PREVALENSI PENURUNAN KETAJAMAN PENGLIHATAN PADA SISWA-SISWI SEKOLAH DASAR KELAS 4-6 DI YAYASAN PENDIDIKAN SHAFIYYATUL AMALIYYAH MEDAN TAHUN 2010
Oleh:
MICHAEL B WIJAYA 070100132
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PREVALENSI PENURUNAN KETAJAMAN PENGLIHATAN PADA SISWA-SISWI SEKOLAH DASAR KELAS 4-6 DI YAYASAN PENDIDIKAN SHAFIYYATUL AMALIYYAH MEDAN TAHUN 2010
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
MICHAEL B WIJAYA 070100132
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian: Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2010
NAMA : MICHAEL BENJAMIN WIJAYA
NIM : 070100132
Pembimbing Penguji I
dr. Aryani A. Amra, Sp.M dr. Nurfida K. Arrasyid, M.Kes NIP : 196405021992032003 NIP : 197008191999032001
Penguji II
dr. Rointan Simanungkalit, Sp.KK(K) NIP : 196303201989022001
Medan, 30 November 2010 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Performa sistem visual setiap individu merupakan salah satu penentu kualitas hidup yang terpenting. Adanya gangguan penglihatan akan memberikan efek negatif terhadap proses pembelajaran dan interaksi sosial sehingga dapat mempengaruhi perkembangan alamiah dari intelegensi maupun kemampuan akademis, profesi dan sosial. Data dari studi internasional menunjukkan bahwa sekitar 25% anak-anak usia sekolah memiliki suatu bentuk defisiensi penglihatan dan banyak diantara anak-anak tersebut enggan mengeluhkan masalah tersebut kepada keluarga maupun guru. Untuk itu, diperlukan penelitian yang dapat menunjukkan prevalensi penurunan ketajaman penglihatan siswa-siswi sekolah dasar agar dapat dilakukan intervensi dini.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan studi
cross-sectional yang diadakan pada bulan Oktober 2010. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah. Sampel dalam penelitian akan dipilih menggunakan teknik stratified
random sampling. Data ketajaman penglihatan siswa-siswi diperoleh dari
pengukuran langsung menggunakan Snellen Chart. Data yang dikumpulkan diolah dengan program SPSS 17.0. Dengan sampel sejumlah 73 orang, didapat prevalensi penurunan ketajaman penglihatan (Visual Acuity < 0.8) adalah 39,7%.
Prevalensi penurunan ketajaman penglihatan yang tinggi ini mungkin disebabkan kurangnya perhatian masyarakat terhadap kualitas ketajaman penglihatan anak-anak. Masukan yang dapat diberikan ke instansi pendidikan adalah untuk melakukan skrining rutin pada siswa-siswi sehingga dapat dilakukan deteksi dan intervensi dini.
ABSTRACT
Visual performance is of utmost importance for quality of life. Visual problems have negative effects on learning and social interaction, thus affecting the natural development of intellectual, academic, professional, and social abilities. Data from international studies show that approximately 25% of school-age children carry some form of visual deficiency. However, are unlikely to report such problems to relatives or teachers. For reasons previously mentioned, a study focusing on the prevalence of visual acuity decrease in school-aged children is needed.
This research is a descriptive study with a cross sectional approach conducted on October 2010. The school selected as research location is the Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah. Samples are selected from children who is on their 4th till 6th primary school years with a stratified random sampling method. Visual acuity data for both eyes were gathered using the Snellen Chart and were processed using the SPSS 17.0 program. A total of 73 students were evaluated and presented a prevalence of visual acuity decrease (visual acuity< 0,8) of 39,7%.
The high prevalence of visual acuity decrease may indicate lack of concerns from community regarding the visual quality of children pointing out to the urgent need of routine screening implementation in public schools to allow early detection and intervention.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sebagai
sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Karya tulis ilmiah ini berjudul Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan
pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2010. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu penulis ingin menyampai ucapan rasa terima kasih dan
penghargaan setinggi-tinginya kepada:
1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Utara.
2. dr. Aryani A. Amra, Sp.M dan dr. Masitha Dewi S., Sp.M selaku Dosen
Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada
penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. dr. Zulkifli, M.Si dan dr. Rointan Simanungkalit, Sp. KK(K) selaku
Dosen Penguji yang telah memberikan masukan untuk menyempurnakan
karya tulis ilmiah ini.
4. Seluruh staf pengajar Departemen Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, terutama kepada dr. Rina Amelia, MARS
yang telah banyak memberi masukan kepada penulis dengan kesabaran
tinggi sehingga penulisan karya tulis ilmiah ini dapat berjalan lancar.
5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
6. Orang tua serta saudara-saudara penulis yang telah banyak memberi
7. Seluruh teman-teman Stambuk 2007 yang telah banyak memberi
dukungan dan bantuan.
8. Kepala Sekolah Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah serta kepada
para pembantu kepala sekolah dan staff pengajar yang telah banyak
membantu penulis selama masa pengumpulan data penelitian.
Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis
selama ini, penulis menyampaikan terima kasih dan semoga Tuhan dapat
membalas dengan pahala yang sebesar-besarnya.
Akhir kata, penulis sadar bahwa penulisan proposal ini masih jauh dari sempurna
disebabkan berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menjadi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat
berguna bagi kita semua.
Medan, 30 November 2010
Penulis,
Michael B. Wijaya
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN... i
ABSTRAK... ii
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... . ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 3
1.4 Manfaat Penelitian... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5
2.1 Struktur Mata dan Aksesorinya... 5
2.2 Komponen Optik Mata... 9
2.3 Komponen Neural Mata... 9
2.4 Proses Visual Mata... 10
2.5 Ketajaman Penglihatan... 13
2.5.1 Perkembangan Ketajaman Penglihatan... 13
2.5.2 Pemeriksaan Visus Mata... 15
2.5.3 Penurunan Ketajaman Penglihatan... 19
2.6 Visual Impairment... 20
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL.... 22
3.1 Kerangka Konsep... 22
3.2 Definisi Operasional... 22
BAB 4 METODE PENELITIAN... 24
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 24
4.3 Populasi dan Sampel... 24
4.3.1 Kriteria Inklusi... 25
4.3.2 Kriteria Eksklusi... 25
4.4 Teknik Pengumpulan Data... 26
4.5 Pengolahan dan Analisis Data... 26
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 27
5.1 Hasil Penelitian... 27
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 27
5.1.2 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian... 28
5.1.3 Hasil Analisa Data... 31
5.1.3.1 Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian... 31
5.1.3.2 Gambaran Ketajaman Penglihatan Menurut Karakteristik Subjek Penelitian... 33
5.1.3.3 Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan.. 37
5.2 Pembahasan... 38
5.2.1 Status Ketajaman Penglihatan... 38
5.2.2 Karakteristik Subjek Dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan... 39
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 41
6.1 Kesimpulan... 41
6.2 Saran... 43
DAFTAR PUSTAKA... 44
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima Tahun
Keatas………. 14
2.2. Nilai Tajam Penglihatan dalam Meter, Kaki dan Desimal…. 18
2.3. Metode Estimasi Persentase Kehilangan Ketajaman
Penglihatan……… 19
5.1. Distribusi Frekuensi Ketajaman Penglihatan Mata Kanan
dan Kiri……….. 31
5.2. Distribusi Frekuensi Status Ketajaman Penglihatan... 32
5.3. Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut
Karakteristik Usia... 33
5.4. Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut
Karakteristik Penggunaan Alat Bantu Penglihatan... 34
5.5. Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut
Karakteristik Riwayat Keluarga... 35
5.6. Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Struktur Aksesori Mata………..… 6
2.2. Otot-otot Ekstrinsik Bola Mata………... 7
2.3. Anatomi Bola Mata……… 8
2.4. Jaras Penglihatan……… 11
2.5. Kinetic Perimetry………... 21
5.1. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 28
5.2. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 29
5.3. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Penggunaan Alat Bantu Penglihatan……… 29
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I Daftar Riwayat Hidup
LAMPIRAN II Lembar Penjelasan
LAMPIRAN III Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
LAMPIRAN IV Formulir Pengambilan Data
LAMPIRAN V Surat Izin Melakukan Penelitian dan Pengambilan Data
LAMPIRAN VI Master Data Penelitian dan Hasil Output
LAMPIRAN VII Lembar Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan
ABSTRAK
Performa sistem visual setiap individu merupakan salah satu penentu kualitas hidup yang terpenting. Adanya gangguan penglihatan akan memberikan efek negatif terhadap proses pembelajaran dan interaksi sosial sehingga dapat mempengaruhi perkembangan alamiah dari intelegensi maupun kemampuan akademis, profesi dan sosial. Data dari studi internasional menunjukkan bahwa sekitar 25% anak-anak usia sekolah memiliki suatu bentuk defisiensi penglihatan dan banyak diantara anak-anak tersebut enggan mengeluhkan masalah tersebut kepada keluarga maupun guru. Untuk itu, diperlukan penelitian yang dapat menunjukkan prevalensi penurunan ketajaman penglihatan siswa-siswi sekolah dasar agar dapat dilakukan intervensi dini.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan studi
cross-sectional yang diadakan pada bulan Oktober 2010. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah. Sampel dalam penelitian akan dipilih menggunakan teknik stratified
random sampling. Data ketajaman penglihatan siswa-siswi diperoleh dari
pengukuran langsung menggunakan Snellen Chart. Data yang dikumpulkan diolah dengan program SPSS 17.0. Dengan sampel sejumlah 73 orang, didapat prevalensi penurunan ketajaman penglihatan (Visual Acuity < 0.8) adalah 39,7%.
