• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelarangan yang ditujukan untuk membubarkan

· Sebagai tindak lanjut Pasal 2 Ayat (1), maka hal tersebut merupakan ranah

sebuah organisasi/aliran terlarang adalah bentuk dari pengingkaran terhadap kebebasan berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana yang telah dijamin oleh UUD 1945.

kebijakan yang merupakan penerapan hukum dan bukan sebagai permasalahan konstitusional;

· para Pemohon telah salah mengartikan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai sebuah hak yang tidak dapat dibatasi. Padahal demi ketertiban umum maka hak itu juga dapat dibatasi oleh hukum dan diberikan sanksi administrative

Pasal 3 UU No.1/PNPS/1965

Klausul ‘pemidanaan’ telah memasuki

forum internum dari hak kebebasan beragama dan merupakan ketentuan diskriminatif yang bersifat ancaman (threat) dan memaksa (coercion).

Perbedaan penjatuhan pidana yang ditetapkan dalam putusan pengadilan bukan merupakan bentuk diskriminasi tapi

merupakan kewenangan hakim yang dapat menilai berat/ringannya kasus; Rumusan pasal a quo bertentangan

dengan syarat kriminalisasi karena tidak dapat berjalan efektif (unforceable) karena

tidak dapat menggambarkan perbuatan yang dilarang dengan teliti

(precision principle) sehingga bertentangan

dengan prinsip kepastian hukum

· Pasal 3 tidak dapat atau dapat diterapkan adalah permasalahan penerapan hukum dan bukan permasalahan konstitusional. · Pasal 3 ini tidak dapat diartikan tersendiri,

tapi satu kesatuan yang utuh, sehingga jelas prinsip presisinya. · Pasal 3 ini merupakan ultimum

remedium manakala sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU ini tidak efektif;

· Proses yudisial yang dilakukan oleh peradilan umum akan memberikan kepastian penegakan hukum.

Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965

Unsur-unsur pemidanaan (“permusuhan” “penyalahgunaan”, atau “penodaan”) yang

terdapat dalam Pasal 4 UU ini tidak mengandung kejelasan sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum.

Putusan pengadilan tentang penjatuhan pidana berdasarkan Pasal 156a KUHP yang ternyata berbeda-beda, bukanlah merupakan bentuk ketidakpastian hukum dan diskriminasi, melainkan wujud dari pertimbangan hakim dalam memberikan keadilan sesuai dengan karakteristik kasus masing-masing

Berdasarkan pemaparan atas alasan yang menyatakan bahwa UU No.1 PNPS 1965 inkonstitusional maupun yang menyatakan bahwa UU tersebut konsitusional, permasalahan secara umum adalah perihal pembatasan kebebasan beragama. Putusan Mahkamah kosntitusi memberi penjelasan dengan alasan yang sangat kuat kenapa UU ini tetap konsitusional. Alasan utama dari sekelompok orang yang menolak keberadaan UU ini adalah karena sangat mengekang pelaksanaan hak kebebasan beragama. Harus diakui baik konstitusi maupun kovensi-konvensi internasional tetap melakukan pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan hak kebebasan dan berkeyakinan ini. Membatasi bukan berarti memasung kebebasan beragama. Namun, didalam pelaksanaan hak tersebut harus memperhatikan hal-hal tertentu yang dapat menjadi permasalahan ketika hak itu dilaksanakan secara mutlak sebebas-bebasnya.

Selain kebebasan beragama, semua yang termaktub didalam Hak Asasi Manusia didalam pelaksaaannya dapat dibatasi melalui undang. Pasal 28J ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ayat (2) menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Konsitusi RI sangat jelas mengatur masalah pembatasan pelaksanaan hak tersebut.

Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak perlu mengecilkan hati kita seolah-olah kita adalah bangsa yang tidak memiliki kebebasan beragama. Hal itu dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.

Sesungguhnya dalam instrumen-instrumen internasional pun hal serupa

memang diatur. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal

Declaration of Human Rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, Pasal 29 Ayat (2), dikatakan sebagai berikut: In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society, (dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis).

Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (diadopsi PBB Tahun 1966) yang telah kita ratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) menyatakan bahwa kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk

melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk

Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on theElimination

of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) Tahun 1981, pada Pasal 1 Ayat (3) menyatakan kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain. Intinya, kalau ada lahir regulasi-regulasi yang berhubungan dengan pembatasan pelaksanaan hak dengan undang-undang dengan tujuan yang termaksud diatas, maka hal itu dibenarkan oleh konsitusi.

