• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Hukum Atas Levering Dari Objek Hak yang Dibuat Dalam Akta Jual Beli Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Problematika Hukum Atas Levering Dari Objek Hak yang Dibuat Dalam Akta Jual Beli Tanah"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYERAHAN (LEVERING) BERDASAR ALAS HAK (TITEL) PERJANJIAN JUAL BELI

A. Penyerahan (levering) Sebagai Perbuatan Pengalihan Objek Hak 1. Pengertian Penyerahan (Levering)

Penyerahan yang juga diistilahkan “levering”, “overdracht”, “opdracht” adalah merupakan tindakan atau perbuatan pemindahan hak kepemilikan atas sesuatu barang atau benda dari seseorang kepada orang lain. Namum perlu dipahami bahwa peralihan atau berpindahnya hak atas kekayaan dari seseorang kepada orang lain dapat terjadi dengantitelumum dantitelkhusus.

Mr.N.E.Algra & Mr.K.Van Duyvendijk mengemukakan, kekayaan itu mencakup segala hak dan utang. Peralihan suatu kekayaan, keseluruhan “laba dan beban”, disebutkan peralihan di bawah perbuatan perdata (titel) umum. Apabila hanya sebagian tertentu dari objek kekayaan itu yang pindah, maka hal itu disebut peralihan dibawah titel khusus.36

Penyerahan adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan; “Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. Dari

(2)

ketentuan tersebut di atas jelas disebutkan bahwa penyerahan itu merupakan salah satu cara memperoleh hak milik. Bahkan dari berbagai cara memperoleh hak milik yang disebut dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas, maka sesungguhnya cara penyerahan ini merupakan cara yang paling sering terjadi dalam lalu-lintas hukum di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penyerahan di dalam KUHPerdata sering dipakai istilah-istilah lain, tetapi mempunyai pengertian yang sama dengan penyerahan, yaitu Opdracht, Overdracht, Transport (penyerahan atas benda tak bergerak),Cessie(penyerahaan untuk piutang atas nama) dan Inbreng (penyerahan dalam hal warisan).

R. Subekti mengemukakan, perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (“juridische levering”).37 Perbedaan antara kedua jenis penyerahan tersebut tampak dengan nyata pada benda-benda tidak bergerak, dimana hak milik atas benda tidak bergerak diserahkan atau berpindah dengan dilakukannya pencatatan (overschrijving) akta dalam register umum dengan apa yang disebut akta transport (acte van transport), tetapi terlepas daripada itu terdapat juga penyerahan nyata. Sebaliknya pada benda-benda bergerak penyerahan nyata dan penyerahan yurudis pada umumnya berpadu berupa penyerahan nyata.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan, menurut hukum Perdata yang dimaksud dengan penyerahan itu adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau

(3)

atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu38. Penyerahan (levering) sebagai suatu perbuatan hukum untuk mengalihkan atau memindahkan hak milik oleh seseorang kepada orang lain bukanlah merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri melainkan perbuatan hukum penyerahan (levering) merupakan tindak lanjut dari suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar atau yang disebut sebagai alas hak (titel) dari penyerahan itu. Dalam hal ini perbuatan hukum yang menjadi dasar atau alas hak (titel) dari penyerahan adalah didasarkan atas persesuaian kehendak yang bermaksud mengalihkan hak milik atas kebendaan itu (obligatoir overeenkomst). Adapun perjanjian-perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst) yang bertujuan memindahkan hak milik yang diatur dalam KUHPerdata adalah berupa perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar dan perjanjian hibah.

Dalam Code civil Perancis, kata penyerahan dikenal dengan nama “Delivrance”, penyerahan yang dilakukan pada perjanjian jual beli, dianggap merupakan penyerahan kekuasaan belaka saja atas sesuatu benda yang dijualnya, karena hak milik atas barang yang dijual menurutCode CivilPerancis telah berpindah kepada pembeli pada saat terjadinya perjanjian jual beli. Berbeda halnya menurut sistim yang dianut oleh KUHPerdata (BW) justru sebaliknya dimana dengan perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan berpindahnya hak milik dan untuk itu masih diperlukan perbuatan hukum berupa penyerahan (levering). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan, Hak milik atas barang yang dijual

(4)

tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616.

2. Feitelijke LeveringdanJuridische Levering

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam sistim KUHPerdata, beralihnya hak milik dari seorang kepada orang lain adalah pada saat dilakukannya penyerahan (levering) atas benda tersebut, bukan pada saat dibuatnya perjanjian yang menjadi alas hak (titel) dari peralihan hak milik tersebut. Dengan kata lain hak milik atas suatu benda belum berpindah saat perjanjian jual-beli atau tukar-menukar ataupun hibah dibuat, melainkan hak milik atas benda tersebut baru berpindah setelah dilakukan penyerahan ( levering). Oleh karenanya penyerahan (levering) adalah seolah-olah para pihak berjanji lagi untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda.