Prevalensi penurunan ketajaman penglihatan yang tinggi ini mungkin disebabkan kurangnya perhatian masyarakat terhadap kualitas ketajaman penglihatan anak-anak. Masukan yang dapat diberikan ke instansi pendidikan adalah untuk melakukan skrining rutin pada siswa-siswi sehingga dapat dilakukan deteksi dan intervensi dini.
ABSTRACT
Visual performance is of utmost importance for quality of life. Visual problems have negative effects on learning and social interaction, thus affecting the natural development of intellectual, academic, professional, and social abilities. Data from international studies show that approximately 25% of school-age children carry some form of visual deficiency. However, are unlikely to report such problems to relatives or teachers. For reasons previously mentioned, a study focusing on the prevalence of visual acuity decrease in school-aged children is needed.
This research is a descriptive study with a cross sectional approach conducted on October 2010. The school selected as research location is the Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah. Samples are selected from children who is on their 4th till 6th primary school years with a stratified random sampling method. Visual acuity data for both eyes were gathered using the Snellen Chart and were processed using the SPSS 17.0 program. A total of 73 students were evaluated and presented a prevalence of visual acuity decrease (visual acuity< 0,8) of 39,7%.
The high prevalence of visual acuity decrease may indicate lack of concerns from community regarding the visual quality of children pointing out to the urgent need of routine screening implementation in public schools to allow early detection and intervention.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Penglihatan merupakan cara utama manusia untuk mengintegrasikan
dirinya dengan lingkungan eksternal (Gianini, 2004). Performa sistem visual
setiap individu merupakan salah satu penentu kualitas hidup yang terpenting.
Performa sistem visual ini dapat dinilai dengan beberapa parameter seperti
visual field, colour vision, temporal resolution, dan central visual acuity (Xu,
2005). Menurut Thylefors (1984) dalam Gianini (2004), gangguan
penglihatan mempunyai efek negatif terhadap proses pembelajaran dan
interaksi sosial sehingga dapat mempengaruhi perkembangan alamiah dari
intelegensi maupun kemampuan akademis, profesi dan sosial. Menurut
Lauretti-Filho (1982) dalam Gianini (2004), terdapat adanya asosiasi antara
performa akademis yang adekuat dengan kesehatan penglihatan yang bagus.
Dengan alasan inilah, penulis ingin mengangkat masalah angka kejadian
penurunan tajam penglihatan menjadi masalah penelitian.
Menurut Pettiss (1993) dalam Gianini (2004), terdapat data dari studi
internasional yang menunjukkan bahwa sekitar 25% anak-anak usia sekolah
memiliki suatu bentuk defisiensi penglihatan. Menurut Lauretti-Filho (1982)
dalam Gianini (2004), banyak diantara anak-anak tersebut cenderung enggan
untuk mengeluhkan masalah tersebut kepada keluarga maupun guru mereka.
Jika buta dan low vision akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi
disertai penyebab lain digabung, maka didapati sekitar 314 juta penduduk
dunia mengalami gangguan penglihatan (Resnikoff, 2004). Sebanyak 153
juta penduduk dunia mengalami visual impairment yang diakibatkan oleh
kelainan refraksi yang tidak dikoreksi (rabun jauh, rabun dekat, astigmatisma)
(WHO). Menurut Saw (2003), tingkat penderita low vision pada Sumatra,
Indonesia meningkat sesuai dengan umur dan faktor penyebab utamanya
adalah katarak (61,3%), kelainan refraksi yang tidak dikoreksi (12,9%), dan
terdeteksi ini, perlu dilakukan deteksi penurunan tajam penglihatan secara
dini pada tingkat komunitas (Resnikoff, 2008).
Penurunan ketajaman penglihatan ini merupakan masalah pada
masyarakat yang akan selalu dijumpai selama tidak didapati adanya tindakan
preventif sejak dini. Menurut Wedner (2006) dalam Resnikoff (2008), ciri
khas dari setiap masyarakat memainkan peranan penting terhadap tingginya
angka ini. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan pada berbagai
negara dimana skrining rutin dan koreksi refraksi bersifat gratis maupun
mudah untuk diakses namun terdapat rendahnya keprihatinan masyarakat
terhadap kesehatan mata, yang menunjukkan masih tingginya angka visual
impairment.
Penurunan tajam penglihatan cenderung lebih banyak dijumpai pada
daerah kota (Xu, 2005). Menurut Temporini (1984) dalam Gianini (2004),
dari sisi pandang kesehatan masyarakat, pemeriksaan masalah visual pada
seluruh anak-anak di dalam masyarakat oleh optalmologis sangatlah tidak
efektif sehingga solusi yang perlu ditempuh adalah deteksi penurunan tajam
penglihatan secara dini oleh pihak non-dokter yang telah dilatih seperti guru.
Program skrining yang dilakukan pada golongan umur 38-46 bulan dapat
memberikan kesempatan untuk mengobati amblyopi dan juga meraih potensi
ketajaman penglihatan yang optimal pada anak-anak yang non-amblyopi
(Bertuzzi, 2005).
Dalam hal mengurangi angka penurunan ketajaman penglihatan, selain
melalui skrining, dapat ditempuh langkah edukasi. Melalui edukasi mengenai
cara pengunaan mata yang benar, diharapkan penurunan tajam penglihatan ini
tidak berlanjut.