Sehubungan dengan UU No. 1/PNPS/1965 yang mengatur masalah pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama merupakan regulasi pertama bahkan satu-satunya undang-undang yang membatasi pelaksanaan kebebasan beragama demi moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Karena, jika pelaksanaan hak kebebasan beragama ini tanpa batas, maka kecenderungan masalah-masalah yang hendak dihindari tersebut pasti muncul kepermukaan ditengah-tengah keIndonesiaan secara khusus yang sangat beraneka ragam baik suku, budaya, dan agama. Belum lagi Pancasila sebagai harga mati untuk menjadi acuan utama didalam menilai segala sesuatu didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maupun dari substansi UU No. 1/PNPS ini masih perlu mengalami penyesuaian dan penyempurnaan. Karena bagi siapapun yang membacanya sekilas dan tidak mengetehaui latar belakang dalam setiap norma dari regulasi tersebut akan menimbulkan ketidak jelasan terhadap isinya, baik karena salah menafsirkan isinya atau tidak memahami dengan jelas maksud dari setiap norma yang termaktub didalamnya. Misalnya masalah penyebutan bahwa ada 6 (enam) agama yang diakui negara. Penyebutan terhadap 6 (enam agama resmi) ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap masyarakat yang berasal dari aliran kepercayaan. Tentu ini menimbulkan diskrimanasi dan seolah-olah menyangkal bahwa setiap orang di hadapan hukum adalah sama. Akan lebih baik dengan menyebutkan “agama-agama dan aliran-aliran kepercayaan yang mempercayai Tuhan Yang Maha Esa” saja. Karena UU tersebut tetap menjamin aliran-aliran kepercayaan atau agama-agama lokal yang tumbuh subur di Indonesia. Karena pada konsitusi tidak ada secara khusus mengatur masalah pengakuan terhadap 6 (enam) agama resmi tersebut.

Berhubungan dengan isi dari UU No. 1/PNPS/1965, apa yang sudah dipaparkan Mahkamah Konsitusi hendaklah dituangkan dengan cermat dan jelas kepada UU baru atau ketika UU No.1/PNPS/1965 dirubah. Setiap asas-asas didalam pembuatan maupun asas-asas yang menjadi acuan untuk substansi yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan haruslah dipenuhi didalam merumuskan UU yang tujuannya membatasi pelaksanaan hak kebebasan beragama.

Pernyataan yang mengatakan bahwa negara tidak berhak melakukan intervensi keyakinan atau kepecayaan seseorang dalam meyakini suatu agama yang merupak ranah forum internum adalah benar. Tetapi negara memiliki tanggungjawab dan wewenang untuk menjaga pelaksanaan hak atas manifestasi dari kepercayaan dan

keyakinan yang merupakan ranah forum ekternum yang terkait dengan HAM orang

lain, kepentingan publik dan kepentingan negara juga. Dalam hal ini negara berkewajiban menjamin pelaksanaan kewajiban asasi dan kepentingan publik dengan mengeluarkan undang-undang.

Berkaitan dengan SKB, Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan degan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengenai negara hukum. Bahwa istilah Surat Keputusan Bersama (SKB) tidak dikenal di dalam oleh Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011. Pasal 7 ini hanya mengatur peraturan perundang-undangan (regeling),

bukan kebijakan pemerintah (beleid) ataupun penetapan (beschikking). SKB

merupakan beleid, bukan peraturan (regeling) ataupun penetapan (beschikking) karena dibentuk berdasarkan praktek-praktek pemerintahan yang berfungsi untuk mengatur koordinasi antar instansi pemerintah, dan mengikat internal saja. Pasal 7

ayat (1) hanya mengenal regeling, tidak mengenal beschiking maupun beleid.

Beschiking dikenal di dalam hukum tata usaha negara, yang mempunyai karakter untuk mencabut atau memberikan hak kepada individu atau badan hukum. Sementara

Belied tidak mempunyai landasan hukum, adapun Algemeene Bepalingen van wetgeving voor indonesie (AB) Staatblad 1847 No.23 sudah dihapus oleh UU

regeling maupun beschikking, ini berarti belied merupakan bentuk praktek pemerintahan yang tidak berdasarkan aturan hukum, bertentangan dengan prinsip negara hukum. Akan lebih baik jika kedepannya, sebagai turunan UU No.

1/PNPS/1965, melalui Peraturan Bersama Menteri. Jadi sifatnya regeling bukan

beschikking atau beleid (kebijakan). Karena UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan tidak mengenal SKB. Namun, walaupun demikian jika pemerintah menggunakan SKB untuk menyatakan kebijakannya mengenai pelaksanaan kebebasan beragama juga tidak melanggar konsitusi.

