• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung (Studi Antropologi Tentang Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung Etnik Batak di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung (Studi Antropologi Tentang Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung Etnik Batak di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang)."

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PEMULUNG

(Studi Antropologi Tentang Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung Etnik Batak di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu

Kabupaten Deli Serdang)

D

I

S

U

S

U

N

Oleh

Nimrah Khairani Bb

020905007

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena

berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah

satu kewajiban dan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Antropologi di Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan,

dorongan, nasehat dan bahkan bantuan secara moral dan material dari berbagai pihak,

untuk itu penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

- Bapak Prof. Dr. .M. Arif Nasution, M.A, selaku dekan FISIP USU.

- Bapak Drs. Zulkifli B Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu

Antropologi Sosial FISIP USU

- Bapak Drs. Irfan Simatupang, MA selaku Sekretaris Departemen Ilmu

Antropologi Sosial FISIP USU dan juga sekaligus Pembimbing I skripsi

yang telah berkenan membimbing dan mengarahkan penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

- Bapak Drs. Agustrisno, M.A, selaku Pembimbing II skripsi

(3)

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

- Kedua orang tua atas segala do’a, kasih sayang, nasehat serta dukungan

yang diberikan kepada ananda.

- Kepada abang-abang dan kakak-kakak serta adek penulis atas segala

nasehat, dukungan dan bantuan moril ataupun material yang kalian beri

untuk penulis.

- Kepada Sri Mulyani, kamu teman terbaik dalam hidupku. Kamu selalu

ada di saat aku membutuhkanmu.

- Teman-temanku angkatan 02-03, David, Indra, Zulbahri, Rudolf,

Wiyono, Tere, Maya, Indra Sinaga, Nana, Ana, Rahmi, Endang. Dan

semua teman-teman yang penulis kenal.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa ilmu

pengetahuan dan kemampuan penulis sangat terbatas dan tentunya masih banyak

terdapat kekurangan-kekurangan, baik materi, sistematika maupun pembahasannya.

Oleh karena itu, penulis senantiasa menerima kritikan dan saran-saran dari pembaca.

Medan, Oktober 2007 Penulis,

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 6

1.3.3. Lokasi Penelitian ... 6

1.4. Tinjauan Pustaka ... 6

1.5. Metode Penelitian ... 13

1.5.1. Tipe Penelitian ... 13

1.5.2. Informan ... 13

1.6. Teknik Pengumpulan Data ... 14

1.6.1. Wawancara ... 14

1.6.2. Observasi ... 15

1.7. Teknik Analisa Data ... 15

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN DESA NAMO BINTANG ... 16

2.1. Sejarah Singkat Desa Namo Bintang ... 16

2.2. Letak Geografis ... 16

2.3. Struktur Organisasi Pemerintahan ... 17

2.4. Sarana Umum ... 21

2.5. Keadaan Penduduk ... 21

2.6. Gambaran Umum TPA Kodya Medan ... 26

(5)

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PEMULUNG ... 33

3.1. Keadaan Pemulung... 34

3.1.1. Seputar Kehidupan Ekonomi ... 34

3.1.2. Seputar Pendidikan ... 38

3.1.3. Seputar Sosial ... 40

3.1.4. Seputar Keagamaan ... 44

3.1.5. Seputar Kesehatan ... 47

3.2. Struktur Sosial Pemulung Barang Bekas ... 49

3.2.1. Sistem Kekerabatan ... 49

3.2.2. Hubungan Antara Suami dengan Istri ... 49

3.2.3. Hubungan Antara Anak dengan Orang Tua ... 50

3.2.4. Hubungan Antara Anak dengan Anak ... 52

3.2.5. Hubungan Antara Sesama Pemulung Barang Bekas ... 53

3.2.6. Hubungan Antara Pemulung dan Majikan / Penadah ... 55

3.2.7. Hubungan Antara Pemulung dengan Petugas Keamanan ... 60

3.2.8. Hubungan Antara Pemulung dengan Pemilik Warung ... 63

3.2.9. Hubungan Antara Pemulung dan Supir Truk ... 65

3.2.10. Hubungan Dalam Bidang Keagamaan atau Kepercayaan 66

3.2.11. Hubungan Dalam Bidang Kekerabatan ... 70

3.2.12. Hubungan Dalam Bidang Ketertiban ... 76

BAB IV DESKRIPSI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI LIMA KELUARGA PEMULUNG BARANG BEKAS ... 79

4.1. Keluarga Khrisnayan Lumban Gaol... 79

4.2. Keluarga Joseph Napitupulu ... 84

4.3. Keluarga Parasian Purba ... 88

4.4. Keluarga Robert Sembiring... 95

4.5. Keluarga Marco Butar-Butar... 101

BAB V ANALISA DAN KESIMPULAN SERTA SARAN ... 105

5.1. Analisa ... 105

5.2. Kesimpulan ... 108

5.3. Saran ... 110

(6)

ABSTRAKSI

Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung, Studi Deskriptif tentang kehidupan sosial ekonomi keluarga pemulung, (Nimrah Khairani BB. 2007). Skripsi ini terdiri dari lima bab, … halaman, … tabel, … daftar pustaka, … lampiran yang terdiri dari surat penelitian, surat pernyataan dan gambar-gambar kegiatan pemulung barang bekas.

Pemulung barang bekas identik dengan gelandangan, yang sebahagian masyarakat umum memendang pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang hina dan dina. Tetapi bagi mereka pekerjaan ini mempunyai makna yang sangat besar karena dilakukan dengan cara yang halal. Bukan gelandangan yag melakukan pekerjaan sebagai pencuri atau menjadi WTS / Pelacur.

Walaupun mereka berada pada status sosial yang paling bawah, namun mereka tetap memiliki kebahagiaan dan harapan-harapan yang cerah untuk masa depan. Mereka tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup dalam kehidupan sekaligus selalu berusaha membangun dan memupuk harapan-harapan, walaupun kehidupan hari esok belum tentu lebih baik dari hari ini.

Predikat “Laskar Mandiri” masih terasa berat untuk dipikul, karena uluran tangan yang begitu sangat diharapkan kini belum terealisasi makna dan wujudnya dari hasil penelitian, pemulung barang bekas yang berada di Tempat Pembuangan Akhir Sampah untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, mereka menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan akrab dengan berbagai pihak bersama-sama dengan mereka di tempat bekerja.

Hubungan antara sesama pemulung barang bekas adakalanya bekerjasama mengumpulkan barang bekas bagi mereka yang mempunyai status bujangan biasa. Bentuk kerja sama ini hanya bersifat sementara, demikian juga dengan anggota-anggota kelompoknya. Dengan kata lain, pembentukan kelompok ini berdasarkan atas kesepakatan bersama pada hari yang cerah dengan membentuk atau menentukan orang-orang yang akan memulung ke tiap-tiap sektor. Jumlah anggota kelompok ini beraneka ragam dan biasanya mencapai 4 sampai 5 orang.

(7)

ABSTRAKSI

Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung, Studi Deskriptif tentang kehidupan sosial ekonomi keluarga pemulung, (Nimrah Khairani BB. 2007). Skripsi ini terdiri dari lima bab, … halaman, … tabel, … daftar pustaka, … lampiran yang terdiri dari surat penelitian, surat pernyataan dan gambar-gambar kegiatan pemulung barang bekas.

Pemulung barang bekas identik dengan gelandangan, yang sebahagian masyarakat umum memendang pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang hina dan dina. Tetapi bagi mereka pekerjaan ini mempunyai makna yang sangat besar karena dilakukan dengan cara yang halal. Bukan gelandangan yag melakukan pekerjaan sebagai pencuri atau menjadi WTS / Pelacur.

Walaupun mereka berada pada status sosial yang paling bawah, namun mereka tetap memiliki kebahagiaan dan harapan-harapan yang cerah untuk masa depan. Mereka tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup dalam kehidupan sekaligus selalu berusaha membangun dan memupuk harapan-harapan, walaupun kehidupan hari esok belum tentu lebih baik dari hari ini.

Predikat “Laskar Mandiri” masih terasa berat untuk dipikul, karena uluran tangan yang begitu sangat diharapkan kini belum terealisasi makna dan wujudnya dari hasil penelitian, pemulung barang bekas yang berada di Tempat Pembuangan Akhir Sampah untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, mereka menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan akrab dengan berbagai pihak bersama-sama dengan mereka di tempat bekerja.

Hubungan antara sesama pemulung barang bekas adakalanya bekerjasama mengumpulkan barang bekas bagi mereka yang mempunyai status bujangan biasa. Bentuk kerja sama ini hanya bersifat sementara, demikian juga dengan anggota-anggota kelompoknya. Dengan kata lain, pembentukan kelompok ini berdasarkan atas kesepakatan bersama pada hari yang cerah dengan membentuk atau menentukan orang-orang yang akan memulung ke tiap-tiap sektor. Jumlah anggota kelompok ini beraneka ragam dan biasanya mencapai 4 sampai 5 orang.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan pembangunan Indonesia

seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan masyarakat

Indonesia seutuhnya berarti meliputi semua aspek kehidupan penduduk, baik yang

bersifat material maupun spiritual. Manusia yang dalam hal ini merupakan bagian dari

pembangunan memiliki kedudukan tersendiri yang perlu di upayakan penanganannya

agar dapat memberi manfaat bagi perkembangan pembangunan yang sedang maupun

yang akan berlangsung. Dari kedudukan manusia dalam proses pembangunan,

memberi pengertian bagi kita bahwa faktor penduduk adalah sangat penting.

