• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

DI WILAYAH TANGERANG

KUSMALINDA MADJID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 16 Januari 2012

(4)
(5)

KUSMALINDA MADJID. Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang. Under direction of KOMARSA GANDASASMITA and DYAH RETNO PANUJU.

This study aims to characterize housing that growth in urban and rural areas of Tangerang regions. Sprawling is one of the major driving forces of land-use/land-cover change in the Jakarta Metropolitan Areas. The sprawl defines as situation of unauthorized and unplanned development, normally at the fringe areas of cities, especially haphazard construction of homestead, commercial areas, industrial areas and other non-conforming land-uses. It is along the major lines of communications or roads adjacent to city boundaries. The forms of sprawl in Jakarta Metropolitan Areas are pre dominated by unplanned housing development. In this paper we identify factors to determinate four built up area pattern in Tangerang. The research was conducted from June to September 2011. Various methods were employed to characterize the residential growth. Administrative boundaries and physical growth used to classify four category residential patterns. Box plot and t-test were applied to describe four typologies based on several assumed important variables. Factor analysis and discriminant analysis were utilized to characterize the residential pattern. The result shows that sprawl phenomenon was not only found in periphery but also could be found in either urban and rural area. There were six significant factors discriminating spatial pattern of residential development i.e.; land uses, spontaneous development, accessibility, population, facilities and industrial development. Administrative status did not dictate empirical land use pattern, whether being urban or rural one.

(6)
(7)

KUSMALINDA MADJID. Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan

Perdesaan di Wilayah Tangerang. Dibimbing oleh KOMARSA

GANDASASMITA dan DYAH RETNO PANUJU.

Perencanaan merupakan salah satu kunci pembangunan. Jika proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan, maka perubahan dapat dikatakan sebagai pembangunan. Kenyataannya, pembangunan ada yang direncanakan dan ada yang tidak terencana, demikian pula dengan perkembangan suatu kota.

Pengaruh perkembangan perumahan sangat besar dalam meningkatkan perkembangan kota yang tak terencana. Ketidaksiapan pemerintah menghadapi perkembangan perumahan ternyata mempercepat penurunan kenyamanan dan kualitas hidup penghuni, dan bila dibiarkan kondisi ini akan semakin buruk. Indikator penurunan tingkat kenyamanan dan kualitas hidup dapat dilihat pada kurangnya ketersediaan infrastruktur, meningkatnya kemacetan lalu lintas dan polusi udara.

Pengadaan kebutuhan perumahan tanpa mempertimbangkan perencanaan tidak akan mampu menjaga ketertataan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan dengan baik. Hanya terfokus pada peningkatan suplai hunian telah memicu terjadinya urban sprawl. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk mengenali pengaruh perkembangan urban sprawl pada empat pola kawasan

permukiman. Adapun tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk

mengklasifikasi perkembangan permukiman yang tertata dan perkembangan yang tak tertata (sprawl) baik di kota dan di desa, mengidentifikasi faktor berpengaruh pada tiap kategori kawasan permukiman, dan menentukan karakteristik penciri dari tiap tipologi.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan studi kepustakaan, analisis data sekunder, dan ground check. Pendekatan kepustakaan dilakukan terutama untuk memahami definisi yang tepat mengenai apa yang dimaksud dengan kota, perkotaan, perdesaan bagi penelitian ini, serta konsep perkembangan kota yang acak dan tak terencana. Pada penelitian ini digunakan metode klasifikasi dengan pendekatan status administrasi. Pengujian atas hasil klasifikasi tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis faktor dan analisis diskriminan. Adapun wilayah yang diamati dalam penelitian adalah meliputi tiga wilayah administrasi, yakni Kotamadya Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, yang selanjutnya disebut sebagai Wilayah Tangerang.

(8)

pertumbuhan kepala keluarga, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, dan jumlah industri besar. Dengan metode yang sama, analisis menghasilkan enam kelompok penciri yang khas yang membedakan karakteristik satu tipologi kawasan dengan yang lain. Enam kelompok penciri yang khas tersebut adalah komponen penggunaan lahan, kelompok komponen kekumuhan, kelompok komponen aksesibilitas, kelompok komponen populasi, kelompok komponen fasilitas dan kelompok komponen industri.

Pengujian statistik pada metode klasifikasi kawasan secara visual memiliki tingkat ketepatan 82%. Ketidaktepatan klasifikasi ditemukan pada 50 desa dari 279 desa sebagai unit pengamatan. Pengujian kembali tanpa menggunakan status administrasi sebagai kunci penentu klasifikasi menghasilkan klasifikasi empat pola kawasan dengan tingkat ketepatan 98%.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

DI WILAYAH TANGERANG

KUSMALINDA MADJID

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang

Nama : Kusmalinda Madjid

NIM : A353060171

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc. Dyah Retno Panuju, SP,

MSi. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

IPB

Ilmu Perencanaan Wilayah

Profesor Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dachrul Syah, MSi.

(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta’alla atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 ini berjudul Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan perumahan khususnya di Jabodetabek.

Penulis memperoleh bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam penyelesaian tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan sabar memberikan pengarahan dan dukungan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

2) Ibu Dyah Retno Panuju, SP, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing, beserta keluarga, yang telah meluangkan begitu banyak waktu untuk membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

3) Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc selaku penguji luar komisi, penulis ucapkan terima kasih atas saran yang begitu berharga.

4) Bapak Profesor Dr.Ir. Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Program Studi, penulis sampaikan rasa terima kasih.

5) Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr. terima kasih untuk dukungannya.

6) Seluruh dosen dan staf di Program Studi PWL, terima kasih untuk

bantuannya.

7) Emma dari Bangwil, Agi dan Mbak Reni dari PPJ serta rekanku Nia, terima kasih untuk data-datanya.

8) Teman-teman terbaik, Ivong, Lina, Lela, Rani dan Mbak Nina, yang telah membantu penulis di saat-saat paling penting. Terima kasih banyak untuk bantuannya.

9) Penulis sampaikan pula terima kasih kepada rekan-rekan di Program Studi PWK untuk seluruh bantuan dan dukungan.

10)Kepada ibu, adik-adikku dan keluarga kecilku, terima kasih atas do’a, kesabaran dan kasih sayangnya.

11)serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu disampaikan permohonan maaf apabila dalam menjalani proses yang dilalui ada kekurangan dan kekhilafan. Dan dalam kekurangannya, semoga tesis ini dapat diterima dan bermanfaat.

Bogor, 16 Januari 2012

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 1967 dari ayah (alm) Abdul Madjid dan ibu Kuswinarni. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara, dan telah menikah dengan Oky Adam serta memiliki seorang putra, Panji. Tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di Program Studi Planologi – Institut Teknologi Indonesia di Serpong. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah – Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Dinamika Pertumbuhan Kota ... 9

Urban Sprawl ... 11

Kawasan Permukiman dan Karakteristik yang Dimilikinya ... 15

Pola Kawasan Permukiman ... 19

Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian ... 21

METODE PENELITIAN ... 25

Kerangka Pemikiran ... 25

Ruang Lingkup Penelitian ... 26

Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

Bahan dan Alat ... 28

Identifikasi Jenis Data ... 29

Teknik Pengumpulan Data ... 29

Proses Persiapan dan Tahap Analisis ... 30

Teknik Analisis Data ... 32

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 43

Keadaan Geografis dan Administrasi ... 43

Pola Penggunaan Lahan ... 46

Perkembangan Penduduk ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

Penentuan Klasifikasi Permukiman ... 53

Karakteristik Kelompok Permukiman Berdasarkan Beberapa Variabel Penduga ... 58

Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang Berdasarkan Analisis Multivariabel ... 69

Penyebab Masalah Pada Beberapa Tipologi Permukiman ... 84

Pengujian Desa Salah Klasifikasi ... 87

(20)

Halaman

KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

Kesimpulan ... 95

Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 103

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Beberapa hasil penelitian terdahulu ... 22

2 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan hasil yang diharapkan untuk setiap tujuan penelitian ... 29

