KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PEMULUNG
(Studi Antropologi Tentang Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung Etnik Batak di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur BatuKabupaten Deli Serdang)
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Nimrah Khairani Bb
020905007
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah
satu kewajiban dan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Antropologi di Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan,
dorongan, nasehat dan bahkan bantuan secara moral dan material dari berbagai pihak,
untuk itu penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
- Bapak Prof. Dr. .M. Arif Nasution, M.A, selaku dekan FISIP USU.
- Bapak Drs. Zulkifli B Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu
Antropologi Sosial FISIP USU
- Bapak Drs. Irfan Simatupang, MA selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Antropologi Sosial FISIP USU dan juga sekaligus Pembimbing I skripsi
yang telah berkenan membimbing dan mengarahkan penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
- Bapak Drs. Agustrisno, M.A, selaku Pembimbing II skripsi
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
- Kedua orang tua atas segala do’a, kasih sayang, nasehat serta dukungan
yang diberikan kepada ananda.
- Kepada abang-abang dan kakak-kakak serta adek penulis atas segala
nasehat, dukungan dan bantuan moril ataupun material yang kalian beri
untuk penulis.
- Kepada Sri Mulyani, kamu teman terbaik dalam hidupku. Kamu selalu
ada di saat aku membutuhkanmu.
- Teman-temanku angkatan 02-03, David, Indra, Zulbahri, Rudolf,
Wiyono, Tere, Maya, Indra Sinaga, Nana, Ana, Rahmi, Endang. Dan
semua teman-teman yang penulis kenal.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa ilmu
pengetahuan dan kemampuan penulis sangat terbatas dan tentunya masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan, baik materi, sistematika maupun pembahasannya.
Oleh karena itu, penulis senantiasa menerima kritikan dan saran-saran dari pembaca.
Medan, Oktober 2007 Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAK ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5
1.3.2. Manfaat Penelitian ... 6
1.3.3. Lokasi Penelitian ... 6
1.4. Tinjauan Pustaka ... 6
1.5. Metode Penelitian ... 13
1.5.1. Tipe Penelitian ... 13
1.5.2. Informan ... 13
1.6. Teknik Pengumpulan Data ... 14
1.6.1. Wawancara ... 14
1.6.2. Observasi ... 15
1.7. Teknik Analisa Data ... 15
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN DESA NAMO BINTANG ... 16
2.1. Sejarah Singkat Desa Namo Bintang ... 16
2.2. Letak Geografis ... 16
2.3. Struktur Organisasi Pemerintahan ... 17
2.4. Sarana Umum ... 21
2.5. Keadaan Penduduk ... 21
2.6. Gambaran Umum TPA Kodya Medan ... 26
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PEMULUNG ... 33
3.1. Keadaan Pemulung... 34
3.1.1. Seputar Kehidupan Ekonomi ... 34
3.1.2. Seputar Pendidikan ... 38
3.1.3. Seputar Sosial ... 40
3.1.4. Seputar Keagamaan ... 44
3.1.5. Seputar Kesehatan ... 47
3.2. Struktur Sosial Pemulung Barang Bekas ... 49
3.2.1. Sistem Kekerabatan ... 49
3.2.2. Hubungan Antara Suami dengan Istri ... 49
3.2.3. Hubungan Antara Anak dengan Orang Tua ... 50
3.2.4. Hubungan Antara Anak dengan Anak ... 52
3.2.5. Hubungan Antara Sesama Pemulung Barang Bekas ... 53
3.2.6. Hubungan Antara Pemulung dan Majikan / Penadah ... 55
3.2.7. Hubungan Antara Pemulung dengan Petugas Keamanan ... 60
3.2.8. Hubungan Antara Pemulung dengan Pemilik Warung ... 63
3.2.9. Hubungan Antara Pemulung dan Supir Truk ... 65
3.2.10. Hubungan Dalam Bidang Keagamaan atau Kepercayaan 66
3.2.11. Hubungan Dalam Bidang Kekerabatan ... 70
3.2.12. Hubungan Dalam Bidang Ketertiban ... 76
BAB IV DESKRIPSI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI LIMA KELUARGA PEMULUNG BARANG BEKAS ... 79
4.1. Keluarga Khrisnayan Lumban Gaol... 79
4.2. Keluarga Joseph Napitupulu ... 84
4.3. Keluarga Parasian Purba ... 88
4.4. Keluarga Robert Sembiring... 95
4.5. Keluarga Marco Butar-Butar... 101
BAB V ANALISA DAN KESIMPULAN SERTA SARAN ... 105
5.1. Analisa ... 105
5.2. Kesimpulan ... 108
5.3. Saran ... 110
ABSTRAKSI
Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung, Studi Deskriptif tentang kehidupan sosial ekonomi keluarga pemulung, (Nimrah Khairani BB. 2007). Skripsi ini terdiri dari lima bab, … halaman, … tabel, … daftar pustaka, … lampiran yang terdiri dari surat penelitian, surat pernyataan dan gambar-gambar kegiatan pemulung barang bekas.
Pemulung barang bekas identik dengan gelandangan, yang sebahagian masyarakat umum memendang pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang hina dan dina. Tetapi bagi mereka pekerjaan ini mempunyai makna yang sangat besar karena dilakukan dengan cara yang halal. Bukan gelandangan yag melakukan pekerjaan sebagai pencuri atau menjadi WTS / Pelacur.
Walaupun mereka berada pada status sosial yang paling bawah, namun mereka tetap memiliki kebahagiaan dan harapan-harapan yang cerah untuk masa depan. Mereka tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup dalam kehidupan sekaligus selalu berusaha membangun dan memupuk harapan-harapan, walaupun kehidupan hari esok belum tentu lebih baik dari hari ini.
Predikat “Laskar Mandiri” masih terasa berat untuk dipikul, karena uluran tangan yang begitu sangat diharapkan kini belum terealisasi makna dan wujudnya dari hasil penelitian, pemulung barang bekas yang berada di Tempat Pembuangan Akhir Sampah untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, mereka menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan akrab dengan berbagai pihak bersama-sama dengan mereka di tempat bekerja.
Hubungan antara sesama pemulung barang bekas adakalanya bekerjasama mengumpulkan barang bekas bagi mereka yang mempunyai status bujangan biasa. Bentuk kerja sama ini hanya bersifat sementara, demikian juga dengan anggota-anggota kelompoknya. Dengan kata lain, pembentukan kelompok ini berdasarkan atas kesepakatan bersama pada hari yang cerah dengan membentuk atau menentukan orang-orang yang akan memulung ke tiap-tiap sektor. Jumlah anggota kelompok ini beraneka ragam dan biasanya mencapai 4 sampai 5 orang.
ABSTRAKSI
Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung, Studi Deskriptif tentang kehidupan sosial ekonomi keluarga pemulung, (Nimrah Khairani BB. 2007). Skripsi ini terdiri dari lima bab, … halaman, … tabel, … daftar pustaka, … lampiran yang terdiri dari surat penelitian, surat pernyataan dan gambar-gambar kegiatan pemulung barang bekas.
Pemulung barang bekas identik dengan gelandangan, yang sebahagian masyarakat umum memendang pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang hina dan dina. Tetapi bagi mereka pekerjaan ini mempunyai makna yang sangat besar karena dilakukan dengan cara yang halal. Bukan gelandangan yag melakukan pekerjaan sebagai pencuri atau menjadi WTS / Pelacur.
Walaupun mereka berada pada status sosial yang paling bawah, namun mereka tetap memiliki kebahagiaan dan harapan-harapan yang cerah untuk masa depan. Mereka tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup dalam kehidupan sekaligus selalu berusaha membangun dan memupuk harapan-harapan, walaupun kehidupan hari esok belum tentu lebih baik dari hari ini.
Predikat “Laskar Mandiri” masih terasa berat untuk dipikul, karena uluran tangan yang begitu sangat diharapkan kini belum terealisasi makna dan wujudnya dari hasil penelitian, pemulung barang bekas yang berada di Tempat Pembuangan Akhir Sampah untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, mereka menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan akrab dengan berbagai pihak bersama-sama dengan mereka di tempat bekerja.
Hubungan antara sesama pemulung barang bekas adakalanya bekerjasama mengumpulkan barang bekas bagi mereka yang mempunyai status bujangan biasa. Bentuk kerja sama ini hanya bersifat sementara, demikian juga dengan anggota-anggota kelompoknya. Dengan kata lain, pembentukan kelompok ini berdasarkan atas kesepakatan bersama pada hari yang cerah dengan membentuk atau menentukan orang-orang yang akan memulung ke tiap-tiap sektor. Jumlah anggota kelompok ini beraneka ragam dan biasanya mencapai 4 sampai 5 orang.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan pembangunan Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan masyarakat
Indonesia seutuhnya berarti meliputi semua aspek kehidupan penduduk, baik yang
bersifat material maupun spiritual. Manusia yang dalam hal ini merupakan bagian dari
pembangunan memiliki kedudukan tersendiri yang perlu di upayakan penanganannya
agar dapat memberi manfaat bagi perkembangan pembangunan yang sedang maupun
yang akan berlangsung. Dari kedudukan manusia dalam proses pembangunan,
memberi pengertian bagi kita bahwa faktor penduduk adalah sangat penting.
