• Tidak ada hasil yang ditemukan

Quality changes of freeze dried catfish surimi and predicting of shelf life

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Quality changes of freeze dried catfish surimi and predicting of shelf life"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN

SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (

Clarias

sp.)

WAHYU RAMADHAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Wahyu Ramadhan

(4)
(5)

RINGKASAN

WAHYU RAMADHAN. Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINI TRILAKSANI.

Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2012 baru mencapai 30.17 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih jauh di bawah Singapura dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan Malaysia mencapai tingkat konsumsi 56,61 kg/kapita/tahun. Salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele. Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan dengan target pasarnya. Ikan lele ukuran konsumsi (8-12 ekor/kg) penjualannya tidak menemui permasalahan karena tingginya permintaan pasar. Permasalahan yang dihadapi adalah pemasaran ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize). Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam setiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual. Oleh karena itu salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan lele dalam pembuatan surimi sebagai bahan baku produk intermediate. Penelitian dan kajian tentang surimi telah banyak mengalami perkembangan, namun masalah ketersediaan dan keberlangsungan bahan baku menjadi masalah utama. Lele sebagai komoditas unggulan budidaya di Indonesia diharapkan mampu menjadi bahan baku baru dalam industri surimi. Surimi mengalami peningkatan permintaan di beberapa negara, termasuk di kawasan Asia dan Eropa. Pengolahan lebih lanjut surimi menjadi bentuk tepung merupakan salah satu kajian yang penting dalam beberapa tahun ini. Pengeringan surimi dianggap mampu menekan biaya instalasi pembekuan selama penyimpanan dan transportasi.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan waktu perendaman garam alkali (NaHCO3)terbaik terhadap penurunan kandungan lemak

daging lele, menentukan frekuensi pencucian dan dryoprotectant terbaik dalam pembuatan surimi kering beku ikan lele, menentukan sifat fungsional dan mikrostruktur surimi kering ikan lele serta menentukan umur simpan surimi kering beku dengan jenis kemasan yang berbeda. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai langkah awal pemanfaatan bahan baku lokal dalam hal ini ikan lele oversize sebagai bahan baku produk surimi (intermediate product) dan memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan surimi serta meningkatkan potensi industri surimi dengan pemanfaatan jenis-jenis ikan ekonomis rendah yang belum dimanfaatkan secara optimal.

(6)

tahap selanjutnya. Penentuan frekuensi pencucian surimi terbaik dilakukan dengan pengujian derajat putih, daya ikat air(WHC), kekuatan gel, kadar protein larut garam, nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) pada surimi lele. Penentuan dryoprotectant terbaik dengan menggunakan trehalosa 6%, karagenan 2%, dan dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5%. Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan dryoprotectant

terbaik adalah analisis rendemen, daya ikat air, kekuatan gel, protein larut garam, densitas, rehidrasi, sifat emulsi dan daya buih. Setelah itu dilakukan perbandingan mikrostruktur daging ikan, surimi basah, surimi kering dan kamaboko yang dihasilkan menggunakan SEM, analisis rendemen, proksimat, daya ikat air, kekuatan gel, pengukuran nilai pH, kekuatan gel serta uji sensori (uji gigit dan uji lipat). Penelitian tahap dua dilakukan pendugaan umur simpan surimi kering menggunakan metode air kritis, dengan model Labuza dalam penentuan kurva ISA surimi kering.

Hasil pengamatan pada tahap defatting menunjukkan bahwa perlakuan sodium bikarbonat 0.75% selama 10 menit menjadi faktor terpilih dengan kadar lemak lele 1.52%. Penggunaan sodium bikarbonat terbukti mampu mereduksi konsentrasi lemak 27-78% dari lemak awal. Frekuensi pencucian surimi satu kali merupakan perlakuan terpilih dengan nilai derajat putih 57.21%, daya ikat air 73.28%, protein larut garam 7.17%, pH 6.69, kekuatan gel 482.3 g/cm2, uji lipat 4.84 dan uji gigit 8.26. Trehalosa menunjukkan perlakuan dryoprotectant terpilih karena mampu menjaga sifat fisikokimia surimi selama proses pengeringan. Daya ikat air surimi kering yaitu 8.01 mL/g, kekuatan gel 826.3 g/cm2, protein larut garam 18.98%, densitas kamba 0.12 g/100 mL, kapasitas rehidrasi 3.81, nilai kapasitas emulsi 69.3%, stabilitas emulsi 59.3%, kapasitas daya buih yang paling tinggi adalah 25.33%, dan stabilitas emulsi 9.40%. Hasil analisis SEM menunjukkan penampang mikrostruktur surimi menunjukkan bahwa penambahan trehalosa menunjukkan jaringan yang lebih baik dibandingkan surimi dengan

dryoprotectant lainnya. Surimi kering mengalami penurunan kualitas sifat fisik dan kimia terutama pada nilai sensori uji gigit dan uji lipat. Surimi kering menghasilkan surimi kualitas B.

Analisis pendugaan umur simpan surimi kering terdiri dari lima tahap yaitu penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, nilai atribut kemasan dan perhitungan umur simpan dengan menggunakan model Labuza. Kadar air awal surimi kering beku berkisar antara 7-12%. Kadar air kritis merupakan hubungan antara kadar air dan aktivitas air surimi kering. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh persamaan y = 4.250x - 4.078 dengan nilai R² = 0,914 dan kadar air kritis produk, dimana x = 0.80 yaitu 0.2098 gH2O/g solid. Kurva

ISA kadar air kesetimbangan surimi kering yang dihasilkan cukup halus dan sigmoid. Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering terpilih adalah persamaan Hasley log Me = (log(ln(1/aw))+1.893)/-2.209 dengan nilai MRD 2.31. Berdasarkan persamaan Labuza umur simpan surimi kering adalah selama 6.1 bulan (dengan kemasan OPP), 4.5 bulan (dengan kemasan HDPE) dan 22.6 bulan dengan menggunakan retort pouch pada RH 70%.

(7)

SUMMARY

WAHYU RAMADHAN. Quality Changes of Freeze Dried Catfish Surimi and Predicting of Shelf Life. Surpervised by JOKO SANTOSO and WINI TRILAKSANI.

Indonesian fish consumption rate in 2012 reached 30.17 kg/capita/year, but still lower than Singapore fish consumption levels of 48.1 kg/capita/year, even Malaysia reached the high level of fish consumption up to 56.61 kg/capita/year. Catfish as surimi raw material has a tremendous opportunity to be developed in order to utilize oversized catfish as an alternative efficiency in trade. Catfish easily cultivated and affordable for the grassroots level. Selling price of catfish is determined by its size, because it was adapted to the target market. Catfish with the normal size (7-10 fishes/kg) did not encounter sales problems due to high market demand. The problem faced is marketing catfish that weighs more than the consumption size (oversize) that accounted for 10% in each production cycle. The aforemention problems can occur lossing for farmers due to the many oversized catfish that will not sold. Therefore one of the proposed solutions is utilization of catfish in the manufacture of surimi as intermediate raw materials. Research and study of surimi has evolved, but the major problems are the sustainability and continuity of raw materials. Catfish as a aquaculture commodity is expected to be the solution. Surimi products have increased demand in several countries, including in Asia and Europe region. Further processing of surimi into powder form to be one of the important studies in recent years, surimi drying installations are considered to reduce the cost of freezing during storing and transporting.

This study aims to determine the best concentration of NaHCO3 duration

of soaking, surimi washing frequency and the best dryoprotectant, to evaluate quality changes of dried surimi and to estimate its shelf life. This research is expected to be useful as an initial step oversized catfish used as raw material for surimi products (intermediate product). This study provides an alternative technology in the manufacture of surimi and surimi industry to increase the potential raw material through using inexpensive types of fish that have not been used optimally.