Dalam Hukum Perdata (BW), dikenal dua jenis penyerahan yaitu; 1. Penyerahan secara nyata (feitelijke levering)

2. Penyerahan secara hukum (yuridische levering).

(5)

atau akta penyerahan yang disebut “akta van transport” dan diikuti pendaftaran di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu. H.F.A.Vollmar39mengemukakan bahwa penyerahan yuridis adalah perbuatan hukum pada mana dan karena mana hak eigendom (atau salah satu hak harta kekayaan lain) diperalihkan. Dari kedua istilah penyerahan ini, yaitu penyerahan secara hukum (yuridische levering) dan penyerahan secara nyata (feitelijke levering), tentunya mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya, perbedaan ini akan tampak jelas dalam penyerahan terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Terhadap penyerahan benda bergerak, penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (yuridiche levering) jatuh pada saat bersamaan, dalam arti dengan dilakukannya penyerahan secara phisik atas benda itu, maka ketika itu telah berpindah hak milik atas benda itu dalam arti telah terjadi penyerahan yuridis (yuridiche levering) dan tidak diperlukan adanya akta van transport atau akta penyerahan, jadi cukup dilakukan secara dari tangan ke tangan. Untuk penyerahan atas benda bergerak dapat dilihat dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan ; “Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya”.

(6)

Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (yuridische levering) nampak dalam penyerahan benda tidak bergerak, dimana pemindahan/pengalihan hak milik atas benda tidak bergerak ini tidak cukup dilakukan hanya penyerahan secara nyata kekuasaan atau phisik atas benda tersebut tetapi justru yang menentukan perpindahan hak milik atas benda itu adalah pada penyerahan secara yuridis (yuridische levering) yang dilakukan yaitu dengan cara membuat akta penyerahan yang disebut akta van transport dan didaftar di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu, misalnya untuk tanah dilakukan balik nama pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional.

Untuk penyerahan atas benda-benda yang tidak bergerak, misalnya tanah harus dilakukan dengan mendaftarkan akte jual belinya ke Kantor Kadaster (Kantor Balik Nama), hal ini dapat dilihat dari ketentuan bunyi Pasal 616 KUHPerdata: “Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akte yang bersangkutan dengan cara ditentukan seperti dalam Pasal 620”.

3. Sistem dan Sahnya Penyerahan (Levering).

(7)

berlakunya penyerahan itu terlepas dari pada apa yang menjadi dasar/ alas hak atau yang menjadititeldari penyerahan itu.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Abdul Kadir Muhammad mengemukakan ada dua pendapat atau teori40, yaitu :

1. Teori kausal. Menurut teori ini sah atau tidak pemindahan hak milik tergantung pada sah atau tidak alas hak (perjanjian obligator). Jika alas haknya sah, pemindahan hak milik sah. Teori ini diikuti dalam praktek. Tujuannya untuk melindungi pemilik yang berhak. Penganjur teori ini adalah Paul Scholten.

2. Teori abstrak.Menurut teori ini, sah atau tidak pemindahan hak milik tidak digantungkan pada sah atau tidak alas hak. Jadi pemindahan hak milik dan alas hak itu terpisah sama sekali. Pemindahan hak milik juga sah, walaupun alas haknya tidak sah atau tanpa alas hak. Tujuan teori ini untuk melindungi pihak ketiga yang jujur. Penganjurnya adalah Meyers.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan bahwa sistem hukum yang terbanyak diikuti ialah yang menganut sistemCode Civil, yaitu perpindahan hak atas barang itu terjadi pada saat penutupan perjanjian sedangkan penyerahan merupakan suatufeitelijke-daad saja41 yang artinya tindakan nyata pemindahan secara pisik atas penguasaan bendanya.

Pentingnya membicarakan kedua sistem penyerahan (levering) ini karena kedua sistem ini berkaitan dengan keabsahan perbuatan penyerahan (levering) tersebut dikaitkan dengan keabsahan dari perjanjianobligatoir(obligatoir overeenkomst) yang menjadi dasar dari penyerahan dimaksud. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penyerahan (levering) sebagai suatu perbuatan hukum mengalihkan/memindahkan hak milik bukanlah merupakan perbuatan hukum yang berdiri sendiri melainkan

(8)

penyerahan (levering) adalah merupakan perbuatan lanjutan dari suatu perbuatan hukum berupa persesuaian kehendak dari pihak-pihak yang saling mengikatkan diri yang bertujuan mengalihkan/memindahkan hak milik yang disebut sebagai perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst) yang merupakan alas hak atau titel seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar dan perjanjian hibah.

Dengan kata lain apabila perjanjian yang menjadi dasar dari suatu penyerahan (levering) tersebut, misalnya perjanjian jual belinya, atau perjanjian tukar menukarnya ataupun perjanjian hibahnya dikemudian hari dibatalkan karena sesuatu hal, apakah serta-merta berakibat batalnya perpindahan/peralihan hak milik yang telah dilakukan tersebut atau apakah sebaliknya walaupun perjanjian obligatoirnya yaitu perjanjian jual beli, tukar-menukar atau hibahnya dibatalkan tidak serta merta membawa akibat kepada pembatalan peralihan hak milik tersebut.