Seperti kita ketahui bersama bahwa keberhasilan suatu pembangunan antara
lain diukur melalui kemampuan menyediakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya
kepada masyarakat dan kegagalan pembangunan juga diukur melalui sejauh mana
dapat mengatasi pengangguran. Mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan
menomorduakan kesempatan kerja memang sering terjadi di banyak negara dunia
ketiga (Juoro, dalam Prisma 1983:33).
Persoalan ketenaga kerjaan merupakan persoalan yang sangat menghantui
negara-negara dunia ketiga pada saat sekarang ini termasuk Indonesia. Rendahnya
tingkat pertumbuhan ekonomi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998
membuat ketersediaan lapangan kerja menjadi sangat sedikit. Pada sisi lain jumlah
angkatan kerja baru pada tiap tahunnya semakin meningkat jumlahnya. Oleh karena itu
tingginya angka pengangguran semakin meningkat setiap tahunnya.
Lapangan pekerjaan merupakan suatu masalah yang cukup pelik bagi banyak
pihak, baik bagi pemerintah sendiri yang dianggap sebagai pihak berkewajiban untuk
menyediakan maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang membutuhkannya. Program
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata belum mampu untuk bisa
menyediakan berbagai kebutuhan akan lapangan kerja bagi masyarakat. Ketidak
pesat, sehingga lapangan kerja yang diciptakan tidak dapat mengimbangi laju
pertumbuhan penduduk, rendahnya tingkat investasi baik lokal maupun pihak-pihak
luar lainnya.
Seperti telah di jelaskan di atas, Indonesia sebagai salah satu negara yang
sedang berkembang, saat ini sedang menghadapi masalah yang krusial terutama
dibidang ketenaga kerjaan. Data dari Biro Pusat Stastik melaporkan bahwa pada
tahun 2004 penduduk Indonesia mencapai lebih 220 juta jiwa. Dari jumlah itu
Indonesia digolongkan sebagai negara nomor empat paling banyak penduduknya di
dunia ini.
Jumlah penduduk yang besar ini disatu sisi merupakan modal besar bagi
pembangunan nasional, namun di sisi lain merupakan masalah serius dalam
penyediaan lapangan kerja dan segera mendapat pembangunan. Ketidak seimbangan
antara besarnya jumlah angkatan kerja dengan sektor ketenaga kerjaan atau
peluang-peluang untuk mendapatkan pekerjaan, menimbulkan masalah yang rumit pada saat
ini. Ketimpangan itu jelas kita lihat antara peningkatan angkatan kerja disatu pihak
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja itu
sendiri.
Sejalan dengan uraian di atas dapat kita lihat bahwa masih banyak tenaga
kerja yang menganggur terutama di perkotaan. Hal ini disebabkan betapa
sulitnya saat saat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, terutama
disektor formal yang sampai saat ini masih merupakan jenis pekerjaan yang ideal dan
diminati banyak orang. Mereka yang gagal memasuki pekerjaan disektor formal
karena berbagai alasan akan memasuki pekerjaan disektor lain, dalam hat ini sektor
informal. Bagi banyak orang merupakan pilihan terakhir, tetapi bukan tidak banyak
yang memilih jadi pengangguran ataupun setengah pengangguran. Keadaan ini
memang sangat membingungkan berbagai pihak, teruma pihak pemerintah sebagai
penyusun kebijakan-kebijakan ekonomi yang mencakup tentang kesempatan kerja.
Tenaga-tenaga kerja yang tidak mampu masuk dalam pekerjaan yang
ternyata bidang pekerjaan ini cukup mampu memberikan sumbangan yang berarti
terhadap penanggulangan masalah kependudukan yang berkaitan dengan sektor
ketenaga kerjaan.
Saat ini perkembangan kota telah melaju pesat sebagai akibat pertambahan
penduduk kota secara alami, ditambah lagi dengan terjadinya urbanisasi.Urbanisasi
itu sendiri seperti kita ketahui umumnya dilakukan mereka yang berada pada usia
produktif, hingga kemudian melahirkan masalah melimpahnya tenaga kerja tersebut,
sedangkan lapangan kerja di sektor formal dan industri belum lagi dapat
menampungnya. Persoalan ini pada akhirnya akan bermuara pada persoalan
kemiskinan. Meskipun sebenarnya alternatif untuk memperoleh pekerjaan lebih
terbuka di perkotaan dibanding dengan di pedesaan, namun kemiskinan di perkotaan
itu tetap saja ada atau laten (Suparlan,1984).
Kehidupan kota yang kompleks dengan penekanan terhadap penting dan
tingginya nilai pekerjaan yang menggunakan pemikiran dan keahlain serta adanya
suatu spesialisasi-spesialisasi kerja dalam pekerjaan, telah menyebabkan adanya
berbagai industri jasa (dari yang sederhana sampai yang kompleks dan modern).
Memulung sebagai salah satu pilihan pekerjaan di sektor informal, dalam hal ini
memberikan jalan keluar dari keruwetan para pencari kerja, karena ia tidak menuntut
keahlian yang begitu khusus. Modal utama sebenarnya adalah tenaga, kesabaran dan
mental (motivasi), ditambah fasilitasnya. Mereka tentunya masih memiliki nilai-nilai
budaya tertentu yang dalam melakukan aktivitas pekerjaan atau memberikan arah dan
pendorong dalam setiap tata kehidupannya (Koentjaraningrat,l986). Walaupun
mereka telah terpisah jauh secara fisik dengan pusat budaya-nya, namun di daerah
rantau mereka berusaha untuk menyesuaikan diri. Sebuah falsafah hidup yang
berbunyi "dimana tanah dipijak, di situ langit dijunjungan" selalu mengiringi misi
budaya dan setiap tindak-tanduk mereka di daerah rantau untuk menjaga mereka agar
bisa tetap survive.
Selain dari kenyataan di atas dapat pula kita jumpai bahwa pada umumnya
pemulung ini (suku Batak) memang memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tamat
berpengaruh terhadap cara-cara berpikir mereka, yang ada giliranya akan berakibat
pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Kondisi kehidupan mereka yang selama ini
senantiasa akrab dengan berbagai bentuk kekurangan, dalam hal ini tampak dari hasil
pendapatan yang mereka peroleh sebagai pemulung yang mana hanya cukup untuk
mengganjal perut dari hari-ke hari. Dengan kata lain hanya pas - pasan saja. Bahkan
kenyataan yang tampak bahwa dari kebanyakan keluarga pemulung asal suku Batak,
mereka tetap saja marginal dan cenderung miskin. Masalah mereka sebenarnya
berkaitan dengan permasalahan relasi sosioal budaya sebagai implikasi dari
konstruksi citra negatif yang dialamatkan pada kehidupan semacam ini oleh
masyarakat dan pemerintah. Parsudi Suparlan (1984:179) melihat bahwa kaum
marginal tidak memiliki tempat tinggal tetap, mempunyai pekerjaan tak layak, seperti
pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan lainnya. Moeliono dan Anggal
menjelaskan, bahwa mereka bekerja disektor informal, hidup secara subsisten dari ke
hari-hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan politik. Mereka
terabaikan dan tak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal: pendidikan,
kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik, dan lain-lain. Selanjutnya keseluruhan
kondisi tersebut diatas menimbulkan cenderung miskin, yang pada akhirnya
menimbulkan beberapa pertanyaan : (1) Apa yang menjadi latar belakang mereka
terjun kebidang pekerjaan tersebut : ( 2 ) Apa yang menjadi permasalahan mereka dan
faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi pengaruh terhadap kondisi kehidupan
sosial ekonomi mereka.
1.2. Perumusan Masalah
Sebagai pemulung penghasilan yang diperoleh dipengaruhi berbagai faktor,
baik dari dirinya sendiri maupun dari luar ( eksternal ). Mengenai jam kerja mereka
biasanya dimulai pagi hari sekitar pukul 6.00 wib, dan berakhir pada sore harinya.
Dari sekian panjang jam kerja mereka bisa dikatakan hanya sebagian kecil
jam kerja saja yang tergolong produktif.
Adanya tingkat pendidikan yang rendah bahkan tidak sama sekali tentunya
akan berakibat terhadap situasi kehidupan sosial ekonomi mereka. Penerapan strategi
dalam bekerja, pengaturan penghasilan, pembina di dalam keluarga hingga orientasi
hidup setidaknya bertitik tolak dari sana. Dengan kondisi yang demikian kelihatannya
mustahil bagi para pemulung untuk pindah ( pekerjaan ) ke sektor formal. Dari
keadaan-keadaan seperti diatas kiranya dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi
permasalahan. Adapun penelitian ini nantinya difokuskan pada kehidupan sosial
ekonomi pemulung. Dengan demikian tentunya menyoroti hal-hal yang berhubungan
dengan masalah produksi, konsumsi maupun distribusi hasil pendapatan. Adapun
perumusan masalah yang lengkap adalah sebagai berikut :
1. Apa latar belakang mereka memilih sektor informal, dalam hal ini sebagai
pemulung. Apakah ada sebab lain yang membuat mereka tetap menekuni
pekerjaan tersebut ?