This study is conducted into two step mainly the process on making dried catfish surimi and surimi shelf life estimation. The first step research consisted of defatting process, selecting of surimi washing frequency, determination of dryoprotectant, as well as the comparison of the physicochemical properties of wet surimi and dried surimi. Lipid concentration is a key in the process of deffating, the best determination washing frequency is measured through whiteness value, WHC, gel strength, salt soluble protein content, pH value and sensory parameters (folding test and teeth cutting test) analysis.

(8)

wet surimi, dried surimi and kamaboko through measuring of SEM (microstruture) testing, yield, proximate, water holding capacity, gel strength, measurement of pH, gel strength and sensory testing (folding test and teeth cutting test). In the last part of the study is to estimate the self life of dried surimi using critical water methode with the Labuza model in determining of dried surimi moisture sorption isotherm (MSI) curve.

The result in defatting step shows that soaking in NaHCO3 0.75% for 10

minutes was selected treatment, contained fat of 1.52%. One washing cycle surimi was the best treatment, with the whiteness valuev of 57.21%, water holding capacity of 73.28%, salts soluble protein of 7.17%, pH of 6.69, the gel strength of 482.3 g/cm2, and 4.84 in folding test and 8.26 in cutting test. Determination of best dryoprotectant shows trehalose was chosen treatment for being able to maintain the physicochemical properties of surimi during the drying process. Dried surimi had characteristic of water holding capacity 8.01 mL/g, gel strength 826.3 g/cm2, salt soluble protein 18.98%, density 12.12 g/100 mL, rehydration ration 3.81, emulsion capacity 69.3%, emulsion stability 59.3%, foaming capacity 25.33%, and 9.40% for foaming stability. Microstructure of surimi added by trehalose showed compact tissue than surimi with other dryoprotectant and the tissue consisted no damaged and cloted properly. Dried surimi has deteriorated physical and chemical properties, especially the teeth cutting test and folding test value.

Estimation of shelf life of dried surimi, consists of several steps. Initial moisture content of surimi powder ranged from 7-12%. Determined the critical moisture content of the linearity between moiture content and water activity of surimi powder, from the experiment equation y = 4.250x - 4.078 with a value of R² = 0.914 and critical moisture content of the product, with x = 0.80 was equal to 0.2098 gH2O/g solid. Moisture sorption isotherm models of surimi powder

produced quite smooth and sigmoid curve. The choosen model was Me = log (log (ln (1/aw)) + 1.893) /-2.209 (Hasley Formula) with a value of MRD 2.31. Shelf life estimation of surimi powder at 70% RH with oriented poly prophlene (OPP), high density polyethylene (HDPE), and retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40) packaging were 6.1 months, 4.5 months and 22.6 months, respectively.

(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN

SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (

Clarias

sp.)

WAHYU RAMADHAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul tesis : Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.)

Nama : Wahyu Ramadhan NIM : C351110181

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc Anggota

Tanggal Ujian : 23 September 2013 Tanggal Lulus : Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini mengangkat tema dengan judul Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.). Tesis ini merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar magister di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dalam membimbing penulis dan banyak memberikan nasihat untuk lebih bijak dalam kehidupan.

2. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai anggota komisi pembimbing atas kesedian waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini. Bimbingan dan nasihat Ibu akan menjadi panutan dalam menjalani hidup.

3. Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi, selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan tesis. 4. Dr.Eng Uju, SPi, MSi sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak

memberikan saran dan perbaikan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan laboran Program Studi Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB yang telah banyak membantu dan kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh studi.

6. Dr Nurul Huda (Universitas Sains Malaysia) yang telah banyak memberikan arahan teknis selama proses pembuatan surimi kering.

7. Ibu Rubiyah yang telah banyak meluangkan waktu membantu penulis di Laboratorium hingga di akhir masa pensiun, semoga semua kebaikan Ibu dibalas dengan yang lebih baik.

8. Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa Unggulan DIKTI selama penulis menempuh pendidikan magister serta Kementerian Keuangan atas Beasiswa Penelitian yang diberikan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

9. Ayahanda Ir Tjandra Buana, MSi dan Ibu Ir Hermin Puspa Rahayu yang telah mengasuh, memberikan kasih sayang, serta dukungan moril dan material selama penulis menempuh pendidikan di Bogor sejak tahun 2006. 10.Lia Astriani, SPi atas dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang

diberikan, serta keluarga besar Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgrSc yang telah banyak memberikan semangat, kasih sayang dan kehangatan keluarga selama penulis menempuh pendidikan di Bogor.

(16)

12.Teman-teman THP 43 dan S2 THP 2010, 2011 dan 2012 atas kerjasama yang baik selama studi.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Bogor, Juli 2013

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xvii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING

BEKU LELE (Clarias sp.) 7

Pendahuluan 7

Metode 8

Hasil dan Pembahasan 16

Simpulan 43

3 PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU 44

Pendahuluan 45

Metode 46

Hasil dan Pembahasan 52

Simpulan 62

4 PEMBAHASAN UMUM 63

5 SIMPULAN DAN SARAN 65

DAFTAR PUSTAKA 66

RIWAYAT HIDUP 75

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap nilai L (lightness), a (redness),

b (yellowness) dan derajat putih surimi lele 20

2 Hasil komposisi proksimat, sifat fisik, dan sifat kimia pada surimi

kering dan surimi basah ikan lele 40

3 Beberapa larutan garam jenuh dan nilai RH pada suhu 30C 49

4 RH larutan garam jenuh 53

5 Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering dan waktu

tercapainya pada beberapa RH penyimpanan 54

6 Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering 57 7 Parameter penentuan umur simpan surimi kering beku ikan lele 61

pada kemasan dan RH yang berbeda

DAFTAR GAMBAR

1 Formulasi pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi)

(*Modifikasi, Ohkuma et al. 2008). 10

2 Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap

lemak fillet lele ( 0% NaHCO3, 0.25% NaHCO3, 0.50%

(18)

3 Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda 19 4 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele 21 5 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kandungan miofibril 22 6 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap pH surimi 23 7 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel surimi 24 8 Penerimaan uji lipat pada frekuensi pencucian surimi 25 9 Penerimaan uji gigit pada frekuensi pencucian surimi 26

10 Surimi kering beku 27

13 Kekuatan gel surimi dengan perbedaan jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,

3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 31

14 Nilai protein larut garam surimi kering : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 32 15 Densitas surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :

1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,

4. karagenan 2% 34

16 Kapasitas rehidrasi surimi kering lele pada beberapa jenis

dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,

3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 35

17 Sifat emulsi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,

3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 36

18 Daya buihsurimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,

3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 37

19 Mikrostruktur surimi kering (a. Tanpa penambahan dryoprotectant; b.Penambahan sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5% ; c. Penambahan trehalosa 6%;d. Penambahan karagenan 2 %) (a.Perbesaran 250 kali,

b.Perbesaran 1000 kali) 38

20 Penampang mikrostruktur surimi kering (SK),

surimi basah (SB), kamaboko kering (KK), dan kamaboko

basah (KB) (Perbesaran 250 kali) 42

21 Penentuan umur simpan surimi kering beku dengan

model air kritis (Arpah 2007) 48

22 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw). 52

23 Kurva penentuan kadar air kritis surimi kering berdasarkan

aktivitas air 53

24 Pengkondisian kelembaban penyimpanan surimi kering beku dengan desikator modifikasi kelembaban menggunakan garam jenuh 54 25 Grafik hubungan aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan (ISA) 55 26 Kurva sorpsi isotermis model Hasley ( ) dan hasil percobaan ( )

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi gizi protein masyarakat Indonesia belum merata di setiap daerah baik di pedesaan maupun perkotaan, bahkan belum mencapai angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Kualitas konsumsi pangan masyarakat juga masih rendah yang diindikasikan dengan masih rendahnya kontribusi protein hewani dalam menu makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30.17 kg/kapita/tahun, dan naik pada tahun 2010, 2011 dan 2012 berturut-turut meningkat 30.48, 32.25, 33.89 kg/ kapita/tahun. Walaupun sampai tahun 2012 mengalami peningkatan hingga 5.44% namun tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih jauh di bawah Singapura dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan Malaysia mencapai tingkat konsumsi 56.61 kg/kapita/tahun (KKP 2012). Sumbangan protein ikan terhadap angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 18%. Hal ini mernjadi ironi karena kondisi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya adalah lautan mempunyai potensi lestari perikanan laut yang begitu besar.

Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan 6.4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5.12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Disamping itu juga terdapat potensi perikanan lainnya yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu budidaya air tawar, laut dan perairan umum. Pada tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan Indonesia menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia dan telah ditetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombaknya. Produksi perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16.89 juta ton pada tahun 2014 atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 yang baru mencapai 4.78 juta ton (KKP 2011). Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan. Salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele.

(20)

karena tingginya permintaan pasar, namun kendala pemasaran ada pada ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize).

Ikan lele oversize memiliki ukuran lima ekor per kilogram atau bahkan mencapai 1-2 ekor per kilogram. Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam setiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual (Trobos 2008). Pemanfaatan ikan lele oversize masih kurang,hal ini disebabkan preferensi masyarakat yang sangat rendah terhadap ikan lele oversize, bau lumpur yang disebabkan oleh kandungan geosmin dan ukurannya yang besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya diversifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele yang berukuran besar. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan lele dalam pembuatan surimi sebagai intermediate product.

Park dan Lin (2005) menjelaskan bahwa surimi merupakan protein miofibril hasil dari pemisahan tulang secara mekanis kemudian mendapat perlakuan pencucian dengan air dingin dan ditambahkan cryoprotectant sebagai penstabil. Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi bermacam-macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Lanier 1992).

Bahan baku surimi diawali dengan penggunaan ikan-ikan berdaging putih dari perairan dingin misalnya Alaska pollock (pada tahun 2000 mensuplai 50% kebutuhan surimi di dunia), Pacific whiting (1990-2003), arrowtooth flounder

(1998-2001), southern blue whiting dan hoki (1988-1998), northern blue whiting

(1990-2003) dan jenis-jenis lain dari perairan Amerika Selatan. Dekade ini ikan-ikan tropis mulai dilirik misalnya threadfin bream (Nemipterus spp.), lizardfish

(Saurida spp.), bigeye snapper (Priacanthus spp.), croaker (Sciaenidae) dan spesies lainnya. Alaska pollock diketahui sebagai bahan baku surimi dengan grade premium dan telah diproduksi sampai 250.000 ton selama 1998-2003. Walaupun pada tahun 1990-an produksi surimi stabil dan pada tahun 2000 dan 2003 meningkat hingga 2-3%, namun ikan-ikan komersial sebagai bahan baku surimi misalnya atka mackerel dan Alaska pollock mengalami penurunan secara nyata. Saat ini tercatat bahwa terjadi penurunan kurang lebih 50% dari populasi Alaska pollock dan sedang dalam kondisi yang sangat kritis untuk diselamatkan (Greenpeace 2008). Tahun 2010 produksi Alaska pollock kembali mengalami penurunan drastis (Poowakanjana et al. 2013), sehingga perlu dilakukan kajian mengenai pecarian bahan baku yang murah dan mudah diperoleh sebagai bahan baku surimi (Park dan Lin 2005).

(21)

karena kualitas akhir surimi sangat ditentukan oleh kandungan dan kualitas protein ikan.

Negbenebor et al. (1999) menyatakan bahwa kandungan protein catfish

adalah 9.8-11.9%. Penelusuran paten surimi menunjukkan pengembangan surimi

catfish diawali oleh Miyakama et al. (1992) dengan nomor paten 5141766 (USA Patent), dalam patennya dinyatakan bahwa surimi catfish memiliki keunggulan pada kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik dibandingkan dengan surimi berbahan baku ikan walleye pollack, selain itu diungkapkan juga bahwa catfish

memiliki komponen heat-stable protein lebih baik dibandingkan dengan walleye pollack. Catfish memiliki kandungan miofibril yang baik, terutama kandungan miosin yang tinggi (Kim et al. 2006; Raghavan dan Kritinsson 2008). Chomnawang et al. (2007) menyatakan bahwa catfish mengandung protein 17.25-18.68% dengan komposisi miofibril 45.14 mg/g. Kandungan protein yang tinggi terutama kandungan miofibril menjadikan ikan lele sebagai komoditas yang memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi surimi.

Pengolahan surimi berbahan baku ikan lele telah banyak dikaji, namun sebagai upaya optimasi pemanfaatan surimi diperlukan sediaan pangan lain yang lebih praktis dan mudah digunakan salah satunya adalah dalam bentuk tepung surimi. Kajian mengenai tepung surimi dari ikan air tawar masih sangat jarang dilakukan. Lanier dan Lee (1992) pertama kali melakukan kajian terhadap proses pembuatan surimi kering beku (tepung surimi) menggunakan spray drying dan

freeze drying menjadi bubuk surimi.

Perkembangan penelitian tepung surimi terus berlanjut. Penelitian tentang surimi kering beku atau tepung surimi dimulai oleh Lanier dan Lee (1992), (Priacanthus tayenus) dan lizardfish (Saurida tumbil) (Huda et al. 2001), marlin

(Makaira sp.) (Pratiwiningsih 2004), carp (Cyprinus carpio) (Ohkuma et al. 2008), dan saithe (Pollachius virens) (Shaviklo et al. 2010; 2012; 2013). Penelitian mengenai tepung surimi berbahan baku ikan lele belum banyak dikaji sehingga pengembangan penelitian tersebut perlu dilakukan. Kajian mengenai proses pembuatan tepung surimi telah menggunakan banyak metode pengeringan antara lain solar drying, oven drying, drum drying, spray drying, dan freeze drying (Santana et al. 2012). Metode freeze drying masih menunjukkan keunggulan dalam mempertahankan sifat-sifat fungsional surimi, sehingga produk akhir surimi dengan pengolahan freeze drying biasanya disebut surimi kering beku.

(22)

meat (Zhou et al. 2003). Surimi telah banyak dijumpai di pasar-pasar swalayan di kota besar Indonesia, sehingga peluang pengembangan tepung surimi sebagai bahan intermediate pangan sangat menjanjikan.

Melihat peluang tersebut ikan lele sebagai komoditas unggulan budidaya Indonesia memiliki potensi besar untuk diolah menjadi surimi kering beku. Pengolahan lele ukuran oversize menjadi tepung surimi atau surimi kering beku memberikan keuntungan kepada petani ikan dan juga memberikan keuntungan kepada pelaku industri surimi dalam proses penyimpanannya. Kondisi penanganan, distribusi dan kapasitas penyimpanan surimi beku memerlukan biaya yang tinggi (Parvathy dan Sajan 2011). Bentuk kering dari surimi merupakan alternatif dalam perdagangan dikarenakan biaya transportasi yang lebih murah, penyimpanan produk lebih mudah, lebih praktis (ringkas) dan efisien karena tidak memerlukan pembekuan selama proses distribusi, memungkinkan penyedian stok yang banyak, serta perbaikan warna dan penghilangan bau yang dapat mengatasi masalah pada pengolahan tepung ikan untuk konsumsi manusia.

