• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG

DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN

JAYAWIJAYA PAPUA

FERRY DEVIDSON MAITINDOM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Studi Kejadian Sistiserkosis pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2008

(3)

ABSTRACT

Taeniasis/cysticercosis due to T. solium infection is one of the most serious public health problem in Jayawijaya Regency-Papua. This survey was carried out to study prevalence of cysticercosis in pigs that were slaughtered and sold in Jibama Market of Wamena-Jayawijaya. Association between the porcine cysticercosis prevalence and pig farming practices and environmental sanitation in pig producer districts was also examined in this survey. Results of the survey showed that 77.1% of pigs slaughtered in Jibama Market was infected by Cysticercus cellulosae. Such high prevalence of cysticercosis in pig meat market may play important role in taeniasis transmission among people in Jayawijaya, as this study also revealed that most of peoples consumed raw (4.8%) or undercooked meat (44.8%). Majority of families in villages owned pigs (65.7%) which were free ranged pigs. This traditional farming system provide an opportunity for pigs to pick up T. solium eggs/gravid proglottids shed through feces of the infected peoples. Habit of local people (86.1%) to defecate in backyards due to lack of latrine facilities is of important in contamination of T. solium eggs/gravid proglottids in environment. This study also found significance association between prevalence of porcine cysticercosis and farm management system and possession of latrine facilities.

(4)

RINGKASAN

FERRY DEVIDSON MAITINDOM. Studi Kejadian Sistiserkosis pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan R ROSO SOEJOEDONO.

Infeksi cacing pita babi (Taenia solium) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat serius yang dihadapi masyarakat Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Ternak babi di Provinsi Papua merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Selama ini studi tentang peran babi dalam transmisi taeniasis dan sistiserkosis pada manusia dan hewan di Jayawijaya jarang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua dan mempelajari kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.

Penelitian dilakukan terhadap 35 ekor babi yang dipotong di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. Babi tersebut terdiri dari 25 babi jantan dan 10 ekor babi betina. Babi-babi tersebut merupakan babi lokal. Kisaran berat babi yang diperiksa diperkirakan antara 30 – 150 kg. Dari kista yang ditemukan di dalam daging babi yang diamati, dibuat preparat skoleks untuk selanjutnya diidentifikasi secara mikroskopik di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan secara deskriptif di lapangan, sebagai usaha untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang mendukung terjadinya sistiserkosis, dilakukan dengan metode kuesioner, checklist dan wawancara. Kuesioner disebarkan di daerah endemis taeniasis, yaitu di Distrik Kurulu, Kurima, Asologaima, Hom-hom dan Wamena Kota. Wawancara juga dilakukan dengan petugas Puskesmas di masing-masing distrik, daerah-daerah asal babi yang ditemukan terinfeksi Cysticercus cellulosae. Data yang diperoleh dari Pasar Jibama, dianalisis secara statistik. ”Point Prevalence Rate” digunakan untuk menentukan tingkat kejadian tersebut. Analisis kasus penyakit dan hubungan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi digunakan analisis chi square dan regresi linier serta di dukung dengan analisis kasus penyakit secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 35 ekor babi yang diperiksa, 27 ekor (77.1%) terinfeksi Cysticercus cellulosae. Dari 27 ekor babi yang terinfeksi 3 diantaranya tidak memiliki sumber dan asalnya yang jelas, sehingga penelusuran kasus lebih diarahkan ke daerah asal babi yang jelas sumbernya seperti disebutkan di atas. Dari hasil survei didapati bahwa daerah-daerah tersebut masih endemis dengan taeniasis dan sitiserkosis sehingga masih ada hubungannya dengan kasus kejadian pada babi.

(5)

(6.3%), sanitasi lingkungan di luar kandang, kotor (97.1%), bersih (2.8%); sanitasi lingkungan berdsarkan kepemilikan jamban keluarga, milik kolektif (4.6%), pribadi (14.3%), tidak memiliki (81.1%), kebiasaan melakukan defikasi di sembarangan tempat masih ditemui dan higiene perorangan sangat buruk. Sedangkan pola makan atau mengkonsumsi protein hewani bervariasi daging babi (75.4%), ikan (8.0%), ayam (5.2%), daging lainnya (11.4%). Sistem pengolahan makan, menggunakan alat masak (53.1%), bakar (42.3%), dan mentah (4.6%).

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih ditemukan adanya kejadian sistiserkosis pada babi-babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. Sedangkan hasil survei di daerah asal babi menunjukkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat (sistem pengolahan dan konsumsi makanan, sistem defikasi) sangat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya – Papua.

Keadaan ini akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan mutu komoditi daging babi sebagai bahan pangan masyarakat dan merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat.

(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG

DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN

JAYAWIJAYA PAPUA

FERRY DEVIDSON MAITINDOM

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua.

Nama : Ferry Devidson Maitindom

NIM : B054050021

Disetujui

Komisi Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc. Ph.D drh. R Roso Soejoedono, MPH. DEA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh.Fadjar Satrija, MSc., Ph.D dan drh. R Roso Soejoedono, MPH. DEA, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian hingga selesainya tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi KMV yang telah banyak memberi saran dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Disamping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS, Ibu Dr. drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D beserta staf yang telah berkenaan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan laboratorium selama pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Sulaiman, Bapak Agus Harianto yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium dan kelengkapan administrasi.

(10)

Akhirnya penulis hanya bisa mengatakan “Syukur bagi-Mu Tuhan yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan bagiku untuk berjuang, berkarya hingga mencapai keberhasilan”.

Bogor, September 2008.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua pada tanggal 11 Mei 1974 dari ayah Elisama Maitindom dan Ibu Anthoneta Mauri. Penulis merupakan putra ke lima dari delapan bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) II Ardipura IV Jayapura Selatan dan lulus tahun 1989. Pendidikan menengah ditempuh di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Jayapura Selatan (1989-1991) dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 Jayapura di Kecamatan Sarmi (1991-1994). Pada tahun 1995 penulis masuk Program Diploma Tiga Kesehatan Lingkungan (D3 Kesling) Akademi Kesehatan Terpadu Jayapura dan lulus tahun 1998. Selanjutnya pada bulan Juli 1999 penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang diperbantukan pada Sub Dinas Bina Penyehatan Lingkungan (Subdin BPL), Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya. Setelah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pada Subdin BPL Dinkes Provinsi Irian Jaya, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Sarjana (S1) Jurusan Teknik dan Manajemen Lingkungan pada Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Sains dan Teknologi Jayapura (ISTJ) dan lulus pada tahun 2003.

Pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB). Penulis berharap dengan mengikuti program S2 ini akan memberikan kontribusi yang bermanfaat demi menyelamatkan masyarakat Papua dari masalah kesehatan masyakat akibat penyakit sumber binatang.

Bogor, September 2008

(12)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

PENDAHULUAN ... Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Hipotesis Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA ... Biologi Taenia solium ... Taeniasis/Sistiserkus pada Manusia ... Sistiserkosis pada Babi ... Kondisi Umum Kabupaten Jayawijaya ... Kondisi Taeniasis dan Sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya ...

BAHAN DAN METODE ... Waktu dan Tempat Penelitian ... Desain Penelitian ... Deteksi dan Identifikasi Sistiserkus pada Babi ... Pengumpulan Data Peternakan dan Sanitasi Lingkungan ... Pengumpulan Data Taeniasis dan Sistiserkosis pada Penduduk ... Analisis Data ...

HASIL DAN PEMBAHASAN ... Prevalensi Sistiserkosis pada Babi ... Pola Makan Masyarakat Jayawijaya ... Kondisi Peternakan Babi ... Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia ...

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Daerah asal dan jumlah babi yang di periksa di Pasar Jibama Kabupaten

Jayawijaya Papua selama pengamatan ( 28 Juli – 18 Agustus 2007) ...

2. Sistem pengolahan makanan oleh masyarakat lokal menurut hygiene makanan berdasarkan lima distrik di Kabupaten Jayawijaya ………

3. Kepemilikan ternak babi yang dikelola masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya ……….

4. Sistem peternakan babi yang dikelola masyarakat Kabupaten

Jayawijaya ……….

5. Sanitasi lingkungan peternakan pada lima distrik di Kabupaten

Jayawijaya ……….

6. Sanitasi lingkungan menurut pemilikan jamban keluarga dan sistem defikasi penduduk lokal Kabupaten Jayawijaya ………

7. Prevalensi kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis menurut tahun 2002 ...

8. Kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis berdasarkan

informasi Gereja Katolik di Wamena tahun 2002 …………...

9. Kasus penyakit taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis yang diobati menurut Puskesmas tahun 2002/2003 …………...

