• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGESERAN KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILUKADA DARI MAHKAMAH AGUNG KE MAHKAMAH KONSTITUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERGESERAN KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILUKADA DARI MAHKAMAH AGUNG KE MAHKAMAH KONSTITUSI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERGESERAN

KEWENANGAN

PENYELESAIAN

SENGKETA

PEMILUKADA

DARI MAHKAMAH

AGUNG

KE

MAHKAMAH

KONSTITUSI

Septi

ur Wijayanti

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Abstract

Direct regional election zuhich lus been luld in lndonesia sine 2005 arises many problems in its implementation. There are conflicts among political parfies that prottide political support for political candidatus, behoeen participants ofpolitical parties and the Election Commission, or befr.oeen participants of tlu political parties and the participant of the opponent political partbs, and so fortlt. These, of course, raises fl question, zoluther direct regional elechon rundated to enhance democratic aalues turns out to arise both hoizontal and aertical conflicts. Based on Article 106 of Act number 32 of 2004, thz complztion of regional election disputes is carrieil out by the Supreme Court. Hotttezter, 70ith the release of Act No.12 of 2008

Article 235C the authority is transferred to the Constitutional Court, tohich decisions are final, so that no legal action can be carried out

after tlu decisions are issued.

Keyzttords: conftict, regional elections, the constifutional court

A.

Pendahuluan

Disa-hkannya UU Nomor 12 tahun2008 tentang perubahan

(2)

PzXP-FEII IVER.STTAT;UI'EA} ADITAEYOOVIdA.IiI&

kedua UU Nomor 32 fahun 2004 yang menjadi dasar hukum pergeseran Lewenangan penyelesaian

konflik

pilkada dari Mah-kamah Agung ke Mahkamah Konstitusi salah satunya

dipicu

dari adanya

konflik

pilkada yang

berujung pada penyelesaian hukum yang berlarut-larut.

Menurut Irvan

Mawardi

Sepanjang 2005-2007, Pilkada telah melahirkan sengketa besar danberujung pada kekerasan dan kerusuhan seperti Pilkada Depok (2005), Pilkada Tuban dan Pilkada Sulawesi Barat (2006) dan paling terakhir Pilkada Buleleng dan pilkada gubenur di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan (2007) .

Lebih

lanjut

dipaparkan

beliau, bahwa

dari

hasil pemantauan JPPR di sepanjang Pilkada 2005-2007, umumnya sengketa dan konflik yang terjadi di Pilkada dipicu oleh tiga factor,

1.

Tahapan pendaltaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya

calon yang gugur atau

tidak

lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal

calon

menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya putusan Mahkamah Kons titusi yang membolehkan calon independent maju dalam Pilkada.

2.

Tahapan pendaltaran

pemilih

yang

amburadul

mengakibatkan

konflik pada pemungutan

dan penghitungan suara.

Diakui

bahwa sengketa pilkada memang barryak diawali oleh tidak maksimalnya proses

pendaftaran

pemilih. Pengalaman

pilkada

selarna

ini

menunjukkan

bahwa ketika

pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya
(3)

PgXP-FE I'I{TVENSTXA.S UUqATIIADTYA.E YOGY/IEAEf,A

watga yaTrg tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar tedadi protes dan konflik ketika hari

"H".

Pada saat seperti ini , biasanya banyak warga yang protes ke kantor KPUD. Kasus pilkada Kalimantan Barat akhir tahun

lalu

yang diwarnai protes ke KpUD oleh hampir lebih 1000 penrilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap ( DpI).

3-

Tidak

bersedianya DPRD menetapkan

hasil

pilkada.

Meskipun tidak

memiliki

dampak

yuridis terhadap

hasil pilkad4

namun

penolakan

DpRD

tersebut memunculkan sengketa

politik berkepanjangan

pasca pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005

di

mana DPRD bersikukuh menolak penetapan bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penehpan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukukung oleh banyak partai yang secara

politik

memiliki

kekuatan signifikan

fi

DpRD. Dan umunurya penolakan tersebut biasanya berujung pada

tidak

harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislative pasca pilkada, seperti kasus Pilkada Depok.

