tersebut menggambarkan hubungan antara Produksi Total, Produksi

rata-rata dan Produksi Marginal yang terdiri dari 3 daerah yang mempunyai elastisitas tertentu.

Daerah produksi I mempunyai nilai elastisitas produksi lebih dari satu, yang berarti bahwa penambahan faktor-faktor produksi satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan

(20)

20 pemakaian faktor produksi yang lebih banyak oleh karena itu daerah satu disebut

daerah irrasional. Produksi rata-rata dan produksi total semakain meningkat dan pada daerah ini produksi marginal mencapai maksimum (Soekartawi, 1990).

Daerah produksi II mempunyai nilai elastisitas produksi bernilai antara nol sampai satu. Hal ini berarti setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling

rendah nol. Pada tingkat penggunaan faktor produksi tertentu dalam daerah ini akan tercapai keuntungan maksimum sehingga daerah ini disebut daerah yang

rasional karena produsen harus menetapkan tingkat produksi yang dapat mencapai maksimum. Pada daerah II produksi marginal dan produksi rata-rata

semakin menurun tetapi produksi total semakin meningkat sampai mencapai nilai maksimum (Soekartawi,1990).

Daerah III mempunyai nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol,

artinya penambahan faktor-faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah produksi ini mencerminkan pemakaian faktor-faktor produksi yang tidak efisien sehingga disebut daerah irrasional. Pada daerah III produksi total, produksi marginal dan produksi rata-rata mengalami penurunan. Jika lama kelamaan faktor produksi terus ditambah maka produksi marginal bisa

menjadi negatif (soekartawi, 1990).

Menurut Soekartawi (1990) elastisitas produksi adalah (Ep) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubaan input.

Ep ini dapat dituliskan melalui rumus sebagai berikut.

Ep = / , atau Ep =

(21)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan mengambil studi kasus di Kabupaten

Cianjur, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive)

dengan pertimbangan bahwa:

(1) Lapangan kerja utama Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 52 persen.

(2) Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten

Cianjur (Pemkab Cianjur 2009).

(3) Terdapat kelompok usahatani padi yang telah mengembangkan penerapan

metode SRI dan metode Konvensional.

Waktu pengambilan data lapang dilaksanakan dari bulan Februari hingga April 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah cross section. Data yang dikumpulkan

dan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan observasi langsung. Data primer yang dikumpulkan adalah data rumah tangga petani (demografi), profil usahatani (data

(22)

25 penelitian, dan lain-lain. Data sekunder merupakan data penunjang data primer

yang berfungsi untuk memberikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada petani berdasarkan kuesioner

yang telah disiapkan. Penentuan responden SRI dilakukan secara snowball yaitu penentuan responden dari responden sebelumnya, yang terdiri dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Karang Tengah, Kecamatan Cianjur dan Kecamatan Ciranjang

pemilihan ketiga kecamatan tersebut dikarenakan petani SRI lebih banyak dari pada kecamatan lainnya. Sedangkan penetuan responden konvensional dilakukan

secara purposive lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Rincian Responden Usahatani Metode SRI dan Konvensional Periode Tahun 2010/2011

Metode Responden

Kecamatan Karang

Tengah Kecamatan Cianjur Kecamatan Ciranjang

SRI 6 Responden 12 Responden 12 Responden

Konvensional 6 Responden 12 Responden 12 Responden

Sumber: Data Primer, 2011

Keseluruhan sampel sebanyak 60 responden yang terdiri dari 30 responden SRI dan 30 responden konvensional. Data sekunder diperoleh dari Dinas

Pertanian Kabupaten Cianjur, Balai Penyuluh Pertanian Kabupaten Cianjur. Data sekunder mengenai pengetahuan umum tentang pertanian diperoleh dari berbagai

(23)

26

4.4. Metode Analisis Data

Data–data yang telah diperoleh dari lapangan diklasifikasikan melalui analisis tabulasi. Bentuk tabulasi mudah dibaca dan dipahami dikarenakan data

primer hasil wawancara baik kualitatif maupun kuantitatif ditransformasikan/diubah dalam bentuk tabel. Data mengenai biaya, penerimaan, dan lain-lain digunakan sebagai perhitungan dalam analisis pendapatan petani.

Perhitungan analisis usahatani dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007, Minitab Release 14.1, SPSS 17, dan Eview 6. Tabel 2 berikut ditampilkan matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan dalam penelitian.

Tabel 2. Matrik Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1.

4.4.1. Mengidentifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani SRI dan Konvensional

Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi Cobb

(24)

27 melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut variabel dependen

yaitu variabel yang dijelaskan (Y) dan yang lain disebut variabel independen yang menjelaskan (X). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi SRI dan Konvensional menggunakan kaidah-kaidah dalam regresi yang berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb Douglas. Secara matematik, fungsi Cobb Douglas dapat dituliskan:

Y = aX1b1X2b2X3b3X4b4X5b5X6b6eu

Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan diatas maka

persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut.