22

25

27

27

28

29

31

32

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan) Taenia solium : (a)

Batil hisap, (b)Rostelum, (c) Uterus ...

2. Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan taeniasis solium dan sistiserkosis ...

3. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua ………..

4. Bagan alir penelitian ………...

5. Sistiserkus (panah) yang ditemukan pada hati dan daging babi yang disembelih di Pasar Jibama - Wamena ...

6. Skoleks Cysticercus cellulosae yang terdiri dari empat buah alat

pengisap (sucker) ...

7. Kait pada rostelum dari skoleks Cysticercus cellulosae...

8. Situasi jual beli babi di tanah lapang sekitar Pasar Jibama Wamena (A,B), penyembelihan babi (C) dan potongan daging babi yang siap dijual (D) ...

9. Pola konsumsi daging di Kabupaten Jayawijaya ... 4

6

17

18

21

23

23

24

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Kuesioner Penelitian ...

2. Tabel data iklim di Kabupaten Jayawijaya selama Januari – Juli Tahun 2007 ………...

3. Dokumentasi Kegiatan di Pasar Jibama Kondisi Kehidupan Masyarakat Lokal Secara Tradisional ………...

40

44

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Taeniasis adalah infeksi cacing pita dewasa Taenia solium dalam usus halus manusia. Infeksi stadium larva atau metacestoda (sistiserkus) pada inang antara menyebabkan sistiserkosis. Cysticercus cellulosae adalah bentuk metacestoda dari T.solium pada babi. Adanya sistiserkus pada otot-otot babi akan menyebabkan degradasi sel-sel disekitarnya. Apabila jumlah parasit itu cukup banyak maka sebagian atau seluruh karkas babi tersebut harus dimusnahkan, karena akan menjadi sumber penularan T.solium pada manusia (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Manusia juga dapat menderita sistiserkosis apabila menelan telur atau proglotida Taenia yang mengkontaminasi makanan atau melalui proses autoinfeksi.

Kasus taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia ditemukan terutama di empat provinsi yaitu Sumatra Utara, Bali, Papua dan Papua Barat. Dari keempat provinsi tersebut, jumlah kasus pada manusia paling banyak ditemukan di Provinsi Papua sehingga penyakit ini merupakan salah satu masalah serius dalam bidang kesehatan masyarakat yang dihadapi Provinsi Papua (Margono et al. 2001). Penyebaran kasus tersebut di Provinsi Papua meliputi Kabupaten Jayawijaya, Paniai, serta beberapa kabupaten pemekaran dari Jayawijaya (Yahukimo, Tolikara dan Pegunungan Bintang) (Subahar et al. 2000; Wandra et al. 2003; Dinkes Kab. Jayawijaya 2006).

(18)

2

lain studi tentang peran babi dalam transmisi penyakit ini belum pernah dilakukan. Selama ini belum pernah ada catatan dan laporan secara sistematik kepada Dinas Peternakan Provinsi Papua tentang kejadian sistiserkosis yang terjadi setiap tahun pada babi di Kabupaten Jayawijaya.

Ternak babi di Provinsi Papua, khususnya bagi masyarakat Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya, merupakan salah satu komoditas unggulan dan memiliki nilai adat dan budaya yang sangat tinggi. Hampir sebagian besar masyarakat Jayawijaya beternak babi secara turun-temurun sejak dahulu kala. Kepemilikan babi juga dijadikan sebagai alat pengukur kekayaan (status sosial) seseorang, sehingga semakin banyak babi yang dimiliki seseorang berarti semakin tinggi status sosialnya di tengah masyarakat (Pattiselano 2005).

Program pengendalian taeniasis/sistiserkosis pada manusia tidak akan efektif tanpa diikuti upaya pemutusan siklus hidup Taenia solium. Stadium larva (Cysticercus cellulosae) dalam daging babi merupakan sumber infeksi bagi manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan studi untuk mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi serta kondisi faktor-faktor lain seperti sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat di Kabupaten Jayawijaya.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua.

2. Mempelajari kondisi sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.

Manfaat Penelitian

(19)

3

Hipotesis Penelitian

1. Ditemukan sistiserkus pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Taenia solium

Klasifikasi dan Morfologi

Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, famili Taenidae dan genus Taenia. Tergolong dalam satu genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al. 2003).

Cacing dewasa berukuran panjang 3–5 meter kemungkinan dapat juga mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) memiliki rostelum dengan dua baris kait (Gambar 1). Proglotid gravid panjangnya 10–12 mm dan lebarnya 5 – 6 mm dan memiliki uterus dengan jumlah cabang 7 – 16 (Soulsby 1982). Setiap proglotida gravid berisi kira-kira 30.000 – 50.000 telur. Setiap telur memiliki diameter 26 – 34 µm dan berisi embrio (onkosfer) yang memiliki enam kait (embrio hexacanth) (Gandahusada et al. 2000; Soulsby 1982).

Gambar 1 Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan) Taenia solium : (a) Batil hisap, (b) Rostelum, (c) Uterus (Sumber: http://home.austarnet.com.au/wormman/ paraimg/tsoliscp.jpg).

a

b

(21)

5

Daur hidup

Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia (Soulsby 1982; Chin & Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam tinja penderita taeniasis antara 8 – 12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi (Chin & Kandun 2000). Sewaktu-waktu proglotida gravid berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut keluar bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan (Ilsoe et al. 1990).

Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan babi yang merupakan induk semang antara T. solium. Di dalam lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir). Selanjutnya onkosfir tersebut menembus dinding usus, masuk ke pembuluh limfe atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organ-organ yang disukai (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paru-paru, hati, ginjal. Kista muda terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan nama Cysticercus cellulosae. Bila daging babi yang mengandung parasit ini dimakan oleh manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks (protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu beberapa bulan (Soulsby 1982).

(22)

6

Gambar 2 Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan taeniasis solium dan sistiserkosis (Sumber : Murrell, Feyer & Dubey 1986 diacu dalam Soejoedono 2004).

Taeniasis/Sistiserkosis pada Manusia

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa pada manusia dikenal dengan nama taeniasis solium. Disamping sebagai induk semang definitif, manusia juga dapat bertindak sebagai induk semang antara bila terinfeksi stadium larva yang menyebabkan sistiserkosis (Gandahusada et al. 2000).

Distribusi geografik

(23)

7

ini, sering dijumpai di daerah dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Di samping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan kebiasaan melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara-negara Skandinavia. Penularan oro fekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekwensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik.

Patologi dan gejala klinik

Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat berupa nyeri hulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Pemeriksaan ulas darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000).

(24)

8

Diagnosa

Diagnosa taeniasis solium dilakukan dengan pemeriksaan tinja secara makroskopik dan mikroskopik untuk menemukan proglotidan dan/atau telur dalam tinja penderita taeniasis. Kendala dari metode diagnosa ini adalah kesulitan dalam membedakan bentuk telur dari berbagai spesies Taenia dengan telur cacing pita lain seperti Echinococcus yang secara morfologi sangat mirip. Diagnosa sistiserkosis subkutis dapat dilakukan dengan teknik biopsi. Sistiserkus yang telah mengalami kalsifikasi diberbagai bagian tubuh termasuk otot dan otak dapat dideteksi dengan sinar X. Teknik pencitraan lain seperti computerized tomographic (CT) scan juga dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi sistiserkus dalam jaringan otak. Berbagai uji serologis telah digunakan untuk mendiagnosa penderita sistiserkosis, diantaranya enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), uji hemaglutinasim dan uji pengikatan komplemen (CFT = complement fixation test) (CFSPH 2005).

Pengobatan

Pengobatan penderita taeniasis solium dapat diobati dengan berbagai jenis antelmintika seperti prazikuantel, niklosamid, buklosamid, atau mebendazol. Dalam beberapa kasus sistiserkosis mungkin dapat diobati dengan albendazol dan prazikuantel. Pembendahan dapat digunakan untuk mengangkat sistiserkus dari mata, ventrikel serebrum, dan sumsum tulang belakang mengingat pemberian antelmintika dapat memperparah gejala klinis yang timbul (CFSPH 2005).

Pencengendalian

(25)

9

Epidemiologi

Kebiasaan hidup masyarakat yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama, memainkan peran penting dalam penyebaran taeniasis/sistiserkosis. Tingkat kejadian penyakit ini tinggi pada orang-orang bukan pemeluk agama Islam, penganut ajaran Yahudi, Advent Hari ke-tujuh, dan Saksi Yehova, yang biasanya mengkonsumsi daging babi (Schnurrenberger & Hubbert 1991; Gandahusada et al. 2000). Cara menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah matang, atau mentah dan pengertian akan kebersihan lingkungan (sanitasi) dan higiene, memainkan peranan penting dalam penularan cacing Taenia solium maupun Cysticercus cellulosae.