Ketiga

konflik

tersebu! ada yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan juga secara politis. Sengketa pilkada yang diawali oleh factor pertama dan kedua seperti ctisebut diatas sangat memungkinkan diselesaikan oleh jalur hukum. Mengingat secara normative yuridis, sengketa yang

teiadi

dalam Pilkada telah cukup akomodatif diatur dalam UU No 32 tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah No 06 tahun 2005. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan

calon memiliki

kesempatan menya_urpaikan keberatan kepada Mahkarrrah

Agung

dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pasal 105 UU 32 Tahun 2005: L): Keberatan
(4)

PgIC-FE UNTVEBSITAs II'EA.UUADrIAE YOGYAXABTA

terhadap penetapan hasil pemilihnt kepala daerah dnn zoakil

kepala daerah hanya ilapat diajukan oleh pasangm calon l<epada Mnhkamah Agung dalnm zuaktu paling lambat 3 (tiga)

hai

setelah

penetapan hnsil pemilihnn lepala daerah dan zuakil kepala daerah-2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hnnya berkenann

dengan hasil penghitungan sunra yang mentpengaruhi terpilihnya pasangnn cnlon.

Hal

tersebut

senada disampaikan

oleh

pendapat

A.Zainudin

Bisri, pada umumnya, ragam

konflik

pilkada

bersunber

pada

tiga penyebab,

yakni masalah politik

uang,

persoalan adnrinistrasi pencalonan,

dan

sengketa penghitungansuara. Penyelesaianduapenyebabpertama tidak

menyebabkan dibatalkannya hasil pilkada. Namun sengketa penghitungan suara dapat mengubah hasil pilkada, karena berdasarkan Pasal3 ayat 1 Perma No 01/2005, keberatan atas hasil pilkada yang dapat diajukan ke pengadilan hanyalah

yang berkaitan dengan hasil penghitungan suara.

Terjadinya konflik atau sengketa Pemilukada potensinya nasih sangat besar karena dalam tataran yuridis pengaturan resolusi konflik pemilukada mennang tidak dilakukan secara tuntas. Undang-Undang

Nomor 32

Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah

yang

nendasari

proses pemilihan kepala daerah telah ikut merrberikan andil dala rr menciptakan berbagai

konflik

penrilukada selama

ini.

Undang-undang

ini

tidak cukup

melindungi

proses demokratisasi dalam

pelaksanaan pemilukada di Indonesia. Mekanisme PenetaPan pemenang pemilukada yang diatur didalamnya bahkan telah menjadikan pembelajaran demokrasi

tidak

sesuai dengan

cita-cita demokrasi itu sendiri.

Selainitu, ketentuandala-rn Undang-Undang tersebutjuga tidak menyediakan sarana resolusi konflik dan penyelesaian

sengkeba

pemilukada

secara konprehensif' Penyelesaian

masalah

dalam penyelenggaraan

pemilukada

dibatasi
(5)

PSEP.FE UNTVEBSTTA.S III'EAIIIIAI'fYAE YOSYA.EA.BTA

hanya sampai pada perdebatan tentang perbedaan iumlah

penghitungan suara. Sementara bentuk-bentuk kecurangan

yalg

selama ini banyak terjadi dan merupakan sumber utama

konflik pemilukada justru direduksi menjadi tindakan pidana

yang harnpir tidak diperhitungkan untuk menilai keabsahan

kemenangan seorang

calon

terpilih.

Belun lagi proses

pembuktian tindak pidana

pemilukada

yang tidak mudah

dan dibatasi waktu sangat pendek serta rentan dengan upaya

kolusi sehingga pra-kteknya memang tidak mudah menjerat

pelaku

dengan sanksi

hukum. Oleh

karena

itu

menjadi

wajar apabila penyelenggaraan penrilukada selama

ini telah

menebar konflik horisontal di beberapa daerah.

Namun dengan keluarnya Undalg-Undang Nomor 12

Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal236C yang mengamanatkan bahwa sejak

Undang-Undang Nomor 12 tahr,rn 2008 ini dikeluarkan, maka sengketa pemilukada diselesaikan di Mahkarnah Korstitusi.

Hal ini justru menanbah permasalahan dari sengketa pilkada

itu sendiri

karena putusan yang dikeluarkan Mahkamah

Konstitusi bersifat

finaf

sesuai dengan Undang-Undang

Nomor

24 Tahun

2003

tentang

Mahkamah Konstitusi, sehingga pihak yang merasa kurang puas dengan putasan

MK tersebut tidak bisa melakukan upaya hukr:rn lagi.

B.

PERUMUSANMASALAH

Berdasarkan

latar

belakang masalah

di

atas, dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikug

" Mengapa

kewenangan penyelesaian sengketa pemilukada mengalami

pergeseran dari Malkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi?"