3 Variabel-variabel yang diperkirakan mempunyai pengaruh kuat terhadap perkembangan ruang ... 35

4 Luas wilayah kecamatan di Tangerang ... 43

5 Keadaan penduduk di Wilayah Tangerang ... 48

6 Keadaan kepala keluarga (KK) di Wilayah Tangerang ... 49

7 Keadaan persebaran penduduk di Wilayah Tangerang tahun 2008 ... 51

8 Klasifikasi permukiman di Wilayah Tangerang ... 54

9 Karakteristik data pada tiap kategori pengamatan ... 68

10 Nilai loading tingkat kekumuhan dan kemiskinan ... 70

11 Nilai loading tingkat aksesibilitas ... 71

12 Hasil pengujian variabel penciri permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang ... 74

13 Karakteristik penciri tiap kategori permukiman perdesaan dan perkotaan di Wilayah Tangerang ... 75

14 Tingkat ketepatan klasifikasi kawasan permukiman perdesaan dan perkotaan Wilayah Tangerang ... 76

15 Nilai peluang posterior desa yang salah klasifikasi ... 82

16 Kategori desa hasil klasifikasi diskriminan ... 83

17 Klasifikasi pengamatan 50 desa ... 88

18 Tingkat ketepatan klasifikasi 50 desa ... 89

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi

yang menunjukkan perkembangan sprawl ... 6 2 Pola morfologi permukiman ... 21 3 Kerangka pemikiran ... 26 4 Orientasi dan letak wilayah studi ... 28 5 Bagan alir penelitian ... 32 6 Batas administratif kecamatan di Wilayah Tangerang ... 45 7 Pola penggunaan lahan di Wilayah Tangerang ... 47 8 Kenampakan visual a) Permukiman perkotaan tertata,

b) Permukiman perkotaan tidak tertata, c) Permukiman desa

tertata, d) Permukiman desa tidak tertata (sprawl) ... 53 9 Klasifikasi permukiman di Wilayah Tangerang ... 55 10 Sebaran klasifikasi permukiman perkotaan tertata (kategori a) ... 56 11 Sebaran klasifikasi permukiman perkotaan tak tertata (kategori b) ... 56 12 Sebaran klasifikasi permukiman perdesaan tertata (kategori c) ... 57 13 Sebaran klasifikasi permukiman perdesaan tak tertata (kategori d) ... 57 14 Boxplot kelompok variabel letak kawasan dan pola penggunaan

lahan ... 59 15 Boxplot pertumbuhan kepala keluarga (KK) ... 60 16 Boxplot kelompok variabel kekumuhan ... 61 17 Boxplot kelompok variabel kemiskinan ... 62 18 Boxplot kelompok variabel fasilitas ... 64 19 Boxplot kelompok variabel industri ... 65 20 Boxplot kelompok variabel aksesibilitas ... 66 21 Sebaran kawasan yang tepat diklasifikasi sebagai kategori

kawasan a, b, c dan d ... 77 22 Kenampakan visual citra Desa Periuk yang mewakili permukiman

perkotaan tertata (a). ... 78 23 Kenampakan visual citra Desa Benda Baru yang mewakili

permukiman perkotaan tidak tertata (b O) ... 79 24 Kenampakan visual citra Desa Situ Gadung Kecamatan Pagedangan

(24)

Halaman

25 Kenampakan visual citra Desa Curug Kulon Kecamatan Curug

yang mewakili permukiman perdesaan tidak tertata (d) ... 80 26 Sebaran kawasan yang tidak tepat diklasifikasi sebagai kategori

kawasan a, b, c dan d ... 81 27 Kenampakan visual citra Desa Kosambi Timur yang diklasifikasi

sebagai kawasan kategori b berdasarkan analisis diskriminan ... 85 28 Kenampakan visual citra Desa Serdang Kulon dan foto lapangan,

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil klasifikasi menjadi empat kategori kawasan ... 105 2 Variabel yang digunakan dalam pengujian ... 111 3 Hasil uji t (t-test) berdasarkan kelompok kategori kawasan ... 117 4 Hasil analisis faktor indeks kekumuhan-kemiskinan dan indeks

(26)

Latar Belakang

Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk dan meluasnya kegiatan ekonomi di perkotaan, telah meningkatkan kepadatan baik di daerah perkotaan itu sendiri maupun di kawasan pinggiran kota. Pertambahan jumlah penduduk kota tidak hanya diikuti oleh pertambahan akan ruang tempat tinggal, tetapi juga ruang untuk mengakomodasi peningkatan jumlah kegiatan baru. Oleh karena ruang terbuka yang ada di dalam kota terbatas, maka perkembangan membuat perkotaan menjadi lebih padat, dan ekspansi kota ke daerah perdesaan yang berada di pinggiran kota menjadi berkembang, hingga akhirnya daerah pinggiran kota mengalami suburbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999). Ini adalah kondisi yang melatar-belakangi terjadinya pola perkembangan kota yang dalam beberapa literatur disebut sebagai urban sprawl.

(27)

kecil, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penduduk desa pada aktifitas non pertanian, yang umumnya terletak di pusat kota.

Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan sejumlah kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan, akan selalu diikuti pula dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, perkotaan memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan tanah perumahan dan seluruh sarana prasarana pendukungnya. Akibat yang dapat terjadi adalah pemadatan ruang di dalam kota (Rindarjono 2010) dan perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota (Yunus 2008).

Pemadatan ruang di dalam kota adalah bentuk pemanfaatan ruang kota secara tidak terencana (Siregar 2011). Menurut Yunus (2008), proses pemadatan di dalam kota merupakan upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada sebelumnya. Upaya pengisian ruang kosong/ruang-ruang sisa/marjinal dengan cara ini adalah bentuk pemanfaatan ruang kota secara tidak terencana. Pemadatan ruang kota yang banyak terjadi di kawasan permukiman lama dalam kota membuat kondisi kawasan menjadi tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya.

Perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota, merupakan pola perkembangan urban sprawl di luar batas kota. Perkembangan seperti ini adalah pola perkembangan yang tidak efisien. Menurut Djunaedi (2002), perluasan kawasan permukiman hingga ke daerah pinggiran kota dengan pola yang acak dan ‘lompat katak’, menyebar keluar dari batas wilayah kota, membuat pemerintah daerah tidak siap menghadapi sprawl. Infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung, karena penyediaan tambahan kapasitas prasarana dan fasilitas lingkungan perkotaan serta sejumlah infrastruktur tidak dapat dilakukan. Pola perkembangan kawasan terbangun kota yang acak dan menyebar seperti ini adalah pola perkembangan kawasan terbangun secara tidak terencana (Heripoerwanto 2009).

(28)

tumbuhnya kantong-kantong permukiman dan bangunan lainnya di daerah pinggiran kota, dan munculnya permukiman kumuh baik di dalam kota maupun di daerah pinggiran kota. Isu lain yang muncul adalah permasalahan infrastruktur, seperti meningkatnya intensitas genangan pada musim hujan, suplai air bersih yang menurun pada musim kemarau, dan terjadinya kemacetan lalu lintas. Pertumbuhan yang sprawl juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, seperti berkembangnya sektor informal dan daerah kumuh dan meningkatnya jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin antar warga yang berdekatan (Leisch 2002 dalam Winarso 2007), serta munculnya segregasi sosial (Galvin 2002).

Perumusan Masalah

Intensitas pemanfaatan ruang perkotaan dan ekspansi pemanfaatan ruang di daerah perdesaan secara acak (urban sprawl) adalah suatu proses yang tak terencana (Heripoerwanto 2009). Desakan kebutuhan perumahan, yang ditandai dengan tumbuhnya kantong-kantong permukiman di daerah pinggiran Kota Jakarta, menunjukkan ada proses pembangunan kota yang tidak direncanakan. Padahal, pembangunan seharusnya merupakan suatu proses terencana untuk mencapai suatu keadaan kepada kondisi yang lebih baik, dimana proses perencanaan harus memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut (Saefulhakim 2008).