Disamping Provinsi Papua kasus taeniasis dan sistiserkosis banyak ditemukan di Provinsi Bali dan Sumatera Utara yang memiliki populasi penduduk non muslim yang tinggi. Kasus taeniasis/sistiserkosis di Provinsi Bali disebabkan oleh Taenia solium dan Taenia saginata, sedangkan di Sumatera Utara kasus ini disebabkan oleh Taenia asiatica (Wandra et al. 2006b). Margono et al. (2001) mengungkapkan data serologis positif sistiserkosis (13.5%) penderita epilepsi, serta (12.6%) kasus asimptomatik di Bali. Wandra et al. (2006a) dalam studi epidemiologi di 3 desa di Bali pada tahun 2002 dan 2004 menemukan prevalensi taeniasis bervariasi antara 1.1% - 27.5%. Namun dalam studi itu hanya ditemukan satu kasus sistiserkosis diantara penduduk ketiga desa tersebut.

Sistiserkosis pada Babi

Cacing pita dari daging babi telah diketahui sejak Hippocrates, atau bahkan mungkin sudah sejak masa Nabi Musa. Pada masa itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi. Gessner (1558) dan Rumler (1856) merupakan ilmuwan yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva T. solium. Istilah ”sistiserkus” pertama kali digunakan oleh Zeder pada tahun 1830, yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti ”gelembung yang mempunyai ekor” (Grove 1990).

(26)

10

atau nama dalam bahasa daerah untuk gangguan parasit tersebut, seperti ”beberasan” di daerah Bali, ”manisan” di Tapanuli dan ”banasan” di Tanah Toraja (Direktorat Kesehatan Hewan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990).

Disamping Cysticercus cellulosae terdapat beberapa jenis sistiserkus lain yang dapat dijumpai pada daging babi, diantaranya adalah Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus atau kista hydatida (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Dari ketiga jenis sistiserkus tersebut, yang sangat berbahaya bagi manusia adalah Cysticercus cellulosae dan kista Echinococcus karena keduanya bersifat zoonosis (CFSPH 2005).

Cysticercus cellulosae disamping dapat dijumpai pada babi, juga dapat ditemukan pada manusia, domba dan anjing (Soulsby 1982). Ukuran Cysticercus cellulosae bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangannya (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Pada umur 20 hari gelembung atau kista berukuran sebesar kepala jarum pentul, umur 60 hari sebesar kacang tanah. Skoleks mulai tampak pada umur 110 hari dan besarnya tetap hingga dewasa, tetapi sudah menjorok ke dalam gelembung. Di dalam organ, Cysticercus cellulosae dapat hidup bertahun-tahun tetapi bila terjadi degradasi lemak atau pengapuran jaringan sekitarnya, parasit itu segera mati (LBN-LIPI 1983; Direktorat Jenderal Peternakan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Menurut Soulsby (1982) Cysticercus cellulosae mencapai perkembangan penuh atau matang setelah berukuran 20 x 10 mm, dan menjadi infektif setelah berumur 9 – 10 minggu. Sementara itu Dharmawan (1990) mengemukakan sistiserkus matang berbentuk kista bujur yang jernih dengan ukuran diameter kira-kira 10 x 5 mm. Sistiserkus memiliki skoleks keruh yang menonjol ke dalam. Skoleks mempunyai empat batil isap dan satu lingkaran kait-kait (Cheng 1986; Dharmawan 1990).

(27)

11

Cysticercus tenuicollis merupakan bentuk larva cacing pita Taenia hydatigena yang cacing dewasanya hidup dalam usus halus anjing, kadang-kadang pada kucing atau karnivora lainnya (Soulsby 1982). Larva ini merupakan cacing gelembung yang terbesar dari genus Taenia, dengan diameter mencapai 7 – 8 cm (Wilson 1980; Dunn 1978; Dharmawan 1990). Parasit ini bermigrasi menembus jaringan hati untuk menuju ke selaput peritonium (Georgi 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Disamping pada babi, hewan lain seperti domba, kambing dan sapi dapat menjadi induk semang antara Taenia hydatigena (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Cysticercus tenuicollis yang matang panjangnya dapat mencapai 6 cm (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Kista ini mengandung cairan encer dan berisi sebuah skoleks putih yang melipat ke bagian lehernya (Soulsby 1982; Dharmawan 1990).

Kista Echinococcus adalah bentuk larva (metacestoda) dari cacing pita Echinococcus spp. Ada empat spesies dari genus ini yang telah diketahui yaitu Echinococcus granulosus, merupakan spesies yang pathogen dari keempat spesies yang ada (Soulsby 1982). Cacing dewasa berparasit di dalam usus halus anjing, serigala, anjing ajag, anjing hutan, kadang-kadang pada kucing dan karnivora lainnya (Acha & Szyfres 1980; Dharmawan 1990). Sedangkan metacestodanya yang dikenal dengan nama hydatida atau kista Echinococcus ditemukan tersebar pada beberapa hewan seperti babi, domba, sapi, kuda dan kadang-kadang dapat berakibat fatal pada manusia (Soulsby 1982). Kista Echinococcus umumnya berdiameter sekitar 5 – 10 cm. Namun pernah ditemukan kista ini pada manusia berukuran 50 cm dan mengandung sekitar 16 liter cairan (Soulsby 1982).

Kondisi Umum Kabupaten Jayawijaya

Masyarakat kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Suku-suku yang besar dan mendiami daerah Kabupaten Jayawijaya sebagai masyarakat asli daerah itu adalah suku Dani, Lani dan Yaly (Petocz 1987; WI 2007).

(28)

12

menyelesaikan masalah adat, serta syarat untuk ritual pengobatan dan upacara-upacara adat (Kosasih 1996).

Masyarakat di pedalaman Pegunungan Tengah Papua mempunyai kebiasaan memelihara babi tanpa dikandangkan, sehingga ternak tersebut berkeliaran ke mana-mana. Babi yang berkeliaran tersebut sering juga mengkonsumsi tinja manusia. Hal ini dikarenakan, masyarakat sering melakukan defikasi di sembarang tempat, terutama di ladang atau kebun sekitarnya. Jika tinja manusia tersebut mengandung telur cacing pita atau Taenia solium, maka secara otomatis babi tersebut telah mengkonsumsi telur cacing Taenia solium sehingga dalam tubuhnya akan mempunyai kista atau sistiserkus (Anonim 2001). Sistem defikasi yang tidak saniter ini akan menjadi media pencemar bagi tanah, air dan tanaman sekitarnya. Padahal masyarakat setempat biasa mengkonsumsi air mentah, mengambil sayuran dan umbi-umbian seperti ubi jalar (Ipomea batatas), kentang, ketela pohon, talas, wortel, kol, sawi, kacang tanah dari daerah sekitarnya.

Proyek percontohan peternakan babi di Jayawijaya pernah dilakukan melalui kerjasama South Australia Research and Development (SARD), International Potato Center (IPC), Dinas Peternakan Kabupaten Jayawijaya (Distnak), Balai Penelitian Ternak (Balitnak), dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan model kandang babi yang mudah dibangun dan memenuhi syarat kesehatan ternak. Penggunaan model kandang yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan mencegah babi berkeliaran sehingga mengurangi resiko terjadinya kontak antara babi dan telur /proglotida cacing pita dalam tinja manusia (Cargil et al. 2007).

(29)

13

Rendahnya kebersihan lingkungan (sanitasi) membuka kemungkinan terjadinya pencemaran telur cacing pada alas daun tersebut (Anonim 2001).

Sistem sanitasi umum dan higiene perorangan di daerah inipun sangat buruk. Menurut Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Papua (2006), Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu daerah yang memiliki status kesehatan lingkungan (sanitasi) terendah di Propinsi Papua. Sebagian besar (98.0%) penduduk Kabupaten Jayawijaya tidak memiliki fasilitas/sarana sanitasi seperti air bersih, jamban keluarga, tempat pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat lokal di daerah tersebut memiliki higiene perorangan yang buruk. Menurut laporan ini juga bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya higiene perorangan mereka adalah faktor iklim. Suhu di Lembah Balliem yang dingin (14-15°C) mempengaruhi frekwensi masyarakat untuk membersihkan dirinya (mandi, cuci tangan dan gosok gigi) secara normal. Di sebagian besar penduduk di Lembah Balliem tidak menganggap higiene perorangan sebagai hal yang penting. Selain itu, sistem pengolahan makanan yang masih tradisional dan kurang memenuhi syarat kesehatan menjadi media yang potensial dalam penyebaran penyakit ini.

Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu pusat keramaian yang terletak di pertengahan antara Distrik Kurulu, Kampung Walesi, dan Kampung Hom-Hom. Letaknya yang sangat strategis memberikan kontribusi bagi perekonomian di Kota Wamena Kabupaten Jayawijaya. Pasar Jibama juga merupakan pasar terbesar diantara pasar-pasar yang ada di Kota Wamena dimana masyarakat setempat dapat menjual hasil bumi mereka. Daging babi adalah salah satu bahan pangan asal hewan yang dijual di pasar ini. Daging babi ini berasal dari ternak masyarakat lokal suku-suku yang tinggal di Lembah Balliem. Disamping ternak babi, babi hasil buruan masyarakat juga di jual di pasar ini, meskipun kebanyakan dalam bentuk daging asap. Pemotongan babi biasanya dilakukan langsung di lingkungan pasar yang tidak jauh dari lokasi penjualan, mengingat daerah ini belum ada Rumah Potong Hewan (RPH).

(30)

14

dipastikan kesehatannya. Hal ini disebabkan belum adanya manajemen pengawasan kesehatan ternak dan daging babi di Kabupaten Jayawijaya. Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyebaran taeniasis melalui daging yang dijual di pasar.

Kondisi taeniasis dan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya

Penyakit cacing pita ini diperkirakan masuk pertama kali ke derah Paniai dan Pegunungan Jayawijaya bagian Barat dalam tahun 1970 (Gunawan et al. 1975). Kemudian penyakit ini menyebar ke wilayah timur pegunungan tengah sampai Lembah Balliem. Hal tersebut termuat dalam laporan Subianto pada Rapat Kerja Kesehatan Provinsi Irian Jaya 1978 di Jayapura, yang melaporkan kejadian taeniasis 9.8% dari penduduk Lembah Balliem (Wamena dan sekitarnya) yang disurvei (Gunawan 1983).

Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa Hubikosi, Kecamatan Wamena menemukan bahwa 11 orang (10.8%) dari jumlah total 102 orang penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita. Berdasarkan jumlah tersebut 10 orang (9.8%) mengalami kejang-kejang dan 2 diantaranya mempunyai nodul. Seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejang-kejang (Indarto et al. 1983).

Pada tahun 1993 dilakukan survei tentang taeniasis/sistiserkosis, dan cacing usus lainnya terhadap warga delapan paroki di seluruh Lembah Balliem. Survei ini didorong oleh laporan kematian beberapa tokoh gereja katolik akibat tenggelam di sungai pada saat serangan epilepsi. Hasil survei menemukan 48.0% dari 537 orang dewasa pernah mengalami serangan epilepsi dimana 26.5% merupakan penderita sistiserkosis. Hal ini menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan data tahun 1977 yang mencatat kejadian sistiserkosis dan epilepsi pada masing-masing 2% dan 14% penduduk (Handali et al. 1997).

(31)

15

tinggal. Pada tahun 1973-1976 tercatat 257 kasus luka bakar di Desa Obano Kabupaten Jayawijaya (Margono et al. 2006). Studi lain oleh Wandra et al. (2000) memperlihatkan pada 1991-1995 ditemukan 1.120 kasus luka bakar di Distrik Asologaima yang berpenduduk 15. 939 jiwa.

Pada awal 1996, Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II Kabupaten Jayawijaya melaporkan jumlah kasus neurosistiserkosis sebanyak 3.632 kasus yang tersebar di 15 Kecamatan. Terbanyak berada di Kecamatan Makki, Wamena, Assologaima, Karubaga, Hom-Hom dan Kurulu. Angka ini merupakan angka kumulatif (kasus baru dan lama) yang dikumpulkan sejak tahun 1993 (Anonim 2001).

Berdasarkan catatan dari Puskesmas Asologaima pada tahun 1991 ditemukan 4 kasus epilepsi (0.3%) dan 217 kasus luka bakar (1.6%) dari 13.334 penduduk enam kampung di Kecamatan Asologaima. Data tahun 1995 menunjukkan adanya 145 kasus epilepsi (0.83%) dan 452 kasus luka bakar (2.58%) dari 17.493 penduduk (Wandra et al. 2000). Menurut Simanjuntak et al. (1997) hampir 50.0% kasus tersangka taeniasis atau sistiserkosis di sekitar Wamena menunjukkan gejala epilepsi.

Hasil survei bersama antara Subdit Zoonosis Depkes RI, serta Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Desa Woogi Kecamatan Assologaima dan Desa Home Lama Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya pada Februari 1996 menemukan kasus taeniasis dan sistiserkosis diantara penduduk kedua desa tersebut. Dari 22 orang penduduk Desa Woogi yang diperiksa terdapat 13 penderita sistiserkosis dan 9 orang lainnya pernah mengalami serangan epilepsi. Di Desa Home Lama terdapat 5 orang penderita taeniasis dan 2 orang penderita sistiserkosis serta 2 orang lainnya mempunyai gejala epilepsi dari 9 orang penduduk yang diperiksa (Subdit Zoonosis Depkes RI, Dinkes Prov.Irja & Dinkes Kab.Jayawijaya 1996).

(32)

16

(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan September 2007. Pengambilan sampel daging babi dan survei lapangan dilakukan di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya dan beberapa distrik di Kabupaten Jayawijaya yaitu Distrik Kurulu, Kurima, Asologaima, Wamena Kota, dan Kampung Hom-Hom (Gambar 3). Identifikasi spesies sistiserkus yang diisolasi dari sampel daging dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (Gambar 4).

Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua

Desain Penelitian

(34)

18

kepemilikan dan pengelolaan peternakan babi, serta sanitasi lingkungan di wilayah distrik asal babi yang dijual di Pasar Jibama (Distrik Wamena Kota, Hom-Hom, Kurulu, Kurima dan Pugima). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner dengan 35 keluarga responden di setiap distrik.

Deteksi dan Identifikasi Sistiserkuspada Babi

Pengamatan untuk mengetahui keberadaan sistiserkus pada babi yang disembelih di Pasar Jibama Wamena dilakukan terhadap karkas dan organ-organ viseral lainnya segera setelah proses penyembelihan berlangsung. Pada pengmatan ini dilakukan insisi (sayatan) terhadap otot-otot yang dianggap menjadi predileksi dari Cysticercus cellulosae seperti otot masseter, otot lidah, otot antar tulang rusuk, otot jantung dan otot diafragma (Collins 1981; Dharmawan 1990). Untuk mengetahui kemungkinan adanya Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus dilakukan pemeriksaan pada organ-organ viseral seperti hati, ginjal, paru-paru, limpa, penggantung usus (mesenterium), penggantung lambung (omentum) (Wilson 1980; Collins 1981; Dharmawan 1990).

Tahap I

Tahap II

Gambar 4 Bagan alir penelitian. Survei Pasar

Survei & Wawancara ke Lingkungan Peternakan Babi

Koleksi Sistiserkus

Identivikasi Larva Cacing Pita

Analisis Data & Hasil

(35)

19

Sampel sistiserkus yang ditemukan diawetkan dalam alkohol 70% sebelum dibuat sediaan skoleks untuk identifikasi spesies sistiserkus. Pembuatan sediaan skoleks dilakukan dengan mengeluarkan skoleks dari kista yang diperoleh dengan jalan menekan menggunakan skalpel, lalu dipotong. Hasil potongan skoleks yang didapatkan kembali ditipiskan dengan cara mengiris secara hati-hati dibawah mikroskop, guna memperoleh sediaan setipis mungkin. Potongan skoleks yang masih berukuran besar ditekan dengan menggunakan kaca penjepit untuk memperoleh sediaan setipis mungkin. Potongan skoleks tersebut dijernihkan dengan merendamnya dalam KOH 1% selama beberapa detik, diteruskan perendaman dalam minyak cengkeh selama satu menit sampai terlihat transparan. Selanjutnya dilakukan dehidrasi melalui perendaman dalam alkohol bertingkat berturut-turut mulai dari alkohol 50%, 70%, 80% dan terakhir alkohol absolut. Setiap tahap perendaman berlangsung selama 5 menit. Selanjutnya skoleks diletakkan di atas gelas obyek lalu di-mounting dengan perekat entelan dan ditutup dengan gelas penutup.