(6)

PgXP.YE IIIIIVEBSTEAE UIIEATIADTYAE YO(IYAXA'BTA

C.

PEMBAHASAN

l.

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Penrilihan Kepala Daerah secara langsung adalah

suatu cara

yang

lebih

beradab

dalam meraih

dan sekaligus iuga melepaskan kekuasaan. Inilah salah satu keunggulan

dari

sistem demokrasi,

yang

melaluinya

proses

politik

dapat

berlangsung

secara

damai berdasarkan kesepakatan bersarna

yang

diputuskan

secara langsung oleh setiap warga negara.

Sedangkan

menurut

Eko

Prasojo, Pemilihan

kepala daerah langsung adalah insuumen

untuk meningkatkan participatory democracy

dan

memenuhi semua

unsur yang diharapkan. Apalagi"

sebenarnya

demokrasi

bersifat

lokal,

maka salah

satu

tujuan

pilkada adalah

memperkuat

legitimasi

demokrasi

Hak

politik yang paling

mendasar

dari

setiap warga negara dalarrr demokrasi adalah terbukanya kesempatan

untuk

menentukan sendiri dan

ikut

serta (partisipasi)

dalam

pengambilan

keputusan-keputusan politik.

Pilkada

adalah salah

satu

sarana

yang

mewadald

hak

politik

mendasar tersebut. Oleh karenanya maka penyelenggaraan Pilkada harus mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat

Pilkada

langsung

sering

dikatakan

sebagai

"lompatan demokrasi". Istilah

ini bisa diartikan positif

maupun negatif.

Dalam pengertian

positif,

pilkada

langsung

sebagai sarana demokrasi

memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur

politik

untuk memilih

kepala

daeralmya secara langsung

melalui

rrekanisme

pemungutan

suara.

Sarana ini

akan

membuat keseimbangan dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan langsung rakyat dapat menentukan jafannya pemerintahan dengan menrilih
(7)

PEITP.FE IINTVERSTXA"S IiITEAIf,UADTYAE Y(MYA.EAIIf,A

pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia.

Meskipun rakyat tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan pemerintah sehari-hari. mereka

dapat melakukan

kontrol atas

jalannya pemerintalun

yang sudah mendapat mandat langsung dari rakyat. .

Pada prinsipnya,

tidak

ada negara (pemerintah),

kelompok masyaraka! ataupun partai pohtik yang bisa mengambil alih keputusan yang bertanggung-jawab dari

seorang individu, dengan jalan mana ia akan mencari dan mewujudkan kesejahteraannya, penyempumaannya dan kebahagiaamya, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

Hal

tersebut

juga diakui

oleh Suparma4 sebagai salah satu anggota KPU Dry, bahwa perrilihan daerah

dan

wakil kepala daerah

secara langsung sebagaimana

pemilihan langsung presiden dan wakil presiden dinilai

banyak

pihak

sebagai kemajuan

penting

yang bisa

dicapai oleh baagsa Indonesia

di

era transisi yang yang sedang berlangsung. Makna terpenting dari pemilihan

langsung itu antara lain;

1.

Merupakan

pengakuan konstitusional

atas

hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat

2.

Pelembagaan

politik

peran

substansial rakyat

sebagai subyek hukum

3.

Diharapkan terciptanya keseimbangan politik makro

dan

mikro

dalam kehidupan ketatanegaraal kita, khususnya antara eksekutif dan legislatif.

Ketiga

nilai

penting

tersebut

tentu dipahami

dalam konteks pelaksanaan pemilu atau pilkada yang

memenuhi kaidah-kaidah demokrasi terutama proses yang fafu, adil, jujur dan transparan. Akan berbeda ha-lnya

jika prasyarat-prasya-rat

itu

tidak

terpenuhi atau tidak
(8)

PIXP-FE UIIIVTBSTDAII MI'EA.IIIIADTYAE YOGYA.XARTA

96

dijalankan sebagaimana mestinya. Pemihhan urnum atau

pilkada dapat dipastikan tidak berjalan dengan baik dan hasilnya pun tidak dipercaya.

Harus diakui bahwa UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah adalah sebuah

produk

hukum progresif bagi perkembangan demokrasi di negeri yang

sedang mengalarri masa bansisi demokrasi ini. Namun demikian dari sisi hukun,zyuridis terdapat beberapa hal yang perlu

dikritisi

dari materi muatannya khususnya mengenai pemilihan kepala daerah dan

wakil

kepala daerah.