2. Masalah - masalah apa sebenarnya yang mereka hadapi sehingga dapat
berada dalam kehidupan yang marginal itu ?
3. Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap pendapatan mereka
yang pada akhirnya juga memberikan warna pada corak kehidupan mereka ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk melihat dan menyelidiki segi-segi kehidupan sosial dan
ekonomi keluarga para pemulung. Merujuk pada Melly G. Tan ( 1977 ) maka
keadaan sosial ekonomi itu mencakup 3 ( tiga ) aspek yaitu : pekerjaan, pendidikan
dan penghasilan. Dari itu akan terlihat bagaimana cara mereka menjalani kehidupan
dengan memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki, cara mengalokasikan
penghasilan sehingga dapat terus survive. Untuk lebih jelasnya maka latar belakang
sosial ekonomi itu akan diperhatikan secara "life history". Kajian Antropologi yang
bersifat holistik ini akan menjadikan penelitan ini dapat pula meliputi antar hubungan
Kemudian hubungan antara pemulung dengan elemen-elemen (orang--orang)
yang terdapat pada sistem sosial di lokasi kerja (mangkalnya), seperti halnya
hubungan para petugas dengan orang-orang yang berada di sekitar lokasi
mangkalnya.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah terutama dalam penerapan
teori-teori atau konsep ilmu antropologi yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan.
5elain itu mernberitahukan tentang usaha sektor informal ini kepada masyarakat luas
agar dapat mengetahuinya. Khususnya bagi penentu kebijakan yang berhubungan
dengan masalah ini, di mana diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan
sebagai bahan pertimbangan, perbandingan ataupun acuan. Selanjutnya untuk penulis
pribadi sebagai bahan untuk menulis skripsi guna menyelesaikan pendidikan dari
FISIP USU Medan.
1.3.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu,
Kabupaten Deli Serdang, dengan alasan kawasan ini mempakan tempat pembuangan
akhir sampah yang berasal dari penduduk kota Medan.
1.4. Tinjauan Pustaka
Sudah menjadi ciri umum dan merupakan kenyataan yang tidak dapat
disangkal lagi di kebanyakan negara berkembang saat ini, bahwa begitu jelas terdapat
adanya ketimpangan yang mencolok dalam hal tersedianya jumlah sektor produksi
terhadap kemampuan untuk menyerap tenaga kerja itu sendiri. Dengan kata lain dapat
dikatakan kurang terjadi pemerataan dalam hal memperoleh kesempatan dan peluang
pekerjaan. Masalah - masalah tingkat pendidikan yang rendah, ketrampilan dan
kurang tersedianya modal yang relatif cukup, semakin kompleksnya permasalahan
Konsekuensi logis yang dirasa paling cocok sebagai jalan keluarnya adalah
menyeimbangkan potensi yang ada dengan sektor - sektor peluang kerja yang
tersedia. Alternatif yang paling cocok adalah berkecimpung di sektor informal,
dimana secara umum di sektor ini tidak bagitu banyak menuntut persyaratan kerja
yang lebih khusus dan lebih memberi peluang. Secara langsung maupun tidak
langsung dalam hal ini jelas sektor informal mampu menanggulangi masalah
kependudukan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesempatan bekerja,
terutama di daerah perkotaan. Tindak lanjut dari fenomena ini dapat kita lihat dari
kenyataan bahwa begitu banyak pilihan yang terlibat ke dalam sektor ini seperti
misalnya : Tukang Becak, Pedangang Kaki Lima, Pembantu Rumah Tangga, Penjual
makanan dan minuman ringan di penggir jalan dan lain-lain. Banyaknya ragam
kegiatan di sektor informal ini lama kelamaan semakin menarik perhatian untuk
diketahui bagaimana keberadaan mereka lebih jauh lagi dalam menekuni bidang
pekerjaanya. Pembahasan mengenai kenyataan bahwa sektor informal telah menjadi
wadah yang tepat dan ampuh dalam meyerap sejumlah besar tenaga kerja terutama di
perkotaan, haruslah tentunya didasarkan pada pengetahuan siapa dan apa alasan yang
mendorong mereka untuk memasuki sektor informal ini ( Ramli, 1992 : 14 ).
Pandangan beberapa ahli lebih lanjut, dipakai penulis dalam membahas apa
sebenarnya sektor informal ini.
Kajian mengenai sektor informal pertama sekali dikemukakan oleh seorang
Antropologi Inggris bernama Keith Hart pada 1973. Konsep Keit Hart selanjutnya
dijadikan acuan dalam menyoroti masalah - masalah kesempatan kerja terutama
terhadap keluarga-keluarga kurang mampu di daerah perkotaan yang selanjutnya
disebutnya sebagai kaum pekerja perkotaan ( urban labour force ). Secara jelas dalam,
konsep Hart dinyatakan adanya perbedaan antara sektor formal dan informal ,
diantaranya dilihat dari keteraturan waktu kerja, curahan waktu kerja, status
hukumnya, serta hubungannya dengan sektor kerja yang lain. Khusus terhadap sektor
informal, Hart mengemukakan ciri khusus di mana secara umum ditandai dengan
adanya pendidikan yang rendah, modal usaha yang relatif kecil, upah yang rendah dan
pembahasan di sektor informal ini adalah terdapatnya perbedaan khusus dalam sektor
itu sendiri antara lain yaitu sektor informal sah dan sektor informal tidak sah.
Yang termasuk dalam sektor informal sah adalah :
a. Kegiatan-Kegiatan primer dan sekunder seperti : pertanian, perkebunan yang
berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuatan sepatu, penjahit, pengusaha BIR
dan Alkohol.
b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar, seperti : perumahan, transportasi,
usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan
sewa menyewa.
c. Distribusi kecil-kecilan, seperti : pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang
kaki lima, usaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkutan barang agen atas komisi
dan penyalur.
d. Jasa jasa yang lain seperti : pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu,
tukang cukur, pembuang sampah, j uru potret, pekerj a reperasi kendaraan maupun
reperasi lainnya dan juga pemulung.
Selanjutnya yang termasuk dalam sektor informal tidak sah adalah :
a. Jasa kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya, seperti : penadah barang
curian, lintah darat (tukang kredit) dan pegadaian (dengan tingkat bunga yang tidak
sah), perdagangan obat bius, pelacuran, mucikari, penyeludupan, suap - menyuap,
pelbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan dan sebagainya.
b. Transaksi pencurian kecil ( misalnya : pencopetan), pencurian besar (misalnya :
pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan , perjudian dan lain-lain ( Hart
dalam Chirs Manning dan Tadjuddin N. Effendy, 1985:78-80).
Pendapat Hart tentang sektor informal sebagai kegiatan yang berskala kecil,
didukung oleh Sethuraman yang menganggap kehadiran sektor informal terutama
disebabkan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang
berkembang. Mereka yang bergerak di sektor informal tidak membutuhkan jalur
dan Tadjuddin N. Effendy, 1985 :91). Selanjutnya Sethuraman berpendapat bahwa
sektor informal terdiri dari unit-unit berskala kecil yang menghasilkan dan
mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan
kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan usaha ini sangat dihadapkan pada
berbagai kendala seperti faktor modal (Sethuraman dalam Titik Handayani, 1993
:285).
Sri Edi Swasono (1986) berpendapat bahwa adanya sektor informal bukun
karena sekedar kurangnya lapangan kerja, apalagi menampung lapangan kerja yang
terbuang dari sektor formal, tetapi sektor informal tersebut adalah sebagai pilar bagi
keseluruhan sistem ekonomi. Kenyataan bahwa sektor formal dapat hidup karena
adanya pembayaran upah buruh secara murah. Selanjutnya upah yang rendah ini
diterima parah buruh, karena sektor informal dapat menyediakan kehidupan murah
bagi buruh yang berupah rendah ini. Kenyataan ini menujukkan bahwa sektor
informal telah mensubsidi sektor formal, dan merupakan sektor yang efisien karena
mampu menyediakan kehidupan murah.
Menurut Kartini Syahrir, sektor informal berkembang sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi. Bahwa terdapat hubungan saling membutuhkan diantara
sektor formal dan sektor informal dengan ciri padat karya. Ragam pekerjaan di
sektor informal terjadi sebagai respon pembangunan itu sendiri, yang memberikan
tempat bagi bertambahnya sektor jasa sedemikian rupa sehingga memungkinkan
sektor informal berperan penting di dalamnya ( Kartini Syahrir, 1985 :102).
Mazumdar menganalisa sektor informal ini dari sudut dikotomi sektor
informal dan sektor formal. Ia mengatakan bahwa sektor formal adalah sektor yang
lebih mendapat proteksi, sedangkan sektor informal tidak mendapat proteksi.
Dikotomi seperti ini mampu menjalankan kondisi struktural dari pasar tenaga kerja
tersebut, khusunya dalam kaitan kebebasan dan rintangan dari mobilitas buruh
(dalam Rachbini dan Hamid, 1994: 3 ).