Identifikasi jenis sistiserkus dilakukan terhadap preparat skoleks yang sudah dibuat. Pekerjaan ini dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, serta jumlah kait dengan bantuan video mikrometer. Pada prinsipnya sistiserkus dari genus Taenia dapat dibedakan dari kista Echinococcus berdasarkan jumlah skoleksnya. Pada Taenia hanya terdapat satu skoleks, sedangkan pada Echinococcus terdapat banyak skoleks dalam sebuah kista (Dharmawan 1990). Dokumentasi dilakukan dengan melakukan pemotretan pada bagian protoskoleks dari sistiserkus

Pengumpulan Data Peternakan dan Sanitasi Lingkungan

Pengumpulan data melalui wawancara yang dipandu dengan kuesioner dan daftar isian yang disiapkan sebelumnya (Lampiran 1). Disamping itu, pengamatan langsung dilakukan untuk melihat kondisi pasar, peternakan, sanitasi kandang dan lingkungan sekitarnya untuk didokumentasikan dengan pemotretan.

(36)

20

dan sedang dipersiapkan menjadi satu distrik tersendiri. Pertimbangan penetapan wilayah survei ini adalah daerah asal babi yang dipotong di Pasar Jibama, serta tingkat kejadian taeniasis dan sistiserkosis pada manusia yang tercatat di Dinas Kesehatan tergolong tinggi (Dinkes Kab. Jayawijaya 2006).

Bertindak sebagai responden dalam survei ini adalah kepala keluarga atau orang dewasa dalam lingkungan keluarga bersangkutan yang dianggap paling mengetahui segala sesuatu dalam keluarganya. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara mencakup indikator pola konsumsi daging dan pengolahan makanan, pemilikan dan pengelolaan ternak babi, serta kepemilikan dan penggunaan jamban keluarga.

Pengumpulan Data Taeniasis dan Sistiserkosis pada Penduduk

Data kejadian taeniasis dan sistisekosis pada penduduk merupakan data sekunder tentang jumlah dan penyebaran kasus taeniasis dan sistiserkosis pada penduduk Kabupaten Jayawijaya selama periode 2002-2003 yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. Data tersebut merupakan catatan laporan kasus taeniasis dan sistisekosis di puskemas-puskesmas serta Paroki Dekanat.

Analisis Data

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Sistiserkosis pada Babi

Babi yang diamati selama penelitian terdiri dari 25 ekor babi jantan dan 10 ekor babi betina. Babi tersebut berasal dari berbagai daerah di Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya Papua (Tabel 1). Semua babi yang disembelih merupakan babi ras lokal dengan kisaran berat badan diperkirakan antara 60 – 150 kg. Jumlah babi yang diperjual belikan dan disembelih di Pasar Jibama adalah 1- 4 ekor. Jumlah babi yang disembelih pada saat penelitian berlangsung jauh merosot dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5-10 ekor setiap hari. Hal ini terjadi karena pada bulan Februari 2007 terjadi wabah hog cholera yang mematikan sebagian besar babi-babi di wilayah Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya. Dampak lain dari wabah ini adalah peningkatan secara drastis harga jual daging dari Rp. 150.000,- per potong menjadi Rp. 350.000 – Rp. 700.000,- per potong. Tingginya harga babi tersebut juga mendorong penduduk pendatang yang mengkonsumsi daging babi untuk membeli daging babi yang dipasok dari luar Kabupaten Jayawijaya (Biak dan Jayapura) yang harganya lebih murah.

(38)

22

Pengamatan pada daging dan organ internal babi yang disembelih berhasil menemukan adanya sistiserkus di hati, jantung paru-paru dan otot masseter (rahang) dari 27 ekor (77.1%) babi (Gambar 5). Kejadian sistiserkosis tertinggi ditemukan pada babi dari Kampung Hom-Hom (88.9%) disusul Distrik Kurima (85.7%), sedangkan tingkat kejadian terendah ditemukan pada babi yang berasal dari Distrik Wamena Kota (40.0%). Terdapat tiga babi yang tidak dapat diidentifikasi secara pasti distrik asalnya dimana ketiganya terinfeksi sistiserkus.

Tabel 1 Kejadian sistiserkosis pada babi yang disembelih dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua selama periode pengamatan (28 Juli – 18 Agustus 2007).

No Daerah Asal (Distrik) Jumlah Babi Jumlah Terinfeksi

Sumber lain di Lembah Balliem

(39)

23

Gambar 6 Skoleks Cysticercus cellulosae yang terdiri dari empat buah alat pengisap (sucker).

Gambar 7 Kait pada rostelum dari skoleks Cysticercus cellulosae.

Prevalensi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kejadian sistiserkosis di provinsi lain dan bahkan negara Asia lainnya. Studi Dharmawan (1990) menunjukkan tingkat prevalensi sistiserkosis pada babi di Bali sebesar 0.12% disebabkan Cysticercus cellulosae dan 18.1% oleh Cysticercus tenuicolis. Rajshekhar et al. (2003) mengemukakan bahwa prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India dan Nepal masing-masing adalah 5.4, 9.3, dan 32.5 %.

(40)

24

dan pemilik babi terungkap bahwa sangat minimnya sarana transportasi dan letak geografis Kabupaten Jayawijaya merupakan faktor penghambat pemasukan babi ke kabupaten ini, sehingga babi yang diperjual belikan kebanyakan dari wilayah Lembah Balliem yang merupakan daerah endemik taeniasis/sistiserkosis pada manusia (Wandra et al. 2003).

Penyembelihan babi dilakukan di tanah lapang sekitar pasar tanpa adanya pengawasan dari petugas dinas peternakan. Ketiadaan pengawasan tersebut menyebabkan masyarakat akan tetap mengkonsumsi daging meskipun di dalamnya mengandung sistiserkus. Hasil pengamatan selama penelitian berlangsung memperlihatkan kondisi sanitasi pasar dan tempat pemotongan babi secara umum sangat buruk. Di beberapa tempat di sudut pasar masih ditemukan sampah, tinja manusia dan bau khas air seni (Gambar 8).

Gambar 8 Situasi jual beli babi di tanah lapang sekitar Pasar Jibama Wamena (A,B), penyembelihan babi (C) dan potongan daging babi yang siap dijual (D).

A B

(41)

25

Mengingat daging babi merupakan sumber protein hewani utama bagi masyarakat setempat, maka penanganan aspek kesehatan masyarakat veteriner merupakan hal mendesak untuk dilakukan sebagai upaya memutuskan rantai penularan taeniasis dan sistiserkosis. Langkah yang dapat diambil diantaranya menyediakan tempat pemotongan babi yang memenuhi standar kesmavet di sekitar pasar termasuk penyediaan tenaga medis/para medis veteriner dalam melakukan pemeriksaan ante dan postmortem.

Pola Makan Masyarakat Jayawijaya

Hasil wawancara, pengamatan dan kuesioner yang disebarkan diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya mengkonsumsi babi (75.4%) sebagai sumber protein hewani. Disamping itu terdapat pula masyarakat yang mengkonsumsi ikan (8.0%) dan ayam (5.2%) serta hewan lain (11.4%) seperti burung, tikus hutan dan udang sebagai sumber proteinnya (Gambar 10).

Tabel 2 Sistem pengolahan makanan oleh masyarakat lokal menurut higiene makanan berdasarkan empat distrik dan satu kampung di Kabupaten Jayawijaya.

Daerah Asal/Distrik

Pengolahan Makanan

Masak Bakar Mentah

Wamena Kota 22 13 -

Hom-hom 21 13 1

Kurima 13 20 2

Asologaima 18 14 13

Kurulu 19 14 2

Jumlah

Persentase (%)

93 53.1

74 42.3

(42)

26

8,0% 5,2%

11,4%

75,4%

Babi ikan Ayam Daging lainnya

Gambar 10 Pola konsumsi daging di Kabupaten Jayawijaya.

Masih banyak masyarakat lokal yang belum mengolah makanannya secara higienis dan matang. Hasil wawancara menunjukkan baru 53.1% keluarga responden yang memasak dengan menggunakan alat masak. Keluarga yang lain memasak makanannya dengan cara membakar makanan (42.3%) dan (4.6%) mengkonsumsi setengah matang atau mentah (Tabel 2).

Kebiasaan masyarakat untuk memasak daging setengah matang dengan cara membakar tidak akan mampu membunuh sistiserkus dalam daging. Sistiserkus akan mati bila daging dimasak pada suhu lebih dari 60oC (Soejoedono 2004). Oleh karena itu, instansi pemerintah terkait (dinas kesehatan dan dinas peternakan) perlu merintis pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat, khususnya cara mengolah makanan yang higienis.

Kondisi Peternakan Babi

Hasil pengamatan dan wawancara di wilayah asal babi yang disembelih di Pasar Jibama menunjukkan bahwa sebagian besar responden (65.6%) memiliki babi (Tabel 3), baik sebagai milik pribadi (62.8%) maupun kolektif (2.8%). Disamping babi, masyarakat juga memelihara hewan lain yaitu anjing dan ayam.

