• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pendidikan Humanis Dalam Perspektif Hadits

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Pendidikan Humanis Dalam Perspektif Hadits"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

SUCI NURPRATIWI

NIM: 109011000240

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PERSPEKTIF TIADITS

Diajukan KepadaFakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)

Sebagai Syarat untuk MemPeroleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

SUCI NTIRPRATIWI

MM:

109011000240

1

Di bawah bimbingan

DT. JEJEN MUSFAH. MA NrP. 19770602 200501 1 004

JURUSAN PENDTDIKAN

AGAMA ISLAM

FAKULTAS

ILMU TARBIYAH

DAN

KEGURUAN

UIN

SYARTF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Nama

NIM

Program Studi

Jurusan

Fakultas

Suci Nurpratiwi

10901 1000240

Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini rnerupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan *empercle{1elar Sarjana Strata Satu (S-1)

di UIN

Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini

telah saya cantumkan

sesuai dengan kbtentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah lakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil

jiptakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerirna sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Desemb er 2013

(4)

Skripsi berjudul Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif lladits

disusun oleh Suci Nurpratiwi, NIM. 109011000240, Jurusan Pendidikan Agama

Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya

ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.

Jakarta, 12 Desernber 2013

Yang mengesahkan,

Dosen Pembimbing

Dr. Jeien Musfah. MA

NIP. 19770602 200s01 1 004

(5)

disusun oleh Suci Nurpratiwi,

NIM:

109011000240, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal

l7

Ianuari 2014 di

hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh Gelar Sarjana 51

(S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta,17 Januan2014

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua JurusarVProgram

Studi)

Tanggal Tanda Tangan

Bahrissalim. M.Ag

NIP. 19680307 t99803

r

002

_

Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)

Drs. Sapiudin Shidiq. M.Ae

NrP. 19670328200003 1 001

Penguji

I

Drs. Rusdi Jamil. MA NIP. 19621231 t99503 1 005

Penguji II

?,/,

- *ot

y

/b"C

Drs. Masan AF, M.Pd

NrP. 19510716 198103 1 005

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah lakarta

IV

Dra. Nurlenafi.ifa'i. MA" Ph.D

(6)

v

Manusia di pandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang mampu mengembangkan pribadi seseorang dengan semua aspeknya. Rasulullah saw telah mengingatkan kepada umat Islam dengan haditsnya bahwa pendidikan harus dilakukan dengan berdasar atas nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, pendidik merupakan tokoh sentral terhadap berkembangnya kemampuan dan potensi anak didik. Penggunaan metode pembelajaran yang humanis dalam memberikan pengajaran termasuk salah satu hal yang perlu diperhatikan.

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dengan jenis penelitian kualitatif. Penganalisaan data lebih difokuskan pada penelitian kepustakaan (library research), yakni dengan membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas, yaitu berpedoman dari kitab hadits shahih Bukhari sebagai referensi primer dan buku-buku lain yang mendukung sebagai referensi sekunder. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk menganalisis sudut pandang hadits terhadap konsep pendidikan yang humanis. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah teknik content analysis. Adapun dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka.

Hasil penelitian ini adalah mengenai konsep pendidikan yang humanis terhadap pendidik dan metode pembelajaran dalam sudut pandang hadits. Seorang pendidik yang humanis harus dapat mengetahui dan memahami kondisi psikologis siswa, menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya, juga tegas terhadap siswa tanpa harus marah. Sedangkan metode pembelajaran yang humanis merupakan cara guru memberikan kebebasan kepada siswa dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Metode belajar humanis diantaranya yaitu metode simulasi, eksperimen, diskusi, gradual, pemberian reward, kontrak belajar, dan tanya jawab. Dalam metode pembelajaran yang humanis guru harus mengoptimalkan seluruh kemampuan siswa agar dapat berpikir kritis dan mengembangkan kemampuannya dalam keterampilan dan sikap.

(7)

vi in Hadits Perspective

Human seen as God creature who have fitrah which have to be developed optimally. Humanistic education is the education which is able to develop individual personality with those all aspects. Rasulullah saw has reminded Muslim by His hadits that education should be done according to the human values. In education which considers human values as priority, educator is

central prominent towards the development of students‟ ability and students‟

potency. The use of humanistic learning method in teaching is one of important things which should be considered.

The method used by the writer was documentation method which is qualitative design. The data analysis was focused on the library research, which was done by reading, investigating, and analyzing many books and written sources which is related to the problem in this research. It was oriented from Bukhari shahih holy books as a primer reference and the other books which support as secondary reference. The writer used a qualitative approach to analyze hadits perspective towards the concept of humanistic education. The technique of analysis in this research was content analysis. Besides, the writer used descriptive method in the discussion because the data which were collected was in the form of word, not the number.

The result of this research is about the concept of humanistic education towards the teacher and the learning method in hadits perspective. A humanistic

teacher should be able to know and to comprehend the students‟ psychological

condition, to show his/her caring to the students, and also should be firm to the students without showing the anger. While the humanistic learning method is

teacher‟s way to give the freedom to the students to think and to act based on the

humanistic principles. The humanistic learning method can be simulation method, experiment method, discussion method, gradual method, giving reward method, learning contract method, and question and answer method. In this humanistic

learning method, teacher should optimize all the students‟ ability in order to

encourage students to think critically and develop their ability and their attitude.

Based on this research result, the writer hopes that this research can enlighten people about the importance of humanism in education, which takes

humanism as a primer approach in developing the students‟ potency. Therefore, it

(8)

vii

Bismillahirrahmannirrahiim,

Alhamdulillahirabbil„alamiin, segala puji kehadirat Allah swt yang awal dan yang akhir, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan segala macam petunjuk serta kemudahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam tercurah limpah kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad saw yang telah menjadi uswah hasanah dalam segala segi kehidupan, semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumul qiyamah, amiin.

Dengan penuh rasa syukur skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits” ini akhirnya dapat terselesaikan. Skripsi yang memuat sudut pandang hadits dalam memandang konsep pendidikan yang ideal dan humanis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dorongan, dan doa dari banyak pihak. Maka seyogyanya penulis haturkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada seluruh pihak yang telah membantu, mendukung, dan mendoakan penulis dalam perjalanan menempuh tugas akhir ini. Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Nurlena, MA, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Bahrissalim, M.Ag dan Bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Jejen Musfah, MA, selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang selalu meluangkan waktu dan tiada henti memberikan semangat, arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

(9)

viii

5. Orang tua tercinta (Ahmad Sanusi dan Siti Umayah), adik-adik (Rizqi Ilham & Ahmad Fauzan Aziz) beserta seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi, dorongan, cinta kasih dan doa yang tulus tanpa batas.

6. Kawan-kawan seperjuangan PAI kelas F 2009, yang selalu menyemangati penulis selama belajar di kampus ini. Arya, Paul, Manda, Anggie, Aas, Dije, Say, Wiwi, Dini, Ulva, Ihya, Yopi, Adnan, Mamet, Karen, Pardi, Malih, Anwar. Semoga sukses kawan, perjalanan kita masih panjang.