Materi muatan pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak menjadikan Pasal22 E UUD 1945 sebagai konsiderans

atau rujukan, yang digunakan sebagai rujukan adalah

Pasal 18 tentang pemerintahan daerah, khususnya ayat (4). Pasal

22E

ayat (2) UUD 1945 disebutkan pemilihan urnurn diselenggarakan

untuk

menrilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD . Sedangkan

PasallS ayat(4) dinyatakanGubemur,bupati danwalikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah

propinsi, kabupaten dan kota

dipilih secara

demokratis. Karena rujukan UU No. 32 Tahun 2004 adalah Pasal 18 ayat (4) bukan Pasal 22 E UIJD 1945, pemilihan kepala

daerah

tidak

dikategorikan sebagai pemilihan umum,

karenanya berdasarkan Pasal5T ayat (1) UU No. 32 Tahr:n 2004 menegaskan bahwa KPUD (bukan KPU) diberikan kewenangan

untuk

menyelenggarakan pilkada. Dalam konteks pemberian kewenangan kepada KPUD, UU No. 32 Tahun 2004 sama sekali tidak nengkaitkannya dengan

KPU yang menjadi induk I(PUD tersebut, artinya dalam

penyelenggaraan pilkada, KPU tidak mempunyai peran

apapun. Kewenangan yang diberikan KPUD lebih

la{ut

adalah membuat

tata

cara pelaksarnan semua tahap

persiapan dan semua tahap pelaksanaan berdasarkan

(9)

PgXP-FE I'NTVEB TAS MITEAIIUADIYA.E YOGYAEA.BIA

PP No. 6 Tahun 2005. Setelah adanya judicial reuieu

dai-pilkada menganut asas LUBER yaitu Langsung, Umurn, Bebas dan Rahasia.

Hal tersebut senada dengan pendapat salah seorang

mantanhakinrMahkam ah KonsitusiMukthie Fajar, bahwa

Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pmeilihan umum,

2.

Pergeseran Kewenangan penyelesaian perselisihan

Hasil

Pemilukada

oleh dari

Mahkamah Agung

ke Mahkamah Konstitusi

Secara

teoritis,

kebutuhan adanya

lembaga

Mahkamah Konsitusi merupakan tren yang berkembarrg

di

negara-negara yang mengalami transisi demokrasi. Pelembagaan Mahkarnah Konstitusi

laldr

di atas

spirit konstihrsionalisme sebagai dasar

dari

era

politik

baru,

yang merupakan negasi terhadap pengabaian konstitusi

pada era

otoritarian sebelumnya. Lembaga

ini

akan
(10)

PSIG-FE InITIIEITSI:IAS If,I'EAMUADTYAE Y()CYAI(AITIA

98

berperan sebagai pengawal

konstitusi

(the guatdians

of constitution)

Dalam konteks

lndonesia, kehadiran

Mahkamah Konsitusi merupakan reaksi, koreksi dan

reformasi terhadap

praktek

politik

yang

diterapkan

orde baru seLama 32 tahun kekuasaalnya, yang hanya menempatkan UUD sebagai alat kekuasaarmya

dal

orde

baru

memiliki

kekuasaan

mutlak untuk

men#sirkan

UUD

sesuai

kepentingan kekuasaannya. Kehadiran

Mahkamah Konstitusi merupakan bagian

dari

upaya

bangsa

ini

untuk

mengerrbalikan sebuah republik konstitusional, bukan republik yang diatur berdasarkan

kehendak politik rejim yang berkuasa.

Mahkamah Konstitusi RI adalah constitutional court 'yang ke-78 di dr:nia, ditetapkan tatkala perubahan ketiga

UUD

1945 berdasarkan PasaI 24 ayat (2)

jo

Pasal 24C diputuskan dalam rapat paripurna MPR RI pada tanggal

9 November 2001. Pada saat itu Mahkamah Konsitusi RI

merupakar mahkamah konstitusi yang pertama di abad

XXI Masehi.

Berkaitan

dengan

perselisihan

hasil

pilkada,

semula menjadi kewenangan Mahkmah

Agung

yang

diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 sebelum

dilakukan

perubahan dengan UU

Nomor

12

Tahun

2008.