Seperti kita ketahui bersama bahwa keberhasilan suatu pembangunan antara

lain diukur melalui kemampuan menyediakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya

kepada masyarakat dan kegagalan pembangunan juga diukur melalui sejauh mana

dapat mengatasi pengangguran. Mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan

menomorduakan kesempatan kerja memang sering terjadi di banyak negara dunia

ketiga (Juoro, dalam Prisma 1983:33).

Persoalan ketenaga kerjaan merupakan persoalan yang sangat menghantui

negara-negara dunia ketiga pada saat sekarang ini termasuk Indonesia. Rendahnya

tingkat pertumbuhan ekonomi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998

membuat ketersediaan lapangan kerja menjadi sangat sedikit. Pada sisi lain jumlah

angkatan kerja baru pada tiap tahunnya semakin meningkat jumlahnya. Oleh karena itu

tingginya angka pengangguran semakin meningkat setiap tahunnya.

Lapangan pekerjaan merupakan suatu masalah yang cukup pelik bagi banyak

pihak, baik bagi pemerintah sendiri yang dianggap sebagai pihak berkewajiban untuk

menyediakan maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang membutuhkannya. Program

pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata belum mampu untuk bisa

menyediakan berbagai kebutuhan akan lapangan kerja bagi masyarakat. Ketidak

(9)

pesat, sehingga lapangan kerja yang diciptakan tidak dapat mengimbangi laju

pertumbuhan penduduk, rendahnya tingkat investasi baik lokal maupun pihak-pihak

luar lainnya.

Seperti telah di jelaskan di atas, Indonesia sebagai salah satu negara yang

sedang berkembang, saat ini sedang menghadapi masalah yang krusial terutama

dibidang ketenaga kerjaan. Data dari Biro Pusat Stastik melaporkan bahwa pada

tahun 2004 penduduk Indonesia mencapai lebih 220 juta jiwa. Dari jumlah itu

Indonesia digolongkan sebagai negara nomor empat paling banyak penduduknya di

dunia ini.

Jumlah penduduk yang besar ini disatu sisi merupakan modal besar bagi

pembangunan nasional, namun di sisi lain merupakan masalah serius dalam

penyediaan lapangan kerja dan segera mendapat pembangunan. Ketidak seimbangan

antara besarnya jumlah angkatan kerja dengan sektor ketenaga kerjaan atau

peluang-peluang untuk mendapatkan pekerjaan, menimbulkan masalah yang rumit pada saat

ini. Ketimpangan itu jelas kita lihat antara peningkatan angkatan kerja disatu pihak

yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja itu

sendiri.

Sejalan dengan uraian di atas dapat kita lihat bahwa masih banyak tenaga

kerja yang menganggur terutama di perkotaan. Hal ini disebabkan betapa

sulitnya saat saat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, terutama

disektor formal yang sampai saat ini masih merupakan jenis pekerjaan yang ideal dan

diminati banyak orang. Mereka yang gagal memasuki pekerjaan disektor formal

karena berbagai alasan akan memasuki pekerjaan disektor lain, dalam hat ini sektor

informal. Bagi banyak orang merupakan pilihan terakhir, tetapi bukan tidak banyak

yang memilih jadi pengangguran ataupun setengah pengangguran. Keadaan ini

memang sangat membingungkan berbagai pihak, teruma pihak pemerintah sebagai

penyusun kebijakan-kebijakan ekonomi yang mencakup tentang kesempatan kerja.

Tenaga-tenaga kerja yang tidak mampu masuk dalam pekerjaan yang

(10)

ternyata bidang pekerjaan ini cukup mampu memberikan sumbangan yang berarti

terhadap penanggulangan masalah kependudukan yang berkaitan dengan sektor

ketenaga kerjaan.

Saat ini perkembangan kota telah melaju pesat sebagai akibat pertambahan

penduduk kota secara alami, ditambah lagi dengan terjadinya urbanisasi.Urbanisasi

itu sendiri seperti kita ketahui umumnya dilakukan mereka yang berada pada usia

produktif, hingga kemudian melahirkan masalah melimpahnya tenaga kerja tersebut,

sedangkan lapangan kerja di sektor formal dan industri belum lagi dapat

menampungnya. Persoalan ini pada akhirnya akan bermuara pada persoalan

kemiskinan. Meskipun sebenarnya alternatif untuk memperoleh pekerjaan lebih

terbuka di perkotaan dibanding dengan di pedesaan, namun kemiskinan di perkotaan

itu tetap saja ada atau laten (Suparlan,1984).

Kehidupan kota yang kompleks dengan penekanan terhadap penting dan

tingginya nilai pekerjaan yang menggunakan pemikiran dan keahlain serta adanya

suatu spesialisasi-spesialisasi kerja dalam pekerjaan, telah menyebabkan adanya

berbagai industri jasa (dari yang sederhana sampai yang kompleks dan modern).

Memulung sebagai salah satu pilihan pekerjaan di sektor informal, dalam hal ini

memberikan jalan keluar dari keruwetan para pencari kerja, karena ia tidak menuntut

keahlian yang begitu khusus. Modal utama sebenarnya adalah tenaga, kesabaran dan

mental (motivasi), ditambah fasilitasnya. Mereka tentunya masih memiliki nilai-nilai

budaya tertentu yang dalam melakukan aktivitas pekerjaan atau memberikan arah dan

pendorong dalam setiap tata kehidupannya (Koentjaraningrat,l986). Walaupun

mereka telah terpisah jauh secara fisik dengan pusat budaya-nya, namun di daerah

rantau mereka berusaha untuk menyesuaikan diri. Sebuah falsafah hidup yang

berbunyi "dimana tanah dipijak, di situ langit dijunjungan" selalu mengiringi misi

budaya dan setiap tindak-tanduk mereka di daerah rantau untuk menjaga mereka agar

bisa tetap survive.

Selain dari kenyataan di atas dapat pula kita jumpai bahwa pada umumnya

pemulung ini (suku Batak) memang memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tamat

(11)

berpengaruh terhadap cara-cara berpikir mereka, yang ada giliranya akan berakibat

pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Kondisi kehidupan mereka yang selama ini

senantiasa akrab dengan berbagai bentuk kekurangan, dalam hal ini tampak dari hasil

pendapatan yang mereka peroleh sebagai pemulung yang mana hanya cukup untuk

mengganjal perut dari hari-ke hari. Dengan kata lain hanya pas - pasan saja. Bahkan

kenyataan yang tampak bahwa dari kebanyakan keluarga pemulung asal suku Batak,

mereka tetap saja marginal dan cenderung miskin. Masalah mereka sebenarnya

berkaitan dengan permasalahan relasi sosioal budaya sebagai implikasi dari

konstruksi citra negatif yang dialamatkan pada kehidupan semacam ini oleh

masyarakat dan pemerintah. Parsudi Suparlan (1984:179) melihat bahwa kaum

marginal tidak memiliki tempat tinggal tetap, mempunyai pekerjaan tak layak, seperti

pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan lainnya. Moeliono dan Anggal

menjelaskan, bahwa mereka bekerja disektor informal, hidup secara subsisten dari ke

hari-hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan politik. Mereka

terabaikan dan tak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal: pendidikan,

kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik, dan lain-lain. Selanjutnya keseluruhan

kondisi tersebut diatas menimbulkan cenderung miskin, yang pada akhirnya

menimbulkan beberapa pertanyaan : (1) Apa yang menjadi latar belakang mereka

terjun kebidang pekerjaan tersebut : ( 2 ) Apa yang menjadi permasalahan mereka dan

faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi pengaruh terhadap kondisi kehidupan

sosial ekonomi mereka.

1.2. Perumusan Masalah

Sebagai pemulung penghasilan yang diperoleh dipengaruhi berbagai faktor,

baik dari dirinya sendiri maupun dari luar ( eksternal ). Mengenai jam kerja mereka

biasanya dimulai pagi hari sekitar pukul 6.00 wib, dan berakhir pada sore harinya.

Dari sekian panjang jam kerja mereka bisa dikatakan hanya sebagian kecil

jam kerja saja yang tergolong produktif.

Adanya tingkat pendidikan yang rendah bahkan tidak sama sekali tentunya

(12)

akan berakibat terhadap situasi kehidupan sosial ekonomi mereka. Penerapan strategi

dalam bekerja, pengaturan penghasilan, pembina di dalam keluarga hingga orientasi

hidup setidaknya bertitik tolak dari sana. Dengan kondisi yang demikian kelihatannya

mustahil bagi para pemulung untuk pindah ( pekerjaan ) ke sektor formal. Dari

keadaan-keadaan seperti diatas kiranya dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi

permasalahan. Adapun penelitian ini nantinya difokuskan pada kehidupan sosial

ekonomi pemulung. Dengan demikian tentunya menyoroti hal-hal yang berhubungan

dengan masalah produksi, konsumsi maupun distribusi hasil pendapatan. Adapun

perumusan masalah yang lengkap adalah sebagai berikut :

1. Apa latar belakang mereka memilih sektor informal, dalam hal ini sebagai

pemulung. Apakah ada sebab lain yang membuat mereka tetap menekuni

pekerjaan tersebut ?