Logaritma dari persamaan diatas, adalah:

Ln Y = Ln a+ b1 LnX1 + b2LnX2 + b3LnX3+ b4LnX4+ b5LnX5+ b6LnX6+ u Bila fungsi Cobb Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka:

Y = f(X1,X2,...Xn)

Y = produksi usahatani padi X1 = benih (kg)

X2 = pupuk (kg)

X3 = tenaga kerja dalam keluarga (Rp)

X4 = tingkat pendidikan (tahun) X5 = pengalaman bertani (tahun) X6 = luas lahan (ha)

(25)

28 Pentingnya penggunaan fungsi Cobb Douglas dalam pendugaan produksi

usahatani yaitu:

a. Penyelesaian fungsi Cobb Douglas relatif lebih mudah dibandingkan

dengan fungsi lain, seperti fungsi kuadratik.

b. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukan besaran elastisitas.

c. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukan tingkat besaran Return to Scale.

Menurut Soekartawi (2002) fungsi Cobb Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:

a. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol

b. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi

pada setiap pengamatan.

c. Tiap variabel adalah perfect competition

d. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah

tercakup pada faktor kesalahan u.

Selain itu, fungsi Cobb Douglas pun memiliki kelemahan yaitu elastisitas

berada dalam linier aditive yang memiliki arti bahwa tidak mempengaruhi interaksi dalam variabel.

4.4.2. Mengidentifikasi Pendapatan dan Kesejahteraan Usahatani dengan Metode SRI dan Konvensional

(26)

29 tunai. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh

dengan harga jual. Penerimaan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Dimana,

TR = Total Penerimaan Usahatani (Rp) Q = Produksi (Kg)

P = Harga jual produk per unit (Rp/Kg)

Rumus Biaya Tetap (Fixed Cost) juga dapat dipakai untuk menghitung Biaya Variabel (Variabel Cost). Karena total biaya (Total Cost) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC), dapat digunakan rumus:

Pendapatan Usahatani:

Dimana,

 = Pendapatan Usahatani (Rp)

TR = Total Penerimaan Usahatani (Rp) TC = Total Biaya Usahatani (Rp)

Biaya penyusutan perlu diperhitungkan karena usahatani padi ini

menggunakan peralatan pertanian dalam aktivitasnya. Biaya penyusutan peralatan pertanian diperhitungkan dengan menggunakan metode garis lurus, yaitu

membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang diperkirakan dangan lamanya modal dipakai. Metode garis lurus dirumuskan sebagai berikut:

(27)

30 Dimana,

Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Perkiraan nilai sisa (Rp)

N = Umur ekonomi alat (tahun)

Menurut Sajogyo, salah satu penentuan garis kemiskinan diukur dari nilai tukar beras. Berdasarkan nilai tukar beras dibedakan garis kemiskinan pedesaan

dan perkotaan. Di desa ditentukan nilai 180, 240, dan 320 kilogram serta di kota ditentukan nilai 270, 360, dan 480 kilogram setara beras per orang per tahun.

Ukuran batas garis kemiskinan Sajogyo dapat dilihat antara lain,

Pendapatan Usahatani (Rp/bulan) > Batas Garis Kemiskinan

Maka, usahatani tersebut tidak dikatakan miskin yang berdampak pada tercukupinya pangan per rumah tangga petani dan kesejahteraan petani tercapai.

Pendapatan Usahatani (Rp/bulan) < Batas Garis Kemiskinan

Maka, usahatani tersebut dikatakan miskin yang berdampak kurang tercukupinya pangan per rumah tangga petani dan kesejahteraan petani belum tercapai.

Penentuan batas garis kemiskinan dapat ditentukan dengan

mengkonversikan nilai garis kemiskinan di desa ataupun kota dalam satuan bulan per kilogram, lalu kali dengan harga beras saat ini. Cara mengubahnya dalam

satuan rumah tangga petani dikalikan dengan rata-rata jumlah tanggungan jiwa keluarga.

4.4.3. Mengidentifikasi Pengaruh Penerapan Metode SRI terhadap Lingkungan

(28)

31 lahan untuk meningkatkan konservasi air dan memperbaiki struktur dan tekstur

tanah. Penerapan penggunaan MOL dengan cara teknis masing-masing sesuai dengan bahan yang ada dan merupakan suatu kebutuhan petani pelaku SRI

setempat. Dan sistem pengendalian hama terpadu dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang tersedia di daerah masing-masing, hal ini dapat menimbulkan interaksi lingkungan yang baik atau terjadinya perputaran siklus

kehidupan.

4.5. Pengujian Asumsi-Asumsi Regresi

A. Pengujian Asumsi Regresi Cobb Douglas

Metode pendugaan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode Cobb Douglas, sehingga agar model yang digunakan sesuai dengan asumsi, maka dilakukan pengujian-pengujian Gujarati (1978). Pengujian asumsi tersebut sebagai berikut :

1. Peubah Xi merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas Xi.

2. Normalitas

Regresi linear normal klasik mengasumsikan bahwa tiap ei

didistribusikan secara normal dengan

|

[ ][ ]

(29)

32

| [ ]

Asumsi ini secara ringkas bisa dinyatakan sebagai ei ~ N(0, σ2)

Artinya komponen sisaan ei mempunyai nilai harapan sama dengan

nol, tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan ei, dan komponen sisa menyebar normal. Dengan probabilitas normal

masing-masing nilai pengamatan dipasangkan dengan nilai harapan pada distribusi normal. Normalitas terpenuhi apabila titik-titik (data) terkumpul di sekitar garis.