Sektor informal, tumbuh dan berkembangnya di berbagai kota merupakan
gambaran sosial ekonomi dari pola kehidupan masyarakat. Rangkaian pengamatan
masalah ketenagakerjaan, karena sektor ini dikenal sebagai katup pengaman dalam
menanggulangi masalah pengangguran.
Faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan tingkat pendapat
pedagang sektor informal adalah besarnya jumlah modal usaha, curahan jam kerja,
dan tingkat pendidikan pedagang sektor informal itu sendiri (Edi Purnomo dan
S.R.Gunawan, 1993 :154-155).
Berbagai pendapat mengenai sektor informal dan formal menurut para ahli
adalah sebagai berikut. Boeke mengidentikkannya dengan sektor ekonomi kapitalis
prakapitalis (Titik Handayani 1993:214). Sedangkan Geertz (1973) menyebutnya
sebagai "ekonomi Firma/ bazaar (Firms/Bazaar economi), istilah dari Weeks adalah
sektor modern tradisional (Titik Handayani, 1993), serta "Inti masa apung" dari
Evers (1982).
Sedangkan LL.O pada tahun 1972 (Titik Handayani, 1993;215) lebih
menekankan ciri-ciri yang membedakan sektor formal dan informal dengan
mengajukan tujuh ciri utama sektor informal yaitu :
1. Mudah dimasuki siapa saja.
2. Menggunakan sumber daya manusia
3. Usaha umumnya dimiliki keluarga
4. Beroperasi dalam skala kecil.
5. Bersifat padat karya menggunakan teknologi yang telah disesuaikan dengan
kondisi setempat.
6. Tidak menuntut ketrampilan yang berasal dari jalur pendidikan formal
7. Pasar yang dihadapi tidak diatur oleh pemerintah dan sangat kompetitif.
Hidayat mendefenisi sektor informal sebagai "unprocted sector " (Hidayat.
1978:445). Selanjutnya Hidayat menambahkan dua butir defenisi sektor informal
yaitu:
1. Sektor informal adalah sektor yang belum dapat menggunakan bantuan
2. Sektor informal adalah sektor yang telah menerima bantuan tetapi belum
sanggup membuat sektor ini berdikari ( Hidayat, 1990).
Selanjutnya Belen berpendapat bahwa pekerja di sektor informal pada
dasarnya adalah orang-orang yang memiliki jiwa wiraswasta, yaitu ulet, berani
mengambil resiko, tidak begitu tergantung pada orang lain, serta percaya diri
sendiri. Selanjutnya Belen mengatakan bahwa sektor informal merupakan arena
penanaman dan pembinaan jiwa wiraswasta pada generasi mendatang (Belen,
1985:5).
Keberadaan manusia dimuka bumi ini selalu dihadapkan situasi dan kondisi
terus berubah. Masalah pemenuhan kebutuhan hidup tetap menjadi persoalan utama,
dan oleh sebab itu seseorang dengan alasan apapun harus bekerja demi untuk diri
sendiri maupun keluarganya. Dalam bekerja pun, manusia kembali dihadapkan pada
pilihan yang sesuai dengan keadaan dan potensi yang ada pada dirinya. Sulitnya
memasuki lapangan pekerjaan di sektor formal yang memang masih diminati dan
dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan di sektor
informal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk
mencari peluang-peluang pekerjaan disektor lain demi mempertahankan hidup.
Munculnya pekerjaan disektor informal yang memang memberikan peluang kerja
yang lebih luas memang dapat dijadikan jalan keluar bagi permasalahan dibidang
ketenaga kerjaan, sekaligus bidang kependudukan yang berkaitan dengan hal
tersebut.
Setiap manusia merupakan anggota dari salah satu bangsa yang selalu
berusaha untuk dapat hidup sesuai dengan nilai - nilai terkandung dalam khasanah
budayanya (Pelly, 1985:8). Demikian juga dengan masyarakat Batak yang bekerja
sebagai pemulung yang menjadi pokus dalam penelitian ini. Ketika kampung
halaman tidak memberikan harapan lagi untuk penghidupan mereka mencari
alternatif lain untuk dapat bertahan hidup. Seperti telah di jelaskan di atas bahwa
pemulung adalah orang yang mencari naflcah, dengan jalan mencari dan memungut
mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Moelino dan Anggal, menjelaskan
mengenai pemulung ini, bahwa mereka sebagai pekerja sektor informal, datang
secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran.
Selain mereka sebagai pekerja sektor informal, mereka sering disebut juga sebagai
kelompok marginal; baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Mereka terdiri atas
kelompok yang tersisih dari berbagai kegiatan dan pelayanan formal yang disediakan
oleh kota-kota bagi warganya yang beridentitas jelas. Kenyataan adalah mereka tidak
serta-merta dapat menikmati berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang
tersedia di kota-kota besar dikarenakan posisi dan status mereka sebagai kelompok
marginal yang tidak berdaya.
Kelompok masyarakat yang satu ini umumnya hidup dan tinggal dalam
kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan.
Di sini ada yang harus mengumpulkan barang bekas. Bertimbun berbagai macam
barang yang sudah tidak terpakai lagi, logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca
(beling), alumunium, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas. Oleh
kelompok mereka, tempat pengumpulan barang sering dikenal dengan istilah lapak.
Bagi kelompok pemulung, selain mereka hidup di dunia perdagangan atau
usaha barang bekas sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian, juga untuk
bertahan hidup. Bahkan oleh Parsudi Suparlan, pemulung atau pengumpulan barang
bekas tersebut merupakan salah satu mata pencaharian atau pekerjaan orang-orang
gelandangan. Berbeda halnya dengan Moeliono dan Anggal, mereka pemulung itu
bagian dari kaum subsisten kota. Mereka hidup dari hari ke hari dengan penghasilan
yang cukup untuk konsumsi per hari. Menurut Jatiman, seperti dikutip Moeliono
dan Anggal, menyebutkan bahwa subsistensi adalah ekonomi yang mencukupi
kebutahan sendiri mereka itu hidupnya dari hari ke hari.
Oleh karena mereka merasa terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk
melampiaskan , maka muncullah ledakan -ledakan psikologis, emosional, dan sosial
dalam berbagai bentuk, seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,
ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan kemampuan kelompokan marginal
dalam penderitaan dan kesmiskinannya.
Hal senada menurut Rodger seperti yang dikutip oleh Septiarti,
mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya
mampu terlihat dan mernperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal,
tidak lain karena tergolong unskilled labor. Akibat perolehan penghasilan mereka
menjadi minimal dan tidak tetap serta sama sekali tidak ada jaminan sosial.Selain
itu, dibidang sosial kelompok ini ada pada strata "terendah" dalam masyarakat,
dengan tingkat pendidikan rendah,atau sama sekali belum pernah menikmati
bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif yang berusaha untuk menggambarkan
bagaimana kehidupan para pemulung. Adapun penggambaran kehidupan dilakukan
dengan cara life history yang berusaha menggambarkan kehidupan sosial ekonomi
dalam konteks antropologi.
1.5.2. Informan
Informan dalam penelitian ini berbagai atas tiga macam yaitu informan
pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal adalah informan
pertama-tama peneliti jumpai di lapangan (Moleong, 1994). Dari Informan pangkal
ini lah peneliti berharap mendapat petunjuk tentang siapa-siapa dari pemulung yang
bisa dijadikan dengan sebagai informan pokok untuk diwawancarai secara
mendalam.
Informan kedua adalah informan kunci (key informan). Dari informan kunci
inilah peneliti mengharapkan data utama penelitian ini. Informal kunci ini terdiri
dari lima keluarga pemulung yang diteliti pengalamannya selama menjadi
Informan ketiga adalah informan biasa. Informan biasa ini adalah sesama
rekan pemulung yang dianggap mengetahui tentang kehidupan para keluarga
pemulung. Dari informan biasa ini diharapkan didapatkan data-data yang dapat
dijadikan pembanding dari data yang didapat dari informan utama, sehingga
penelitian ini menjadi valid.
1.6. Teknik Pengumpulan Data
1.6.1. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan cara berkomunikasi langsung dengan para
informan. Wawancara dilakukan dengan cara terbuka agar para informan dapat
menjawab pertanyaan dan bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan segala
informasi yang dimilikinya. Wawancara dilakukan ketika mereka dirumah, atau
ketika mereka mempunyai waktu senggang sehabis memulung. Dengan cara ini
diharapkan suasana menjadi lebih tenang dan peneliti dapat menggali informasi
riwayat kehidupan informan selama menjalani profesi sebagai pumulung.
Pertanyaan -pertanyaan dikembangkan dalam hubungan yang mengarah pada sifat
dari hati ke hati yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan dalam model-model
pendekatan yang pernah di lakukan oleh Oscar Lewis (dalam suparlan,1984), yaitu :
1. Pendekatan otobiografi yang luas dan intensif, tetapi lebih terbatas dari segi
luas atau kedalamnya.
2. Pendekatan yang mempelajari masalah atau kejadian di luar dari yang biasa
yang terjadi dalam kehidupan mereka.