2. Masalah - masalah apa sebenarnya yang mereka hadapi sehingga dapat

berada dalam kehidupan yang marginal itu ?

3. Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap pendapatan mereka

yang pada akhirnya juga memberikan warna pada corak kehidupan mereka ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah untuk melihat dan menyelidiki segi-segi kehidupan sosial dan

ekonomi keluarga para pemulung. Merujuk pada Melly G. Tan ( 1977 ) maka

keadaan sosial ekonomi itu mencakup 3 ( tiga ) aspek yaitu : pekerjaan, pendidikan

dan penghasilan. Dari itu akan terlihat bagaimana cara mereka menjalani kehidupan

dengan memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki, cara mengalokasikan

penghasilan sehingga dapat terus survive. Untuk lebih jelasnya maka latar belakang

sosial ekonomi itu akan diperhatikan secara "life history". Kajian Antropologi yang

bersifat holistik ini akan menjadikan penelitan ini dapat pula meliputi antar hubungan

(13)

Kemudian hubungan antara pemulung dengan elemen-elemen (orang--orang)

yang terdapat pada sistem sosial di lokasi kerja (mangkalnya), seperti halnya

hubungan para petugas dengan orang-orang yang berada di sekitar lokasi

mangkalnya.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah terutama dalam penerapan

teori-teori atau konsep ilmu antropologi yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan.

5elain itu mernberitahukan tentang usaha sektor informal ini kepada masyarakat luas

agar dapat mengetahuinya. Khususnya bagi penentu kebijakan yang berhubungan

dengan masalah ini, di mana diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan

sebagai bahan pertimbangan, perbandingan ataupun acuan. Selanjutnya untuk penulis

pribadi sebagai bahan untuk menulis skripsi guna menyelesaikan pendidikan dari

FISIP USU Medan.

1.3.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu,

Kabupaten Deli Serdang, dengan alasan kawasan ini mempakan tempat pembuangan

akhir sampah yang berasal dari penduduk kota Medan.

1.4. Tinjauan Pustaka

Sudah menjadi ciri umum dan merupakan kenyataan yang tidak dapat

disangkal lagi di kebanyakan negara berkembang saat ini, bahwa begitu jelas terdapat

adanya ketimpangan yang mencolok dalam hal tersedianya jumlah sektor produksi

terhadap kemampuan untuk menyerap tenaga kerja itu sendiri. Dengan kata lain dapat

dikatakan kurang terjadi pemerataan dalam hal memperoleh kesempatan dan peluang

pekerjaan. Masalah - masalah tingkat pendidikan yang rendah, ketrampilan dan

kurang tersedianya modal yang relatif cukup, semakin kompleksnya permasalahan

(14)

Konsekuensi logis yang dirasa paling cocok sebagai jalan keluarnya adalah

menyeimbangkan potensi yang ada dengan sektor - sektor peluang kerja yang

tersedia. Alternatif yang paling cocok adalah berkecimpung di sektor informal,

dimana secara umum di sektor ini tidak bagitu banyak menuntut persyaratan kerja

yang lebih khusus dan lebih memberi peluang. Secara langsung maupun tidak

langsung dalam hal ini jelas sektor informal mampu menanggulangi masalah

kependudukan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesempatan bekerja,

terutama di daerah perkotaan. Tindak lanjut dari fenomena ini dapat kita lihat dari

kenyataan bahwa begitu banyak pilihan yang terlibat ke dalam sektor ini seperti

misalnya : Tukang Becak, Pedangang Kaki Lima, Pembantu Rumah Tangga, Penjual

makanan dan minuman ringan di penggir jalan dan lain-lain. Banyaknya ragam

kegiatan di sektor informal ini lama kelamaan semakin menarik perhatian untuk

diketahui bagaimana keberadaan mereka lebih jauh lagi dalam menekuni bidang

pekerjaanya. Pembahasan mengenai kenyataan bahwa sektor informal telah menjadi

wadah yang tepat dan ampuh dalam meyerap sejumlah besar tenaga kerja terutama di

perkotaan, haruslah tentunya didasarkan pada pengetahuan siapa dan apa alasan yang

mendorong mereka untuk memasuki sektor informal ini ( Ramli, 1992 : 14 ).

Pandangan beberapa ahli lebih lanjut, dipakai penulis dalam membahas apa

sebenarnya sektor informal ini.

Kajian mengenai sektor informal pertama sekali dikemukakan oleh seorang

Antropologi Inggris bernama Keith Hart pada 1973. Konsep Keit Hart selanjutnya

dijadikan acuan dalam menyoroti masalah - masalah kesempatan kerja terutama

terhadap keluarga-keluarga kurang mampu di daerah perkotaan yang selanjutnya

disebutnya sebagai kaum pekerja perkotaan ( urban labour force ). Secara jelas dalam,

konsep Hart dinyatakan adanya perbedaan antara sektor formal dan informal ,

diantaranya dilihat dari keteraturan waktu kerja, curahan waktu kerja, status

hukumnya, serta hubungannya dengan sektor kerja yang lain. Khusus terhadap sektor

informal, Hart mengemukakan ciri khusus di mana secara umum ditandai dengan

adanya pendidikan yang rendah, modal usaha yang relatif kecil, upah yang rendah dan

(15)

pembahasan di sektor informal ini adalah terdapatnya perbedaan khusus dalam sektor

itu sendiri antara lain yaitu sektor informal sah dan sektor informal tidak sah.

Yang termasuk dalam sektor informal sah adalah :

a. Kegiatan-Kegiatan primer dan sekunder seperti : pertanian, perkebunan yang

berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan

dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuatan sepatu, penjahit, pengusaha BIR

dan Alkohol.

b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar, seperti : perumahan, transportasi,

usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan

sewa menyewa.

c. Distribusi kecil-kecilan, seperti : pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang

kaki lima, usaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkutan barang agen atas komisi

dan penyalur.

d. Jasa jasa yang lain seperti : pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu,

tukang cukur, pembuang sampah, j uru potret, pekerj a reperasi kendaraan maupun

reperasi lainnya dan juga pemulung.

Selanjutnya yang termasuk dalam sektor informal tidak sah adalah :

a. Jasa kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya, seperti : penadah barang

curian, lintah darat (tukang kredit) dan pegadaian (dengan tingkat bunga yang tidak

sah), perdagangan obat bius, pelacuran, mucikari, penyeludupan, suap - menyuap,

pelbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan dan sebagainya.

b. Transaksi pencurian kecil ( misalnya : pencopetan), pencurian besar (misalnya :

pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan , perjudian dan lain-lain ( Hart

dalam Chirs Manning dan Tadjuddin N. Effendy, 1985:78-80).

Pendapat Hart tentang sektor informal sebagai kegiatan yang berskala kecil,

didukung oleh Sethuraman yang menganggap kehadiran sektor informal terutama

disebabkan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang

berkembang. Mereka yang bergerak di sektor informal tidak membutuhkan jalur

(16)

dan Tadjuddin N. Effendy, 1985 :91). Selanjutnya Sethuraman berpendapat bahwa

sektor informal terdiri dari unit-unit berskala kecil yang menghasilkan dan

mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan

kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan usaha ini sangat dihadapkan pada

berbagai kendala seperti faktor modal (Sethuraman dalam Titik Handayani, 1993

:285).

Sri Edi Swasono (1986) berpendapat bahwa adanya sektor informal bukun

karena sekedar kurangnya lapangan kerja, apalagi menampung lapangan kerja yang

terbuang dari sektor formal, tetapi sektor informal tersebut adalah sebagai pilar bagi

keseluruhan sistem ekonomi. Kenyataan bahwa sektor formal dapat hidup karena

adanya pembayaran upah buruh secara murah. Selanjutnya upah yang rendah ini

diterima parah buruh, karena sektor informal dapat menyediakan kehidupan murah

bagi buruh yang berupah rendah ini. Kenyataan ini menujukkan bahwa sektor

informal telah mensubsidi sektor formal, dan merupakan sektor yang efisien karena

mampu menyediakan kehidupan murah.

Menurut Kartini Syahrir, sektor informal berkembang sejalan dengan

pertumbuhan ekonomi. Bahwa terdapat hubungan saling membutuhkan diantara

sektor formal dan sektor informal dengan ciri padat karya. Ragam pekerjaan di

sektor informal terjadi sebagai respon pembangunan itu sendiri, yang memberikan

tempat bagi bertambahnya sektor jasa sedemikian rupa sehingga memungkinkan

sektor informal berperan penting di dalamnya ( Kartini Syahrir, 1985 :102).

Mazumdar menganalisa sektor informal ini dari sudut dikotomi sektor

informal dan sektor formal. Ia mengatakan bahwa sektor formal adalah sektor yang

lebih mendapat proteksi, sedangkan sektor informal tidak mendapat proteksi.

Dikotomi seperti ini mampu menjalankan kondisi struktural dari pasar tenaga kerja

tersebut, khusunya dalam kaitan kebebasan dan rintangan dari mobilitas buruh

(dalam Rachbini dan Hamid, 1994: 3 ).

Sektor informal, tumbuh dan berkembangnya di berbagai kota merupakan

gambaran sosial ekonomi dari pola kehidupan masyarakat. Rangkaian pengamatan

(17)

masalah ketenagakerjaan, karena sektor ini dikenal sebagai katup pengaman dalam

menanggulangi masalah pengangguran.

Faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan tingkat pendapat

pedagang sektor informal adalah besarnya jumlah modal usaha, curahan jam kerja,

dan tingkat pendidikan pedagang sektor informal itu sendiri (Edi Purnomo dan

S.R.Gunawan, 1993 :154-155).

Berbagai pendapat mengenai sektor informal dan formal menurut para ahli

adalah sebagai berikut. Boeke mengidentikkannya dengan sektor ekonomi kapitalis

prakapitalis (Titik Handayani 1993:214). Sedangkan Geertz (1973) menyebutnya

sebagai "ekonomi Firma/ bazaar (Firms/Bazaar economi), istilah dari Weeks adalah

sektor modern tradisional (Titik Handayani, 1993), serta "Inti masa apung" dari

Evers (1982).

Sedangkan LL.O pada tahun 1972 (Titik Handayani, 1993;215) lebih

menekankan ciri-ciri yang membedakan sektor formal dan informal dengan

mengajukan tujuh ciri utama sektor informal yaitu :

1. Mudah dimasuki siapa saja.

2. Menggunakan sumber daya manusia

3. Usaha umumnya dimiliki keluarga

4. Beroperasi dalam skala kecil.

5. Bersifat padat karya menggunakan teknologi yang telah disesuaikan dengan

kondisi setempat.

6. Tidak menuntut ketrampilan yang berasal dari jalur pendidikan formal

7. Pasar yang dihadapi tidak diatur oleh pemerintah dan sangat kompetitif.

Hidayat mendefenisi sektor informal sebagai "unprocted sector " (Hidayat.

1978:445). Selanjutnya Hidayat menambahkan dua butir defenisi sektor informal

yaitu:

1. Sektor informal adalah sektor yang belum dapat menggunakan bantuan

(18)

2. Sektor informal adalah sektor yang telah menerima bantuan tetapi belum

sanggup membuat sektor ini berdikari ( Hidayat, 1990).

Selanjutnya Belen berpendapat bahwa pekerja di sektor informal pada

dasarnya adalah orang-orang yang memiliki jiwa wiraswasta, yaitu ulet, berani

mengambil resiko, tidak begitu tergantung pada orang lain, serta percaya diri

sendiri. Selanjutnya Belen mengatakan bahwa sektor informal merupakan arena

penanaman dan pembinaan jiwa wiraswasta pada generasi mendatang (Belen,

1985:5).

Keberadaan manusia dimuka bumi ini selalu dihadapkan situasi dan kondisi

terus berubah. Masalah pemenuhan kebutuhan hidup tetap menjadi persoalan utama,

dan oleh sebab itu seseorang dengan alasan apapun harus bekerja demi untuk diri

sendiri maupun keluarganya. Dalam bekerja pun, manusia kembali dihadapkan pada

pilihan yang sesuai dengan keadaan dan potensi yang ada pada dirinya. Sulitnya

memasuki lapangan pekerjaan di sektor formal yang memang masih diminati dan

dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan di sektor

informal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk

mencari peluang-peluang pekerjaan disektor lain demi mempertahankan hidup.

Munculnya pekerjaan disektor informal yang memang memberikan peluang kerja

yang lebih luas memang dapat dijadikan jalan keluar bagi permasalahan dibidang

ketenaga kerjaan, sekaligus bidang kependudukan yang berkaitan dengan hal

tersebut.

Setiap manusia merupakan anggota dari salah satu bangsa yang selalu

berusaha untuk dapat hidup sesuai dengan nilai - nilai terkandung dalam khasanah

budayanya (Pelly, 1985:8). Demikian juga dengan masyarakat Batak yang bekerja

sebagai pemulung yang menjadi pokus dalam penelitian ini. Ketika kampung

halaman tidak memberikan harapan lagi untuk penghidupan mereka mencari

alternatif lain untuk dapat bertahan hidup. Seperti telah di jelaskan di atas bahwa

pemulung adalah orang yang mencari naflcah, dengan jalan mencari dan memungut

(19)

mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Moelino dan Anggal, menjelaskan

mengenai pemulung ini, bahwa mereka sebagai pekerja sektor informal, datang

secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran.

Selain mereka sebagai pekerja sektor informal, mereka sering disebut juga sebagai

kelompok marginal; baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Mereka terdiri atas

kelompok yang tersisih dari berbagai kegiatan dan pelayanan formal yang disediakan

oleh kota-kota bagi warganya yang beridentitas jelas. Kenyataan adalah mereka tidak

serta-merta dapat menikmati berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang

tersedia di kota-kota besar dikarenakan posisi dan status mereka sebagai kelompok

marginal yang tidak berdaya.

Kelompok masyarakat yang satu ini umumnya hidup dan tinggal dalam

kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan.

Di sini ada yang harus mengumpulkan barang bekas. Bertimbun berbagai macam

barang yang sudah tidak terpakai lagi, logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca

(beling), alumunium, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas. Oleh

kelompok mereka, tempat pengumpulan barang sering dikenal dengan istilah lapak.

Bagi kelompok pemulung, selain mereka hidup di dunia perdagangan atau

usaha barang bekas sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian, juga untuk

bertahan hidup. Bahkan oleh Parsudi Suparlan, pemulung atau pengumpulan barang

bekas tersebut merupakan salah satu mata pencaharian atau pekerjaan orang-orang

gelandangan. Berbeda halnya dengan Moeliono dan Anggal, mereka pemulung itu

bagian dari kaum subsisten kota. Mereka hidup dari hari ke hari dengan penghasilan

yang cukup untuk konsumsi per hari. Menurut Jatiman, seperti dikutip Moeliono

dan Anggal, menyebutkan bahwa subsistensi adalah ekonomi yang mencukupi

kebutahan sendiri mereka itu hidupnya dari hari ke hari.

Oleh karena mereka merasa terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk

melampiaskan , maka muncullah ledakan -ledakan psikologis, emosional, dan sosial

dalam berbagai bentuk, seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,

(20)

ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan kemampuan kelompokan marginal

dalam penderitaan dan kesmiskinannya.

Hal senada menurut Rodger seperti yang dikutip oleh Septiarti,

mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya

mampu terlihat dan mernperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal,

tidak lain karena tergolong unskilled labor. Akibat perolehan penghasilan mereka

menjadi minimal dan tidak tetap serta sama sekali tidak ada jaminan sosial.Selain

itu, dibidang sosial kelompok ini ada pada strata "terendah" dalam masyarakat,

dengan tingkat pendidikan rendah,atau sama sekali belum pernah menikmati

bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif yang berusaha untuk menggambarkan

bagaimana kehidupan para pemulung. Adapun penggambaran kehidupan dilakukan

dengan cara life history yang berusaha menggambarkan kehidupan sosial ekonomi

dalam konteks antropologi.

1.5.2. Informan

Informan dalam penelitian ini berbagai atas tiga macam yaitu informan

pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal adalah informan

pertama-tama peneliti jumpai di lapangan (Moleong, 1994). Dari Informan pangkal

ini lah peneliti berharap mendapat petunjuk tentang siapa-siapa dari pemulung yang

bisa dijadikan dengan sebagai informan pokok untuk diwawancarai secara

mendalam.

Informan kedua adalah informan kunci (key informan). Dari informan kunci

inilah peneliti mengharapkan data utama penelitian ini. Informal kunci ini terdiri

dari lima keluarga pemulung yang diteliti pengalamannya selama menjadi

(21)

Informan ketiga adalah informan biasa. Informan biasa ini adalah sesama

rekan pemulung yang dianggap mengetahui tentang kehidupan para keluarga

pemulung. Dari informan biasa ini diharapkan didapatkan data-data yang dapat

dijadikan pembanding dari data yang didapat dari informan utama, sehingga

penelitian ini menjadi valid.

1.6. Teknik Pengumpulan Data

1.6.1. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara berkomunikasi langsung dengan para

informan. Wawancara dilakukan dengan cara terbuka agar para informan dapat

menjawab pertanyaan dan bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan segala

informasi yang dimilikinya. Wawancara dilakukan ketika mereka dirumah, atau

ketika mereka mempunyai waktu senggang sehabis memulung. Dengan cara ini

diharapkan suasana menjadi lebih tenang dan peneliti dapat menggali informasi

riwayat kehidupan informan selama menjalani profesi sebagai pumulung.

Pertanyaan -pertanyaan dikembangkan dalam hubungan yang mengarah pada sifat

dari hati ke hati yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan dalam model-model

pendekatan yang pernah di lakukan oleh Oscar Lewis (dalam suparlan,1984), yaitu :

1. Pendekatan otobiografi yang luas dan intensif, tetapi lebih terbatas dari segi

luas atau kedalamnya.

2. Pendekatan yang mempelajari masalah atau kejadian di luar dari yang biasa

yang terjadi dalam kehidupan mereka.

3. Pendekatan yang bertujuan mendeskripsikan secara detail kehidupan keluarga

dalam sehari-hari.

Dalam melakukan wawancara peneliti akan mempergunkan pedoman

wawancara (interview guide). Pedoman wawancara dipergunakan hanya sebagai

arahan bagi penulis dalam melakukan wawancara, bukan sebagai patokan.

Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, maka penelitian akan dihentikan apabila

(22)

1.6.2. Observasi

Untuk mencari kevalidan data observasi yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah observasi partisipatif. Artinya dalam melakukan observasi ini peneliti ikut

langsung beraktifitas dengan responden. Peneliti mengikuti para informan ketika

mereka sedang melaksanakan aktifitas di lapangan.

1.7. Teknik Analisa Data

Setelah informasi dan data terkumpul, maka data disusun secara sistematis

sesuai kepentingan:

1. Mengadakan pengeditan terhadap informasi dan data sehingga menghasilkan

uraian terperinci, sistematis dan mudah dimengerti oleh mereka yang

membaca dan mempelajarinya.

2. Mengadakan penganalisaan dari setiap bagian yang disusun dengan metode

kualitatif untuk tujuan memahami isi yang terkandung dalam setiap informasi

(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN DESA NAMO BINTANG

2.1 Sejarah Singkat Desa Namo Bintang

Desa Namo Bintang adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Pancur

Batu, Kabupaten Deli Serdang. Desa Namo Bintang yang ada sekarang adalah

penggabungan dari dua desa di sekitarnya, yaitu Desa Rumah Mbacang/Ujung Jawi

dan Desa Sumbringen. Pada tahun 1985 ditetapkan nama ketiga desa ini menjadi

Desa Namo Bintang dan kedua desa yang ada di sekitarnya diubah menjadi Dusun I

dan Dusun II.

Untuk dapat mengetahui asal mula bermukimnya penduduk di desa ini,

penulis menemui kesulitan dengan tidak adanya catatan tentang hal itu. Namun

diperkirakan daerah ini sudah dihuni sejak tahun 90 tahun yang lalu.

Menurut penduduk setempat, daerah Namo Bintang berupa rawa-rawa dan

sawah serta perladangan yang terlantar. Nama Namo Bintang diambil dari nama

sebuah sungai yang mengalir di pinggiran desa dan sungai tersebut mempunyai

Namo, yang mana kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti Lubuk.

Lubuk-lubuk tersebut dijadikan tempat pemandian dan pemancingan oleh penduduk yang

berada di sekitar lubuk-lubuk tersebut. Menurut cerita orang-orang tua, di sekitar

Namo (lubuk) dapat mengeluarkan cahaya terang-benderang dikala bulan purnama,

dan inilah cikal bakal diberinya nama desa tersebut menjadi Namo Bintang.

2.2 Letak Geografis

Desa Namo Bintang di bagian Selatan Kotamadya Medan dan bagian Timur

Ibukota kecamatan Pancur Batu. Luas desa ini seluruhnya 495,2 hektare yang terdiri

dari 50 hektare daerah pemukiman, 35 hektare daerah pertanian sawah, 200 hektare

daerah perladangan dan 150 hektare daerah perkebunan serta 60,2 hektare untuk

fasilitas umum dan lain-lain. Desa ini terdiri dari 5 (lima) dusun, yaitu:

(24)

Dusun II : Desa Sumberingen dan Kloni IV

Dusun III : Desa Rumah Mbacang dan Ujung Jawi

Dusun IV : Desa Simpang Gardu dan Simpang Kongsi

Dusun V : Desa GRT Tahap I dan GRT Tahap II.

Secara administratif Desa Namo Bintang berbatasan dengan Kota Medan di

sebelah Utara, Desa Namo Simpur kecamatan Pancur Batu di sebelah Selatan, Desa

Durin Tonggal kecamtan Pancur Batu di sebelah timur dan berbatasan dengan Desa

Baru kecamatan Pancur Batu di sebelah Barat. Desa Namo Bintang mempunyai dua

iklim yaitu musim kemarau dan musin penghujan, dimana kedua iklim tersebut

dipengaruhi oleh angin laut dan angin pegunungan yang merupakan salah satu faktor

pendukung dalam kesuburan tanah.

2.3 Sturuktur Organisasi pemerintahan

Struktur organisasi suatu hal yang harus dimiliki oleh suatu lembaga untuk

mencapai hasil kerja yang efisien dan afektif. Di samping itu sturuktur organisasi

merupakan kerangka landasan bagi pengemban tugas untuk melaksanakan pekerjaan

sesuai dengan hirarki yang ada. Struktur organisasi pada dasarnya mengandung

penetapan batas-batas wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dengan

demikian diharapkan adanya satu kesatuan komando dalam penggerak dan langkah

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pemerintahan desa Namo Bintang sebagai suatu organisasi pemerintah

berdasarkan keputusan MENDAGRI dengan merujuk pada dua Undang-Undang

yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Desa

dan Undang-Undang No .5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa mempunyai

struktur organisasi yang didukung oleh sejumlah bawahan, maka dibentuk LKMD

(Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) sebagai DPR-nya desa yang mendampingi

Kepala Desa dan LMD (lembaga Musyawarah Desa) sebagai MPR-nya desa yang

bekerja sama dengan Kepala Desa dalam membuat keputusan desa, seperti terlihat

(25)

Gambar 2.1

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

DESA : NAMO BINTANG

KECAMATAN : PANCUR BATU

KABUPATEN : DELI SERDANG

PROVINSI : SUMATERA UTARA

Keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979

Sumber : kantor Kepala Desa Namo Bintang, 2007

Dari gambar di atas, terlihat bahwa desa Namo Bntang terbagi atas 5 (lima)

dusun, dimana kepala dusun langsung bertanggaung jawab kepada kepala desa, dan

masing-masing dusun mempunyai 2 (dua) rukun tetangga yang membantu

tugas-tugas kepala dusun.

Kepala Desa

LMD

Sekretaris Desa

1 2 3 4

Dusun I Dusun II Dusun III Dusun IV Dusun V

(26)

Sedangkan untuk membantu tugas-tugas Sekretaris Desa ada 4 (empat) orang

pembantu yang disebut dengan Kaur (Kepala Urusan) yakni masing-masing Kaur

Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesejahteraan Rakyat dan Kaur Keuangan.

Disamping itu struktur pemerintahan desa juga dilengkapi dengan Lembaga

Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Di

bawah ini diterangkan Struktur Organisasi desa Namo Bintang sesuai dengan

keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979.

Gambar 2.2

STRUKTUR ORGANISASI LKMD DESA NAMO BINTANG KECAMATAN

PANCUR BATU KABUPATEN DELI SERDANG

PROPINSI SUMATERA UTARA

KEPUTUSAN MENDAGRI NO. 27 TAHUN 1984

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari gambar di atas terlihat bahwa Ketua Umum didampingi oleh dua orang

ketua (ketua I dan Ketua II), disamping itu terlihat pula Sekretaris dan Bendahara.

Sepuluh seksi yang bertanggung jawab kepada diadakan guna melengkapi organisasi

tersebut, seperti tertera dalam keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979. Kesepuluh

seksi itu masing-masing Seksi I bidang Agama, Seksi II bidang P4, Seksi III bidang Ketua Umum

Ketua I

Ketua II

Bendahara Bendahara

(27)

Kamtibmas, Seksi IV bidang Pendidikan, Seksi V bidng PPLH (Lingkungan Hidup),

Seksi VI bidang Pembangunan, Ekonomi dan Koperasi, Seksi VII bidang Pemuda

dan Olahraga, Seksi VIII bidang Kesejahteraan Rakyat, Seksi IX bidang Kesehatan

dan Keluarga Berencana dan Seksi ke X bidang PKK (Program Kesejahteraan

Keluarga).

Sarana Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Namo Bintang yang bertujuan

untuk mengembangkan aspek-aspek kehidupan masing-masing seksi jumahnya relatif

kecil. Sarana-sarna LKMD yang sudah tersedia antara lain :

- Sarana keagamaan, dengan membentuk satu kelompok remaja mesjid yang

diberi nama Himpunan Remaja Mesjid Amal Nahdatul Namo Bintang

(HIRMAN) dan satu kelompok pemuda Gereja (PERMATA) GBKP serta

Naposo Nauli Bulung Gereja HKBP dan GKPS.

- Sarana Pemuda, dengan membentuk satu kesatuan Karang Taruna Namo

Bintang.

- Sarana olahraga, dengan membentuk satu kesatuan olahraga yang

memanfaatkan sarana lapangan olahraga volley dan lapangan sepak bola.

- Sarana kesehatan, dengan membangun satu unit Puskesmas pembantu serta satu

unit POSYANDU.

- Sarana organisasi sosial dengan membentuk satu kelompok anggota PKK dan

delapan anggota Dasawisma.

2.4 Sarana Umum

Seperti desa-desa lain di kecamatan Pancur Batu, sarana transportasi dalam

bentuk jalan, keseluruhannya sudah diaspal.arus hilir mudik kenderaan sering terlihat

di jalan raya, karena jalan tersebut merupakan sarana jalan yang menghubungkan

antara kecamatan Pancur Batu dengan kecamatan Deli Tua. Jarak antara Desa Namo

Bintang dengan Ibukota kecamatan Pancur Batu hanya berkisar 1,5 km yang biasa di

(28)

lima ribu rupiah. Sudah hal yang biasa apabila penduduk Desa Namo Bintang setiap

hari tampak berjalan kaki ke Pancur Batu untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya

dalam hal kebutuhan sehari-hari atau belanja dapur.

Sarana air bersih untuk keperluan sehari-hari dapat menggali sumur dengan

kedalaman 7-8 meter, serta dapat menggunakan fasilitas air ledeng atau PAM. Dalam

hal penerangan, sudah lama Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasuki daerah ini

dan hal ini dimanfaatkan oleh warga masyarakat yang mampu.