(29)

Perembetan perkembangan kota hingga ke Tangerang memiliki berbagai permasalahan, seperti tumbuhnya permukiman kumuh, kurangnya ketersediaan palayanan infrastruktur atau kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukimanan. Keberadaan permukiman kumuh ditemukan di beberapa kecamatan di Kotamadya Tangerang, seperti Kecamatan Neglasari, Benda dan Periuk (BPS 2008), akan membentuk kawasan tidak teratur. Kurangnya ketersediaan pelayanan infrastruktur drainase yang ditunjukkan dengan terjadinya banjir, ditemukan di sejumlah kecamatan di Tangerang Selatan seperti di Kecamatan Pondok Aren dan Ciputat Timur, dapat memperburuk kualitas lingkungan perumahan. Kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukiman di wilayah Tangerang ditunjukkan oleh keberadaan fasilitas pendidikan, sosial dan ekonomi yang tidak tersebar merata di tiap desa atau kecamatan (BPS 2003, 2008 dan pengamatan lapangan 2011). Menurut Wiryomartono (2002), kondisi ini disebabkan karena pertumbuhan permukiman tidak diimbangi dengan pembentukan simpul-simpul sistem yaitu infrastruktur dan kegiatan perkotaan. Akibatnya, perkembangan menimbulkan sejumlah permasalahan baru, seperti kemacetan di titik yang berbatasan dengan Kota Jakarta, kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukiman dan perkembangan perumahan yang menyebar tak beraturan.

(30)

terutama di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada kawasan yang didominasi oleh perkembangan kawasan perumahan dan perumahan murah (termasuk rumah-rumah liar) dan ada yang didominasi oleh perkembangan kawasan industri.

Peristiwa perembetan perkembangan yang ditunjukkan dengan perembetan kenampakan fisik kota, memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Antrop (2000) dalam

Busck (2006), mengidentifikasi sejumlah zona urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan dimana setiap zonanya memiliki proses dan bentuk yang berbeda-beda. Karakteristik perkembangan daerah pinggiran seperti proses peralihan hak atas lahan pertanian (Bah et al. dalam Tacoli 2003), konflik kepentingan pemanfaatan lahan di daerah peri-peri yang merupakan proses konversi lahan pertanian menjadi kawasan dengan pemanfaatan lahan campuran yang intensif (Sajor 2007), kecepatan pertumbuhan daerah terbangun hampir 30% yang lebih cepat dibanding pertumbuhan populasi penduduk akibat peningkatan kebutuhan konsumtif penduduk kota, seperti kebutuhan akan rumah kedua sebagai investasi, lapangan golf dan fasilitas khusus lainnya sebagai pelengkap kenyamanan (Bourne et al. 2003), menunjukkan karakteristik yang khas dari pemekaran kota.

Tangerang mengalami perkembangan sprawl dari Jakarta yang secara alamiah (Spencer 1979 dalam Warsono 2006) perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pemekaran Kota Jakarta, baik yang kuat pengaruhnya maupun yang lemah pengaruhnya (Bintarto 1983). Akibatnya, perkembangan ini sangat mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang terjadi secara keruangan (Koestoer 1997). Di sisi lain, perkembangan sprawl dari Jakarta yang dialami Tangerang memberikan indikasi lemahnya pengendalian tata ruang (Wiryomartono 2002), yang mengakibatkan inefesiensi pengelolaan lahan atau kurangnya ketersediaan pelayanan infrastruktur wilayah (Djunaedi 2002; Webster & Theeratham 2004). Bila perkembangan ini dibiarkan maka sejumlah kawasan termasuk kawasan permukiman yang telah ada, akan mengalami penurunan kenyamanan dan kualitas kehidupan penduduknya (Heripoerwanto 2009).

(31)

tak tertangani dengan baik. Berdasarkan hasil observasi lapangan serta pengamatan pada citra wilayah Tangerang ditemukan beberapa kawasan perdesaaan yang mengalami perkembangan acak (sprawl) oleh fungsi perkotaan seperti pada desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang (Gambar 1).

Gambar 1 Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi yang menunjukkan perkembangan sprawl.

Gambar di atas menunjukkan gejala sprawl di Desa Kosambi Barat akibat perubahan guna lahan di Desa Kosambi Timur dan Desa Dadap yang berbatasan langsung dengan Jakarta. Perubahan pemanfaatan lahan di kedua desa disebabkan oleh pengaruh faktor eksternal dari wilayah Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Kota Jakarta telah mendorong pertumbuhan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Jakarta menjadikan kedua desa memiliki posisi strategis dari simpul-simpul perekonomian Jakarta karena kedekatannya itu membuat kedua desa ini memiliki akses tinggi ke Pelabuhan Tanjung Priok dan Sunda Kelapa. Pertumbuhan kawasan pergudangan mendorong pada percepatan pertumbuhan penduduk serta perumahan di wilayah ini, dengan karakter perkembangan lingkungan perumahan yang tidak teratur.

Perkembangan permukiman yang sprawl berpola ‘memita’ mulai menyebar hingga ke Desa Kosambi Barat. Perkembangan kawasan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur, yang berbatasan langsung dengan Jakarta menyebabkan terjadinya perembetan fisik terbangun hingga ke Kosambi Barat.

Desa Kosambi Barat

Desa Kosambi Timur

Desa Dadap

(32)

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bentuk/pola perkembangan yang terjadi di Wilayah Tangerang lainnya? Apakah pola perkembangannya berbeda di setiap tempat? Dan apakah di setiap tempat memiliki karakteristik khas dari proses dan pola yang terjadi? Menyikapi perkembangan sprawl hingga ke daerah perdesaan, maka perlu dilakukan penelitian yang dapat menggambarkan pola perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang. Pemahaman pola perkembangan tersebut dapat digunakan untuk menemukan faktor-faktor berpengaruh pada tiap tipologi/kelompok kawasan permukiman. Dengan demikian maka dapat dikenali faktor penciri yang menjadi karakteristik khas perkembangan pada tiap tipologi. Kajian ini juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang diduga dapat menjadi penyebab munculnya permasalahan pada tiap tipologi kawasan, agar dampak dari perkembangan sprawl

di Wilayah Tangerang dapat dikendalikan. Pentingnya penelitian ini juga dipertegas oleh pernyataan Soetomo (2008), bahwa ruang sub-urban akan menjadi kumuh atau menjadi kawasan kota di pedesaan yang nyaman, akan sangat tergantung pada bagaimana kita merencanakan tata ruang dengan faktor terkait lainnya. Hasil identifikasi dapat digunakan untuk merencanakan perkembangan dan mengelola perkembangan permukiman di Wilayah Tangerang, serta mengeliminir perkembangan yang tidak diinginkan, secara tepat.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk:

1. mengidentifikasi tipologi permukiman di Wilayah Tangerang. 2. menentukan karakteristik penciri dari tiap tipologi permukiman.

3. mencari faktor-faktor penyebab munculnya masalah tiap tipologi permukiman. Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan untuk mengantisipasi perkembangan yang tak

terencana.

(33)

Dinamika Pertumbuhan Kota

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat dua pengertian kota, yaitu kota sebagai satuan sebagai satuan administratif dan kota sebagai satuan fungsional. Sebagai satuan administratif, kota adalah unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut Kotamadya dan setara dengan status hukum pemerintahan kota. Secara fungsional, kota didefinisikan sebagai unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya, dimana status desa/kelurahan yang dimilikinya dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota.

Kota mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan kota yang cepat telah membuat suatu wilayah mengalami perubahan fisik, sosial dan ekonomi yang cepat pula. Konsekuensi yang selalu mengikuti pertumbuhan kota ini adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan dan sejumlah kegiatan-kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pertambahan kebutuhan rumah dan seluruh aktifitas pendukung kehidupan, simultan dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, terdapat keterbatasan lahan di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Yang terjadi adalah proses pemadatan (densifikasi) permukiman di dalam kota (Rindarjono 2010), dan penambahan ruang yang dilakukan di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota atau sering pula disebut sebagai urban fringe atau daerah peri-urban (Yunus 2008).

(34)

kegiatan penduduk perkotaan. Peningkatan itu berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang untuk mengakomodasi fungsi/kegiatan perkotaan yang besar.