Skrining dan edukasi lebih dipilih sebagai manajemen penurunan tajam
penglihatan karena dibandingkan dengan usaha mengkoreksi kelainan refraksi
maupun kelainan mata lainnya oleh ahli, usaha prefentif lebih bersifat hemat
biaya dan dapat dilakukan oleh tenaga masyarakat yang sudah terlatih
Tajam penglihatan merupakan salah satu parameter pengukuran
kemampuan visual seseorang sehingga pengukuran tajam penglihatan dan
koreksi dini perlu dilakukan agar dapat tercapai kemampuan visual yang
optimal. Dengan alasan inilah, diperlukan penelitian yang terfokus pada
prevalensi penurunan ketajaman penglihatan pada anak-anak agar dapat
dinilai apakah kejadian penurunan tajam penglihatan telah mendapat
perhatian oleh keluarga maupun masyarakat. Anak-anak yang dimaksud
terutama adalah siswa-siswi yang bersekolah di sekolah dengan akreditasi A
karena tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian penurunan
ketajaman penglihatan (Xu, 2005).
1.2Rumusan Masalah
Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi
peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian berupa bagaimanakah
prevalensi penurunan ketajaman penglihatan pada siswa-siswi sekolah dasar
kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah?
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum :
Dari penelitian ini dapat diketahui gambaran prevalensi penurunan
ketajaman penglihatan pada siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di
Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah, yang dapat dipakai
sebagai masukan untuk upaya penggalakan usaha-usaha preventif dan
deteksi dini pada sekolah-sekolah dasar lainnya.
1.3.2 Tujuan khusus :
1. Dari penelitian ini dapat diketahui derajat ketajaman penglihatan,
menurut skala Snellen Chart, yang paling sering dijumpai pada
siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul
2. Dari penelitian ini dapat diketahui derajat penurunan ketajaman
penglihatan yang paling sering dijumpai pada sekolah tempat
dilakukan penelitian.
3. Dari penelitian ini dapat diketahui distribusi derajat ketajaman
penglihatan berdasarkan riwayat keluarga.
4. Dari penelitian ini dapat diketahui ditribusi derajat ketajaman
penglihatan berdasarkan usia.
5. Dari penelitian ini dapat diketahui distribusi derajat ketajaman
penglihatan berdasarkan jenis kelamin.
6. Dari penelitian ini dapat diketahui distribusi derajat ketajaman
penglihatan berdasarkan penggunaan alat bantu penglihatan.
1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi peneliti
1. Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian.
2. Meningkatkan kemampuan dalam mengaplikasikan pengetahuan
statistik kedokteran ke dalam penelitian.
3. Mengembangkan daya nalar, minat dan kemampuan meneliti dalam
bidang penelitian.
1.4.2 Bagi masyarakat
1. Untuk memberikan gambaran kepada orang tua siswa mengenai
penurunan tajam penglihatan yang telah terjadi sehingga dapat
dilakukan koreksi dini.
2. Sebagai tinjauan bagi penelitian lain terutama dengan topik yang sama
sehingga dapat menjadi bahan pembanding yang bermanfaat.
3. Sebagai masukan bagi instansi-instansi kesehatan dan pendidikan
serta pihak-pihak lain yang terkait untuk lebih memperhatikan aspek
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Struktur Mata dan Aksesorinya
Mata merupakan organ penglihatan yang dimiliki manusia. Mata
dilindungi oleh area orbit tengkorak yang disusun oleh berbagai tulang
seperti tulang frontal, sphenoid, maxilla, zygomatic, greater wing of
sphenoid, lacrimal, dan ethmoid (Rizzo, 2001).
Sebagai struktur tambahan mata, dikenal berbagai struktur aksesori
yang terdiri dari alis mata, kelopak mata, bulu mata, konjungtiva, aparatus
lakrimal, dan otot-otot mata ekstrinsik. Alis mata dapat mengurangi
masuknya cahaya dan mencegah masuknya keringat, yang dapat
menimbulkan iritasi, ke dalam mata. Kelopak mata dan bulu mata mencegah
masuknya benda asing ke dalam mata. Konjungtiva merupakan suatu
membran mukosa yang tipis dan transparan. Konjungtiva palpebra melapisi
bagian dalam kelopak mata dan konjuntiva bulbar melapisi bagian anterior
permukaan mata yang berwarna putih. Titik pertemuan antara konjungtiva
palpebra dan bulbar disebut sebagai conjunctival fornices (Seeley, 2006).
Apparatus lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal yang terletak di sudut
anterolateral orbit dan sebuah duktus nasolakrimal yang terletak di sudut
inferomedial orbit. Kelenjar lakrimal diinervasi oleh serat-serat parasimpatis
dari nervus fasialis. Kelenjar ini menghasilkan air mata yang keluar dari
kelenjar air mata melalui berbagai duktus nasolakrimalis dan menyusuri
permukaan anterior bola mata. Tindakan berkedip dapat membantu
menyebarkan air mata yang dihasilkan kelenjar lakrimal (Seeley, 2006).
Air mata tidak hanya dapat melubrikasi mata melainkan juga mampu
melawan infeksi bakterial melalui enzim lisozim, garam serta gamma
globulin. Kebanyakan air mata yang diproduksi akan menguap dari
permukaan mata dan kelebihan air mata akan dikumpulkan di bagian medial
mata di kanalikuli lakrimalis. Dari bagian tersebut, air mata akan mengalir
nasolakrimalis berakhir pada meatus inferior kavum nasalis dibawah konka
nasalis inferior (Rizzo, 2001). Struktur aksesoris mata dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 2.1. Struktur Aksesori Mata (Saladin, 2006)
Untuk menggerakkan bola mata, mata dilengkapi dengan enam otot
ekstrinsik. Otot-otot tersebut yaitu superior rectus muscle, inferior rectus
muscle, medial rectus muscle, lateral rectus muscle, superior oblique muscle, dan inferior oblique muscle. Pergerakan bola mata dapat
digambarkan secara grafik menyerupai huruf H sehingga uji klinis yang
digunakan untuk menguji gerakan bola mata disebut sebagai H test.
Superior oblique muscle diinervasi oleh nervus troklearis. Lateral rectus muscle diinervasi oleh nervus abdusen. Keempat otot mata lainnya
diinervasi oleh nervus okulomotorius (Seeley, 2006). Otot-otot ekstrinsik
Gambar 2.2. Otot-otot Ekstrinsik Bola Mata (Saladin, 2006)
Mata mempunyai diameter sekitar 24 mm dan tersusun atas tiga
lapisan utama, yaitu outer fibrous layer, middle vascular layer dan inner
layer. Outer fibrous layer (tunica fibrosa) dibagi menjadi dua bagian yakni sclera dan cornea. Sclera (bagian putih dari mata) menutupi sebagian besar
permukaan mata dan terdiri dari jaringan ikat kolagen padat yang ditembus
oleh pembuluh darah dan saraf. Kornea merupakan bagian transparan dari
sclera yang telah dimodifikasi sehingga dapat ditembus cahaya (Saladin,
2006).
Middle vascular layer (tunica vasculosa) disebut juga uvea. Lapisan
ini terdiri dari tiga bagian yaitu choroid, ciliary body, dan iris. Choroid
merupakan lapisan yang sangat kaya akan pembuluh darah dan sangat
merupakan ekstensi choroid yang menebal serta membentuk suatu cincin
muskular disekitar lensa dan berfungsi menyokong iris dan lensa serta
mensekresi cairan yang disebut sebagai aqueous humor (Saladin, 2006).
Iris merupakan suatu diafragma yang dapat diatur ukurannya dan
lubang yang dibentuk oleh iris ini disebut sebagai pupil. Iris memiliki dua
lapisan berpigmen yaitu posterior pigment epithelium yang berfungsi
menahan cahaya yang tidak teratur mencapai retina dan anterior border
layer yang mengandung sel-sel berpigmen yang disebut sebagai
chromatophores. Konsentrasi melanin yang tinggi pada chromatophores
inilah yang memberi warna gelap pada mata seseorang seperti hitam dan
coklat. Konsentrasi melanin yang rendah memberi warna biru, hijau, atau
abu-abu. Inner layer (tunica interna) terdiri dari retina dan nervus optikus
(Saladin, 2006). Struktur anatomi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat
dilihat pada gambar berikut.