3. Pendekatan yang bertujuan mendeskripsikan secara detail kehidupan keluarga
dalam sehari-hari.
Dalam melakukan wawancara peneliti akan mempergunkan pedoman
wawancara (interview guide). Pedoman wawancara dipergunakan hanya sebagai
arahan bagi penulis dalam melakukan wawancara, bukan sebagai patokan.
Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, maka penelitian akan dihentikan apabila
1.6.2. Observasi
Untuk mencari kevalidan data observasi yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah observasi partisipatif. Artinya dalam melakukan observasi ini peneliti ikut
langsung beraktifitas dengan responden. Peneliti mengikuti para informan ketika
mereka sedang melaksanakan aktifitas di lapangan.
1.7. Teknik Analisa Data
Setelah informasi dan data terkumpul, maka data disusun secara sistematis
sesuai kepentingan:
1. Mengadakan pengeditan terhadap informasi dan data sehingga menghasilkan
uraian terperinci, sistematis dan mudah dimengerti oleh mereka yang
membaca dan mempelajarinya.
2. Mengadakan penganalisaan dari setiap bagian yang disusun dengan metode
kualitatif untuk tujuan memahami isi yang terkandung dalam setiap informasi
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN DESA NAMO BINTANG
2.1 Sejarah Singkat Desa Namo Bintang
Desa Namo Bintang adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Pancur
Batu, Kabupaten Deli Serdang. Desa Namo Bintang yang ada sekarang adalah
penggabungan dari dua desa di sekitarnya, yaitu Desa Rumah Mbacang/Ujung Jawi
dan Desa Sumbringen. Pada tahun 1985 ditetapkan nama ketiga desa ini menjadi
Desa Namo Bintang dan kedua desa yang ada di sekitarnya diubah menjadi Dusun I
dan Dusun II.
Untuk dapat mengetahui asal mula bermukimnya penduduk di desa ini,
penulis menemui kesulitan dengan tidak adanya catatan tentang hal itu. Namun
diperkirakan daerah ini sudah dihuni sejak tahun 90 tahun yang lalu.
Menurut penduduk setempat, daerah Namo Bintang berupa rawa-rawa dan
sawah serta perladangan yang terlantar. Nama Namo Bintang diambil dari nama
sebuah sungai yang mengalir di pinggiran desa dan sungai tersebut mempunyai
Namo, yang mana kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti Lubuk.
Lubuk-lubuk tersebut dijadikan tempat pemandian dan pemancingan oleh penduduk yang
berada di sekitar lubuk-lubuk tersebut. Menurut cerita orang-orang tua, di sekitar
Namo (lubuk) dapat mengeluarkan cahaya terang-benderang dikala bulan purnama,
dan inilah cikal bakal diberinya nama desa tersebut menjadi Namo Bintang.
2.2 Letak Geografis
Desa Namo Bintang di bagian Selatan Kotamadya Medan dan bagian Timur
Ibukota kecamatan Pancur Batu. Luas desa ini seluruhnya 495,2 hektare yang terdiri
dari 50 hektare daerah pemukiman, 35 hektare daerah pertanian sawah, 200 hektare
daerah perladangan dan 150 hektare daerah perkebunan serta 60,2 hektare untuk
fasilitas umum dan lain-lain. Desa ini terdiri dari 5 (lima) dusun, yaitu:
Dusun II : Desa Sumberingen dan Kloni IV
Dusun III : Desa Rumah Mbacang dan Ujung Jawi
Dusun IV : Desa Simpang Gardu dan Simpang Kongsi
Dusun V : Desa GRT Tahap I dan GRT Tahap II.
Secara administratif Desa Namo Bintang berbatasan dengan Kota Medan di
sebelah Utara, Desa Namo Simpur kecamatan Pancur Batu di sebelah Selatan, Desa
Durin Tonggal kecamtan Pancur Batu di sebelah timur dan berbatasan dengan Desa
Baru kecamatan Pancur Batu di sebelah Barat. Desa Namo Bintang mempunyai dua
iklim yaitu musim kemarau dan musin penghujan, dimana kedua iklim tersebut
dipengaruhi oleh angin laut dan angin pegunungan yang merupakan salah satu faktor
pendukung dalam kesuburan tanah.
2.3 Sturuktur Organisasi pemerintahan
Struktur organisasi suatu hal yang harus dimiliki oleh suatu lembaga untuk
mencapai hasil kerja yang efisien dan afektif. Di samping itu sturuktur organisasi
merupakan kerangka landasan bagi pengemban tugas untuk melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan hirarki yang ada. Struktur organisasi pada dasarnya mengandung
penetapan batas-batas wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dengan
demikian diharapkan adanya satu kesatuan komando dalam penggerak dan langkah
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pemerintahan desa Namo Bintang sebagai suatu organisasi pemerintah
berdasarkan keputusan MENDAGRI dengan merujuk pada dua Undang-Undang
yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Desa
dan Undang-Undang No .5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa mempunyai
struktur organisasi yang didukung oleh sejumlah bawahan, maka dibentuk LKMD
(Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) sebagai DPR-nya desa yang mendampingi
Kepala Desa dan LMD (lembaga Musyawarah Desa) sebagai MPR-nya desa yang
bekerja sama dengan Kepala Desa dalam membuat keputusan desa, seperti terlihat
Gambar 2.1
Struktur Organisasi Pemerintahan Desa
DESA : NAMO BINTANG
KECAMATAN : PANCUR BATU
KABUPATEN : DELI SERDANG
PROVINSI : SUMATERA UTARA
Keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979
Sumber : kantor Kepala Desa Namo Bintang, 2007
Dari gambar di atas, terlihat bahwa desa Namo Bntang terbagi atas 5 (lima)
dusun, dimana kepala dusun langsung bertanggaung jawab kepada kepala desa, dan
masing-masing dusun mempunyai 2 (dua) rukun tetangga yang membantu
tugas-tugas kepala dusun.
Kepala Desa
LMD
Sekretaris Desa
1 2 3 4
Dusun I Dusun II Dusun III Dusun IV Dusun V
Sedangkan untuk membantu tugas-tugas Sekretaris Desa ada 4 (empat) orang
pembantu yang disebut dengan Kaur (Kepala Urusan) yakni masing-masing Kaur
Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesejahteraan Rakyat dan Kaur Keuangan.
Disamping itu struktur pemerintahan desa juga dilengkapi dengan Lembaga
Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Di
bawah ini diterangkan Struktur Organisasi desa Namo Bintang sesuai dengan
keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979.
Gambar 2.2
STRUKTUR ORGANISASI LKMD DESA NAMO BINTANG KECAMATAN
PANCUR BATU KABUPATEN DELI SERDANG
PROPINSI SUMATERA UTARA
KEPUTUSAN MENDAGRI NO. 27 TAHUN 1984
Sumber : Data Desa Namo Bintang
Dari gambar di atas terlihat bahwa Ketua Umum didampingi oleh dua orang
ketua (ketua I dan Ketua II), disamping itu terlihat pula Sekretaris dan Bendahara.
Sepuluh seksi yang bertanggung jawab kepada diadakan guna melengkapi organisasi
tersebut, seperti tertera dalam keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979. Kesepuluh
seksi itu masing-masing Seksi I bidang Agama, Seksi II bidang P4, Seksi III bidang Ketua Umum
Ketua I
Ketua II
Bendahara Bendahara
Kamtibmas, Seksi IV bidang Pendidikan, Seksi V bidng PPLH (Lingkungan Hidup),
Seksi VI bidang Pembangunan, Ekonomi dan Koperasi, Seksi VII bidang Pemuda
dan Olahraga, Seksi VIII bidang Kesejahteraan Rakyat, Seksi IX bidang Kesehatan
dan Keluarga Berencana dan Seksi ke X bidang PKK (Program Kesejahteraan
Keluarga).
Sarana Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Namo Bintang yang bertujuan
untuk mengembangkan aspek-aspek kehidupan masing-masing seksi jumahnya relatif
kecil. Sarana-sarna LKMD yang sudah tersedia antara lain :
- Sarana keagamaan, dengan membentuk satu kelompok remaja mesjid yang
diberi nama Himpunan Remaja Mesjid Amal Nahdatul Namo Bintang
(HIRMAN) dan satu kelompok pemuda Gereja (PERMATA) GBKP serta
Naposo Nauli Bulung Gereja HKBP dan GKPS.
- Sarana Pemuda, dengan membentuk satu kesatuan Karang Taruna Namo
Bintang.
- Sarana olahraga, dengan membentuk satu kesatuan olahraga yang
memanfaatkan sarana lapangan olahraga volley dan lapangan sepak bola.
- Sarana kesehatan, dengan membangun satu unit Puskesmas pembantu serta satu
unit POSYANDU.
- Sarana organisasi sosial dengan membentuk satu kelompok anggota PKK dan
delapan anggota Dasawisma.