Pemadatan pada kawasan permukiman perkotaan terjadi karena adanya upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada sebelumnya. Proses ini banyak ditemukan di dalam kota, di kawasan permukiman lama, dengan kondisi yang tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya (Yunus 2008). Pola pembangunan seperti ini yang menyebar dan dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang kosong/ruang sisa dalam kota, semakin membebani pengelolaan kota. Di dalam proses permukiman informal inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang banyak menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang sisa/marjinal dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana (Siregar 2011).

Dampak pemadatan ruang di dalam kota oleh bangunan permukiman adalah menurunnya kualitas permukiman. Akibatnya di daerah perkotaan akan timbul daerah-daerah permukiman yang kurang layak huni dan padat yang selanjutnya disebut kumuh (Rindarjono 2010). Proses yang terjadi adalah berlangsungnya urbanisasi penduduk yang terus menerus, terakumulasi dan memadat memenuhi permukiman informal ini di ruang-ruang sisa (marjinal) di kota. Oleh karena itu, kota yang menerima dampak permukiman kumuh adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana.

Penambahan ruang di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota mengakibatkan bertambah luasnya lahan (dengan fungsi perkotaan) terbangun

(urban built-up land). Ini merupakan gejala perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota. Menurut Yunus (2008), gejala ini merupakan pola perkembangan

(35)

mempunyai sifat-sifat mirip kota, disebut dengan urban fringe, dan ketiga adalah area terletak antara daerah kota dan desa yang ditandai dengan penggunaan tanah campuran yang disebut sebagai Rural-Urban-Fringe.

Bintarto (1983) menjelaskan bahwa, peristiwa perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar sebagai bentuk pemekaran kota memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, dan kekuatan pengaruh yang berbeda. Ada karakteristik yang pengaruhnya kuat dan ada pula yang lemah. Pernyataan ini diperkuat oleh Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa daerah yang mengalami urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan, memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan karakteristiknya dapat dibedakan dari proses dan pola yang terbentuk. Sedangkan menurut Tacoli (2003), bahwa sebagai proses urbanisasi yang dinamis, bentuk transformasi di daerah pinggiran kota (peri-urban) tidak bersifat homogen (pola tidak seragam). Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan).

Urban Sprawl

Sejak pertama kali digulirkan oleh Whyte (1958) dalam Rahman et al. (2008), pengertian dan pemahaman istilah urban sprawl makin berkembang. Saat ini urban sprawl dipahami sebagai pertumbuhan kawasan metropolitan, yang menyebar, ditandai dengan perkembangan berbagai jenis pemanfaatan lahan di perbatasan yang jauh dari perkotaan, diikuti dengan pemadatan pada ruang-ruang kota berpola pemanfaatan yang sama (Rahman et al. 2008). Ewing 1997 dalam

(36)

perkembangan berpola lompat katak, perkembangan kawasan komersial berpola memita dan merupakan perkembangan yang diskontinu.

Pendapat lain dinyatakan oleh Sudhira dan Ramachandra (2007), bahwa

urban sprawl merupakan perkembangan yang tidak tertata yang mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian dan ruang terbuka serta menurunnya kualitas lingkungan baik di dalam maupun di sekeliling kota. Pendapat Sudhira dan Ramachandra (2007) ini menegaskan pernyataan Bosselman (1968) dalam

Rahman (2008) bahwa urban sprawl telah menyebabkan terjadinya

perkembangan yang tidak efesiensi serta buruknya kualitas lingkungan baik di dalam kota maupun di daerah perdesaan. Sementara itu Angel et al. 2007 mendeskripsikan urban sprawl sebagai suatu: (a) perluasan wilayah kota hingga menjauhi pusat; (b) penurunan kepadatan di perkotaan secara konstan dan sekaligus menunjukkan peningkatan konsumsi lahan oleh penduduk perkotaan; (c) proses suburbanisasi yang terus berlanjut sementara itu tetap menunjukkan peningkatan proporsi penduduk yang menetap dan bekerja di pusat kota metropolitan; (d) menurunnya keteraturan daerah terbangun di perkotaan dan meningkatnya jumlah ruang terbuka dengan luas yang mengecil; dan (e) peningkatan kepadatan perkotaan hingga ke daerah ekspansi perluasan kota.

Urban sprawl ditandai dengan perkembangan pemanfaatan lahan dan peningkatan areal lahan terbangun yang tidak terkendali, terutama pada daerah marjinal di beberapa wilayah metropolitan (Li 2009). Hal ini dipertegas oleh Rahman et al. (2008) bahwa daerah perkotaan yang mengalami sprawl merupakan daerah yang mengalami perkembangan tak menentu sehingga tidak dapat menunjukkan sifatnya sebagai kawasan perkotaan dan tidak tepat pula menunjukkan sifat-sifat sebagai perdesaan. Menurut Spencer (1979) dalam

Warsono (2006) proses perkembangan kota ke arah pinggiran yang cenderung alamiah, daripada terencana, merupakan suatu gejala sub-urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali, dan dalam literatur pola perkembangan yang demikian disebut sebagai gejala urban sprawl.

(37)

fisik spasial (Yunus 2008). Proses transformasi fisik spasial ini dapat terjadi lebih dahulu dari proses transformasi sosio kultural, dan dapat pula terjadi sesudah terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan menjadi bersifat kekotaan.

Pola perkembangan urban sprawl adalah pola perkembangan yang tidak efisien (Djunaedi 2002; Bosselman 1968 dalam Rahman et al. 2008; Bento et al. 2006 dalam Cymerman et al. 2011). Urban sprawl menjelaskan suatu keadaan antara desakan kebutuhan rumah, nilai lokasi yang tinggi, dan lemahnya pengendalian kawasan dari pemerintah (Zulkaidi 2007). Urban sprawl yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan kawasan yang berkembang secara tidak terencana (Korcelli 2008; Heripoerwanto 2009) sehingga pemerintah daerah (kabupaten) tidak siap menghadapi sprawl (Djunaedi 2002). Akibat yang terjadi adalah infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung akibat penyediaan tambahan kapasitas prasarana dan fasilitas lingkungan perkotaan serta sejumlah infrastruktur, tidak dapat dilakukan. Situasi yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan sejumlah prasarana dan fasilitas perkotaan disebabkan karena pengurangan investasi pemerintah pusat, atau gagalnya pemerintah untuk menghasilkan pendapatan di tingkat daerah (Tacoli 2003). Oleh karena itu Li (2009) dalam penelitiannya di Cina, menyimpulkan bahwa fenomena

urban sprawl yang menunjukkan pertumbuhan melompat dan menyebar, bila tidak dikendalikan akan memperlambat proses perubahan. Dengan demikian pertumbuhan yang efisien dapat dilakukan melalui pengelolaan pertumbuhan kota serta pengaturan sistem investasi infrastruktur yang dapat meningkatkan kesejahteraan (Ding et al. 1999 dalam Cymermanet al. 2011).

(38)

lingkungan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh temuan Sajor (2007), bahwa perkembangan daerah peri-urban Bangkok di Thailand yang ditunjukkan oleh intensitas penggunaan lahan campuran (mixed land use) tinggi, menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan bertani penduduknya. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Thailand tetapi terjadi juga di Manila - Filipina dan Jakarta (Sajor 2007). Namun di sisi lain, pola pemanfaatan lahan campuran yang merupakan kombinasi permukiman dan sarana penghidupan (tempat bekerja) dalam satu kawasan peri-urban yang kompak, mampu mempersingkat jarak perjalanan antar aktifitas (Parker 1994 dalam Kim 2009).