Produk kering merupakan salah satu produk pangan yang memiliki masa simpan yang cukup lama, namun produk kering yang memiliki porositas yang tinggi akan memiliki kepekaan terhadap kelembaban udara yang tinggi. Penentuan masa simpan produk kering dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Penentuan umur simpan produk kering dapat dilakukan dengan pendugaan menggunakan model air kritis. Model air kritis ditentukan oleh variasi kelembaban udara dan model sorpsi air dari bahan pangan.

Keunggulan produk surimi kering serta potensi pengembangannya yang begitu besar menjadikannya sebagai salah satu alternatif produk intermediate instant pilihan di masa akan dating. Kajian terhadap pembuatan dan penentuan sifat fungsional dari surimi kering beku dengan bahan utama ikan lele serta penentuan masa simpan surimi kering belum banyak dilakukan sehingga menjadi salah satu kajian awal yang perlu dilakukan.

Rumusan Masalah

Ikan lele merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia. Peningkatan produksi budidaya lele diikuti dengan peningkatan jumlah lele

(23)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

a. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman garam alkali terbaik terhadap penurunan kandungan lemak daging lele.

b. Menentukan proses pembuatan terbaik surimi kering beku ikan lele. c. Mengevaluasi sifat fisikokimia dan mikrostruktur surimi kering ikan lele. d. Menentukan umur simpan surimi kering beku dengan jenis kemasan

plastik yang berbeda.

Manfaat Penelitian

(24)
(25)

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING

BEKU LELE (

Clarias

sp.)

Pendahuluan

Latar belakang

Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi bermacam- macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Lanier 1992). Huda et al. (2001) dan Nopianti et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan ikan-ikan alternatif yaitu ikan-ikan pelagis, air tawar serta ikan non- ekonomis merupakan salah satu kajian yang saat ini banyak dikembangkan untuk melihat peluang pemanfaatan komoditas tersebut menjadi bahan baku surimi.

Pemanfaatan ikan air tawar sebagai bahan baku surimi diperkirakan dapat menjamin ketersediaan stok bahan baku serta dapat menjadi salah satu alternatif sumber bahan baku surimi yang selama ini sudah mengalami penurunan pasokan akibat overfishing. Ikan lele sebagai salah satu komoditas unggulan budidaya di Indonesia berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku surimi. Kegiatan budidaya ikan lele sebagaimana yang disebutkan sebelumnya memiliki kendala dalam penanganan dan manajemen terkait ukuran di atas permintaan pasar (Trobos 2008). Lele dengan ukuran oversize memiliki harga yang rendah dan kurang dimintai oleh konsumen, sehingga pengolahan lele yang berukuran besar menjadi surimi berpotensi untuk dikembangkan.

Surimi dengan bahan baku ikan lele belum banyak dikembangkan. Miyakama et al. (1992) memulai pemanfaatan ikan lele sebagai surimi, namun secara umum masih sangat jarang kajian mengenai pemanfaatan ikan lele dengan ukurun besar (oversize) untuk menjadi surimi. Pencucian merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kandungan lemak, pigmen, protein larut air serta komponen lain yang dapat mengganggu terbentuknya gel yang baik pada surimi (Chen et al.

1997). Kandungan lemak merupakan salah satu faktor kritis yang biasanya diperhatikan dalam pengolahan surimi, terkadang pencucian dengan air dingin biasa tidak cukup untuk mereduksi kandungan lemak di ikan. Salah satu metode yang biasa dilakukan untuk mengurangi kandungan lemak adalah dengan proses

(26)

surimi, begitupun jenis cryoprotectant memberikan pengaruh langsung terhadap kandungan protein surimi selama penyimpanan beku.

Surimi kering merupakan bentuk kering dari surimi yang telah dihilangkan sebagian besar kandungan airnya, sehingga biasa disebut sebagai tepung surimi. Lanier dan Lee (1992) di Jepang serta Montejano et al. (1994) di Mexico telah memulai mengkonversi surimi menjadi bentuk kering atau tepung protein. Kondisi kering surimi menunjukkan banyak keunggulan antara lain lebih mudah dalam penyimpanannya. Namun dalam proses pengeringan surimi basah banyak air yang akan dihilangkan yang akan menyebabkan hilangnya komponen gizi salah satunya adalah protein miofibril yang mempengaruhi nilai kekuatan gel pada produk akhir. Cryoprotectant atau dryoprotectant berperan dalam menjaga komponen air sehingga menghindari terjadinya driploss saat proses thawing atau kehilangan air secara berlebihan saat pengeringan beku (Suzuki 1981). Park dan Lin (2005) melaporkan bahwa poliol dan beberapa jenis gula terbukti mampu menjadi cryoprotectant, walaupun perkembangan penelitian terakhir penggunaan

cryoprotectant dengan jenis gula yang berkalori tinggi sudah mulai dihindari dikarenakan isu mengenai kesehatan (Nopianti et al. 2011).

Surimi kering akan mengalami kehilangan air yang besar pada struktur jaringan dagingnya. Proses rehidrasi kembali diharapkan mampu mengembalikan struktur jaringan daging surimi. Perubahan sifat fisiko kimia surimi kering, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan surimi kering menjadi kajian yang perlu dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan ikan lele sebagai bahan baku surimi di masa mendatang.

Tujuan

Tujuan penelitian pada tahap awal ini antara lain :

1. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman sodium bikarbonat terbaik pada fillet lele

2. Menentukan frekuensi pencucian surimi terbaik 3. Menentukan jenis dryoprotectant terbaik

4. Mengevaluasi perbedaan sifat fisiko kimia surimi kering dan surimi basah.

Metode

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Maret 2013. Bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Saraswati Indo Genetech Bogor, serta Laboratorium Geologi Kuarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung.

Bahan dan alat

(27)

kolam Budidaya Lebak Sirna Ciampea, Bogor. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain K2O4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, HCl

(MERCK).

Alat yang digunakan adalah pengering beku/freeze dryer ( Christ Alpha 2-43360 Harz tipe 10042), alat dekstruksi dan destilasi Kjeldahl, labu lemak, alat-alat gelas, alat-alat ekstraksi soxhlet, pH meter (THERMO tipe orion 3 star portable),

refrigerator (Glacio-Toshiba tipe GR K262/262PD), freezer (SHARP tipe FRV-200), sentrifuge (JOUAN tipe CR 412), texture analyzer (TA-XT21), Scanning electron microscope (SEM-JSM tipe 6360 LA).

Tahapan penelitan

Penelitian dilakukan dalam empat tahap meliputi tahap proses deffating

daging ikan, pengaruh frekuensi pencucian surimi, pengaruh jenis dryoprotectant, serta tahap perbandingan sifat fungsional surimi kering beku dan surimi basah. Konsentrasi dan waktu perendaman terpilih pada tahap pertama digunakan dalam proses pembuatan surimi, selanjutnya frekuensi pencucian dan jenis

dryoprotectant terpilih menjadi formula yang digunakan dalam pembuatan surimi kering yang pada tahap akhir dibandingkan dengan surimi basah.

Pengaruh perendaman garam alkali

Ikan lele oversize diuji kandungan proksimat awalnya (air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat). Lele difillet dengan panjang 10-20 cm, tebal 0.5-1.5 cm. Fillet direndam pada larutan NaHCO3 dengan konsentrasi 0%, 0.25%, 0.5%,

0,75% dan 1% (b/v) masing-masing 10, 20 dan 30 menit, kemudian dilakukan pengujian kadar lemak (AOAC 2005) untuk mendapatkan waktu dan konsentrasi NaHCO3 terbaik.