2.4 Sarana Umum
Seperti desa-desa lain di kecamatan Pancur Batu, sarana transportasi dalam
bentuk jalan, keseluruhannya sudah diaspal.arus hilir mudik kenderaan sering terlihat
di jalan raya, karena jalan tersebut merupakan sarana jalan yang menghubungkan
antara kecamatan Pancur Batu dengan kecamatan Deli Tua. Jarak antara Desa Namo
Bintang dengan Ibukota kecamatan Pancur Batu hanya berkisar 1,5 km yang biasa di
lima ribu rupiah. Sudah hal yang biasa apabila penduduk Desa Namo Bintang setiap
hari tampak berjalan kaki ke Pancur Batu untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya
dalam hal kebutuhan sehari-hari atau belanja dapur.
Sarana air bersih untuk keperluan sehari-hari dapat menggali sumur dengan
kedalaman 7-8 meter, serta dapat menggunakan fasilitas air ledeng atau PAM. Dalam
hal penerangan, sudah lama Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasuki daerah ini
dan hal ini dimanfaatkan oleh warga masyarakat yang mampu.
Di bidang kesehatan, di desa Namo Bintang terdapat satu unit Puskemas
Pembantu. Puskesmas ini mempunyai satu orang mantri yang melayani masyarakat
setiap hari untuk memeriksa kesehatannya. Apabia keadaan pasien dianggap cukup
serius, mantri tersebut merujuk pasien ke Puskesmas kecamatan di Pancur Batu yang
mempunyai tenaga medis sebanyak 6 orang. Selain Puskesmas Pembantu di desa
tersebut juga terdapat satu unit Pos Yandu (Pos Pelayanan Terpadu) yang merupakan
wadah penunjang kesehatan dan memusatkan perhatianya untuk memberi penyuluhan
tentang keluarga sehat dan bahagia.
2.5 Keadaan Penduduk
Berdasarkan Sensus pendataan Daftar Keadaan Jumlah Rumah Tangga Desa Namo
Bintang tahun 2007, jumlah penduduknya sebanyak 4.550 jiwa dengan jumlah kepala
keluarga sebanyak 1.107 KK. Jumlah penduduk trsebut, terdiri dari 2.283 jiwa
laki-laki dan 2.267 jiwa perempuan yang tersebar dalam lima dusun (Data Desa Namo
Bintang). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut.
Tabel 1
Komposisi Penduduk Desa Namo Bintang
No. Jenis Kelamin Jumlah(jiwa)
1 Laki-laki 2.283
2 Perempuan 2.267
Sumber : Data Desa Namo Bintang Tahun 2007
Tabel 2
Komposisi Penduduk Desa Namo Bintang
Menurut Kelompok Umur
No . Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1 0-5 182 199 381
2 6-15 403 547 950
3 16-25 582 425 1007
4 26-55 973 862 1835
5 56 ke atas 163 214 377
Jumlah 2303 2247 4550
Sumber : Data Desa Namo Bintang
Dari tabel 2 di atas, tampak bahwa mayoritas penduduk Namo Bintang
berusia antara 26 tahun hingga 55 tahun sebanyak 1.835 jiwa yang terdiri dari jumlah
laki-laki 973 orang dan perempuan 862 orang. Kemudian diikuti oleh kelompok umur
16 tahun hingga 25 tahun yang berjumlah 1007 orang. Kelompok umur 6 – 15 tahun
jumlah keseluruhannya sebanyak 950 orang. Sedangkan kelompok umur balita antara
0–5 tahun berjumlah 381 orang. Kelompok umur yang paling sedikit adalah
kelompok umur 56 tahun ke atas yang berjumlah 377 orang.
Sarana pendidikan di desa Namo Bintang hanya tersedia untuk Sekolah Dasar
yaitu Sekolah Dasar Negeri dan Sekolah Dasar Inpres. Umumnya warga masyarakat
telah tamat SD melanjutkan sekolah SMP ke ibukota kecamatan Pancur
Batu.Demikian juga halnya untuk tingkat SLTA dilanjutkan ke Pancur Batu dimana
SLTP dan SLTA telah banyak tersedia baik itu negeri maupun swasta.
Pendidikan pada masa sekarang ini merupakan kebutuhan pokok atau
dirasakan sangat perlu. Di bawah ini disajikan data penduduk menurut pendidikan.
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No. Tingkat pendidikan Jumlah
1 Tidak pernah sekolah 799
2 Belum sekolah 790
3 TK 409
4 Tidak Tamat SD 442
5 Tamat SD 822
6 Tamat SLTP 401
7 Tamat SLTA 356
8 Kursus/keterampilan 285
9 Diploma 216
10 Sarjana 30
Jumlah 4550
Sumber : Data Desa Namo Bintang
Dari tabel 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk yang tamat
sekolah SLTA sangat besar jumlahnya yaitu sebanyak 799 orang, hal ini sudah dapat
dikatakan baik. Kemudian penduduk yang tamat SLTP berjumlah 790 orang disusul
penduduk yang tamat SD sebanyak 822 orang. Penduduk yang tidak pernah sekolah
berjumlah 285 orang, penduduk yang belum sekolah sebanyak 356 orang, sedangkan
TK sebanyak 30 orang dan kursus/keterampilan sebanyak 401 orang. Penduduk yang
setelah tamat SLTA yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi Akademi berjumlah 442
orang. Penduduk yang telah berhasil dari perguruan tinggi sebanyak 216 orang.
Berdasarkan Agamanya mayoritas penduduk desa Namo Bintang beragama Islam,
yaitu 2452 orang. Di bawah ini disajikan data penduduk desa Namo Bintang menurut
agama.
Tabel 2
Komposisi Penduduk Menurut Agama
1 Islam 2452
Sumber : Data Desa Namo Bintang
Dari tabel di atas, tampak bahwa mayoritas penduduk desa namo bintang
menganut agama islam sejumlah 2452 orang, kemudian diikuti penganut agama
Khatolik sebanyak 1613 orang. Penganut agama Kristen Protestan sebanyak 186
orang. Sementara itu penganut agama Hindu sebanyak 16 orang dan penganut agama
Budha tidak ada, sedangkan yang mengikuti kepercayaan lain terdapat 284 orang.
Tempat ibadah berupa Mesjid, dan Gereja cukup tersedia kecuali untuk Vihara dan
Pura belum ada di desa Namo Bintang. Dengan perincian yaitu 4 buah Mesjid dan 9
buah Gereja.
Jenis mata pencaharian penduduk desa Namo Bintang beragam-ragam. Di
bawah ini disajikan data tentang jenis mata pencaharian penduduk.
Tabel 5
Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No. Mata pencaharian Jumlah (KK)
Dari tabel 5 tampak bahwa mayoritas penduduk Namo Bintang bekerja
sebagai petani, yaitu sejumlah 256 KK, kemudian diikuti oleh Pemungut barang
bekas sejumlah 241 KK.pegawai swasta sebanyak 143 KK, buruh sebanyak 87 KK.
Jasa misalnya supir, kondektur dan lain sebagainya berjumlah 84 KK, pedagang
berjumlah 67 KK, PNS/ABRI/TNI/POLRI berjumlah 65 KK sedangkan pensiunan
sebanyak 62 KK.
Akhirnya berdasarkan suku bangsa, data kepedudukan yang mendiami desa
Namo Bintang sebagai berikut.
Tabel 6
Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa
No. Suku Bangsa Jumlah (jiwa)
1 Jawa 1137
2 Batak Karo 910
3 Batak Toba 489
4 Batak Simalungun 419
5 Nias 85
6 Melayu 283
7 Lain-lain 1227
Jumlah 4550
Sumber : Data Desa Namo Bintang
2.6 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kotamadya
Medan
Tempat pembuangan Akhir Sampah Kotamadya Medan atau lazimnya
disingkat dengan TPA di desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten
Deli Serdang, terletak di sebelah Utara desa Namo Bintang dan mempunyai luas areal
sekitar 25 hektare. Jarak dari pemukiman ke areal TPA ini sekitar 1,5 km dan terletak
di pinggir jalan arah jalan besar Pancur Batu. Sedangkan jarak dari Kotamadya
Areal ini mulai diaktifkan sejak tahun 1987 yang pada mulanya hanya
memiliki lahan 5 hektare. Tetapi lahan yang sedemikian tidak dapat menampung
jumlah sampah, maka areal TPA ini ditambah dengan memilih lahan berupa
rawa-rawa. Sejak tahun 1992, TPA sampah Kotamadya Medan dibagi menjadi 2 bagian
yaitu di desa Terjun Kecamatan Belawan terletak di sebelah Utara Kotamadya
Medan dengan luas lahan 10 hektare.
Areal TPA di desa Namo Bintang ini mempunyai batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Medan.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Namo Bintang.
- Sebelah Timur berbatasan dengan PTP II Bekala.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Baru.
Adapun latar belakang berdirinya Tempat Pembuangan Sampah di desa Namo
Bintang ini, tidak begitu jelas, karena menurut penduduk setempat setelah ditutupnya
areal penampungan sampah di desa Simalingkar B kecamatan Medan Johor pada
tahun 1986, tiba-tiba tanah mereka yang berupa rawa-rawa ditimbun untuk sarana
jalan kenderaan. Tahun 1987 mulailah berdatangan truk-truk kontainer kecil
membuang sampah manutupi areal yang berupa rawa-rawa tersebut. Kemudian ketika
mereka menanyakan hal ini kepada Kepala Desa, maka Kepala Desa manerangkan
bahwa areal Namo Bintang dijadikan TPA, dan mereka tidak akan diberi ganti rugi.