Berkaitan dengan sistem yang dianut KUHPerdata mengenai pemindahan atau pengalihan hak milik yang terdiri atas dua tahapan yaitu tahap obligatoire overeenkomst dan tahap zakelijke overeenkomst 42.Maka persoalan yang penting dalam hal ini adalah bagaimana keterkaitan antara kedua tahapan atau perbuatan hukum tersebut. Dengan kata lain berkaitan dengan hal tersebut timbul pertanyaan apakah sah pembalikan nama dalam jual beli atas benda tidak bergerak tersebut tergantung pada sah atau tidak sahnya perjanjian obligatoir? Ataukah harus dipandang terlepas dariobligatoir overeenkomst itu. Pertanyaan ini penting baik bagi pembeli yang telah menerima/memiliki benda tersebut terutama juga bagi pihak

(9)

ketiga yang telah memperolehnya kemudian dari pihak pembeli misalnya pembeli tersebut kemudian menjualnya lagi kepada orang lain (pihak ketiga), karena ada kemungkinan perjanjian jual beli yang pertama tadi dibatalkan atas gugatan orang lain dengan dasar misalnya bahwa penjual tidak berhak menjual benda tersebut. Contohnya; A menjual sebidang tanah kepada B yang telah diikuti dengan penyerahan bendanya dan telah dibalik-namakan atas nama B. Kemudian B menjual tanah tersebut kepada C. Atas gugatan X, pengadilan memutuskan membatalkan jual beli antara A dengan si B dengan alasan bahwa A tidak berhak menjual benda tersebut. Timbul pertanyaan apakah pembalikan nama yang telah dilakukan oleh B menjadi tidak sah dan bagaimana pula hak yang diperoleh oleh C dalam hal tersebut?43

Terhadap contoh tersebut di atas, maka menurut sistem causal (“causal stelsel”) dengan dibatalkannya perjanjian jual beli tersebut, maka secara otomatis batallah juga peralihan hak milik tersebut, sedangkan menurut sistemabstrak(abstact stelsel) peralihan hak milik tersebut tetap sah walaupun perjanjian jual belinya dibatalkan.

R.Subekti menyatakan bahwa menurut pendapat yang lazim dianut oleh para ahli hukum dan para hakim, dalam BW berlaku apa yang dinamakan “causal stelsel”, dimana memang sah atau tidaknya suatu pemindahan hak milik itu digantungkan pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir44, misalnya, perjanjian jual beli atau

(10)

perjanjian schengking dan sebagainya. Dalam sistem ini dititik beratkan pemberian perlindungan pada si pemilik, dengan mengorbankan kepentingan orang-orang pihak ketiga.

KUHPerdata menganut sistem causal (causal stelsel) yaitu suatu sistem yang menggantungkan sahnya penyerahan (levering) itu pada dua syarat ;

1. Sahnyatitel yang menjadi dasar dilakukannya penyerahan (levering);

2. Penyerahan dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas (beschikkingsbevoegd) terhadap barang yang diserahkan.

Adapun dasar hukum dianutnya sistem causal ini dalam KUHPerdata adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata, pada kalimat yang menyatakan; “karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu”. Ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut mensyaratkan bahwa yang memindahkan hak milik itu haruslah orang yang berwenang (pemilik) sebagaimana disimpulkan dari Pasal 584 KUHPerdata yang menentukan bahwa penyerahan itu haruslah dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu yang berarti haruslah sebagai pemilik, kecuali mengenai benda bergerak terdapat penyimpangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1977 KUHPerdata yang menentukan bahwa mengenai benda bergerak, bezitter dianggap sebagai pemilik dan karenanya berhak memindahkan hak milik secara sah.

(11)

berdiri sendiri. Dengan demikian maka kalau di Prancis obligatoir dan zakelijke overeenkomstdiperas menjadi satu, di negeri Belanda merupakan dua peristiwa yang interdependen, maka di Jerman Barat zakelijke overeenkomst itu dipandang sebagai dan dijadikan suatu perbuatan hukum (Rechtsgeschaft) tersendiri45.

Mengingat penyerahan (levering) adalah merupakan suatu perbuatan hukum yaitu perbuatan memindahkan atau mengalihkan kepemilikan atas sesuatu benda dari seseorang kepada orang lain, maka sangatlah penting untuk dipahami mengenai sahnya penyerahan (levering) dimaksud.

Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa menurut KUHPerdata untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat yaitu :

a. Berdasar atas suatu peristiwa perdata yang dalam hal ini disebut sebagai alas hak atautitel.

b. Dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas yang dalam hal ini yang berwenang untuk memindahkannya.

ad. a. Berdasar atas suatu peristiwa perdata dimaksudkan adalah bahwa penyerahan itu didasarkan atas suatu alas hak yang sah yaitu berupa perjanjian antara pihak-pihak berdasar atas persesuaian kehendak yang bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas barang tersebut, perjanjian mana disebut sebagai perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang baru pada tahap menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas benda yang bersangkutan, misalnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar dan perjanjian hibah. Agar tindakan pengalihan hak milik tersebut sah secara hukum maka

(12)

disyaratkan bahwa perjanjianobligatoiryang menjadi alas hak penyerahan itu haruslah dibuat secara sah pula. Hal ini berarti bahwa sahnya penyerahan digantungkan kepada sahnya perjanjian yang menjadi dasar dari penyerahan dimaksud yaitu perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar ataupun perjanjian hibah.