7. Kawan-kawan seperjuangan HMI Komtar, Aan, Oman, Anggi, Afaf, Neneng, Nda, Didin, Fuad, Haffas, Abduh, Fathur, Linda, Nety, Anang, Anike, Izah, yang telah sepenuh hati mensupport dan mendoakan penulis.

8. Kakanda, Ayunda, serta adinda-adinda HMI Komtar. Terkhusus Kanda Asep Eka Mulyanuddin, terima kasih untuk bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga kost, Asti, Ka Ingga, Yuli, Ricka, Ichi, Lisfa, Lala, Atik dengan tanpa rasa bosan selalu ada untuk penulis dalam suka maupun duka.

10. Ahmad Ivan Farhan, untuk luangan waktu, bantuan, dan support kepada penulis dalam menulis skripsi ini. Semoga selalu diberi kemudahan dalam meraih masa depan.

11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril maupun materiil, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya, penulis hanya dapat berdoa semoga amal kebaikan mereka diterima oleh Allah swt serta mendapat imbalan yang semestinya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Amin ya robbal alamien..

Jakarta, 12 Desember 2013

(10)

ix

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan Masalah... 9

D. Perumusan Masalah ... 9

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan Humanis ... 10

1. Pengertian Humanis ... 10

2. Teori Belajar Humanistik ... 12

3. Sejarah Konsep Pendidikan Humanis... 13

4. Pengertian Pendidikan Humanis ... 15

5. Komponen Pendidikan Humanis ... 18

6. Pendidikan Humanis dalam Pandangan Beberapa Tokoh ... 29

B. Hadits ... 33

1. Pengertian Hadits ... 33

2. Kedudukan dan Fungsi Hadits ... 35

3. Biografi Imam Al-Bukhari ... 38

4. Kitab Shahih Bukhari ... 40

(11)

x

B. Jenis Penelitian ... 44

C. Sumber Data ... 45

D. Metode Pengumpulan Data ... 46

E. Teknik Analisis Data ... 46

F. Pedoman Penulisan ... 48

BAB IV ANALISIS HADITS TENTANG PENDIDIK DAN METODE PENGAJARAN YANG HUMANIS A. Pendidik yang Humanis ... 49

1. Mendidik Tidak Setiap Waktu Agar Murid Tidak Bosan.... 49

2. Memberi Pengajaran Sesuai Tingkatan Psikologis Peserta Didik ... 53

3. Tidak Menghukum Ketika Siswa Melakukan Kesalahan .... 56

4. Sikap yang Murni Apa Adanya ... 59

B. Metode Pengajaran yang Humanis ... 62

1. Metode Simulasi ... 62

2. Metode Eksperimen ... 66

3. Metode Tukar Informasi (Diskusi) ... 69

4. Metode Gradual dan Menyenangkan ... 72

5. Metode Pemberian Pujian (Reward)... 76

6. Metode Kontrak Belajar ... 79

7. Metode Tanya Jawab ... 82

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 85

B. Implikasi ... 86

C. Saran ... 86

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Dalam konteks dan ruang lingkup kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan bangsa tersebut. Karena dari dan dengan pendidikan lah seluruh aspek kehidupan manusia dapat tercerahkan. Pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa depannya. Yang kemudian tertanam beribu-ribu harapan kemajuan dan kesejahteraan hidup bagi setiap anak manusia. Dengan demikian tidak salah apabila banyak orang berpendapat bahwa cerah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikannya saat ini.

Pendidikan merupakan lokomotif yang penting dalam menggerakkan kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Maka proses pendidikan harus jelas dan terarah. Menurut H.A.R Tilaar, “proses pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan manusia.”1

Idealnya pendidikan mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berdaya guna dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakatnya, juga dapat bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan orang lain, yang tentunya dilengkapi dengan watak yang luhur dan berkeahlian. Meminjam pernyataan Immanuel Kant,2 yang mengatakan bahwa “manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”, dapatlah dipahami bahwa jika manusia itu tidak di didik, maka ia tidak akan dapat menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.

1

H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme

dan Studi Kultural, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 119.

2

(13)

Pendidikan adalah usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral. Oleh karena itu, maka proses pendidikan bukan hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mencakup seluruh potensi yang dimiliki anak didik. Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya memberikan pengalaman belajar untuk dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa, melalui proses interaksi baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan lingkungan.3

Pemaksimalan seluruh potensi tersebut harus pula ditunjang oleh kemampuan guru, sarana prasarana, dan kurikulum pendidikan yang memadai. Begitu bagusnya konsep-konsep dan undang-undang yang mengatur pendidikan, bagaimana pendidikan mencapai sasaran yang ideal. Namun pada prakteknya, hal tersebut seakan sia-sia dan menjadi konsep belaka.

Menurut data yang dilansir situs Okezone.com News & Entertainment, “Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Kualitas pendidikan Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara di negara-negara berkembang di Asia Pacific dan berada pada level 14 dari 14 negara untuk kualitas pendidiknya.”4

Banyaknya problematika yang terjadi mengesankan seakan negara tidak serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Gagalnya pendidikan untuk menanamkan nilai humanisme terlihat dengan menempatkan Indonesia termasuk ke dalam negara yang korup, banyak sekolah-sekolah yang khusus bagi para pemodal, orang kaya dan miskin tidak mendapatkannya, sekolah seolah menjadi pemicu marjinalisasi terhadap mereka yang tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak. Hal ini semakin menutup nilai humanis dalam pendidikan. Masih maraknya budaya tawuran dan kenakalan remaja, banyaknya sarana prasarana dan gedung sekolah yang tidak layak pakai menggambarkan kacaunya wajah pendidikan Indonesia.

3

Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 178.

4

Okezone.com News & Entertainment, Kualitas Guru Rendah, Penyakit Utama Pendidikan

Indonesia, 2013,

(14)

Berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD, namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas rusak terbanyak di Jawa Barat sebanyak 23.415, disusul Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, Nusa Tenggara Timur 7.652, Banten 4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Sulawesi Tenggara 2.776, Sulawesi Tengah 1.186, Lampung 911, Sulawesi Barat 898, dan Papua Barat 576.5 Ini menunjukkan tidak adanya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Sarana dan infrastruktur pendidikan masih di bawah standar kelayakan.

Diperparah lagi dengan mahalnya biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal ini menjadi masalah yang paling utama dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Mahalnya pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua siswa menyebabkan banyaknya anak-anak yang putus sekolah di kalangan masyarakat Indonesia yang kurang mampu.

Di samping sarana infrastruktur dan mahalnya biaya mengenyam pendidikan, pelaksanaan kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram dan tidak humanis. Muatan kurikulum dan mata pelajaran yang padat terhadap siswa membuat siswa tidak dapat merasakan belajar sesuai yang ia inginkan. Mereka seakan dipaksa untuk mengikuti mata pelajaran yang banyak tanpa dapat mengembangkan kreativitasnya yang lain. Pendidikan lebih mengedepankan perkembangan kognitif saja.