Pasal

tersebut menyatakan

bahwa

keberatan

yang berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang

mempengaruhi

terpilihnya

pasangan

calon

diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam

waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil

pilkada. Disampaikan kepada Pengadilan Tinggi untuk pilkada propinsi dan kepada Pengadilan Negeri untuk

Pilkada

kabupaten/kota. Mahkamah

Agung

akan

melaksanakan kewenangannya dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan suara pilkada kabupaten/kota. Dalam pasal

(11)

P2XP.FS ITNTVEB,SITAS DIIIEA]ITIIADIYAE YOGYAXABTA

tersebut juga disebutkan bahwa putusan PT bersifat final tidak upaya hukum lagi. Namun yang mulai menjadi

permasalahan

yaitu

dalam sengketa

pilkada

di

Kota

Depok pada tahr:n 2005. Temyata putusan Pengadilan

Tinggi tersebutmasihbisa dilakukanPeninjauanKembali.

Dari

hasil Peninjauan Kembali tersebut meninbulkan

walikota

terpilih

menjadi

batal.

Kemudian walikota

yang dibatalkan tersebut mengajukan judicial review UU

Nomor 32 tahun 2004 Pasal 106.

Lima instrumen utama yang mengatur pilkada

-UU

Nomor 32 Tahun 2004, Perpu Nomor 3 Tahun 2005, PP

Nomor 6 Tahun 2005, PP Nomor 17 Tahun 2005, dan

Perrna Nomor 2 Tahun 2005

-

sama sekali tidak mengenal lembaga PK. Putusan pengadilan atas sengketa pilkad4

seperti halnya sengketa pemilu, bersifatfinal dan tentu saja

mengikat. Tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan

setelah sebuah sengketa hasil pilkada diputuskan, baik oleh

MA

sendiri maupun oleh pengadilan tinggi yang menerima delegasi kewenangan (delegation of authority)

dari

MA

Adanya judicial review yang mengabulkan sebagian

permohononan waliko ta yang batal tersebut berimplikasi

pada UU

Norror

32 Tahun 20004, sehingga dilakukan

perubahan kedua dengan lahirnya UU Nomor 12 Tahun

2008. Berdasarkan pasal 236C

UU

Nomor

12 Tahr:n

2008 tersebut memberikan kewenangan

MK

untuk

menyelesaikan sengketa

hasil

pilkada. Pasal tersebut

berbunyi

"

Penanganan sengketa

hasil

penghitungan

suara perniJihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Malrkamah

Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak

Undang-Undang

ini

diundangkan.

".

Dengan demikian,

adanya UU Nomor 12 Tahun 2008 , kewenangan untuk

rrenyelesaikan sengketa hasil pilkada berada

di

tangan
(12)

EgXP.FE I'IIIVERSTIA'a III'EAXItrADTYAE YOGYAXABtrI.

100

Ma-hkarnah Konstitusi.

Secara efektif pengalihan kewenangan Ma}&a:rrah

Agung

ke

Mahkamah

Konstitusi berlaku

tanggal 1

November 2008

lewat

serah terima pada tanggal 29

Okrober 2008. Hal ini berarti bahwa berdasarkan pasal 1.0

UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang

putusannya bersifat

final.

Dengan

demikian menambah 1 kewenangan MK.

Senada

diungkapkan

oleh

pakar

Hukum

Tata

Negara Refly Harun, bahwa pergeseran tersebut juga

dilatarbelakangi adanya abnormalitas putusan Pilkada

Sulsel yang sebelumnya juga terjadi pada Pilkada Depok

tahun

2005

makin

menegaskan urgensi penyelesaian

sengketa atau perselisihan hasil pilkada

di

Mahkamah

Konstitusi (MK). Hambaban konstitusional (conshtutional

constraint) dimasukkannya sengketa

hasil pilkada

ke

MK

telah dibongkar

melalui dua fakta hukum

yang

sudah ada. Pertama, putusan

MK

tanggal

22

Marct

2005 terhadap permohonan pengujian UU Pemda telah

rrenegaskan bahwa pembentuk undang-undang (DPR

dan pemerintah) dapat mengatur bahwa pilkada masuk dalam rezim pemilu. Konsekuensi dari masuknya pilkada

dalam

rezim penrilu

antara

lain

adalah penanganan

perseLisihan

hasil

penrilu oleh

MK.

Sebab, Pasal 24C

ayat (1) Perubahan Ketiga

UUD

1945 secara eksplisit

menyatakan bahwa

MK

berwenang

untuk

mengadili

pada

tingkat

pertama

dan

terakhir

yang

putusannya

bersifat final untuk memutus tentang perselisihan hasil

pemilu. Bila pemilu diartikan mencakup pula pilkada,

ketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945

dapat menjadi dasar konstitusional untuk memberikan

kewenangan memutuskan sengketa hasil pilkada kepada

MK.