(13)

Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa dalam KUHPerdata dianut ajaran bahwa untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat yaitu :

a. Alas hak (rehtstitel)

b. Perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran) dan penerbitan sertifikat.

c. Wewenang menguasai (beschikkings bevoegheid)46

Adapun cara penyerahan (levering) adalah tergantung pada jenis benda yang akan diserahkan yaitu sebagai berikut :

1. Penyerahan Benda Bergerak.

Penyerahan benda bergerak diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata, yang berbunyi: “Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.” Dari ketentuan pasal tersebut di atas menyatakan bahwa cara pelaksanaan penyerahan atas benda bergerak dilakukan secara nyata (feitelijke) dari tangan ke tangan tanpa adanya suatu formalitas tertentu berupa akte penyerahan. Bahkan jika yang akan diserahkan tersebut berupa benda yang berada dalam suatu gudang, maka penyerahan benda tersebut cukup dengan penyerahan kunci gudang tersebut. Sekiranya benda yang akan diserahkan tersebut telah berada dalam penguasaan seseorang yang akan menerima

(14)

penyerahan benda tersebut sebagai houder misalnya penyewa, maka dalam hal demikian tidak perlu lagi dilakukan penyerahannya melainkan dengan terjadinya perjanjian yang menjadi dasar dari penyerahan tersebut, hak milik atas barang tersebut otomatis berpindah. Penyerahan yang demikian dinamakan “tradition brevi manu” atau “levering met de korte hand” atau yang disebut penyerahan secara tangan pendek.

Mr.N.E.Algra & K.Van Duyyendijk mengemukakan; sehubungan dengan pertanda luar, maka undang-undang bertitik tolak demikian nyata dari pasal ini, bahwa untuk penyerahan milik mengenai barang bergerak melalui pengadaan penguasaan, harus terjadi sesuatu yang dapat dilihat: memberikan barang itu, menyerahkan kunci47. Atas peraturan pokok ini undang-undang memberikan suatu pengecualian, yang memungkinkan pertukaran penguasaan yang tidak kelihatan. Pasal 612 ayat 2 KUHPerdata; “Penyerahan itu tidak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan dengan alasan hak lain misalnya alasan hak sewa, pinjam pakai” telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya. Dengan lain perkataan apabila seseorang kepada siapa milik barang itu harus diserahkan, telah menguasai barang itu (misalnya berdasarkan alasan hak hukum pinjam pakai atau sewa), maka penyerahan itu tidak perlu dilakukan. Dari apa yang dikemukakan oleh Mr.N.E.Algra tersebut di atas bahwa penyerahan akan kebendaan bergerak tersebut terjadi secara nyata, melalui pengadaan penguasaan yang dapat dilihat yaitu dengan memberikan barang itu atau menyerahkan kunci, kecuali jika barang yang akan

(15)

diserahkan itu sebelumnya telah berada dalam penguasaan oleh pihak yang akan memerimanya maka pengalihan hak itu tidak kelihatan.

(16)

berdasar pinjam pakai, maka si pembeli tetap sebagai pemilik baru atas barang itu. Oleh karenanya Pasal 1977 KUHPerdata tersebut memberi perlindungan hukum bagi pembeli, dan mengorbankan kepentingan pemilik yang sejati. Jika dikaji dari sisi keadilan dan kepastian hukum maka ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata tersebut sudah mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, namum penerapan Pasal 1977 KUHPerdata tersebut tidak berlaku bagi barang yang berasal dari hasil pencurian. Orang yang kecurian berhak meminta kembali barangnya dari tiap orang yang memegangnya.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman Pasal 1977 KUHPerdata dengan asas “Bezit geldt als volkomen titel” telah merubah peranan dari syarat-syarat penyerahan (levering) khususnya wewenang menguasai48. Pasal ini menghapuskan syarat wenang menguasai yang disebut dalam pasal 584 KUHPerdata. Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan, ada beberapa cara penyerahan benda bergerak/berwujud sebagai berikut :

a. Dengan penyerahan nyata (feitelijke levering) Pasal 612 KUHPerdata dengan perkataan lain dari tangan ke tangan.

b. Penyerahaan simbolis (tradition simbolica) Pasal 612 KUHPerdata misalnya dengan penyerahan kunci dari gudang.

c. Penyerahan dengan cara pendek (tradition brevi manu), Pasal 612 KUHPerdata terjadi dalam hal benda yang akan diserahkan dengan alas hak yang lain telah berada dalam penguasaan orang yang berhak menerimanya. d. Penyerahan dengan cara panjang (tradition longa manu), terjadi jika benda

yang akan diserahkan berada dalam penguasaan pihak ketiga.

e. Constitutum possessorium, terjadi jika benda yang akan diserahkan berada dalam tangan pemilik semula.49

(17)

2. Penyerahan untuk benda tidak bergerak (on roerende zaken).

Mengenai penyerahan (levering) benda tidak bergerak ini haruslah memperhatikan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960, dimana penyerahan atas tanah tidak berlaku lagi ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata melainkan yang mengaturnya adalah ketentutan Undang-Undang Pokok Agraria.