Sehubungan dengan keharusan ratifikasi terhadap kovenan-kovenan interna sional maupun perjanjian-perjanjian internasional yang secara tegas dan dalam cakupan yang lebih luas tentang kebebasan beragama, Majelis Umum PBB hanya mengimbau agar negara-negara anggotanya meratifikasi perjanjuan internasional itu. Negara tetap mempunyai kedaulatan penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional dan jika melakukan ratifikasi, maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya. Misalnya kovenan internasional yang juga menjamin untuk tidak beragama (atheis), dalam konteks keIndonesiaan, jelas bahwa hal ini tidak sesuai dengan Pancasila yang merupakan palsafah bangsa dan ideologi bangsa kita.

Sehubungan dengan itu dapat disimpulkan sebenarnya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama tidak bertentangan dengan kositusi, namun perlu melakukan penyesuaian dan penyempunaan baik dalam lingkup formil maupun substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang lebih

diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik. Selain itu perlu terus dilakukan pengawalan terhadap penerapan norma UU Pencegahan dan Penodaan Agama didalam penjabarannya melalui regulasi-regulasi turunannya.

2.2. Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep- 033/A/JA/6/2006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Semua jenis intervensi negara yang bisa mengakibatkan tindakan diskriminatif dilarang oleh hukum internasional. Apalagi jika intervensi itu bisa mengakibatkan berkurangnya atau terhambatnya hak-hak dan kebebasan individu yang bersifat negatif. Ini dikarenakan berbagai aturan didalam hukum internasional mengatakan bahwa intervensi yang diskriminatif merupakan sebuah pelanggaran yang nyata terhadap hak asasi manusia. Pada kenyataanya, pemerintah didalam kasus Ahmadiyah tidak bisa menahan keinginannya untuk mengitervensi kebebasan beragama dari kelompok minoritas tersebut sehingga terbitlah Surat Keputusan Bersama/SKB yang melarang hak kebebasan beragama dari Ahmadiyah. Tentu saja pengeluaran SKB didukung oleh MUI, Kejaksaan, dan kelompok penentang Ahmadiyah. Bahkan SKB juga didukung oleh sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR dimana mereka meminta pemerintah dengan tegas melaksanakan keputusan tersebut. Selain

memberi dukungan dan memahami kebijakan pemerintah menerbitkan SKB tentang Ahmadiyah,169

Komisi VIII DPR juga mendorong pemerintah agar melakukan sosialisasi dan pengawasan atas pelaksanaan SKB tersebut. Selanjutnya pemerintah diminta segera melakukan sinkronisasi berbagai ketentuan yang menyangkut kehidupan keagamaan agar tercipata harmonisasi diantara pemeluk agama. Komisi VIII DPR juga meminta pemerintah untuk meningkatkan pembinaan keagamaan agar tidak ada aliran-aliran baru dalam kehidupan keagamaan.

170

Sehubungan dengan kasus ahmadiyah, dapat dipahami bahwa karakter dari forum internum dan forum eksternum adalah saling berkaitan. Sebagai contohnya, SKB yang ditujukan untuk membatasi perkembangan ajaran agama Ahmadiyah ternyata bersumber dari tidak diterimanya interpretasi sekte tersebut yang menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Oleh karena itu, pelarangan tersebut tidak hanya terbatas pada forum eksternum melainkan forum internum. Batasan terhadap forum internum sebagai “non derogable right” dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan, meskipun negara dalam keadaan darurat seperti adanya perang, bencana alam, konflik sosial, dan ancaman-ancaman terhadap keamanan dan keutuhan negara lainnya.171

169

Al Khanif, Loc. Cit, Hal. 262

170

Ibid.

171

Keputusan pemerintah untuk mengeluarkan SKB menunjukkan bahwa negara mengabaikan karakter yang saling berhubungan antara forum internum dengan forum eksternum. Dua unsur penting didalam kebebasan beragama tersebut diklasifikasikan sebagai dua hak kembar karena pembatasan terhadap unsure yang satu bisa berakibat pada unsur lainnya. Oleh karena itu, aturan hokum tentang kebebasan beragama sangat penting tidak saja untuk melindugi hak seseorang, khusus kelompok-kelompok agama berskala kecil dan tidak dikakui sebagai agama resmi pemerintah untuk beragama melainkan juga untuk mendapatkan hak asasi manusia lainnya.172

Maksud dikeluarkannya SKB senyatanya adalah untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok penentang Ahmadiyah. Larangan tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri konflik yang disebabkan oleh Ahmadiyah, bukan untuk memenuhi unsur menjaga ketertiban dan keselamatan umum. Dari perpektif hokum internasional, SKB tidak memenuhi standar pembatasn forum externum karena ketentuan tentang “ketertiban dan keselamtan umum”, didalam SKB tidak sesuai dengan batasan yang diatur didalam pasal 18 ayat (2) Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik.173

Berikut isi lengkap SKB 3 Menteri berkenaan dengan Ahmadiyah:174

1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak

menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan

172

Ibid. hal 265.

