• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia"

Copied!
235
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN

KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSTITUSI REPUBLIK

INDONESIA

TESIS

OLEH:

NIM: 107005024

IMAN PASU PURBA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Nama Mahasiswa : Iman Pasu Purba

Nomor Pokok : 107005024

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum)

(Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum) (

Anggota Anggota

Dr. Jusmadi Sikumbang, SH., MS)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi. SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)

(3)

ABSTRAK

Kebebasan beragama merupakan hak fundamental. Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tetapi hak beragama ini tidak berarti hak mutlak yang tanpa batas. Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa pelaksanaan kebebasan beragama ini harus memperhatikan kewajiban asasi dengan menghormati hak asasi orang lain juga. Pasal 28 J ayat (2) juga menyatakan bahwa hak ini juga dapat dibatasi melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal-pasal tersebut menjadi acuan dasar didalam pelaksanaan hak kebebasan beragama dalam prakteknya.

Banyaknya kasus-kasus kebebasan beragama akhirnya menimbulkan pertanyaan keberadaan konsitusi secara normatif sudah memadai atau tidak untuk menjamin kebebasan beragama. Demikian juga mengenai penjabaran konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan beragama di Indonesia serta perlindungan kebebasan beragama yang diberikan oleh pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut dengan menggunakan teori konsitusi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dimana data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dengan mempelajari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier selain itu data juga diperoleh pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara dengan beberapa informan.

Secara normatif konstitusi RI sudah cukup memadai mengatur masalah kebebasan beragama. Namun perlu penyempurnaan isi, misalnya pernyataan dengan tegas mengenai tidak beragama. Penjabaran juga pada umumnya tidak bertentangan dengan konsitusi, tetapi ada beberapa penjabarannya yang multitafsir. Belum ada aturan yang detail yang mengatur masalah agama dan aliran kepercayaan. Perlu ada undang-undang tentang agama dan aliran kepercayaan serta undang-undang kerukunan umat beragama. Pemerintah menjamin kemajemukan beragama di Indonesia dan mengatur masalah praktek kebebasan beragama sehingga tidak melanggar konstitusi melalui tindakan preventif dan represif. Pemerintah dapat melakukan dialog lintas agama, penyuluhan, serta mendorong pembinaan melalui pihak internal masing-masing agama, sehingga tercipta hidup rukun dan harmonis antar umat beragama. Namun tegas terhadap terjadinya penodaan dan penistaan agama.

(4)

ABSTRACT

Freedom of religion is a fundamental human right. Article 28 I verse (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia assert that religious rights are human rights that cannot be reduced under any circumstances. However, this religious right does not mean an absolute right without limits. Article 28 J verse (1) declares that the exercise of religious freedom should be concerned with the fundamental obligation to respect the rights of others as well. Article 28 J verse (2) also assert that this right can be limited by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and to satisfy just demands in accordance with considerations of morality, religious values, security and public order in a democratic society. These articles become the basic reference in the exercise of religious freedom in practice.

The number of cases regarding religious freedom in Indonesia raises the question is the presence of religious freedom in the normative constitution sufficient or not to guarantee freedom of religion. Similarly, as it relates to derivation of the rules in the RI constitution such that the lower potition that is affecting the implementation of religious fredom and protection of religious freedom granted by the government of religious freedom cases. Thus the purpose of this study was to answer that three questions is by using the theory of the constitution. The study was conducted by using a type of descriptive analytical research with a normative juridical approach where data is obtained through a library research to study the legal materials of primary, secondary and tertiary data. Also, data was collected from field research through interviews with informants.

According the normative, constitution of the Republic of Indonesia is sufficient to set the issue of religious freedom. But these constitution need to improve the content, such statement are about atheim. derivation of constitution of the Republic of Indonesia also generally synchronous with the constitution, but there are some derivation of constitution of the Republic of Indonesia has multiple interpretations. There has been no detailed rules governing the issue of religion and belief. There should be laws about religions and beliefs and laws to protect religious harmony. Government guaranteed of religious plurality in Indonesia and regulate the practice of religious freedom so as not to violate the constitution through preventive and repressive measures. The government can conduct inter-religious dialogue, education, and encourage spritual development through each internal community of religion to create harmonious living and inter-religious harmony. But firmly against the desecration and blasphemy.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkah, kekuatan,

penyertaanNya didalam proses penyelesaian tesis ini. Semua karena anugerahNya.

Karena segala sesuatu dari Dia oleh Dia dan untuk Dia.

Tertarik menulis tesis ini karena betapa luar biasanya Allah menciptakan

keberagaman yana ada di Indonesia. Khususnya beragamnya agama dan aliran

kepercayaan yang ada di Indonesia. Semua hal itu merupakan otoritasnya. Namun

bagaimanapun tidaklah mudah untuk mengakomirnya sehingga terjadi kehidupan

yang harmonis, aman, dan damai sejahtera di bangsa ini. Oleh karena itulah

pentingnya rumusan atau acuan untuk hidup didunia dalam bentuk normatif.

Tesis ini berjudul “Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan

Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia” selain untuk memenuhi salah satu

persyaratan yang harus dilengkapi untuk menyelesaikan studi di Pasca Sarjana

Hukum Universitas Sumatera Utara, konsentrasi Hukum Tata Negara, juga dibuat

sebagai sumbangan pemikiran terhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama dan

keyakinan di Indonesia.

Terimakasih dah hormat setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada pihak yang

sangat berjasa memberikan bimbingan, motivasi, dan sumbagan pemikiran, ijin,

(6)

1. Komisi Pembimbing, Yakni Bapak Dr. Mirza Nasution, SH. MHum,

Bapak Dr. Jelly Leviza, SH. MHum, Bapak Dr. Jusmadi Sikumbang, SH,

MS, yang sangat banyak memberi sumbangsih pemikiran, motivasi dan

kesabaran membimbing saya didalam proses penyelesaian tesis ini.

2. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), serta Para Pembantu Rektor dan Bapak

Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum dan

para Pembantu Dekan atas ijin dan kesempatan untuk melakukan penelitian

ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MHum, selaku Ketua Program Studi Pasca

Sarjana Hukum, dan semua Guru Besar dan para dosen yang banyak

menambah khasanah keilmuan didalam ilmu hukum ini.

4. Bapak Dr. Arifinsya, MAg (FKUB), Bapak Sufi murti (Ahmadiyah),

Bapak Drs. Hj.Arso, SH, MAg (MUI), Bapak Pdt. Hotman Hutasoit, MTh.

Bapak Humala Pardede (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata) yang

sangat banyak membantu dan memberi informasi untuk penyelesaian tesis

ini. terimakasih untuk kesediaan tanpa pamrihnya.