Dalam ketentuan KUHPerdata penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616. Yang menyatakan; “Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan cara pengumuman akta-akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata”. Sedangkan Pasal 620 KUHPerdata tersebut menyatakan: “Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan itu berada, dan dengan membukukannya dalam register”. R.Subekti mengemukakan; penyerahan-mengenai benda tidak bergerak- harus dilakukan dengan pembuatan suatu tulisan yang dinamakan “akte van transport” (surat penyerahan), yang dibuat secara resmi (authentiek), di depan notaris50. Akte tersebut berupa suatu keterangan timbal-balik yang ditandatangani bersama oleh si penjual dan si pembeli, yang secara pokok berisi disatu pihak penjual menyerahkan hak milik atau benda yang bersangkutan. Biasanya

(18)

si penjual itu bersama-sama menghadap pegawai pengurusan pembalikan nama (Overschrijvings ambtenaar, sekarang Pegawai Kadaster) untuk bersama-sama melaksanakan pembalikan nama. Tetapi menurut pendapat yang lazim dianut, sipembeli itu juga dapat menghadap sendirian saja, jika ia sudah memegangakte van transport, karena itu berarti ia telah mendapat kuasa dari si penjual untuk melaksanakan sendiri pembalikan nama itu.

3. Penyerahan benda tidak bertubuh (onlichamelijk zaak)

Untuk penyerahan benda tidak berwujud (bertubuh) diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata yang menyatakan: “Penyerahan akan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akte autentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endossemen”.

Dari ketentuan tersebut di atas maka yang disebut dengan benda yang tidak berwujud atau atau tidak bertubuh adalah terdiri dari ;

1. Piutang atau tagihan atas nama (op naam) 2. Piutang Surat-bawa (aan toonder)

(19)

ad. 1. Penyerahan piutang atau tagihan atas nama (op naam) ini disebutkan dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata tersebut, yaitu dilakukan dengan “cessie” yaitu dengan cara membuat akta otentik ataupun di bawah tangan dengan mana dinyatakan bahwa piutang itu telah dipindahkan kepada seseorang. H.F.A.Vollmar51 menyatakan dengan cessieini hakekatnya adalah penggantian kreditur yang semula (cedent) oleh orang lain (cessionaries) maka ini adalah mengenai sesuatu soal yang sebagian juga termasuk dalam hukum perutangan, lebih dimana penyerahan tersebut selain pihak-pihak, juga selalu orang ketiga tersangkut, yaitu debitur. Dalam proses penyerahan secara cessie ini kreditur lama disebut dengan “cedent” debitur disebut dengan “cessus” dan kreditur baru yakni terhadap siapa piutang itu diserahkan atau dialihkan disebut dengan “cessionaris”. Syarat utama penyerahan piutang atau tagihan atas nama (op naam) ini di dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata tersebut diatas disebutkan harus dibuat dengan suatu akta otentik ataupun akta dibawah tangan, sehingga penyerahan secara lisan tidaklah sah. Selanjutnya agar peralihan itu atau cessie ini berlaku terhadap debitur, maka hal ini harus diakui olehnya secara tertulis atau apabila debitur menolak untuk mengakui, maka penyerahan tersebut harus diberitahukan kepadanya secara resmi (betekenen). ad. 2. Penyerahan piutang surat-bawa (aan tonder) diatur dalam Pasal 613 ayat 3 KUHPerdata, dimana dilakukan dengan cara penyerahan nyata (feitelijke levering).

(20)

ad. 3. Penyerahan piutang atas-tunjuk (aan order) diatur dalam Pasal 613 ayat 3 KUHPerdata, yaitu dilakukan dengan penyerahan dari surat itu disertai dengan endossemen. Endossemendimaksudkan yaitu dengan menuliskan di balik surat piutang itu yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dipindahkan. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan, Endosemen adalah pernyataan penyerahan (overdrachts verklaring) yang ditanda-tangani kreditur (endosan) yang bertindak sebagai pemberi dan harus memuat nama pemegang52.

B. Konsepsi Jual Beli Tanah. 1. Jual Beli Menurut KUHPerdata

Perjanjian jual beli sebagai suatu perjanjian pertama-tama harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa : “untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Empat syarat tersebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu adalah syarat yang pokok dari suatu perjanjian, tanpa syarat itu perjanjian dianggap tidak sah secara hukum. Dua syarat yang pertama pada point (1) dan (2) disebut dengan syarat subjektif, karena mengenai orang atau para pihak dalam suatu perjanjian. Sedangkan

(21)

dua syarat yang berikutnya pada point (3) dan (4) disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai objek perjanjiannya sendiri atau mengenai objek dari suatu perjanjian yang dilakukan.