Peningkatan area lahan terbangun mengindikasikan intensitas penggunaan lahan campuran pada daerah pinggiran kota (peri-urban) yang mengalami perkembangan sprawl. Menurut Sajor (2007), jenis kegiatan perkotaan yang mendominasi peningkatan lahan terbangun adalah peningkatan jumlah kegiatan industri, pertumbuhan dan perkembangan kawasan perumahan terutama di koridor/jalur pergerakan primer yang menghubungkan dengan pusat kota. Sementara itu perkembangan perumahan sendiri memicu tumbuhnya sejumlah fasilitas penunjang seperti kawasan perdagangan, pasar swalayan (supermarket) dan toko serba ada. Akibatnya adalah menurunnya luas areal pertanian yang merupakan bentuk kegiatan utama penduduk perdesaan hingga 50%, karena perubahan pola pemanfaatan lahannya menjadi kawasan permukiman, kawasan industri, perdagangan, kawasan rekreasi dan kawasan pendidikan. Temuan ini mempertegas apa yang disampaikan oleh Sheehan (2001) dan Kombe (2005)

dalam Chirisa (2009), bahwa urban sprawl sebagai hasil berbagai tekanan di daerah perluasan kota, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk perubahan yakni suburbanisasi permukiman (residential suburbanization) dan peri-urbanisasi (peri-urbanization).

(39)

(baru), sedangkan proses peleburan adalah proses pertumbuhan yang inkonsisten, yakni terjadinya perkembangan di luar wilayah kota, dan sekaligus pemadatan di pusat kota (Rindarjono 2010).

Penjabaran berbagai konsep urban sprawl di atas, memberikan pemahaman konteks urban sprawl sebagai suatu fenomena pertumbuhan kota. Dengan demikian urban sprawl dapat dipahami lebih luas sebagai suatu: 1) proses pertumbuhan kawasan perkotaan; 2) pertumbuhan menyebar dan acak yang dipengaruhi oleh proses dan bentuk terjadinya pertumbuhan; 3) situasi perkembangan tidak tertata; 4) proses peningkatan lahan terbangun melalui pertumbuhan ke arah pinggiran kota (proses horizontal), dan pemadatan (fill in) di perkotaan (proses vertikal); 5) keadaan kepadatan bangunan rendah di daerah pinggiran namun tinggi di perkotaan; 6) situasi transformasi fisik spasial dari sifat kedesaan menjadi sifat kekotaan; 7) keadaan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan peningkatan areal lahan terbangun di perdesaan; 8) pola pemanfaatan lahan yang dinamis dengan berbagai jenis penggunaan; 9) keadaan berkurangnya/hilangnya lahan pertanian; 10) perkembangan tidak dapat diimbangi dengan penyediaan infrastruktur; 11) pola perkembangan yang tidak efisien; 12)

sprawl ditemukan di dalam kota dan di luar batas kota.

Kawasan Permukiman dan Karakteristik yang Dimilikinya

(40)

fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

Kawasan permukiman mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung, baik di perkotaan dan di perdesaan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU No. 26/2007) tentang Penataan Ruang serta Bagian Penjelasan Pasal 59 dan Pasal 61 UU No 1/2011, yang dimaksud dengan kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan dapat dijabarkan sebagai berikut. Kawasan permukiman perkotaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud kawasan permukiman perdesaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. .

(41)

sesuatu. Situasi berbeda terdapat di permukiman di daerah perkotaan yang umumnya didominasi oleh lingkungan hunian dengan bangunan yang teratur.

Menurut Koestoer (1997), karakteristik kawasan permukiman perdesaan ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukiman perdesaan berkelompok, membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air. Jaringan jalan di lingkungan kampung tidak beraspal dan bentuknya tidak beraturan. Sedangkan wilayah permukiman di perkotaan yang sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar rumah memiliki hadapan yang teratur ke arah jalan, merupakan bangunan permanen, berdinding tembok, dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Jaringan jalannya-pun bertingkat mulai dari jalan raya, jalan penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Namun, di tengah keteraturan permukiman perkotaan, ditemui wilayah perumahan penduduk kota yang termasuk dalam kelompok dengan karakteristik kawasan permukiman penduduk pedesaan, karena ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah.

Perbedaan karakteristik kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan dipengaruhi oleh pola perkembangan permukiman yang terbentuk. Sebagaimana telah diuraikan pada subbab pertumbuhan kota, Tacoli (2003) dan Antrop (2000)

dalam Busck et al. (2006) berpendapat bahwa pola perkembangan permukiman di perdesaan yang berada di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan). Dan semua ini akan mempengaruhi pola permukiman yang terbentuk di suatu wilayah.

(42)

kota dan menikmati pelayanan fasilitas rekreasi di tempat yang lain. Semua dapat terjadi karena daerah pinggiran kota (peri-urban) menjadi penarik bagi masyarakat tertentu, terutama bagi mereka yang mencari hunian murah dan lingkungan yang baik (Berg dan Wintjes 2000 dalam Busck et al. 2006). Dan inilah yang menurut Bourne et al. (2003) melatarbelakangi peningkatan proses urbanisasi di perdesaan dan menjadikan kawasan perdesaan sebagai kawasan yang berciri perkotaan.

Kondisi di atas menjelaskan kuatnya pengaruh perkotaan terhadap kawasan perdesaan. Menurut Tacoli (2003), kuatnya pengaruh tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan perdesaaan adalah karakteristik geografis, demografi seperti kepadatan penduduk dan persebaran penduduk, akses ke pemilikan lahan hingga karakteristik yang dapat menjelaskan ketersediaan prasarana transportasi dan kemudahan pergerakan dari kawasan tempat tinggal ke pusat kota, dimana pasar dan sejumlah pelayanan lainnya berada.

Kajian teori di atas menyimpulkan bahwa proses pertumbuhan kota seiring dengan pertumbuhan yang disebabkan faktor alamiah serta migrasi penduduk ke kota, maupun perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran, menunjukan proses yang alamiah yang tidak terencana. Perkembangan ini merupakan suatu gejala sub-urbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999) dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali (Spencer 1979 dalam Warsono 2006). Sebagaimana dijelaskan oleh Jayadinata (1996); Koestoer (1997); Tacoli (2003) dan Antrop (2000) dalam

Busck et al. (2006), bahwa kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Adapun beberapa karakteristik yang dapat membedakan pedesaan dengan perkotaan, adalah:

(43)

pemanfaatan lahan yang berasosiasi dengan sektor kekotaan dan diklasifikasi sebagai kawasan permukiman (settlement built-up areas), sedangkan bentuk pemanfaatan lahan agraris khususnya daerah pertanian (vegetated area) berasosiasi dengan sektor kedesaan.

b. Populasi (Bourne et al. 1984 dalam Korcelli 2008; Pieser 1989 dalam Terzi dan Kaya 2008).

Kota memiliki penduduk yang jumlahnya lebih besar dibandingkan desa, dengan demikian penduduk mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebutuhan akan perumahan, dan akan berujung pada pola pembangunan perumahan yang terbentuk.

c. Karakteristik bangunan (Rahman 2008; Terzi dan Kaya 2008)

Suatu kota dapat dicirikan oleh dominasi fungsi bangunan yang berorientasi pada kegiatan kekotaan atau sektor non agraris. Tinjauan mengenai karakteristik bangunan tentang kepadatan bangunan dan jumlah bangunan pada suatu areal tertentu dapat menunjukkan perbedaan antara apa yang terdapat di daerah pedesaan dengan apa yang terdapat di bagian kota.

d. Profil wilayah seperti struktur penduduk (Hall 1973 dalam Korcelli 2008). Perbedaan lain karakteristik perkotaan dengan perdesaan terdapat pada struktur kependudukan yakni mata pencaharian. Di desa, penduduk berada di sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris, yang ditandai dengan keberadaan keluarga petani. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sebaliknya kota merupakan pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, disamping sektor ekonomi tersier sehingga di sana tidak akan ditemukan keluarga petani.

Pola Kawasan Permukiman

(44)

Central Place Theory (Clark 1982). Atas dasar lokasi, Christaller merumuskan tujuh (7) tipe permukiman yang berbeda ukuran dan luas berdasarkan jumlah penduduk dan jarak rata-rata. Penyebaran tersebut kadang-kadang bergerombol atau berkelompok dan kadang-kadang terpisah jauh satu sama lain. Teori ini menjelaskan bahwa pemusatan adalah hal yang alami dalam perkembangan suatu tempat dan akan diikuti dengan terbentuknya pola permukiman. Menurut Christaller (1933) dalam Herbert dan Thomas (1982), pola permukiman yang baik adalah yang dibentuk atas prinsip penyediaan pelayanan kepada penduduk, dengan menempatkan aktifitas pada permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya terletak pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Jadi lokasi kegiatan yang melayani kebutuhan penduduk harus berada di pusat (tempat yang sentral).