173

Ibid.

174

Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep- 033/A/JA/6/2006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

2. Memberi peringatan dan memerintahkan penganut, anggota dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

3. Penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Kedua dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk

menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah

sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Keempat dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk

melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksaksanaan Keputusan Bersama ini.

7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Kebijakan pemerintah mengenai keberadaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia dinyatakan dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri tenang Ahmadiyah. Perlu ditegaskan bahwa SKB tidak mempunyai landasan hukum karena SKB tidak dikenal didalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. SKB sifatnya tidak regeling, tetapi beshicking. Beschiking atau ketetapan adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.175

Keberadaan SKB inilah yang sering menjadikan perdebatan di dalam masyarakat terkait dengan dasar hukumnya. Menurut Yusril Ihza Mahendra, SKB tidak mempunyai dasarlegitimasi. Demikian juga pendapat yang disampaikan oleh

the Indonesian Legal Resource Center (ILRC). ILRC menilai kedudukan SKB lemah karena tidak menjadi bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan secara urut terdiri dari UUD 1945, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. SKB bahkan tidak disebutkan sama sekali dalam UU yang disahkan 22 Juni 2004 itu. Oleh karenanya ILRC berpendapat SKB tidak seharusnya mengikat secara umum. SKB sifatnya koordinatif antar lembaga yang menandatanganinya. Kekuatan mengikatnya pun terbatas hanya untuk kalangan internal instansi terkait. Dengan kata lain, SKB tidak bisa mengikat pihak luar, apalagi masyarakat secara umum.176

UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara, khususnya dalam menjelaskan secara tegas bahwa terdapat tujuh hal yang tidak tergolong suatu keputusan Negara yaitu :177

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

175

Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

176

Agung Ali Fahmi, Implementasi Kebebasan Beragama Menurut UUD Republik Indonesia

Tahun 1945, (Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia), 2010, hal. 99.

177

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan

badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai

hasil pemilihan umum.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah sesuai dengan apa yang diatur oleh undang-undang tentang keputusan-keputusan yang termasuk keputusan-keputusan negara. Didalam pasal 2 angka (2) bahwa kalau surat keputusan bersifat umum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai keputusan negara. SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah merupakan surat keputusan negara karena berlaku khusus untuk kelompok Ahmadiyah. Sesuai dengan pengertian “ketetapan” bahwa SKB akan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dalam hal ini akan menimbulkan akibat hukum bagi Ahmadiyah.

Namun jika ditinjau dari isi SKB juga terdapat kebijakan pemerintah didalam melakukan pembatasan bagi Ahmadiyah didalam mengekspresikan atau memanifestasikan keyakinannanya. Jelas dalam bagian hal menimbang bahwa SKB tersebut menyetujui bahwa kebebasan beragama harus dijamin pelaksanaannya. Namun sesuai dengan UU No. 1/PNPS/ 1965 bahwa tindakan Ahmadiyah dianggap menodai agama Islam. Karena mengakui diri Islam tetapi keluar dari pokok-pokok kepercayaan Islam. Tentunya dapat dikatakan hal tersebut merupakan tindakan yang

menganggu atau menimbulkan konflik bagi ketertiban umum. Intinya forum internum dalam hal keyakinan kelompok Ahmadiyah tetap dijamin, namun forum ekstermum dalam hal ini berekspresi dan memanifestasikan keyakinannya perlu dilakukan pembatasan sesuai amanah dari konsitusi. Konsitusi memerintahkan bahwa pembatasan tersebut melalui undang-undang. Jadi akan lebih baik masalah Ahmadiyah ini diakomodir didalam bentuk undang-undang. Tentunya tidak khusus kepada Ahmadiyah saja, melainkan terhadap kelompok-kelompok lainnya.

Namun walupun demikian, SKB ini tidak dapat dikatakan melanggar konsitusi, karena merupakan perintah langsung dari UU No. 1/PNPS/1965. Karena walaupun tidak dikenal didalam UU No. 12 Tahun 2011, tetapi keberadaan SKB ini juga mempunyai kekuatan hukum karena sesuai dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Karena khusus memberi kebijakan tentang keberadaan Jemaat Ahmadiyah dan perlakuan masyarakat terhadap Jemaat Ahmadiyah.

Tetapi ada satu bagian dari SKB tersebut yang isinya dapat mengurangi kekuatan hukum dari SKB sebagai Keputusan negara. Karena didalam diktum satu dari isinya menyatakan: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Hal ini bertentangan dengan pasal 2 angka (2) bahwa kalau surat keputusan bersifat umum, maka tidak dapat

dikategorikan sebagai keputusan negara. Harusnya diktum tersebut hanya ditujukan kepada Jemaah Ahmadiyah saja.