(22)

membeli lukisan hasil karya Basuki Abdullah, ternyata yang dibelinya itu adalah tiruan. Kekhilafan mengenai orangnya dimaksudkan bahwa kekhilafan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal itu dianya tidak akan menyetujuinya, misalnya seseorang yang mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya sebagainya penyanyi terkenal, padahal bukanlah orang itu yang dimaksudkan yang kebetulan namanya saja yang bersamaan. Paksaan adalah paksaan terhadap badan (pisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang53. Paksaan psikis adalah paksaan biasa yang hanya dapat membatalkan sebagian dari perjanjian, karena pihak yang dipaksa tersebut masih dapat melaksanakan kehendaknya walaupun kehendaknya itu dipengaruhi oleh suatu ancaman. Sedangkan paksaan pisik adalah paksaan keras, yang menyebabkan perjanjian itu batal secara mutlak, karena pihak yang dipaksa tidak mempunyai kehendak sama sekali, sehingga yang dipaksa tidak mungkin untuk melakukan yang lain daripada itu, misalnya orang yang dipegang tangannya oleh orang lain yang lebih kuat untuk membubuhkan tanda tangannya atas sesuatu kontrak.

Dengan penipuan dimaksudkan apabila mempergunakan perbuatan tipu muslihat sehingga bagi pihak lain ditimbulkan suatu gambaran yang tidak benar tentang suatu hal yang diperjanjikan, demikian dikatakan oleh Pasal 1328 KUHPerdata. Suatu penipuan tidak hanya sangkaan melainkan harus

(23)

dibuktikan. Penipuan juga merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian.

ad. 2. Syarat kedua untuk syahnya suatu perjanjian adalah kecakapan dari subjek yang mengadakan perjanjian. Yang dimaksudkan adalah orang atau para pihak yang mengadakan perjanjian itu haruslah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dikatakan; ”Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Pada umumnya seseorang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai usia 21 tahun. Demikian diisyaratkan oleh Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan tidak cakap membuat persetujuan-persetujuan adalah;

1. Orang yang belum dewasa.

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan.

3. Orang-orang perempuan, dalam hal ini yang di tetapkan oleh undang-undang pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-ndang telah melarang membuat perjanjian tersebut”.

(24)

yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya”

ad. 3. Sebagai syarat yang ke 3 (tiga) adalah suatu hal tertentu atau biasa juga disebut dengan objek tertentu. Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berjanji atau dalam hal para pihak saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dalam perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya dan jumlah boleh tidak ditentukan (disebutkan) tetapi asal dapat dihitung dan ditetapkan, demikian ditentukan oleh Pasal 1333 KUHPerdata. Kemudian oleh Pasal 1332 KUHPerdata dikatakan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat dijadikan objek perjanjian.

ad. 4. Sebagai yang terakhir yang ke 4 (empat) dari syarat syahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Kata sebab adalah terjemahan kata causa yang berasal dari bahasa latin, dalam bahasa Belanda disebut oorzaak. Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan kata causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu54. Di lain pihak R. Subekti mempunyai pendapat yang hampir sama, bahwa oleh

(25)

beliau yang dimaksudkan dengan sebab ataucausadari suatu perjanjian, adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri55.

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensialia dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Perjanjian jual beli pada umumnya dikatakan merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak. Dalam suatu proses jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Dikatakan sebagai hukum kebendaan karena dalam hal jual beli melahirkan hak pada masing-masing pihak atas tagihan (penjual dan pembeli), yang berupa penjual menerima penyerahan pembayaran harga jual dari pihak pembeli sedangkan pembeli menerima penyerahan hak atas kebendaan. Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual beli melahirkan kewajiban kepada masing-masing pihak. Dimana penjual wajib menyerahkan hak atas kebendaan yang dijual kepada pembeli sedangkan pembeli wajib membayar harga atas barang yang dibeli tersebut56. Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa: “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”. Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa, yang menjadi unsur

55R.Subekti II, Op.cit, hal. 30.

(26)

perjanjian jual beli adalah mengenai barang dan harga, hal ini relevan dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu telah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat diantara para pihak mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.

R.Subekti mengemukakan; unsur pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli adalah barang dan harga57. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.

Bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi diantara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayàr”.

Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem KUHPerdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “obligatoir” saja, artinya jual beli itu belum memindahkan hak milik. Ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut

(27)

diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari Pasal 1459 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan.58 Wirjono Projodikoro59 menyatakan persetujuan jual beli hanya mempunyai sifat “obligatoire” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya”. Jadi jual beli tersebut tidak langsung mengenai kedudukan benda (zaakelijk) hanya mengikat (obligatoir).

Dalam perjanjian jual beli, penjual berkewajiban :

a. Menyerahkan barang yang dijual dalam keadaan baik, artinya benda yang diserahkan itu harus sesuai dengan yang diperjanjikan.

b. Menjamin kenikmatan tenteram bagi pembeli atas penguasaan benda tersebut sebagai konsekwensi bahwa penjual adalah benar sebagai pemilik atas benda itu.

c. Menanggung barang yang diserahkan atas cacad yang tersembunyi. Sedangkan kewajiban pembeli adalah :

a. Membayar harga barang dengan sejumlah uang sesuai dengan yang disepakati;

b. Memikul biaya yang timbul dari perjanjian jual beli seperti ongkos antar, biaya surat-surat atau akta dan sebagainya, kecuali diperjanjikan lain oleh kedua belah pihak.