(43)

27

bersama pemiliknya. Kebersihan kandang dan lingkungan peternakan juga masih buruk (Tabel 5).

Tabel 3 Kepemilikan ternak babi yang dikelola masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya

Tabel 4 Sistem peternakan babi yang dikelola masyarakat Kabupaten Jayawijaya Sistem Peternakan

Daerah Asal/Distrik Kandang Tidak

Wamena Kota

(44)

28

rendah dimana 81.1% keluarga responden tidak memiliki jamban keluarga (Tabel 6). Sisanya memiliki jamban keluarga (14.3%) dan jamban umum (4.6%).

Tabel 5 Sanitasi lingkungan peternakan pada lima distrik di Kabupaten Jayawijaya

Kebersihan Peternakan

Kandang Lingkungan Daerah Asal /Distrik

Bersih Kotor Bersih Kotor Wamena Kota

Apabila kondisi ini tidak mendapat perhatian yang cepat dari instansi terkait, maka semakin meningkat pula jumlah daerah endemis taeniasis dan sistiserkosis di Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya.

Langkah-langkah yang harus diambil dalam mengatasi kondisi tersebut adalah dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan dari aspek kesehatan masyarakat dan veteriner, pembuatan sarana-sarana percontohan yang didasarkan pada budaya lokal serta pengawasan yang terus-menerus dari instansi terkait.

(45)

29

Tabel 6 Sanitasi lingkungan menurut pemilikan jamban keluarga dan sistem defikasi penduduk lokal Kabupaten Jayawijaya

Kepemilikan Jamban Keluarga Daerah asal/ Distrik

Umum Pribadi Tdk ada

Wamena Kota 3 11 21

Hom-hom 2 7 26

Kurima 1 4 30

Asologaima - 1 34

Kurulu 2 2 31

Jumlah

Persentase ( %)

8 4.6

25 14.3

142 81.1

(46)

30

pendekatan sanitasi berbasis budaya adalah pola yang cocok untuk diterapkan pada masyarakat di Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya.

Perlu dibina hubungan kerjasama yang harmonis antara komponen masayarakat, adat, gereja (agama), swasta (stake holder) dan pemerintah daerah dalam membangun persepsi masyarakat lokal. Hasil survei pendapat umum Papua - Indonesia oleh IFES (2003) menunjukkan bahwa pelayanan publik yang dilakukan pemerintah dan swasta lebih difokuskan pada aspek ekonomi. Sedangkan pendidikan dan kesehatan kurang mendapat perhatian. Hal ini memperlihatkan betapa rendahnya perhatian pemerintah dan swasta dalam meningkatkan pengetahuan (SDM) dan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi dan perencanaan kembali untuk meningkatkan kedua aspek tersebut.

Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia

Hasil yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya menunjukkan angka prevalensi taenisis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis yang tinggi pada manusia. Angka tersebut diperoleh dari Puskesmas Kurulu, Asologaima, dan Hom-Hom (Tabel 7).

(47)

31

Tabel 7 Prevalensi kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis tahun 2002.

KASUS

Taeniasis Sistiserkosis Neurosistiserkosis Puskesmas

2002

Desa Asal/ Daerah Asal

L P L P L P

Kurulu Yiwika Waga-waga

di Luar Kurulu -Asologaima Sumber : Dinkes Kab. Jayawijaya (2004).

(48)

32

Data lain juga diperoleh mengenai penyakit tersebut dari Gereja Katolik di Wamena. Data tersebut dicatat menurut paroki. (Tabel 8).

Tabel 8 Kasus penyakit taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis menurut Paroki berdasarkan informasi Gereja Katolik di Wamena tahun 2002.

Taeniasis

(49)

33

Tabel 9 Kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis yang diobati menurut Puskesmas di Kabupaten Jayawijaya tahun 2002/2003.

Tahun 2002 Penderita yg Dilaporkan

Tahun 2003 Penderita yg Dilaporkan No Puskesmas/

Distrik

Jumlah Desa

Kasus Diobati Tdk

Diobati Kasus Diobati Tdk

Sumber : Dinkes Kab. Jayawijaya (2004).

Rendahnya pelayanan kesehatan yang dilakukan dinas kesehatan akan memberikan peluang besar terhadap perkembangan dan peningkatan taeniasis dan sistiserkosis di beberapa daerah endemis di Kabupaten Jayawijaya. Hal tersebut terbukti karena sampai saat ini pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lokal masih dilakukan oleh pihak Gereja Katolik Wamena. Meskipun pelayanan yang dilakukan sangat sederhana dan terbatas namun mampu memberikan informasi yang cukup baik dan rutin kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya.

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat kurang memberikan input yang jelas tentang kasus taeniasis maupun sistiserkosis. Menurut hasil wawancara diperoleh informasi bahwa data penyakit tersebut telah dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya (Tabel 9).

(50)

34

tahun 2003, jumlah kasus yang belum terobati 210 (18.6%) dari 1.129 kasus yang ditemui (Tabel 9) (Dinkes Kab. Jayawijaya 2004).

(51)

35

SIMPULAN

1. Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya adalah tergolong tinggi dengan tingkat prevalensi 77,1%. Dan kasus tersebut ditemukan pada babi-babi lokal asal Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya Papua. Dari hasil analisis laboratorium terbukti bahwa sistiserkus yang ditemukan dari babi-babi yang dipotong di Pasar Jibama adalah jenis Cysticercus cellulosae.

2. Kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat sangat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.

SARAN

Dalam upaya memotong rantai penularan taeniasis/sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Papua, pemerintah perlu mengupayakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membangun Tempat Pemotongan Babi yang memenuhi standar Kesmavet di dekat Pasar Jibama, agar dapat mempermudah pengawasan kesehatan dan pendistribusian daging babi yang dijual di pasar Jibama.

2. Membangun sarana sanitasi (air bersih, toilet, urinoir, TPS, dan saluran pembuangan air limbah) di daerah endemis taeniasis/sistiserkosis untuk menghindarkan penyebaran telur cacing ke lingkungan sekitar.

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Acha PN, Szyfres B. 1980. Zoonosis and Communicable Diseases Common to Man Animals. Publication. American Health Organization. Washington: American.

Ahuja GK, Roy S, Kamala G and Virmani V. 1978. Cerebral cysticercosis. J Neurol. 35: 365 – 374.

[Anonim] 2001. Draf 121500, Rencana penanggulangan Taeniasis dan Cysticercocis di Kabupaten Jayawijaya. Wamena.

Azwar A. 1988. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Bina Aksara.

[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Tabel Data Iklim di Kabupaten Jayawijaya Selama Januari – Juli 2007. Wamena: Stasiun Meteorologi Wamena.

Cargil C et al. 2007. Pengurangan infeksi parasit pada babi. Panduan Seminar Nasional dan Ekspose. (Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Kemadirian Masyarakat Kampung di Papua). Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, International Potato Center dan Pemerintah Provinsi Papua. Panitia Seminar. Jayapura.

[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2005. Taenia Infection.

Cheng TC. 1986. General Parasitology. Second editor. Florida: Academic Press, Inc. Orlando.

Collins FV. 1981. Meat Inspection. Sydney: Rigby Publishers Limited.

Chin J, Kandun IN. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. American Public Health Association.

Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode pemeriksaan kesehatan daging babi di rumah potong hewan Denpasar. [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[Dinkes Kab] Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. 2004. Laporan Kasus Penyakit Taeniasis, Sistiserkosis dan Neurosistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Tahun 2002 dan 2003. Wamena.

(53)

36

[Dinkes Prov] Dinas Kesehatan Provinsi Papua. 2004. Laporan Tahunan. Sub Dinas Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Jayapura.

[Dinkes Prov] Dinas Kesehatan Provinsi Papua. 2005. Laporan Tahunan . Sub Dinas Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Jayapura.

[Dinkes Prov] Dinas Kesehatan Provinsi Papua. 2006. Laporan Tahunan . Sub Dinas Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Jayapura.

Dunn AM. 1978. Veterinary Helminthology. New York: William Heinemann Medical.

Friedman GD. 1986. Prinsip-prinsip Epidemiologi. Terjemahan dari Primer of Epidemiology. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica.

Gandahusada S, Ilahude HHD, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

[GDKJ] Gereja Dekanat Kabupaten Jayawijaya. 2002. Laporan Kasus Penyakit Epilepsi (Mati-mati Ayam) Berdasarkan Paroki. Permohonan Bantuan Obat Cacing ke Bagian P2M Dinkes Kabupaten Jayawijaya. Wamena: Jayawijaya.