Penentuan frekuensi pencucian terbaik

Fillet ikan lele digiling kemudian dicuci dengan air dingin (suhu 10 C) sebanyak satu, dua, tiga dan empat kali. Masing-masing frekuensi pencucian diukur rendemennya, derajat putih (Debusca et al. 2013), daya ikat air (WHC) (McCord et al. 1998),kekuatan gel (Huda et al. 2012), kadar protein larut garam (Zhou et al. 2006), nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) (Lanier 1992). Penentuan dryoprotectant terbaik

Tahap penentuan konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terbaik

dilanjutkan dengan penentuan dryoprotectant terbaik. Perlakuan yang diberikan adalah trehalosa 6% (Huda et al. 2012), karagenan 2% (Uju et al. 2007), dan

dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5% (Park dan Lin 2005). Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan

dryoprotectant terbaik adalah rendemen, daya ikat air (McCord et al. 1998), kekuatan gel (Huda et al. 2012), protein larut garam (Zhou et al. 2006), densitas (Venugopal et al. 1996), rehidrasi (Xu et al. 2004), sifat emulsi (Yatsumatsu et al.

1972) dan daya buih (Huda et al. 2012).

Karakteristik kualitas akhir surimi basah dan surimi kering beku

Setelah diperoleh konsentrasi NaHCO3, frekuensi pencucian dan jenis

(28)

proksimat, water holding capacity, kekuatan gel, pengukuran nilai pH, profil tekstur serta uji sensori (uji gigit dan uji lipat). Surimi juga diolah menjadi

kamaboko dengan cara surimi dicampur dengan 3% (b/b) garam dan 30% (b/v) air dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit. Pasta tersebut dimasukkan ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan pemanasan I pada suhu 40 C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pamanasan II pada suhu 90 C selama 20 menit. Diagram alir pembuatan surimi kering beku ikan lele (Ohkuma et al. 2008) disajikan pada Gambar 1.

(29)

Metode analisis

Analisis yang dilakukan berupa karakterisasi sensori, fisika dan kimia yang meliputi uji lipat dan uji gigit, analisis rendemen, pengkuran pH, derajat putih, kekuatan gel, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar protein larut garam, dan daya ikat air.

Uji lipat dan gigit surimi (Lanier 1992)

Penentuan uji lipat (folding test) dan uji gigit (teeth cutting test) dilakukan dengan membuat kamaboko terlebih dahulu. Surimi dicampur dengan 3% (b/b) garam dan 30% (b/v) air dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit. Pasta tersebut dimasukkan ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan pemanasan I pada suhu 40 C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pemanasan II pada suhu 90 C selama 20 menit. Setelah itu kamaboko didinginkan dan dipotong dengan ketebalan 4-5 mm untuk uji lipat dan 1-2 cm untuk uji gigit.

Uji lipat dilakukan dengan cara melipat kamaboko menjadi setengah lingkaran. Jika tidak putus atau retak maka dilipat lagi menjadi seperempat lingkaran. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut :

5 : tidak retak bila dilipat 4 4 : sedikit retak bila dilipat 4 3 : sedikit retak bila dilipat 2

2 : retak tapi masih menyatu bila dilipat 2 1 : patah seluruhnya bila dilipat 2

Uji gigit dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut : 10 : amat sangat kuat kekenyalannya

9 : amat kuat kekenyalannya 8 : kuat kekenyalannya 7 : agak kuat kekenyalannya

6 : kekenyalannya masih dapat diterima 5 : agak lunak

4 : lunak 3 : sangat lunak 1 : hancur Analisis fisika

(a) Analisis rendemen

Pengamatan meliputi rendemen fillet dan surimi terhadap bahan baku : Rendemen fillet ikan (%) = berat daging fillet

berat daging utuh x 100%

Rendemen surimi basah (%) = berat surimi basah

berat ikan utuh x 100%

Rendemen surimi kering (%) = berat surimi kering

berat ikan utuh x 100%

(b) Derajat putih (Debusca et al. 2013)

(30)

diletakkan dalam tabung dengan ditutupi lensanya dan nilai reflektan (L, a dan b) terbaca pada alat pengukur. Perhitungan nilai derajat putih dilakukan dengan menggunakan rumus :

Derajat putih (%) = 100 – (100− ∗)2+ ∗2+ ∗2

(c) Sifat rehidrasi (Xu et al. 2004)

Sampel sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL, kemudian ke dalam gelas dimasukkan air sejumlah persen kehilangan air selama proses pengeringan beku. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap waktu rehidrasi dan kapasitas rehidrasi. Sebanyak 20 g sampel ditambahkan dengan air diaduk merata hingga menjadi bubur yang kental. Waktu rehidrasi dihitung saat sampel mulai diberi air hingga menjadi bubur. Kapasitas rehidrasi (Kr) dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kr = Selisih berat sampel awal dan sampel akhir (g)

Berat contoh tepung surimi (g)

(d) Densitas (Venugopal et al. 1996)

Densitas nyata surimi kering ditentukan dengan menempatkan sampel dalam labu 10 mL. Berat surimi kering dicatat dan kepadatan volume yang dinyatakan sebagai mL per 10 g tepung surimi. Selanjutnya pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Gelas ukur 100 mL ditimbang (a), kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur sampai tanda tera. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b). Densitas kamba diukur dengan rumus :

Densitas kamba (g/ml) = b−a g

100 ml

(e) Daya ikat air (Water Holding Capacity) (Nopianti et al. 2011; McCord

et al. 1998)

Pengamatan daya ikat air pada surimi kering mengacu pada Nopianti et al.

(2011), sedangkan pada surimi basah untuk metode pengukuran daya ikat air mengacu pada McCord et al. (1998). Sampel dengan berat yang ditentukan disentrifugasi pada 4500 rpm selama 15 menit, setelah itu supernatan dipisahkan dan bagian padatan ditimbang (W1). Selanjutnya bagian padatan ditentukan kadar

airnya dengan mengeringkan dalam oven seperti prosedur penentuan kadar air, sehingga diperoleh berat setelah dikeringkan (W2).

Daya ikat air (WHC) (%) = W 1−W 2

W 1 x 100%

(f) Kekuatan gel (Hayes et al. 2005)

(31)

kali. Hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah.

(g) Daya buih(Huda et al. 2012)

Tepung surimi (1 g) ditambahkan ke dalam 100 mL air dan dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan surimi dipindahkan ke dalam 250 mL beaker glass. Kapasitas daya buih atau busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas daya buih merupakan rasio dari kapasitas daya buih selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas daya buih awal.

(h) Sifat emulsi (Yatsumatsu et al. 1972)

Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g surimi kering ditambahkan 20 mL air dan 20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifugasi pada 7500 rpm selama 5 menit. Stabilitas emulsi ditentukan dengan cara yang sama namun sebelum sampel disentrifugasi, emulsi dipanaskan di waterbath pada suhu 90 C selama 30 menit kemudian didinginkan di air dingin selama 10 menit. Kapasitas dan stabilitas emulsi dihitung dengan menggunakan rumus :

Emulsi = volume emulsi setelah disentrifugasi

volume awal x 100%

(i) Pengamatan mikrostuktur (Lin et al. 2002)

Prinsipnya adalah sampel diiradiasi dengan pancaran elektron, sehingga elektron ada yang meloncat dan ada yang diserap. Jika sampel tidak memiliki konduktivitas elektrik, elektron yang diserap akan memberikan arus pada sampel, sehingga terjadi kesalahan pengamatan. Oleh karena itu dilakukan pelapisan metal dalam ruang hampa, pengamatan dengan accelerating voltage rendah dan pengamatan dalam tingkat kehampaan untuk mencegah sampel menerima arus.