58R.Subekti III,Op.cit, hal. 80.

(28)

Bahwa perjanjian jual beli belumlah memindahkan hak milik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616”.

2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA

Jual beli tanah memiliki corak khusus, sehingga berbeda dengan jual beli pada umumnya yang diatur dalam KUHPerdata. Sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria dan oleh karenanya terdapat dua pengaturan mengenai jual beli tanah, yaitu jual beli tanah menurut hukum barat dalam hal ini KUHPerdata dan menurut hukum adat. Namun sejak berlakunya UUPA maka terjadilah inifikasi hukum agraria sehingga pengaturan jual beli tanah tunduk kepada UUPA.

(29)

Dalam UUPA tidak ada dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan jual beli tanah itu, namun walaupun demikian mengingat hukum agraria kita sekarang ini berdasar atas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang ini harus pula diartikan menurut konsep pengertian hukum adat yaitu sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual.60

Dalam UUPA istilah jual beli hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 26 dan dalam pasal lainnya disebutkan sebagai dialihkan. Pasal 26 UUPA menyebutkan; “Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah”. Oleh karenanya jual beli sebagai perbuatan untuk memindahkan hak milik atas tanah diawasi dan diatur dalam Peraturan Pemerintah, artinya Pemerintah turut campur dalam hal perbuatan-perbuatan hukum yang bermaksud untuk memindahkan hak milik atas tanah, dalam hal ini khususnya perbuatan jual beli tanah.

Istilah lain dari jual beli tanah dalam UUPA yaitu sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, tukar menukar dan hibah wasiat. Namun dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum tanah nasional kita adalah hukum adat maka jual beli tanah dalam UUPA adalah sesuai dengan hukum adat.

(30)

Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak atas tanah tersebut dilakukan dihadapan Kepala Adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan pemindahan hak atas tanah tersebut diketahui oleh umum. Tunai makudnya bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan serentak. Oleh karena dibayar kontan atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai) dan kekurangan pembayaran dianggap sebagai hukum utang piutang.61

Menurut Efendi Parangin mengemukakan sifat jual beli tanah adat adalah :62 1) Contantatau Tunai.

Contant atau Tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu bisa seluruhnya, tetapi bisa juga sebagaian. Tetapi biarpun dibayar sebagain, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat bersamaan. Pada saat itu jual beli menurut hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai hutang piutang kepada bekas pemilik tanah (penjual).

2) Terang.

Terang artinya jual beli tanah tersebut dilakukan dihadapan Kepala Desa (Kepala Adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.

Jual beli tanah menurut hukum adat merupakan suatu perbutan hukum permindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli pada saat dibayarnya harga tanah secara tunai (contant) oleh pembeli kepada penjual. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian keperdataan sesuai dengan KUHPerdata.

(31)

Sebagaimana dikemukakan Urip Santoso63bahwa jual beli menurut hukum adat bukanlah merupakan perjanjian jual beli sebagaimana ditegakan dalam pasal 1457 BW, melainkan suatu perbuatan hukum yang dimakudkan untuk memindahkan hak atas tanah dari pemegang hak (penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai (contant) dan dilakukan di hadapan Kepala Desa/Kepala Adat setempat (bersifat terang).

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pelakana atas UUPA yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirobah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Terkait dengan apa yang diamanatkan dalan Pasal 26 UUPA tersebut diatas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas tanah (dalam hal ini jual beli) termasuk pegawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, maka ketentuan peraturan pemerintah dimaksud adalah antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirobah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemidahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa pengalihan hak atas tanah berdasar jual beli terdiri dari tahapan perbuatan hukum sebagai berikut :

a). tahap perjanjian jual belinya yaitu tahap obligatoir yang melahirkan hak dan kewajiban, hal ini terlihat dari rumusan yang menyebut :---,,melalui jual beli, tukar menukar---”.

(32)

b). tahap perbuatan hukum pemindahan hak yaitu tahap zakelijk yang harus dibuat dengan akta PPAT, hal ini terlihat dari rumusan yang menyebut : ---,,peralihan hak atas tanah---” .

c). tahap pendaftaran, dimana pendaftaran ini hanya bisa dilakukan apabila perbuatan hukum pemindahan itu dibuat dengan PPAT. Hal ini terlihat dari rumusan :---,,hanya dapat didaftar---“.

Ketentuan pasal tersebut menimbulkan pertanyaan yaitu apakah perjanjian jual beli atas tanah tersebut juga harus dibuat dengan akta PPAT? Atau apakah hanya akta pengalihannya yang dibuat dengan akta PPAT?

Pasal 37 tersebut dapat diinterpretasikan bahwa jual beli harus dilakukan dihadapan PPAT yang kemudian dibuktikan dengan Akta Jual Beli yang dibuat PPAT. Akta jual beli yang dibuat PPAT tersebut digunakan sebagai bukti bahwa telah dilakukan perbuatan hukum berupa perbuatan jual beli atas sebidang tanah antara penjual dan pembeli dan kemudian akta tersebut digunakan sebagai syarat untuk melakukan pendaftaran dan perpindahan hak atas tanah tersebut.