(13)

P2TIP-I.II IINIVEA,STTAS ItrIIEA.IIMADIYA.E YOGYIII'ABTA

Lebih lanjut

menurut Rafly,

yang

kedua bahwa

UU

Nomor

22

Tahun

2007 tentang Penyelenggara

Penrilu yang diundangkan pada 19

Aprol

2007 telah

dengan jelas memasukkan pilkada sebagai bagian dari

rezim pemilu.

Sayangnya, pemberlakuarr

undang-undang tersebut

tidak

segera

diikuti

dengan langkah

mengeluarkan ketentuan

pilkada dalam UU

pemda

menjadi undang-undang tersendfui. Akibahrya, dalam

hal

penyelenggaraan pilkada telah bekerja dua rezim.

Penyelenggara pilkada (KPU

provirui

atau kabupaten/

kota)

diatur

dalarn rezim

pemilu (UU

Penyelenggara

Pemilu), tetapi penyelenggaraannya masih tunduk pada

rezim penerintahan daerah (UU Pemda). Itulah sebabnya

hingga hari

ini

sengketa hasil pilkada masih diatur dan

tunduk pada UU Pemda. Selanjuhrya rafly menguraikan

bahwa

ada

banyak

alasan mengapa sengketa hasil

pilkada

tersebut penting ditangani

MK.

Yang paling

paradigmatik adalah upaya

untuk

mendorong MK

menjadi peradilan politik, sedangkan MA tetap menjadi

peradilan masalah-masalah perdata dan pidana. Sengketa

hasil pilkada seperti halnya sengketa hasil pemilu adalah

soal politik

sehingga

akan

lebih

pas bila

ditangani

oleh MK.

Menindahkan sengketa

hasil pilkada

dari

MA

ke

MK

akan menjau}kan pengadilan dari konflik

horisontal

di

daerah. Berdasarkan anangement

dalan

UU

Pemda, sengketa hasil pemilihan bupati/walikota

ditangani oleh pengadilan tinggi dan hanya pemiJ,ihan

gubernur yang langsung ditangani oleh

MA.

Menurut

beliau, pengadilan di daerah selama ini rentan terhadap

pengaruh eksekutif di daerah, kerentanan yang ternyata

juga melanda MA.

MK

akan lebih memiliki kapabilitas

untuk tetap netral dari pertarungan-pertarungan politik

baik

di

tingkat pusat maupun

di

daerah. Buktinya MK mampu rrenyelesaikan ratusan sengketa hasil pemilu
(14)

PgXP.FE UNIVAASIXAS II'EA.UNADrYAE YOGYA.EIIBEA

102

2004 ditambah satu sengketa Pilpres 2004 relatif tanpa gejolak yang berarti.

Pengertian perselisihan

hasil

pemilukada dengan

merujuk Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 20M dan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Perrilu

dapat disimpulkan bahwa:

a.

perselisihan hasil

perrilu

kepala daerah adalah perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai peserta pemilu

kepala daerah dan I(PU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu

b. yang

diperselisilrkan

adalah

penetapan

penghitungan

suara hasil

pemilukada

yang

ditetapkan

oleh KPU provinsi

atau

KPU kabupaten/kota

yang

mempengaruhi

penentuan calon untuk masuk ke putaran kedua pemilukada

atau terpilihnya

pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Dari

uraian

tersebut

di

atas,

undang-undang narnpaknya membatasi masalah PFIPU

hanya

pada

persoalan perselisihan angka-angka perolehan suara

peserta pemilu yang ditetapkan oleh KPU, sehingga tidak

mencakup proses yang mempengaruhi hasil perolehan suara, seperti berbagai pelanggaran administratif dan pelanggaran

pidana

pemilu.

Seolah-olah Mahkamah Konstitusi hanya dinrinta mengkoreksi kalkulasi suara

yang telah dilakukan oleh KPU dan jajararmya dengan mengabaikan berbagai pelanggaran dalam proses pemilu

(ebctoral process)

Lebih lanjut

Mukhtie

rrenjabarkan

bahwa

kedudukan dan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam UU

Malkamah

Konstitusi adalah meniaga dan mengawal

konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab

(15)

PzXP.FE UNTqEN,ETTA.S }IIIEAIIMAIIIIAS YOGYA.KA.BTA

sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita denokrasi.