Grove DI. 1990. A History of Human Helminthology. Wallingford: CAB International.

Gunawan S, Subianto DB, Tumada LR. 1975. Taeniasis and cysticercosis in Irian Jaya. Paper presented in a seminar held by the national institute of health research and development, in Jakarta on 28 April 1975. Indonesia.

Gunawan S. 1983. Aspek sosio-budaya masalah Taeniasis dan Cysticercocis di daerah Pegunungan Irian Jaya. Buletin Kesehatan Irian Jaya. 3: 14-27.

Gunawan S. 2000. Draft rencana penanggulangan taeniasis/cysticercasis di Kabupaten Jayawijaya. Jayapura: Kanwil Depkes Irian Jaya. 121500: 1-8.

Handali S et al. 1997. A Survey report July 1993: Cysticercosis in the Grand Dani Valley Jayawijaya district Irian Jaya Province Indonesia. Southeast Asian J. Tropical Medicine and Public Health 28: 22-25.

[IFES] Internatiomal Foundation for Election Systems. 2003. Survei Pendapat Umum Papua-Indonesia. Jakarta: Taylor Nelson Sofres.

(54)

37

Indarto T, Indarto T, Zaini M dan Dimpudus AJ. 1983. Survei taeniasis dan sistiserkosis di Kecamatan Wamena. Buletin Kesehatan Irian Jaya. 3: 6 – 13.

Kumar D and Ganur SNS. 1987. Serodiagnosis of porcine cysticercosis by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) using fractinated antigents. Vet. Parasitol. 24 : 195 – 202.

Kosasih UR. 1996. Upacara kematian pada masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu Kabupaten Jayawijaya Irian Jaya. 3: 14 – 27.

[LBN] Lembaga Biologi Nasional - LIPI. 1983. Binatang Parasit. Bogor: LIPI Bogor.

Margono SS et al. 2001. Cysticercosis in Indonesia: epidemiological aspects. Southeast Asian J. Trop Med Public Health. 32 Suppl. 2:79 – 84.

Margono SS et al. 2006. Taeniasis/cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. J Parasitol Int. 55 Suppl: S145 – 8.

Pattiselano F. 2005. Peternakan babi di Manokwari, mepertahankan tradisi dan meningkatkan taraf hidup. Manokwari : Universitas Papua Manokwari

Petocz RG. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Grafitipers.

Rajshekkhar V, Joshi DD, Doanh NQ, De Van N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/ cysticercosis in Asia: Epidemiology, impact and issue. Acta Tropica. 87: 53 – 60.

Ris DR, Hamel KL, Makle ZM. 1987. Use two palysaccharide antigents in ELISA for the detection of antibodies to Ecchinococcus granulosus in sheep Sera. Research in Vet. 43: 257 – 263.

Schnurrenberger PR, Hubbert WT. 1991. Iktizar Zoonosis. Bandung: ITB.

Simanjuntak GM, Margono SS, Okamoto M, Ito A. 1997. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia as an Emerging Disease. Parasitology Today. 13: 321 – 23.

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius.

(55)

38

Soulsby EJL. 1982. Helminths Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindal.

Subahar R et al. 2000. Cysticercosis seropositivity in pigs of Jayawijaya District Irian Jaya Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Parasitologi 28: 344 – 346.

Subahar R et al. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya district. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388 – 90.

[Subdit Zoonos Depkes] Sub Direktorat Zoonosis Departemen Kesehatan RI. 1996. Survei Taeniasis dan Sistiserkosis Bersama Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya dan Dinas Kesehatan Dati II Kabupaten Jayawijaya.

Swan RA and Wawkins CD. 1984. Epidemiology and Preventive Veterinary Medicine. School of Veterinary Studies Murdoch University.

Wandra T et al. 2000. Resurgence of cases of epileptic sezures and burns associated with cysticercosis in Asologaima, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia, 1991 – 1995. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94: 46 – 50.

Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Margono SS, Suroso T. 2003. Taenia solium cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. Emerg Infect Dis. 9: 884 – 5.

Wandra T et al. 2005.. Taeniasis and cysticercosis in Bali and North Sumatra, Indonesia. J Parasitol Int. 55 Suppl:S155-60.

Wandra T et al. 2006a. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002 – 2004. J Trans R Soc Trop Met Hyg. 100: 346 – 53.

Wandra T et al. 2006b.Taeniasis and cysticercosis in Bali and North Sumatra. J. Parasitol Int. 55 Suppl: S155 – 60.

[WI] Wikipedia Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Wamena. [12- 02 - 2007].

(56)

Lampiran 1

KUESIONER PENELITIAN

Nomor Kuesioner : Nama Kepala Keluarga : Alamat Distrik/Kampung :

I. KOMPONEN MANAJEMEN PETERNAKAN

1. Dari mana Bapak/Ibu memperoleh babi? a. Berburu dari hutan

b. Dibantu pemerintah c. Dibantu swasta

d. Dibeli dari peternakan lain (orang kedua).

2. Menurut Bapak/Ibu pelihara (beternak) babi yang baik, harus bagaimana? a. Dikandangkan

b. Dilepaskan berkeliaran mencari makan

c. Tidak tahu atau lainnya ...

3. Apakah kandang babi milik Bpk/Ibu permanen/semi permanen? a. Permanen

b. Semi permanen c. Tidak tahu

4. Apakah Bpk/Ibu memiliki ternak lain selain babi? a. Ya b. Tidak.

5. Apa jenis ternak lain yang Bpk/Ibu memiliki selain babi?

a. Ayam b. Anjing c. Kelinci d. Hewan lainnya ... 6. Dimana dan dari mana Bpk/Ibu mengambil Makanan babi? (Jawaban bisa lebih

dari satu)

a. Membeli dari pasar b. Mengambil dari ladang

c. Membiarkan babi mencari makan sendiri

d. Mengambil makanan sisa dari warung/rumah makan. e. Tidak tahu atau lainnya ... 7. Bagaimana Bpk/Ibu cara menyediakan makanan bagi babi?

a. Memasak sebelum diberi pada babi b. Tidak memasak

c. Tidak memberi makan.

8. Jenis makanan apa saja yang Bpk/Ibu berikan pada babi? a. Umbi-umbian saja (batatas, singkong, kentang, wortel) b. Sayuran saja

c. Umbi-umbian dan sayuran

d. Tidak menentu atau tidak tahu ...

9. Bagaimana Bpk/Ibu cara memasak makanan mentah untuk pakan babi? a. Mencuci sebelum memasak

b. Memasak tanpa memcuci terlebih dahulu c. Membakar langsung

d. Tidak tahu atau yang lainnya ...

10. Apakah Bpk/Ibu memasak makanan babi menggunakan wadah/alat masak? a. Ya b. Tidak/ tidak tahu

11. Apakah wadah yang digunakan untuk alat masak terbuat dari logam? a. Ya b. Tidak

(57)

41

13. Bagaimana cara Bpk/Ibu memperlakukan babi dan anak bayi Bpk & Ibu? a. Babi dibiarkan di lingkungan perumahan bersama anak

b. Babi digendong dan dibelai bersama anak c. Babi didahulukan dari anak

d. Anak didahulukan dari babi.

14. Apakah pemerintah pernah melakukan penyuluhan tentang cara beternak babi yang baik dan benar?

a. Pernah b. Tidak pernah c. Tidak tahu.

II. KOMPONEN KESEHATAN LINGKUNGAN (SANITASI)

1. Apakah Bpk/Ibu tahu arti rumah sehat? a. Ya b. Tidak.

2. Dimana Bpk/Ibu tinggal dan bermukim?

a. Rumah permanen b. Rumah semi permanen

c. Honai d. Tidak bertempat tinggal/rumah.

3. Apakah rumah Bpk/Ibu dengan kandang babi berjauhan /berbeda tempat? a. Ya b. Tidak c. Berada bersama dalam satu rumah. 4. Berapa Jarak antara rumah Bpk/Ibu dengan kandang Babi?

a. 1 meter b. 2 meter c. 3 meter d. lebih dari 3 meter 5. Berapa jumlah anggota keluarga Bpk/Ibu dalam satu rumah?

a. 3 – 4 orang. b. 5 – 7 orang c. 7 – 9 orang d. Lebih dari 10 orang. 6. Apakah rumah Bpk/Ibu memiliki sarana air bersih?

a. Ya b. Tidak.

7. Jenis sarana air bersih yang Bpk/Ibu memiliki seperti apa? (jawab bisa lebih). a. Sumur gali b. Sumur pompa

c. Air PDAM (perpipaan) d. Yang lainnya ... 8. Dimana Bpk/Ibu mengambil air untuk minum, mandi dan mencuci?

a. Sumur gali b. Sumur bor c. Sungai/kali d. Air hujan. 9. Apakah Bpk/Ibu merebus (memasak) air sebelum diminum?

a. Ya b. Tidak.

10. Apakah Bpk/Ibu memiliki alat masak untuk merebus air? a. Ya b. Tidak.

11. Apakah tersedia air bersih dekat dengan kandang babi Bpk/Ibu? a. Ya b. Tidak.

12. Apakah di kandang babi tersedia sapu untuk membersihkan kandang? a. Ya b. Tidak.

13. Berapa kalikah kandang babi dibersihkan dalam seminggu? a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. 4 kali e. Lebih dari 4 kali. 14. Apakah Bpk/Ibu memiliki jamban keluarga/wc di rumah?

a. Ya b. Tidak.

15. Apakah jamban keluarga Bpk/Ibu berada di dalam rumah? a. Ya b. Tidak.

16. Bagaimana jenis jamban keluarga yang Bpk/Ibu miliki?

a. Leher angsa b. Cemplung c. Jenis lainnya ... 17. Dimana Bpk/Ibu dan anggota keluarga melakukan defikasi?

a. WC/Jamban keluarga b. kebun/ladang c. Di sekitar rumah d. di hutan.

(58)

42

19. Bagaimana cara Bpk/Ibu memasak makanan?

a. menggunakan alat masak b. Membakar karena tidak memiliki alat masak c. membakar, bakar batu dan pengasapan d. mengkonsumsi mentah. 20. Bagaimana cara Bpk/Ibu mencari makanan setiap hari? (jawan bisa lebih dari

satu).

a. membeli di pasar b. Mengambil di ladang/kebun sendiri dan berburu c. lainnya ...

21. Dimana Bpk/Ibu melakukan bakar batu?

a. Di sekitar halaman rumah b. Di ladang atau kebun c. Di sembarang tempat.

22. Berapa lama Bpk/Ibu membakar batu?

a. 1 jam b. 1 ½ jam c. 2 jam d. lebih dari 2 jam.

23. Bagaimana cara Bpk/Ibu menyiapkan daging babi dalam prosesi bakar batu? a. Babi disembelih/dipotong langsung di lokasi bakar batu

b. Daging babi di beli di pasar c. Diambil dari persediaan di rumah d. Lainnya ...

24. Bagaimana cara Bpk/Ibu mempersiapkan makanan pendamping yang akan dibakar bersama daging babi?

a. Diambil langsung dari ladang/kebun b. Dibeli di pasar

c. diambil dari persediaan di rumah d. Lainnya ... 25. Apakah Bpk/Ibu memcuci daging dan makanan lainnya sebelum bakar batu?

a. Ya b. Tidak.

26. Dari mana air yang Bpk/Ibu gunakan untuk mencuci daging? a. Sungai b. Sumur gali, bor, pompa c. Tidak tahu.

27. Dimana Bpk/Ibu meletakkan daging babi dan makan pendamping setelah dicuci? a. Diatas tanah beralas daun/rumput

b. Langsung dimasukkan ke tempat pembakaran c. Diletakkan di atas tanah tanpa beralas daun/rumput. d. Di dalam wadah logam/ pelastik

e. Dipegang/ lainnya.

28. Apakah wadah yang digunakan untuk meletakkan bahan makan yang telah dicuci dalam kondisi bersih?

a. Ya b. Tidak.

29. Dimana Bpk/Ibu meletakkan makanan yang sudah matang? a. Di dalam wadah logam/pelastik

b. Diatas lantai tanah beralas daun c. Diatas tanah tanpa beralas daun

d. langsung di konsumsi dari tempat pembakaran. 30. Apakah makanan yang dibakar matang semuanya?

a. Ya b. Tidak.

31. Biasa berapa jumlah anggota yang membantu dalam prosesi bakar batu? a. 3 – 5 orang b. 5 – 7 orang c. 7 – 9 orang d. 10 orang atau lebih. 32. Bagaimana cara mengkonsumsi makanan dalam prosesi bakar batu?

a.Diletakkan dalam wadah kemudian dimakan bersama b.Dimakan tanpa diwadahi sebelumnya

c.Dimakan ramai-ramai dari tempat pembakaran.

33. Menurut Bpk/Ibu, apakah daging babi yang dibakar sudah benar-benar matang untuk dikonsumsi?

a. Ya b. Tidak.

34. Menurut Bpk/Ibu daging babi yang sudah matang dan enak untuk dikonsumsi seperti apa?

(59)

43

d. Tidak tahu.

35. Apakah makanan yang dibakar dimakan habis atau disimpan? (jawan bisa lebih dari satu).

a. Dimakan habis b. Dimakan dan disimpan kelebihannya

c. dimakan dan dibuang kelebihan/sisanya d. Sisanya menjadi pakan ternak. 36. Apakah setiap orang yang makan pada saat itu mencuci tangan/membersihkan

diri sebelum mencicipi makanan? a. Ya b. Tidak.

37. Apakah Bpk/Ibu membersihkan diri tiap hari? a. Ya b. Tidak.

38. Berapa kali Bpk/Ibu mandi tiap hari?

a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. 1 kali seminggu e. 2 kali seminggu f. 3 kali seminggu.

III.KOMPONEN SOSIAL BUDAYA

1. Apa pekerjaan Bpk/Ibu?

a. Pegawai negeri b. Swasta c. Petani d. Buruh e. Lainnya ...

2. Berapa pendapatan Bpk/Ibu per bulan (dalam rupiah)?

a. 150.000,- - 250.000,- b. 250.000,- - 350.000,- c. 350.000 – 500.000,- d. 500.000,- - 1.000.000,- e. lebih dari 1.000.000,-

3. Sumber pendapatan Bpk/Ibu dari mana?

a. Gaji/upah per bulan b. Menjual hasil ladang

c. Menjual hasil ladang, ternak dan buruan d.Menjual ternak/hasil buruan 4. Berapa jumlah anak yang ditanggung Bpk/Ibu?

a. 1 orang b. 2 orang c. 3 orang d. 4 orang e. 5 orang/ lebih.

5. Pendidikan tertinggi Bpk/Ibu dan anggota keluarga : 1) Ayah : a. SD b. SMP c. SMA 6. Dimana Bpk/Ibu menyekolahkan anak? (jawan bisa lebih dari satu).

a. Di kampung asal b. Di Kota Wamena

c. Di luar wamena (dalam Papua) d. Di luar Papua.

7. Adakah anak Bpk/Ibu yang sekolah di bidang peternakan atau pertanian? a. Ada b. Tidak

8. Apakah babi begitu berharga dalam budaya Bpk/Ibu? a. Ya b. Tidak.

9. Bagaimana Bpk/Ibu menganggap babi dalam hidup? (jawaban bisa lebih dari satu).

Gambar

Gambar 1 Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan)  Taenia solium : (a) Batil hisap, (b) Rostelum, (c) Uterus (Sumber: http://home.austarnet.com.au/wormman/ paraimg/tsoliscp.jpg)
Gambar 2 Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan   taeniasis solium dan sistiserkosis (Sumber : Murrell, Feyer & Dubey 1986 diacu dalam Soejoedono 2004)
Gambar 3  Peta lokasi penelitian di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua
Gambar 4  Bagan alir penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

KEJADIAN Clostridium perfringens PADA DAGING SAP1 YANG DIJUAL DI BEBERAPA KIOS DAGING. D1 PASAR

SURVEI SEROPREVALENSI SISTISENI<OSIS PADA BABI OI

Peternakan babi merupakan potensi unggulan dari wilayah Kabupaten Flores Timur bila dapat dikembangkan dengan lebih baik apalagi NTT sendiri merupakan propinsi dengan populasi

Melihat cukup tingginya tingkat konsumsi daging khususnya daging babi di Kabupaten Flores Timur serta peranan babi dalam transmisi taeniasis/sistiserkosis maka perlu dilakukan

Perlu dilakukan penelitian terhadap kejadian sistiserkosis pada babi hutan yang berasal dari daerah lain serta penelitian yang lebih dalam untuk mengidentifikasi spesies

Morfologi telur cacing A scaris yang diidentifikasi dari sampel feses babi dalam penelitian ini dapat dilihat pada (Gambar 1a.).. yang diidentifikasi sebagai

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Hutan Pemeriksaan circulating antigen pada serum dengan uji ELISA yang dilakukan, menunjukkan bahwa hasil uji ini valid karena

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa terdapat 2 sampel positif sistiserkus dari 14 ekor babi yang dipotong di RPH Kota So’E, kedua sampel