5. Rekan-rekan seperjuagan di Pasca Sarjana, Permai Yudhi, Herman

(7)

semua rekan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk

sumbangsih, motivasi dan masukan yang berharga untuk tesis ini.

6. Untuk patner, Hanna Tabitha Hasiaanna Silitonga, Apni Rezeki, dan

adik-adikku,Andi, Vince, Samuel, Herianto, Anton dan semua rekan yang ada di

FKPMI. Terimakasih utuk motivasi dan yang kuat, sumbangsih dan

doa-doa kalian semua.

7. Terkhusus untuk keluargaku, orangtua yang senantiasa memberi motivasi

dan masukan yang sangat berharga untuk tesis ini. perhatian dan doa cukup

memberkatiku. Demikian juga untuk Trueman Benny, Frasiska, Theodora,

Willy, adik-adikku yang terus berdoa buatku. Allah terus meninggikan

namaNya dalam hidup kita.

8. Akhirnya, harapan dan doa untuk tesis ini sebagai sumbangan pemikiran,

dan masukan bagi pembaca untuk semakin jelas memahi perihal

perlindungan kebebasan beragama dalam konstitusi RI diberkahi Allah

Yang Maha Esa.

Medan, Juli 2012

Penulis,

(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Iman Pasu Purba

Tempat/tanggal lahir : Sidikalang/ 19 September 1985

NIM : 107005024

Alamat Rumah : Jln. Berdikari Ujung, Gang Family No. 4

HP : 085275127040

Pendidikan Formal

SD : SD St. Yosef Sidikalang, Dairi

SLTP : SLTP Negeri 1 Sidikalang, Dairi

SLTA : SMU Negeri 4 Pematangsiantar

S1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGANTAR……….iii

RIWAYAT HIDUP………. vi

DAFTAR ISI………...vii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN………1

A.Latar Belakang ... 1

B Rumusan Masalah ... 10

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 11

E.Keaslian Penelitian ... 11

F.Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsi ... 12

1.Kerangka Teori ... 12

2.Landasan Konsepsi... 19

G.Metode Penelitian ... 23

1.Jenis Dan Sifat Penelitian ... 24

2.Sumber Data ... 25

3.Teknik Pengumpulan Data ... 27

(10)

BAB II PENGATURAN KEBEBASAN BERGAMA DALAM

KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA 29

A.Sejarah Kehidupan Beragama Pada Masa Beberapa Kerajaan di

Nusantara Pra Kemerdekaan RI ... 29

B.Urgensi Materi HAM dalam Konstitusi ... 37

C.Perlindungan HAM dalam Konstitusi Republik Indonesia ... 43

D.Pengaturan Kebebasan Beragama dalam Konstitusi RI ... 47

E.Konstitusi RI Sudah Cukup Memadai Menjamin kebebasanberagama ... 58

BABIII PENJABARAN KONSTITUSI RI DIDALAM MENJAMIN KEBEBASAN BERAGAMA 73 A. Penjabaran Konstitusi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia ... 73

B.Perlindungan HAM Melalui Kovenan Internasional ... 84

1.Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Memerangi Diskriminasi HAM ... 84

2.Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Perlindungan Kebebasan Beragama ... 89

C. Penjabaran Konstitusi RI Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama Di Indonesia 95 1. Sinkronisasi Penjabaran Konstitusi RI Mengenai Perlindungan Kebebasan Bergama Dan Berkeyakinan Di Indonesia ... 95

2. Penjabaran Konstitusi RI Tentang Kebebasan Beragama Yang Dianggap Bermasalah ... 103

(11)

2.2Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep/033/A/JA/6/2006,Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaah Ahmadiyah (JAI) Dan

Warga Masyarakat ... 121

2.3Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 004/JA/01/1994 Tentang Bakor Pakem. 128 BAB IV PERANAN PEMERINTAH TERHADAP PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAM DI INDONESIA 142 A.Peran Pemerintah Dalam Pelaksanaan Kebebasan Beragama ... 142

1.Kebijakan Preventif ... 145

2.Kebijakan Represif ... 155

B. Peran Pemerintah Di Dalam Menangani Kasus-Kasu Kebebasan Beragama Di Indonesia………. 161

1.Peran Pemerintah Dalam Kasus Ahmadiyah ... 161

2.Peran Pemerintah Dalam Kasus GKI Yasmin ... 174

3.Peran Pemerintah Dalam Kasus Lia Eden ... 184

C. Peran Pemerintah Didalam Melindungi Aliran-Aliran/ Penghayat Kepercayaan di Indonesia ... 192

(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 208

A.Kesimpulan ... 208

B.Saran ... 210

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Perbandingan Konstitusi Menjamin Kebebasan Beragama 49

2. Alasan Inkonstitusional dan Konstitusional UU No. 1/PNPS/1965 107

3. Pendapat Pemohon dan Hakim MK Mengenai

UU No. 1/PNPS/1965 110

(14)

ABSTRAK

Kebebasan beragama merupakan hak fundamental. Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tetapi hak beragama ini tidak berarti hak mutlak yang tanpa batas. Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa pelaksanaan kebebasan beragama ini harus memperhatikan kewajiban asasi dengan menghormati hak asasi orang lain juga. Pasal 28 J ayat (2) juga menyatakan bahwa hak ini juga dapat dibatasi melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal-pasal tersebut menjadi acuan dasar didalam pelaksanaan hak kebebasan beragama dalam prakteknya.

Banyaknya kasus-kasus kebebasan beragama akhirnya menimbulkan pertanyaan keberadaan konsitusi secara normatif sudah memadai atau tidak untuk menjamin kebebasan beragama. Demikian juga mengenai penjabaran konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan beragama di Indonesia serta perlindungan kebebasan beragama yang diberikan oleh pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut dengan menggunakan teori konsitusi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dimana data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dengan mempelajari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier selain itu data juga diperoleh pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara dengan beberapa informan.

Secara normatif konstitusi RI sudah cukup memadai mengatur masalah kebebasan beragama. Namun perlu penyempurnaan isi, misalnya pernyataan dengan tegas mengenai tidak beragama. Penjabaran juga pada umumnya tidak bertentangan dengan konsitusi, tetapi ada beberapa penjabarannya yang multitafsir. Belum ada aturan yang detail yang mengatur masalah agama dan aliran kepercayaan. Perlu ada undang-undang tentang agama dan aliran kepercayaan serta undang-undang kerukunan umat beragama. Pemerintah menjamin kemajemukan beragama di Indonesia dan mengatur masalah praktek kebebasan beragama sehingga tidak melanggar konstitusi melalui tindakan preventif dan represif. Pemerintah dapat melakukan dialog lintas agama, penyuluhan, serta mendorong pembinaan melalui pihak internal masing-masing agama, sehingga tercipta hidup rukun dan harmonis antar umat beragama. Namun tegas terhadap terjadinya penodaan dan penistaan agama.