(33)

hukum yang dilakukan merupakan perbuatan pemindahan hak, maka akta tersebut menunjukkan bahwa pembeli sebagai penerima hak yang baru.64

Jual beli tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT bukanlah jual beli yang mengakibatkan pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, tegasnya perbuatan tersebut bukanlah melahirkan jual beli tanah, namun hal itu baru pada tahap pengikatan yang melahirkan hak dan kewajiban yang nantinya harus dilakukan jual beli yang sebenarnya yaitu perjanjian jual beli yang harus dilakukan dihadapan PPAT, jika memang dikehendaki bahwa haknya akan beralih kepada pihak yang telah membayar harga tanahnya, karena setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dihadapan PPAT guna memperoleh akta jual beli tanah sebagai bukti untuk mengalihkan dan mendaftarkan peralihan hak atas tanah di kantor pertanahan dimana tanah itu berada.

3. Tanah Sebagai Objek Hak Dalam Jual Beli.

Tentang apa yang dimaksud dengan hak atas tanah, UUPA tidak memberikan defenisi atau rumusan yang spesifik, tetapi ada disebut semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6) dan secara tegas dinyatakan bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah boleh dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya65 Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA disebutkan: “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimakud dalam pasal 2 ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang 64 Budi Harsono, Hukum Agraria Indoneia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

(34)

disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Jadi tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.66

Tanah dipunyai dan dikuasai bertujuan untuk digunakan, maka untuk memenuhi segala keperluan penggunaan tidak hanya terbatas pada permukaan bumi. Pengertian ruang diperluas meliputi sebagian ruang udara diatasnya dan sebagian tubuh bumi dibawahnya. Penggunaan sebagian tubuh bumi misalnya dalam membangun rumah memerlukan pondasi bangunan, atau bangunan rumah dibuat bertingkat, merupakan penggunaan sebagian udara.

Wewenang penggunaan atau pemanfaatan yang bersumber hak-hak atas tanah menurut penjelasan Pasal 8 UUPA, dibatasi :

a. Sekedar diperlukan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan;

b. Penggunaan sebagian ruang udara dan atau ruang bawah tanah yang tidak termasuk wewenang pengambilan kekayaan alam dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa.

Jadi penggunaan atau pemanfaatan hak-hak atas tanah tidak boleh melanggar peraturan-peraturan pengambilan kekayaan alam dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa misalnya Undang-Undang Pengairan, Peraturan tentang Ruang Udara.

(35)

Dalam Pasal 2 UUPA disebutkan :

1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan hokum-hubungan hokum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk menapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hokum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

4. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA disebutkan:

1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

(36)

Adapun hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 tersebut diatas, maka dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA diatur tentang jenis-jenis hak-hak atas tanah yaitu :

a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai;

e. Hak Sewa;

f. Hak Membuka Tanah; g. Hak Memungut Hasil Hutan,

h. Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut yang dapat berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang hampir sama dengan kewenangan Negara sebagai penguasa untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom atas tanah menurut KUHPerdata, yang memberikan kewenangan yang (paling) luas pada pemiliknya.67

Pengertian Hak Milik tersebut diatur dalam Pasal 20 UUPA yang menyatakan : (1). Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 9 (2). Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pengertian Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28 UUPA yang menyatakan :

(37)

(1). Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktusebagaimana tersebut dalam Pasal 29,guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.

(2). Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa juka luasnyua 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.

(3). Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pengertian Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 UUPA yang menyatakan : (1). Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan dan

mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

(2). Atas permintaan pemegang hak dan mengigat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 diperpanjang dengan waktu 20 tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Sifat ini adalah salah satu sifat kunci dari wavelet Coifman biortogonal yang tidak dimiliki oleh wavelet ortogonal lain kecuali wavelet Haar dan sangat penting untuk pengolahan

Rated Based , merupakan indikator untuk mengukur proses pelayanan pasien atau keluaran (outcome) dengan standar yang diharapkan dapat. berkisar

Penilaian dibuktikan dengan skor sebesar 1,92 (termasuk dalam rentang 1,01 ≤ 2 yang berarti tingkat sedang/dinilai cukup berhasil). Indikator yang menjadi dasar sebagai

This research aimed to improve the lesson plan, the implementation of learning, the students critical thinking skills, and students' understanding of civics through

Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, pencerahan, bimbingan,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh profil penyelesaian soal pembagian pecahan siswa kelas VII SMPN Model Terpadu Madani Palu yaitu sebagai

advantage ). Dashboard yang akan dirancang mengambil data cube yang dihasilkan oleh OLAP, bersumberkan data mart Penerimaan Mahasiswa Baru, kemudian memprosesnya

Memenuhi Berdasarkan hasil hasi verifikasi terhadap dokumen Bill of Lading dari kegiatan penjualan ekspor Produk Jadi oleh PT Dharma Putra Kalimantan Sejati selama 12 (dua