3. Multikolinearitas

Multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang sempurna

atau pasti, di antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Situasi multikolinearitas sempurna adalah penyakit yang ekstrim. Biasanya tidak terdapat hubungan yang pasti atau eksak di antara

variabel X. Adanya kolinearitas seringkali diduga ketika R2 tinggi dan korelasi derajat nol juga tinggi, tetapi tak satu pun atau sangat sedikit

(30)

33 4. Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (ei) sama atau homogen, yang menunjukkan bahwa untuk

masing-masing nilai peubah X, sebaran atau ragam disekitar garis regresi adalah sama atau konstan. Jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi, maka ada masalah

heteroskedastisitas. Hal ini dapat dilihat dengan metode grafik dari plot antara sisaan dengan nilai dugaan telah menunjukkan bahwa titik-titik

telah menyebar secara acak dan tidak membentuk pola. Selain itu, Heteroskedastisitas dapat diidentifikasi pula dengan melakukan pengujian

White, melalui sebaran Scale explained SS yang diregresi dengan variabel yang diuji, dimana jika nilai P > alpha maka asumsi Homoskdastisitas terpenuhi. White menyarankan bahwa jika heteroskdastisitas ragam sisaan

berkolerasi dengan satu peubah seperti X dan X2 untuk kemungkinan nonlinearitas.

5. Autokorelasi

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokoelasi atau korelasi serial antara sisaan (ei). Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas untuk i ≠ j, dan dikenal juga sebagai bebas serial

(serial independence). Jika antar sisaan tidak bebas untuk i ≠ j, maka terdapat masalah korelasi. Istilah korelasi dapat juga didefinisikan sebagai

korelasi antara anggota serangkain observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dapat

(31)

34 masalah autokorelasi ini pada umumnya terjadi pada data time series, sehingga pada penelitian ini tidak dilakukan karena data yang digunakan merupakan data cross section.

B. Koefisien Determinasi Terkoreksi (adjusted-R2)

Koefisien determinasi terkoreksi mempunyai karateristik yang diinginkan

sebagai ukuran goodness of fit dari pada koefisien determinasi. Jika peubah baru ditambahkan, R2 selalu naik, tetapi adjusted-R2 tidak tergantung pada jumlah peubah. Nilai koefisien determinasi berkisar antara nol dan satu. Jika nilai

koefisien determinasi semakin mendekati satu berarti semakin besar keragaman hasil pendapatan dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya.

C. Pengujian Parameter Secara Keseluruhan (Uji-F)

Menurut Bambang Juanda (2009) pengujian ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model

mempunyai pengaruh secara nyata terhadap variabel yang akan dijelaskan atau tidak. Pengujian hipotesa secara statistik menggunakan uji-F, yaitu :

Fhit =

⁄ ⁄

Dimana,

JKT = Jumlah kuadrat tengah regresi

JKG = Jumlah kuadrat tengah galat/sisa regresi n = Jumlah pengamatan

k = Jumlah variabel bebas

Jika,

(32)

35 H1: data dari sampel yang berbeda

dengan menggunakan kriteria keputusan sebagai berikut : Fhit > Ftabel (k-1 ; n-k) maka tolak H0

Fhit < Ftabel (k-1 ; n-k) maka terima H0

Hal ini berarti, jika H0 ditolak maka model dugaan dapat digunakan untuk diramalkan hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel penjelas pada

tingkat signifikan atau tingkat kepercayaan tertentu (α %).

D. Pengujian Parameter Secara Parsial/Individu (Uji-t)

Menurut Bambang Juanda (2009) pengujian uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang digunakan satu per satu

berpengaruh nyata secara statistik terhadap besarnya variabel tak bebas. Pengujian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

thit =

Dimana,

bi = nilai koefisien regresi dugaan

Sbi = simpangan baku koefisien dugaan d = batasan yang diharapkan

Adapun kriteria penarikan kesimpulan pada pengujian hipotesis tersebut adalah : thit > ttabel(α ; n-k) atau p-value(output komputer) < α maka tolak H0

thit < ttabel (α ; n-k) atau p-value(output komputer) > α maka terima H0

Jika H0 ditolak, artinya adalah variabel yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap variabel tak bebas. Sebaliknya, jika H0 diterima, maka variabel yang

(33)

36

4.6. Definisi Operasional

Variabel yang diamati merupakan data dan informasi mengenai usahatani padi yang diusahakan usahatani dengan perbedaan metode budidaya. Sehingga

untuk menghindari ketidaksamaan pandangan dalam pengertian, maka terdapat beberapa hal yang perlu diberi batasan sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari

penelitian. Batasan-batasan tersebut meliputi :

1) Luas lahan garapan adalah luas areal usahatani padi dalam satuan hektar (ha) (merupakan lahan yang digunakan untuk menanam padi saja).

2) Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan usahatani untuk membeli pupuk, benih, upah tenaga kerja luar keluarga dan lain-lain. 3) Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk pemakaian input milik

sendiri dan pembayaran upah tenaga kerja berdasarkan tingkat upah yang berlaku.

4) Biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.

5) Harga jual padi adalah harga padi dalam bentuk GKP ditingkat petani dalam

satu musim panen dengan satuan rupiah per kilogram. Harga jual yang digunakan adalah sama baik dari hasil padi metode SRI dan metode

konvensional.

6) Penerimaan usahatani padi adalah nilai produksi yang diperoleh dari produk

(34)

37 7) Pendapatan usahatani padi merupakan selisih antara penerimaan dan biaya

usahatani. Oleh karena terdapat dua macam biaya, maka perhitungan pendapatan dilakukan atas biaya tunai dan biaya total.

8) Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi padi baik untuk persiapan bibit, pengolahan lahan, penanaman dan pemeliharaan, pemanenan. Tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja dalam dan luar

keluarga. Satuan kerja yang digunakan baik tenaga kerja pria, maupun tenaga kerja wanita adalah Hari Orang Kerja (HOK).

9) Tingkat pendidikan petani adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh petani (kelas pendidikan formal).

10) Pengalaman usahatani padi adalah lama petani melakukan usahatani padi (tahun).

11) Tingkat produktivitas padi adalah produksi padi yang dihasilkan per luasan

(35)

38

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH, RESPONDEN, DAN BUDIDAYA PADI

5.1. Keadaan Umum Permasalahan Kabupaten Cianjur

Penduduk Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 berjumlah 2.168.514 jiwa

yang terdiri atas 1.120.550 laki-laki dan 1.047.964 perempuan. Dari hasil sensus penduduk 2010 masih tampak bahwa penyebaran penduduk kabupaten Cianjur

masih bertumpu di Cianjur wilayah utara yakni sebesar 60,68 persen, sedangkan wilayah tengah dan selatan hanya 39,32 persen. Dengan luas wilayah kabupaten Cianjur sekitar 3.501,48 kilometer persegi yang dialami oleh 2.168.514 orang

maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk kabupaten Cianjur adalah sebanyak 127 jiwa perkilo meter persegi.8

Penduduk yang merupakan angkatan kerja sebanyak 960.201 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari yang bekerja sebanyak 847.542 jiwa dan pengangguran sebanyak 112.659 jiwa. Sektor pertanian menjadi penyerap tenaga kerja terbesar

dengan kontribusi sebesar 48,12 persen diikuti dengan sektor perdagangan dengan kontribusi sebesar 23,73 persen. Persentase penyerapan tenaga kerja tahun 2008 di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Angkatan Kerja di Kabupaten Cianjur Tahun 2008

Angkatan Kerja Jumlah Persentase (%)

Pengangguran 112.659

Bekerja

- Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan - Industri

- Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel - Jasa Kemasyarakatan

(36)

39 Volume air permukaan di Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 sebesar

917.000 m3 menurut PSDAP (2011). Penggunaan air permukaan dibutuhkan dalam menanam padi sedangkan penyuplaian dengan sistem air permukaan

membutuhkan kapasitas penyimpanan yang besar untuk mengumpulkan air sepanjang tahun dan melepaskannya pada suatu waktu tertentu.

Keadaan curah hujan di suatu daerah sangat berpengaruh terhadap

ketersediaan air dan kondisi lahan pertanian. Peningkatan curah hujan menyebabkan peningkatan jumlah curah hujan itu sendiri, sebaliknya penurunan

curah hujan akan menyebabkan penurunan jumlah curah hujan. Hal ini tentu saja akan memperpanjang atau memperpendek musim hujan (Handoko et al. 2008). Curah hujan yang tidak stabil telah menyebabkan meningkatnya serangan hama

dan penyakit terhadap tanaman padi. Data curah hujan Kabupaten Cianjur tahun 2006-2008 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Data Curah Hujan Kabupaten Cianjur Tahun 2006-2008

Tahun Luas Kabupaten

Sumber: Integrated Microhydro Development and Application Program, 2009 Kabupaten Cianjur memiliki rata-rata luas tanam yang lebih tinggi dari pada luas panennya selama empat tahun. Rata-rata produktivitas yang diperoleh

sebesar 53,51 persen dengan rata-rata produksi 785.575 kg. Perkembangan intensifikasi pertanian tanaman pangan Kabupaten Cianjur sangat baik sehingga perlu upaya yang dicapai dalam meningkatkan peran aktif masyarakat tani yaitu

(37)

40 Petani Organik) agar keberadaan kelembagaan petani seperti P3A Mitra Cai,

Kelompok Tani, Gapoktan dapat mengembangkan dinamika kelompoknya. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perkembangan Intensifikasi Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010-2011