Jalan yang menghubungkan TPA dengan pemukiman penduduk cukup baik,
yaitu jalan yang dibangun PD. Dinas Kebersihan Tingkat II Medan, sepanjang 1 km
dan diaspal.
2.7 Jenis, Sumber dan Jumlah Sampah
Pengelola sampah Namo Bintang adalah Perusahaan Daerah Kebersihan
Tangkat II Medan. Sampah-sampah yang masuk ke lokasi TPA ini berasal dari
Kotamadya Medan seluruhnya. Sampah yang masuk ke lokasi ini dapat digolongkan
dalam beberapa golongan yaitu :
Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik yang sifat sampah adalah
cepat busuk.
Contoh : sisa sayuran, daging, buah-buahan, daun-daunan dan lain-lain.
2. Sampah Kering (Rubish)
Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik maupun anorganik yang
sifatnya sukar membusuk.
Contoh : logam dan bukan logam.
3. Sampah Lunak
Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berupa
partikel halus, dapat beterbangan di udara dan bersifat menimbulkan
gangguan/bahaya bagi pernafasan dan pemandangan.
Sedangkan sumber sampah dapat digolongkan atas :
1. Sampah Pasar/Komersil
Sampah komersil adalah sampah yang berasal dari kegiatan-kegiatan komersil
dan perdagangan seperti toko-toko serba ada (super market), restaurant, pasar,
tempat hiburan dan lain-lain sehingga sampah pasar dapat berupa sisa –sisa
makanan sayuran, buah-buahan, plastik bekas, karet, karet tekstil dan lain-lain.
2. Sampah Domestik
Sampah domestik adalah sampah pemukiman dan merupakan produk kegiatan
sehari-hari di rumah dan di sekitar rumah. Sebahagian besar bahan-bahan yang
diperlukan di rumah berasal dari pasar. Sampah domestik juga termasuk sampah
yang berasal dari sisa-sisa pembersihan pekarangn/halaman, sisa-sisa makanan
dan sayuran, sisa buah-buahan, bekas pembungkus, kertas, kaca, kaleng bekas,
perabot rusak dan lain sebagainya.
3. Sampah Industri/Pabrik
Sampah industri/pabrik merupakan barang material bekas proses industri pabrik.
Misalnya sisa bahan baku yang tidak terpakai lagi, sisa bahan pengepakan atau
Sebagai contoh : industri farmasi mengahasilkan sampah berupa sisa bahan
obat-obatan, kosmetik dan lain-lain. Industri pengalengan makanan menghasilkan
sampah berupa kaleng bekas, kawat dan lain sebagainya
Jumlah sampah diangkut setiap harinya ke TPA sangat besar, dimana metoda
pengangkutannya dibagi atas dua cara, yaitu :
1. Pengangkutan yang dimekanisasi, dilengkapi dengan alat-alat mekanis ke
dalam kenderaan disertai alat pemadat atau tidak dilengkapi dengan alat
pemadat.
2. Pengangkutan dengan tenaga manusia.
Pengangkutan yang dimekanisasi adalah truk-truk kontainer besar atau kecil
yang menurut petugas kebersihan tingkat II Medan di lokasi penelitian
berjumlah 40 unit. Masing-masing unit dapat mengangkut 3-4 kali rit setiap
hari, dimana kontainer tiap ritnya mengangkat sampah sekitar 7-8 ton,
sedangkan kontainer kecil mengangkut sampah setiap ritnya sebanyak 3-4 ton.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian terhadap beberapa aktivitas
sehari-hari, sudah dimulai sejak subuh. Beberapa Pemungut barang bekas mulai berangkat
dari rumah pada pukul 04.00 Wib dengan membawa penerangan berupa obor yang
terbuat dari bambu. Umumnya yang bekerja pada dini hari ini adalah kaum laki-laki.
Mereka mulai mengais-gais di antara tumpukan-tumpukan sampah yang sudah
menggunung. Sedangkan para perempuan tinggal di rumah mempersiapkan makanan
pagi dan siang, sekaligus memberangkatkan anak-anak bersekolah.
Alasan mereka berangkat dini hari melakukan pekerjaan memungut barang
bekas, seperti yang di tuturkan oleh Bapak Joseph (etnik Toba) mengatakan :
Hal tersebut dapat diterima, karena jumlah yang bekerja pada pagi hari
maksimum 30-35 orang. Mereka bekerja hingga pukul 18.30 Wib dengan penghasilan
sekitar dua karung goni barang-barang bekas.
Setelah tiba di rumah, Pemungut barang bekas yang bekerja dini hari tersebut
hanya untuk makan pagi sekaligus memberi makan ternak seperti babi dan ayam.
Kemudian bersama-sama dengan istri dan anak-anak mereka berangkat lagi ke TPA
untuk memungut barang bekas dengan membawa makan siang mereka ke TPA dan
makan bersama-dama di antara kerumunan lalat dan bau sampah yang menusuk
hidung. Istirahat siang bagi para Pemungut barang bekas hanya sebentar saja, yaitu
antara pukul 12.00-13.00 Wib kemudian dilanjutkan dengan mengais-ngais tumpukan
sampah dengan alat gancu besa dan terus mencari barang-barang bekas yang mereka
butuhkan.
Pemandangan yang paling menakjubkan terlihat ketika Pemungut barang
bekas yang ada pada umumnya laki-laki saling mengejar truk kontainer yang masih
jauh dari kejauhan datang membuang sampah ke lokasi. Dengan tidak merasa takut,
mereka memanjat truk naik ke dalam bak kontainer tersebut, para Pemungut barang
bekas mengais-ngais dan mengorek sampah dengan cepat sebelum sampah dibuang
pada tempat yang telah ditentukan oleh petugas keamanan. Kejadian seperti ini telah
pernah meminta korban iwa pada tahun 1989, yaitu seorang anak berumur 15 tahun,
seperti yang dituturkan oleh Bapak Tarigan (etnik Karo) :
Kejadian-kejadian yang menguntungkan atau rezeki yang didapat secara
tiba-tiba, sering dialami oleh Pemungut barang bekas. Mereka sering mendapat sepatu
yang masih layak pakai, rokok satu selop atau beberapa bungkus dari merek terkenal,
tas belanja, tas sekolah, dompet dan nasi bungkus atau nasi kotak yang belum
disentuh. Barang-barang yang demikian tidak mereka jual, melainkan dipakai sendiri,
sedangkan nasi bungkus atau nasi kotak itu mereka manfaatkan untuk makanan
ternak peliharaan. Bahkan mereka pernah mendapat cincin emas ataupun jam tangan
yang mungkin pemiliknya tanpa sengaja membuang ke tong sampah.
Peristiwa lain, terjadi pada tahun 1997, ketika Ibu Yuli (etnik Karo) mendapat
rezeki yang besar yaitu sebuah tas genggam berwarna merah. Berikut ini hasil
penuturannya kepada penulis :
“….. waktu itu siang hari, saya dan beberapa orang teman pemulung bekerja ditumpukan sampah yang dibuang tadi pagi. Tiba-tiba gancu saya mengait sebuah tas berwarna merah, ketika saya buka isinya ternyata uang pecahan Rp 10.000 dan Rp 20.000 banyak sekali. Saya sangat terkejut dan hampir tidak percaya melihat hal itu. Saya bisikkan kepada suami saya dan dia langsung mengajak saya ke rumah. Setiba di rumah kami menghitung jumlah uang yang sudah lembab dan jumlahnya sangat besar bagi kami yaitu Rp. 1.550.000. kami sangat gembira, sehingga suami saya tidak dapat menyimpan rahasia ini dan memberitahukannya kepada teman-teman Pemungut. Sore harinya kami tidak lagi ke TPA dan di rumah menjemur uang itu. Malam harinya teman saya datang dan menceritakan bahwa siang tadi ada polisi datang ke TPA menanyakan kalau kami ada mendapat tas berisikan uang. Saat itulah suami saya tidak dapat menahan rahasia itu dan memberitahukan bahwa sayalah yang mendapat tas berisi uang itu.Esok harinya tersebarlah berita di antara Pemungut barang bekas, bahwa kami beruntung mendapatkan uang sebesar itu…..”.
Beberapa Pemungut barang bekas mengisahkan bahwa tas adalah hasil
kejahatan di daerah Medan Perjuangan Kotamadya Medan. Mungkin saja ketika
penjahat melakukan aksinya, masyarakat melihat dan mengejarnya. Untuk
menyelamatkan tas itu penjahat melemparkan tas tersebut ka dalam tong sampah
dengan maksud setelah situasi aman akan mengambilnya kembali. Tapi naas bagi
sampah dan menumpahkan segala isinya ke bak kontainer, selanjutnya dibawa atau
dibuang ke TPA Namo Bintang.