Perkembangan teori Central Place Theory diawali oleh temuan Lösch di Negara Bagian Iowa, Amerika Serikat (Clark 1982), dan diikuti oleh temuan-temuan lain oleh Berry dan Garrison (1958), Saey (1973) dan Beavon (1977)

dalam (Herbert dan Thomas 1982). Lösch merumuskan empat tipe permukiman yang lebih sesuai dengan karakteristik wilayah Iowa, dan temuan ini membuktikan bahwa perkembangan dan pembentukan kota merupakan wujud dari ekspresi masyarakat yang hidup di dalamnya. Kenyataan ini dipertegas oleh Kostof (1991) dalam Putra (2006), bahwa perwujudan spasial fisik kota merupakan hasil kolektif perilaku budaya masyarakatnya serta pengaruh ”kekuasaan tertentu” yang melatarbelakanginya. Disamping itu, faktor sejarah kehidupan kota, baik itu sejarah secara fisik ataupun ideologis, kondisi sosial politik dan kondisi pemerintahannya, kondisi karakteristik lingkungan dan datangnya pengaruh dari luar, serta akibat perkembangan penduduk dan proses urbanisasi juga berkontribusi pada terjadinya perubahan bentuk dan struktur suatu kota (Kostof 1991 dalam Putra 2006).

(45)

teratur (irregular) atau non geometrik, dan berorientasi pada alam. Pola kota diagram berkembang dipengaruhi oleh sistem sosial, politik, kekuasaan dan sistem kepercayaan, yang bertujuan untuk mengawasi/mengorganisir sistem masyarakatnya. Sedangkan pola grid adalah pola kota yang mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis serta lebih teratur, sehingga lebih mudah dan terarah pengorganisasiannya.

Deskripsi Korcelli (2008) dari temuan European Spatial Planning Observation Network (ESPON), menjelaskan empat pola permukiman yang teridentifikasi dari berbagai tipologi perkotaan di Eropa. Keempat pola tersebut dikenal sebagai

monocentric, polycentric, sprawl dan sparsely populated (rural) sebagaimana tersaji dalam Gambar 2.

Sumber: ESPON (2004) dalam Korcelli (2008)

Gambar 2 Pola morfologi permukiman.

Penelitian-Penelitian

Terdahulu Terkait Topik Penelitian

(46)

perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi. Beberapa hasil penelitian yang terkait dan menjadi referensi bagi penelitian ini disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Beberapa hasil penelitian terdahulu

No Pustaka Judul Kata kunci Kesimpulan

1 Busck et al. (ecological) dari sistem lahan. oleh infilling process.

(47)

Tabel 1 (lanjutan)

No Pustaka Judul Kata kunci Kesimpulan

(48)
(49)

Kerangka Pemikiran

Salah satu kebutuhan lahan terbesar di perkotaan adalah bagi penyediaan sarana hunian penduduk. Perkembangan pola permukiman sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki, sehingga permukiman yang berkembang di setiap wilayah belum tentu sama. Sebagai bahan untuk melaksanakan analisis lanjut, maka dilakukan klasifikasi kawasan untuk memperoleh beberapa pola permukiman. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan status wilayah administratif, serta pendekatan pengertian kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Tujuan dilakukannya klasifikasi ini adalah untuk memperoleh data kategori bagi proses analisis diskriminan.

Untuk memberikan gambaran pola masing-masing tipologi kawasan permukiman, perlu diketahui faktor-faktor mana saja yang menjadi penciri atau paling berpengaruh terhadap tipologi wilayah masing-masing. Penggunaan analisis diskriminan berfungsi untuk memilih faktor-faktor yang paling mencirikan dari setiap tipologi permukiman. Proses ini diawali dengan analisis faktor sebagai analisis antara, untuk menghasilkan sejumlah variabel baru, yang merupakan penyederhanaan dari sejumlah variabel.

(50)

Gambar 3 Kerangka pemikiran.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup pembahasan pada studi karakterisasi kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang ini dikemukakan melalui substansi-substansi:

a. Studi pustaka tentang konsep kawasan permukiman serta konsep kawasan perkotaan dan perdesaaan.

b. Identifikasi tipologi kawasan permukiman melalui pendekatan wilayah administrasi dan pendekatan kriteria kawasan perkotaan/perdesaaan.

c. Analisis hasil klasifikasi tipologi kawasan permukiman melalui uji statistik fungsi diskriminan.

Pertumbuhan penduduk & aktifitas

perkotaan

Lahan perkotaan terbatas

Perkembangan yang acak

(urban sprawl)

Kondisi di perkotaan dan perdesaan:

• Aspek fisik

• Aspek kependudukan Perubahan tidak terencana

Pembangunan merupakan perubahan terencana

Perubahan menuju pada keadaan yang lebih baik

Pola perkembangan permukiman di perkotaan dan perdesaan

Tipologi kawasan permukiman

Karakteristik masing-masing tipologi kawasan

(51)

d. Mengkaji hubungan tiap faktor berpengaruh pada tiap tipologi kawasan permukiman.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 hingga Agustus 2011, dilakukan di 3 (tiga) wilayah administratif, yakni Kabupaten Tangerang, Kotamadya Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Seterusnya, pada penelitian ini ketiga wilayah penelitian akan disebut sebagai Wilayah Tangerang. Secara administratif, wilayah penelitian memiliki batas-batas:

- sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, - sebelah Timur berbatasan dengan DKI Jakarta,

- sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak,

- sebelah Barat dengan Kabupaten Serang.

(52)

Gambar 4 Orientasi dan letak wilayah studi.

Bahan dan Alat

(53)

Identifikasi Jenis Data

Identifikasi dan pemilihan jenis data yang bersesuaian dengan tujuan penelitian merupakan salah satu proses penting dalam penelitian. Pemilihan data khususnya variabel yang tepat akan mendukung penjelasan dan menggambarkan jawaban atas pertanyaan penelitian yang disusun. Pada Tabel 3 disajikan tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis untuk mendukung diperolehnya jawaban atas pertanyaan penelitian dan hasil yang diharapkan akan diperoleh.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Pengumpulan data melalui literatur yang terkait dengan penelitian. b. Pengumpulan data dari berbagai instansi terkait.

Sejumlah data baik data tabular maupun data spasial diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan kebutuhan data.

c. Pengamatan lapangan.

Pengamatan dengan metode ground check, dilakukan dengan langsung melaksanakan verifikasi lapangan atas data sekunder yang diperoleh.

Tabel 2 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan hasil yang diharapkan untuk setiap tujuan penelitian

(54)

Tabel 2 (lanjutan)

Proses Persiapan dan Tahap Analisis

Sebelum dilakukan analisis data, akan disiapkan dan dibangun basis data dan digitalisasi data. Data spasial yang sebagian masih berupa hardcopy diproses digitalisasi menggunakan metode on screen digitations, dengan bantuan piranti lunak Arcview 3.3. Basis data yang perlu disiapkan adalah peta tutupan lahan/penggunaan lahan, dengan langkah penyiapan sebagai berikut;

- Koreksi geometrik

Sebelum dilakukan intepretasi, data citra yang diunduh dari Google Earth

dilakukan koreksi geometri. Koreksi geometrik bertujuan untuk menyesuaikan skala citra (dimensi luas) dan orientasi peta (arah Utara). Dengan demikian luasan yang diperoleh dalam analisa statistik akan sebanding dengan dimensi di lapangan sesuai dengan skala citra yang diinginkan.

- Memotong citra (cropping)

Pemotongan citra dilakukan pada wilayah yang menjadi lokasi studi. Sebagai acuannya adalah peta administrasi yang sudah terkoreksi geometris.

- Klasifikasi penggunaan lahan

Klasifikasi citra ke dalam beberapa jenis penutupan lahan menggunakan

metode klasifikasi kemungkinan maksimum (maximum likehood

(55)

contoh ditentukan keberadaan jenis penutupan lahan yang ada dalam citra dan kesamaan warna obyek.