(15)

ABSTRACT

Freedom of religion is a fundamental human right. Article 28 I verse (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia assert that religious rights are human rights that cannot be reduced under any circumstances. However, this religious right does not mean an absolute right without limits. Article 28 J verse (1) declares that the exercise of religious freedom should be concerned with the fundamental obligation to respect the rights of others as well. Article 28 J verse (2) also assert that this right can be limited by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and to satisfy just demands in accordance with considerations of morality, religious values, security and public order in a democratic society. These articles become the basic reference in the exercise of religious freedom in practice.

The number of cases regarding religious freedom in Indonesia raises the question is the presence of religious freedom in the normative constitution sufficient or not to guarantee freedom of religion. Similarly, as it relates to derivation of the rules in the RI constitution such that the lower potition that is affecting the implementation of religious fredom and protection of religious freedom granted by the government of religious freedom cases. Thus the purpose of this study was to answer that three questions is by using the theory of the constitution. The study was conducted by using a type of descriptive analytical research with a normative juridical approach where data is obtained through a library research to study the legal materials of primary, secondary and tertiary data. Also, data was collected from field research through interviews with informants.

According the normative, constitution of the Republic of Indonesia is sufficient to set the issue of religious freedom. But these constitution need to improve the content, such statement are about atheim. derivation of constitution of the Republic of Indonesia also generally synchronous with the constitution, but there are some derivation of constitution of the Republic of Indonesia has multiple interpretations. There has been no detailed rules governing the issue of religion and belief. There should be laws about religions and beliefs and laws to protect religious harmony. Government guaranteed of religious plurality in Indonesia and regulate the practice of religious freedom so as not to violate the constitution through preventive and repressive measures. The government can conduct inter-religious dialogue, education, and encourage spritual development through each internal community of religion to create harmonious living and inter-religious harmony. But firmly against the desecration and blasphemy.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang dibangun atas dasar keberagaman. Tidak heran

apabila para pendiri bangsa ini menggunakan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti

“berbeda-beda tapi tetap satu”, sebagai identitas bangsa ini. Unity in diversity,

kesatuan dalam konteks keberagam-ragaman, (bhineka tunggal ika) sebagai dasar

paradigmatif bagi paham “persatuan” sebagai salah satu sila dalam Pancasila itu, turut

sebagai paradigma filosofis bagi politik hukum nasional di Indonesia.1

Indonesia bersifat pluralitas2

1

M. Solly Lubis, Managemen Strategis Pembangunan Hukum, (Bandung : Bandar Maju, 2011), hal. 78

karena terdiri dari beragam suku, bahasa dan

adat istiadat yang tersebar dari sabang sampai merauke. Demikian juga beragam

agama dan aliran kepercayaan yang diyakini oleh setiap penduduknya. Baik dari

agama yang berasal dari luar Indonesia yang dibawa oleh penyebar agama, demikian

juga agama suku atau keyakinan-keyakian dan aliran-aliran kepercayaan yang masih

tumbuh subur didalam masyarakat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari keunikan bangsa ini.

2

(17)

Menyadari sifat pluralitas dalam beragama yang dianut oleh penduduk di

Indonesia, kendatipun Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya

adalah agama Islam, para pendiri bangsa ini memberikan jaminan kebebasan kepada

setiap warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya

masing-masing. Ini terbukti bahwa masalah kebebasan beragama ini dengan tegas diatur

didalam konstitusi RI (Republik Indonesia). Dimana konstitusi merupakan hukum

dasar yang dijadikan pegangan didalam penyelenggaraan suatu negara.3

Berbicara masalah konstitusi tidak dapat terlepas dari apa yang menjadi

muatan dari konstitusi itu sendiri. Ada tiga hal pokok yang menjadi muatannya, yaitu:

pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara ; kedua,

ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya

pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.4

Ada yang beranggapan bahwa didalam pergeseran rezim otoritarian di

Indonesia menuju demokrasi, jelas menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama,

berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh ini selalu saja bermasalah dalam

implementasinya. Bahkan, ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui mekanisme Berdasarkan muatan konstitusi ini, UUD 1945 sebagai konstitusi RI memuat tentang

jaminan atas hak-hak asasi manusia khususnya masalah kebebasan beragama yang

termasuk didalam hak yang fundamental.

3

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hal. 35

4

(18)

demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi intensitas problem kebebasan

beragama. Secara kasat mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang

mengakui hanya enam agama resmi.5 Orang atau komunitas di luar agama resmi

selalu menjadi pihak yang dirugikan, termasuk kelompok adat atau aliran

kepercayaan yang masuk kategori tidak beragama.6

Terkait kebebasan beragama di Indonesia, masalah yang mendapat perhatian

adalah adanya asumsi mengenai banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan

yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama. Peraturan itu

bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama

maupun karena bertentangan satu sama lain berdasarkan hirarkinya. Masalah

perundang-undangan yang bermasalah didalam menjamin kebebasan beragama ini Dalam kenyataan bahwa tanpa

menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh

pelayanan publik dan hak-hak sipil.

5

Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Surat Edaran Mendagri itu seharusnya hanya berisi petunjuk tehnis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri. Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,(Jakarta: 2009), hal 1. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan

Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang

diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.

6

(19)

perlu segera diselesaikan. Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan

hukum di bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal. Masalah kebebasan

beragama dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi dan

sinkronisasi aturan-aturan hukum tersebut.

Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan

Penodaan Agama7

Kebebasan beragama merupakan hak yang fundamental yang merupakan hak

yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Hak untuk

beragama merupakan hak yang tidak dapat diambil oleh siapapun (unalienable)

misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada

pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang

menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan

negara melindungi warga negara Indonesia melalui perlindungan atas

penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran

agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional.

Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan beragama

menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk intervensi negara yang sebenarnya

tidak perlu. Namun ada juga sekelompok orang yang beranggapan bahwa

undang-undang ini tidak bertentangan dengan konstitusi dah dibutuhkan keberadaanya.

7

(20)

karena hak untuk beragama ditentukan oleh dirinya sendiri dan tanpa ada paksaan dan

dipaksakan oleh orang lain. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya negara dalam hal

ini tidak boleh melakukan intervensi terhadap hak kebebasan beragama akan tetapi

harus dapat memberikan suatu jaminan kepada warga negaranya untuk dapat

menjalankan agamanya tanpa ada gangguan dari pihak manapun.8

Bukti dari keseriusan pembahasan pengaturan kebebasan beragama secara

universal, saat ini sudah ada empat instrumen internasional utama didalam mengatur

kebebasan beragama ini. Instrumen-instrumen tersebut adalah : (1), Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Ini sesuai dengan

bunyi Pasal 28I UUD 1945 telah ditegaskan bahwa hak untuk bebas beragama tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Demikian juga Pasal 29 ayat 2 UUD 1945

yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.