2.2Komponen Optik Mata
Komponen optik dari mata adalah elemen transparan dari mata yang
tembus cahaya serta mampu membelokkan cahaya (refraksi) dan
memfokuskannya pada retina. Bagian-bagian optik ini mencakup kornea,
aqueous humor, lensa, dan vitreous body. Aqueous humor merupakan cairan
serosa yang disekresi oleh ciliary body ke posterior chamber, sebuah ruang
antara iris dan lensa. Cairan ini mengalir melalui pupil menuju anterior
chamber yaitu ruang antara kornea dan iris. Dari area ini, cairan yang
disekresikan akan direabsorbsi kembali oleh pembuluh darah yang disebut
sclera venous sinus (canal of Schlemm) (Saladin,2006).
Lensa tersuspensi dibelakang pupil oleh serat-serat yang membentuk
cincin yang disebut suspensory ligament, yang menggantungkan lensa ke
ciliary body. Tegangan pada ligamen memipihkan lensa hingga mencapai
ketebalan 3,6 mm dengan diameter 9,0 mm. Vitreous body (vitreous humor)
merupakan suatu jelly transparan yang mengisi ruangan besar dibelakang
lensa. Sebuah kanal (hyaloids canal) yang berada disepanjang jelly ini
merupakan sisa dari arteri hyaloid yang ada semasa embrio (Saladin, 2006).
2.3 Komponen Neural Mata
Komponen neural dari mata adalah retina dan nervus optikus. Retina
merupakan suatu membran yang tipis dan transparan dan tefiksasi pada optic
disc dan ora serrata. Optic disc adalah lokasi dimana nervus optikus
meninggalkan bagian belakang (fundus) bola mata. Ora serrata merupakan
tepi anterior dari retina. Retina tertahan ke bagian belakang dari bola mata
oleh tekanan yang diberikan oleh vitreous body. Pada bagian posterior dari
titik tengah lensa, pada aksis visual mata, terdapat sekelompok sel yang
disebut macula lutea dengan diameter kira-kira 3 mm. Pada bagian tengah
dari macula lutea terdapat satu celah kecil yang disebut fovea centralis, yang
menghasilkan gambar/visual tertajam. Sekitar 3 mm pada arah medial dari
macula lutea terdapat optic disc. Serabut saraf dari seluruh bagian mata
optikus. Bagian optic disc dari mata tidak mengandung sel-sel reseptor
sehingga dikenal juga sebagai titik buta (blind spot) pada lapangan pandang
setiap mata (Saladin, 2006).
2.4 Proses Visual Mata
Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina
dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi
maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak
dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri
diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang
terdiri dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel
epithelial kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga
sebagai myoepithelial cells (Saladin, 2006).
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan
melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata.
Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya
berubah dan ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau
objek yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya
memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung pada
kemampuan refraksi mata (Saladin, 2006).
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humor
(n=1.33), dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak
dibandingkan lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan
yang ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Setelah
cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan mencapai retina, tahap
terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi
potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini
terjadi pada retina (Saladin, 2006).
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan
sensory retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi
membentuk suatu matriks hitam yang mempertajam penglihatan dengan
mengurangi penyebaran cahaya dan mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor
yang ada. Pada sensory retina, terdapat tiga lapis neuron yaitu lapisan
fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari setiap neuron ini
dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai lapisan bersatu.
Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic
sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel bipolar
dan ganglionic (Seeley, 2006).
Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal yang
terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract,
lateral geniculate dari thalamus, superior colliculi, dan korteks serebri
(Seeley, 2006). Gambaran jaras penglihatan yang telah dijelaskan
sebelumnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Cental Vision
Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya
jatuh pada area macula lutea retina dan memberikan stimulus pada
fotoreseptor yang berada pada area tersebut. Dalam pemeriksaannya,
central vision dapat dibagi menjadi uncorrected visual acuity dimana
mata diukur ketajamannya tanpa menggunakan kacamata maupun lensa
kontak dan corrected visual acuity dimana mata yang diukur telah
dilengkapi dengan alat bantu penglihatan seperti kacamata maupun lensa
kontak. Karena penurunan ketajaman penglihatan jarak jauh dapat
disebabkan oleh kelainan refraksi, umumnya jenis pemeriksaan yang
dipilih untuk menilai kesehatan mata adalah corrected visual acuity
(Riordan-Eva, 2007).
2. Peripheral Vision
Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya
jatuh pada area diluar macula lutea retina dan memberikan stimulus pada
fotoreseptor yang berada pada area tersebut.
Penglihatan perifer dapat ditinjau secara cepat dengan
menggunakan confrontation testing. Pada pemeriksaan ini, mata yang
tidak diperiksa ditutup dengan menggunakan telapak tangan dan
pemeriksa duduk sejajar dengan pasien. Jika mata kanan pasien
diperiksa, maka mata kiri pasien ditutup dan mata kanan pemeriksa
ditutup. Pasien diminta untuk melihat lurus sejajar dengan mata kiri
pemeriksa. Untuk mendeteksi adanya gangguan, pemeriksa
menunjukkan angka tertentu dengan menggunakan jari tangan yang
diletakkan diantara pasien dan pemeriksa pada keempat kuadran
penglihatan. Pasien diminta untuk megidentifikasi angka yang
2.5 Ketajaman Penglihatan
2.5.1 Perkembangan Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan merupakan kemampuan sistem penglihatan
untuk membedakan berbagai bentuk (Anderson, 2007). Penglihatan yang
optimal hanya dapat dicapai bila terdapat suatu jalur saraf visual yang utuh,
stuktur mata yang sehat serta kemampuan fokus mata yang tepat
(Riordan-Eva, 2007).
Perkembangan kemampuan melihat sangat bergantung pada
perkembangan tumbuh anak pada keseluruhan, mulai dari daya membedakan
sampai pada kemampuan menilai pengertian melihat. Walaupun
perkembangan bola mata sudah lengkap waktu lahir, mielinisasi berjalan
terus sesudah lahir. Tajam penglihatan bayi sangat kurang dibanding
penglihatan anak. Perkembangan penglihatan berkembang cepat sampai usia
dua tahun dan secara kuantitatif pada usia lima tahun (Ilyas, 2009).
Tajam penglihatan bayi berkembang sebagai berikut:
- Baru lahir : Menggerakkan kepala ke sumber cahaya besar
- 6 minggu : Mulai melakukan fiksasi; Gerakan mata tidak teratur ke
arah sinar
- 3 bulan : Dapat menggerakkan mata ke arah benda bergerak
- 4-6 bulan : Koordinasi penglihatan dengan gerakan mata;
Dapat melihat dan mengambil objek
- 9 bulan : Tajam penglihatan 20/200
- 1 tahun : Tajam penglihatan 20/100
- 2 tahun : Tajam penglihatan 20/40
- 3 tahun : Tajam penglihatan 20/30
- 5 tahun : Tajam penglihatan 20/20 (Ilyas, 2009).
Secara klinis, derajat ketajaman anak-anak mencapai nilai yang
mendekati 6/6 saat mencapai usia 5 tahun. Hal ini dikarenakan pemeriksaan
visus pada anak-anak secara subjektif maupun objektif tidak dapat
menghasilkan data yang valid. Ketajaman penglihatan dapat dibagi lagi
ketajaman penglihatan yang berhubungan dengan detail dari huruf terkecil,
angka ataupun bentuk lainnya yang dapat dikenali. Resolution acuity adalah
kemampuan mata untuk mengenali dua titik ataupun benda yang mempunyai
jarak sebagai dua objek yang terpisah (Leat, 2009).
Hubungan antara jenis ketajaman penglihatan tersebut dengan usia
dimana kondisi tersebut dapat dicapai dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut
(Leat, 2009).
Tabel 2.1.
Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima Tahun Keatas
2.5.2 Pemeriksaan visus mata
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab
kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam
penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata.
Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan
kartu Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur
dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun
proyeksi sinar. Untuk besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan
rincian benda ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang
masih dapat dilihat pada jarak tertentu (Ilyas, 2009).
Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat
kemampuan membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk
kartu. Pasiennya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk
penglihatan normal. Pada keadaan ini, mata dapat melihat huruf pada jarak
20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut. Tajam
penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau 20/15 atau
20/20 kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah fovea,
sedangkan beberapa faktor seperti penerangan umum, kontras, berbagai uji
warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam
penglihatan mata (Ilyas, 2009).
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan
kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam
penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya. Dengan
gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat
membedakan dua titik tersebut membentuk sudut satu menit. Satu huruf
hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut lima menit dan
setiap bagian dipisahkan dengan sudut satu menit. Makin jauh huruf harus
terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut yang
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima
atau enam meter. Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan
beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan
dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen yang setiap
hurufnya membentuk sudut lima menit pada jarak tertentu sehingga huruf
pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada
jarak 60 meter; dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk
sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf
yang membentuk sudut lima menit pada jarak enam meter, sehingga huruf
ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas, 2009).
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan
atau kemampuan melihat seseorang, seperti :
- Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak
enam meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada
jarak enam meter.
- Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan
angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
- Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan
angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
- Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada
jarak enam meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat
pada jarak 60 meter.
- Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal
pada jarak 60 meter.
- Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60.
Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60,
yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
- Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan
gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya
dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam
penglihatannya adalah 1/300.
- Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam
penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak
tidak berhingga.
- Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka
dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).
Hal diatas dapat dilakukan pada orang yang telah dewasa atau dapat
berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan
tersebut. Pada bayi yang belum mempunyai penglihatan seperti orang
dewasa secara fungsional dapat dinilai apakah penglihatannya akan
berkembang normal adalah dengan melihat refleks fiksasi. Bayi normal
akan dapat berfiksasi pada usia 6 minggu, sedang mempunyai kemampuan
untuk dapat mengikuti sinar pada usia 2 bulan. Refleks pupil sudah mulai
terbentuk sehingga dengan cara ini dapat diketahui keadaan fungsi
penglihatan bayi pada masa perkembangannya. Pada anak yang lebih besar
dapat dipakai benda-benda yang lebih besar dan berwarna untuk digunakan
dalam pengujian penglihatannya (Ilyas, 2009).
Untuk mengetahui sama tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata
dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu mata ditutup
akan menimbulkan reaksi yang berbeda pada sikap anak, yang berarti ia
sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik dibanding
dengan mata lainnya (Ilyas, 2009).
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat
kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole
penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan refraksi yang masih dapat
dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan
kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun
(Ilyas, 2009).
Pada Tabel 2.2. dibawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan
[image:32.595.137.496.259.388.2]dalam sistem desimal, Snellen dalam meter dan kaki (Ilyas, 2009).
Tabel 2.2.
Nilai Tajam Penglihatan dalam Meter, Kaki dan Desimal
Snellen (6 meter) 20 kaki Sistem desimal
6/6 20/20 1.0
5/6 20/25 0.8
6/9 20/30 0.7
5/9 15/25 0.6
6/12 20/40 0.5
5/12 20/50 0.4
6/18 20/70 0.3
6/60 20/200 0.1
(Ilyas, 2009)
Untuk menghubungkan tingkat kehilangan ketajaman penglihatan
dengan nilai ketajaman penglihatan jarak jauh maupun dekat, kita dapat
menggunakan referensi dari American Medical Association yang dapat
Tabel 2.3.
Metode Estimasi Persentase Kehilangan Ketajaman Penglihatan
(Riordan-Eva, 2007)
2.5.3 Penurunan ketajaman penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh berbagai
faktor seperti usia, kesehatan mata dan tubuh dan latar belakang pasien.
Ketajaman penglihatan cenderung menurun sesuai dengan meningkatnya
usia seseorang. Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor yang
mempengaruhi ketajaman penglihatan seseorang (Xu, 2005). Dari penelitian
yang dilakukan di Sumatra, Indonesia, didapat bahwa penyebab tertinggi
terjadinya low vision atau visual impairment adalah katarak, kelainan
refraksi yang tidak dikoreksi, amblyopia, Age-related Macular
Degeneration, Macular Hole, Optic Atrophy, dan trauma (Saw, 2003).
Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan mata yang herediter
2.6 Visual Impairment
Menurut International Classification of Diseases (ICD), visual
impairment adalah suatu keterbatasan fungsional dari mata. Visual impairment ini sendiri dapat dinilai dengan menggunakan tiga kriteria
penting, yaitu:
1. Visual Acuity
Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan metode yang telah
dijelaskan sebelumnya (Riordan-Eva, 2007).
2. Visual Field
Metode tradisional standar yang dapat digunakan untuk menilai
gangguan dalam lapangan pandang adalah kinetic perimetry untuk
menentukan lapangan pandang setiap mata secara keseluruhan. Untuk
setiap delapan meridian utama, nilai gangguan lapangan pandang
dinyatakan dalam satuan derajat yang kemudian akan dibandingkan
dengan nilai standar lapangan pandang normal. Selisih derajat yang
didapat akan dirata-ratakan untuk mendapat nilai penurunan lapangan
pandang. Nilai kumulatif lapangan pandang mata normal pada delapan
meridian adalah sebesar 500 derajat. Jika batas lapangan pandang sesuai
dengan meridian utama maka digunakan rata-rata dari nilai terujung batas
sepanjang meridian tersebut. Selain itu, scotoma juga diperhitungkan
dengan cara mengurangi batas scotoma tersebut pada garis meridian.
Sebagai contoh, penggunaan kinetic perimetry dapat dilihat pada gambar
Gambar 2.5. Kinetic Perimetry (Riordan-Eva, 2007)
3. Ocular Motility
Motilitas okuler dapat dinilai dengan menggunakan arc perimeter
dengan pasien tetap melihat mengunakan kedua mata. Motilitas okuler
dapat menilai adanya gangguan pada mata seperti diplopia (Riordan-Eva,
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Variabel Independen:
Variabel Dependen:
3.2 Variabel dan Definisi Operasional
Tajam Penglihatan
a. Definisi : ukuran kemampuan sistem visual untuk menilai
rincian dan bentuk suatu objek
b. Cara Ukur : meminta anak-anak sekolah dasar untuk membaca
Snellen Chart dan menilai visus berdasarkan skala yang
tertera pada Snellen Chart tersebut. Jika penglihatan
kurang maka nilai visus anak dinilai dengan pemeriksaan
hitung jari, lambaian tangan dan persepsi cahaya.