Pada data tabular, digitalisasi data dilakukan untuk kebutuhan analisis statistik. Data digital yang disiapkan disesuaikan dengan jumlah variabel yang digunakan sebagai penduga. Data yang dibutuhkan terdiri dari beberapa macam bentuk. Ada data yang langsung dapat diolah (raw/mentah), ada data yang perlu diolah secara sederhana terlebih dahulu (proses penjumlahan, perhitungan persentase dan penghitungan jumlah) dan ada data yang diolah dengan metode statistik analisis faktor.

Untuk mencapai tujuan penelitian, akan dilakukan beberapa rangkaian proses analisis. Tahap pertama, menentukan tipologi kawasan permukiman berdasarkan kemiripan karakteristik di Wilayah Tangerang melalui proses

filtering. Tujuannya adalah untuk menghasilkan beberapa tipologi permukiman dengan metode pendekatan status administratif wilayah. Karakteristik lahan terbangun, keragaman fasilitas dan sebaran permukiman kumuh atau permukiman liar merupakan kriteria yang digunakan untuk menjustifikasi tipologi kawasan permukiman yang tertata atau tidak tertata.

Kedua, eksplorasi data yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian. Untuk menghasilkan intepretasi yang lebih baik, sebelum dilakukan analisis, akan dilakukan analisis dari data. Teknik yang digunakan adalah teknik visualisasi grafis dan uji t (t-test). Tujuannya adalah untuk melihat perbedaaan karakteristik yang siginifikan antar grup/kategori dari sejumlah variabel yang diamati dalam penelitian.

(56)

Keempat, untuk mencari faktor-faktor penyebab munculnya masalah pada tiap tipologi kawasan. Secara deskriptif akan diuraikan secara sistematis, hubungan antar tipologi kawasan dengan karakteristik yang diselidiki. Analisis ini digunakan pula untuk menjelaskan karakteristik yang khas dari tiap tipologi, dan sejauhmana masalah yang ditimbulkannya, serta penyebab munculnya masalah di tiap tipologi kawasan permukiman. Secara sistematis tahapan penelitian ini dijelaskan Gambar 5.

Gambar 5 Bagan alir penelitian.

Teknik Analisis Data

Dalam perencanaan, analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu pokok, untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya agar memperoleh pengertian yang tepat dan memperoleh arti keadaan (Warpani, 1984). Pola dan proses perkembangan yang terjadi pada suatu wilayah dapat dipelajari untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan perencanaan. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka pada penelitian ini akan dipelajari pola

(57)

permukiman yang terbentuk sebagai akibat perkembangan baik yang terjadi di perkotaan dan di pedesaan. Untuk itu akan digunakan beberapa metode analisis, antara lain metode klasifikasi filtering, teknik analisis visual data grafis, analisis faktor, analisis diskriminan, dan analisis deskriptif.

Klasifikasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan

Klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan masukan bagi analisis selanjutnya berupa data kategori dalam analisis diskriminan yang menyatakan opsi yang saling berbeda yakni: tipologi permukiman perkotaan dengan permukiman perdesaan, serta tipologi permukiman tertata dengan tidak tertata. Berdasarkan konsep kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan sebagaimana dijelaskan dalam UU No 1/2011 dan UU No 26/2007, maka dilakukan pengklasifikasian kawasan permukiman dengan menggunakan proses filtering dari beberapa kunci intepretasi yang bersumber dari data tabular Potensi Desa. Identifikasi yang dilakukan melalui proses filtering akan menggunakan kunci intepretasi status administratif wilayah, keberadaan kawasan permukiman kumuh/ilegal, variasi/kelengkapan fasilitas, proporsi lahan terbangun, serta ditunjang data spasial citra online yang disajikan oleh Google Earth. Status administratif wilayah, proporsi lahan terbangun dan variasi fasilitas akan mengklasifikasi kawasan menjadi kawasan perkotaan dan perdesaan. Keberadaan kawasan permukiman kumuh/ilegal dan proporsi lahan terbangun membagi kelas kawasan menjadi dua kondisi yakni kondisi kawasan yang tertata dan kawasan tidak tertata. Dengan demikian dapat dihasilkan empat pola kawasan permukiman.

(58)

tidak mengalami sprawl (tertata). Keberadaan permukiman kumuh sebagai dasar pengelompokkan merupakan indeks dari keberadaan permukiman dan keluarga yang tinggal di kawasan kumuh, di bantaran sungai dan di bawah saluran udara tegangan tinggi (SUTET).

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Pada penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik sebaran data dan untuk menggambarkan faktor penciri yang khas dari tiap tipologi klasifikasi.

Untuk menghasilkan intepretasi dan evaluasi yang lebih baik dari hasil analisis multivariabel, akan dilakukan visualisasi dan evaluasi data secara grafis. Penjabarannya secara deskriptif bertujuan untuk melihat hubungan, kecenderungan (trend) dan bias pada variabel yang diamati. Kelebihan analisis ini adalah mempermudah penilaian hasil analisis serta dapat mengeliminir hasil analisis yang kurang baik. Metode yang digunakan untuk mengamati karakteristik data tersebut adalah teknik visualisasi data secara grafis dan uji t (t-test). Bila hasil pengujian dengan kedua metode menunjukkan perbedaan yang signifikan antar grup, maka hasil uji ini akan menjadi alat bantu dalam mengintepretasikan dan menyimpulkan pembacaan hasil analisis lanjutnya.

Teknik visualisasi yang digunakan adalah boxplot, dengan menggunakan paket program Statistica versi 7. Boxplot adalah suatu metode yang menggambarkan sebaran/distribusi variabel (Hair et al. 1998). Metode ini bermanfaat untuk melakukan perbandingan satu atau lebih variabel antar grup/kategori. Boxplot menghasilkan informasi ringkasan distribusi variabel yang disajikan secara grafis, meliputi informasi bentuk distribusi data (skewness), ukuran tendensi sentral dan ukuran penyebaran (keragaman) data. Informasi grafis

(59)

Pemahaman sebaran data/variabel akan menunjukkan ada tidaknya perbedaan karakteristik antar grup/kategori secara signifikan dari sejumlah variabel yang diamati dalam penelitian. Hasilnya akan memperkuat intepretasi hasil analisis multivariat.

Analisis deskriptif juga digunakan untuk menguraikan faktor-faktor dominan pada tiap tipologi, Tujuannya adalah untuk menjelaskan karakteristik yang khas dari tiap tipologi, serta sejauhmana masalah yang ditimbulkannya pada tiap tipologi kawasan permukiman. Analisis ini akan menggunakan hasil analisis diskriminan, literatur-literatur yang berkaitan, serta citra Google Earth, untuk menggambarkan penyebab munculnya masalah di tiap tipologi kawasan agar dapat dipahami hubungan sebab akibat munculnya fenomena urban sprawl di Tangerang serta terbentuknya ketidak-tertataan permukiman.

Analisis Tipologi Wilayah dengan Teknik Analisis Multivariate

Untuk menghasilkan beberapa penciri utama keragaan permukiman di Wilayah Tangerang, maka pada penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap tiga puluh dua (32) peubah fisik sosial ekonomi yang diduga berpengaruh nyata. Secara bertahap pengujian dengan teknik analisis multivariabel yang akan dilakukan adalah analisis ‘Faktor Utama’ dan analisis multivariat ‘Diskriminan’. Tiga puluh dua (32) peubah fisik sosial ekonomi yang akan diuji akan dianalisis dengan menggunakan alat bantu paket program Statistica versi 7. Adapun ketiga puluh dua variabel yang akan diamati, secara rinci tersaji pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Variabel-variabel yang diperkirakan mempunyai pengaruh kuat terhadap perkembangan ruang

Kelompok Variabel Konsep Jenis variabel proksi Jarak dan penggunaan lahan Jarak ke Kota Jakarta

Persentase luas lahan terbangun

Persentase luas ruang terbuka hijau (RTH) Persentase luas tegalan

Persentase luas sawah Persentase luas tambak Persentase luas tubuh air

Kependudukan Laju pertumbuhan KK

(60)

Tabel 3 (lanjutan)

Kelompok Variabel Konsep Jenis variabel proksi

Tingkat kekumuhan dan kemiskinan Persentase jumlah bangunan yang ada di bantaran sungai, di bawah jaringan SUTET dan di lokasi kumuh.