Terbukti dengan adanya sistem Ujian Nasional (UN). Berhasil tidaknya pendidikan hanya diukur dengan standar yang hanya melihat satu aspek perkembangan saja, tidak memaksimalkan seluruh potensi peserta didik. Sistem seperti ini dapat mengkerdilkan peserta didik sebagai pribadi manusia dan sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi satu aspek saja yaitu kecerdasan yang diukur oleh Ujian Nasional.

5

(15)

Padahal sebagaimana diketahui, tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 disebutkan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.6

Esensi dari Undang-undang tersebut sangat jelas, yaitu agar dapat terbinanya seluruh potensi peserta didik maka pendidikan harus mencakup keseluruhan aspek individu, yaitu aspek intelektual, keterampilan dan moral. Sehingga pendidikan dapat memanusiakan manusia secara utuh.

Lemahnya kemampuan para guru dalam menggali potensi anak menjadi salah satu pemicu rendahnya kualitas pendidikan. Guru sebagaimana yang kita ketahui merupakan penentu utama berhasil tidaknya tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Ini berimplikasi terhadap rendahnya pencapaian siswa. Padahal pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu.

Pada dasarn ya, proses pembel aj aran berkaitan erat dengan em pat unsur, yait u pendi di k (guru), pesert a didi k (murid), m at eri pelaj aran dan si stem pengajaran.7 Dal am m encapai tujuan pendidi kan yang diingi nkan, pendi dik dan pesert a di dik merupakan dua unsur yang sali ng m emi liki ket ergantungan. Pesert a didik dal am pendidikan merupakan sub yek sekali gus ob yek. P roses pem belaj aran harus mengedepankan kepenti ngan pese rta di dik unt uk keberl angsungan perkembangan pot ensi yang dimili kinya. Maka dengan begitu, pendidi k adal ah orang yang pal ing bertanggung j awab t erhadap

6

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdiknas RI), cet. I, hal. 8.

7

(16)

perkembangan anak didik. Pendidik berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk jalan ke arah penggalian potensi peserta didik tersebut.

Dalam pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, pendidik merupakan tokoh sentral terhadap berkembangnya kemampuan dan potensi anak didik. Pendidik bukan hanya sekedar mentransfer ilmu dan informasi belaka, namun lebih dari pada itu. Guru dikatakan sukses dalam mengajar apabila ia mampu menanam kedisiplinan terhadap siswa, namun siswa tetap bergembira dalam belajar. Apabila guru mengeluh terhadap siswa yang tidak berminat belajar, hal itu dapat terjadi dikarenakan siswa tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-aktivitas yang lain yang lebih menyenangkan bagi siswa, bisa saja mereka akan berubah sikap dan reaksinya.

Selain itu, sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode pembelajaran yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting dari pada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode pembelajaran harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan.8

Keadaan yang terjadi saat ini, banyak guru yang masih menggunakan metode-metode pembelajaran konvensional dan tidak bervariasi, penanaman pengetahuan yang tidak sampai pada konsep atau pengertian dan nilai, dan suasana kelas yang aktif-negatif, dimana siswa lebih aktif mencatat dan mendengarkan dari pada aktif berbicara. Penggunaan metode tersebut secara terus menerus akan menghilangkan kreativitas berpikir siswa dan menghilangkan hak dan kebebasan siswa untuk belajar sesuai yang diinginkannya.

Oleh karena itu pendidikan haruslah benar-benar membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan aspek-aspek dirinya. Perlu dikembangkan

8

(17)

pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek ingatan, hafalan, memorizing (berbasis materi) saja, namun sampai pada aspek penalaran dan kemampuan menggunakan keterampilan secara baik serta sifat berpikir yang aktif-positif.

Pendidikan yang humanis melihat peserta didik dalam konteksnya sebagai manusia yang memiliki keunikan masing-masing. Anak didik seharusnya di tempatkan sebagai sosok pribadi yang pada hakekatnya seorang manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di sinilah letak nilai dari sebuah pendidikan humanis, dengan menempatkan anak didik sebagai pribadi yang utuh. Utuh sebagai insan manusia yang butuh pendampingan dan pendidikan dalam sebuah dinamika hubungan antar manusia.

Begitulah pendidikan humanis memandang pendidik dan peserta didik, lebih menekankan kepada nilai kemanusiaan. Namun menurut Sulaeman, pendidikan belum mampu mencapai titik idealnya yakni memanusiakan manusia, yang terjadi justru sebaliknya yakni menambah rendah derajat dan martabat manusia. Makna pendidikan yang belum terealisasikan ini menurutnya terkait dengan situasi sosio-historis dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Seperti halnya penjajahan yang dilakukan Barat (kaum kolonialisme) terhadap bangsa Indonesia selama berabad-abad ternyata membawa dampak yang sangat serius terhadap pola pikir dunia pendidikan, sehingga amat berpengaruh juga terhadap proses pendidikan yang berlangsung. Salah satu dampak yang paling buruk dari kolonialisme yang telah melanda negara-negara jajahan khususnya negara Islam adalah dengan munculnya sebuah masyarakat kelas “elit” yang lebih tepat disebut sebagai “anak -anak yang tertipu.” Produk dari sistem pendidikan (Barat) yang “mengagumkan” ini didesain untuk membentuk sebuah kelas yang tercerabut dari tradisi budaya dan moralnya.9

Sehingga para elit yang terbaratkan, yang tercerabut dari akar budayanya melihat Barat dengan rasa kagum yang teramat besar seakan-akan Barat adalah segala-galanya. Akibatnya, banyak para ahli diantaranya ahli-ahli

9

Sulaeman Ibrahim, Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir

(18)

pendidikan ataupun pendidik lebih berkiblat kepada budaya dan para tokoh pendidikan Barat. Padahal sebenarnya dalam Islam pun nilai-nilai kemanusiaan sangat dianjurkan, bahkan diharuskan. Hal ini tercermin dari banyaknya ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang sarat akan nilai-nilai tersebut.

Keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum dalam al-Qur’an sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya banyak memerintahkan mengenai hal-hal hablum minannaas, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial bermasyarakat. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar dari syari’ah Islam telah terkandung dalam al-Qur’an, namun muatan hukum yang terkandung belum mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan analitis.

Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Fungsi hadits sebagai penjelas al-Quran menempatkan hadits pada posisi yang sangat sentral dalam Islam. Sebenarnya, antara al-Quran dan hadits tidak dapat dipisahkan. Munculnya hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw pada hakikatnya merupakan suatu perwujudan dari wahyu al-Quran. Oleh karena itu, secara ontologis kedua sumber ini tidak bisa dipisahkan.

Hadits Nabi yang jumlahnya ribuan bahkan ratusan ribu mengandung aneka nilai yang cukup kaya. Itu semua merupakan sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Banyak sekali perintah Nabi dalam haditsnya yang menganjurkan dalam memberikan pengajaran haruslah selalu memperhatikan nilai-nilai asasi manusia.

Nabi Muhammad saw adalah seorang pendidik yang sangat profesional. Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam diri Nabi Muhammad saw menunjukkan bahwa beliau telah berhasil menjadi guru yang profesional. Beliau mampu berkomunikasi dengan setiap orang sesuai dengan kadar kesanggupan orang tersebut.10Dalam haditsnya beliau menyatakan:

10

(19)

Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka dan berbicara terhadap mereka sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. (H.R. Abu Dawud).