Tahun Luas Tanam

Rata-rata 150.747 146.485 785.575 53,51

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, 2011

Organisasi Gabungan Petani Organik terbentuk pada tanggal 27 Juli 2008

yang merupakan wadah untuk menghimpun para petani organik yang terdapat di wilayah Kabupaten Cianjur. Anggotanya terdiri dari perwakilan para petani yang telah mengikuti pelatihan SRI. Adapun visi dan misi terbentuknya GPO yaitu

memiliki visi sebagai organisasi yang menjadi wadah untuk meningkatkan kesejahteraan para petani dan melestarikan lahan serta lingkungan. Misi GPO

yaitu untuk menghimpun potensi berbagai pihak yang terkait dengan pertanian organik, membina kerjasama yang saling menguntungkan diantara pihak yang

(38)

41

Sumber: Gabungan Petani Organik (GPO)

Gambar 3. Gabungan Petani Organik (GPO)

Pengembangan padi ramah lingkungan metode SRI dapat memberikan kesadaran kepada petani untuk lebih bersikap arif terhadap penggunaan pupuk dan

pestisida kimia. Petani menjadi lebih mandiri karena tidak harus tergantung kepada penggunaan input tersebut. Usahatani padi organik metode SRI berbeda dengan usahatani padi metode konvensional, meskipun tahapan kegiatan

Pelindung

Bupati Kabupaten Cianjur

Penasehat

HKTI Kabupaten Cianjur

Pembina

Dinas Pertanian TPH dan Dinas PSDAP

Ketua H.U Suparman

Wakil Ketua Didin

Bendahara

Yayan Royani dan Enang Sekretaris

Asep Ramdan dan Ani

Bidang Advokasi Dadang H Bidang Pemasaran

H. Enoh

(39)

42 budidayanya pada umumya sama saja. Teknik budidaya organik SRI telah

menggunakan bahan-bahan organik sebagai inputnya seperti pupuk kandang, sisa-sisa tanaman dan berbagai jenis tanaman yang berguna untuk pestisida alami.

Budidaya organik SRI ini menyebabkan kebutuhan organik seperti pupuk kandang dan jerami berubah fungsi sebagai pengganti pupuk kimia. Pembuatan pupuk organik dipermudah lagi dengan adanya bantuan dari dinas pertanian

Kabupaten Cianjur berupa mesin appo yang dapat mencacah bahan-bahan organik tersebut. Mesin tersebut dapat mengolah sekitar tujuh ton perhari kotoran hewan

yang dihasilkan dari hewan-hewan ternak.

Budidaya padi dengan metode SRI dibedakan dengan teknik budidaya

padi konvensional. Perbedaan budidaya tersebut terlihat dalam hal penggunaan jumlah bibit per rumpun, umur bibit yang ditanam, cara seleksi benih, pemberian MOL pada padi SRI dan tata cara pengaturan air. Oleh karena itu pada bagian ini

hanya diuraikan kegiatan budidaya padi dengan metode SRI yang dapat sekaligus menggambarkan kegiatan budidaya padi konvensional di Kabupaten Cianjur.

5.2. Gambaran Umum Petani Sampel

Gambaran umum petani sampel diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan para petani yang menerapakan pertanian SRI dan petani konvensional. Hal

ini berguna untuk melihat karateristik umum petani. Karateristik yang digunakan merupakan variabel yang akan digunakaan dalam menentukan faktor internal petani menerapkan sistem pertanian SRI. Karateristik umum petani pada

(40)

43 Rincian karateristik umum pada kedua sampel populasi petani didapat pada

lampiran 1 dan 2.

Pendidikan merupakan peubah penjelas yang menerangkan lamanya petani

mengikuti pendidikan formal. Pendidikan diukur berdasarkan satuan tahun. Jumlah petani yang menerapkan pertanian SRI di Kabupaten Cianjur memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani konvensional. Apabila

dilihat dari jenjang pendidikan, 33,33 persen petani SRI telah mencapai pendidikan setingkat SMU dan 16,67 persen lulusan perguruan tinggi, sedangkan

petani konvensional hanya 16,67 persen lulusan setingkat SMU dan tidak satupun yang memasuki perguruan tinggi. Lama pendidikan petani sampel dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Lama Pendidikan Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010/2011

Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Soekartawi (1986), menyatakan

bahwa petani yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan suatu inovasi dari pada petani yang berpendidikan rendah relatif sulit untuk melaksanakan suatu inovasi.

Umur petani mencerminkan kemampuan petani dalam berusahatani. Umur terkait dengan kondisi fisik dalam menggarap lahannya. Kelompok terbesar petani

(41)

44 pada petani SRI dengan persentase 60 persen maupun konvensional dengan

persentase 63,33 persen. Pada umur tersebut petani termasuk pada umur produktif, namun sudah tidak tergolong muda. Usahatani khususnya padi tidak

diminati oleh tenaga kerja muda, hal ini dapat dilihat dari persentase tenaga kerja pada rentang umur 21 sampai dengan 40 tahun hanya 20 persen pada petani SRI dan 26,67 persen pada petani konvensional. Persentase petani yang berumur tua

lebih banyak pada petani yang menerapkan SRI, yaitu 20 persen sedangkan petani konvensional hanya 10 persen pada rentang umur 61 sampai dengan 80 tahun.

Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Umur Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010/2011

Umur (tahun) Frekuensi (orang)

Petani SRI Petani Konvensional

0-20 0 0

21-40 6 8

41-60 18

6

19

61-80 3

Jumlah 30 30

Sumber: Data Primer, 2011

Jumlah tanggungan petani merupakan beban ekonomi terhadap anggota keluarganya. Satuan pengukurannya didasarkan banyak orang/jiwa yang menjadi

tanggungan petani. Petani sampel di Kabupaten Cianjur memiliki jumlah tanggungan dalam rentang dua sampai dengan empat jiwa. Hal ini dikarenakan secara statistik rentang ini memiliki persentase tertinggi yaitu 76,67 persen petani

(42)

45 Tabel 8. Jumlah Tanggungan Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun

2010/2011

Luas lahan adalah banyaknya sawah yang digarap petani berdasarkan ukuran panjang dengan satuan hektar. Petani padi di Kabupaten Cianjur pada

umumnya memiliki luas garapan yang sempit. Petani SRI maupun konvensional sebagian besar menggarap sawah dengan luas kurang dari 0,5 hektar. Menurut

Soekartawi (2002), salah satu ciri pertanian di Indonesia adalah dicirikan dengan pengusahannya dalam luas usaha yang relatif sempit. Persentase luas lahan padi sawah petani sampel menggunakan metode SRI sebesar 73,33 persen sedangkan

dengan menggunakan metode konvensional memiliki luas garapan 60 persen untuk luas lahan kurang dari 0,5 hektar. Kondisi ini dapat dikaitkan bahwa petani

lahan luas tidak bersedia merubah sistem budidayanya dikarenakan kerugian yang akan diterimanya akan lebih besar daripada lahan sempit jika sistem baru tersebut dalam pelaksanaannya mengalami kegagalan. Informasi lebih jelas dapat

dijelaskan pada Tabel 9.

(43)

46 Status kepemilikan lahan merupakan kondisi yang menunjukan kondisi

penguasaan petani terhadap lahan garapannya. Persentase pengusahaan lahan pemilik sampel dengan metode SRI sebesar 56,67 persen sedangkan metode

konvensional sebesar 20 persen. Petani penggarap dapat dibedakan menjadi dua yaitu penggarap sakap atau bagi hasil dengan sistem 50:50 dan penggarap penyewa, dalam sampel didapat persentase petani SRI penggarap sebesar 43,33

persen sedangkan konvensional sebesar 80 persen. Status pengusahaan lahan petani sampel dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Status Pengusahaan Lahan Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode Tahun 2010/2011

Status Pengusahaan Lahan

Frekuensi (orang)

Petani SRI Petani Konvensional

Pemilik 17 6

Penggarap 13 24

Jumlah 30 30

Sumber: Data Primer, 2011

Pengalaman bertani merupakan lamanya petani melakukan budidaya padi.

Ukuran pengalaman bertani diukur berdasarkan satuan tahun. Pengalaman bertani dengan metode SRI sekitar 100 persen berada pada rentang pengalaman kurang

dari 10 tahun bertani. Kondisi ini mencerminkan bahwa petani relatif memiliki sikap dan pola pikir yang sama yaitu petani membutuhkan waktu yang lama

(44)

47 Tabel 11. Pengalaman Bertani Petani Sampel di Kabupaten Cianjur Periode

Tahun 2010/2011

5.3. Budidaya Padi Organik Metode SRI

Kegiatan usahatani padi organik SRI merupakan budidaya yang lebih

mengutamakan potensi lokal yang ramah lingkungan dan mendukung pemulihan kesuburan tanah. Pada prinsipnya pertanian ini sebagai konservasi air serta

mendaur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan biomasa ke dalam tanah seperti tidak membakar jerami di areal pesawahan akan tetapi jerami tersebut dapat dikembalikan ke tanah yang melalui proses dekomposisi jerami

dapat menjadi bahan organik. Oleh karena itu budidaya padi ini sama sekali tidak lagi menggunakan input anorganik baik itu pupuk atau pestisida kimia.

Hasil penanaman padi di Kabupaten Cianjur dengan menggunakan metode SRI sudah bebas dari residu kimia, namun sertifikat organik belum dapat diperoleh karena terdapat kendala. Kendala yang dihadapi adalah bahwa luas

lahan yang diusahakan petani SRI belum mencapai total 25 hektar dalam satu luasan sedangkan luas lahan petani SRI di Kabupaten Cianjur sebagian besar memiliki luas lahan kurang dari 0,5 hektar dengan plot lahan yang terpisah atau

tidak dalam satu luasan. Adapun budidaya padi organik SRI di Kabupaten Cianjur ini meliputi pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, penyulaman, pemupukan,

(45)

48

5.3.1. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi tanah dari segi kandungan unsur dan hara untuk memperbaiki pengairan

(drainase) sehingga tanah atau lahan siap untuk ditanami dengan harapan memperoleh hasil yang maksimal. Pada dasarnya proses pengolahan tanah yang dilakukan petani padi organik SRI hampir sama dengan pengolahan tanah yang

dilakukan oleh petani padi konvensional. Adapun beberapa kegiatan pengolahan tanah yang dilakukan adalah pembajakan, pembuatan saluran air, perataan tanah

dan babad galeng pematang.