Pengamatan mikrostruktur dilakukan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Sampel yang akan diamati terlebih dahulu dikeringkan dalam pengering beku. Setelah preparasi sampel selesai, dilakukan pelekatan sampel pada logam yang telah dilapisi lem karbon untuk dilakukan pelapisan menggunakan emas atau logam di dalam magnetron sputtering device yang dilengkapi dengan pompa vakum, pada proses vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel sehingga melapisi emas. Proses vakum berlangsung sekitar 20 menit. Sampel yang telah dilapisi diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron dan dengan terjadinya tembakan elektron kearah sampel maka akan terekam ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.

Analisis kimia

(a) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Sampel ditimbang 2 g bahan dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan 1.9±0.1 g K2O4, 40±10 mg HgO, 2.0 mL H2SO4. Selanjutnya larutan dididihkan

selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 mL larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang telah

berisi 5 mL H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol) dengan

(32)

diperoleh adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25. Kadar protein yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan:

Kadar N (%) = ml HCl−ml blanko x N HCl x 14.007

mg sampel x 100%

Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6.25) (b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Prinsip penetapan kadar abu yaitu abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550-600 °C. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102- 105 °C selama 30 menit. Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian dikeringkan dalam oven dan diarangkan, selanjutnya diabukan dalam tanur pada suhu 600 °C selama 6-8 jam sampai pengabuan sempurna (abu berwarna putih). Sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Untuk menghitung kadar abu digunakan rumus sebagai berikut:

Kadar abu (%) = Bera t Abu

Berat Sampel x 100%

(c) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel ditimbang labu alas bulat kosong (A g). Kemudian ditimbang 2 g homogenat contoh (B g) yang dimasukkan dalam selongsong lemak. Kemudian berturut-turut dimasukkan 150 mL kloroform ke dalam labu alas bulat, selongsong lemak ke dalam extractor soxhlet, dan dipasang rangkaian soxhlet

dengan benar. Ekstraksi dilakukan pada suhu 60 °C selama 6 jam. Selanjutnya campuran lemak dan chloroform dalam labu alas bulat dievaporasi sampai kering. Labu alas bulat yang berisi lemak dimasukkan dalam oven suhu 105 °C selama ±2 jam untuk menghilangkan sisa kloroform dan uap air. Labu dan lemak didinginkan di dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang berat labu alas bulat yang berisi lemak (C g) ditimbang beratnya hingga konstan. Perhitungan lemak pada sampel adalah:

Kadar lemak (%) = C−A

B x 100%

Keterangan: A = Berat labu alas kosong (g) ; B = Berat contoh(g) ; C = Berat labu alas bulat dan lemak hasil ekstraksi (g)

(d) Kadar protein larut garam (miofibril) (Zhou et al. 2006)

Prinsip penetapan adalah membuang lemak dan protein yang terlarut pada contoh surimi. Adonan daging ditimbang 3 g (A) dihomogenisasi dalam 30 mL 0.08 M bufer borat dingin pH 7.1 selama 4 menit. Wadah sampel ditempatkan dalam es. Setiap 20 detik proses homogenisasi diikuti dengan istirahat selama 20 detik untuk menghndari kelebihan panas selama ekstraksi. Homogenat disentrifugasi pada 8370 g selama 30 menit pada 4 C. Padatan yang diperoleh ditimbang (B). Penentuan kadar protein miofibril menggunakan rumus :

Kadar protein miofibril (%) = B

(33)

(e) Pengukuran nilai pH

Prinsip penetapan pH adalah bahwa konsentrasi ion H+ dalam sampel yang bersifat buffer dapat diukur dengan menggunakan pH meter. Prosedur pengukuran nilai pH diawali dengan penimbangan sampel yang telah dihomogenisasi sebanyak 20 g kemudian dimasukkan ke dalam blender, ditambahkan 40 mL akuades dan diblender selama 1 menit, hasilnya dituangkan ke dalam gelas piala 100 mL. Alat pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer standar yang memiliki pH 7 dan pH 4 sebelum digunakan. Pembacaan nilai pH setelah jarum petunjuk pH meter konstan kendudukannya.

Analisis data

Rancangan Percobaan (Steel dan Torrie 1993)

Rancangan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Perlakuan yaitu waktu peredaman dan konsentrasi garam alkali. Model rancangan yang digunakan adalah:

= �+ + + ( ) + �

εij : Galat percobaan perlakuan k dengan kombinasi rafa ke-i dan ke-j

Sebelum dilakukan analisis ragam dilakukan terlebih dahulu uji kenormalan data dengan uji distribusi normal. Uji kenormalan yang digunakan adalalah uji Kolmogorov Smirnov. Pengujian dengan menggunakan software Minitab 16 dengan output berupa P value.

Pada tahap dua dan tiga yaitu pengaruh frekuensi pencucian dan jenis

dryoprotectant, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Model rancangan yang digunakan adalah:

Y

ij

= µ + σ

i

+ ε

ij

Keterangan:

Yij : hasil pengamatan parameter pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ : nilai rata-rata pengamatan terhadap parameter

σi: : pengaruh perlakuan ke-i

εij : galat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i : perlakuan ke-i j : ulangan ke-j

Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% untuk menyatakan perbedaan nyata. Selanjutnya data dianalisis dengan analisis ragam. Jika dari hasil analisis ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji

Tukey. Rumus untuk uji berpasangan tukey (multiple comparisons) adalah:

(34)

Keterangan:

Ri = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i

Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j

k = jumlah perlakuan

N = jumlah data yang dibandingkan

α = 0.05 (5%)

Pengujian nilai kesukaan panelis menggunakan analisis non-parametrik yaitu Kruskall-Walis. Data organoleptik dianalisis menggunakan Kruskall-Walis dengan uji chi square. Apabila nilai x2 hitung > x2 tabel maka tolak Ho. Prosedur

ni = banyaknya pengamatan tiap perlakuan atau jumlah panelis

n = banyaknya data

Ri = jumlah rata-rata tiap perlakuan ke-i

T = banyaknya pengamatan yang seri dalam tiap ulangan H’ = H terkoreksi (ki-kuadrat)

FK = faktor koreksi

Apabila hasil uji chi-square menunjukkan di antara perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap parameter yang diamati maka pengujian dilanjutkan dengan uji lanjut multiple comparison dengan menggunakan Uji Dunn.

Hasil dan Pembahasan

Surimi merupakan konsentrat protein miofibril dari ikan, komponen selain protein larut garam dianggap dapat mengganggu proses pembentukan gel pada produk akhir. Lemak adalah salah satu komponen yang dihindari dan harus dihilangkan selama proses pencucian surimi. Beberapa jenis ikan mengandung komponen lemak yang tinggi. Kehadiran lemak dapat mengganggu sifat fungsional protein. Proses pencucian selama pembuatan surimi belum tentu dapat menghilangkan komponen lemak secara signifikan, sehingga proses pre-treatment deffating sebelum proses pengolahan surimi dianggap penting untuk dilakukan. Salah satu syarat mutu surimi yang baik adalah memiliki kandungan lemak tidak lebih dari 0.5%. Proses defatting diharapkan dapat menurunkan lemak secara signifikan dan dapat menghasilkan surimi dengan kualitas yang lebih baik.