Mengawal/

menjaga konstitusi berarti termasuk pula

menjaga/mengawal agar asas-asas pemilu yang "luber

dan

jurdil"

dalam Pasal 22E

UUD

1945 dipatuhi baik

oleh

penyelenggara

peurilu

maupun peserta pemilu,

bahkan

juga seluruh

institusi

yang terkait

pemilu.

Sehingga Mahkamah Konsititusi menggali kebenaran

dan keadilan materiil pasal 22E tersebut, tidak

semata-mata prosedural yaitu apakah pelanggaran-pelanggaran

pemilu tersebut dilakukan secara sistematik dan massif,

serta signifikan memepengaruhi perolehan suara peserta

pemilu/

sehingga dapat mengubah peroleh

krsi

atau

pemenang pmilu.

Hal tersebut diperkuat oleh pendapat mantan Hakim

konstitusi

yang

lain yaitu

Maruarar Siahaan dalam

sebuah acara koordirnsi" beliau menyampaikan bahwa

pengalihan kewenangan

untuk

rremeriksa, mengadila

dan nemutus perkara sengketa hasil perhitungal suara

dalam pemilukada bukan hanya perubahan kelembagaan

menanganinya

yaitu dari

Mahkamah

Agung

ke

Malrkamah

Konstitusi,

melainkan

juga

membawa

implikasi yuridis pada UU yang mengatur perrilukada.

Mahkamah Konstitusi

tidak

saja menerima kekuatan

mengikatnya, akarr tetapi oleh karern fungsinya sebagai

pengawal konstifusi dan demokrasi, dengan kewenangan

konstitusional yang setiap saat harus mempertahankan

konstitusi,

maka

undang-undang

yang

mengatu-r

pemilukada

yarrg dipandang

tidak

serasi

dengan

prinsip-prinsip

konstitusi"

dan dalam

penerapannya

menimbulkan akibat yang bertentangan dengan prinsip

konstitusi

itu

sendiri, Mahkamah merasa berkewajiban

untuk mengesampingkannya dan memilih norma yang

dipandang lebih sesuai dengan konstitusi.

(16)

PgI<P.EE I'NII'ENSTIAS I'TI'EAIIIf,ADTTAE YOGYAI(ABTA

Untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada

tersebut, Mahkamah

Konstitusi

membuat Peraturan

Mahkamah Konstitusi

nomor 15 tahun

2008 tentang

Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Penrilihan Umum

Kepala Daerah. Dalam PMK tersebut dinyatakan bahwa

Peradilan perselisihan hasil pemilukada bersifat cepat dan sederhana sebagai peradilan di tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat

Dalarn

Pasal

4

PMK

dinyatakan

bahwa

obyek

perselisihan pemilukada adalah hasil perhitungan suara

yang ditetapkan oleh termohon yang mempengaruhi:

a.

penentuan pasangan

calon yang

dapat

mengikuti putaran kedua pemilukada

b.

terpiJihnya pasalangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah

Selanjutrrya

dalam

Pasal

5

disebutkan adanya tenggang

waktu

mengajukan permohonan penetapan

hasil suara pemilukada diajukan ke MK paling lambat 3

hari

setelah termohon nenetapkan hasil penghitungan

suara di daerah yang bersangkutan dan ditegaskan dalam

Pasal 13 bahwa putusan paling lambat diputuskan 14

hari sejak permohonan tercatat dalam registrasi perkara.

D.

Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pergeseran kewenangan penyelesaian perselisihan

pemilukada dari MA ke MK disebabkan oleh berbagai faktor

sebagai

berikut

1.

Konflik pilkada yang berujung ke jalur hukum melalui

MA

yang bisa

didelegasikan

di

PT sesuai

dengan

Pasal 106

IJU

Nomor

32 tahun 2004 ternyata dalam

kenyataarmya tidak menyelesaikan konflik. |ustru secara

(17)

P2BP.FE ITNTVEBSIIAS tlItEAt[M/tItfyA.E yOcyAXA.nTA

yuridis

nomative

telah terjadi penyinpang.rn proses

hukum, karena ketentuan

UU

nomor gZ tahun ZOOa

pufusan

berlarut-bisa diaj

juga

bisa

dikategorikan sudah rrelanggar aturannya

dala:rr Perma Norror 2 tahun 2005.

fenfllahan

hasil

perselisihan

pilkada

yang berujung

ke Mahkamah Agung sangat tidak sesuai dengan pasal

24

C

ayat (1)

UUD

1945 dan

UU No.