Proses pengolahan tanah untuk padi organik metode SRI di Kabupaten

Cianjur dilakukan sebanyak dua kali, adapun proses pengolahan tanah yang pertama adalah lahan dibajak dengan menggunakan traktor, kerbau dan cangkul, setelah itu jerami dimasukan ke lahan, lalu petani biasanya membuat pematang

sawah (galengan). Setelah lahan dibajak pada petakan lahan dibuat saluran air setelah itu pupuk kandang atau kompos dimasukan ke lahan dan diratakan setelah itu diairi dengan kondisi macak-macak atau tidak terlalu tergenang, ini dilakukan dengan tujuan agar pupuk tidak mudah terbawa air kemudian lahan diberi pupuk dan didiamkan selama satu minggu sampai dua minggu. Pada waktu yang

bersamaan biasanya petani merapikan pematang sawah dengan cara pematang dikikis dengan cangkul yang kemudian dilempar ke lahan, setelah itu pematang kembali ditambal dengan tanah berlumpur hingga rata. Pengolahan tanah kedua

yaitu tanah dicangkul dan diratakan dalam kondisi air yang tetap macak-macak

(46)

49 Pembibitan (penyemaian benih) memerlukan waktu yang berbeda. Bibit

yang ditanam pada budidaya padi metode SRI berumur 7-10 hari setelah semai sedangkan untuk budidaya padi konvensional umur padi yang ditanam yaitu 20-22

hari setelah tanam. Proses penyemaian benih petani di Kabupaten Cianjur sebagian besar dilakukan di sawah dan sisanya di nampan.

5.3.2. Pembibitan

Pembibitan merupakan salah satu budidaya perlakuan benih padi. Pembibitan terdiri dari penyemaian dan perlakuan benih sebelum tebar yang dapat

dijelaskan dibawah ini.

5.3.2.1. Penyemaian

Persemaian benih metode SRI di Kabupaten Cianjur sebagian besar dilakukan di lahan, namun terdapat pula yang melakukan persemaian benih di nampan. Persentase persemaian benih di nampan sebesar 30 persen sedangkan di

lahan sebesar 70 persen. Persentase persemaian benih dengan menggunakan metode konvensional 100 persen dilakukan di lahan. Ini disebabkan karena kebiasaan petani melakukan persemaian benih di lahan, dan merasa takut

melakukan inovasi yang baru. Padahal keuntungan persemaian di nampan yang dirasakan petani yang telah mengadopsinya adalah dapat menghemat lahan

penyemaian, menghemat biaya tenaga kerja, lebih praktis, dan hasilnya lebih baik. Proses kegiatan persemaian diawali dengan persiapan media persemaian dengan memakai nampan yang diisi dengan pupuk organik dan tanah, dengan

(47)

50 agar selalu lembab sedangkan persemaian di lahan dilakukan diatas terpal yaitu

setelah terpal disiapkan maka ditaburi dengan kompos kemudian ditimpa oleh pasir atau tanah, lalu benih disebar diatas permukaan terpal tersebut dan ditutup.

Berbeda dengan kegiatan persemaian yang dilakukan pada usahatani padi konvensional, yaitu pada saat akan dilakukan penyemaian terlebih dahulu lahan dipersiapkan untuk tempat penyemaian. Persiapan tersebut biasanya dilakukan

setelah lahan selesai dibajak atau pada saat lahan diberi pupuk. Lahan yang telah dibajak pada pengolahan lahan dibuat menjadi beberapa petak yang kemudian

petak semai tersebut diratakan permukaannya.

5.3.2.2. Perlakuan Benih Sebelum Sebar

Benih yang ditanam di persemaian diharapkan tumbuh semuanya dengan baik dan optimal. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Cianjur dalam mempersiapkan benih sebelum ditebar di persemaian

adalah proses seleksi dan perendaman, dapat dilihat pada lampiran 3. Seleksi benih ini dapat berguna untuk memisahkan benih yang baik dengan benih yang hampa dan kotoran benih lainnya. Setelah itu dilakukan perendaman benih. Pada

umumnya petani SRI lebih kreatif dari pada petani konvensional. Benih dapat dibuat sendiri dari benih sebelumnya yaitu benih yang sudah masak ditarik untuk

dijadikan benih persemaian. Ini dapat menghemat dalam pembelian benih di toko secara berkelanjutan.

Perendaman benih adalah suatu perlakuan yang berguna untuk

(48)

51 ditiriskan selama dua hari, sampai benih mengeluarkan kecambah maka benih

siap untuk ditanam.

5.3.3. Penanaman (Tandur)

Petani padi metode SRI umumnya menanam bibit relatif muda (7-14 hari).