9

, (2), Kovenan Hak Sipil dan Politik10

8

Sumika Putri

, (3),

9

Didalam hukum internasional modern, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang mengatur tentang kebebasan beragama. Deklarasi ini ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusinya No. 217 A (III) pada tanggal 10 Desember 1948. United Nations, United Declaration of Human Rights. Lihat selengkapnya di Alkhanif, Hukum & Kebebasan Beragama Di Indonesia(Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2010), hal.5.

10

(21)

Deklarasi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Permusuhan

berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Deklarasi Hak Kebebasan Beragama)11 dan

(4), Deklarasi Hak Orang-Orang Minoritas Secara Etnik, Bahasa, dan Agama (Hak

Kelompok Minoritas)12

Norma-norma hukum diatas yang sudah diuraikan sebelumnya sebagai

jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah-olah hanya

merupakan “macan kertas” .

13

Selama tahun 2011, berdasarkan kategori bentuk pelanggaran, telah terjadi

peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah

di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat

18% menjadi 92 kasus.Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi

adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah dalam prakteknya. Banyak hal-hal yang terjadi di

bangsa ini yang menciderai kebebasan beragama. Rapuhnya jaminan konstitusi

kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya

undang-undang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran

yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya.

11

Deklarasi ini adalah satu-satunya instrumen internasional yang mengatur secara khusus perlindungan terhadap kebebasan beragama. Disebut dengan Deklarasi 1981 karena Deklarasi tersebut ditetapkan oleh Mejelis Umum PBB pada tanggal 25 November 1981 melalui resolusinya No. 36/55. Deklarasi 1981 ini seperti DUHAM tidak mengikat secara hukum terhadap negara-negara yang menandatanganinya ketika Deklarasi ini ditetapkan. Selengkapnya lihat, ibid, hal.28.

12

Deklarasi ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1992 melalui resolusinya No. 47/135 untuk melindungi hak kelompok minoritas. Deklarasi ini penting karena pengakuan terhadap hak-hak kelompok kaum minoritas telah ditinggalkan semasa pembentukan Deklarasi Universal. Tidak ada satupun pasal dalam DUHAM yang mengatur secara khusus hak kelompok minoritas. Selengkapnya lihat, ibid, hal.37.

13

(22)

kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan intimidasi dan

ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11

kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan

pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan

4 kasus (4%).14

Ada 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama

2011 berdasarkan kategori korban. Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak

dengan 46 kasus (50%), berikut Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus (14%),

jemaat gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga sesat 8 kasus (9%), Millah

Abraham (4 kasus), kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal,

aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di

NTT (masing-masing 1 kasus).15

Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan

beragama dan berkeyakinan adalah aparat kepolisian yakni 32 kali (26%), bupati,

walikota atau oknum-oknum pejabat di lingkungan kabupaten/kota 28 kali (23%),

Tentara 16 kali (13%), Satpol PP (10 kali), Pemerintah Provinsi (8 kali), Kantor

Kemenag atau KUA (8 kali). 16

Berdasarkan laporan tersebut ditemukan bahwa jemaat Ahmadiyah adalah

kelompok yang paling banyak mengalami kasus pencideraan terhadap kebebasan

14

The_Wahid_Institute

diAkses tanggal 7 Maret 2012

15 Ibid 16

(23)

beragama di Indonesia. Kelompok ini banyak mengalami kekerasan dari kelompok

lain didalam melaksanakan kebebasan beragamanya dari tahun ketahun. Selain itu

Bakor Pakem17 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama/ SKB sebagai keputusan

mengikat untuk melarang ajaran Ahmadiyah Indonesia karena ajarannya telah

menyimpang dari kepercayaan Islam. Ini tertuang pada keputusan Bakor Pakem No.

KEP-033/A/JA/6/2008. Pada dasarnya isi SKB ini adalah melarang semua bentuk

manifestasi dari ajaran Ahmadiyah tersebut. Tidak ada laporan resmi tentang jumlah

keseluruhan dari anggota jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini dikarenakan

Ahmadiyah tidak diakui sebagai agama resmi.18

Kasus GKI Taman Yasmin berhubungan dengan ijin pendirian rumah ibadah.

Jika dirujuk sejarahnya, proses pembangunan GKI Yasmin sudah dimulai sejak tahun

2000. Namun, masalah baru muncul pada tahun 2008, ketika Kepala Dinas Tata Kota

dan Pertamanan Bogor Yusman Yopi membekukan izin pembangunan gereja tersebut

melalui surat Nomor 503/208-DTKP tertanggal 14 Februari 2008. Alasannya, ada

keberatan dari forum ulama dan ormas islam se-kota Bogor. Surat ini terbit sesudah

surat izin dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto pada 13 Juli 2006.

Karena keberatan, pihak GKI Yasmin menggugat surat pembekuan izin tersebut ke

Pengadilan Tata Usaha Negara hingga tingkat Mahkamah Agung. Hasilnya, MA

17

Bakorpakem adalah sebuah akronim dari nama sebuah lembaga yang lengkapnya disebut ‘Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat’. yang dibentuk di bawah institusi kejaksaan diberikan mandat oleh UU Kejaksaan No.16/2004 khususnya pasal 33 ayat (3) huruf d dan e untuk mengawasi kepercayaan/agama, dan juga untuk pencegahan dan atau penodaan agama. Kejaksaan meletakkan wewenangnya atas dasar untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan.

18

(24)

membatalkan pencabutan izin tersebut.Namun, selama proses hukum berlangsung

situasi memanas karena sejak izinnya dibekukan, pemerintah kota Bogor

menggembok gerbang gereja sehingga jemaat terpaksa beribadah di trotoar jalan

sejak tahun 2010. 19

Kasus Aliran Sesat yang sudah selesai diputus dalam persidangan adalah

kasus Lia Eden. Pada 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Lia

Eden, pemimpin Kelompok Alamulla Jemaah bersalah atas penistaan dan

penghasutan rasa benci antar penganut agama karena dakwah dan menyebarkan

pesan-pesannya kepada lembaga pemerintah termasuk Istana Presiden. Lia Eden

dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun enam bulan. Pengikutnya bernama

Wahyu Wibisono dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dengan tuduhan

penistaan agama. Ini adalah kali kedua Eden diadili atas tuduhan penistaan agama.