Persentase jumlah buruh tani Persentase jumlah TKI

Persentase jumlah KK penerima Askesin Persentase penderita gizi buruk

Jumlah surat miskin Jumlah lokasi kumuh Frekuensi banjir

Fasilitas Variasi fasilitas

Pertumbuhan jumlah fasilitas pendidikan Pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan Pertumbuhan jumlah fasilitas sosial Pertumbuhan jumlah fasilitas ekonomi Aktifitas industri Jumlah industri besar (>100 pekerja)

Jumlah industri sedang (20-99 pekerja) Jumlah industri kecil/RT (1-19 pekerja) Tingkat aksesibilitas menuju fasilitas pendidikan

menuju fasilitas kesehatan

Adapun penjelasan atas terpilihnya variabel yang akan diamati didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. Variabel jarak

Menurut Angel et al. (2007) jarak antara kawasan permukiman dengan pusat kota dapat menggambarkan besarnya pengaruh sprawl. Keberadaan lokasi sangat berpengaruh terhadap interaksi yang terbentuk antara manusia dengan (fungsi) lingkungannya (Busck 2006), dan setiap zona yang mengalami urbanisasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Bintarto 1983; Antrop 2000 dalam Busck 2006). Dengan demikian penggunaan kriteria jarak ke pusat aktifitas (dalam hal ini ke Kota Jakarta) diperkirakan dapat menunjukkan perbedaan pola tiap kawasan.

2. Variabel penggunaan lahan

(61)

Bentuk pemanfaatan lahan non agraris adalah bentuk pemanfaatan lahan yang diklasifikasikan sebagai settlement built-up areas yang berasosiasi dengan sektor kekotaan dan bentuk pemanfaatan lahan agraris khususnya vegetated area yang berasosiasi dengan sektor kedesaan.

Pemilihan variabel lahan terbangun (built-up areas) dapat digunakan untuk mengukur pemekaran kota (Angel et al. 2007). Definisi fungsional Badan Pusat Statistik (BPS) tentang status desa/kelurahan yang dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota juga menunjukkan bahwa penurunan kegiatan pertanian dapat dipengaruhi oleh pertambahan las lahan terbangun. Sementara itu pemekaran/perluasan kota yang ditandai dengan perluasan lahan terbangun yang terjadi ke segala arah akan membawa karakteristik asal kotanya (Antrop 2000 dalam Busck 2006). Oleh karena itu, penggunaan variabel lahan terbangun dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan pola perkembangan kawasan.

3. Variabel laju pertumbuhan kepala keluarga (KK)

Asumsi bahwa satu kepala keluarga (KK) menempati satu unit sarana mukim (rumah) adalah alasan digunakannya data KK sebagai salah satu variabel yang diamati dalam penelitian. Sejumlah KK tertentu menunjukkan keberadaan sarana mukim dengan jumlah yang sama. Agar dapat menggambarkan pola perkembangan kawasan permukiman pada tiap kategori pengamatan, maka informasi jumlah KK yang digunakan adalah laju pertumbuhan KK.

4. Variabel bangunan yang ada di bantaran sungai, di bawah jaringan SUTET dan di lokasi kumuh/variabel lokasi kumuh/variabel keluarga yang tinggal di bantaran sungai, di bawah jaringan SUTET dan di lokasi kumuh/variabel TKI/variabel buruh tani/variabel keluarga penerima Askesin/variabel penderita gizi buruk/ variabel surat miskin.

(62)

5. Variabel frekuensi banjir

Menurut Simarmata (2011), lahan-lahan yang terbebas dari banjir, stabilitas tanahnya tinggi, topografi relatif datar atau mempunyai kemiringan yang kecil, air tanah relatif dangkal, relief mikronya tidak menyulitkan untuk pembangunan, drainasenya baik, terbebas dari polusi air, udara maupun tanah akan mempunyai daya tarik yang lebih besar terhadap penduduk maupun fungsi-fungsi lain kekotaan dibandingkan dengan daerah-daerah yang skor komposit variabel karakteristik lahannya lebih rendah.

6. Variabel fasilitas

Faktor pelayanan umum merupakan faktor penarik terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan untuk datang kearahnya. Pada butir 2 di atas telah disebutkan definisi fungsional BPS yang menyatakan bahwa status desa dapat ditandati salah satunya dengan meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota. Oleh karena itu, makin banyak jenis dan macam pelayanan umum yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, maka makin besar daya tariknya terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan, diantaranya fasilitas pendidikan, pusat perbelanjaan, perkantoran, kompleks industri, pusat rehabilitasi, rumah sakit, tempat ibadah, tempat rekreasi dan olah raga, stasiun kereta api dan bis, serta bandara.

7. Variabel kegiatan industri

Menurut Sajor (2007), selain pertumbuhan dan perkembangan kawasan perumahan, salah satu jenis kegiatan perkotaan lain yang menyebabkan meningkatnya luasan lahan terbangun adalah peningkatan jumlah kegiatan industri. Secara signifikan pertambahan jumlah industri akan diikuti pertambahan kebutuhan ruang terbangun.

8. Variabel aksesibilitas

(63)

kekotaan. Adapun yang dimaksud aksesibilitas dalam hal ini adalah aksesibilitas fisikal yaitu tingkat kemudahan suatu lokasi yang dapat dijangkau oleh dan dari berbagai lokasi lain.

Analisis Faktor (Factor Analysis)

Analisis faktor merupakan teknik analisis multivariabel yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel. Analisis ini merupakan teknik statistik yang mentransformasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (ortogonal). Analisis faktor sering digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Pada penelitian ini, analisis faktor digunakan sebagai analisis antara, dimana teknik ini bermanfaat untuk menghilangkan

multicollinearity atau untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke dalam variabel baru yang berukuran sederhana.

Analisis faktor adalah analisis yang mentransformasikan data sejumlah p ke dalam struktur data baru sejumlah k dimana jumlah k < p. Di dalam analisis faktor akan dihitung vektor pembobot yang secara matematis ditujukan untuk memaksimumkan keragaman dari kelompok variabel baru (yang sebenarnya merupakan fungsi linier peubah asal) atau memaksimumkan jumlah kuadrat korelasi antar variabel baru dengan variabel asal. Hasil analisis faktor antara lain nilai akar ciri, proporsi, dan kumulatif akar ciri, nilai pembobot atau sering disebut

factor loading, serta factor scores.

Gambar

Gambar 1  Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi  yang menunjukkan perkembangan sprawl
Tabel 1  Beberapa hasil penelitian terdahulu
Gambar 3  Kerangka pemikiran.
Gambar 4  Orientasi dan letak wilayah studi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indomobil Sukses Internasional Tbk Lampiran 8: Model ARMA Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Lampiran 9: Correlogram ARMA. Lampiran 10:

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa efektifitas terapi okupasi terhadap perkembangan motorik halus anak autis di SLB Khusus

protes karena mobilnya diderek petugas, saat diaprkir di Jalan Raya Gading Kirana, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (8/10). Kasie Wasdal Sudin Per- hubungan Jakut, Hengki

Infiltrasi memiliki peranan yang sangat penting di alam dan dalam kehidupan manusia karena mampu menyediakan air untuk pertumbuhan tanaman, mampu menyumbangkan air ke

Penulis pun berusaha untuk banyak bertanya dan belajar dengannya bagaimana cara memvisualkan suatu pengalaman atau rasa ke dalam karya dua dimensi, membuat sebuah konsep, dan

Rumah sakit mengelola data dan informasi klinis serta manajerial. Terdapat regulasi tentang pengelolaan data dan informasi. Data serta informasi klinis dan manajerial

Pengaturan perjanjian perdagangan internasional selain diatur dalam KUH Perdata, diatur pula dalam Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP) yaitu dalam

Berisi tentang kesimpulan dari data–data yang telah dianalisa dan selanjutnya akan diberikan saran dari kesimpulan yang telah didapat terutama bagi pihak