Defatting fillet ikan lele

(35)

pengaruh waktu perendaman dan konsentrasi sodium bikarbonat pada kandungan lemak fillet ikan lele.

Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0.05)

Gambar 2 Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap

lemak fillet lele ( 0% NaHCO3, 0.25% NaHCO3, 0.50%

NaHCO3, 0.75% NaHCO3, 1% NaHCO3).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama waktu perendaman tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kandungan lemak fillet ikan lele (p>0.05), namun perbedaan konsentrasi NaHCO3 memberikan pengaruh nyata

terhadap kandungan lemak fillet lele. Selain itu interaksi perlakuan waktu dan persentasi kandungan NaHCO3 tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan

lemak fillet lele. Penurunan kandungan lemak seiring dengan peningkatan konsentrasi sodium bikarbonat yang digunakan. Kadar lemak awal ikan lele adalah 3.37%. Penggunaan suhu dingin terbukti dapat menurunkan kandungan lemak hingga 2.86-3.66%. Berdasarkan uji lanjut multiple comparison

penggunaan sodium bikarbonat dengan konsentrasi 0%, 0.25% serta 0.5% menunjukkan hasil yang tidak nyata terhadap penurunan kadar lemak fillet lele, namun berpengaruh nyata pada penggunaan sodium bikarbonat 0.75% dan 1%. Penggunaan sodium bikarbonat terbukti dapat mereduksi kadar lemak 27-78%.

Metode defatting dengan menggunakan larutan alkali, menurut Srinivasan

et al. (1996) selain dapat mereduksi lemak juga merupakan bufer yang mampu mencegah terjadinya oksidasi pada lemak dan protein selama penyimpanan. Sodium bikarbonat juga berperan sama dengan NaH2PO4 yang mampu berperan

mengikat komponen lipida pada permukaan daging ikan. Kandungan lemak surimi merupakan salah satu penentu kualitas surimi. Kandungan lemak maksimal adalah 0.5% (% b/b) (BSN 1992), sehingga pengaruh proses defatting di tahap awal akan sangat berpengaruh dalam menghasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Karayannakidis et al. (2007) melaporkan bahwa pencucian daging ikan sardin (Sardina pilchardus) dengan larutan alkali efektif untuk menghilangkan lemak. Pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan indeks

(36)

lightness (kecerahan) dan derajat putih surimi (Chen 2002; Chanarat dan Benjakul 2013).

Penggunaan NaHCO3 0%, 0.25% dan 0.5% menunjukkan hasil yang nyata

terhadap penurunan lemak fillet lele. Lanier dan Lee (1992) menggunakan 0.2% NaHCO3 dalam proses defatting. Penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan

0.5% NaHCO3 mampu mereduksi komponen lemak surimi (InfoFish International

1989; Suvanich and Prinyawiwatkul 1999). Penggunaan alkali dalam pencucian daging ikan menghasilkan kualitas surimi yang lebih baik dibandingkan dengan pencucian air dingin saja. Penurunan kadar lemak menunjukkan bahwa penggunaan NaHCO3 0.75% dan 1% menghasilkan fillet lele dengan kandungan

lemak lebih rendah dibandingkan penggunaan konsentrasi 0%, 0.25% dan 0.5%, walaupun penggunaan NaHCO3 0.75% dan 0.5% menunjukkan hasil yang tidak

nyata (p>0.05) terhadap penurunan kadar lemak. Bledso et al. (2000) menyatakan bahwa pada pengolahan surimi yang menggunakan ikan dengan lemak tinggi sebaiknya digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) yang berfungsi untuk

membantu mengurangi kandungan lemak.

Karakteristik kimia merupakan indikator awal kemampuan daging ikan membentuk surimi yang baik. Komponen kimia yang dianalisis adalah karbohidrat, air, lemak, protein, dan abu. Kandungan protein pada fillet daging awal 16.32%, dan lemak 1.66%. Setelah proses defatting lemak mengalami penurunan hingga 89.64% namun diikuti juga dengan penurunan protein 18.81%. Proses leaching dengan sodium bikarbonat terbukti dapat menurunkan kandungan lemak secara nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kadar lemak pada fillet. Kandungan lemak yang rendah pada lele setelah defatting tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kualitas surimi akhir yang dihasilkan. Konsentrasi sodium bikarbonat yang dipilih adalah 0.75% dengan waktu perendaman selama 10 menit. Penentuan frekuensi pencucian terbaik

Surimi merupakan daging lumat hasil pencucian dengan air dingin dengan frekuensi satu hingga empat kali pencucian. Proses pencucian diulang tiga hingga empat kali untuk memastikan penghilangan fraksi sarkoplasma. Komponen terbesar yang hilang adalah komponen-komponen larut air (Lanier 1992). Pencucian dilakukan bergantung pada karakteristik ikan dan komponen kimia ikan yang digunakan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kandungan lemak, protein larut air, darah, enzim, pigmen dan kotoran lain yang mengganggu pembentukan gel surimi. Pencucian akan mempengaruhi rendemen, derajat putih, daya ikat air, protein larut garam, nilai pH, kekuatan gel, serta nilai sensori terhadap uji lipat dan uji gigit surimi.

Rendemen surimi lele

(37)

frekuensi pencucian satu, dua dan tiga kali berbeda nyata, namun pencucian ketiga dan keempat tidak berbeda nyata.

Hasil rendemen surimi menunjukkan bahwa frekuensi pencucian berbanding terbalik dengan rendemen surimi yang dihasilkan, yaitu semakin banyak frekuensi pencucian surimi maka semakin rendah rendemen surimi yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena pencucian menyebabkan leaching beberapa komponen dari daging ikan, terutama protein sarkoplasma. Darah, pigmen, lemak dan komponen larut air lainnya akan hilang dengan meningkatnya frekuensi pencucian. Rendemen produk surimi dipengaruhi oleh bahan bakunya (jenis, ukuran, musim dan kondisi biologis ikan), serta metode pencucian yang digunakan.

Derajat putih surimi lele

Warna merupakan salah satu atribut awal yang mempengaruhi kualitas suatu produk. Ikan lele oversize memiliki daging yang cenderung gelap dan berwarna merah sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas produk surimi. Frekuensi pencucian surimi secara nyata mempengaruhi derajat putih kamaboko yang dihasilkan, secara visual perbedaan kamaboko dengan pencucian surimi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda. Semakin tinggi frekuensi pencucian surimi maka semakin baik warna putih yang dihasilkan. Pencucian satu kali dan dua kali menunjukkan penampakan warna surimi yang sama, tingkat kecerahan mulai meningkat pada surimi dengan tiga hingga lima kali pencucian. Uji ragam yang dilakukan menunjukkan frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih surimi. Hasil pengamatan nilai L (lightness), a (redness), dan b (yellowness) dan derajat putih dengan menggunakan Chromameter disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap nilai L (lightness), a (redness), b (yellowness) dan derajat putih surimi lele

Frekuensi

Pencucian L(lightness) a(redness) b(yellowness) Derajat putih 1 57.20 + 2.20b +5.07 + 0.84a +9.91+ 0.04a 55.77 + 2.00b 2 58.64 + 0.95b +4.81+ 0.28ab +9.83+ 0.15a 57.09 + 0.89b 3 67.20 + 5.13a +4.67 + 0.15b +9.48+ 0.73a 65.16 + 4.60a 4 68.55 + 3.52a +4.60 + 0.04b +9.42+ 0.17a 64.91 + 3.31a

(38)

Derajat putih menunjukkan tingkat derajat warna atau kecerahan pada suatu bahan. Indeks nilai (<50) dinyatakan sebagai warna gelap, sedangkan nilai indeks (>50) dinyatakan sebagai warna yang cerah. Berdasarkan data hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa surimi dengan pencucian satu dan dua kali menghasilkan nilai derajat putih yang tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan pencucian tiga dan empat kali (p<0.05).