24 Tahun 2003

2007, plkad.a dikategorikan dalam pemilu. Karenanya

proses perselisihan hasil pemilu jelas tidak sama de.rga.,

proses penyelesaian perkara pidana biasa. Oleh karena

itu

dari

segi apapun pilkada merupakan bagian dari

pemilu, maka

perselisihan

hasil

pilkada

""h-o"rrvu

dikembalikan kepada Mahkamah Konstitusi. Dilihat

dari sifat

putusannya

yang

bersifat

fina!

tenggang

waktu

penyelesaian

14

hari

sejak dicata&an

Jiam

berita permohonan registrasi perkara lebih efektif jika

diselesaikan ke MK.

ke MK.

(18)

PTTFFE I'NIISEBSTIAE| lf,UEA.Ilf,ADTTAE YOOIIXABIA

DAFTARPUSTAKA

Amirudin & A.ZainaI Bisri 200 6, Pilkadn Langsung Ptobbm dnn

Prospek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

A.

Mukthie

Fajar, Beberapa Masalah dalam Penyelasaian

Perselisihan

Hasil

Pemilihan

Umum,

makalah disanpaikan pada Rapat Koordinasi Dekan

FH,

Ti-nt

Pengelola

Video

Conference, dan Ketua Pusat Kajian

Konstitusi se-Indonesia tanggal 20-22

Maret

2009 di Jakarta

Fransiskus Surdiasis,

ljlin

Ni'am Yusror\

Rusdi Mathari,

2008, 10 Tahun Reformasi Bakti Untuk Indonesia, Jakarta,

Pustaka Sinar HaraPan

HlvI. Laica Marzuki,

Makalah Kedudukan

Mahkamah

Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, disampaikan

pada temu wicara hokurrr acara rrahkamah konstitusi RI

bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar

HIN

dan

HAN

di Jakarta, 17 Novemver 2007

Maruarar Siahaaan, Perkembangan Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi Tentang Sengketa

Hasil

Pemilihan Umum,

Makalah

disampaikan

dalan

Pertemuan Koordinasi

MKRI dan Pusat Studi Konstitusi se-lndonesia, |akarta' 20 Maret 2009

Moham-trad Naj tb, 2006, Pilkada Dan Pengembangan Demokrasi

Lokal, Yogyakarta, KPU DIY.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah

Undang-Undang

Nomor 22

Tahr:n 2007

tentang

Penyelenggaraan Pemilu

(19)

P2EP-I'E IINIVEESTIA.EI UIIEAUXADTTAE YOGYA'XA.BXA

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR,

DPRD I,II dan DPD

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah

Putusan Malkarrrah Konstitusi

yang

berkaitan

dengan

sengketa pilkada

PeraturanPemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang PerriJihan,

Pengangkatan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Peraturan Pemerintah

Nomor

17 Tahun

2005 tentang

perubahan PP Nomor 6 tahun 2005

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri

Norror

120/1808/Sj

tanggal 21 Juli 2005 tentang Pelaksanaan Pilkada

Internet

www. Medangbisnisonline.com

www.Jppr.com

www.frontkomunikasiindonesial.com

www.CSIS.com

www. Partai info.com

www.sarwono.com

Refly harun, fiIe: / / /F:/htkntah-pilkada-s 'lsel.html, diakses

pada tanggal 10 Maret 2010

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, manfaat dari bimbingan belajar adalah dapat membuat siswa semakin kreatif pada kegiatan belajar mengajar, dan dapat meningkatkan prestasi pada

1) Panitia Tingkat Provinsi melakukan seleksi untuk menentukan guru SMA/MA berprestasi Peringkat I, II, dan III Tingkat Provinsi, dan mengusulkan kepada Gubernur untuk

Sedangkan di kelompok plastik dan barang dari plastik ( HS 39 ) komoditi utamanya adalah polipropilena lainnya, dalam bentuk butiran senilai USD 17,05 juta, naik 5,53

bahwa rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Probolinggo Tahun 2013 – 2018 telah ditetapkan dengan peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-3/W3, 2015 ISPRS Geospatial Week 2015, 28 Sep – 03 Oct 2015, La

Faktor-faktor keberhasilan Kecamatan Banyuanyar dalam menjalankan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menjadi sasaran dan tujuan, yang

At canopy level, the comparison of tree crown temperature recorded by a UAV-borne infrared camera suggests a small temperature increase related to disease

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh