• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Jual Beli Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Jual Beli Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI

BUMI BAKAU DENGAN DAEWOO

LOGISTIC INDONESIA

SKRIPSI

OLEH :

ARTIKA SEPTY TOBING

05020048

HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI BAKAU

DENGAN DAEWOO LOGISTIC INDONESIA

Oleh :

Artika Septy Tobing

050200048

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

NIP. 131 764 556

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Husni, SH, M.Hum Ramli Siregar, SH, M.Hum

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis Ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia

dan Berkat yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

tepat pada waktunya.

Dalam proses penyelesaiannya, skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak yang telah berperan dalam penulisan skripsi ini. Skripsi

tentang “PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT.SARI BUMI BAKAU DENGAN

DAEWOO LOGISTIC INDONESIA” ini disusun dan diajukan untuk memenuhi

tugas dan syarat mencapai gelar Sarjana Hukum.

Dalam menyelesaikan skripsi ini tak jarang penulis menjumpai kendala dan

hambatan baik dalam pengumpulan data maupun dalam pengolahan

data-datanya. Tetapi dengan seizin Tuhan dan dengan dorongan dan bantuan dari berbagai

pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis mengucapakan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua

orang tua penulis, P.L. Tobing, SH dan R. Simangunsong yang tercinta, atas segala

Kasih sayang, doa, penghiburan, dukungan dan semangat yang telah papa dan mama

berikan yang jadi sumber kekuatan bagi penulis selama ini. Tak terbalaskan setiap

curahan kasih sayang, doa-doa, dan dorongan yang telah mama dan papa berikan

selama ini. Just want you know that I LOVE YOU.

Dalam kesempatan ini, adalah merupakan kewajiban yang membanggakan

bagi penulis untuk menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan.

3. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.

4. Bapak Ramli Siregar, SH, M.hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

(4)

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.hum selaku dosen wali penulis yang selalu

membimbing penulis.

6. Adik-adikku, Dedek, Ingrid, dan Rico juga sepupuku iin, Cristine dan jonathan

yang tercinta atas perhatian, dukungan dan hiburan yang telah kalian berikan.

Disaat jenuh mengahadapi semua ini kalian selalu ada. Membantu membuat

tertawa dengan semua candaan, mendorong agar tetap maju, mendoakan. Terima

kasih banyak yah..

7. Sepupuku, Margaret tercinta yang telah setia menemani dan membantuku dalam

menyelesaikan skripsi ini.

8. Opungku tersayang, Tulang Baik, Tulang Mopo, Tulang Olan, Tulang Jos, Tulang

Ganda, Tante Evi, Tante Dona, Bou Ulam dan Bang Ulam,terima kasih atas setiap

nasehatnya, doa, dorongan dan semangat yang telah kalian berikan selama ini.

9. Kamu yang ku namakan ‘Jelek’ yang selalu rajin bertanya dan mengingatkan

untuk menyelesaikan skripsiku. Terima kasih banyak ya.. Terima kasih juga buat

doa-doanya, dorongan dan semangat yang telah diberikan selama ini. Want you

know, that ‘Aishitemasu’ hun..

10.Sahabat- sahabatku terkasih Sera, Debhora, Putri dan Sarah. My best friend ever.

Walaupun jarak memisahkan, kita jarang ketemu tapi doa dan dukungan kalian

buatku sangat nyata bisa kurasakan dan begitu besar. Hopefully it will never end

always be forever and ever. Thank’s girl’s…

11.Teman-teman seperjuanganku di fakultas hukum USU, Yuni, Dina, Eva, Grace,

Roma, Ine, dan Wulan. Terima kasih karena telah bersama kita melewati

hari-hari dengan canda, tawa, suka dan duka. Perjuangan di Fakultas Hukum akan

hampa tanpa ada kalian. Selamat berjuang diluar kampus. Wish you all the best,

guys.!

12.Kak Yus dan bang Panda yang telah banyak membantu penulis.

13.Keluarga besarku yang tak tersebutkan satu persatu. Terima kasih banyak telah

(5)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini bukanlah sesuatu yang dapat

dibanggakan sebagai sebuah tulisan yang sempurna dikarenakan waktu yang

singkat dan kesibukan-kesibukan penulis lainnya. Akan tetapi penulis berharap

bahwa kelak skripsi ini dapat memberi sumbangan Ilmu Pengetahuan yang

bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Medan, Juni 2009

(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN ... 12

A. Pengertian Perjanjian ... 12

B. Syarat sahnya Perjanjian ... 17

C. Azas-azas perjanjian ... 24

D. Jenis-jenis Perjanjian ... 28

E. Hapusnya Suatu Perjanjian ... 35

BAB III TENTANG JUAL BELI PADA UMUMNYA ... 44

A. Pengertian Jual Beli ... 44

B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli ... 46

C. Kewajiban Penjual Dan Pembeli ... 49

D. Ketentuan Khusus Mengenai Jual Beli ... 58

(7)

BAB IV PELAKSANAAN KERJASAMA JUAL BELI ... 67

A. Bentuk dan Isi Perjanjian Kerjasama antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia ... 67

B. Tugas, kewajiban dan Tanggung jawab Perjanjian Pembiayaan antara PT. Sari bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia ... 71

C. Cara Penyelesaian Sengketa antara PT. Sari bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia ... 74

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

Lampiran I : Surat Perjanjian Kerjasama Operasi Antara PT. Sari Bumi

Bakau Dengan PT. Daewoo Logistics Indonsia

Lampiran II : Memorandum of Undderstanding Antara Pemerintah

Kabupaten Tapanuli Utara Dengan PT. Sari Bumi Bakau

Lampiran III : Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) Antara Pemerintah

(8)

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI BAKAU DENGAN

DAEWOO LOGISTIC INDONESIA

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Persetujuan timbal balik yang saling menguntungkan menindaklanjuti MoU (Memorandum of Understanding) oleh PT. Sari Bumi Bakau dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dituangkan dalam perjanjian Kerja sama Jual-beli antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia dan untuk Tanggung Jawab pihak Daewoo Logistic Indonesia Dalam Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau dan Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dengan Direktur Utama PT. Sari Bumi Bakau dengan Nomor : 029/SSB/MoU/IX/2007, maka dibentuk kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua, pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterahkan masyarakat demi kepentingan bersama. Pasal 3 Perjanjian Kerjasama Operasional maka pihak kedua mempunyai tanggung jawab untuk Membayar harga jual atas komoditi jagung yang dibeli dari Pihak Pertama sesuai dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua. Perjanjian Kerjasama (KSO) pasal 5 antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia apabila terjadi perbedaan pendapat maka diselesaikan oleh para pihak melalui musyawarah mufakat. Apabila terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, maka para pihak sepakat untuk memilih domisili hukum sependapat untuk menyelesaikannya melalui badan peradilan umum dengan memilih domisili hukum yang tetap di Paniteraan Pengadilan Negeri Tarutung.

(9)

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI BAKAU DENGAN

DAEWOO LOGISTIC INDONESIA

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Persetujuan timbal balik yang saling menguntungkan menindaklanjuti MoU (Memorandum of Understanding) oleh PT. Sari Bumi Bakau dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dituangkan dalam perjanjian Kerja sama Jual-beli antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia dan untuk Tanggung Jawab pihak Daewoo Logistic Indonesia Dalam Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau dan Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dengan Direktur Utama PT. Sari Bumi Bakau dengan Nomor : 029/SSB/MoU/IX/2007, maka dibentuk kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua, pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterahkan masyarakat demi kepentingan bersama. Pasal 3 Perjanjian Kerjasama Operasional maka pihak kedua mempunyai tanggung jawab untuk Membayar harga jual atas komoditi jagung yang dibeli dari Pihak Pertama sesuai dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua. Perjanjian Kerjasama (KSO) pasal 5 antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia apabila terjadi perbedaan pendapat maka diselesaikan oleh para pihak melalui musyawarah mufakat. Apabila terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, maka para pihak sepakat untuk memilih domisili hukum sependapat untuk menyelesaikannya melalui badan peradilan umum dengan memilih domisili hukum yang tetap di Paniteraan Pengadilan Negeri Tarutung.

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi dunia jelas dapat dibaca dari maraknya transaksi bisnis

yang mewarnainya. Pertumbuhan ini menimbulkan banyak variasi bisnis yang

menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu

mekanisme penyesuaiannya ditempuh dengan mengadakan kerjasama di antara para

pelaku bisnis, karena tidak semua jenis bisnis dikuasai. Terlaksananya kerjasama

tidak terlepas dari perjanjian atau yang lebih dikenal sebagai Perjanjian yang

mendasari kerjasama tersebut. Untuk itu sudah sepatutnya para pelaku bisnis

mengenal hal-hal dasar yang meliputi Perjanjian.1

Dalam Undang-undang pada pasal 1233 mengatakan, bahwa tiap-tiap

perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Mengenal Teori Perjanjian (sering disebut sebagai kontrak dalam pergaulan

bisnis sehari-hari) diliputi oleh berbagai istilah yang bagi banyak pihak dapat

menimbulkan kebingungan atau malah dianggap sama, padahal hakekatnya berbeda.

2

1

Perbedaan Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal

dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

tanggal 2 Desember 2008

2

(11)

Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari

perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari

pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai

suatu perbuatan hukum dengan mana,salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih.

Sekalipun dalam KUH Perdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara

tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUH Perdata ditegaskan bahwa perikatan selain

dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan

demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian

merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari pasal 1313 KUH Perdata

tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUH Perdata, maka terlihat

bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian

itu sendiri.

Pada hakikatnya perjanjian berisi kehendak para pihak yang mengikatkan diri

untuk melaksnakan sesuatu yang diperjanjikan. Dengan demikian sejak perjanjian

dibuat, para pihak mempunyai hak dan kewajiban.3

Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua

istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal

1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana

salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

3

(12)

Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau

memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut: "Suatu perikatan adalah suatu

perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang

satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban

untuk memenuhi tuntutan itu."

Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga

mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara

orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian

diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.4

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu

kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya

perjanjian tersebut, maka suatu parjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum

bagi para pihak yang membuatnya.

Sebagai ikatan hukum pengertian perjanjian atau agreement merupakan

pertemuan keinginan (kesepakatan yang dicapai) oleh para pihak yang memberikan

konsekuensi hukum yang mengikat kepada para pihak, untuk melaksanakan

poin-poin kesepakatan dan apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi, maka

pihak yang wanprestasi tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian kepada pihak

yang dirugikan sebagaimana disepakati dalam perjanjian.

5

4

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1983), Hal. 23

5

Suharnoko, Hukum Perjanjian,Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Hal. 1

(13)

Sedangkan kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat

dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan

untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk

menentukan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.6

Peraturan khusus tercantum didalam Bab kelima KUH Perdata mengatur

tentang jual beli. Jual beli adalah suatu persetujuan timbal balik sifatnya yang harus

Perjanjian/Verbintenis adalah hubungan hukum/rechsbetrekking yang oleh

hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu

perjanjian mengandung hubungan hukum antara perorangan/person adalah hal-hal

yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Perjanjian atau perikatan diatur

dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam perjanjian jual-beli tidak terlepas dari Unsur-unsur pokok

("essentialia") perjanjian jual-beli berupa barang dan harga. Sesuai dengan asas

"konsensualisme" yang menjiwai hukum perjanjian B.W., perjanjian jual-beli itu

sudah dilahirkan pada detik tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu

kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli

yang sah.

Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH

perdata yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak

seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun

barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar".

6

(14)

memenuhi ketentuan yang terdapat didalam pasal 1320 dibagian umum, meskipun

ketentuan khusus ada yang mengatur lembaga tersebut.

Persetujuan timbal balik yang saling menguntungkan menindaklanjuti MoU

(Memorandum of Understanding) oleh PT. Sari Bumi Bakau dengan Pemerintah

Kabupaten Tapanuli Utara dituangkan dalam perjanjian Kerja sama Jual-beli antara

PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Perjanjian Jual-beli antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic

Indonesia dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat wilayah kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera utara demi

kepentingan bersama.

Dari uraian tersebut di atas mendorong penulis untuk meneliti dan menulis

skripsi dengan judul “Perjanjian Jual Beli Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan

Daewoo Logistic Indonesia”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas maka

permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo

Logistic Indonesia ?

2. Bagaimanakah Tanggung Jawab pihak Daewoo Logistic Indonesia Dalam

Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau?

3. Bagaimanakah Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT. Sari Bumi Bakau

(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.

I. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan utama penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk Mengetahui Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi

Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia

2. Untuk Mengetahui Tanggung Jawab Pihak Daewoo Logistic

Indonesia dalam Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau

3. Untuk Mengetahui Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT.

Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia

II. Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang yang berkaitan dengan

permasalahan Perjanjian Kerjasama Jual Beli.

2. Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi

ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, bagi praktisi hukum, terutama untuk

warga negara ataupun Badan Hukum Indonesia maupun Pemerintah Negara

Asing, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai dasar hukum bagi

pemerintah, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang di peroleh selama

(16)

materi yaitu mengenai “PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI

BAKAU DENGAN DAEWOO LOGISTIC INDONESIA” .

Dalam proses pengajuan judul skripsi ini harus di daftarkan terlebih dahulu

kebagian hukum Perdata Dagang dan telah di periksa dan disahkan oleh Ketua

Departemen Hukum Keperdataan atas dasar pemeriksaan tersebut di yakini bahwa

judul yang di angkat termasuk pembahasan yang ada di dalamnya belum pernah ada

penulisan sebelumnya dan merupakan karangan ilmiah yang memang benar atau

dibuat tanpa menciplak dari skripsi lain, khususnya pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, sehingga dapat di pertanggung jawabkan keaslian penulisannya.

E. Tinjauan kepustakaan

Pengaturan tentang Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.

Pasal 1457 KUH Perdata menggariskan bahwa pihak-pihak yang membentuk

persetujuan jual beli masing-masing mengikatkan dirinya secara timbal-balik

(wederkerig). Penjual mengikatkan dirinya kepada pembeli untuk menyerahkan

obyek jual beli. Pembeli mengikatkan dirinya kepada penjual untuk membayar harga

obyek jual beli.

Asas konsensualisme yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. (kalau

dikehendaki : pasal 1320 KUH Perdata dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1 KUH

(17)

Kalau kita ambil perjanjian yang utama, yaitu jual-beli, maka konsensualisme itu

menonjol sekali dan perumusannya dalam pasal 1458 KUH Perdata. yang berbunyi:

"Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya

orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun

barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar".

F. Metode Penulisan.

Sudah merupakan ketentuan dalam hal ini penyusunan serta penulisan suatu

karangan ilmiah atau skripsi haruslah berdasarkan pada data yang di peroleh secara

objektif dan berarti pula harus di pertanggung jawabkan secara ilmiah.

Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode

penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.7 Penelitian

hukum dengan menggunakan pendekatan hukum normatif dimaksudkan untuk

mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari

bahan hukum primer, sekunder maupun tertier.8

Bahan primer yaitu peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya

dengan Perjanjian jual beli yang terdiri dari : a) peraturan dasar (UUD 1945) dan Tap

MPR RI dan b) peraturan perundang-undangan berupa undang-undang, peraturan

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 13 – 14.

8

Bahan Hukum Primer yakni : 1) norma-norma dasar Pancasila; 2) peraturan dasar : Batang Tubuh UUD 1945 atau TAP MPR; 3) peraturan perundang-undangan; 4) bahan hukum yang tidak dikodifikasi misalnya Hukum Adat; 5) yurispridensi; dan 6) traktat Bahan Hukum Sekunder yakni : 1) Rancangan Undang-Undang; 2) hasil karya ilmiah para sarjana dan 3) hasil-hasil penelitian. Sedang

(18)

pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah dan peraturan atau keputusan

menteri. Bahan hukum sekunder seperti Rancangan Undang-Undang, hasil penelitian

dan hasil karya para ahli hukum.

Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum tidak saja

yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun keputusan-keputusan

pengadilan, tetapi juga norma-norma yang hidup dalam masyarakat.

Pengumpulan data ini merupakan landasan utama dalam menyusun skripsi,

didasarkan atas sesuatu penelitian penulis menggunakan metode penelitian sebagai

berikut :

1) Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Dengan hal ini penulis membaca beberapa literatur berupa buku-buku ilmiah,

peraturan perundang-undangan dan dokumentasi lainnya seperti majalah,

koran serta sumber-sumber teoritis lainnya yang berhubungan dengan

Perjanjian jual beli.

2) Penelitian Lapangan (Field Research).

Dengan mengadakan wawancara pada pihak berwenang di PT. Sari Bumi

(19)

G. Sistematika Penulisan.

Dalam penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, sistematika penulisan

merupakan suatu bagian yang sangat penting, karena dengan adanya sistematika

penulisan ini maka pembahasannya akan dapat di arahkan untuk menjawab

masalah-masalah dan membuktikan kebenaran hipotesanya.

Kemudian agar memudahkan isi dari skripsi ini, maka sistematika penulis

disusun secara menyeluruh mengikat kerangka dasarnya yang di bagi dalam beberapa

bab serta sub bab secara berurutan, yang masing-masing bab itu akan menantang

pemecahan permasalahan dalam pembahasannya dan kita lihat sebagai berikut.

Pada Bab I sebagai pendahuluan, penulis menguraikan tentang hal-hal umum

dari sekripsi ini seperti uraian singkat garis besar permasalahan yang digunakan

sebagai dasar pemegang dalam penulisan skripsi ini.

Secara sistematis Bab I ini di bagi dalam beberapa sub bab, yaitu tentang :

A. Latar Belakang,

B. Perumusan masalah,

C. Tujuan dan manfaat penulisan,

D. Keaslian penulisan,

E. Tinjauan kepustakaan,

F. Sistematika penulisan,

Pada Bab II penulis membahas tentang pengertian umum Hukum Perjanjian

yang dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. Pengertian Perjanjian

(20)

C. Asas-Asas Perjanjian,

D. Jenis-jenis Perjanjian

E. Hapusnya suatu Perjanjian

Pada Bab III penulis membahas tentang Jual Beli Pada Umumnya yang di

bagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. Pengertian Jual Beli,

B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli

C. Kewajiban Penjual Pembeli,

D. Ketentuan-ketentuan Khusus Mengenai Jual Beli,

E. Soal resiko Dalam Perjanjian Jual Beli,

Pada Bab IV penulis membahas tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama

yang di bagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. bentuk dan isi perjanjian kerjasama antara PT. Sari Bumi bakau dengan Daewoo

Logistic Indonesia

B. Syarat-syarat perjanjian pembiayaan antara PT. Sari Bumi bakau dengan Daewoo

Logistic Indonesia

C. Cara-cara penyelesian Sengketa antara PT. Sari Bakau Indonesia dengan Daewoo

Logistic Indonesia

Dan terakhir Bab V, pada bab ini penulis membicarakan tentang kesimpulan

dan saran, dimana kesimpulan tersebut menggambarkan secara singkat isi pokok dari

skripsi ini, kemudian saran juga merupakan bagian akhir dari pembahasan skripsi ini

(21)

BAB II

PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan

overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan

juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut

sama artinya dengan perjanjian.

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.9

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya

sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan

yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut

hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan

sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut

(communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian

merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).

9

(22)

sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan

Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".10

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana

seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.11 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu

perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.12 Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana

seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.13

kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai

keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain

pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata

tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses

interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak

yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan

untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH

Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung

10

Ibid., hal. 97-98

11

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36

12

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49

13

(23)

ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan

pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian

perjanjian ini mengandung unsur :

a. Perbuatan

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih

tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena

perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang

memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling

berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu

sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu

kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat

hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak,

penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis

yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.14

14

Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta:

(24)

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai

kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai

materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam

perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau

ketentuan yang disepakati.15

Masing-masing pihak yang dimaksud adalah pihak-pihak yang langsung terlibat dalam perjanjian tersebut biasanya terbagi atas perorangan dan badan usaha. Badan usaha sendiri juga dibagi yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perorangan adalah setiap orang yang dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang bertindak baik untuk dan atas namanya sendiri juga untuk dan atas nama usahanya. Pada dasarnya antara perorangan dengan usaha perorangan tidak terdapat perbedaan, karena keduanya tidak ada pemisahan harta kekayaan artinya harta kekayaan pribadi juga merupakan harta kekayaan perusahaannya. Badan usaha adalah suatu badan yang menjalankan usaha/ kegiatan perusahaan, sedangkan perusahaan pengertiannya lebih condong kepada jenis usaha/ kegiatan dan suatu badan usaha. Suatu Badan usaha dianggap sebagai suatu badan hukum diatur sesuai ketentuan Undang-undang.

Bandingkan: Hasanuddin Rahman, Legal Drafting (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 59

15

Ibid, hal. 120, Hakekat dan suatu Perjanjian pada saat perancangan suatu perjanjian

adalah Perumusan tentang adanya kesepakatan atau kesesuaian kehendak (consensus ad idern);

rumusan tentang adanya janji yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai imbalan atas janji-janji atau untuk kepentingan pihak yang lain, walaupun selalu ada kemungkinan dibuatnya kontrak yang berisi perjanjian sepihak. namun dianjurkan untuk selalu memahami perjanjian yang mhal balik sehingga prestasi harus dilakukan oleh salah satu pihak selalu dipahami sebagai imbalan atas prestasi yang akan dilakukan oleh pihak lain; Perumusan tentang pihak-pihak pembuat perjanjian dan informasi tentang kemampuan hukum dan para pihak untuk melakukan tindakan hukum dan mengikatkan di dalam kontrak dan Perumusan tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi causa dan transaksi diantara para pihak; Penggunaan bentuk, wujud dan format tertentu (sesuai keinginan para pihak).

(25)

Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian

Internasional. Saat ini pada masyarakat Internasional, Perjanjian Internasional

memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan

antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum

Internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum

Internasional lainnya.

Sampai tahun 1969, pembuatan Perjanjian-perjanjian Internasional hanya

diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh

Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di

Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April

sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut.

Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on The Law of Treaties yang

ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27

Januari 1980 dan merupakan Hukum Internasional Positif.

Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan Perjanjian Internasional (treaty)

adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur

oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih

instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. Pengertian

diatas mengandung unsur :

carapembayaran; biaya yang haru dibayar masing-masing pihak; kewajiban menutup asuransi jika diperlukan.

(26)

a. Adanya subjek Hukum Internasional, yaitu Negara, Organisasi Internasional

dan gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan Negara sebagai sebagai subjek

Hukum Internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat

Perjanjian-perjanjian Internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina.

Organisasi Internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat perjanjian

dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari Negara-negara

anggota dan Perjanjian Internasional yang dibuat merupakan bidang

kewenangan Organisasi Internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat

pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui

namun bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut

harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada.

Terbatas artinya keikutsertaan SieInfokum-Ditama Binbangkum 4 gerakan

dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan

negaranya yang merdeka.

b. Rezim Hukum Internasional.

Perjanjian internasional harus tunduk pada Hukum Internasional dan tidak

boleh tunduk pada suatu Hukum Nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu

dibuat oleh Negara atau Organisasi Internasional namun apabila telah tunduk

pada suatu Hukum Nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut

bukanlah Perjanjian Internasional.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4

(27)

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang hams dipenuhi oleh subyek suat

perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat

adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut

syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Kata sepakat

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan

persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak

dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak

lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian

kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga

dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang

sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya

disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun

sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat

(28)

perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai

Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.16

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua

orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan.

Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya

hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu

perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan

harus dimengerti oleh pihak lain.17

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di

dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat

itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau

penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara

masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan,

kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti,18

16

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4.

17

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung,

1993, hal. 129

18

Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24.

yang dimaksud paksaan adalah

paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik).

Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang

pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang

yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga

seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan

(29)

memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu

muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan

demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan,

penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh

salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap

untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak

ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian.

Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap

membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata,

dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap

21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu

(30)

tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.19

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap

anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang Namun dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk

penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal

ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga

apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan

konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk

bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang

tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah

mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345,

bunyinya sebagai berikut:

Pasal 433:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata

gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap

menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan

karena keborosannya.

Pasal 345:

19

(31)

hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang

tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah

ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108

KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk

mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari

suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan

kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang

membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai

cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang

dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena

seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya,

maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat

dengan harta kekayaannya.

c. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek

perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang

bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu,

(32)

Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu

perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang

yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah

asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang

mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian

adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,20

20

Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum JAminan dan

Jaminan Perorangan, Liberty, (Yogyakarta, 1980), hal. 319

sedangkan

sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud

tiada lain daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa

yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan

dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab

yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya

berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak

terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan

perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah

pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya

(33)

yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia

sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut

hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu

atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal

demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak

pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut

untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling

menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan

tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.

C. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan

latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan

hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang

umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum

dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan

atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit

tersebut.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang

(34)

Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas

kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di

samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum

biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata

yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:21

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan

orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH

21

(35)

Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat

menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang

sifatnya memaksa.22

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam

Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH

Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa

setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang

dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. b. Asas konsensualisme

23

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau

dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang

menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena

adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang

dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus)

di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga

dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini

dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja

dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan

perjanjian konsensuil.

22

Ibid., hal. 4

23

(36)

notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan

dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian fonnil.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat

"berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak

mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul

larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi

perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas

ini disebut juga asas kepastian hukum.

Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;

2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan

bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini

berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi

kreditur.

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda

(pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam

Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).24

24

(37)

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang

pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang

adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat

mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan

pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai

pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat

pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat

mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada

untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya

berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa

rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.

Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak

dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

D. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata,

peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan

(38)

mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang

ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan

perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian-perjanjian itu:

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam

KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli,

tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.

2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal

ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang

bagi masing-masing pihak.25

3. Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

h. Perikatan untuk berbuat sesuatu

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut:

a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal

1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar,

penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu

25

(39)

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap

perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si

berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam

kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh

perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini

adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk

tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau

diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,26

1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu

kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan

lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang

demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang

menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu

contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus

dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau

saya lulus dari ujian.

membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:

2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling),

26

(40)

perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang

pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak

akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan

datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya,

misalnya meninggalnya seseorang.

3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan,

dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si

berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih

apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.

4) Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu

perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang

berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.

Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang.

Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam

praktek.

5) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu

perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya

membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau

maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang

dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika

salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.

Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang

(41)

warisnya.

6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah

jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya,

dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.

Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang

sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah

ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim

mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah

sebahagian dipenuhi.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut

berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:27

1. Perjanjian timbal balik.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.28

27

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III,Op. cit, hal. 90-93.

28

(42)

Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari

pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan

antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan

diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang

paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam

Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh

perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam

KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian

ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah

berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij

otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh

dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan

perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain

(perjanjian yang menimbulkan perikatan)

(43)

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah

pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan

perikatan-perikatan.

6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak

membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya

pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH

Perdata;

b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian

dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang

berlaku di antara mereka.

c. perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi,

pasal 1774 KUH Perdata.

d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau

seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu

pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya

perjanjian ikatan dinas.

Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan

perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus

Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah

perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang

(44)

juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham,

yaitu:29

• Faham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai

perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari

perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic).

• Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah

ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori

absorbsi).

• Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang

yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan

undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).

E. Hapusnya suatu perjanjian

Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan

dapat hapus dengan pembayaran,tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya

mungkin belum hapus. Bila x dan y mengadakan jual beli perikatan dapat hapus

dengan dibayarnya harga oleh y selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya (yaitu

memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi jika perikatan-perikatan yang terdapat.

Bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir.

Ada beberapa cara hapusnya perjanjian :

a.Ditentukan dalam perjanjian oelh kedua belah pihak.

29

(45)

Misalnya : penyewa dan yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan

perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun.

b.Ditentukan oleh Undang-Undang.

Misalnya : perjanian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentunkan

paling lama 5 tahun.

c.Ditentukan oleh para pihak dan Undang-undang.

Misalnya : dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa jika buruh meninggal dunia

perjanjian menjadi hapus.

d.Pernyataan menghentikan perjanjian.

Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belh pihak. Misalnya : baik

penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan

untuk mengakhiri perjanjian sewanya.

e.Ditentukan oleh Putusan Hakim.

Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak.

f.Tujuan Perjanjian telah tercapai.

Misalnya : dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan

pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir.

g.Dengan Persetujuan Para Pihak.

Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling menhentikan

perjanjiannya. Misalnya : perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang

meminjam telah mengembalikan barangnya.

(46)

Tentang hapusnya perikatan yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian diatur dalam

Buku III KUH Perdata. Hapusnya persetujuan berarti menghapuskan semua

pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan dengan sendirinya

menghapus seluruh perikatan, tetapi belum tentu dengan hapusnya perjanjian akan

menghapus persetujuan hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan

pelaksanaan, sebab ini berarti bahwa pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur.

Adapun cara-cara penghapusan perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH

Perdata, yaitu:

a. Pembayaran

Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja pembayaran

berupa uang, juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Pembayaran itu sah

apabila pemilik berkuasa memindahkannya. Pembayaran harus dilakukan kepada si

berpiutang atau kepada seseorang yang dikuasakan untuk menerima.

Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan seperti

seorang yang turut berutang atau seorang penanggung hutang. Suatu perikatan bahkan

dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan,

asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si

berhutang atau bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si

berpiutang.

Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan:

Yang dimaksud dengan "pembayaran" oleh Hukum Perikatan bukanlah sebagaimana

ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang,

(47)

itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

adalah merupakan pemenuhan prestasi atau tegasnya adalah “pembayaran”.30

30

Ibid., hal. 157.

Pembayaran kepada orang yang tidak berkuasa menerima adalah sah apabila

kreditur telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah memperoleh manfaat karenanya

(Pasal 1384, Pasal 1385, Pasal 1386 KUH Perdata).

Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam

perjanjian, dan jika tidak ditetapkan dalam perjanjian maka pembayaran dilakukan di

tempat barang itu berada atau di tempat tinggal kreditur atau juga di tempat tinggal

debitur. Jika objek perjanjian adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan

pembayaran uang jika objeknya benda maka perikatan berakhir setelah adanya

penyerahan benda.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Dalam pembayaran dapat terjadi konsiyasi apabila debitur telah melakukan

penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita, kemudian kreditur

menolak penawaran tersebut. Atas penolakan kreditur kemudian debitur menitipkan

pembayaran kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan. Dengan adanya

tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan, debitur telah

bebas dari pembayaran yang berakibat hukum hapusnya perikatan. Prosedur

(48)

Pasal 1004 KUH Perdata menegaskan adanya penitipan untuk membantu

pihak-pihak yang berhutang, apabila si berpiutang menolak menerima pembayaran

dengan melakukan penitipan uang atau barang si Panitera Pengadilan.

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyatakan bahwa salah suatu cara

menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang

diikuti dengan konsiyasi. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan

hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk:

a. Pembayaran sejumlah uang

b. Penyerahan sesuatu benda bergerak.

Marhainis Abdulhay, mengatakan:

Dengan dilakukannya penitipan di Panitera Pengadilan itu maka akan

membebaskan siberutang dari perikatan dan berlakulah baginya sebagai

pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut UU dan

uang atau barang yang dititipkan di Panitera Pengadilan tetap akan menjadi

tanggungan si berpiutang.31

31

Marhainis Abdulhay, Hulaim Perdata Material, Jilid II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984,

Akibat hukum konsiyasi ialah debitur sudah dianggap melakukan

kewajibannya untuk berprestasi. Sesudah tanggal itu ia bebas dan pembayaran bunga.

c. Pembaharuan hutang atau novasi

Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model Circuit Learning yang dilaksanakan sesuai langkah yang tepat dapat meningkatkan karakter dan hasil belajar PKn

[r]

Hal ini terlihat dari jawaban masyarakat bahwa 80% masyarakat sekitar Kali Garang sangat mengetahui peralatan tersebut dan 15% mengetahui serta 5% tidak mengetahui peralatan

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan bahwa rumah sakit melakukan beberapa Kesalahan atas penerapan pemungutan yaitu objek PPh pasal 22, non objek PPh pasal

Pada penelitian ini didapatkan nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IL-8 serum adalah r = 0,327 ; p < 0,011 yang berarti terdapat korelasi yang

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

Kemampuan Kognitif dan Aktivitas Siswa Dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based-Instruction) Pada Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linier Dua

Predictors: (Constant), KomPro, KomKa, Inden, Kompt a.. Error