Pada 2006, ia juga pernah dijatuhi hukuman untuk kasus yang sama selama dua tahun

penjara dan dibebaskan pada Oktober 2007 setelah menjalani masa tahanan selama 16

bulan. Pada November 2007, Mahkamah Agung menjatuhi hukuman penjara selama

tiga tahun kepada putra Eden bernama Abdul Rahman yang mengaku sebagai

reinkarnasi Nabi Muhammad.20

Melihat persoalan tersebut negara berkewajiban untuk melindungi dan

menjamin hak azasi setiap warga negara untuk menjalankan agama, keyakinan dan

kepercayaan sebagaimana yang diyakini tanpa ada unsur tekanan ancaman oleh

19

Konflik Pembangunan GKI Taman Yasmin,

20

(25)

siapapun dan pihak manapun. Apabila negara tidak bisa memenuhi tanggung

jawabnya sebagaimana mandat konstitusi, negara dalam hal ini pemerintah beserta

aparaturnya dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia karena tidak

menjamin kebebasan masyarakat dalam menjalankan kayakinan dan kepercayaannya.

Dengan demikian sangatlah penting untuk menganalisa konstitusi RI didalam

menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Baik menganalisa substansi dan

turunannya serta pengimplementasiannnya didalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut maka

permasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah :

1. Apakah secara normatif perlindungan kebebasan beragama yang dimuat

didalam konstitusi RI sudah cukup menjamin kebebasan beragama?

2. Bagaimana penjabaran atas konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan

beragama di Indonesia?

3. Bagaimana perlindungan kebebasan beragama yang diberikan oleh

pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus

dari penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah:

(26)

perlindungan terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia atau

sebaliknya.

2. Untuk mengetahui penjabaran dari Konstitusi RI terhadap perlindungan

kebebasan beragama di Indonesia.

3. Untuk mengetahui perlindungan kebebasan beragama yang diberikan

pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi penelitian

selanjutnya di bidang perlindungan kebebasan beragama. Selain itu penelitian

ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka yang membahas perlindungan

kebebasan beragama dalam pengaturan konstitusi RI.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi

Pemerintah, legislator dan para praktisi hukum serta para pejuang HAM

khususnya didalam upaya penegakan hukum atas dijaminnya perlindungan

kebebasan beragama di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yangdilakukan oleh

(27)

Universitas Sumatera Utara, penelitian yang mengangkat judul tentang “Analisis

Hukum Mengenai Perlindungan Kebpebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik

Indonesia”, ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang

sama. Namun, ada tesis yang membahas menyangkut kebebasan beragama dengan

judul “Implementasi Kebebasan Beragama Menurut Undang-Undang Dasar 1945”,

atas nama Agung Ali Fahmi, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia,

Program Studi : Magister Hukum Kenegaraan. Selain kedua judul ini berbeda,

substasnsinya juga berbeda. Baik dari permasalahan yang menjadi objek kajian

maupun dalam pembahasan. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai

penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena

dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta

dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari

pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau

landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya. Untuk itu perlu disusun

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana

masalah tersebut diamati.21

21

(28)

Selain itu teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum

yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis

pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah

penelitian.22

Penelitian ini menggunakan teori konstitusi sebagai pisau analisa. Seiring

dengan perkembangan peradaban manusia, konstitusi menjadi suatu keharusan bagi

pengelolaan kehidupan bersama manusia dalam suatu organisasi negara. Atas dasar

itu, terminologi konstitusi terus mengalami perkembangan arti dan makna sesuai

dengan kebutuhan dan konteks konstitusi dalam masyarakat. Gejala itu dapat

dipahami dengan menelaah berbagai pengertian konstitusi yang diungkapkan oleh

pakar konstitusi. Seperti K.C Wheare yang menyatakan konstitusi dalam dua

pengertian:23

a. all it used to describe the whole system of government of a country, the collection of rules which establish and regulaten or govern the government (semua itu digunakan untuk menggambarkan keseluruhan dari sistem pemerintahan suatu Negara, kumpulan dari peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan)

b. …and partly non-legal or extra-legal, taking the form of usages, understandings customs, or convention which courts do not recognize as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called. (…sebagian bersifat non legal atau ekstra legal, pengambilan bentuk penggunaan, pemahaman, kebiasaan atau adat yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum tetapi tidak kalau efektifnya di dalam mengatur pemerintahan dibanding dengan apa yang secara langsung disebut oleh hukum).

22

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16

23

(29)

James Bryce dalam pandangannya memaknai konstitusi sebagai kerangka

masyarakat politik yang diorganisir melalui hukum. Pemikiran tersebut memahami

kontitusi sebagai landasan yang menetapkan dan mengakui keberadaan

lembaga-lembaga negara secara permanen serta hak-hak yang melingkupinya. Ringkasan

pemikiran Bryce mengenai konstitusi dipahami sebagai : “… a frame of political

society, organized through and by law, that is to say one which law has established

permanen institutions with recognized functions and definite rights”. (konstitusi

sebagai bingkai masyarakat politik (negara) yang diorganisir dan dengan melalui

hukum, atau hal itu dapat dikatakan dengan satu hukum pembentuk lembaga-lembaga

permanen yang fungsi-fungsi dan haknya diakui dan diterapkan).24

Searah dengan pemikiran Bryce, Carl Joachim Friedrich mengartikan

konstitusi sebagai upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik rakyat

selaku anggota masyarakat hukum, hal mana kehendak politik tersebut diartikan

sebagai kehendak hidup bersama dalam sebuah masyarakat politik guna melestarikan

diri sebagai hak alami pertama. Hal yang sama dikatakan oleh C.F Strong yang

menilai konstitusi sebagai “…a collection of principles according to which the

powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the

two are adjust. (“… kumpulan asas atau prinsip mengenai kekuasaan pemerintahan,

hak-hak yang diperintah dan hubungan-hubungan antara yang memerintah dan yang

24

(30)

diperintah).25

Uraian singkat tersebut menjelaskan bahwa konstitusi merupakan kumpulan

prinsip yang melandasi dan mengatur kekuasaan pemerintahan serta hak-hak yang

diperintah. Dengan demikian konstitusi mengandung prinsip-prinsip hubungan dan

batas-batas kekuasaan antara pemerintahan dengan hak-hak rakyat (diperintah).

Konstitusi biasa berupa sebuah catatan tertulis; konstitusi dapat ditemukan dalam

bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan

perkembangan zaman.26

Konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur cara penyelenggaraan

kedaulatan rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran R.M. Mac Iver27 yang

menempatkan konstitusi sebagai inti dari hukum tata negara sedangkan Nyoman

Dekker28 menempatkan konstitusi dalam posisi teratas dari suatu piramida hukum

tata Negara.29

25

Ibid. hal 24.