Bibit pada umur ini telah memiliki dua helai daun atau lebih tinggi  10-15 cm

sehingga bibit perlu diperlakukan secara hati-hati terutama pada bagian akar agar

tidak rusak dicabut dari persemaian.

Benih muda pada metode SRI ini diharapkan dapat menumbuhkan tunas lebih awal dan akan banyaknya pertumbuhan tunas primer sebagai tunas yang

lebih produktif serta lebih cepat pembentukannya. Hal ini berbeda dengan metode konvensional yang menanam bibit yang telah berumur relatif tua yaitu 20-22 hari

setelah tanam.

Sebelum bibit ditanam, lahan dibuat pola jarak tanam dengan menggunakan caplakan. Menaplak lahan dilakukan dua kali dengan arah yang berlawanan (vertikal-horizontal) sehingga terbentuk pola tanam dengan jarak tanam yang ukurannya telah ditentukan pada caplakan. Usahatani padi metode SRI di Kabupaten Cianjur menggunakan jarak 28 x 28 cm2 sampai 35 x 35 cm2.

Jarak tanam tersebut relatif lebih luas dibandingkan jarak tanam padi konvensional (25 x 25 cm2 sampai 30 x 30 cm2). Jarak tanam yang lebar pada SRI

dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada tanaman dalam pembentukan anakan, pertumbuhan akar dan masuknya sinar matahari kedalam perakaran

(49)

52 bibit di salah satu sudut secara bergerombol, penanaman ini dinamakan

penyulaman.

Penanaman padi metode SRI berbeda dengan penanaman padi

konvensional. Bibit yang ditanam pada padi konvensional paling sedikit empat per rumpun dan ujung akar tanaman biasanya masih berada dipermukaan tanah. Berbeda dengan cara penanaman padi SRI, pada metode ini banyaknya bibit per

rumpun yaitu satu bibit per rumpun (benih tunggal), namun sebagian petani SRI di Kabupaten Cianjur menanam bibitnya sebanyak dua sampai tiga bibit per

rumpun. Alasan petani padi SRI tersebut adalah masih takut dan ragu jika hanya menanam satu bibit disaat cuaca buruk yaitu hujan atau terkena serangan hama

dan penyakit. Pada proses penanaman ini kegiatan pencabutan bibit dari tempat persemaian harus secara hati-hati dengan jarak waktu dari cabut ke tanam tidak lebih dari 15 menit dan bulir padi tetap dijaga serta kondisi akar horizontal

sehingga membentuk huruf L. Kenudian benih ditanam dangkal 0,5-1 cm, hal ini dilakukan untuk menghindari kematian akibat busuk akar.

Kendala pada usahatani padi SRI adalah jika faktor cuaca tidak

mendukung biasanya terjadi pada musim hujan, ketika musim tanam dan hujan cukup besar maka bibit padi yang baru saja ditanam terlepas karena areal sawah

terendam air, hal ini dapat terjadi karena pada metode SRI padi ditanam dangkal, sehingga bibit padi tidak kuat menahan genangan air yang membanjiri sawah. Selain cuaca, faktor hama juga merupakan salah satu kendala pada pertanian

organik SRI maupun konvensional. Petani konvensional hanya menanam bibit pada umur tua dan ditanam dalam sehingga tidak takut jika bibit yang baru

Gambar

Tabel 3. Jumlah Angkatan Kerja di Kabupaten Cianjur Tahun 2008
Gambar 3. Gabungan Petani Organik (GPO)
Tabel 12. Heteroskedastisitas Test: White Penerapan SRI
Tabel 15. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Padi       Konvensional Musim Tanam I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Efek Preventif Ekstrak Kopi Robusta ( Coffea canephora ) Terhadap Peningkatan Kadar Malondialdehyde (MDA) Tikus Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Kuning Telur;

Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang dilakukan untuk menggambarkan saluran dan lembaga pemasaran, fungsi pemasar- an, serta struktur dan

Reliabilitas merupakann sesuatu yang dibutuhkan tetapi bukan persyaratan mutlak untuk validitas suatu instrument (Rasyid dan Mansur,2007).. Masalah dalam penelitian ini

Responden penelitian dari studi kasus yang dilakukan adalah pihak - pihak yang menangani pekerjaan peningkatan jalan lingkungan (cor beton) di Kotawaringin Barat,

Pengaruh Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan terhadap Kepadatan Populasi Larva Nyamuk Aedes aegypti di Desa Benculuk, Kabupaten Banyuwangi; Dian Prima Agustina;

Berdasarkan estimasi analisis OLS menggunakan Frontier 4.1c didapat hasil sebagai berikut : Variabel input rasio rata-rata belanja pegawai negeri memiliki koefisien sebesar

meningkatkan motivasi belajar siswa kelas VIII dalam materi bangun ruang di. MTs Al Huda Bandung Tulungagung Tahun

Langkah konkretnya adalah menggunakan pengujian hipotesis dengan uji statistik yaitu penulis akan mengetahui pengaruh budaya organisasi dan program insentif terhadap