Surimi lele menunjukkan nilai lightness yang cukup rendah. Lightness

meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi pencucian. Derajat putih surimi lele (Clarias sp.) lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Benjakul

et al. (2010) yang menghasilkan surimi dari goatfish dengan derajat putih 73-77%. Huda et al. (2001) melaporkan hasil penelitiannya bahwa surimi dari ikan

lizardfish memiliki nilai lightness, redness dan yellowness berturut-turut adalah 85.59, 0.30, 16.38, ikan threadfin bream 89.57, 0.19, 12.22, dan purple-spotted bigeye 88.83, 0.23, 13.16. Secara umum nilai kecerahan dari beberapa ikan tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi lele hasil penelitian ini, sedangkan untuk nilai redness surimi dari lele menunjukkan nilai kemerahan yang cukup tinggi di semua frekuensi pencucian. Hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Park dan Lin (2005) bahwa proses pencucian menghilangkan sebagian lemak dan pigmen dalam daging ikan, warna surimi natural adalah putih mengkilap, dan mioglobin serta hemoglobin berperan dalam memberikan warna kemerahan pada daging. Yellowness surimi lele menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan ketiga ikan pada penelitian Huda et al. (2001). Surimi komersial memiliki 4-5 grade mutu yang berbeda berdasarkan indeks L* dan b* (Park dan Lin 2005).

Kristinsson et al. (2005) menyatakan dalam konsentrat protein ikan peningkatan jaringan dapat meningkatkan nilai L*(lightness). Pilar dan Reyes (2007) menjelaskan bahwa nilai yellowness biasanya disebabkan oleh lipida, sedangkan redness dipengaruhi oleh presipitasi protein. Denaturasi atau oksidasi juga dapat menyebabkan tingginya nilai kuning kecoklatan pada produk. Penentuan pencucian surimi didasarkan pada nilai derajat putih dan parameter lainnya, walaupun pencucian satu kali menunjukkan nilai derajat putih yang lebih rendah (55.77%) dibandingkan dengan pencucian dua hingga empat kali namun parameter lain terutama kualitas gel masih harus tetap dipertimbangkan. Nilai indeks di atas 50% masih dikategorikan cerah dan masih bisa diterima oleh konsumen. Selain itu persyaratan derajat putih pada surimi ekspor kelas I adalah lebih besar dari 46% (Lanier 1992).

Daya ikat air surimi lele

(39)

Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Gambar 4 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele. Daya ikat air merupakan faktor penting dalam kemampuan pembentukan gel surimi. Daya ikat air akan berbanding lurus dengan kekuatan gel yang dihasilkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh protein melalui interaksi dengan molekul air dan sisi komponen larut air protein melalui ikatan hidrogen (Zayas 1997), yang sangat dipengaruhi oleh pK, kekuatan ion, suhu, komponen dari suatu bahan pangan, lemak, garam, kondisi penyimpanan.

Data daya ikat air surimi lele menunjukkan semakin banyak frekuensi pencucian maka nilai pengikatan terhadap air juga semakin rendah, hal ini juga dibuktikan dengan semakin menurunnnya kekuatan gel dari surimi tersebut. Surimi dengan pencucian satu dan dua kali menunjukkan hasil daya ikat air yang tidak berbeda nyata (p>0.05), pencucian tiga dan empat kali menunjukkan nilai daya ikat air yang menurun secara nyata. Daya ikat air memegang peranan penting dalam pembentukan gel dan emulsi (Zhou et al. 2006). Nopianti et al. (2012) juga melaporkan penggunaan dryoprotectant pada surimi memberikan pengaruh pada nilai daya ikat air surimi.

Protein larut garam surimi lele

Protein miofibril atau protein larut garam yaitu miosin, aktin, tropomiosin dan troponin merupakan bagian terbesar dari protein otot ikan. Tekstur produk ikan dan kemampuan membentuk gel pada daging ikan dan surimi dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada protein ini (Shahidi et al. 1999). Pencucian memberikan pengaruh langsung pada penurunan kandungan miofibril daging ikan. Berdasarkan hasil analisis ragam, frekuensi pencucian pada surimi berpengaruh nyata terhadap kandungan miofibril atau protein larut garam. Kandungan protein larut garam disajikan pada Gambar 5.

Tahap pencucian dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu surimi. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan komponen-komponen pengganggu dalam pembentukan gel misalnya darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam anorganik dan senyawa berberat molekul rendah (Benjakul

(40)

Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Gambar 5 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kandungan miofibril. Oleh karena itu surimi pada pencucian dua kali memperlihatkan nilai protein larut garam yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencucian pertama, namun kembali menurun pada pencucian ketiga dan keempat. Hal ini diduga akibat hilangnya komponen protein miofibril, bahkan pencucian dapat menghilangkan 25% dari protein yang ada di ikan (Suzuki 1981). Bagian kepala globular dari miofibril memiliki 80% komponen hidrofilik sehingga akan larut air saat proses pencucian surimi (Lanier and Lee 1992)

Nilai PLG tertinggi sebesar 7.39% pada perlakuan pencucian dua kali dan nilai terendah pada perlakuan pencucian 4 kali sebesar 4.74%. Frekuensi pencucian pertama dan kedua menghasilkan nilai protein larut garam yang tidak berbeda nyata. Penurunan kadar protein miofibril menjadi indikator dari denaturasi protein selama proses pencucian. Yathavamoorthi et al. (2010) juga menyatakan bahwa terjadi kehilangan protein miofibril sebesar 12.82% selama proses leaching dalam pembuatan surimi.

Derajat keasaman (pH) surimi lele

Derajat keasaman mempunyai pengaruh penting dalam proses kelarutan protein larut garam. Menurut Suzuki (1981), pH berpengaruh terhadap kelarutan protein larut garam (PLG). Nilai pH optimum bagi kelarutan PLG adalah pH yang berada pada kisaran pH sedikit di bawah netral hingga netral. Pengukuran kisaran nilai pH penting karena mempunyai peranan penting dalam pembentukan gel yang kuat. Analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH yaitu semakin banyak frekuensi pencucian, maka nilai pH semakin meningkat mendekati pH optimum (Gambar 6).

Gambar

Gambar 1   Pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi)
Gambar 2   Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap
Gambar 3 Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda.
Gambar 4  Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dapat dilihat pada gambar tersebut, aplikasi Kamus Bahasa Indonesia ke Bahasa Batak Karo berbasis android dapat digunakan untuk menterjemahkan kata, mempelajari

Pada bab ini menjelaskan tentang teori dasar untuk kontrol kecepatan pada mesin sentrifugal dengan motor 3 fasa dikendalikan PLC yang terdiri dari 7 subbab,

Dari beberapa hasil eksperimen melalui pendekatan ekplorasi material bambu, ternyata dapat diperoleh banyak gagasan gagasan unik yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk

Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam

(FISIP

Pembina mengajak anak-anak membaca 1 Raja-raja 3: 16 – 23 Pembina jelaskan bahwa semua orang yang ada di ruangan istana itu menjadi bingung dengan masalah ini, betapa

Proyek : Pembangunan proyek Makassar New Port paket A Deskripsi : Pengerjaan paket A berupa pembangunan aksesa jalan,.. dermaga dan lapangan penumpukan

Pada penelitian ini penulis menggunakan ITIL V3 2011 dan COBIT 5 sebagai kerangka kerja terpilih guna menganalisis evaluasi layanan TI di Kementerian Kominfo