Hakikat ajaran yang dapat diambil dari berbagai pemikiran tentang

konstitusi mengarah pada kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar negara, simbol

kedaulatan yang mengatur sistem kekuasaan negara, kemana negara hendak

dikembangkan. Robert M.Mac Iver yang menyebut konstitusi sebagai hukum yang

mengatur kekuasaan negara.

26

C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung: Nuansa, Nusa Media, 2004), hal. 15

27

Astim Riyanto, Teori Konsitusi,(Bandung: Yapemdo), 2003, hal. 10

28 Ibid. 29

(31)

Demikian juga menurut J.G Steenbeek pada umumnya konsitusi berisi tiga hal

pokok, yaitu:30

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifar

fundamental; dan

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat

fundamental.

Sehubungan dengan itu teori konsitusi menjadi sangat penting untuk

membedah permasalahan analisis yuridis mengenai perlindungan kebebasan

beragama karena terkait erat dengan keberadaan konsitusi sebagai hukum dasar

negara yang mengatur tentang penjaminan hak-hak asasi rakyat. Selain itu secara

umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum atau “The Rule of

Law”, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of

law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum

dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Menjadi

kewajiban dari Pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan daripada

hak-hak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur

pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara.31

30

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni), 1992, hal 74

Ketika

pemerintah menjalankan kekuasaaanya berdasarkan konsitusi dengan demikian tipe

sebagai negara hukumpun terpenuhi.

31

(32)

Sedangkan menurut Julius Sthal salah seorang tokoh aliran Eropa Continental,

konsep negara hukum yang disebutkan dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup

empat elemen penting yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan,

pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.32

Menurut Mirza Nasution, Indonesia mengenal konsep negara hukum

Pancasila.

Perjuangan terhadap perlindungan hak asasi menusia menjadi bagian yang penting

yang tidak terpisahkan dari konsep negara hukum.

33

Oemar Senoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki

ciri-ciri khas Indonesia. Oleh karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok

dan sumber hukum maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara

Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya

jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama namun kebebasan

beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada

tempat bagi atheism atau propaganda anti agama di Indonesia. Hal ini sangat berbeda

dengan misalnya di Amerika Serikat yang memiliki konsep freedom of religion baik

dalam arti positif maupun negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning

yang dikutip Senoadji.34

“Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship, to affirm the existence of god or to deny it, to believe in Christian religion or any other religion or in none, as we choose” (Kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas untuk beribadah, untuk mengakui keberadaan Tuhan atau

32

Mirza Nasution, Loc. Cit, hal. 37

33

Ibid. hal 43

34

(33)

menolaknya, mempercayai agama Kristen atau agama lainnya atau tidak sama sekali, sebagai suatu pilihan).

Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum

tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai

dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini

dinamakan dengan Constitusional States (Negara Konstitusional). Negara

Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak

warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum.35

Suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan

kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian diaturlah masalah fungsi negara dengan

penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di

satu pihak melindungi hak-hak asasi, namun di pihak lain menyelenggarakan

kepentingan umum. Kepentingan umum itu, berupa kesejahteraan masyarakat. Dalam

hal ini betapa besarnya peranan negara.

Berdasarkan uraian diatas didalam menganalisa perihal jaminan kebebasan

beragama, ketika Pemerintah menjalankan kekuasaannya berdasarkan konsitusi yang

memuat masalah masalah dijaminnya hak-hak asasi manusia khususnya mengenai

kebebasan beragama, maka pemerintah dengan sendirinya mengarah kepada

pencapaian tujuan dari negara hukum itu sendiri.

35

(34)

2. Landasan Konsepsi

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari

penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan penulis dalam

merumuskan konsep dengan menggunakan model defenisi operasional.36

a) Kebebasan Beragama

Agar

terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang

perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini :

Kebebasan secara klasik dapat diartikan dengan “tidak adanya larangan.”37

Meskipun demikian, konsep dasar “kebebasan” juga harus memperhatikan tidak

adanya intervensi dari kebebasan yang telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan

orang lain. Jadi ada dua kebebasan yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan

bebas untuk tidak diintervensi oleh tindakan tersebut.38 Selain itu, Kamus Hukum

Black, “kebebasan” diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk

larangan kecuali larangan yang telah diatur oleh undang-undang.39

36

Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, Medan :Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72

Maksudnya bahwa

manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan

dengan larangan yang ada didalam hukum. Kamus Jhon Kersey mengartikan bahwa

‘kebebasan’ adalah sebagai “kemerdekaan, meninggalkan atau bebas

37

Cooter, Robert, D., 1987, liberty, Efficiency, and Law. Law And Contemporary Problems, hal 143. http://www.jstor.org.

38

Al Khanif, Loc. Cit, hal. 86

39

(35)

meninggalkan.”40

Isaiah Berlin membedakan ‘kebebasan’ dalam dua bentuk yaitu kebebasan

dalam bentuk yang positif dan kebebasan dalam bentuk negatif. Kebebasan dalam

bentuk positif artinya ‘apa atau siapa’ yang bertindak sebagai sumber hukum, yang

bisa menentukan seseorang untuk menjadi, melakukan atau mendapatkan sesuatu

‘kebebasan’. Sedangkan kebebasan dalam bentuknya yang negatif bersinggungan

dengan ruang lingkup dimana seorang harus dihormati atau dilindungi untuk menjadi

atau melakukan sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan

dari pihak lain.

Artinya semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan

sesuatu hal.

41

b) Agama

Kebebasan dalam arti negatif ini sesuai dengan pengertian

kebebasan dari Kamus Kersey, sedangkan kebebasan dalam arti yang positif lebih

condong kepada pengertian yang diajukan oleh Kamus Hukum Black.

Agama menurutadalah sistem yang mengatur

tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta

tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya.Kata "agama" berasal dari āgama yang berarti

"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang

40 Ibid.

(36)

berasal darireligio” dan berakar padareligare” yang

berarti "mengikat kembali". Maksudnya seseorang mengikat dirinya kepada42

Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama

Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam,

Kristen dan Yahudi. Selain itu agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering

disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal

budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran

keagamaan lain atau kepercayaan.43 Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara

penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu

bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak

dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun orang lain.44

c) Konstitusi

Istilah “konstitusi” dalam bahasa Indonesia berpadanan dengan kata

constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Malaysia), “constitunonel

(bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin),

fundamental laws”, (Amerika Serikat).45

42

Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Dalam bahasa Perancis berasal dari kata

kerja “constituer” yang berarti “membentuk” jadi konstitusi berarti pembentukan.

Dalam hal ini yang dibentuk adalah negara, maka konstitusi mengandung permulaan

dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi yang menegakkan

43

Pengertian-agama-secara-umum,

9 Maret 2012

44

Agama asli,

45

(37)

bangunan besar yang bernama negara.46

Istilah konstitusi sebenarnya tidak digunakan untuk menunjuk kepada satu

pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa

pengertian. Di Indonesia selain dikenal istilah konstitusi, juga dikenal istilah

Undang-Undang Dasar. Demikian juga di Belanda, disamping dikenal istilah “groundwet”

(Undang-Undang Dasar) dikenal pula istilah “constitutie”. Pengertian lainnya ada

konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi).47

Undang-Undang Dasar sendiri adalah suatu dokumen hukum yang

mengandung aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar

mengenai ketatanegaraan dari suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat

luhur dan “kekal” dan apabila mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan

dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau

perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya.48

Undang-Undang Dasar (UUD) sama artinya dengan konstitusi dalam

penelitian ini. Pendapat seperti ini antara lain dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam

disertasinya yang tidak membedakan antara konstitusi dengan Undang-Undang Jadi

pengertian Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian

konstitusi, yaitu konstitusi tertulis.

46

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), hal 10

47

M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1978) hal 45

48

(38)

Dasar.49

Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum

tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai

dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini

dinamakan dengan Constitusional States (Negara Konstitusional). Negara

Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak

warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum.

Jadi dalam penelitian ini ketika pemakaian istilah konstitusi itu merujuk

kepada Undang-Undang Dasar, dan ketika menggunakan istilah Undang-Undang

Dasar itu merujuk kepada konstitusi.

50

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang peneliti

gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian ini berfungsi

sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian

untuk menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan

metode penelitan kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel.51

Penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

49

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), hal 1

50

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakareta: Kencana, 2011), hal 35.

51

(39)

segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.52

Penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap

fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab

permasalahan-permasalahan. Agar mendapat hasil yang lebih maksimal, maka penulis melakukan

penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:

Maka penelitian ini

merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis

normatif. Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud

dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam

sejumlah peraturan perundang-undangan melalui turunan konstitusi atau dengan

meratifikasi instrumen-intrumen internasional yang terkait secara langsung dengan

kebebasan beragama.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu kepada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.53

Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga

52

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hal.43

53

(40)

penelitian hukum kepustakaan.54Penelitan ini bersifat deskriptif analitis, yang

mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori

hukum yang menjadi objek penelitian.55

Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan

suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar

dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu

menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum

atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

56

2. Sumber Data

Dalam penulisan ini hal tersebut

dilakukan mengkaji kasus ahmadiyah untuk menemukan peran pemerintah didalam

mewujudkan perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini akan

dikaji melalui produk-produk hukum yang dikeluarkan didalam mengakomodir

perlindungan kebebasan beragama terhadap beberapa kasus pencideraan kebebasan

yang terjadi di Indonesia.

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan dan

berdasarkan kepada data sekunder , maka bahan hukum yang digunakan dapat dibagi

kedalam beberapa kelompok, yaitu:

54

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, Cet. Ke-5), hlm. 9.

55

Ibid, hlm. 105

56

(41)

1. Bahan hukum primer, yaitu:

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International

Covenant On Civil And Political Rights (Korvenan Internasional Tentang

Hak-Hak Sipil dan Politik).

e. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Dan/Atau Penodaan Agama.

f. Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia, Nomor : 3 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008,

Nomor : 199 Tahun 2008, Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan

Warga Masyarakat.

g. Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006, Peraturan Bersama No. 8 Tahun 2006

Tentang Pedoman Pelaksannaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum

Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

2.Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

(42)

Disertasi, Jurnal Hukum atau hasil penelitian lainnya yang relevan dengan

penelitian ini.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang dapat memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal

dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet, dan sebagainya.57

3. Teknik Pengumpulan Data

Berkenaan data yang digunakan hanya data sekunder jadi teknik pengumpulan

data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), studi ini

dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan

mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah,

peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari, dan mencatat serta

menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek pelitian.58

57

Ibid, hlm. 224

Selain itu akan

dilakukan juga pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara

dengan informan yakni mewakili FKUB Propinsi Sumut, Dr. Arifinsyah, M.Ag

sebagai Wakil Sekretaris, dan mewakili Ahmadiyah, Sufi Murti sebagai Mubaligh

Wilayah Sumatera Utara dan Aceh, mewakili MUI Sumut, Drs. Hj. Arso, SH. M.Ag,

Ketua Bidang Perundang Undangan, HAM dan Advokasi, Pdt. Hotman Hutasoit,

MTh, mewakili PGI Sumut, sebagai Wakil Sekretaris Umum, dan Humala Pardede,

Mewakili Kementertian Kebudayan dan Pariwisata Sumut, yang berhubungan dengan

58

(43)

penelitian mengenai perlindungan kebebasan beragama di Indonesia kaitannya

dengan konstitusi RI.

4. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitan bersifat

deskriptif analitis, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan

kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan

struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis untuk

menentukan isi atau makna aturan hukum.59

Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian

secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data,

selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif

sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga

memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaks

(44)

BAB II

PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSITUSI

REPUBLIK INDONESIA.

A. Sejarah Kehidupan Beragama Pada Masa Beberapa Kerajaan di Nusantara

Pra Kemerdekaan RI.

Sejarah mencatat bahwasanya kehidupan antar umat beragama prakteknya

berjalan pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara ini. Sebelum merdeka,

agama-agama yang ada pada saat ini khususnya agama-agama yang berasal dari luar

Indonesia juga keberadaannya mengalami banyak kemajuan karena raja-raja pada

masa sebelum kemerdekaan juga banyak menganut agama dan ajaran tersebut.

Didalam berhubungan dengan kerajaan lain juga, sering terlihat bagaimana masalah

agama tidak menjadi penghalang untuk mengadakan hubungan satu sama lain. Tidak

heran menemukan bahwa raja menikahi putri dari kerajaan yang berbeda dengan

perbedaan agama pula. Bahkan melalui perkawainan campuran tersebutlah terjadi

harmoni kehidupan beragama didalam kerajaannya. Belum lagi adanya kebebasan

bagi warga di kerajaannya untuk memeluk agama sesuai dengan pilihannya sendiri.

Kerajaan yang akan disinggung mengenai pelaksanaan kehidupan beragama, yakni:

Kerjaan Mataram Kuno, Kerjaan Majapahit, Kerjaan Demak, dan Kerajaan

Sriwijaya.

Kerajaan Mataram kuno di perkirakan berdiri pada abad ke-8 dan berpusat di

(45)

hindu. Agama Hindu merupakan agama yang pertama kali tersebar di pulau Jawa.