Anak-anak yang telah memakai kacamata atau lensa kontak
tetap memakainya selama proses pengukuran
c. Alat Ukur : Snellen Chart
d. Kategori : Visus 0,8-1 = Tajam penglihatan normal
Visus <0,8 = Penurunan tajam penglihatan
e. Skala Ukur : Ordinal
Riwayat Keluarga
a. Definisi : riwayat penggunaan alat bantu penglihatan oleh Karakteristik Anak-anak
Sekolah Dasar: - Riwayat Keluarga - Usia
- Jenis Kelamin
- Penggunaan Alat Bantu Penglihatan
orang-orang yang berasal dari satu garis keturunan
b. Cara Ukur : Wawancara
c. Alat Ukur : Kuesioner
d. Kategori : Ya = Terdapat riwayat keluarga
Tidak = Tidak terdapat riwayat keluarga
e. Skala Ukur : Nominal
Usia
a. Definisi : lama waktu hidupnya seseorang
b. Cara Ukur : peneliti menentukan usia anak sesuai dengan data tanggal
lahir yang didokumentasikan oleh pihak sekolah
c. Alat Ukur : Kuesioner
d. Kategori : Usia dikategorikan sesuai dengan nilai usia yang didapat
e. Skala Ukur : Numerik
Jenis Kelamin
a. Definisi : suatu karakteristik yang membedakan individu sesuai
dengan peran reproduktifnya
b. Cara Ukur : Observasi
c. Alat Ukur : Kuesioner
d. Kategori : Laki-laki / Perempua n
e. Skala Ukur : Nominal
Penggunaan Alat Bantu Penglihatan
a. Definisi : penggunaan alat bantu penglihatan (kacamata dan lensa
kontak) untuk meningkatkan tajam penglihatan
b. Cara Ukur : Observasi dan wawancara
c. Alat Ukur : Kuesioner
d. Kategori : Ya = Pengguna Alat Bantu Penglihatan
Tidak = Bukan Pengguna Alat Bantu Penglihatan
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Berdasarkan judul penelitian, Prevalensi Penurunan Ketajaman
Penglihatan pada Siswa-Siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan
Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2010, jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif dengan rancangan studi
cross-sectional.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan September
dan Oktober 2010 di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul
Amaliyyah. Sekolah tersebut dipilih menjadi lokasi penelitian karena
sekolah tersebut telah diakreditasi A oleh Badan Akreditasi Propinsi
Sekolah/Madrasah Provinsi Sumatera Utara.
4.3 Populasi dan Sampel 1. Populasi target
Siswa-siswi sekolah dasar.
2. Populasi terjangkau
Siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul
Amaliyyah.
Dari populasi yang ada (N=261), akan diambil sampel yang dianggap
dapat mewakili populasi yang ada. Pemilihan sampel penelitian dilakukan
dengan teknik Stratified random sampling agar setiap tingkatan kelas
mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi menjadi sampel.
Estimasi Besar Sampel
Jumlah sampel yang akan digunakan sebagai subjek penelitian dihitung
n : besar sampel minimum
N : jumlah populasi siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di Yayasan
Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah tahun 2010
Z1-α/2 : nilai distribusi normal baku (table Z) pada α tertentu
p : harga proporsi di populasi (dalam penelitian ini dipakai p= 0,5)
d : kesalahan absolut yang dapat ditolerir (dalam penelitian ini
dipakai d= 10%)
Perhitungan:
70
Berdasarkan rumus di atas, maka didapatkan jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 70 orang. Setelah besar sampel diperoleh, penentuan
sampel yang dijadikan subjek penelitian ditentukan berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.
4.3.1 Kriteria Inklusi
Siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di sekolah yang terakreditasi A.
4.3.2 Kriteria Eksklusi
- Siswa-siswi sekolah dasar yang tidak bersedia menjadi sampel
penelitian.
- Siswa-siswi sekolah dasar yang tidak hadir pada hari
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Pada awal penelitian, data umum populasi siswa-siswi sekolah dasar
kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah tahun 2010
sebanyak 261 orang merupakan data sekunder yang didapatkan peneliti dari
pihak sekolah yang terkait. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian
adalah data primer yang diperoleh dari hasil pengukuran visus menggunakan
Snellen Chart, hitung jari, lambaian tangan dan pemeriksaan persepsi
cahaya. Pengukuran visus dilakukan oleh tenaga ahli dan wawancara,
observasi serta pencatatan data dilakukan oleh peneliti.
4.5 Pengolahan dan Analisis Data
Data visus, riwayat keluarga, usia, jenis kelamin dan penggunaan
kacamata akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Statistic
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Pengambilan data visus untuk penelitian ini telah dilakukan dengan
menggunakan alat ukur Snellen Chart. Pengukuran visus subjek penelitian
dilakukan oleh tenaga ahli yang terlatih. Data-data lainnya yang diperlukan
seperti nama lengkap dan tanggal lahir dikumpulkan dengan melakukan
pencatatan langsung data murid pada sekolah tempat dilaksanakannya penelitian.
Data mengenai penggunaan alat bantu penglihatan dikumpulkan dengan cara
observasi langsung maupun bertanya kepada subjek penelitian. Riwayat keluarga
dikumpulkan dengan anamnesis subjek penelitian yang telah diukur nilai
visusnya. Segala data yang telah dikumpulkan dan dicatat dengan baik kemudian
dianalisa oleh peneliti sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian seperti yang
dipaparkan di bawah ini.
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini diadakan di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul
Amaliyyah yang berlokasi di Jalan Setia Budi nomor 131 Kecamatan Medan
Sunggal. Sekolah ini telah diberi peringkat akreditasi A oleh Badan Akreditasi
5.1.2 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian
Individu yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi
sekolah dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah kelas 4, 5, dan 6 yang
terpilih, yaitu sejumlah 73 orang siswa. Dari kesuluruhan subjek yang ada,
diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya meliputi: usia, jenis kelamin,
penggunaan alat bantu penglihatan, dan riwayat penurunan tajam penglihatan
dalam keluarga.
Pada penelitian ini, peneliti membatasi usia minimal subjek penelitian.
Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya yang
menunjukkan bahwa seorang anak akan memiliki ketajaman penglihatan yang
[image:42.595.136.467.395.547.2]menyerupai orang dewasa hanya jika ia telah berusia minimal 8-10 tahun.
Gambar 5.1. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Dari Gambar 5.1. dapat dilihat subjek penelitian terbanyak yaitu subjek
dengan usia 9 (32,9%) dan 10 (37,0%) tahun. Penggenapan usia dilakukan
dengan menggunakan program SPSS dimana penambahan usia sebesar 6 bulan
keatas dianggap sebagai penambahan usia sebanyak 1 tahun.
Pada penelitian ini, tidak dibatasi jumlah subjek penelitian berdasarkan
jenis kelamin karena peneliti hanya ingin mencari nilai prevalensi penurunan
ketajaman penglihatan.
Frequency
8 9 10 11 12 Total
Usia (Tahun) 7
24 27
14
1
73
9,6
32,9 37,0
19,2
1,4
100,0
Gambar 5.2. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari Gambar 5.2. dapat dilihat bahwa subjek penelitian terbanyak yaitu
sujek penelitian dengan jenis kelamin laki-laki (63.0%).
Pada penelitian ini, penggunaan alat bantu penglihatan diobservasi dan
ditanyakan secara langsung kepada subjek penelitian karena tidak tertutup
kemungkinan bahwa anak-anak yang telah mempunyai alat bantu penglihatan,
tidak memakainya secara rutin.
Gambar 5.3. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Penggunaan Alat Bantu Penglihatan
Dari Gambar 5.3. dapat dilihat bahwa majoritas subjek penelitian (90,4%)
tidak memakai alat bantu penglihatan.