Berdasarkan hadits tersebut dapatlah dipahami bahwa Rasulullah saw telah mengingatkan kepada umat Islam bahwa mendidik harus dilakukan dengan berdasar atas nilai-nilai kemanusiaan. Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi Muhammad saw dalam haditsnya merupakan acuan dan sumber yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh aktivitas kehidupan.

Banyaknya pendidik yang tidak meneladani cara-cara mendidik sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah namun lebih kepada pemikiran pendidikan dari Barat, membuat penasaran penulis untuk mengungkap konsep pendidikan bukan hanya dari pemikiran para tokoh Barat saja, tetapi juga dari perspektif al-Quran dan hadits. Karena bagaimanapun, jauh-jauh hari sebelumnya kedua sumber ajaran Islam ini telah memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya nilai-nilai humanisme.

Maka berangkat dari latar belakang tersebut, penulis tergerak untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan humanis seperti apa yang diajarkan Islam melalui ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Selain itu penulis juga ingin membuktikan bahwa kajian mengenai pendidikan humanis bukan hanya lebih banyak dibahas oleh para pemikir Barat saja.

(20)

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi masalah-masalah adalah sebagai berikut:

1. Lemahnya kemampuan para pendidik dalam menggali potensi siswa 2. Kurikulum dan materi pelajaran yang terlalu padat dan lebih

mengutamakan aspek kognitif, kurang memperhatikan aspek keterampilan dan afektif siswa

3. Penerapan metode pembelajaran yang masih konvensional dan tidak bervariasi

4. Mahalnya pembiayaan pendidikan yang harus di tanggung oleh orang tua siswa menyebabkan banyaknya anak putus sekolah

5. Belum memadainya kualitas infrastuktur pendidikan

6. Minimnya kajian tentang pendidikan humanis yang dilakukan oleh pendidik terhadap al-Quran maupun hadits.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam pembahasannya, maka perlu adanya pembatasan masalah terkait masalah-masalah yang akan diteliti secara lebih mendalam. Dalam hal ini penulis hanya berusaha mengetahui konsep pendidik dan metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits.

D. Perumusan Masalah

Berdasar dari penjabaran pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah: “Bagaimana konsep pendidik dan metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits?”.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep pendidikan humanis sebagai pendidikan yang memanusiakan manusia dalam perspektif hadits

(21)

3. Untuk mengetahui metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

1. Penulis, hasil penelitian ini merupakan modal awal dalam mengetahui konsep pendidik dan peserta didik yang humanis dalam perspektif hadits dan menjadi acuan penulis dalam melaksanakan pendidikan yang ideal. 2. Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan rujukan dalam mengetahui perspektif hadits terhadap suatu konsep pendidikan yang humanis.

3. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dijadikan salah satu acuan dalam pembenahan konsep pendidikan yang semestinya.

(22)

10 A. Pendidikan Humanis

1. Pengertian Humanis

Istilah “humanisme” adalah temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa Jerman Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808, untuk merujuk pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karya-karya klasik Yunani dan Latin. Dalam bahasa Inggris “humanism” mulai muncul agak kemudian. Pemunculan yang pertama dicatat berasal dari tulisan Samuel Coleridge Taylor, di mana kata humanism dipergunakan untuk menunjukkan suatu posisi Kristologis, yaitu kepercayaan bahwa Yesus Kristus adalah murni manusia. Kata tersebut pertama kali dipakai dalam konteks kebudayaan pada tahun 1832.1

Dilihat dari segi kebahasaan, humanisme berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia.2 Semula humanisme merupakan sebuah gerakan yang memposisikan harkat, martabat, dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai aliran pemikiran kritis yang berasal dari gerakan yang menjunjung tinggi manusia, humanisme menekankan harkat, peranan dan tanggung jawab manusia. Humanisme sendiri, selalu diatributkan kepada sebuah corak pandangan filsafat yang menempatkan manusia dalam kedudukan tempat yang khusus serta menjadikannya ukuran segala sesuatu.

Dari sisi sejarah, awalnya humanisme merupakan aliran sastra, budaya, pemikiran, dan pendidikan, kemudian mengalami perkembangan dan mulai menampakkan nuansa politiknya. Dengan kata lain, disadari atau tidak, humanisme telah menjalar ke semua aspek kemasyarakatan tersebut, seperti komunisme, utilitarianisme, spiritualisme, individualisme, eksistensialisme, liberalisme, hingga protestanismenya Martin Luther King (Kristen Protestan).3

1

Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 53.

2

A. Mangunhadjana, Isme-isme dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 93.

3

(23)

Wiel Veugelers menyatakan, “Humanism is an open worldview that stresses personal autonomy and humanity.” Tantangan bagi pemikiran yang humanis dan prakteknya adalah dalam hubungan antara otonomi dan humaniti. Otonomi bukanlah sesuatu yang membatasi seseorang, tetapi merupakan jalan atau cara seseorang agar dapat berhubungan dengan orang lain. Humaniti adalah keadaan dimana setiap seseorang mempunyai kebebasan untuk mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya. Lebih lanjut ia mengungkapkan, ”Humanity is the condition that gives people the possibility of developing human capabilitites: of being a reflective and dialogical person,

of getting the sources to live a good life, of living together ruled by moral

values, of helping others to live a good life too.”4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah humanis berasal dari kata human dengan segala bentuk derivasinya, yang kesemuanya memiliki arti yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Kata “human” memiliki arti: (1). bersifat manusiawi, (2).

berperikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Kata

“humanis” memiliki arti: (1). orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, dan (2). penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting. Kata “humanisme” (humanism: Inggris) memiliki arti: (1). aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2). paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting, dan (3). aliran zaman Renaissance yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar seluruh peradaban manusia. (4). kemanusiaan. Kata “humanistik” memiliki arti: pertumbuhan rasa kemanusiaan atau bersifat kemanusiaan. Adapun kata

“humanisasi”, yang merupakan kata jadian, memiliki arti: pertumbuhan rasa perikemanusiaan; pemanusiaan.5

Dengan demikian humanis berarti segala sesuatu yang menyangkut hubungan kemanusiaan, hak-hak yang manusiawi, dan sebagainya. Rasa kemanusiaan yang tinggi merupakan nilai penting yang terkandung dalam prinsip-prinsip dasar humanis.

4

Wiel Veugelers (ed), Education and Humanism, (Netherland: Sense Publishers, 2011), h. 1.

5

(24)

2. Teori Belajar Humanistik

Teori-teori belajar sejauh ini telah menekankan peranan lingkungan dan faktor-faktor kognitif dalam proses belajar mengajar. Dalam proses pembelajaran, para ahli membagi beberapa teori dalam memahaminya, karena dengan teori-teori tersebut para ahli dapat mengklasifikasi aktivitas pembelajaran, diantara teori belajar yang dikenal adalah teori belajar humanistik.

Teori humanistik secara jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi oleh bagaimana siswa-siswa berpikir dan bertindak, dan dipengaruhi dan diarahkan oleh arti pribadi dan perasaan-perasaan yang mereka ambil dari pengalaman belajar mereka. Menurut teori humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Dimana memanusiakan manusia berarti mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Sehingga dapat dikatakan belajar berhubungan erat dengan kematangan otak dan mental anak didik.6

Oleh karena itu, pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana seorang anak dapat melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif inilah yang disebut sebagai potensi manusia, dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif.

Menurut Sri Esti dalam bukunya, Psikologi Pendidikan:

Ahli-ahli teori humanistik menunjukkan bahwa tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Di samping itu, individu bukanlah satu-satunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh teori ahli tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self actualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai manusia.7

6

Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. IV, h. 15.

7

(25)

Dikatakan oleh Moh. Amin, “pendidikan modern harus mengandung humanistic aspect of learning. Oleh karena itu sudah saatnya bahwa

humanistic teaching and learning harus dikembangkan di lembaga pendidikan

di Indonesia.”8 Dengan demikian, jelaslah bahwa teori pendidikan humanistik berorientasi pada perkembangan seluruh potensi manusia secara utuh agar dapat tercapainya aktualisasi diri dengan sebenar-benarnya.

3. Sejarah Konsep Pendidikan Humanis

Pendidikan humanis memiliki dasar filosofis yang berbeda. Teori filsafat pragmatisme, progresivisme, dan eksistensialisme merupakan peletak dasar munculnya teori pendidikan humanistik pada tahun 1970. Ketiga teori filsafat ini memiliki karakteristik masing-masing dalam menyoroti pendidikan.

Ide utama pragmatisme dalam pendidikan adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktifitas yang dengan sengaja mengubah lingkungan. Pragmatisme memandang pendidikan (sekolah) seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas masyarakat. Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dan bahkan menjadi faktor utama munculnya teori/pemikiran humanisme dan progresivisme.

Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut: a. Peserta didik (siswa) adalah subyek yang memiliki pengalaman b. Guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya

c. Materi/kurikulum harus sesuai kebutuhan siswa yang menekankan proses dari pada materi

d. Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang berguna

e. Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial

Adapun ide progresivismenya yang sangat dipengaruhi oleh pragmatisme itu sangat menekankan adanya kebebasan aktualisasi diri bagi peserta didik

8

(26)

supaya kreatif. Paham ini menekankan terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan anak. Anak harus aktif membangun pengalaman kehidupan. Belajar tidak hanya dari buku dan guru, tetapi juga dari pengalaman kehidupan. Dasar orientasi teori progresivisme adalah perhatiannya terhadap anak sebagai peserta didik dalam pendidikan.

Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan progresivis berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. Progresivisme pendidikan ini menjadi teori dominan dalam pendidikan Amerika dari dekade 1920-an hingga 1950-an. Di antara alasan hilangnya eksistensi teori ini adalah karena ide atau gagasan dan program pendidikan progresif telah diadopsi oleh teori lain yang mengembangkannya. Ide progresivisme tersebut selanjutnya diperbarui dalam pendidikan humanistik.

Pengaruh terakhir munculnya pendidikan humanistik adalah eksistensialisme yang pilar utamanya adalah individualisme. Teori eksistensialisme lebih menekankan keunikan anak secara individual dari pada progresivisme yang cenderung memahami anak dalam unit sosial. Anak sebagai individu yang unik. Pandangan tentang keunikan individu ini mengantarkan kalangan humanis untuk menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu supaya menjadi manusia bebas dan bertanggung jawab dalam memilih. Kebebasan manusia merupakan tekanan para eksistensialis. Dengan kebebasan tersebut peserta didik akan dapat mengaktualisasikan potensinya secara maksimal.

(27)

sampai pada realisasi yang lebih utuh sebagai individu yang memiliki kebebasan, bertanggung jawab, dan memiliki hak memilih. Aliran ini memberikan semangat dan sikap yang bisa diterapkan dalam kegiatan pendidikan.

Pemikiran pendidikan ini mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar. Apabila lingkungan baik (kondusif untuk belajar), maka anak akan terdorong untuk belajar sendiri. Karena itu, pendidikan harus menciptakan iklim atau kondisi yang kondusif untuk belajar. Ketidakmauan anak untuk belajar disebabkan oleh kesalahan lingkungan yang kurang mendukung untuk berperan aktif. Konsep ini menjadi penopang terbentuknya pemikiran pendidikan humanistik. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa eksistensialisme adalah suatu humanisme.9

Pemikiran filosofis dari eksistensialisme dan pragmatisme yang didukung dengan pengembangan dan pembaruan pemikiran teori progresivisme menghasilkan pemikiran baru berupa pendidikan humanistik. Ide kedua filsafat dan teori pendidikan tersebut berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan dalam pragmatisme terletak pada otoritas masyarakat, sedangkan dalam eksistensialisme berada dalam peran individu. Karena itu filsafat pragmatisme dan eksistensialisme merupakan sumber inspirasi munculnya pendidikan humanistik.

4. Pengertian Pendidikan Humanis

Dalam perspektif definitif, pendidikan tidak pernah disepakati para pakar dalam formulasinya, sebab warna dari pemikiran sudah barang tentu dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang dianut para pakar tersebut. Namun dengan segala perbedaan pandangan yang mereka kemukakan, dalam satu hal mereka sama-sama setuju bahwa pendidikan

9

Zainal Arifin Tandjung, Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai

(28)

bertujuan untuk memberi bekal moral, intelektual dan keterampilan kepada anak manusia agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.10

Dalam hal ini Zamroni menjelaskan bahwa:

Pendidikan dalam arti luas merupakan proses yang berkaitan dengan upaya mengembangkan diri seseorang pada tiga aspek kehidupan, yakni pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Pendidikan berperan menyiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan membimbing dan membentuk diri manusia menuju masa depan yang gemilang.11

Pendidikan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Tafsir berarti

“pengembangan pribadi dengan semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri maupun oleh lingkungan, dan pendidikan oleh guru dan orang lain. Adapun yang dimaksud semua aspek tersebut yaitu mencakup jasmani, akal dan hati.”12

Dalam istilah atau nama pendidikan humanistik, kata humanistik pada hakikatnya adalah kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan. Pendidikan humanistik sebagai sebuah teori pendidikan dimaksudkan sebagai pendidikan yang menjadikan humanisme sebagai pendekatan.13 Pendekatan humanisme yaitu pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Dalam paradigma humanis, manusia di pandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Dan fitrah manusia ini hanya bisa dikembangkan melalui pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia (pendidikan humanis).

10

Ali Muhdi, Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional dalam Buku Konfigurasi Politik

Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Fahioma, 2007), h. 18.

11

Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, (Yogyakarta: Bigraf, 2001), h. 24.

12

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 26.

13

Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan

(29)

Konsep utama dari pemikiran pendidikan humanistik menurut Mangunwijaya adalah “menghormati harkat dan martabat manusia. Hal mendasar dalam pendidikan humanistik adalah keinginan untuk mewujudkan lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari kompetisi yang hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan takut gagal.”14

Pendidikan humanis memandang bahwa peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu dalam pandangan ini peserta didik ditempatkan sebagai subyek sekaligus obyek pembelajaran, sementara guru diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya.

Bagi Muchlis R. Luddin, terdapat beberapa prinsip dasar yang penting diperhatikan di dalam penyelenggaraan pendidikan bagi seorang individu manusia. Salah satu dari prinsip dasar tersebut adalah bahwa setiap individu

dilahirkan dan „ditakdirkan’ mempunyai „atribut permanen’. Setiap orang memiliki kekhasannya masing-masing secara individual. Dalam dunia

pendidikan, bentuk khas dari „atribut permanen’ individu itu bisa tampil dalam intelegensi seorang individu, dalam sikap individu dan dalam „prestasi setiap

individu’. Prinsip dasar semacam ini memberi pemahaman bahwa dasar pembelajaran anak atau individu tidak lagi dapat dilaksanakan dengan pola yang seragam. Apalagi jika dalam penyelenggaraan pendidikan yang

menggunakan asumsi „pukul rata’.15

Pendidikan humanis bukan berarti mengesampingkan perkembangan kognitif atau intelektual. Pendidikan humanis memandang bahwa perkembangan kognitif atau intelektual sama pentingnya dengan afektif siswa yang harus dikembangkan yang merupakan aspek terpenting dalam pendidikan.16

14

Y.B. Mangunwijaya, Mencari Visi Dasar Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 160.

15

Muchlis R. Luddin, Negara, Pendidikan Humanis dan Globalisasi, (Jakarta: PT. Karya Mandiri Pers, 2008), h. 48.

16

(30)

Jelaslah bahwa pendidikan humanis berorientasi pada pengembangan manusia, menekankan nilai-nilai manusiawi, dan nilai-nilai kultural dalam pendidikan. Sasaran pokok pendidikan humanis adalah membentuk anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara baik, yang memiliki jiwa demokratis, bertanggung jawab, memiliki harga diri, kreatif, rasional, objektif, tidak berprasangka, mawas diri terhadap perubahan dan pembaharuan serta mampu memanfaatkan waktu senggang secara efektif.

5. Komponen Pendidikan Humanis

a. Guru

Kata pendidik (guru) secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Istilah pendidik sering diwakili oleh istilah guru yang berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.17

Menurut H.C Witherington “tugas utama seorang guru bukanlah menerangkan hal-hal yang terdapat dalam buku-buku, tetapi mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing murid-murid dalam usaha mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.”18

Laura Zucca menyebutkan, “Teachers become key participants in the

learning process”.19 Sehingga jelaslah dipahami bahwa tugas para pendidik tidaklah mudah, bahkan sangat kompleks. Guru bukan hanya sekedar mentransfer ilmu dan informasi belaka, namun lebih dari pada itu. Guru dikatakan sukses dalam mengajar apabila ia mampu menanam kedisiplinan terhadap anak namun anak tetap bergembira dalam belajar.

17

Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 207.

18

H.C. Witherington, Psikologi Pendidikan, Terj. dari Educational Psychology oleh M. Buchori, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 77.

19

Laura Zucca-Scott, Know Thyself: The Importance of Humanism in Education,

(31)

Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa, guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affective) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral.20

Menurut Hamacheek dalam buku Psikologi Belajar karya Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, “guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru-guru yang manusiawi. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara kelompok.”21

Guru-guru yang percaya bahwa setiap siswa itu mempunyai kemampuan untuk belajar akan mempunyai perilaku yang lebih positif terhadap siswa-siswa mereka. Menurut Combs dan kawan-kawan, ciri-ciri guru yang baik ialah sebagai berikut:

1) Guru yang mempunyai anggapan bahwa orang lain itu mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah mereka sendiri dengan baik.

2) Guru yang melihat bahwa orang lain mempunyai sifat ramah dan bersahabat dan bersifat ingin berkembang.

3) Guru yang cenderung melihat orang lain sebagai orang yang sepatutnya dihargai.

4) Guru yang melihat orang-orang dan perilaku mereka pada dasarnya berkembang dari dalam; jadi bukan merupakan produk yang dari peristiwa-peristiwa eksternal yang dibentuk dan yang digerakkan. Dia melihat orang-orang mempunyai kreativitas dan dinamika; jadi bukan orang yang pasif atau lamban.

5) Guru yang menganggap orang lain itu pada dasarnya dipercaya dan dapat diandalkan dalam pengertian dia akan berperilaku menurut aturan-aturan yang ada.

20

Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc.cit, h. 181.

21

(32)

6) Guru yang melihat orang lain itu dapat memenuhi dan meningkatkan dirinya, bukan menghalangi, apalagi mengancam.22 Guru yang humanis bukanlah guru yang pemarah atau keras, guru yang pemarah akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat bertumbuh atau berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak. Jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijauhinya agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi. Apabila anak didik benci kepada guru, maka ia tidak akan berhasil mendapat bimbingan dan pendidikan dari guru tersebut, selanjutnya ia akan menjadi bodoh walaupun kecerdasannya tinggi.23

Peranan guru dalam pendidikan humanis adalah secara terus menerus melakukan segala sesuatu untuk membantu siswa membangun self concept mereka. Ini berarti bahwa guru melibatkan siswa di dalam proses belajar sehingga mereka memiliki pengalaman-pengalaman sukses, merasa diterima, disukai, dihormati, dikagumi, dan sebagainya. Ini berarti bahwa guru harus memperlakukan setiap orang sebagai individu dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tertentu pula.24

Guru tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada siswa. Guru-guru harus sebagai narasumber, tetapi tidak bersikap otoriter yang memaksakan jawaban yang benar. Anak-anak harus bebas untuk membentuk pengertian mereka sendiri.

Sehingga menurut Zakiah Daradjat, “guru yang sukses adalah guru yang memilih bagi anak didiknya pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan tubuh dan mentalnya. Dalam proses mengajar, guru harus memperhatikan keadaan murid, tingkat pertumbuhan dan perbedaan perorangan yang terdapat di antara mereka.”25 Maka hal ini berimplikasi bahwa guru harus dapat memahami dan mengetahui perkembangan psikologis anak.

22

Ibid., h. 238.

23

Zakiah Daradjat, op.cit, h. 11.

24

Moh. Amin, dkk., op.cit, h. 9.

25

(33)

b. Siswa

Dalam bahasa Indonesia, makna siswa, murid, pelajar, dan peserta didik merupakan sinonim. Semuanya bermakna anak yang sedang berguru (belajar, bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari suatu lembaga pendidikan. Dapat dikatakan juga bahwa anak didik merupakan semua orang yang belajar, baik pada lembaga pendidikan secara formal maupun lembaga pendidikan non formal.26 Peserta didik ditempatkan sebagai pusat (central) dalam aktifitas belajar. Peserta didik menjadi pelaku dalam memaknai pengalaman belajarnya sendiri. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu menemukan potensinya dan mengembangkan potensi tersebut secara maksimal. Peserta didik bebas berekspresi cara-cara belajarnya sendiri. Mereka menjadi aktif dan tidak sekedar menerima informasi yang disampaikan oleh guru.

Tujuan pengajaran harus mempunyai arti penting bagi siswa. Tidak cukup jelasnya tujuan hanya dalam otak siswa, atau siswa mengetahui keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut, akan tetapi hendaknya tujuan itu dirasakannya penting. Hal itu tidak akan tercapai, kecuali jika tujuan tersebut dihubungkan dengan kehidupan, lingkungan, dan keperluan siswa. Semakin dekat tujuan itu kepada keperluan dan kehidupannya, akan semakin besar dorongan siswa untuk mencapainya. Agar tujuan tersebut penting bagi siswa, hendaknya mereka yang menentukannya sendiri dengan memikirkannya.27

Di samping itu, siswa juga harus mempunyai substantial hand dalam mengarahkan diri mereka, memilih apa yang akan dipelajari, sampai tahap mana ia akan belajar, kapan dan bagaimana ia akan belajar. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa memiliki self directed, self-motivated, dan bukan sebagai penerima informasi pasif.

c. Metode Pembelajaran

Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “metha”

yang berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian

26

Abuddin Nata dan Fauzan (eds), op.cit, h. 248-249.

27

(34)

metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi sebagai cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan pengertian tersebut berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengemban suatu gagasan.28

Zakiah Daradjat menjelaskan, ”metode mengajar adalah sistem penggunaan teknik-teknik di dalam interaksi dan komunikasi antara guru dan murid dalam pelaksanaan program belajar-mengajar sebagai proses pendidikan.”29 Metode pembelajaran bersifat prosedural, artinya menggambarkan prosedur bagaimana mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, tepat bila dikatakan bahwa setiap metode pembelajaran mencakup kegiatan-kegiatan sebagai bagian atau komponen dari metode itu.

Adapun prinsip-prinsip dalam memilih metode mengajar menurut Engkoswara yaitu:

1) Asas maju berkelanjutan (continuous progress) yang artinya memberi kemungkinan kepada murid untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

2) Penekanan pada belajar sendiri, artinya anak-anak diberi kesempatan untuk mempelajari dan mencari sendiri bahan pelajaran lebih banyak lagi dari pada yang diberikan oleh guru. 3) Bekerja secara tim, dimana anak-anak dapat mengerjakan sesuatu

pekerjaan yang memungkinkan anak bekerja sama.

4) Multidisipliner, yaitu memungkinkan anak-anak untuk mempelajari sesuatu meninjau dari berbagai sudut.

5) Fleksibel, yaitu dapat dilakukan menurut keperluan dan keadaan.30 Pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik

28

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I, h. 91.

29

Zakiah Daradjat, op.cit, h. 41.

30

(35)

diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.

Kesesuaian antara materi pelajaran dan metode pengajaran merupakan faktor penting dalam keterbukaan dan kesediaan anak untuk belajar. Penggunaan kata-kata sukar dan samar dalam mengajar anak didik membaca dan menulis, atau menggunakan metode yang gersang dalam mengajar, akan memalingkan anak dari materi pelajaran, serta menimbulkan kebosanan dalam diri mereka.31

Menyusun materi pengajaran, kegiatan belajar, atau situasi belajar, jangan memandang kepada guru dari seginya sendiri, akan tetapi harus dipandang kepadanya dari segi murid yang ditujukan kepadanya proses belajar. Dengan demikian pengajaran akan mempunyai bekas yang kekal dalam diri anak didik.

Agar dapat para guru mencapai hal tersebut, perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini:

1) Tujuan harus jelas dalam pikiran anak didik

2) Materi pengajaran harus mempunyai arti bagi anak didik

3) Menyusun materi pengajaran, dan berbagai kegiatan pengajaran dalam bentuk satuan pelajaran dan sekitar masalah-masalah yang sesuai dengan anak-anak didik.

4) Pembagian kegiatan dan materi pengajaran secara baik

5) Pengikutsertaan anak didik dalam membuat langkah-langkah dan merangsang sebanyak mungkin kegiatan mereka.32

Dalam pada itu, metode-metode pembelajaran yang humanis antara lain adalah sebagai berikut:

31

Zakiah Daradjat, loc.cit, h. 18.

32

(36)

1) Guru menyediakan/memberikan sumber

Salah satu strategi mengajar yang disarankan Rogers adalah memberi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka. Sumber-sumber tersebut dapat meliputi materi pengajaran yang biasa, seperti buku, bimbingan referensi, dan alat-alat bantuan listrik (misalnya kalkulator, komputer). Sumber dapat juga meliputi orang, seperti anggota masyarakat yang mempunyai satu bidang minat atau ahli yang bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalamannya kepada siswa. Guru-guru dapat juga sebagai sumber dengan pengetahuan dan pengalaman keterampilan yang tersedia untuk siswa jika diperlukan.33 2) Simulasi

Simulasi berasal dari kata “simulate” yang memiliki arti pura-pura atau berbuat seolah-olah. Dan juga “simulation” yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya berpura-pura saja.

Simulasi sebagai jenis pengalaman belajar merupakan miniatur atau model yang mewakili situasi nyata. Penekanan dalam metode simulasi adalah pada kemampuan siswa untuk berimitasi sesuai dengan objek yang diperankan. Pada titik finalnya diharapkan siswa mampu untuk mendapatkan kecakapan bersikap dan bertindak sesuai dengan situasi sebenarnya.

Dalam simulasi apa yang didemonstrasikan harus memiliki pesan moral yang sesuai dengan tingkatan cara berfikir siswa, sehingga pemahaman mereka terhadap kejadian yang diperagakan tidak terhalang oleh apresiasi dan imajinasi mereka. Penekanan dalam simulasi (pendemonstrasian) harus disesuaikan dengan para pelakunya.34

Pembinaan kemampuan bekerja sama, komunikasi, dan interaksi merupakan bagian dari keterampilan yang akan dihasilkan melalui pembelajaran simulasi. Metode ini menuntut lebih banyak aktivitas

33

Carl Rogers, op. cit, h. 27.

34

(37)

siswa. Siswa terlibat dan merasa bahwa mereka belajar tentang situasi kehidupan nyata. Tanggung jawab untuk pelaksanaan simulasi di tangan para siswa setelah guru memperkenalkan itu. Metode ini dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis kontekstual, bahan pembelajaran dapat diangkat dari kehidupan sosial, nilai-nilai sosial, maupun masalah-masalah sosial.

3) Menggunakan kontrak belajar

Learning contracts (kontrak belajar) merupakan metode

pembelajaran individual untuk mengembangkan tanggung jawab siswa. Kontrak belajar ialah metode yang menjadikan aturan sebagai suatu kontrak dalam belajar yang diciptakan sendiri atas dasar kesepakatan. Tentunya antara pihak pendidik dan pihak yang dididik. Siswa dilibatkan langsung ketika proses pembuatan kontrak belajar.

Metode ini memungkinkan percepatan individu sehingga siswa dapat belajar pada tingkat di mana mereka bisa menguasai suatu materi. Kontrak belajar dapat didesain sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar dengan materi atau bahan yang mengandung konsep dan pengetahuan yang cocok dengan kecakapan mereka dan pengalamannya. Metode ini memfokuskan pada individu, namun demikian kontrak belajar juga memberikan keuntungan bagi siswa untuk bekerja pada kelompok kecil.

Ketika siswa menggunakan kontrak belajar, guru terlebih dulu menjelaskan tujuan belajar yang harus dicapai oleh siswa. Saat siswa sudah terbiasa dengan metode ini, guru dapat memilih untuk melibatkan mereka pada penyusunan tujuan belajar.

Memusatkan pekerjaan anak didik pada mendengar saja, adalah perbuatan yang tidak akan membawa hasil. Guru harus mengetahui bahwa perbuatannya mengikutsertakan anak-anak didik dalam perencanaan dan pelaksanaan, sebenarnya melatih mereka untuk mendapatkan keterampilan yangdiperlukan dalam hidup, di samping membiasakan mereka aktif dalam tindakan-tindakannya, bukan pasif.35

35

(38)

Metode kontrak belajar dapat sangat memotivasi siswa, yaitu membuat siswa menjadi makin mandiri, belajar menggunakan sumber atau referensi untuk kepentingan mereka, bangga akan kemampuannya untuk mengajar diri mereka sendiri dan berbagi pembelajaran baru dengan yang lainnya.

4) Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban yang sudah pasti dari suatu masalah yang dipertanyakan.36

Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang sifatnya partisipatif, mengedepankan proses pengalaman. Guru dalam pembelajaran inkuiri menimbulkan masalah dan berfungsi sebagai sumber daya bagi siswa dalam solusi mereka dari masalah. Siswa dengan demikian berfungsi sebagai ilmuwan.

Metode inkuiri memberikan keuntungan bagi siswa untuk mengalami dan menjalani proses di mana mereka dapat mengumpulkan informasi terkait lingkungan sekitar mereka. Hal tersebut memerlukan tingkat interaksi yang cukup tinggi antara siswa, guru, ketersediaan bahan, dan lingkungan belajar.

Dalam pembelajaran inkuiri siswa akan terlibat aktif pada proses pembelajaran di mana mereka dapat:

a) bertindak berdasarkan rasa ingin tahu dan ketertarikan b) mengembangkan pertanyaan-pertanyaan

c) memikirkan berbagai cara melalui kontroversi dan permasalahan-permasalahan

d) melihat masalah secara analitik

e) menemukan persepsi mereka dan apa yang mereka ingin segera ketahui

f) mengembangkan, mengklarifikasi, dan menguji hipotesis

36

(39)

g) menarik kesimpulan dan menggeneralisasikan pemecahan masalah yang memungkinkan.

Bertanya merupakan pokok pembelajaran inkuiri. Siswa harus mengajukan pertanyaan yang relevan dan mengembangkan cara untuk mencari jawaban dan menggeneralisasikan penjelasan. Menurut Sri Esti, ia mengutip pendapat Rogers, bahwa pembelajaran inkuiri yaitu pembelajaran dimana siswa mencari jawaban terhadap pertanyaan yang riil, membuat penemuan autonomous (bebas), dan menjadi pencetus dalam belajar atas inisiatifnya sendiri.37 Penekanannya yaitu pada proses berpikir sebagaimana penerapannya terhadap interaksi siswa dengan isu-isu, data, topik, konsep, bahan, dan masalah. Pada metode ini, diupayakan agar siswa berpikir divergen. Kemampuan berpikir tersebut diperlukan untuk melakukan elaborasi pada pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa.

Metode pendidikan yang konvensional membuat anak-anak kurang otonom, kurang terbuka, dan kurang empiris. Metode inkuiri membuat siswa berpikir independen dan terbuka, serta baru, pemahaman yang lebih dalam, dan lebih kekal.

5) Pembagian Kelompok

Metode pembelajaran dengan pembagian kelompok merupakan salah satu metode yang efektif. Dalam metode ini, para siswa bekerja secara kelompok dan mengurangi peran guru yang terkadang terlalu dominan dalam mengajar. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa yang ada dikelas, dengan cara ini diharapkan siswa dapat menjadi lebih kreatif dan aktif. Metode pembelajaran ini melibatkan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat atau memecahkan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka.

Pembelajaran menggunakan metode ini merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif. Metode pembelajaran dengan pembagian

37

(40)

kelompok dapat meningkatkan siswa dalam pemahaman konsep dan keterampilan memecahkan masalah dan meningkatkan rasa kebersamaan diantara siswa. Metode ini sangat efektif untuk menolong siswa mencari jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang tidak diketahuinya.38

Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Karena dalam proses pembelajaran, penting bagi siswa untuk belajar bekerja sama, saling membantu, dan menerima sudut-sudut pandang yang berbeda.

6) Reinforcement (Imbalan dan Hukuman)

Masalah imbalan dan hukuman berhubungan dengan cara menimbulkan minat anak didik terhadap proses belajar. Banyak guru yang menggunakan hadiah atau hukuman sebagai cara untuk mendorong anak didik untuk belajar. Alasan mereka dalam hal itu adalah bahwa anak memerlukan rasa harga diri dan keberhasilan untuk melanjutkan kemajuannya. Hendaknya guru mengetahui bahwa keberhasilan anak didik dalam proses belajar itu sendiri, merupakan imbalan, karena anak didik merasa lega dan puas terhadap dirinya, hal itu akan membawa kepada kemajuan yang berkelanjutan.39

Jelaslah bahwa metode-metode belajar yang humanis tersebut gaya mengajarnya didasarkan pada hubungan-hubungan interpersonal yang ramah dan terbuka antara guru dengan para siswanya. Dengan metode pembelajaran yang humanis ini membuat para siswa terbuka kepada guru dalam belajar, siswa dapat mempercayai guru dan siswa akan dengan senang meminta nasehat-nasehat kepada gurunya tanpa rasa takut dan enggan.

38

Nina Herlina, Metode Pembelajaran Kelompok, 2013, (http://herlinanina22.blogspot.com /2013/02/metode-pembelajaran-kelompok.html).

39

(41)

6. Pendidikan Humanis dalam Pandangan Beberapa Tokoh

a. Arthur W. Combs

Teori belajar Arthur W. Combs dikenal dengan meaning (makna atau arti). Menurutnya, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Sehingga siswa belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya paksaan sedikit pun. Anak yang tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Karakter, Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban.. Yogyakarta:

, Evaluasih Hasil Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Subana, dkk, Statistika pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2005.. Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan,

Kadir, Ilmu Islam Terapan: Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional pada pasal

Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.. 02 2019 | 137 Dalam sejarahnya,

hendaknya dilakukan secara selektif dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, pergaulan sosial, sertacara pandang calon pendidik. Lembaga dapat merekrut pendidik- pendidik

Pendidikan Humanis oleh Ahmad Dahlan yang merupakan tokoh besar dalam organisasi Muhamaddiyah, yakni pen- didikan yang didasarkan pada pembentukan kecerdasan dan kemandirian

Lisva Farhana NIM.. Teori Psikoanalisis Humanis Dialektik Erich Fromm dalam Perspktif Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas

Oleh karena itu, pendidikan humanistik adalah pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan potensi yang dimiliki setiap orang.7 Pandangan Ki Hajar Dewantara tentang manusia sebagai