Ketika penulis menjelaskan ibu Yuli bahwa tindakan itu adalah tindakan
kriminal, karena mengambil barang yang bukan sah menjadi miliknya, ibu Yuli
menjawab dengan enteng :
“…..Kakak ini bagaimana, saya kan bukan mencuri atau merampas milik orang itu. Ini kan hasil dari pekerjaan saya sebagai Pemungut barang bekas. Jadi segala yang saya dapat di sini adalah rezeki saya kak, apa bedanya tas itu dengan sampah bekas yang lain yang kami kumpukan selama ini, hanya saja isi tas itu berupa uang tunai…..”
BAB III
Gambaran Umum Tentang Pemulung
3.1 Sekilas tentang pemulung
Rebong mendeskripsikan tentang pemulung, dimana kelompok masyarakat
yang satu ini, umumnya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan
papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan. Ada usaha mengumpulkan barang
bekas dari timbunan berbagai macam barang yang sudah tidak terpakai lagi seperti
logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca (beling), aluminium,
potongan-potongan kayu dan aneka macam kertas. Oleh mereka, tempat pengumpulan barang
sering dikenal dengan istilah lapak. Kondisi mereka telah cukup baik karena telah
terorganisir dan terkontrol, sehingga dari kondisi hunian pun mereka telah cukup
baik. Artinya mereka tidak tercecer dan asal bangun saja, mereka telah menetap
walupun sifatnya hanya sementara (Rebong, 1984:140)
Dalam perkembangannya, bahwa mereka bekerja di sektor informal, hidup
secara subsisten dari hari ke hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan
politik. Mereka terabaikan dan tidak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal
: pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik dan lain-lain. Semakin
mereka terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk melampiaskan, maka
muncullah ledakan-ledakan psikologis, emosional, dan sosial dalam berbagai bentuk,
seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pelacuran, tawuran atau
agresivitas massa. Semua itu merupakan ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan
Faktor yang menjadikan seseorang itu jadi pemulung adalah dikarenakan tidak
mempunyai keterampilan, tidak mempunyai uang unuk modal, tingkat pendidikan
rendah dan bahkan belum pernah menikmati bangku pendidikan. Oleh karena itu
mereka memilih bekerja sebagai pemulung yang memang gratis dan tidak
membutuhkan modal yang besar.
Inilah sekelumit tentang pemulung yang telah peneliti peroleh, kiranya dapat
membantu dalam memahami dan mengenal asal-usul mereka.
Sebagai pembahasan selanjutnya, dibawah ini penulis akan mendeskripsikan
keadaan para pemulung tersebut.
3.2 Keadaan Pemulung
Pembahasan mengenai keadaan pemulung ini, dalam pendeskripsiannya akan
lebih tampak kepada persoalan seputar profil. Adapun poin-poin yang akan diuraikan
dalam pembahasan ini adalah seputar kehidupan sehari-hari mereka dalam bidang
perekonomian, kehidupan sosial, pendidikan dan kehidupan keagamaan, hingga
kesehatan mereka.
a. Seputar Kehidupan Ekonomi
Berdasarkan pengamatan dan informasi, bagi pemulung di sini, “mulung” atau
“nyari” umumnya sebagai bentuk mata pencaharian atau pekerjaan. Terutama untuk
menafkahi anak-anak dan isteri mereka, informan komar (bukan nama sebenarnya)
menuturkan bahwa ia datang ke Medan adalah untuk mencari nafkah. Penuturan
dan mengaku sebelumnya pernah bekerja di Jakarta juga menuturkan, ia menjadi
pemulung karena disana baginya tidak ada pekerjaan (pen).
Selain sebagai migran yang datang ke Kota Medan untuk mencari pekerjaan.
Mereka menjadi pemulung, karena faktor pendidikan yang minim serta ekonomi yang
kurang. Untuk pendidikan mereka umunya terbilang rendah, sangat jarang ditemui
yang berpendidikan menengah apalagi pendidikan tinggi. Informan Maman (bukan
nama sebenarnya) menuturkan karena faktor pendidikan mereka kurang dan faktor
tidak punya uang untuk modal, maka bekerja sebagai pemulung yang memang gratis
dan tidak membutuhkan modal yang besar lebih baik.
Selain faktor pekerjaan dan pendidikan, diantara mereka menjadi pemulung
karena menunggu masa panen saja. Artinya, mereka datang ke kota ini selama musim
paceklik, dan kembali setelah mereka mendapatkan modal yang cukup untuk apa
yang mereka ingin lakukan di desa, terutama untuk kebutuhan pasca panen. Seperti
penuturan Naima (bukan nama sebesarnya) salah satu pemulung disini asal Langkat,
ketika ditanya tentang apa yang mendorongnya menjadi pemulung. Ia menuturkan,
bahwa mulung baginya untuk sementara saja, yakni mengisi waktu kosong
(menganggur) di kampung. Musim panen ia kembali pulang, pada musim mandur
(menyamai benih padi sampai ditanam) ia kembali ke sini sebagai pemulung. Hal ini
ia lakukan berulang-ulang, dan ia pun menikmatinya. Informan lain menuturkan,
bahwa mulung (nyari) baginya pekerjaan kedua, karena di pagi hari ia bekerja sebagai
penarik becak dan siang hari ia sebagai pemulung. Ia melakukan hal ini sebagai
pengisi waktu kosong saja. Dari informasi tersebut, dapat dilihat bahwa di antara
(pokok). Disisi lain ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan kedua saya
(sampingan atau sementara).
Pemulung di sini rela menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi mencari
barang-barang bekas sebagai tumpuan yang dapat merubah masa depan mereka ada
yang mulai berangkat kerja antara jam lima dan jam enam pagi. Ada juga yang mulai
kerja jam tujuh pagi. Hal tersebut tergantung tempat yang akan mereka tuju. Bila
tempat itu relatif dekat, maka berangkatnya pun sekitar jam tujuh pagi. Namun bila
tempat itu jauh, maka berangkatnya sekitar jam lima atau jam enam pagi. Informasi
Komar menuturkan, mereka biasanya mulai bangun tidur antara jam empat dan lima
pagi. Ibu Yuli (bukan nama sebenarnya) salah satu pemulung asal Tanjung Balai juga
menuturkan, bila ia kelilingnya jauh maka berangkatnya setelah sholat subuh, dan
bila kelilingnya dekat ia berangkat jam tujuh pagi setelah selesai pekerjaanya di
rumah. Pulangnya kadang-kadang siahg atau sore sebelum maghrib. Ia biasa keliling
ke Jl. H.M. Thamrin sampai ke Jl. Putri Hijau.
Berbeda dengan penuturan Bang Ali ketika ditanya seputar mulai berangkat
kerja. Ia menuturkan berangkat kerja jam enam pagi, pulang kadang-kadang jam dua
belas siang, kadang-kadang bagaimana pendapatannya. Bila sudah dapat banyak, jam
dua belas ia sudah pulang, kadang-kadang sore jam tiga baru pulang. Dari beberapa
keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keberangkatan dan kepulangan mereka
dalam kerja adalah tidak tentu tergantung keadaan saat itu. Dalam artian tergantung
penghasilan yang mereka peroleh.
Sikap tidak kenal menyerah dan kerja keras nampak dalam diri mereka.
sikap demikian yakni bersaing dan kerja keras dalam bekerja. Persaingan yang terjadi
diantara mereka adalah persaingan sehat. Hal tersebut tampak dari kebebasan dalam
bentuk usaha. Tampak diantara lapak yang ada, mengumpulkan dan menjual barang
bekas yang sama tanpa ada pelarangan yang berakibat persaingan yang tidak sehat
dan melahirkan konflik. Begitu juga dengan sesama pemulung, tampak mencari dan
menjual barang-barang bekas ditempat yang sama pula.
Ada satu hal yang menarik mengenai bidang pekerjaan mereka. Dimana
seperti berdasarkan keterangan sebelumnya, diantara mereka ada yang menjadi
pekerjaan mulung ini sebagai pekerjaan kedua saya (sampingan atau sementara). Bagi
mereka yang menjadi pemulung sementara ini, tampak juga memiliki pekerjaan lain
seperti buruh bangunan, tukang cuci, penarik becak. Biasanya hal ini terjad manakala
mereka mengalami penurunan penghasilan (usaha sedang sepi, pen).
Berdasarkan pengamatan dan informasi, pendapatan mereka untuk masa-masa
sekarang tampak mengalami penurunan, tampak ketika mereka kembali dari
pencariannya. Bagi mereka penghasilan yang dulunya mudah didapatkan, sekarang
menjadi lebih susah. Kemungkinan terbesar adalah diakibatkan oleh semakin
banyaknya jumlah pemulung yang tersebar di daerah ini. Mereka biasanya sehari itu
mendapat penghasilan sebesar tiga puluh ribu rupiah saja. Bahkan ada juga seperti
penuturan Ibu Yuli, kadang-kadang ia sehari hanya mendapatkan lima belas ribu
rupiah, itu pun bila ia sudah berusaha keliling kesana kemari.
Dari keterangan di atas, memberi pemahaman bahwa perubahan telah terjadi