Agama ini di bawa oleh para pedangang dan petualang-petualang dari India yang

melalang buana hingga terdampar di Pulau Jawa. Sebelum menganut agama Hindu,

nenek moyang yang di tinggal di pulau jawa adalah penganut kepercayaan animisme

dan dinamisme. Tidak berapa lama berselang, tersebar pula agama Budha yang di

bawa oleh para pedangang dari Cina. Maka secara garis besar ada dua agama utama

yang berkembang di tanah Jawa saat itu. Agama Hindu dan Budha.60

Kebebasan memeluk agama sudah ada sejak zaman dahulu kala. Hal ini

terbukti dari betapa taatnya sang Raja Sanjaya pada agama yang di anutnya, beliau

tetap memberikan kebebasan kepada sanak keluarga dan rakyatnya untuk memeluk

agama Budha. Hal inilah yang menyebakan kerajaan Mataram kuno terpecah menjadi

dua keluarga atau yang di sebut dengan wangsa. Yaitu wangsa Sanjaya yang

menganut agama Hindu dan wangsa Sailendra yang menganut agama Budha.

61

Hubungan antarumat dan kebebasan beragama di Indonesia memiliki sejarah

yang panjang dan dapat ditelusuri sejak zaman purbakala atau sejak zaman kerajaan

Hindu- Budha di Jawa Tengah. Seiring dengan perjalanan sejarah, suksesi para

raja-raja, pergeseran pusat kekuasaan, perubahan politik serta gelombang kedatangan

agama dan berbagai aliran/faham keagamaan baru. Hubungan antarumat beragama

mengalami pasang surut dari hubungan yang harmoni, sinkritis, hingga disharmoni

dan konflik. Peninggalan purbakala kompleks candi Plaosan yang terletak di sebelah

60

Babad Tanah Leluhur,

2012

(46)

timur candi Prambanan menunjukkan adanya bukti-bukti hubungan antarumat yang

menarik untuk diungkap kembali. Komplek candi yang dibangun pada abad X zaman

kerajaan Mataram kuno itu, selain sebagai tempat pemujaan juga merupakan

kompleks vihara dan boarding school. Kiranya tidak berlebihan jika candi Plaosan

dijadikan sebagai lambing “cinta-kasih” karena Rakai Pikatan membangun candi

tersebut sebagai hadiah untuk isterinya, Sri Pramoda Wardhani.62

Lebih dari itu, dibalik perkawinan Rakai Pikatan dengan Sri Pramoda

Wardhani, sebenarnya telah terjadi perkawinan yang lebih besar, yaitu perkawinan

antara dua dinasti penguasa wilayah Jawa Tengah, dinasti Sanjaya dan Syailendra.

Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, sedangkan Pramoda Wardhani berasal dari

dinasti Syailendra. Kedua dinasti ini menganut agama yang berbeda. Dinasti Sanjaya

menganut agama Hindu, sedangkan dinasti Syailendra menganut agama Buddha.

Perkawinan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang harmoni antara dua dinasti

yang menganut agama yang berbeda. Keharmonisan hubungan antarumat terabadikan

dalam candi induk, dua panel relief menggambarkan kedatangan tamu kerajaan yang

mengenakan kufiyah (penutup kepala khas Persia). Hal ini menunjukkan bahwa,

kerajaan Mataram Kuno (Hindu-Buddha) meski berada di pedalaman merupakan

kerajaan yang terbuka. Pada masa kekuasaan Rakai Pikatan telah terjalin hubungan

dengan dunia Islam dari Timur Tengah. 63

62

Haidlor Ali Ahmad, Hubungan Antarumat dan Kebebasan BeragamaJurnal Multikultural & Multireligius Harmoni: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RIVolume IX, Nomor 36, Oktober - Desember 2010, hal. 5

63

(47)

Selain itu, dalam kerajaan Mataram kuno juga ditemukan suatu pura dengan

nama Pura Lingsar yang merupakan pura terbesar dan tertua yang dibangun sekitar

tahun 1714 M pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem oleh Raja Anak Agung

Ngurah. Pura ini terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok

Barat, Nusa Tenggara Barat, sekitar 15km dari ibukota Mataram.64

Pura ini merupakan simbol kerukunan antar umat beragama. Hal ini

dikarenakan selain menjadi tempat ibadah umat Hindu, pura ini juga digunakan oleh

umat Islam suku Sasak yang beraliran Wetu Telu (Waktu Tiga), mereka hidup

berdampingan dan mengelola pura bersama-sama. Untuk menjaga kedamaian, di

larang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh

masing-masing agama di dalam dan di daerah sekitar pura. Bahkan sapi yang

dianggap suci oleh umat Hindu dilarang berkeliaran sampai dengan radius 2

kilometer dari Pura Lingsar. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura ini, pengunjung

disarankan untuk menggunakan selendang yang diikatkan ke pinggang. pemakaian

selendang ini untuk menghormati Pura ini yang dianggap suci oleh umat Hindu dan

Islam.65

Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa

yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan

Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara

Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit

64

Wenny Cristina, Melihat Kerukunan Antar Umat Beragama di Pura Lingsar Lombok.

Gambar

Tabel 2: Alasan Inkonstitusional dan Konsitusional UU No. 1/PNPS/1965 UU
Tabel 3: oleh M. Atho Mudzhar http://www.djpp.depkumham.go.id
Tabel: 4 DATA KASUS/KONFLIK KEAGAMAAN DI SUMATERA UTARA

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu peneliti ingin mengetahui dengan menganalisis bagaimana hasil dari penelitian mahasiswa S1 Administrasi Bisnis Tel-U yang telah mendapatkan matakuliah entrepreneurship

Vertebrae thoraks bagian dorsal ular buhu kanan ular pucuk kiri pengamatan metode rebus dengan kamera digital……….. Vertebrae thoraks ventral ular buhu bagian kanan ular pucuk

Pelatih yang disediakan oleh pihak manajemen perusahaan harus pelatih yang memiliki kompetensi diatas rata- rata pesertanya (karyawan). Karena jika kemampuan pelatih itu dirasa

[1] Istilah Rokoko juga bisa diartikan sebagai kombinasi kata "barocco" (bentuk teratur dari mutiara, kemungkinan berasal dari kata "baroque") dan kata

Bank )ndonesia diatur dalam Bab V))) UUD 9 yang berjudul (al Keuangan yang terdiri atas lima pasal. Bank )ndonesia tidak secara jelas disebutkan (tersirat bukan

Higiene peralatan makanan menggunakan aspek penilaian berupa penggunaan peralatan masak / makan yang terbuat dari bahan taraf pangan ( food grade ), peralatan

PENINGKATAN BASE JALAN DESA TAMBUSAI UTARA KE DESA MAHATO KEC.. TAMBUSAI

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah dari mulai menentukan struktur navigasi web site, rancangan tampilan halaman web, menjelaskan proses pembuatan halaman web