Laki-laki Perempuan Total
Jenis Kelamin 46
27
73
63,0
37,0
100,0
Frequency Percent
Ada Tidak Ada Total
Penggunaan Alat Bantu Penglihatan 7
66 73
9,6
90,4 100,0
[image:43.595.162.468.491.634.2]Pada penelitian ini, selain dilakukan pengambilan data usia dan
penggunaan alat bantu penglihatan, peneliti juga mengambil data riwayat
penurunan tajam penglihatan di dalam keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah
orang tua kandung dari subjek penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menilai
apakah subjek penelitian yang diteliti memiki resiko untuk berbagai kelainan
[image:44.595.145.470.276.415.2]mata yang dapat menurunkan tajam penglihatan, seperti kelainan refraksi.
Gambar 5.4. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Keluarga
Dari Gambar 5.4. dapat dilihat bahwa mayoritas subjek penelitian
(65,8%) memiliki riwayat penurunan ketajaman penglihatan pada keluarganya.
Ada Tidak Ada Total
Riwayat Keluarga 48
25
73
65,8
34,2
100,0
5.1.3 Hasil Analisa Data
5.1.3.1 Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, nilai ketajaman penglihatan diukur dengan
menggunakan Snellen Chart yang merupakan instrumen baku dalam penilaian
ketajaman penglihatan seseorang. Data lengkap distribusi frekuensi nilai
[image:45.595.126.504.301.506.2]ketajaman penglihatan subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1. berikut ini.
Tabel 5.1.
Distribusi Frekuensi Ketajaman Penglihatan Mata Kanan dan Kiri
Visual Acuity Oculi Dextra Oculi Sinistra
f p (%) f p (%)
0.1 (6/60) 0 0 0 0
0.13 (6/48) 1 1.4 2 2.7
0.17 (6/36) 1 1.4 2 2.7
0.25 (6/24) 3 4.1 0 0
0.3 (6/18) 2 2.7 2 2.7
0.4 (6/15) 4 5.5 7 9.6
0.5 (6/12) 3 4.1 7 9.6
0.7 (6/9) 3 4.1 5 6.8
1 (6/6) 56 76.7 48 65.8
Total 73 100.0 73 100.0
Pada penelitian ini, ketajaman penglihatan dikategorikan menjadi normal
(nilai ketajaman penglihatan ≥0,8) dan menurun (nilai ketajaman penglihatan
<0,8). Untuk memudahkan pembahasan selanjutnya, nilai ketajaman ketajaman
penglihatan pada subjek penelitian, sesuai dengan Tabel 5.1. akan dikategorikan
menjadi Unilateral Visual Acuity Decrease, bila terdapat penurunan ketajaman
pada salah satu mata saja (mata kanan ataupun kiri), Bilateral Visual Acuity
Decrease, bila terdapat penurunan ketajaman penglihatan pada kedua belah mata,
Tabel 5.2.
Distribusi Frekuensi Status Ketajaman Penglihatan
Visual Acuity Status Frequency Percent (%)
Normal Visual Acuity 44 60.3
Unilateral Visual Acuity Decrease 16 21.9
Bilateral Visual Acuity Decrease 13 17.8
Total 73 100.0
Dari Tabel 5.2. dapat dilihat bahwa subjek penelitian dengan ketajaman
penglihatan normal adalah sebesar 60,3%, subjek penelitian dengan penurunan
ketajaman penglihatan unilateral adalah 21,9% dan subjek penelitian dengan
5.1.3.2 Gambaran Ketajaman Penglihatan Menurut Karakteristik Subjek Penelitian
a. Usia
Ketajaman penglihatan seorang anak akan terus berkembang hingga ia
mencapai usia 8-10 tahun. Dalam jangkauan usia ini, ketajaman penglihatan
anak akan terus berkembang setiap tahunnya secara bertahap (Leat, 2009).
Dalam Tabel 5.3. berikut ini dapat dilihat gambaran ketajaman penglihatan
[image:47.595.116.528.342.515.2]menurut usia subjek penelitian.
Tabel 5.3.
Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut Karakteristik Usia
Usia
Visual Acuity Status
Total Normal Visual Acuity Unilateral Visual Acuity Decrease Bilateral Visual Acuity Decrease
f p (%) f p (%) f p (%) f p (%)
8 3 4.1 2 2.7 2 2.7 7 9.6
9 14 19.2 7 9.6 3 4.1 24 32.9
10 19 26.0 2 2.7 6 8.2 27 37.0
11 8 11.0 4 5.5 2 2.7 14 19.2
12 0 0 1 1.4 0 0 1 1.4
Total 44 60.3 16 21.9 13 17.8 73 100.0
Dari Tabel 5.3. dapat dilihat bahwa mayoritas subjek penelitian dengan
status ketajaman penglihatan normal adalah pada usia 10 tahun (26,0%), 9 tahun
(19,2%), dan 8 tahun (4,1%). Subjek penelitian dengan penurunan ketajaman
penglihatan unilateral terbanyak terdapat pada usia 9 tahun (9,6%), 11 tahun
(5,5%), dan 10 atau 8 tahun (2,7%). Subjek penelitian dengan penurunan
ketajaman penglihatan bilateral terbanyak terdapat pada usia 10 tahun (8,2%), 9
tahun (4,1%), dan 11 atau 8 tahun (2,7%). Secara keseluruhan, status ketajaman
penglihatan yang paling banyak ditemukan adalah normal (60,3%) yang
kemudian diikuti oleh penurunan ketajaman penglihatan unilateral (21,9%), dan
b. Alat Bantu Penglihatan
Penggunaan alat bantu penglihatan pada subjek penelitian menunjukkan
besarnya perhatian yang diberikan pada ketajaman penglihatan. Dalam Tabel
5.4. berikut ini dapat dilihat gambaran ketajaman penglihatan menurut ada
tidaknya penggunaan alat bantu penglihatan.
Tabel 5.4.
Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut Karakteristik Penggunaan Alat Bantu Penglihatan
Alat Bantu
Peng-lihatan
Visual Acuity Status
Total Normal Visual Acuity Unilateral Visual Acuity Decrease Bilateral Visual Acuity Decrease
f p (%) f p (%) f p (%) f p (%)
Ada 1 1.4 3 4.1 3 4.1 7 9.6
Tidak Ada 43 58.9 13 17.8 10 13.7 66 90.4
Total 44 60.3 16 21.9 13 17.8 73 100.0
Dari Tabel 5.4. dapat dilihat bahwa mayoritas subjek penelitian dengan
status visus normal tidak menggunakan alat bantu penglihatan (58,9%). Hal yang
sama juga ditemukan pada subjek penelitian dengan penurunan ketajaman
penglihatan unilateral (17,8%) maupun bilateral (13,7%). Secara keseluruhan,
dapat dilihat bahwa dari subjek penelitian yang diteliti, hanya 9,6% subjek yang
menggunakan alat bantu penglihatan, dimana 1,4% dari 9,6% subjek yang
menggunakan alat bantu penglihatan tersebut berasal dari golongan ketajaman
penglihatan normal. Secara spesifik, dapat dihitung persentase subjek dengan
penurunan ketajaman penglihatan, baik unilateral maupun bilateral, namun tidak
c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor resiko dalam terjadinya
penurunan ketajaman penglihatan. Dalam Tabel 5.5. berikut ini dapat dilihat
gambaran ketajaman penglihatan menurut ada tidaknya riwayat keluarga.
Tabel 5.5.
Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut Karakteristik Riwayat Keluarga
Riwayat Keluarga
Visual Acuity Status
Total Normal
Visual Acuity
Unilateral Visual Acuity Decrease
Bilateral Visual Acuity Decrease
f p (%) f p (%) f p (%) f p (%)
Ada 27 37.0 10 13.7 11 15.1 48 65.8
Tidak Ada 17 23.3 6 8.2 2 2.7 25 34.2
Total 44 60.3 16 21.9 13 17.8 73 100.0
Dari Tabel 5.5. dapat dilihat bahwa mayoritas subjek penelitian dengan
status visus normal memiliki riwayat keluarga (37,0%). Hal yang sama juga
ditemukan pada subjek penelitian dengan penurunan ketajaman penglihatan
unilateral (13,7%) maupun bilateral (15,1%). Secara keseluruhan, dapat dilihat
bahwa dari subjek penelitian yang diteliti, 65% diantaranya memiliki riwayat
keluarga. Secara spesifik, dapat dihitung persentase subjek dengan riwayat
keluarga yang mengalami penurunan ketajaman penglihatan, baik unilateral
d. Jenis Kelamin
Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi
ketajaman penglihatan seseorang (Xu, 2005).
Tabel 5.6.
Ketajaman Penglihatan Subjek Penelitian Menurut Karakteristik Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Visual Acuity Status
Total Normal
Visual Acuity
Unilateral Visual Acuity Decrease
Bilateral Visual Acuity Decrease
f p (%) f p (%) f p (%) f p (%)
Laki-laki 30 41.1 10 13.7 6 8.2 46 63
Perempuan 14 19.2 6 8.2 7 9.6 27 37
Total 44 60.3 16 21.9 13 17.8 73 100
Dari Tabel 5.6. dapat dilihat bahwa status ketajaman penglihatan normal
terbanyak terdapat pada subjek penelitian dengan jenis kelamin laki-laki (41,1%).
Penurunan ketajaman penglihatan unilateral terbanyak dijumpai pada subjek
penelitian dengan jenis kelamin laki-laki (13,7%) sedangkan penurunan
ketajaman penglihatan bilateral terbanyak dijumpai pada subjek penelitian
5.1.3.3 Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan
Penurunan tajam penglihatan dapat bersifat unilateral maupun bilateral.
Penurunan ketajaman penglihatan dalam penelitian ini mencakup kedua jenis
penurunan ketajaman penglihatan tersebut sehingga jumlah kasus total yang
ditemui pada penelitian ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Jumlah
semua kasus yang dicatat = Jumlah kasus penurunan ketajaman penglihatan unilateral + Jumlah kasus penurunan ketajaman penglihatan bilateral.
Jumlah semua kasus yang dicatat dalam penelitian ini adalah 16 orang
(untuk penurunan ketajaman penglihatan unilateral) ditambah dengan 13 orang
(untuk penurunan ketajaman penglihatan bilateral), yaitu 29 orang.
Jenis prevalensi yang ditentukan pada penelitian ini adalah prevalensi
sesaat. Prevalensi sesaat dapat ditentukan dengan menghitung jumlah semua
kasus yang dicatat dibagi dengan jumlah penduduk pada saat tertentu (Budiarto,
5.2 Pembahasan
5.2.1 Status Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan merupakan kemampuan sistem penglihatan untuk
membedakan berbagai bentuk (Anderson, 2007). Penglihatan yang optimal
hanya dapat dicapai bila terdapat suatu jalur saraf visual yang utuh, stuktur mata
yang sehat serta kemampuan fokus mata yang tepat (Riordan-Eva, 2007). Status
ketajaman penglihatan mata seseorang dapat ditentukan dengan menggunakan
Snellen Chart (Ilyas, 2009).
Pada penelitian yang telah dilakukan, didapat bahwa dari 73 subjek yang
diukur ketajaman penglihatannya menggunakan Snellen Chart, terdapat 60,3%
subjek dengan ketajaman penglihatan normal dan 39,7% subjek dengan
penurunan ketajaman penglihatan, baik unilateral maupun bilateral. Kriteria yang
digunakan dalam menentukan apakah seseorang mengalami penurunan ketajaman
penglihatan yaitu apabila nilai visus dari hasil pengukuran menggunakan Snellen
Chart memiliki nilai <0.8 (Gianini, 2004). Angka ini cukup tinggi jika
dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Gianini, et al. Pada
penelitian tersebut, prevalensi penurunan ketajaman penglihatan yang didapatkan
adalah senilai 13,1% dibandingkan dengan prevalensi penurunan ketajaman
penglihatan pada penelitian ini yang senilai 39,7%. Hasil penelitian lain yang
dapat digunakan sebagai pembanding adalah terdapatnya data dari studi
interasional yang menunjukkan bahwa sekitar 25% anak-anak usia sekolah
memiliki suatu bentuk defisiensi penglihatan (Pettiss, 1993 dalam Gianini, 2004).
Angka prevalensi yang tinggi ini dapat menunjukkan bahwa perhatian yang
diberikan masyarakat pada status ketajaman penglihatan anak-anak masih tidak
cukup. Kemungkinan lain yang dapat mengakibatkan tingginya angka prevalensi
ini adalah kurangnya inisiatif seorang anak untuk mengeluhkan masalah
defisiensi penglihatan yang dimilikinya kepada keluarga maupun guru mereka
(Gianini, 2004).
Dengan adanya faktor tersebut, perhatian masyarakat perlu lebih
ditingkatkan agar kejadian penurunan ketajaman penglihatan dapat dideteksi
menimbulkan tingginya angka prevalensi yaitu kurang sempurnanya proses
pengambilan data seperti yang telah direncanakan peneliti. Pada saat proses
pengambilan data berlangsung, ada beberapa hal yang tidak memenuhi syarat
pengukuran visus yakni penerangan yang adekuat akibat keterbatasan sarana.
5.2.2 Karakteristik Subjek Dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan Dari hasil penelitian, diamati bahwa jumlah subjek dengan ketajaman
penglihatan yang normal cenderung meningkat sesuai dengan usia. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Leat, et al. didapati bahwa semakin bertambahnya
usia anak dapat dikaitkan dengan semakin baiknya kualitas sistem visual anak
tersebut (nilai visus yang semakin mendekati 1).
Subjek penelitian yang memiliki penurunan ketajaman penglihatan tetapi
tidak memakai alat bantu penglihatan adalah sebesar 79,3%. Kurangnya
perhatian masyarakat (pihak sekolah maupun keluarga) pada ketajaman
penglihatan dapat menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka ini.
Penggunaan alat bantu penglihatan secara dini untuk memperbaiki ketajaman
penglihatan seseorang dapat membantu mengurangi prevalensi kejadian
penurunan ketajaman penglihatan. Selain itu, penggunaan alat bantu penglihatan
juga dapat dikaitkan dengan prestasi seorang anak karena perbaikan ketajaman
penglihatan dapat memberikan efek positif terhadap proses pembelajaran dan
interaksi sosial. Hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan alamiah dari
intelegensi maupun kemampuan akademis, profesi dan sosial (Gianini, 2004).
Pada siswa-siswi yang telah memakai kacamata, didapati adanya 1,4%
siswa-siswi dengan ketajaman penglihatan normal, 4,1% dengan penurunan
ketajaman penglihatan unilateral, dan 4,1% dengan penurunan ketajaman
penglihatan bilateral. Dari data ini, dapat ditemukan bahwa bahkan pada subjek
penelitian yang telah menggunakan alat bantu penglihatan sekalipun, masih
terdapat penurunan ketajaman penglihatan. Hal ini dapat diakibatkan kurangnya
kontrol yang rutin untuk memperbaiki nilai koreksi yang diperlukan.
Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
yang diperhatikan dalam penelitian ini adalah ada tidaknya riwayat penggunaan
alat bantu penglihatan oleh keluarga inti subjek penelitian. Kelainan refraksi,
yang menjadi salah satu indikasi penggunaan alat bantu penglihatan, merupakan
be