Di bidang kesehatan, di desa Namo Bintang terdapat satu unit Puskemas

Pembantu. Puskesmas ini mempunyai satu orang mantri yang melayani masyarakat

setiap hari untuk memeriksa kesehatannya. Apabia keadaan pasien dianggap cukup

serius, mantri tersebut merujuk pasien ke Puskesmas kecamatan di Pancur Batu yang

mempunyai tenaga medis sebanyak 6 orang. Selain Puskesmas Pembantu di desa

tersebut juga terdapat satu unit Pos Yandu (Pos Pelayanan Terpadu) yang merupakan

wadah penunjang kesehatan dan memusatkan perhatianya untuk memberi penyuluhan

tentang keluarga sehat dan bahagia.

2.5 Keadaan Penduduk

Berdasarkan Sensus pendataan Daftar Keadaan Jumlah Rumah Tangga Desa Namo

Bintang tahun 2007, jumlah penduduknya sebanyak 4.550 jiwa dengan jumlah kepala

keluarga sebanyak 1.107 KK. Jumlah penduduk trsebut, terdiri dari 2.283 jiwa

laki-laki dan 2.267 jiwa perempuan yang tersebar dalam lima dusun (Data Desa Namo

Bintang). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut.

Tabel 1

Komposisi Penduduk Desa Namo Bintang

No. Jenis Kelamin Jumlah(jiwa)

1 Laki-laki 2.283

2 Perempuan 2.267

(29)

Sumber : Data Desa Namo Bintang Tahun 2007

Tabel 2

Komposisi Penduduk Desa Namo Bintang

Menurut Kelompok Umur

No . Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1 0-5 182 199 381

2 6-15 403 547 950

3 16-25 582 425 1007

4 26-55 973 862 1835

5 56 ke atas 163 214 377

Jumlah 2303 2247 4550

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari tabel 2 di atas, tampak bahwa mayoritas penduduk Namo Bintang

berusia antara 26 tahun hingga 55 tahun sebanyak 1.835 jiwa yang terdiri dari jumlah

laki-laki 973 orang dan perempuan 862 orang. Kemudian diikuti oleh kelompok umur

16 tahun hingga 25 tahun yang berjumlah 1007 orang. Kelompok umur 6 – 15 tahun

jumlah keseluruhannya sebanyak 950 orang. Sedangkan kelompok umur balita antara

0–5 tahun berjumlah 381 orang. Kelompok umur yang paling sedikit adalah

kelompok umur 56 tahun ke atas yang berjumlah 377 orang.

Sarana pendidikan di desa Namo Bintang hanya tersedia untuk Sekolah Dasar

yaitu Sekolah Dasar Negeri dan Sekolah Dasar Inpres. Umumnya warga masyarakat

telah tamat SD melanjutkan sekolah SMP ke ibukota kecamatan Pancur

Batu.Demikian juga halnya untuk tingkat SLTA dilanjutkan ke Pancur Batu dimana

SLTP dan SLTA telah banyak tersedia baik itu negeri maupun swasta.

Pendidikan pada masa sekarang ini merupakan kebutuhan pokok atau

dirasakan sangat perlu. Di bawah ini disajikan data penduduk menurut pendidikan.

(30)

Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No. Tingkat pendidikan Jumlah

1 Tidak pernah sekolah 799

2 Belum sekolah 790

3 TK 409

4 Tidak Tamat SD 442

5 Tamat SD 822

6 Tamat SLTP 401

7 Tamat SLTA 356

8 Kursus/keterampilan 285

9 Diploma 216

10 Sarjana 30

Jumlah 4550

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari tabel 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk yang tamat

sekolah SLTA sangat besar jumlahnya yaitu sebanyak 799 orang, hal ini sudah dapat

dikatakan baik. Kemudian penduduk yang tamat SLTP berjumlah 790 orang disusul

penduduk yang tamat SD sebanyak 822 orang. Penduduk yang tidak pernah sekolah

berjumlah 285 orang, penduduk yang belum sekolah sebanyak 356 orang, sedangkan

TK sebanyak 30 orang dan kursus/keterampilan sebanyak 401 orang. Penduduk yang

setelah tamat SLTA yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi Akademi berjumlah 442

orang. Penduduk yang telah berhasil dari perguruan tinggi sebanyak 216 orang.

Berdasarkan Agamanya mayoritas penduduk desa Namo Bintang beragama Islam,

yaitu 2452 orang. Di bawah ini disajikan data penduduk desa Namo Bintang menurut

agama.

Tabel 2

Komposisi Penduduk Menurut Agama

(31)

1 Islam 2452

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari tabel di atas, tampak bahwa mayoritas penduduk desa namo bintang

menganut agama islam sejumlah 2452 orang, kemudian diikuti penganut agama

Khatolik sebanyak 1613 orang. Penganut agama Kristen Protestan sebanyak 186

orang. Sementara itu penganut agama Hindu sebanyak 16 orang dan penganut agama

Budha tidak ada, sedangkan yang mengikuti kepercayaan lain terdapat 284 orang.

Tempat ibadah berupa Mesjid, dan Gereja cukup tersedia kecuali untuk Vihara dan

Pura belum ada di desa Namo Bintang. Dengan perincian yaitu 4 buah Mesjid dan 9

buah Gereja.

Jenis mata pencaharian penduduk desa Namo Bintang beragam-ragam. Di

bawah ini disajikan data tentang jenis mata pencaharian penduduk.

Tabel 5

Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No. Mata pencaharian Jumlah (KK)

(32)

Dari tabel 5 tampak bahwa mayoritas penduduk Namo Bintang bekerja

sebagai petani, yaitu sejumlah 256 KK, kemudian diikuti oleh Pemungut barang

bekas sejumlah 241 KK.pegawai swasta sebanyak 143 KK, buruh sebanyak 87 KK.

Jasa misalnya supir, kondektur dan lain sebagainya berjumlah 84 KK, pedagang

berjumlah 67 KK, PNS/ABRI/TNI/POLRI berjumlah 65 KK sedangkan pensiunan

sebanyak 62 KK.

Akhirnya berdasarkan suku bangsa, data kepedudukan yang mendiami desa

Namo Bintang sebagai berikut.

Tabel 6

Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa

No. Suku Bangsa Jumlah (jiwa)

1 Jawa 1137

2 Batak Karo 910

3 Batak Toba 489

4 Batak Simalungun 419

5 Nias 85

6 Melayu 283

7 Lain-lain 1227

Jumlah 4550

Sumber : Data Desa Namo Bintang

2.6 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kotamadya

Medan

Tempat pembuangan Akhir Sampah Kotamadya Medan atau lazimnya

disingkat dengan TPA di desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten

Deli Serdang, terletak di sebelah Utara desa Namo Bintang dan mempunyai luas areal

sekitar 25 hektare. Jarak dari pemukiman ke areal TPA ini sekitar 1,5 km dan terletak

di pinggir jalan arah jalan besar Pancur Batu. Sedangkan jarak dari Kotamadya

(33)

Areal ini mulai diaktifkan sejak tahun 1987 yang pada mulanya hanya

memiliki lahan 5 hektare. Tetapi lahan yang sedemikian tidak dapat menampung

jumlah sampah, maka areal TPA ini ditambah dengan memilih lahan berupa

rawa-rawa. Sejak tahun 1992, TPA sampah Kotamadya Medan dibagi menjadi 2 bagian

yaitu di desa Terjun Kecamatan Belawan terletak di sebelah Utara Kotamadya

Medan dengan luas lahan 10 hektare.

Areal TPA di desa Namo Bintang ini mempunyai batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Medan.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Namo Bintang.

- Sebelah Timur berbatasan dengan PTP II Bekala.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Baru.

Adapun latar belakang berdirinya Tempat Pembuangan Sampah di desa Namo

Bintang ini, tidak begitu jelas, karena menurut penduduk setempat setelah ditutupnya

areal penampungan sampah di desa Simalingkar B kecamatan Medan Johor pada

tahun 1986, tiba-tiba tanah mereka yang berupa rawa-rawa ditimbun untuk sarana

jalan kenderaan. Tahun 1987 mulailah berdatangan truk-truk kontainer kecil

membuang sampah manutupi areal yang berupa rawa-rawa tersebut. Kemudian ketika

mereka menanyakan hal ini kepada Kepala Desa, maka Kepala Desa manerangkan

bahwa areal Namo Bintang dijadikan TPA, dan mereka tidak akan diberi ganti rugi.

Jalan yang menghubungkan TPA dengan pemukiman penduduk cukup baik,

yaitu jalan yang dibangun PD. Dinas Kebersihan Tingkat II Medan, sepanjang 1 km

dan diaspal.

2.7 Jenis, Sumber dan Jumlah Sampah

Pengelola sampah Namo Bintang adalah Perusahaan Daerah Kebersihan

Tangkat II Medan. Sampah-sampah yang masuk ke lokasi TPA ini berasal dari

Kotamadya Medan seluruhnya. Sampah yang masuk ke lokasi ini dapat digolongkan

dalam beberapa golongan yaitu :

(34)

Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik yang sifat sampah adalah

cepat busuk.

Contoh : sisa sayuran, daging, buah-buahan, daun-daunan dan lain-lain.

2. Sampah Kering (Rubish)

Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik maupun anorganik yang

sifatnya sukar membusuk.

Contoh : logam dan bukan logam.

3. Sampah Lunak

Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berupa

partikel halus, dapat beterbangan di udara dan bersifat menimbulkan

gangguan/bahaya bagi pernafasan dan pemandangan.

Sedangkan sumber sampah dapat digolongkan atas :

1. Sampah Pasar/Komersil

Sampah komersil adalah sampah yang berasal dari kegiatan-kegiatan komersil

dan perdagangan seperti toko-toko serba ada (super market), restaurant, pasar,

tempat hiburan dan lain-lain sehingga sampah pasar dapat berupa sisa –sisa

makanan sayuran, buah-buahan, plastik bekas, karet, karet tekstil dan lain-lain.

2. Sampah Domestik

Sampah domestik adalah sampah pemukiman dan merupakan produk kegiatan

sehari-hari di rumah dan di sekitar rumah. Sebahagian besar bahan-bahan yang

diperlukan di rumah berasal dari pasar. Sampah domestik juga termasuk sampah

yang berasal dari sisa-sisa pembersihan pekarangn/halaman, sisa-sisa makanan

dan sayuran, sisa buah-buahan, bekas pembungkus, kertas, kaca, kaleng bekas,

perabot rusak dan lain sebagainya.

3. Sampah Industri/Pabrik

Sampah industri/pabrik merupakan barang material bekas proses industri pabrik.

Misalnya sisa bahan baku yang tidak terpakai lagi, sisa bahan pengepakan atau

(35)

Sebagai contoh : industri farmasi mengahasilkan sampah berupa sisa bahan

obat-obatan, kosmetik dan lain-lain. Industri pengalengan makanan menghasilkan

sampah berupa kaleng bekas, kawat dan lain sebagainya

Jumlah sampah diangkut setiap harinya ke TPA sangat besar, dimana metoda

pengangkutannya dibagi atas dua cara, yaitu :

1. Pengangkutan yang dimekanisasi, dilengkapi dengan alat-alat mekanis ke

dalam kenderaan disertai alat pemadat atau tidak dilengkapi dengan alat

pemadat.

2. Pengangkutan dengan tenaga manusia.

Pengangkutan yang dimekanisasi adalah truk-truk kontainer besar atau kecil

yang menurut petugas kebersihan tingkat II Medan di lokasi penelitian

berjumlah 40 unit. Masing-masing unit dapat mengangkut 3-4 kali rit setiap

hari, dimana kontainer tiap ritnya mengangkat sampah sekitar 7-8 ton,

sedangkan kontainer kecil mengangkut sampah setiap ritnya sebanyak 3-4 ton.

Berdasarkan pengamatan selama penelitian terhadap beberapa aktivitas

sehari-hari, sudah dimulai sejak subuh. Beberapa Pemungut barang bekas mulai berangkat

dari rumah pada pukul 04.00 Wib dengan membawa penerangan berupa obor yang

terbuat dari bambu. Umumnya yang bekerja pada dini hari ini adalah kaum laki-laki.

Mereka mulai mengais-gais di antara tumpukan-tumpukan sampah yang sudah

menggunung. Sedangkan para perempuan tinggal di rumah mempersiapkan makanan

pagi dan siang, sekaligus memberangkatkan anak-anak bersekolah.

Alasan mereka berangkat dini hari melakukan pekerjaan memungut barang

bekas, seperti yang di tuturkan oleh Bapak Joseph (etnik Toba) mengatakan :

(36)

Hal tersebut dapat diterima, karena jumlah yang bekerja pada pagi hari

maksimum 30-35 orang. Mereka bekerja hingga pukul 18.30 Wib dengan penghasilan

sekitar dua karung goni barang-barang bekas.

Setelah tiba di rumah, Pemungut barang bekas yang bekerja dini hari tersebut

hanya untuk makan pagi sekaligus memberi makan ternak seperti babi dan ayam.

Kemudian bersama-sama dengan istri dan anak-anak mereka berangkat lagi ke TPA

untuk memungut barang bekas dengan membawa makan siang mereka ke TPA dan

makan bersama-dama di antara kerumunan lalat dan bau sampah yang menusuk

hidung. Istirahat siang bagi para Pemungut barang bekas hanya sebentar saja, yaitu

antara pukul 12.00-13.00 Wib kemudian dilanjutkan dengan mengais-ngais tumpukan

sampah dengan alat gancu besa dan terus mencari barang-barang bekas yang mereka

butuhkan.

Pemandangan yang paling menakjubkan terlihat ketika Pemungut barang

bekas yang ada pada umumnya laki-laki saling mengejar truk kontainer yang masih

jauh dari kejauhan datang membuang sampah ke lokasi. Dengan tidak merasa takut,

mereka memanjat truk naik ke dalam bak kontainer tersebut, para Pemungut barang

bekas mengais-ngais dan mengorek sampah dengan cepat sebelum sampah dibuang

pada tempat yang telah ditentukan oleh petugas keamanan. Kejadian seperti ini telah

pernah meminta korban iwa pada tahun 1989, yaitu seorang anak berumur 15 tahun,

seperti yang dituturkan oleh Bapak Tarigan (etnik Karo) :

(37)

Kejadian-kejadian yang menguntungkan atau rezeki yang didapat secara

tiba-tiba, sering dialami oleh Pemungut barang bekas. Mereka sering mendapat sepatu

yang masih layak pakai, rokok satu selop atau beberapa bungkus dari merek terkenal,

tas belanja, tas sekolah, dompet dan nasi bungkus atau nasi kotak yang belum

disentuh. Barang-barang yang demikian tidak mereka jual, melainkan dipakai sendiri,

sedangkan nasi bungkus atau nasi kotak itu mereka manfaatkan untuk makanan

ternak peliharaan. Bahkan mereka pernah mendapat cincin emas ataupun jam tangan

yang mungkin pemiliknya tanpa sengaja membuang ke tong sampah.

Peristiwa lain, terjadi pada tahun 1997, ketika Ibu Yuli (etnik Karo) mendapat

rezeki yang besar yaitu sebuah tas genggam berwarna merah. Berikut ini hasil

penuturannya kepada penulis :

“….. waktu itu siang hari, saya dan beberapa orang teman pemulung bekerja ditumpukan sampah yang dibuang tadi pagi. Tiba-tiba gancu saya mengait sebuah tas berwarna merah, ketika saya buka isinya ternyata uang pecahan Rp 10.000 dan Rp 20.000 banyak sekali. Saya sangat terkejut dan hampir tidak percaya melihat hal itu. Saya bisikkan kepada suami saya dan dia langsung mengajak saya ke rumah. Setiba di rumah kami menghitung jumlah uang yang sudah lembab dan jumlahnya sangat besar bagi kami yaitu Rp. 1.550.000. kami sangat gembira, sehingga suami saya tidak dapat menyimpan rahasia ini dan memberitahukannya kepada teman-teman Pemungut. Sore harinya kami tidak lagi ke TPA dan di rumah menjemur uang itu. Malam harinya teman saya datang dan menceritakan bahwa siang tadi ada polisi datang ke TPA menanyakan kalau kami ada mendapat tas berisikan uang. Saat itulah suami saya tidak dapat menahan rahasia itu dan memberitahukan bahwa sayalah yang mendapat tas berisi uang itu.Esok harinya tersebarlah berita di antara Pemungut barang bekas, bahwa kami beruntung mendapatkan uang sebesar itu…..”.

Beberapa Pemungut barang bekas mengisahkan bahwa tas adalah hasil

kejahatan di daerah Medan Perjuangan Kotamadya Medan. Mungkin saja ketika

penjahat melakukan aksinya, masyarakat melihat dan mengejarnya. Untuk

menyelamatkan tas itu penjahat melemparkan tas tersebut ka dalam tong sampah

dengan maksud setelah situasi aman akan mengambilnya kembali. Tapi naas bagi

(38)

sampah dan menumpahkan segala isinya ke bak kontainer, selanjutnya dibawa atau

dibuang ke TPA Namo Bintang.

Ketika penulis menjelaskan ibu Yuli bahwa tindakan itu adalah tindakan

kriminal, karena mengambil barang yang bukan sah menjadi miliknya, ibu Yuli

menjawab dengan enteng :

“…..Kakak ini bagaimana, saya kan bukan mencuri atau merampas milik orang itu. Ini kan hasil dari pekerjaan saya sebagai Pemungut barang bekas. Jadi segala yang saya dapat di sini adalah rezeki saya kak, apa bedanya tas itu dengan sampah bekas yang lain yang kami kumpukan selama ini, hanya saja isi tas itu berupa uang tunai…..”

(39)

BAB III

Gambaran Umum Tentang Pemulung

3.1 Sekilas tentang pemulung

Rebong mendeskripsikan tentang pemulung, dimana kelompok masyarakat

yang satu ini, umumnya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan

papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan. Ada usaha mengumpulkan barang

bekas dari timbunan berbagai macam barang yang sudah tidak terpakai lagi seperti

logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca (beling), aluminium,

potongan-potongan kayu dan aneka macam kertas. Oleh mereka, tempat pengumpulan barang

sering dikenal dengan istilah lapak. Kondisi mereka telah cukup baik karena telah

terorganisir dan terkontrol, sehingga dari kondisi hunian pun mereka telah cukup

baik. Artinya mereka tidak tercecer dan asal bangun saja, mereka telah menetap

walupun sifatnya hanya sementara (Rebong, 1984:140)

Dalam perkembangannya, bahwa mereka bekerja di sektor informal, hidup

secara subsisten dari hari ke hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan

politik. Mereka terabaikan dan tidak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal

: pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik dan lain-lain. Semakin

mereka terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk melampiaskan, maka

muncullah ledakan-ledakan psikologis, emosional, dan sosial dalam berbagai bentuk,

seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pelacuran, tawuran atau

agresivitas massa. Semua itu merupakan ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan

(40)

Faktor yang menjadikan seseorang itu jadi pemulung adalah dikarenakan tidak

mempunyai keterampilan, tidak mempunyai uang unuk modal, tingkat pendidikan

rendah dan bahkan belum pernah menikmati bangku pendidikan. Oleh karena itu

mereka memilih bekerja sebagai pemulung yang memang gratis dan tidak

membutuhkan modal yang besar.

Inilah sekelumit tentang pemulung yang telah peneliti peroleh, kiranya dapat

membantu dalam memahami dan mengenal asal-usul mereka.

Sebagai pembahasan selanjutnya, dibawah ini penulis akan mendeskripsikan

keadaan para pemulung tersebut.

3.2 Keadaan Pemulung

Pembahasan mengenai keadaan pemulung ini, dalam pendeskripsiannya akan

lebih tampak kepada persoalan seputar profil. Adapun poin-poin yang akan diuraikan

dalam pembahasan ini adalah seputar kehidupan sehari-hari mereka dalam bidang

perekonomian, kehidupan sosial, pendidikan dan kehidupan keagamaan, hingga

kesehatan mereka.

a. Seputar Kehidupan Ekonomi

Berdasarkan pengamatan dan informasi, bagi pemulung di sini, “mulung” atau

“nyari” umumnya sebagai bentuk mata pencaharian atau pekerjaan. Terutama untuk

menafkahi anak-anak dan isteri mereka, informan komar (bukan nama sebenarnya)

menuturkan bahwa ia datang ke Medan adalah untuk mencari nafkah. Penuturan

(41)

dan mengaku sebelumnya pernah bekerja di Jakarta juga menuturkan, ia menjadi

pemulung karena disana baginya tidak ada pekerjaan (pen).

Selain sebagai migran yang datang ke Kota Medan untuk mencari pekerjaan.

Mereka menjadi pemulung, karena faktor pendidikan yang minim serta ekonomi yang

kurang. Untuk pendidikan mereka umunya terbilang rendah, sangat jarang ditemui

yang berpendidikan menengah apalagi pendidikan tinggi. Informan Maman (bukan

nama sebenarnya) menuturkan karena faktor pendidikan mereka kurang dan faktor

tidak punya uang untuk modal, maka bekerja sebagai pemulung yang memang gratis

dan tidak membutuhkan modal yang besar lebih baik.

Selain faktor pekerjaan dan pendidikan, diantara mereka menjadi pemulung

karena menunggu masa panen saja. Artinya, mereka datang ke kota ini selama musim

paceklik, dan kembali setelah mereka mendapatkan modal yang cukup untuk apa

yang mereka ingin lakukan di desa, terutama untuk kebutuhan pasca panen. Seperti

penuturan Naima (bukan nama sebesarnya) salah satu pemulung disini asal Langkat,

ketika ditanya tentang apa yang mendorongnya menjadi pemulung. Ia menuturkan,

bahwa mulung baginya untuk sementara saja, yakni mengisi waktu kosong

(menganggur) di kampung. Musim panen ia kembali pulang, pada musim mandur

(menyamai benih padi sampai ditanam) ia kembali ke sini sebagai pemulung. Hal ini

ia lakukan berulang-ulang, dan ia pun menikmatinya. Informan lain menuturkan,

bahwa mulung (nyari) baginya pekerjaan kedua, karena di pagi hari ia bekerja sebagai

penarik becak dan siang hari ia sebagai pemulung. Ia melakukan hal ini sebagai

pengisi waktu kosong saja. Dari informasi tersebut, dapat dilihat bahwa di antara

(42)

(pokok). Disisi lain ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan kedua saya

(sampingan atau sementara).

Pemulung di sini rela menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi mencari

barang-barang bekas sebagai tumpuan yang dapat merubah masa depan mereka ada

yang mulai berangkat kerja antara jam lima dan jam enam pagi. Ada juga yang mulai

kerja jam tujuh pagi. Hal tersebut tergantung tempat yang akan mereka tuju. Bila

tempat itu relatif dekat, maka berangkatnya pun sekitar jam tujuh pagi. Namun bila

tempat itu jauh, maka berangkatnya sekitar jam lima atau jam enam pagi. Informasi

Komar menuturkan, mereka biasanya mulai bangun tidur antara jam empat dan lima

pagi. Ibu Yuli (bukan nama sebenarnya) salah satu pemulung asal Tanjung Balai juga

menuturkan, bila ia kelilingnya jauh maka berangkatnya setelah sholat subuh, dan

bila kelilingnya dekat ia berangkat jam tujuh pagi setelah selesai pekerjaanya di

rumah. Pulangnya kadang-kadang siahg atau sore sebelum maghrib. Ia biasa keliling

ke Jl. H.M. Thamrin sampai ke Jl. Putri Hijau.

Berbeda dengan penuturan Bang Ali ketika ditanya seputar mulai berangkat

kerja. Ia menuturkan berangkat kerja jam enam pagi, pulang kadang-kadang jam dua

belas siang, kadang-kadang bagaimana pendapatannya. Bila sudah dapat banyak, jam

dua belas ia sudah pulang, kadang-kadang sore jam tiga baru pulang. Dari beberapa

keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keberangkatan dan kepulangan mereka

dalam kerja adalah tidak tentu tergantung keadaan saat itu. Dalam artian tergantung

penghasilan yang mereka peroleh.

Sikap tidak kenal menyerah dan kerja keras nampak dalam diri mereka.

(43)

sikap demikian yakni bersaing dan kerja keras dalam bekerja. Persaingan yang terjadi

diantara mereka adalah persaingan sehat. Hal tersebut tampak dari kebebasan dalam

bentuk usaha. Tampak diantara lapak yang ada, mengumpulkan dan menjual barang

bekas yang sama tanpa ada pelarangan yang berakibat persaingan yang tidak sehat

dan melahirkan konflik. Begitu juga dengan sesama pemulung, tampak mencari dan

menjual barang-barang bekas ditempat yang sama pula.

Ada satu hal yang menarik mengenai bidang pekerjaan mereka. Dimana

seperti berdasarkan keterangan sebelumnya, diantara mereka ada yang menjadi

pekerjaan mulung ini sebagai pekerjaan kedua saya (sampingan atau sementara). Bagi

mereka yang menjadi pemulung sementara ini, tampak juga memiliki pekerjaan lain

seperti buruh bangunan, tukang cuci, penarik becak. Biasanya hal ini terjad manakala

mereka mengalami penurunan penghasilan (usaha sedang sepi, pen).

Berdasarkan pengamatan dan informasi, pendapatan mereka untuk masa-masa

sekarang tampak mengalami penurunan, tampak ketika mereka kembali dari

pencariannya. Bagi mereka penghasilan yang dulunya mudah didapatkan, sekarang

menjadi lebih susah. Kemungkinan terbesar adalah diakibatkan oleh semakin

banyaknya jumlah pemulung yang tersebar di daerah ini. Mereka biasanya sehari itu

mendapat penghasilan sebesar tiga puluh ribu rupiah saja. Bahkan ada juga seperti

penuturan Ibu Yuli, kadang-kadang ia sehari hanya mendapatkan lima belas ribu

rupiah, itu pun bila ia sudah berusaha keliling kesana kemari.

Dari keterangan di atas, memberi pemahaman bahwa perubahan telah terjadi

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa
Gambar 2.2 STRUKTUR ORGANISASI LKMD DESA NAMO BINTANG KECAMATAN
Tabel 1
Tabel 2
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan website Alex Fitnes Center ini dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP dan MySQL Dalam hal ini penulis menggunakan program macromedia dreamweaver mx untuk

Bagi PNS yang sudah melakukan registrasi namun belum menyelesaikan pengisian data e-PUPNS, atau status data masih pada PNS yang bersangkutan, segera melakukan

(Inamdar et al., 2008) applied the method proposed in (Piti´e et al., 2007) to use with multidimensional data i.e., mul- tispectral satellite images. Particularly, the N-D

Berdasarkan uraian yang telah diungkapan dalam pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi Grup Victroria, terdiri dari:  Penilaian sendiri atas pelaksanaan tata kelola terintegrasi

Our contribution is the proposal of important spectral regions and indices (i.e. combinations of light colors) for the use of forensic light sources and hyperspectral imaging

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI BANTUL TENTANG PEMBENTUKAN TIM INTENSIFIKASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN TINGKAT KECAMATAN DAN DESA SE KABUPATEN

Pokja ULP BKKBN Pusat TA.2017 akan melaksanakan pelelangan e-Seleksi Umum dengan prakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan jasa konsultansi secara elektronik

dilihat pada gambar 3.1. Gambar 3.1 Struktur Organisasi Manajemen Coca-Cola Amatil Indonesia. 3.5.1 Job description Coca Cola Amatil Indonesia A.. 2) Menjalin hubungan baik